Anda di halaman 1dari 15

RESPONSI

PEMFIGUS VULGARIS

Oleh :
Dessy Rachmawati
G99161031

Pembimbing :
Dr. Triasari Oktavriana, MSc., SpKK.

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2017
STATUS RESPONSI
ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
Pembimbing : dr. Triasari Oktavriana, MSc, SpKK
Nama Mahasiswa : Dessy Rachmawati
NIM : G99161031

PEMFIGUS VULGARIS

1. DEFINISI
Pemfigus vulgaris merupakan penyakit autoimun dengan manifestasi berupa
kondisi vesikobulosa yang diawali dengan bula dan erosi di mukosa oral pada 50% kasu
kemudian diikuti dengan lesi yang meluas ke permukaan kulit dan mukosa. Penyakit ini
berlangsung secara kronik dimana durasi penyakit rata-rata sekitar 10 tahun (Tamgadge et
al, 2012; Kuyama, 2012).

2. EPIDEMIOLOGI
Pemfigus vulgaris merupakan penyakit yang langka terjadi dengan jumlah kasus
0,5-3,2 tiap 100.000 jiwa setiap tahun. Penyakit ini sering terjadi pada orang tua di rentang
usia 50 hingga 60 tahun dan jarang ditemukan pada usia anak-anak dan dewasa, dengan
rasio laki-laki dan perempuan sebesar 1:2 (Hasan et al, 2013). Berdasarkan beberapa
penelitian, penyakit pemfigus vulgaris sering ditemukan pada populasi suku mediterania,
Yahudi, dan Asia ( khususnya India dan Jepang), yang menunjukkan beberapa predisposisi
genetik. Hal ini berhubungan dengan keterlibatan alel HLA I dan II, dimana alel HLA II
sangat penting untuk pengenalan antigen oleh limfosit T (Martinez et al, 2010).

3. ETIOLOGI
Etiologi dari pemfigus vulgaris belum diketahui secara jelas. Faktor predisposisi
genetik yang berhubungan dengan alel HLA II mungkin terjadi, yang sering kali dijumpai
pada kelompok etnis tertentu seperti Yahudi dan Mediterania. Beberapa faktor pemicu lain
yang berperan termasuk :
a. Obat
Angiotensin-converting enzymes inhibitors

2
Penicillamin (secara imunologi disebabkan oleh grup sulphydryl yang
menyerupai struktur molekul dari desmoglein 3; reaksi silang)
Rifampicin
Fenil butazon
b. Radiasi
c. Pembedahan
d. Diet terutama bawang putih
e. Faktor stres emosional
f. Virus HHV 8
g. Paparan pestisida
h. Kehamilan
(Hasan et al, 2013)

5. PATOGENESIS
Pemfigus vulgaris merupakan penyakit autoimun dimana terbentuk autoantibodi
yang menyerang desmosom (protein adhesi), terutama desmoglein 3. Komponen penting
lain dari desmosom adalah desmoglein 1. Desmoglein 3 secara predominan terdapat pada
epitel mulut/oral sedangkan desmoglein 1 dan desmoglein3 keduanya terekspresi pada
kulit (meskipun desmoglein1 lebih sering terdapat pada lapisan superfisial sedangkan
desmoglein 3 ditemukan lebih banyak pada lapisan basalis dan suprabasalis). Desmoglein
1 dan desmoglein 3 merupakan komponen dari cadherin desmosom yang berperan dalam
mengikat sel-sel epitel bersamaan. Kehilangan fungsi dari adhesi antara sel-sel spinosum
menyebabkan antibodi anti-desmoglein 3 menghasilkan formasi bula secara cepat pada
regio suprabasalis (Tamgadge et al, 2012).
Manifestasi ini muncul pada tahap awal penyakit dengan kerutan pada kulit yang
sehat di bawah tekanan dan selanjutnya menimbulkan lesi pada kulit, yang disebut tanda
Nikolsky langsung. Lesi primer adalah berupa bula berdinding tipis, ukuran beberapa
sentimeter, yang berisi cairan bening, muncul pada kedua kulit normal dan eritematosa. Di
bawah tekanan, bula akan melepaskan isinya ke epidermis sekitarnya dan membuat ukuran
lesi semakin luas. Proses ini merupakan tanda Nikolsky tidak langsung. Penyembuhan
sangat lambat, tetapi tidak menimbulkan bekas luka yang persisten. Pada mukosa
mulut,muncul bula yang terisi oleh cairan tetapi tidak menimbulkan peradangan. Ketika

3
dinding epitel dari bula pecah dan menjadi terpisah, lesi berkembang menjadi datar disertai
nyeri tekan. Lesi yang tertutup maupun tidak tertutupi dengan fibrin akan dipenetrasi oleh
sel-sel leukosit (Tamgadge et al, 2012).
Reaksi antigen-antibodi mengaktifkan sistem komplemen yang menyebabkan
proses akantolisis dan akumulasi cairan dan karakteristik lesi vesikobulosa. Beberapa teori
terakhir menyebutkan bahwa akantolisis pada pemfigus vulgaris terjadi sebagai proses
aktif yang terbentuk dari sinyal intraseluler yang dipicu akibat ikatan antara imunoglobulin
(IgG) dengan antigen membran keratinosit pada reseptor ligan. Baru-baru ini, ikatan antara
autoantibodi nondesmoglein dengan reseptor kolinergik (reseptor asetilkolin human alfa 9)
telah juga ditemukan dapat menginduksi gambaran klinis dari pemfigus vulgaris. Selain itu
juga telah disebutkan peranan dari TNF alfa dan IL-2 sebagai mediator dalam proses
pembentukan bula pada pemfigus vulgaris ( Hasan et al, 2013).

6. MANIFESTASI KLINIS
Lesi oral merupakan manifestasi pertama dari 50-90% kasus pemfigus vulgaris.
Pada pasien dengan diawali onset lesi oral, gejala ini akan menetap selama 2-6 bulan
hingga lesi di kulit muncul. Bula oral memiliki atap yang sangat tipis dan mudah ruptur
karena trauma oral, menyebabkan terbentuknya erosi dan ulkus perdarahan multipel
yang nyeri dan susah disembuhkan. Pada kondisi ini, pasien akan mengeluhkan nyeri di
cavitas oral dan sensasi terbakar, khususnya ketika makan makanan yang pedas dan
asam. Bula ini akan muncul di berbagai lokasi pada mukosa oral meskipun paling sering
muncul pada palatum mole, mukosa buccae, lidah ventral, gusi dan bibir bawah
(Kuriachan et al, 2015).
Erosi yang multipel dan persisten muncul pada mukosa oral selama stadium awal
pemfigus vulgaris. Dengan berkembangnya perjalanan penyakit, deskuamasi atau erosi
ginggivitis dapat ditemukan. Menifestasi lain dari oral termasuk halitosis, sialorea, dan
krusta kecoklatan atau kehitaman dengan tepi merah terang.
Pemfigus vulgaris dapat menyerang mukosa yang lain disamping mukosa oral,
termasuk konjungtiva, nasal, faring, laring, esofagus, genital dan anal. Bula secara
simultan akan muncul pada permukaan kulit meskipun sering terjadi asimtomatik dan
tidak disertai pruritus. Pada hakekatnya, semua (99%) yang berhubungan dengan lesi
kutaneus didiagnosa dalam kurun waktu 6 bulan. deteksi dari lesi oral pada onset awal
penyakit ini akan berguna dalam diagnosis dan terapi, dan memperbaiki prognosis

4
pasien. Pemfigus vulgaris sering berlangsung kronis, dengan peningkatan derajat
keparahan progresif, yang dapat mengancam jiwa apabila tidak diterapi karena
berhubungan dengan dehidrasi, kehilangan protein dan infeksi oportunistik ( Martinez et
al, 2010).

7. DIAGNOSIS
Diagnosis pemfigus vulgaris ditentukan berdasarkan 3 kriteria yaitu manifestasi
klinis, tes histologi dan tes imunologi. Penyakit mukokutaneus autoimun kronis ini sering
terlambat didiagnosa ketika manifestasi hanya timbul sebatas cavitas oral dan diagnosis
baru terkonfirmasi menggunakan pemeriksaan patologi dan tes direct immunifluorescence
(DIF) pada mukosa perilesi yang sehat dari pasien pemfigus vulgaris (Hasan et al, 2013).
Pemeriksaan fisik pemfigus vulgaris ditetapkan dengan mengamati gambaran klinis
penyakit berupa bula dan atau vesikel yang berdinding tipis dan flasid yang biasanya
ruptur meninggalkan area ulkus dan erosi. Pada bibir biasanya ditutupi dengan krusta
haemoragik yang tebal. Pada fase lanjut, lesi akan menyerupai eritema multiforme
(Rastogi et al, 2014).
Pemeriksaan Nikolskys sign dilakukan dengan memberikan tekanan geser pada
kulit normal di antara lesi atau bula dengan jari tangan. Hasil positif ketika terjadi erosi
atau perluasan bula ke arah lateral karena terjadi gangguan pada adhesi intraseluler.
Nikolskys sign positif pada pemfigus vulgaris, sedangkan pada penyakit dengan gangguan
vesikobulosa subdermal tandaini tidak khas.
Pemeriksaan tzanck dilakukan untuk mengidentifikasi akantolisis pada pemfigus
vulgaris. Prosedur pemeriksaan tzanck adalah dengan menusukkan jarum steril pada dasar
bula, kemudian dilakukan apusan pada dasar bula yang mengandung sel akantolitik pada
slide. Pemeriksaan mikroskopis dilakukan setelah slide dilakukan pewarnaan
menggunakan leishman stain. Dari hasil pengamatan mikroskop akan tampak Tzanck cells
yang berbentuk detachment, disintegration and dissolution dari sel squamous normal
(Rastogi et al, 2014).
Pemeriksaan histopatologi atau biopsi tetap dilakukan untuk menegakkan diagnosis
pasti. Hal ini karena dari hasil pemeriksaan tzanck tidak spesifik untuk pemfigus vulgaris
karena sel akantolitik mungkin juga muncup pada penyakit lain seperti impetigo, Dariers
disease dermatosis akantolitik, infeksi virus dan karsinoma. Biopsi dilakukan dengan

5
memilih area yang terhindar dari jaringan ulkus. Biopsi pungsi dilakukan pada kulit di tepi
bula dengan menusukkan jarum sedalam 3-4 mm untuk mendapatkan spesimen yang
adekuat. Dari hasil biopsi akan ditemukan gambaran berupa cleft intra epitel atau
akantolisis suprabasal dan sel epitel membulat, yang dikenal sengan Tzanck cells atau
akantolisis cells.
Direct immunofluorescence (DIF) merupakan metode yang digunakan untuk
mendeteksi antibodi IgG pada spasium intraseluler dari epitel atau dermis dan sirkulasi
antibodi di dalam serum (Rastogi et al, 2014).

Diagram 1. Prosedur DIF

Tabel 1. Hasil pemeriksaan DIF pada beberapa penyakit vesikobulosa

6
9. DIAGNOSIS BANDING
1. Pemfigus foliaseus
2. Pemfigoid bulosa
3. Eritema multiformis

10. PENATALAKSANAAN

Tujuan dari terapi farmakologis pada pemfigus vulgaris adalah untuk mengurangi
renspon inflamasi dan produksi dari autoantibodi.
a. Steroid
Kortikosteroid sistemik masih menjadi terapi pilihan pertama pada
pemfigus vulgaris. Terapi kontrol diberikan selama beberapa minggu, dan remisi
sempurna membutuhkan waktu beberapa bulan hingga satu tahun terapi.
Berdasarkan pedoman dari EDF dan European Academy of dermatology and
Venerology merekomendasikan dosis prednisolon sebagai terapi inisiasi sebesar
0,5 mg-1,5 mg/kgBBdan jika kontrol dari penyakit tidak tercapai dalam waktu 2
minggu, dosis prednisolon ditingkatkan sampai 2 mg/kgBB. Dosis terapi dapat
di tapering off sampai 25% dosis awal ketika sudah tampak penyembuhan lesi
secara luas.
Kortikosteroid dapat dikombinasikan dengan agen imunosupresan ketika
komplikasi oleh karena penggunaan lama (> 4 bulan) seperti hipertensi, diabetes
melitus, dan osteoporosis muncul. Berdasarkan penelitian terdahulu, terapi
adjuvan dengan azathioprine, mycophenolate mofetil (MMF), siklofosfamid,
siklosporin, intravenous immunoglobulin (IVIG), pengganti plasma dan
infliximab pada pasien pemfigus vulgaris tidak bermanfaat dalam mencapai
remisi penyakit, tetapi temuan lain menunjukkan bahwa terapi adjuvan ini
menurunkan resiko kambuh sebesar 29%.
b. Terapi adjuvan
Terapi adjuvan diberikan ketika terpai kortikoteroid gagal menginduksi remisi
atau terjaid efek samping berat dari kortikosteroid, atau untuk kasus-kasus
dengan kontraindikasi penggunaan kortikosteroid. Terapi adjuvan ini merupakan
obat-obatan immunosupresif, antara lain siklofosfamid, azathioprin, mikofenolat
mofetil, metotreksat dan siklosporin. Terapi awal dapat dimulai dengan

7
kombinasi kortikosteroid dengan obat immunosupresif untuk menurunkan dosis
kortikosteroid.
Azathioprin merupakan terapi adjuvan pilihan pertama berdasarkan
pedoman EDF. Dosis bervariasi antara 1 dan 2 mg/kg/ hari. Kegunaan utama
dari terapi adjuvan ini adalah mengurangi efek samping steroid. Azathioprine
akan mengurangi kumulasi dosis steroid selama remisi.
Terapi topikal sebagai suportif guna mencegah infeksi sekunder juga
penting untuk diberikan pada pemfigus dengan lesi erosi dan ekskoriasi. Untuk
lesi yang bersifat lokalis, seperti mukosa oral juga dapat digunakan
kortikosteroid topikal dan intralesi, namun jarang sekali efektif (Gregoriou et al,
2015).

I. PROGNOSIS

Mortalitas dan lamanya waktu untuk terjadinya remisi klinis pada penyakit ini
merupakan inikator efikasi dari rejimen terapi. Penyakit ini sendiri bersifat persisten,
biasanya kambuh dan tidak pasti apakah terapi yang diberikan akan menekan manifestasi
penyakit, sehingga terapi harus tertap dilanjutkan. Induksi untuk terjadinya remisi lengkap
berhubungan dengan berat dan luasnya penyakit dan respon terhadap terapi awal. Adapun
faktor yang memperngaruhi prognosis penyakit ini adalah ras, usia, titer antibodi
intraseluler dan level antibodi desmogein 3. Onset penyakit pada usia muda dan tingginya
titer antibodi intraseluler akan memperburuk prognosis penyakit (Saha M et al, 2013).

8
DAFTAR PUSTAKA

Gregoriu S, Efthymiou O, Stefanaki C, Rigopoulos D (2015). Management of pemphigus


vulgaris: challenges and solutions. Clinical Cosmetics and Investigational
Dermatology, 8: 521-527.
Hasan S, Khan NI, Sherwani OA, Bhatt V, Swrivastava H (2013).Pemphigus vulgaris: an
insgiht on conventional and emergung treatment modalities. International research
journal of pharmacy, 4(3): 8-12.
Kuriachan D, Suresh R, Janardhanan M, Savithri V (2015). Oral lesions: the clue to
diagnosis of pemphigus vulgaris. Case Report in dentistry, 1-4
Martinez Ab, Corcuera MM, hundain CB, Gomez GE (2010). Oral manifestation og
pemphigus vulgaris: clinical presentation, differential diagnosis and management.
Journal of clinical & experimental dermatology research, 1(2):1-3.
Rastogi V, Sharma R, Misra SR, Yadav L (2014). Diagnostic procedures for autoimmune
vesiculobullous disease: a review. Journal of oral and maxillofacial pathology, 18:
390-397.
Saha M, Vaugham RM, Groves RW (2013). Prognostic factors in pemphigus vulgaris and
pemphigus foliaceus. British journal of dermatology, 170: 116-122.
Tamgadge S, Bhalerao S (2011). Pemphigus vulgaris. Contemporary clinical dentistry,
2(2): 134-137.

9
LAPORAN KASUS

PEMFIGUS VULGARIS

A. ANAMNESIS
1. Identitas
Nama : Ny. S
Usia : 58 tahun
Alamat : Purbayan baki, Sukoharjo
Pekerjaan : tidak bekerja
Status : menikah
No RM : 013730xx
Tanggal Pemeriksaan : 19 Maret 2017
Anamnesis : autoanamnesis dan alloanamnesis

2. Keluhan Utama
Luka di seluruh tubuh

3. Riwayat Penyakit Sekarang


Awalnya, pasien mengeluh muncul lepuh pada kaki kiri sejak 2 bulan SMRS.
Lalu pasien periksa ke RS panti waluyo dan menjalani rawat jalan sebanyak 10 kali

10
hingga luka di kaki membaik. Setelah itu, pasien tidak kontrol selama 2 minggu.
Selain itu, pasien juga mempunyai riwayat sariang sebelumnya.
Tiga minggu SMRS, lepuh muncul kembali di daerah belakang telinga lalu
meluas ke daerah muka sehingga pasien kembali di rawat inap di RS Panti Waluyo.
Pasien didiagnosa dengan eritroderma et causa pemfigoid bulosa dan mendapat
terapi metilprednisolon, cetirizine, serta salep 2x/hari tetapi pasien tidak ingat nama
salep yang diberikan. Setelah 1 minggu dirawat, pasien pulang dan hanya menjalani
rawat jalan.
1 minggu SMRS, lepuh muncul kembali dan pasien dirawat lagi di RS Panti
Waluyo serta mendapat terapi obat yang sama. Karena keluhan tidak kunjung
membaik, pasien dirujuk ke RS Kasih Ibu. Kemudian, pasien didiagnosa dengan
pemfigus vulgaris dan dirawat selama 3 hari dengan terapi glimepirid 2x1,
dexametason 3x1 dan MP 3x1. Karena kondisi pasien belum juga berkurang pasien
dirujuk ke RSDM.

4. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat penyakit serupa : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat trauma : disangkal
Riwayat DM : disangkal

5. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat penyakit serupa : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal

6. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien adalah seorang wanita berusia 58 tahun yang sudah tidak bekerja dan tinggal
bersama anak dan menantunya. Pasien berobat di RSUD Dr Moewardi dengan
fasilitas BPJS.

7. Riwayat Kebiasaan dan Asupan Gizi

11
Merokok : disangkal
Minum alkohol : disangkal
Olahraga : jarang
Gizi : pasien makan 3x sehari dengan makanan yang lunak, jarang
mengkonsumsi buah.
B. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
Keadaan Umum : tampak sakit berat, composmentis
Vital Sign :T : 150/120 mm Hg RR : 28 x Menit
HR : 80x/menit t : 37oC
Pain score : 2-3
Kepala : Dalam Batas Normal
Wajah : Dalam Batas Normal
Leher : Dalam Batas Normal
Mata : Dalam Batas Normal
Bibir : Dalam Batas Normal
Telinga : Dalam Batas Normal
Axilla : Dalam Batas Normal
Truncus Anterior : Dalam Batas Normal
Truncus Posterior : Dalam Batas Normal
Inguinal : Dalam Batas Normal
Genital : Dalam Batas Normal
Ekstermitas Atas : Dalam Batas Normal
Ekstermitas Bawah : Dalam Batas Normal

2. Status Dermatologis

Regio generalisata tampak patch eritem dengan skuama, dan beberapa erosi dengan
krusta kehitaman diatasnya, darah (+), jaringan nekrotik (-), pus(+).

12
13
C. DIAGNOSIS BANDING
Pemfigus vulgaris
Pemfigus foliaseus
Pemfigoid bulosa

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Tzank : (+) akantolitik cell
2. Pemeriksaan Gram : PMN 50-70/LPB coccus gram positif 30-50/LPB

E. DIAGNOSIS
Pemfigus vulgaris

F. TERAPI
1. Non- farmakologis
a. Menjaga luka agar tetap bersih untuk menghindari infeksi sekunder
b. Observasi balance cairan
2. Farmakologis

14
a. Diet TKTP 1700 Kkal + ekstra putih telur
b. IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
c. Inj MP 93,75 mg/24 jam (62,5 0- 37,25)
d. Inj ranitidin 50 mg/ 12 jam
e. Azytromicin tab 500 mg/ 24 jam PO
f. Vaselin album oles 2x24 jam pada daerah yang kering
g. Kompres NaCl 0,9% selama 15 menit lalu oles mupirocin cream 2x14 jam pada
luka erosi
h. Paln : konsul mata dan interna

G. PROGNOSIS
Ad Vitam : bonam
Ad Sanam : bonam
Ad Fungsionam : bonam

15

Anda mungkin juga menyukai