Anda di halaman 1dari 24

SKENARIO KASUS

Seorang wanita, 61 tahun, mengeluhkan nyeri mulut dan sakit saat membuka mulut sejak 4 bulan lalu. Dari Puskesmas, telah mendapat obat amoksisilin dan larutan kumur betadin, namun nyeri mulut tidak sembuh dan semakin memburuk hingga memaksanya berkonsultasi pada beberapa dokter. Telah mendapatkan obat antara lain antibiotik, antijamur, dan antiradang topikal, yang tidak menyebabkan kesembuhan. Odinofagi mengakibatkan penurunan berat badan hingga 6 kg. Tidak ada lesi yang sama pada genital maupun mata. Pasien memiliki riwayat hipotiroidisme, hipertensi, glaukoma, dan diabetes mellitus tipe 2, yang kesemuanya sudah dalam pengawasan dokter penyakit dalam. Penampilan umum pasien sehat, meski merasa stress. Tanda vital dalam batas normal. Ekstraoral tampak sebagian vermilion bawah eritematus dan pada beberapa tempat mengalami erosi, perdarahan titik (pin-point bleeding) dan krusta. Intra-oral tampak adanya ulkus dangkal berdiameter 20 mm pada mukosa pipi bilateral setinggi linea alba, tertutup lapisan putih kekuningan. Tepi ulkus tidak teratur namun tidak ada indurasi, di sekelilingnya tampak beberapa area erosi dan abrasi. Gingiva tepi regio anterior atas dan bawah tampak eritematus dengan sebagian erosi dan beberapa area tampak adanya epithelial sloughing. Mukosa palatum pada ah-line tampak eritematus, sedangkan pada lateral dan ventral lidah terdapat beberapa ulkus dangkal dengan diameter 5 mm. Pada kulit bahu dan punggung tampak adanya lesi erosif dan krusta, uji Nikolsky pada kulit menunjukkan hasil negatif. Hasil biopsi ulkus mulut menunjukkan celah intraepitel suprabasal, akantolisis, dan sebukan sel radang ke dalam jaringan ikat dibawahnya. Pada pemeriksaan DIF (direct immunofluorescence), terlihat deposit IgG dan fraksi komplemen C3 pada zona interseluler epitel.

BAB I PENDAHULUAN

I.

Latar Belakang Begitu banyak penyakit oral yang memiliki manifestasi oral yang serupa sehingga menjadi sukar menentukan diagnosis dan tidak menutup kemungkinan menjadikan

seorang dokter salah menentukan diagnosis. Hal ini tentu dapat menjadi suatu hal yang membahyakan baik bagi pasien juga bagi dokter itu sendiri. Penyakit vesikobulosa dan ulseratif merupakan salah satu penyakit yang seringkali muncul di oral. Dengan mengetahui macam-macam penyakit yang bisaa dijadikan difensial diagnosis dapat membantu para calon dokter dalam menetapkan diagnosis pastinya. Pemfigus bulgaris merupakan salah satu penyakit vesikobulosa yang II. Tujuan Memahami etiologi, perjalanan penyakit, dan golden standard pemeriksaan serta rencana perawatan terhadap suatu penyakit. Mampu mengaitkan suatu tanda dan gejala yang tampak pada pasien dengan suatu penyakit mulut. III. Manfaat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


I. Definisi Lesi Vesikulobulosa dan ulkus Lesi dermal diklasifikasikan berdasarkan penampakan klinis seperti ulkus, vesikel maupun bulla. Penyakit ulseratif atau vesikulobulosa di dalam rongga mulut memiliki penampakan klinis yang hampir sama. Mukosa oral yang tipis menyebabkan vesikel dan bula mudah pecah sehingga terbentuk ulser. Keparahan ulser dipicu dengan adanya trauma (gigi dan makanan) dan infeksi sekunder oleh flora mulut. Faktor ini dapat menyebabkan lesi memiliki penampakan spesifik pada mukosa oral. Vesikel adalah suatu benjolan berisi cairan, berbatas jelas dalam epidermis yang kurang dari 1 cm diameternya. Cairan vesikel umumnya terdiri atas limfe atau serum, tetapi juga dapat berisi darah. Dinding epitel dari vesikel adalah tipis dan akhirnya akan pecah, karenanya trerjadi suatu ulkus atau scar. ( Bricker et all, 1994). Bulla adalah suatu vesikel yang diameternya lebih dari 1 cm. Kondisi ini terjadi dari pengumpulan cairan dalam pertemuan epidermis-dermis atau celah pada epidermis. Ulkus adalah suatu luka terbuka dari kulit atau jaringan mukosa yang menperlihatkan disintegritas dan nekrosis jaringan yang sedikit demi sedikit. Ulkus meluas melalui lapisan basal dari epitel dan kedalam dermisnya, karena jaringan parut dapat mempengaaruhi penyembuhannya. Ulkus-ulkus biasanaya sakit dan sering kali memerlukan terapi obat topical agar terapi efektif. II. Nikolskiy sign Nikolsky sign dinamai dari dermatologis Russia Piotr Vasiliyevich Nikolskiy yang mendeskripsikannya pada tahun 1894.Nikolskiy sign yang positif menunjukkan pembelahan intraepidermal dan membedakan lepuh intraepidermal dari lepuh subepidermal. Tanda ini merupakan patognomonik dari pemfigus dan staphylococcal scalded skin syndrome.Nikolsky sign juga bisa dielisitasi pada ichthyosis bullosa of Siemens (yang jarang terjadi), di mana ia dinamakan sebagai `mauserung phenomenon'. .( James et all, 2005) Tanda ini dielisitasi dengan memberikan tekanan lateral dengan menggunakan ibu jari atau fingerpad pada kulit pada tonjolan tulang (bony prominence). Hal ini akan menyebabkan tekanan penggeseran yang akan memisahkan lapisan atas epidermis dari

lapisan bawah epidermis.Penghapus (rubber eraser) atau sebarang objek tumpul yang bisa mencengkeram kulit dengan utuh juga bisa digunakan. Nikolsky sign juga bisa dielisitasi pada mukosa oral dengan menggunakan penghapus atau swab kapas. .( James et all, 2005) Penyebab tersering:

Kondisi autoimun (Pemphigus vulgaris) Infeksi bakteri ( Scalded skin syndrome) Toxic drug reaction (Toxic epidermal necrolysis) Nikolskiy sign memberikan hasil positif pada fase aktif atau progresif penyakit

pemfigus. Bila tanda ini menjadi negatif pada pasien yang menerima terapi imunosupresif, hal ini memnunjukkan berakhirnya fase akut dari penyakit tersebut. Namun demikian, kemunculan kembali saat pengobatan menunjukkan terjadinya flare-up. Pasien ini akan memerlukan peningkatan dosis imunosupresan atau pemberian obat baru.( James et all, 2005) III. DIF (Direct Immunoflourescence) Sampel yang diambil dari biopsi diwarnai dengan cairan flouresens. Pemeriksaan ini dinamakan direct immunoflourescence (DIF). DIF menunjukan

deposit antibody imonureaktan lainnya secara in vivo, misalnya komplemen. DIF biasanya menunjukan IgG yang menempel pada permukaan keratinosit yang di dalam maupun sekitar lesi.(Hert, 2005)

IV.

Akantolisis Akantolisis adalah proses hilangnya jembatan antar sel pada sel-sel keratinosit terutama pada stratum spinosum sehingga menyebabkan terbentuknya rongga.

V.

Ulkus Ulkus merupakan lesi yang terbentuk oleh kerusakan lokal dari seluruh epidermis dan sebagian atau seluruh korium di bawahnya.

VI.

Pemphigus Vulgaris a. Definisi

Pemphigus vulgaris adalah penyakit autoimmune berupa bula yang bersifat kronik, dapat mengenai membran mukosa maupun kulit dan ditemukannya antibodi IgG yang bersirkulasi dan terikat pada permukaan sel keratinosit, menyebabkan timbulnya suatu reaksi pemisahan sel-sel epidermis diakibatkan karena tidak adanya kohesi antara sel-sel epidermis, proses ini disebut akantolisis dan akhirnya terbentuknya bula di suprabasal (Domonkos et al, 2000). b. Epidemiologi Pemphigus vulgaris tersebar di seluruh dunia, dapat mengenai semua ras, frekuensi hampir sama pada laki-laki dan perempuan. Pemphigus vulgaris merupakan bentuk yang sering dijumpai kira-kira 70 % dari semua kasus pemphigus, biasanya pada usia 50 60 tahun dan jarang pada anak-anak (Domonkos et al, 2000).

c. Prognosis Prognosis dari pemphigus tergantung pada usia penderita, onset dari gejala serta waktu pengobatan pertaa dilakukan, perluasan lesi serta dosis dari kortikosteroid yang digunakan untuk mengontrol penyakit tersebut. Sebelum dilakukan pengobatan dengan kortikosteroid, angka kematian akibat pemphigus ini cukup timggi yaitu 75% pada tahun pertama. Namun sekitar 5-10% diakibatkan dari efek samping terapi yang dilakukan (Lagha et al, 2005).

d. Diagnosis Diagnosis pemphigus vulgaris dapat ditegakkan melalui tindakan biopsi pada kulit penderita. Oleh karena beberapa lesi vesikulobulosa dan ulserasi memiliki tampilan yang serupa, seperti Pemphigoid, Lichen planus tipe erosif dan Erythema multiforme, maka penegakan diagnosis tidak hanya didasarkan pada pemeriksaan klinis. Untuk memastikan diagnosis Pemphigus vulgaris diperlukan pemeriksaan histopatologi, dengan karakteristik berupa cleft intra epitel atau akantolisis suprabasal dan sel epitel membulat, dikenal dengan Tzanck cells( rezeki,2009). Selain itu penegakkan diagnosis dari pemphigus vulgaris ini dapat dilakukan dengan pemeriksaan patologi dan tes immunofluorescene (Lagha et al, 2005). Dimana dengan pemeriksaan immunofluorescene direct, pemphigus vulgaris menunjukkan endapan antibodi IgG, C3 di substansi interselluler epidermis. Komplemen C3 tersebut

merupakan ciri-ciri bahwa lesi tersebut merupakan lesi yang masih dini (Malcolm et al, 1993).

e. Gambaran klinis Lesi awal dari pemphigus vulgaris ini biasanya tersembunyi dan terlokalisasi. Lesi yang terdapat pada mulut akan membentuk ulcer yang menyakitkan dan adanya sensasi seperti terbakar. Hal ini yang akan mempengaruhi penurunan nafsu makan pada penderita. Kulit akan terserang setelah beberapa minggu ataupun beberapa bulan setelah lesi pada mukosal itu tampak, dengan penampakan suatu lesi yang lunak dengan cairan di dalamnya. Lesi yang lunak ini mudah pecah dan akan membentuk erosi yang didukung oleh epidermal ring. Penekanan pada kulit yang sehat akan menyebabkan bula atau erosi berpindah, hal ini yang disebut dengan Nikolskys sign. Walaupun tanda ini disarankan untuk mendiagnosis pemphigus, namun tanda ini tidaklah spesifik dan terkadang tidak menunjukkan hasil (Lagha et al, 2005).

f. Patogenesis Antibodi IgG mengikat pemphigus vulgaris antigen yaitu desmoglein 3 pada permukaan sel keratinosit, mengakibatkan terbentuk dan dilepaskannya plasminogen activator sehingga merubah plasminogen menjadi plasmin. Plasmin yang terbentuk menyebabkan kerusakan desmosom sehingga terjadi penarikan tonofilamen dari sitoplasma keratinosit, akibatnya terjadi pemisahan selsel keratinosit (tidak adanya kohesi antara sel-sel) proses ini disebut akantolisis. Kemudian terbentuk celah di suprabasal dan akhirnya terbentuk bula yang sebenarnya (Burton & Rook, 1998).

g. Terapi Terapi yang dilakukan pada penderita pemphigus vulgaris ini tergantung dari elemen dari prognosis yang berpengaruh, seperti perluasan lesi dan level antibodi. Perawatannya diberikn dalam 2 fase, dimana fase pertama adalah loading phase yang berfungsi untuk mengontrol penyakit. Fase yang kedua adalah maintenance phase dimana akan dibagi lagi menjadi consolidation dan treatment tapering. Perawatan mendasar dari pemphigus ini terdiri dari kortikosteroid baik lokal maupun sistemik. Terapi kortikosteroid lokal digunakan pada kasus dimana PV tidak meluas dan lesi hanya terbatas pada kavitas oral. Kortikosteroid juga dapat diresepkan pada pasta gigi sebagai ointment atau mouthwash. Hal ini sebagai monoterapi atau terapi tambahan

dari pearawatan sistemik. Terapi kortikosteroid intralesu akan mempercepat pembentukkan jaringan parut dari lesi atau dapat juga digunakan untuk mengobati lesi yang persisten. Injeksi sublesional dapat diberikan setiap 7-15 hari dan perawatan dihentikan apabila setelah 3 kali injeksi namun tidak mnunjukkan hasil apapun. Pembentukkan jaringan parut ini diiringi dengan atrofi mukosal dan kutaneus, yang merupakan kekurangan dari perawatan ini. Terkadang pasien diberikan terapi tambahan dengan aplikasi topikal dari tracolimus. Jika pasien mempunyai lesi ekstraoral atau lesi oralnya sudah meluas maka kortikosteroid sistemik diberikan secepatnya. Dosis awal yang diberikan tergantung dari kekronisan dari lesi dan keparahan penyakit. Aplikasi harian dari prednison 0,5-2 mg/kg sangat

direkomendasikan. Dosisnya dapat dikurangin sampai dosis terapeutik tergantung dari responnya dan dapat diberikan satu dosis pada pagi hari untuk mengurangi efek sampingnya (Lagha et al, 2005).

VII.

Pemfigoid Bulosa a. Definisi Pemfigoid Bulosa (PB) adalah penyakit umum autoimun kronik yang ditandai oleh adanya bula subepidermal pada kulit. Penyakit ini biasanya diderita pada orang tua dengan erupsi bulosa disertai rasa gatal menyeluruh dan lebih jarang melibatkan mukosa, tetapi memiliki angka morbiditas yang tinggi.Namun presentasinya dapat polimorfik dan dapat terjadi kesalahan diagnosa, terutama pada tahap awal penyakit, di mana bula biasanya tidak ada.(1) Pemfigoid bulosa ditandai oleh adanya bula subepidermal yang besar dan berdinding tegang, dan pada pemeriksaan imunopatologik ditemukan C3 (komponen komplemen ke-3) pada epidermal basement membrane zone, IgG sirkulasi dan antibodi IgG yang terikat pada basement membrane zone.(2,3) Kondisi ini disebabkan oleh antibodi dan inflamasi abnormal terakumulasi di lapisan tertentu pada kulit atau selaput lendir. Lapisan jaringan ini disebut "membran basal. Antibodi (imunoglobulin) mengikat protein di membran basal disebut antigen hemidesmosomal pemfigoid bulosa dan ini menangkap sel-sel peradangan (kemotaksis).(3) Tidak ada akantolisis dan tidak ada tanda-tanda nikolsky. (Lynch dkk, 1994)

b. Insiden dan Epidemiologi

Sebagian besar pasien pemfigoid bulosa berumur lebih dari 60 tahun. Pemfigoid bulosa jarang terjadi pada anak-anak. Tidak diketahui prevalensi ras / etnis, jenis kelamin yang memiliki kecenderungan menderita pemfigoid bulosa. Insiden pemfigoid bulosa diperkirakan 7 per juta per tahun di Prancis dan Jerman.(2)

c. Etiologi Etiologinya adalah autoimunitas, tetapi penyebab yang menginduksi autoantibodi masih belum diketahui
(3),

namun beberapa hal yang diduga berpotensi menyebabkan

penyakit tersebut diantaranya : Sinar UV, terapi radiasi, obat-obatan terapi seperti furosemide, ibuprofen, agen anti inflamasi nonsteroidal, captopril, penicillamine, dan antibiotik (Stanley et al, 2008)

d. Patofisiologi Pemfigoid bulosa merupakan penyakit autoimun yang menyerang pada stratum basalis. Stratum basalis terdiri atas sel sel berbentuk kubus yang tersusun vertikal pada perbatasan dermo epidermal berbaris seperti pagar. Lapisan ini merupakan lapisan epidermis yang paling bawah. Lapisan ini terdiri atas dua jenis sel yaitu sel berbentuk kolumnar dan sel pembentuk melanin. Pada sel basal dalam membran basalis, terdapat hemidesmosom. Fungsi hemidesmosom adalah melekatkan sel sel basalis dengan membran basalis.(2,3) Pemfigoid bulosa adalah contoh penyakit autoimun dengan respon imun seluler dan humoral yang bersatu menyerang antigen pada membran basal.(5) Antigen pemfigoid bulosa merupakan protein yang terdapat pada hemidesmosom sel basal, diproduksi oleh sel basal dan merupakan bagian BMZ (basal membrane zone) epitel gepeng berlapis. Fungsi hemidesmosom ialah melekatkan sel-sel basal dengan membran basalis, strukturnya berbeda dengan desmosom.(3) Terdapat dua jenis antigen pemfigoid bulosa yaitu dengan berat molekul 230kD disebut PBAg1 (pemfigoid bulosa Antigen 1) atau PB230 dan 180 kD dinamakan PBAg2 atau PB180. PB230 lebih banyak ditemukan dari pada PB180.(3) Setelah pengikatan autoantibodi terhadap antigen target, pembentukan bula subepidermal terjadi melalui rentetan peristiwa yang melibatkan aktivasi komplemen, perekrutan sel inflamasi (terutama neutrofil dan eosinofil), dan pembebasan berbagai kemokin dan protease, seperti metaloproteinase matriks-9 dan neutrofil elastase. (1)

Studi ultrastruktural memperlihatkan pembentukan awal bula pada pemfigoid bulosa terjadi dalam lamina lusida, di antara membran basalis dan lamina densa. Terbentuknya bula pada tempat tersebut disebabkan hilangnya daya tarikan filament dan hemidesmosom.(2) Langkah awal dalam pembentukan bula adalah pengikatan antibodi terhadap antigen pemfigoid bulosa. Fiksasi IgG pada membran basal mengaktifkan jalur klasik komplemen. Aktivasi komplemen menyebabkan kemotaksis leukosit serta degranulasi sel mast. Produk-produk sel mast menyebabkan kemotaksis dari eosinofil melalui mediator seperti faktor kemotaktik eosinofil anafilaksis. Akhirnya, leukosit dan protease sel mast mengakibatkan pemisahan epidermis kulit. Sebagai contoh, eosinofil, sel inflamasi dominan di membran basal pada lesi pemfigoid bulosa, menghasilkan gelatinase yang memotong kolagen ekstraselular dari PBAG2, yang mungkin berkontribusi terhadap pembentukan bula.(2) e. Diagnosa Gambaran Klinis Fase Non Bulosa Manifestasi kulit pemfigoid bulosa bisa polimorfik. Dalam fase prodromal penyakit non-bulosa, tanda dan gejala cenderung tidak spesifik, seperti rasa gatal ringan sampai parah atau dalam hubungannya dengan eksema, papul dan atau urtikaria, serta ekskoriasi yang dapat bertahan selama beberapa minggu hingga bulan. Gejala non-spesifik ini bisa ditetapkan sebagai satu-satunya tanda-tanda penyakit.(1) Fase Bulosa Tahap bulosa dari pemfigoid bulosa ditandai oleh perkembangan vesikel dan bula pada kulit normal atau pun tampakan eritematus yang bersamaan dengan urtikaria dan infiltrat papul dan plak yang kadang-kadang membentuk pola melingkar. Bula tampak tegang, diameter 1 4 cm, berisi cairan bening, dan dapat bertahan selama beberapa hari, meninggalkan area erosi dan berkrusta. Lesi seringkali memiliki pola distribusi simetris, dan dominan pada aspek lentur anggota badan dan tungkai bawah, termasuk perut. Tidak ada akantolisis dan tidak ada tanda-tanda nikolsky yang positif. (16) Perubahan post inflamasi memberi gambaran hiperpigmentasi dan

hipopigmentasi serta miliar meskipun gambaran ini jarang. Keterlibatan mukosa

mulut diamati pada 10-30% pasien. Daerah mukosa hidung mata, faring, esofagus dan daerah anogenital lebih jarang terkena. (1) Lesi kulit Eritema, papul atau tipe lesi urtikaria mungkin mendahului pembentukan bula. Bula besar, tegang, oval atau bulat; mungkin timbul dalam kulit normal atau yang eritema dan mengandung cairan serosa atau hemoragik. Erupsi dapat bersifat lokal maupun generalisata, biasanya tersebar tapi juga berkelompok dalam pola serpiginosa dan arciform.(2) Tempat Predileksi Aksila; paha bagian medial, perut, fleksor lengan bawah, tungkai bawah. (2)

Pemeriksaan Laboratorium Pemfigoid bulosa harus dibedakan dengan pemfigus, dermatosis linear IgA, eritema multiform, erupsi obat, dermatitis herpetiformis dan epidermolisis bulosa. Penderita harus melakukan biopsi kulit dan titer antibodi serum untuk

membedakannya. Biopsi sangat penting untuk membedakan penyakit-penyakit ini karena mempunyai prognosis yang tidak sama.(3,9)

f. Histopatologi Kelainan awal pada pemfigoid bulosa yaitu terbentuknya celah di perbatasan dermal-epidermal, bula terletak di subepidermal, sel infiltrat yang utama adalah eosinofil.(9)

g. Imunologi Pada pemeriksaan imunofluoresensi terdapat endapan IgG dan C3 tersusun seperti pita di BMZ (Base Membrane Zone).(3) Pewarnaan Immunofluorescence langsung (DIF) menunjukkan deposit IgG, dan biasanya juga C3, dalam lesi dan paralesional kulit dan substansi intraseluler dari epidermis.(3)

h. Diagnosis Banding Pemfigus Vulgaris (PV) kebanyakan menyerang pada usia remaja dan dewasa. Erosi dan ulkus yang akut pada mukosa mulut antara 70-80% dari kasus. Umumnya lesi dapat muncul berbagai ukuran pada kulit yang normal. Lesi ini

bisa terdapat di seluruh tubuh, namun umumnya lesi ini muncul pada orang dengan posisi berbaring dimana terjadi tekanan dan gesekan sama halnya punggung, pantat dan kaki. Lesi mudah terjadi ruptur yang dapat menyebabkan erosi yang lebih luas dan krusta. Lesi ini akan menimbulkan sensasi nyeri jika tersentuh. Ketika lesi ini tertekan secara terus-menerus, cairan akan keluar ke perifer di sekitar lesi pada kulit yang normal (lesi phenomenadiffusion atau false Nikolskys sign). Erosi pada mulut dan mukosa esofagus dapat menyebabkan disfagia. Ketika erupsi telah terjadi, kelainan elektrolit terjadi yang dimana menyebabkan cairan tubuh menghilang (hipoproteinemia), hal ini bisa berbahaya jika terjadi infeksi sekunder. (11)

i. Penatalaksanaan Kortikosteroid umumnya diberikan secara oral maupun injeksi, dosis prednison 40 - 80 mg sehari, jika telah tampak perbaikan dosis diturunkan perlahan-lahan. Sebagian besar kasus dapat disembuhkan dengan kortikosteroid saja.(3,12) Jika pengobatan kortikosteroid belum menunjukkan perbaikan, dapat dipertimbangkan pemberian sitostatik yang dikombinasikan dengan

kortikosteroid untuk mengurangi efek samping dari kortikosteroid itu sendiri. Obat sitostatik merupakan terapi adjuvan karena bersifat imunosupresif. Yang termasuk obat ini adalah azatioprin, siklofosfamid, metrotreksat, dan mikofenolat mofetil. Obat yang lazim digunakan ialah azatioprin karena cukup bermanfaat dan tidak begitu toksik seperti siklofosfamid. Dosisnya 50-150 mg sehari atau 1-3 mg/kgBB. Obat sitostatik sebaiknya diberikan jika dosis prednison mencapai 80 mg. Jika telah tampak perbaikan dosis prednison diturunkan lebih dulu, kemudian dosis azatioprin diturunkan secara bertahap. Efek sampingnya di antaranya menekan sistem hematopoetik dan bersifat hepatotoksik. Mikrofenolat mofetil juga dikatakan lebih efektif daripada azatioprin karena efek toksiknya lebih sedikit. Dosisnya 2x1 g sehari.(2,3) Terapi steroid sistemik biasanya diperlukan, tetapi tidak seperti pemfigus, dimungkinkan untuk menghentikan terapi ini setelah 2 sampai 3 tahun. Dosis awal 20 - 40 mg prednison atau setara harus secara bertahap dikurangi ke jumlah minimum yang akan mengendalikan penyakit ini. Azatioprine juga berpotensi memberikan efek samping yang buruk seperti prednison. Suatu

penelitian menjelaskan jika glukokortikoid sistemik diberikan pada penderita dengan dosis tinggi tanpa dilakukan tapering selama 4 minggu, kombinasi dengan azatioprine kurang memberi manfaat tetapi sebaliknya penderita harus menanggung efek samping obat tersebut.(3) Terapi dosis tinggi metilprednisolon intravena juga dilaporkan efektif untuk mengontrol dengan cepat pembentukan bula yang aktif pada pemfigoid bulosa.(2) Pemfigoid bulosa dianggap sebagai penyakit autoimunitas , oleh karena itu memerlukan pengobatan yang lama. Sebagian penderita akan mengalami efek samping kortikosteroid sistemik sehingga harus dikombinasikan untuk mengurangi efek sampingnya.(3)

j. Prognosis Pemfigoid bulosa umumnya memberikan respon yang baik jika diobati, tetapi kebanyakan pasien yang telah berhenti beberapa tahun namun penyakit ini kembali setelah pengobatan berhenti. Usia tua dan kondisi umum yang buruk telah terbukti secara signifikan mempengaruhi prognosis. Secara historis, dinyatakan bahwa prognosis pasien dengan pemfigoid bulosa jauh lebih baik dari pasien dengan pemfigus, terutama pemfigus vulgaris dengan pemfigoid bulosa dimana tingkat mortalitasnya sekitar 25% untuk pasien yang tidak diobati dan sekitar 95% untuk pasien dengan penyakit pemfigus vulgaris saja tanpa pengobatan. Dalam beberapa dekade terakhir, beberapa penelitian di Eropa pada kasus pemfigoid bulosa menunjukkan bahwa dengan perawatan, pasien pemfigoid bulosa memiliki prognosa seburuk penyakit jantung tahap akhir, dengan lebih dari 40% pasien meninggal dunia dalam kurun 12 bulan. Dari studi terbaru, kemungkinan bahwa penyakit penyerta dan pola praktek (penggunaan kortikosteroid sistemik dan / atau obat imunosupresif) juga mempengaruhi keseluruhan morbiditas dan mortalitas penyakit ini. (1,12,13,14,15)

VIII.

Mucous Membrane Pemphigoid (MMP) a. Definisi Merupakan penyakit kronik yang tidak biasa yang dapat menyebabkan bulla dan erosi yang menyakitkan. Lesi ini jarang tersebar luas dan perkembangannya lambat. Desquamative gingivitis dapat menjadi manifestasinya. Bulla yang utuh

tidak selalu terlihat. Kehancuran erosi meninggalkan ulcer dengan garis tepi yang jelas. Erosi yang lebih lanjut dapat tumbuh tidak jauh dan proses ini dapat bertahan selama setahun atau lebih. Lesi tersebut membatasi dalam daerah mulut untuk waktu yang sangat panjang dan tidak pernah melibatkan tempat lain (Cawson & Odell, 2008). MMP adalah penyakit autoimun kronis subepitel yang mempengaruhi selaput lendir pasien di atas usia 50, sehingga lecet mukosa, ulserasi, dan selanjutnya jaringan parut (Burket, et al, 2008). Mucous membrane pemphigoid adalah penyakit kronis yang tidak umum terjadi pada masyarakat, yang berupa bulla dan membentuk erosi serta menimbulkan rasa sakit. Mucous membrane pemphigoid adalah penyakit autoimun yang idiopatik dan tidak menular. Mucous membrane pemphigoid biasanya menyerang orang tua dengan perbandingan prevalensi pria berbanding wanita adalah 1:2 (DeLong dan Burkhart, 2008). MMP merupakan penyakit autoimun subhepitelial yang kronis yang terjadinya 2x lebih besar pada wanita daripada pria dan menyerang membran mukosa seseorang dengan usia pada umumnya di atas 50 tahun yang menyebabkan timbulnya bulla, ulcer, dan juga lesi (Greenberg, dkk, 2008).

b. Etiologi dan Patogenesis Lesi utama MMP terjadi ketika autoantibodi diarahkan terhadap protein di zona membran basalis, bertindak dengan komplemen (C3) dan neutrofil, yang kemudian menyebabkan perpecahan subepitel dan pembentukan vesikula (Burket, et al, 2008). MMP adalah kelainan tipe autoimun, secara imunologi digolongkan menurut: 1. Pengendapan immunoglobulin dan komponen komplemen pada epitel basement membrane zone (BMZ), menunjukkan bahwa antibody diatur berlawanan dengan membran dasar. 2. Sirkulasi autoantibodi kepada komponen BMZ 3. Endapan pada epitel BMZ yang secara klasik pada jenis IgG (97%) with C3 (78%), tapi terkadang IgA (27%) atau IgM (12%). Tambahan ini menunjukkan bahwa hal ini merupakan kelompok berbagai macam jenis kelainan. (Scully, 2004)

Patogenesis penyakit ini adalah antibody menyerang membrane basal dan melemahkan perlekatan jaringan ikat. Pembentukan bulla terjadi pada area subepitel diantara jaringan ikat dan membrane basalis. Pada dasar bulla terdapat sel-selinflamasi (DeLong dan Burkhart, 2008). Pada MMP terdapat lesi bulosa subepitel dengan lapisan sel basal utuh di atap. Pada submukosa pada lesi awal menunjukkan peradangan minimal. antigen target MMP adalah heterogen dan biasanya diterjemahkan ke lamina lucida. DIF menunjukkan distribusi basement linear IgG, komplemen fraksi 3, dan IgA (IgA linear penyakit) (Eversole, 2011). MMP tampaknya disebabkan oleh antibodi yang menargetkan membran basal dan menyebabkan melemahnya lampiran ke jaringan ikat yang mendasari. pada penyakit ini, pembentukan bula terjadi di daerah subepitel antara jaringan ikat dan membran basal. histologi menunjukkan gangguan, dengan pemisahan lapisan sel basal dari jaringan ikat yang mendasari (DeLong and Burkhart, 2008 ). Bagian khas dari MMP : 1. Menyerang wanita dan biasanya usia tua 2. Mukosa mulut sering terserang pertama kali 3. Keterlibatan mata dapat menyebabkan scarring dan kebutaan 4. Keterlibatan kulit sedikit atau tidak pernah 5. Tidak aktif, bukan penyakit yang menyebabkan kematian 6. Bulla mulut merupakan subepitel dan terlihat utuh (Cawson & Odell, 2008)

Pada MMP jinak, gangguan bulosa menunjukkan bula oral yang luas pada basis eritematosa. symblepharon terlihat melintasi konjungtiva palpebral dan bulbar (Eversole, 2011). Terbentuk bulla pada area subepitelial antara jartingan ikat dan juga membran basali. Kemudian terjadi pemisahan antara keduanya sehingga tampak terbentuk celah. Hal ini karena peruibahan komplemen C3 dan neutrofil oleh karena antibodi yang melawan protein di membrana basalis (Greenberg,dkk, 2008).

c. Manifestasi Pada ekstraoral, penyakit ini dapat menyerang membrane mukosa lain, contohnya pada kulit, hidung, uretra, dan esophagus. Bulla biasanya short-lived,

cepat pecah dan mengalami deskuamasi, kemudian meninggalkan bekas yang eritematus (Cawson dan Odell, 2008). Lesi mata adalah karakteristik pada MMP, dan ketika dilakukan pemeriksaan oral biopsi ditemukan bula subepitel, diagnosis klinikopatologi dapat diperoleh dengan pasti (Eversole, 2011). Bula oral berkembang secara perlahan dan bervariasi dalam ukuran, mereka adalah runcing/tegang atau plak seperti agar-agar. Deskuamasi gingiva juga sering ditemukan. lesi mata ditemukan pada kedua conjunctivas palpebral dan bulbar dan cenderung sembuh dengan membentuk jaringan parut (Eversole, 2011). Conjungtiva adalah bagian kedua yang paling sering terserang mucous membrane pemphigoid dan dapat berkembang menjadi adesi dan luka antara bulbar dan palpebral conjungtiva yang disebut symblepharon. Lesi juga dapat menyerang mukosa genital, menyebabkan nyeri atau sakit serta disfungsi seksual. Terhadap laring, dapat mengakibatkan sakit atau nyeri, serak, sulit bernapas, sedangkan pada faring dapat menyebabkan dysphagia, yang dapat menuntun kepada kelemahan dan kematian pada bebrapa kasus. Biasanya terdapat lesi kulit pada kepala dan leher, pada 20 sampai 30% pasien (Greenberg, dkk, 2008). Rongga mulut dan conjunctivas adalah situs disukai, meskipun faring, lesi dubur, dan vagina yang hadir di sebagian dari salah satu pasien (Eversole, 2011). Pada intraoral, penyakit ini biasanya membuat jaringan mukosa eritematus, jaringan gingiva memerah dan biasanya terjadi gingivitis deskuamatif, jaringan mudah terkelupas, dan meninggalkan bekas yang sakit, eritema, ataupun permukaan yang ulseratif (Cawson dan Odell, 2008). Pada oral, lesi gingiva desquamative yang terjadi menyerupai lesi pada erosive lichen planus dan pemphigus, sehingga lebih baik dilakukan biopsy dan pemeriksaan histologist dan DIF untuk menentukan diagnosis yang benar. Lesi dapat muncul sebagai vesikel dari gingiva atau mukosa oral, namun biasanya muncul sebagai erosi yang non-spesifik, menyebar lebih lambat dari pemphigus, dan self-limiting (Greenberg, dkk, 2008).

d. Pemeriksaan Penunjang Diagnosis diperkuat dengan biopsi dan mikroskop immunofluoresence, namun lebih disukai untuk didapatkan vesikel atau bulla yang utuh. Dikarenakan

kemungkinan resiko untuk melihat, pemeriksaan ocular penting jika perubahan pada awal diduga di dalam mata (Cawson & Odell, 2008). Secara histologi, MMP digolongkan menurut pemisahan junctional pada epitel BMZ memberikan kenaikan ke pecahan sub-basilar sebagai bentuk lain dari pemphigoid. Kemungkinan besar patogenesisnya termasuk

pengambilan complement-mediated pada leukosit, dengan yang dihasilkan sitokin dan enzim leukosit melepaskan dan memisahkan sel basal dari BMZ (Scully, 2004). Apabila dilakukan uji Nikolsky pada penyakit ini, maka akan didapatkan harga yang positif. Selain itu, diagnosis juga dapat dipastikan dengan biopsy (Cawson dan Odell, 2008).

e. Treatment/ Manajemen Menejemen MMP tergantung dari keparahan dari gejala dan tempat yang terlibat. Ketika lesi berbatas pada oral mukosa, menggunakan kortikosteroid sistemik hanya dipertimbangkan untuk periode singkat waktu keparahan pecahnya sampai pembentukan toxic berkurang terapi dapat diganti. Kecuali pemphigus, MMP merupakan penyakit fatal yang jarang dan penggunaan steroid sistemik jangka panjang untuk lesi oral involvement merupakan indikasi yang jarang. Pasien dengan lesi oral yang ringan dirawat dengan topikal dan itralesional steroid. Desquamative gingivitis dapat dirawat dengan steroid topikal pada soft dental splint yang menutupi gingiva, meskipun klinisi menggunakan steroid topikal pada area mukosa yang luas memonitor pasien karena efek samping candidiasisdan efek absorbsi sistemik. Ketika topikal dan intralesional steroid tidak berhasil, gunakan tetracycline, doxycycline, atau minocycline lebih membantu dalam mengontrol desquamative gingivitis dan lesi oral lainnya. Saat terdapat lesi oral yang parah, dengan keterlibatan conjunctiva dan laryngeal, dapsome terapi direkomendasikan steroid Karena sistemik dapson sebagai jangka pilihan selanjutnya atau sebelum obat dan

mempertimbangkan immunosuppresive. methemoglobinemia,

panjang

terapi

menyebabkan

hemolysis

defisiensi

glukosa-6-phosphate

dehydrogenase

dikesampingkan dan hemoglobin pasien harus dimonitor. Efek samping yang jarang pada dapson lainnya adalah dapson hypersensitivity syndrome, penyakit idiosinkratik dengan karakteristik demam, lymphadenopathy, skin eruptions, dan

kadang-kadang dengan keterlibatan liver. Pasien resisten dapson dirawat dengan kombinasi kortikosteroid sistemik dan obat-obatan immunosuppresive, khususnya terdapat resiko kebutaan dari keterlibatan conjunctiva atau kerusakan laryngeal dan esophageal yang berarti. Terapi dosis tinggi intravena telah ditunjukkan pada beberapa kasus terapi adjuvant efektif pada pasien yang resisten terhadap terapi konvensional, meskipun kontrol percobaan belum selesai. MMP terbatas pada mukosa mulut yang kekerasannya cukup atau lembut sebaiknya diobati dengan dapsone sebagai pengobatan pertama dalam steroid sistemik. Meskipun demikian, efek samping dapat membatasi pengobatan. Penyakit ringan dapat dengan efektif dapat dikendalikan dengan kortikosteroid topical. Dosisnya kecil dan tanpa efek sistemik. Keterlibatan mata minor juga bereaksi terhadap dapsone, tetapi penyakit mata yang parah membutuhkan immunosuppresi yang besar dengan steroid dan azathioprine, cyclophosphamide atau mycophenylate mofetil (Cawson & Odell, 2008). MMP terkait dengan epiligrin telah dilaporkan membawa risiko yang lebih tinggi dari asosiasi dengan keganasan, namun bukti untuk ini tidak konklusif. Penelitian lebih lanjut diperlukan mengenai kemungkinan asosiasi pemfigoid dengan keganasan, dan dokter harus mempertimbangkan rujukan untuk menyingkirkan kemungkinan keganasan pada pasien yang baru didiagnosis MMP (Greenberg,dkk,2008).

IX.

Dermatitis Hepertiformis a. Definisi Dermatitis herpetiformis (DH) atau dikenal juga sebagai Morbus Duhring merupakan suatu penyakit vesikobulosa autoimun yang berhubungan dengan glutensensitive enteropathy (GSE). Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Dr. Louis Duhring pada tahun 1884, yang ditandai dengan papul dan vesikel, plak, urtikaria, eritematous dan kelompok ekskoriasi pada daerah ekstensor, siku, lutut, bokong dan punggung yang terdistribusi secara simetris (Kariosntono, 2000).

b. Epidemiologi Dermatitis Herpetiformis (Penyakit Duhring) ini bisa terjadi pada semua umur, termasuk anak-anak. Namun paling sering dijumpai pada dekade 2 4 yaitu usia 20 tahun hingga 40 tahun (Amiruddin , 2003).

c. Etiologi dan Patogenesis Dermatitis herpetiformis merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh deposit IgA pada papilla dermis yang dicetuskan melalui proses imunologis, melibatkan infiltrasi neutrofil dan aktivasi komplemen. Teori menyebutkan bahwa dermatitis herpetiformis adalah hasil respon imunologik dari paparan kronik pada sel mukosa gastrointestinal oleh bahan gluten dengan aktivasi bertahap pada sel endotel pembuluh darah kulit dan sel-sel inflamasi, termasuk neutrofil (Miller , 2007). Adanya autoantibodi terhadap epidermal transglutaminase (TGase),

memegang peranan penting pada patogenesis pasien dermatitis herpetiformis. TGase adalah suatu enzim yang dihasilkan pada dinding sel selama diferensiasi keratinosit. Selain pada epidermis, enzim transglutaminase juga dihasilkan pada berbagai jaringan tubuh lainnya, termasuk pada saluran pencernaan (Miller, 2007).

d. Gejala Klinis Lesi awal dari DH adalah papul eritematous, plak urtikaria atau lebih sering dengan bentuk vesikel yang berkelompok yang muncul pada beberapa tempat, bisa juga lesinya muncul tidak berkelompok. Bentuk vesikel lebih sering ditemukan pada telapak tangan, bisa disertai dengan perdarahan. Jika berlangsung lama akan disertai hiperpigmentasi atau hipopigmentasi. Pasien bisa datang hanya dengan lesi krusta, jika lesi-lesi primer sudah tidak muncul lagi atau hilang. Gejala klinis DH sangat bervariasi mulai dari rasa sensasi terbakar yang berat dan gatal yang sangat hebat (Siregar ,2004).

e. Prognosis Penyakit ini dapat berlangsung lama dengan proses eksaserbasi dan remisi. 10% penderita akan mengalami remisi.

BAB III MIND MAP

BAB IV PEMBAHASAN

BAB V KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA
Amiruddin DM. Dermatitis Herpetiformis. Dalam :Amiruddin DM, editor. Ilmu Penyakit Kulit. Makassar: Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin FKUH; 2003.p.337-43. Andrews. Clinical Dermatology. Diseases of the Skin. 10th ed: Saundres; 2006. Wojnarowska F, Venning VA, editors. Rooks Textbook of Dermatology Vol. II, 8thEd. Oxford: Blackwell Publishing Company; 2010. Page 40.32-40.33. Berman K, Zieve D. Atlanta Center for Dermatologic Disease. [may 2011; cited 2012 27 Februari]; Available from: http:// MedlinePlus Medical Encyclopedia.mht. Lynch dkk. 1994. Burket Ilmu Penyakit Mulut, Edisi 8. Binarupa Aksara: Jakarta.

Borradori L, Bernard P. Bullous pemphigoid in Bolognia. In: Jorizzo JL, Rapini JL, editors. Dermatology. 2nd ed: Mosby. chapter. 29. Bricker S.L., Langlais R.P.,Miller, C.S., 1994, Oral Diagnosis, Oral Medicine, and Treatment Planning, 2nd edition, Lea & Febiger a Waverly Company, USA. Bullous Pemphigoid. American Osteopathic College of Dermatology [cited]; from: http://www.aocd.com/index.html/ed. Available

Burket L. W, Greenberg M. S, et al. 2008. Burkets Oral medicines, 11th Ed. BC Decker Inc : India.

Burton JL and Rook. 1998. Bullous Eruption in :Textbook of Dermatology. 6th edition. Blackwell Science.
Cawson RA, Odell EW. 2008. Cawson's Essential of Oral Pathology and Oral Medicine. Elsevier: Philadelphia. DeLong L, Burkhart N W. 2008. General and Oral pathology for Dental Hyginiest. Lippincott William and Wilkins: Philadelphia.

Djuanda A. Pemfigoid Bulosa. In: Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: Balai penerbit FK-UI; 2010. p. 210-1. Domonkos AN, Arnold HN, Odom RD. 2000. Chronik Blistering Dermatoses in Andrews Disease of the skin. 7thedition. Philadelphia: W.B. Saunders Company.
Eversole Lewis R. 2011. Clinical Outline of Oral Pathology: Diagnosis and treatment, 4th Ed. Peoples Medical Publishing House : USA. Greenberg MS, Glick M, and Ship JA. 2008. Burkets Oral Medicine, eleventh edition. BC Decker Inc: Ontario.

Habif T. Clinical Dermatology. A Color Guide to Diagnosis and Therapy. 4th ed: Mosby; 2003.

Hert M, ed. Autoimmune disease of the skin: pathogenesis,diagnosis,management. 2nd revised edition.Austria : Springer-verlag Wien; 2005;60-79.

James, William; Berger, Timothy; Elston, Dirk (2005) Andrews' Diseases of the Skin: Clinical Dermatology (10th ed.). Saunders. Page 16. ISBN 0-7216-2921-0. John RS. Pemphigus in Freedberg. In: Eisen, Wolff, Austen, Goldsmith, Katz SI, leditors. Fitzpatrick's Dermatology In General Medicine. 7th ed. New York: McGraw-Hill; 2008.

Kariosntono H. Dermatitis Herpetiformis (Penyakit Duhring). Dalam: Harahap M, editor. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates; 2000.p.139-41. Lagha NB, et al. 2005. Phemphigus Vulgaris: A Case-Based Update. J Can Dent Assoc. 71(9):667-72. Malcolm AL, Vemon JB, Martin SG. 1993. Ilmu Penyakit Mulut: Diagnosis dan Terapi. edisi kedelapan Jilid I. Jakarta: Binarupa Aksara. Miller, Jami. Dermatitis herpetiformis. eMedicine. [serial online] 2007 mei. [citied September 20]. Available from URL http://www.eMedicine.com Opeola M, Clerk BKD. Dermatology for Skin of Color. New York: McGraw-Hill; 2009. Bullous Pemphigoid. Histopatology [Feb 2010; cited 2012 27 Februari]; Available from: http://www.google.com/histopatology.html
Scully, C.M. 2004.Oral and Maxillofacial Diseases, 3rd Ed. Taylor and Francis: United Kingdom.

Shimizu H, editors. Shimizu Textbook of Dermatology. Japan: Hokkaido University Press; 2007. Siregar RS. Dermatitis Herpetiformis. Dalam : Hartono H, editor. Saripati Pennyakit Kulit Jakarta: EGC;2004.p.196-7 Swerlick AR, Korman JN. Bullous Pemphigoid. ; 2007 [updated 2007 04 May 2007; cited 2012 27 Februari ]; Available from: www.nature.com/jid/journal/v122/n5/index.html.ed Bernard P, Ziar R. RiskFactors for Relapse in Patient with Bullous Pemhigoid in Clinical Remission. [may 2009; cited 2012 27 Februari]; Available from: http://www.archderm.ama-assn.org. Wolff K, Johnson RA. Fitzpatrick's Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology. 6th ed. New York: McGraw-Hill; 2007. Zillikens D, Kasperkiewicz M. The Pathophysiology of Bullous Pemphigoid [July 2007; cited 2012 27 Februari]; Available from: http:// www.google.co.id/Clinic Rev Allerg Immunol

Anda mungkin juga menyukai