Anda di halaman 1dari 21

RESPONSI KASUS

MOLUSKUM KONTANGIOSUM

Oleh:
Mochamad Rizal Hermawan Pratama
G99172115

Pembimbing:
dr. Nugrohoaji Darmawan, M. Kes, Sp. KK (K), FINS DV, FAA DV

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KULIT DAN KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2019
LEMBAR PENGESAHAN RESPONSI

Kasus responsi yang berjudul: Moluskum Kontangiosum


M. Rizal Hermawan Pratama, NIM G99172115, Periode: 11 Maret – 7 Maret
2019

Telah diperiksa dan disetujui oleh pembimbing dari Bagian Ilmu Kesehatan Kulit
Kelamin RSUD Dr Moewardi – Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret
Yang bertanda tangan di bawah ini:

Surakarta, 27 Maret 2019

Residen Pemeriksa Chief Residen

dr. Frieda dr. Putri

Staff Pembimbing

dr. Nugrohoaji Darmawan, M. Kes, Sp. KK (K), FINS DV, FAA DV


STATUS RESPONSI
ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

Pembimbing : dr. Nugrohoaji Darmawan, M. Kes, Sp. KK (K), FINS


DV, FAA DV
Nama Mahasiswa : Mochamad Rizal Hermawan Pratama
NIM : G99172115

MOLUSKUM KONTANGIOSUM

A. DEFINISI DAN ETIOLOGI


Moluskum kontagiosum (MK) adalah infeksi pada kulit yang muncul
sebagai papula kecil berwarna putih seperti mutiara dan berbentuk kubah,
dengan bagian tengahnya mengalami umbilikasi. Etiologi dari Moluskum
kontangiosum adalah Poxvirus, dari famili Poxviridae, subgenus Molluscipox,
yang secara genetik, terdiri dari 4 subtipe, yang secara klinis tidak dapat
dibedakan. Virus MK (MKV) ditemukan di seluruh dunia. MKV genotipe 1
adalah yang paling umum dan biasanya menjadi penyebab MK pada anak-
anak, sedangkan MKV genotipe 2 cenderung menular melalui hubungan
seksual dan menginfeksi pasien usia remaja dan dewasa.1

B. EPIDEMIOLOGI
Meskipun infeksi MCV terjadi pada individu dari segala usia, prevalensi
infeksi MK terlihat paling sering pada anak-anak. Infeksi MK sering terjadi
pada lingkungan tropis, negara berkembang, dan kondisi lingkungan yang
buruk, dan iklim yang bervariasi. Menurut Indian Health Services (IHS),
menunjukkan prevalensi MK lebih tinggi pada anak-anak American-Indian /
Alaska-Native (AI / AN) yang berusia 1-4 tahun dibandingkan dengan
kelompok usia lainnya, dan angka ini paling tinggi ditemukan pada IHS daerah
barat. 2
C. FAKTOR RISIKO
Moluskum kontangiosum dapat timbul di area genital melalui kontak
seksual dan infeksi dapat menyebar melalui mencukur pubis atau menggaruk
area genital. Adanya gangguan pada barrier kulit selain akibat proses
imunologis dapat menjadi alasan tingginya prevalensi dan jumlah lesi
moluskum kontangiosum pada pasien dengan dermatitis atopi. Riwayat
pemakaian kortikosteroid topikal dan calcineurin inhibitor topikal (keduanya
merupakan obat immunosupresan topikal yang biasa digunakan pada pasien
dengan dermatitis atopi) telah terlibat sebagai faktor risiko yang berkontribusi
pada beberapa pasien. 4
Faktor risiko dari moluskum kontangiosum pada anak anak antara lain
adalah karena adanya riwayat dermatitis atopi, dan immunosupresi. Adanya
kontak lesi dengan kulit, seperti olahraga close-contact, mandi bersama di
dalam bathtub, dan pengasuhan sehari-hari meningkatkan faktor risiko
terjadinya moluskum kontangiosum pada anak-anak.1
Pada remaja dan dewasa, faktor risiko dari moluskum kontangiosum
adalah melalui aktivitas hubungan seksual. Wanita dengan penggunaan
kontrasepsi oral, infeksi HIV, mencukur bulu kemaluan, pinjam meminjam alat
mandi dengan individu yang terinfeksi MK. Penggunaan obat obatan
imunosupresif, steroid topikal, dan calcineurin inhibitor juga diduga menjadi
faktor resiko dari terjadinya moluskum kontangiosum. Pembuatan tato, Turkish
bath, dan olahraga dengan kontak fisik (judo, gulat, berenang) juga berkaitan
dengan peningkatan resiko penyakit ini.3

D. PATOGENESIS
Virus Moluskum Kontangium (VMK) dapat menular melalui kontak
langsung kulit dengan kulit (inokulasi) akibat adanya lesi pada kulit dan
mukosa (jarang terjadi). Hal ini terjadi terutama pada anak-anak, orang dewasa
yang aktif secara seksual, atlet cabang olahraga dengan adanya kontak kulit
dengan kulit, dan pada individu dengan gangguan imunitas seluler.5
Virus VMK tertular melalui adanya skin/mucosal break melalui kontak
langsung dengan lesi, kontak seksual, dan autoinokulasi. VMK kemudian
bereplikasi di dalam sel epitel folikel, dan dengan fiksasi rutin menghasilkan
area retraksi yang memisahkan lapisan 1 hingga 3 dari sel stroma CD34 + yang
langsung mengelilingi folikel dari dermis sekitarnya. Gambaran ini dapat
menjadi kurang jelas, ketika lesi meradang, biasanya setelah ruptur ke dermis
sekitarnya. VMK adalah virus yang bereplikasi di dalam sitoplasma. Sel yang
terinfeksi VMK berproliferasi lebih cepat, sementara organel organel pada sel
tersebut menjadi rusak dan akhirnya digantikan oleh badan inklusi
intrasitoplasma yang besar. Sel sel yang berisi virus mendesak epidermis ke
atas, dan pada akhirnya ruptur kemudian VMK terakumulasi di dalam ostium
5

Pada pasien HIV-1 yang positif, gambaran histologis, serta gambaran klinis,
mungkin tidak khas pada pasien dengan infeksi MK. Tidak hanya lesi yang
sering besar, tetapi lesi yang terjadi juga menjadi verukosa dan sangat
hiperkeratotik. Mekanisme sekuensing genom virus moluskum kontangiosum
merupakan mekanisme virus untuk menghindari sistem imun dari host. Virus
moluskum kontangiosum mampu menghambat aktivitas dan pembentukan dari
kemokin seluler homolog, chemokines binding protein, MHC I homolog dan
viral FLICE-like inhibitory protein.5

E. GEJALA KLINIS
Moluskum kontagiosum adalah infeksi poxvirus, dengan klinis berupa
papula multipel diskrit, seperti lilin, berwarna seperti kulit, berbentuk kubah,
dengan inti umbilikasi (delle) berukuran rata-rata berdiameter 3-5 mm, dengan
dasar erosi. Jumlah lesi pada individu umumnya kurang dari 20 pada host yang
sehat, tetapi jumlah mencapai 100 atau lebih terkadang dapat terjadi. Ketika
lesi ditekan atau mengalami trauma, massa berwarna krem, putih abu abu dapat
diekstrusi. Pada sedikit kasus, moluskum kontagiosum dapat menyebabkan lesi
pada telapak tangan dan telapak kaki, atau pada mukosa seperti bibir, mukosa
bukal, dan konjungtiva.4
Dermatitis atopi biasanya terjadi di sekitar lesi. Reaksi semacam itu dapat
dihasilkan dari respons host terhadap virus. Pruritus yang terkait juga dapat
membantu penyebaran virus melalui autoinokulasi yang lebih luas dari virus
pada lesi ke kulit yang sehat. Dermatitis atopi biasanya mengalami regresi
spontan saat lesi moluskum kontagiosum sembuh.4
Moluskum kontagiosum pada pasien dengan immukompromais (HIV
AIDS) atau dalam pemakaian obat-obatan immunosupresif (Antibiotik,
kortikosteroid sistemik jangka panjang) dapat menunjukkan gejala klinis yang
lebih parah dan luas. Pada tahun 1980, infeksi moluskum kontangiosum
atipikal dengan klinis lesi yang luas dan besar, telah ditemukan pada pasien
dengan HIV AIDS. Pada pasien imunokompromais yang berat (CDC stage 4),
lesi moluskum kontangiosum cenderung lebih banyak, tersebar luas, dan lebih
besar.4

Gambar 1. Gambar klinis moluskum kontagiosum. Lesi pada regio truncus


posterior pada pasien berusia 3 tahun (A). Lesi pada lengan pasien berusia 60
tahun (B). Lesi tunggal, tidak disertai inflamasi yang menunjukkan gambaran
delle (C). Lesi tampak khas, tidak disertai inflamasi dengan diameter 3 mm
(D). Moluskum kontagiosum pada telinga kiri menunjukkan lesi pada usia
dewasa dengan bagian tengah menunjukkan gambaran delle (E); kulit di sekitar
lesi tampak menebal disertai skuama dengan dermatitis ringan. Lesi yang
mengalami inflamasi pada bahu pasien berusia 11 tahun, ditandai dengan zona
eritematosa (F, G). Dua lesi pada palpebra superior (H); lesi di sebelah kanan
memiliki penampilan seperti stroberi yang disebabkan oleh banyaknya virus
dan debris. Kelopak mata bagian bawah pada pasien dengan konjungtivitis
akibat virus moluskum kontagiosum (I; sklera merah dan hiperlakriminasi).
Lesi berupa papula yang hampir konfluen pada bagian tubuh pasien dengan
imunodefisiensi DOCK8 (J, K). Lesi disertai inflamasi, ekskoriasi dan
haemorrhagic crust (L). Pasien berusia 3 tahun dengan banyak lesi di lengan
kanan (M).4
F. DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis moluskum kontagiosum didasarkan pada temuan klinis yang ada


(papula umbilicated). Dari pemeriksaan dengan Giemsa, dapat ditemukan
Henderson Paterson bodies/ molluscum bodies. Penggunaan dermatoskop
membantu untuk mengidentifikasi adanya pembuluh dan orifisium pada lesi,
serta dapat membantu menegakkan diagnosis. Gambaran vaskular dari
moluskum kontagiosum di bawah dermatoskop menunjukkan gambaran
menyerupai mahkota, punctiform, dengan pola radial, sehingga disebut mixed
flower pattern. Dari pemeriksaan dapat ditemukan hiperplasia dan hipertrofi
epidermis, serta molluscum bodies tampak sebagai benda inklusi intrasitoplasma
yang berukuran besar dan bersifat eosinofilik. Pemeriksaan histopatologi,
diagnosis molekuler dengan hibridisasi in-situ, dan sekuensing PCR atau
metagenomik dari apusan sitologis dan jaringan yang terinfeksi dapat digunakan
dalam kasus-kasus yang secara klinis memberikan gambaran lesi atipikal.
Pemeriksaan ELISA untuk virus moluskum kontagiosum digunakan sebagai
survei serologis, tetapi belum secara rutin digunakan dalam praktik klinis.4
Pada tahap awal moluskum kontagiosum, ketika papula terlihat masih datar,
penyakit ini sering missdiagnosed dengan varicella zooster atau veruka plana. 4
Diagnosis banding utama dari moluskum kontangiosum pada pasien
imunodefisiensi adalah deep mycosis seperti infeksi akibat Cryptococcus
neoformans, Basal cell carcinoma, Keratocanthoma, Darier’s disease, Epithelial
nevi, Atopic dermatitis, Cryptococcosis, and Histoplasmosis.6
Gambar 2. Henderson-Paterson bodies / molluscum bodies, terilhat
eosinofilik di lapisan spinosus dan basofilik di lapisan granular.6

Gamber 3. Pengecatan khusus yang digunakan untuk mengidentifikasi


molluscum bodies; (a) Badan moluskum yang tampak basofilik dengan
pewarnaan gram (b) badan molusum yang tampak eosinofilik dengan
pewarnaan giemsa (c) badan moluskum yang tampak eosinofilik dengan
pewarnaan papanicolaou.
G. TATALAKSANA
Prinsip pengobatan adalah dengan mengeluarkan massa yang mengandung
badan moluskum (enukleasi).7
a) Asam Salisilat, Bichloroacetic acid, dan Trichloroacteic acid
Asam salisilat topikal adalah obat topical yang bersifat keratolitik dan
digunakan sebagai terapi untuk photoaging, acne, psoriasis, dan viral
warts. Efek samping yang sering terjadi akibat penggunaan asam salisilat
antara lain iritasi, pruritus, terbakar, dan terkelupasnya kulit. Empat studi
telah menyelidiki penggunaan asam salisilat untuk pengobatan MC pada
total 190 pasien, membandingkan kemanjurannya dari terapi topikal
lainnya. Sebuah studi terhadap 26 pasien berusia 2 hingga 12 tahun tidak
menemukan perbedaan dalam resolusi MK antara 10% kalium hidroksida
(KOH) dan larutan kombinasi asam salisilat-asam laktat 16,7% selama 6
minggu. Penggunaan gel asam salisilat (12%) telah disarankan untuk
membantu pembersihan sisa lesi moluscum kontangosum pada pasien
dalam waktu 6 bulan. Dalam kedua studi di atas, metode pengobatan
menunjukkan hasil yang aman dan efektif. 7

b) Hidrogen peroksida
Hidrogen peroksida biasanya digunakan untuk infeksi kulit bakteri,
karena memiliki efek antimikroba. Mekanisme pastinya tidak diketahui,
meskipun diduga karena efek oksidan yang dimilikinya. Efek samping
yang umum terjadi seperti eritema ringan dan iritasi. Ada beberapa studi
kasus yang melibatkan penggunaan hidrogen peroksida pada MK, yang
semuanya menunjukkan keberhasilan pembersihan lesi MK hanya dalam
penggunaan selama 1 minggu. Suatu penelitian menunjukkan bahwa
pemberian hidrogen peroksida 1% dibawah oklusi, dengan rutin
mengganti popok, pada bayi berusia 8 bulan, mampu menghilangkan lesi
MK di daerah genital (dengan tidak ada riwayat atopi sebelumnya). 7
c) Retinoid
Retinoid telah banyak digunakan sebagai terapi untuk psoriasis,
jerawat, kemoprofilaksis melawan kanker kulit, dan gangguan keratinisasi.
Farmakokinetiknya adalah dengan kemampuan mereka untuk menekan
pertumbuhan abnormal dan diferensiasi dari keratinosit. Efek samping
yang umum terjadi antara lain kulit menjadi kekering, eritema ringan, dan
sensasi terbakar. Rajouria et al (12) menyatakan bahwa tretinoin topikal
0,05% mampu mengurangi jumlah lesi MK setelah 4 minggu pengobatan
pada 50 anak, meskipun dengan tingkat resolusi lebih lambat jika
dibandingkan dengan KOH 10%. 7

d) KOH (Potassium Hidroksida)


Potassium hidroksida adalah zat keratolitik yang biasa digunakan
untuk penegakkan diagnosis infeksi fungal, bakterial vaginosis, dan terapi
kutil kelamin. Efek samping yang ditimbulkan dapat berupa iritasi pada
kulit, eritema ringan, dan rasa panas. Pemberian KOH secara topikal cukup
efektif terhadap pasien dengan MK usia anak-anak pada beberapa
penelitian. 8

e) Silver Nitrat
Silver nitrat pada umumnya digunakan untuk penutup luka yang
mengandung antiseptik pada pasien post kauterisasi, seperti pada pasien
post cervical biopsy, epsitaksis, atau perdarahan buli, tetapi juga dapat
digunakan untuk terapi kutil pada kulit. Efek samping yang ditimbulkan
berupa rasa terbakar, dan pewarnaan pada kulit. Suatu studi menunjukkan
bahwa 97,7% lesi MK efektif terobati dengan lebih dari 3 pemberian 40
% pasta silver nitrat. 7

f) Imiquimod Krim 5%
Imiquimod adalah imunomodulator yang sering digunakan untuk
mengobati penyakit kutil, karsinoma sel basal, dan keratosis aktinik. Efek
samping imiquimod antara lain seperti reaksi lokal eritema, pruritus, dan
sensasi terbakar; sakit kepala; dan gejala seperti influenza. Salah satu
penelitian pada tahun 2012 membandingkan efektivitas krim imiquimod
5% dengan cryotherapy pada anak usia 2 hingga 12 tahun dengan lesi MK,
yang menunjukkan bahwa imiquimod efektif dalam mengurangi lesi MK,
walaupun imiquimod memiliki onset aksi yang lebih dibandingkan
cryotherapy. Krim imiquimod diaplikasikan lima kali seminggu hingga 16
minggu dan cryotherapy diberikan hingga 20 detik per lesi setiap minggu
hingga 16 minggu. Karena krim imiquimod memiliki efek samping yang
lebih sedikit (tidak menimbulkan fibrosis dan dispigmentasi pada
cryotherapy), para penulis menyarankan bahwa imiquimod masih menjadi
pilihan perawatan yang disukai. 9

g) Kantaridin 0,7%
Kantaridin adalah ekstrak racun yang disekresikan oleh lebah
Cantharis vesicatoria yang telah digunakan untuk mengobati kutil dan
MK selama lebih dari 60 tahun. Kemampuannya untuk memicu
acantholysis menimbulkan efek timbulnya vesikel pada kulit. Efek
samping yang umum terjadi seperti timbulnya vesikel (diharapkan),
pruritus, sensasi terbakar, dan nyeri. Banyak penelitian telah dilakukan
yang menunjukkan Kantaridin aman dan efektif. Suatu penelitian
membandingkan cantharidin topikal 0,7% dengan kombinasi asam salisilat
topikal dan asam laktat 16,7%, krim imiquimod topikal 5%, dan kuretase
untuk mengobati lesi MC pada anak usia 1 hingga 18 tahun. Mereka
menemukan kuretase menjadi pengobatan yang paling manjur, dengan
efek samping paling sedikit, sedangkan Kantaridin, meskipun efektif,
memiliki lebih banyak efek samping, seperti timbulnya vesikel dan
membutuhkan aplikasi yang lebih sering daripada obat lainnya. 7
h) Cryotherapy
Cryotherapy atau bedah beku dengan CO2 dan N2 biasanya digunakan
pada kasus viral wart dan keratosis aktinik pada pasien dewasa. Efek
samping yang umum antara adalah nyeri, perdarahan, depigmentasi, dan
timbulnya bulla. Meskipun murah dan dapat digunakan secara umum,
hanya sedikit literatur yang menjelaskan penggunaannya untuk kasus MK.
Suatu penelitian menunjukkan bahwa 100% pasien dengan MK yang
diobati dengan cryotherapy setiap minggu, hingga 16 minggu dapat
disembuhkan. 7

i) Kuretase
Tatalaksana kuretase yang dilakukan secara hati hati pada pasien
dengan MK, terbukti efektif. Permukaan epitel pada papula dibuka dengan
jarum dan badan inti dikeluarkan (kadang-kadang menggunakan anestesi
lokal topikal). Efek sampingnya adalah nyeri, perdarahan, dan infeksi.
Beberapa penelitian menyatakan bahwa tindakan kuretasi memiliki tingkat
kekambuhan yang tinggi pada 4 dan 8 minggu. Hal ini disebabkan karena
adanya beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko kegagalan
pengobatan, termasuk jumlah lesi, lokasi, dan adanya riwayat dermatitis
atopi. Selain kuretase, dapat juga dilakukan dengan menggunakan alat,
seperti dengan ekstraktor komedo. 7

j) Terapi ARV
Pada pasien dengan lesi luas dan banyak, seperti pada pasien
immunokompromais dengan HIV/AIDS, dianjurkan untuk mengkonsumsi
terapi antivirus, misalnya cidofovir secara peroral atau topikal (1%). Pada
kasus giant molluscum dapat diberikan cidofovir secara intravena.
Cidofovir dialporkan berhasil, karena mampu menghambat aktivitas virus
DNA Polymerase. Pada orang dewasa pengobatan juga harus dilakukan
terhadap pasangan seksualnya. 10
k) Pulsed Dye Laser
Pulsed dye laser (PDL) biasanya digunakan untuk mengobati scar,
port wine stains, telangiectasia, dan hemangioma. Beberapa penelitian
telah menyarankan bahwa PDL dapat digunakan untuk secara efektif dan
aman, meskipun mekanismenya belum diketahui. Komplikasi PDL
meliputi nyeri, eritema, perubahan pigmen, scar atrofi dan ulserasi
(jarang). Penelitian terbaru menunjukkan efektivitas terapi PDL terhadap
MK pada 76 pasien berusia 1 hingga 15 tahun, dimana 96,3% sembuh
setelah terapi pertama. 7
DAFTAR PUSTAKA

1. Osio A, Deslandes E, Saada V, Morel P, Guibal F. Clinical Characteristics of


Molluscum Contagiosum in Children in a Private Dermatology Practice
in the Greater Paris Area, France: A Prospective Study in 661 Patients.
Dermatology. 2011;222(4):314-320.
2. McCollum A, Holman R, Hughes C, Mehal J, Folkema A, Redd J et al.
Molluscum Contagiosum in a Pediatric American Indian Population:
Incidence and Risk Factors. PLoS ONE. 2014;9(7):e103419.
3. Olsen J, Gallacher J, Piguet V, Francis N. Epidemiology of molluscum
contagiosum in children: a systematic review. Family Practice.
2013;31(2):130-136.
4. Recently in The Lancet. The Lancet Infectious Diseases. 2002;2(10):644.
5. Smith K, Skelton H. Molluscum Contagiosum. American Journal of Clinical
Dermatology. 2002;3(8):535-545.
6. G Nandhini, K Rajkumar, K Sudheer kanth, Priyadharsini N, Pavithra A, M
Arunachalam. Molluscum Contagiosum in a 12-Year-Old Child – Report
of a Case and Review of Literature. Journal of International Oral Health
2015. 2019;7(1):63-66.
7. Forbat E, Al-Niaimi F, Ali F. Molluscum Contagiosum: Review and Update
on Management. Pediatric Dermatology. 2017;34(5):504-515.
8. Short K, Fuller L, Higgins E. Double-Blind, Randomized, Placebo-Controlled
Trial of the Use of Topical 10% Potassium Hydroxide Solution in the
Treatment of Molluscum Contagiosum. Pediatric Dermatology.
2006;23(3):279-281.
9. Gamble R. Imiquimod vs Cryotherapy for Molluscum Contagiosum. Archives
of Dermatology. 2012;148(1):109.
10. Erickson C, Driscoll M, Gaspari A. Efficacy of Intravenous Cidofovir in the
Treatment of Giant Molluscum Contagiosum in a Patient With Human
Immunodeficiency Virus. Archives of Dermatology. 2011;147(6):652.
LAPORAN KASUS
MOLUSKUM KONTANGIOSUM

A. ANAMNESIS
1. IDENTITAS
Nama : An. MHP
Umur : 2 tahun 11 bulan
Jenis Kelamin : Laki laki
Agama : Islam
Alamat : Semanggi, RT 01 RW 018, Pasar Kliwon
Tanggal Periksa : 15 Maret 2019
No. RM : 01441XXX

2. KELUHAN UTAMA
Muncul bintil – bintil baru di bokong berwarna putih sejak 2 minggu yang
lalu

3. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


Pasien datang diantar oleh orang tuanya ke Poli Kulit dan Kelamin
RSUD Dr. Moewardi untuk kontrol rutin, dengan keluhan munculnya bintil
– bintil baru di bokong yang berwarna putih sejak 2 minggu yang lalu.
Plenting semakin lama semakin membesar, serta semakin bertambah
banyak. Plenting terasa gatal dan selalu timbul baru di area trauma.
Riwayat penyakit dahulu, berdasarkan alloanamnesis dengan orang
tua pasien, ± 5 bulan sebelum perawatan, muncul plenting di paha bagian
dalam kaki kanan, pipi kiri, dan pada kelamin yang tidak terasa gatal dan
makin banyak. Pasien kemudian berobat ke puskesmas dan diberi obat
salep, namun keluhan tidak membaik dan menjadi gatal. 2 bulan kemudian,
pasien dibawa ke poli kulit dan kelamin RSUD dr. Moewardi dan
didiagnosis dengan moluskum kontangiosum. Pasien kemudian rutin untuk
kontrol berobat ke poliklinik RSDM 1 minggu sekali. Adanya orang yang
tinggal serumah, saudara atau tetangga dengan keluhan serupa disangkal.

4. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU

Riwayat keluhan serupa : + sejak 5 bulan yang lalu


Riwayat atopik :-
Riwayat alergi obat :-
Riwayat alergi makanan :-
Riwayat penyakit lain :-

5. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA


Riwayat penyakit serupa :-
Riwayat atopik :-
Riwayat alergi obat :-
Riwayat alergi makanan :-
Riwayat penyakit lain :-

6. RIWAYAT KEBIASAAN
Pasien rutin mandi 2x sehari dengan sabun. Pasien menggunakan
handuk sendiri. Pasien ganti pakaian minimal 2x sehari. Pasien aktif
menggaruk daerah selangkangan, wajah, badan, dan pantat.

7. RIWAYAT SOSIAL EKONOMI


Pasien berobat dengan BPJS. Saat ini pasien tinggal bersama orang
tuanya. Ayah pasien seorang penjual buah di pasar gede dan ibu pasien
merupakan ibu rumah tangga.
B. PEMERIKSAAN FISIK
1. STATUS GENERALIS
Keadaan umum : Compos mentis, GCS E4V5M6, Tampak gizi
kesan cukup
Vital Sign :T : 120/80 mmHg RR : 20 x/menit
N : 88 x/menit T : 36,3o C
TB : 90 cm BB : 16 Kg
IMT: 19.75 Kg/m2
Kepala : dalam batas normal
Wajah : sesuai status dermatologis
Leher : dalam batas normal
Mata : dalam batas normal
Telinga : dalam batas normal
Axilla : dalam batas normal
Truncus anterior : dalam batas normal
Abdomen : dalam batas normal
Truncus posterior : dalam batas normal
Gluteal dan sacral : sesuai status dermatologis
Inguinal : dalam batas normal
Anogenital : sesuai status dermatologis
Ekstremitas Atas : dalam batas normal
Ekstremitas Bawah : sesuai status dermatologis
2. STATUS DERMATOVENEREOLOGI
Regio gluteal, dan sacral tampak papul berwarna putih multipel diskrit
dengan gambaran dome shapped, inti delle dan dasar eritem disertai erosi.
C. DIAGNOSIS BANDING

Moluskum Kontangiosum
Veruka Plana

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Giemsa : Molluscum bodies/ Henderson Patterson bodies (+)
Pemeriksaan gram : Leukosit PMN 1-2/lpb

E. DIAGNOSIS
Moluskum Kontangiosum

F. TERAPI
1. NON MEDIKAMENTOSA
a. Edukasi keluarga pasien tentang penyakit, penyebab, terapi dan
prognosis
b. Edukasi kepada keluarga pasien untuk menjaga kebersihan diri pasien,
jangan mencampurkan alat mandi, handuk, pakaian, dan mainan milik
pasien dengan barang milik anggota keluarga, tidak memakai peralatan
yang terlalu ketat, dan jangan berenang selagi masih sakit.
c. Edukasi kepada keluarga pasien untuk menjaga daya tahan tubuh pasien
dengan cara makan makanan bergizi, istirahat cukup, serta menjaga
higienitas
d. Edukasi keluarga pasien untuk memperhatikan supaya pasien tidak
sering menggaruk luka.

2. MEDIKAMENTOSA
a. Tutul TCA 80 % pada lesi 1 kali dalam 1 minggu.
b. Cetirizine syrup 1 x 2.5 mg p.o
c. Gentamisin salep 0.1 % 2 x sehari dioles pagi dan sore pada daerah
erosi
G. PROGNOSIS
Ad vitam : bonam
Ad sanam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : bonam
Ad Kosmetikum : bonam

Anda mungkin juga menyukai