Anda di halaman 1dari 27

PRESENTASI KASUS

SEORANG ANAK LAKI – LAKI 11 TAHUN DENGAN HEMARTHROSIS ANKLE


JOINT DEXTRA ET CAUSA HEMOFILIA A

Periode : 24 September – 5 Oktober 2018

Disusun oleh :
Evan Permana Putra G99172071

Pembimbing :
dr. Yunita Fatmawati, Sp.KFR

KEPANITERAAN KLINIK / PROGRAM PROFESI DOKTER


ILMU KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI MEDIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2018
BAB I
STATUS PASIEN

A. Identitas Pasien
Nama : An. AF
Umur : 11 tahun
Jenis Kelamin : Laki – laki
Alamat : Sanggrahan, Grogol, Sukoharjo
Nomor Rekam Medis : 01 35 4x xx
Status : Belum menikah
Pekerjaan : Pelajar
Masuk Bangsal : 21 September 2018 pukul 16.00
Tanggal Pemeriksaan : 24 September 2018 pukul 14.30
B. Data Dasar
1. Keluhan Utama
Pergelangan kaki kanan terasa nyeri, bengkak, dan tidak dapat digerakkan
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien menderita hemofilia A dan rutin kontrol ke poli anak RSUD Dr Moewardi. Pada
tanggal 19 September 2018, pasien kontrol ke poli anak dengan keluhan pergelangan kaki
kanan terasa nyeri, bengkak, dan tidak dapat digerakkan. Keluhan tersebut muncul setelah
bangun tidur, dirasakan terus – menerus, dan menganggu aktivitas sampai pasien tidak
dapat berjalan. Keluhan memberat saat menggerakkan kaki dan berkurang saat dikompres
dengan ice pack. Untuk mengatasi keluhan, pasien diberikan injeksi faktor VIII
(Haemoctin®). Pada tanggal 20 September 2018, pasien datang kembali karena keluhan
belum berkurang kemudian diberikan injeksi Haemoctin®. Pada tanggal 21 September
2018, keluhan masih belum berkurang sehingga pasien dirawat inap dan diberikan injeksi
Octanate®. Pada tanggal 24 September 2018, keluhan nyeri sudah berkurang dan kaki
dapat digerakkan tetapi masih pincang saat berjalan
Pasien pernah mengalami keluhan yang sama sampai tidak dapat berjalan sekitar 3
bulan yang lalu. Setelah diberikan injeksi Koate-DVI®, keluhan langsung hilang sehingga
tidak sampai rawat inap

1
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat keluhan serupa : (+) sekitar 3 bulan yang lalu
Riwayat tekanan darah tinggi : Disangkal
Riwayat diabetes mellitus : Disangkal
Riwayat penyakit jantung : Disangkal
Riwayat penyakit ginjal : Disangkal
Riwayat alergi : Disangkal
Riwayat stroke : Disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat hemofilia : (+) sepupu pasien
Riwayat tekanan darah tinggi : Disangkal
Riwayat diabetes mellitus : Disangkal
Riwayat penyakit jantung : Disangkal
Riwayat penyakit ginjal : Disangkal
Riwayat alergi : Disangkal
Riwayat stroke : Disangkal
5. Riwayat Kebiasaan
Riwayat makan : Makan 3 kali sehari dengan nasi dan lauk
Riwayat minum alkohol : Disangkal
Riwayat merokok : Disangkal
Riwayat olahraga : Jarang
6. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien adalah seorang pelajar kelas 5 SD. Di rumah, pasien tinggal bersama dengan kedua
orang tua dan satu orang kakak. Pasien berobat menggunakan fasilitas BPJS Kesehatan

2
7. Silsilah Keluarga

Hemofilia A
C. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 25 September 2018
1. Status Generalis
a. Kondisi umum : Sakit ringan, GCS E4V5M6, kesan gizi cukup
b. Tanda vital
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Denyut nadi : 76 kali/menit
Frekuensi napas : 18 kali/menit
Suhu tubuh : 36,5°C
Berat badan : 31 kg
c. Kulit
Warna kulit sawo matang, pucat (-), ikterus (-), petechiae (-), purpura (-), ekimosis (-),
venektasi (-), spider navy (-), stria (-), hiperpigmentasi (-), hipopigmentasi (-)
d. Kepala dan Leher
Bentuk kepala : Mesocephalus, kedudukan kepala simetris, luka (-)
rambut hitam, tidak mudah rontok, tidak mudah dicabut,
massa (-)

3
Mata : Konjunctiva anemis (-/-), sklera ikterus (-/-),
eksoftalmus (-/-), ptosis (-/-), edema palpebrae (-/-),
strabismus (-/-)
Telinga : Normotia, deformitas (-/-), massa (-/-), luka (-/-),
gangguan pendengaran (-/-), tinnitus (-/-), sekret (-/-)
Hidung : Napas cuping hidung (-), deformitas (-), darah (-/-),
sekret (-/-)
Mulut : Bibir kering (-), mukosa pucat (-), sianosis (-), drooling
(-), lidah kotor (-), lidah tremor (-), stomatitis (-), gusi
berdarah (-), papil lidah atrofi (-), deviasi (-)
Leher : Simetris, massa (-), luka (-), nyeri tekan (-),
limfadenopati (-), trakea di tengah
e. Thoraks
Bentuk thoraks : Normochest, simetris, retraksi intercostae (-), sela iga
melebar (-), limfadenopati axilla (-/-), limfadenopati
supraclavicula (-/-), limfadenopati infraclavicula (-/-)
f. Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC IV linea midclavicularis
sinistra, tidak kuat angkat
Perkusi : Batas kanan atas di SIC II linea sternalis dextra
Batas kanan bawah di SIC IV linea parasternalis dextra
Batas kiri atas di SIC II linea sternalis sinistra
Batas kiri bawah di SIC IV linea miclavicularis sinistra
Batas jantung kesan normal
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II normal, regular, bising (-)
g. Paru – paru
Inspeksi : Pengembangan dada kanan-kiri simetris
Palpasi : Fremitus taktil dada kanan-kiri normal
Pengembangan dada kanan-kiri simetris
Perkusi : Sonor, redup pada batas relatif paru-hepar di SIC VI

4
Auskulasi : Suara dasar vesikular (+/+), wheezing (-/-), ronki basah
kasar (-/-), ronki basah halus (-/-)
h. Trunk
Inspeksi : Simetris, shoulder tilt (-), deformitas (-), skoliosis (-),
edema (-), inflamasi (-), wasting muscle (-)
Palpasi : Suhu normal, tidak hangat, nyeri tekan (-), nyeri gerak
(-), deformitas (-)
Perkusi : Nyeri ketok costovertebrae (-/-)
i. Abdomen
Inspeksi : Dinding perut sejajar dengan dinding dada, stria (-),
ascites (-), luka (-), massa (-)
Auskultasi : Bising usus 10 kali/menit, suara tambahan (-)
Perkusi : Timpani
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
j. Ekstremitas
Akral dingin Edema Eritema
- - - - - -
- - - - - -
2. Pemeriksaan Neurologi
a. Kesadaran dan Fungsi Luhur
Kesadaran : GCS E4V5M6
Fungsi Luhur : Perhatian baik, orientasi baik, afasia (-)
b. Pemeriksaan Rangsang Meningeal
Kaku kuduk : (-)
Brudzinski I : (-)
Brudzinski II : (-)
Brudzinski IV : (-)
Kernig : (-)
c. Pemeriksaan Nervi Craniales
1) N. I
Dalam batas normal

5
2) N. II dan III
Kanan Kiri
Visus : > 3/60 > 3/60
Lapang pandang : Kesan sama dengan Kesan sama dengan
pemeriksa pemeriksa
3) N. III, IV, VI
Kanan Kiri
Ptosis : (-) (-)
Strabismus : (-) (-)
Ukuran pupil : 3 mm 3 mm
Refleks cahaya langsung : (+) (+)
Refleks cahaya tidak langsung : (+) (+)
Gerakan bola mata : Dalam batas normal

4) N. V
Kanan Kiri
Sensorik V1 – V3 : Baik Baik
M. masseter dan m. temporalis : Atrofi (-) Atrofi (-)
Refleks kornea : (+) (+)
5) N. VII
Kanan Kiri
Mengangkat alis : Bisa Bisa
Mengerutkan alis : Bisa Bisa
Memejamkan mata : Bisa Bisa
Meringis : Simetris, deviasi (-)
Memoncongkan mulut : Bisa
Menggembungkan pipi : Bisa Bisa
Bersiul : Bisa
Lipatan nasolabial : Normal Normal
Simpulan : Tidak terdapat paralisis N. VII

6
6) N. VIII
Pendengaran menurun (-/-), gangguan keseimbangan (-)
7) N. IX dan N. X
Refleks menelan baik
8) N. XI
Kanan Kiri
M. sternocleidomastoideus : Paralisis (-) Paralisis (-)
M. trapezius : Paralisis (-) Paralisis (-)
9) N. XII
Kanan Kiri
Atrofi lidah : Tidak ada Tidak ada
Fasikulasi : Tidak ada Tidak ada
Posisi lidah saat diam : Sentral, deviasi (-)
Posisi lidah saat dijulurkan : Sentral, deviasi (-)
Simpulan : Tidak terdapat paralisis N. XII
d. Pemeriksaan Fungsi Motorik
Kekuatan
5/5/5 5/5/5
5/5/5 5/5/5
Spastisitas
Ashworth Scale Modified Ashworth Scale
Extremitas superior 0/0 0/0
Extremitas inferior 0/0 0/0

e. Pemeriksaan Refleks Fisiologis


Kanan Kiri
Refleks biceps : +2 +2
Refleks triceps : +2 +2
Refleks patella : +2 +2
Refleks Achilles : +2 +2

7
f. Pemeriksaan Refleks Patologis
Kanan Kiri
Hoffman : - -
Trommer : - -
Babinski : - -
Chaddock : - -
Oppenheim : - -
Gordon
Schaeffer : - -
Gonda
Stransky
Rossolimo : - -
Mendel-Bechterew : - -
g. Klonus
Klonus paha : -/-
Klonus kaki : -/-
h. Pemeriksaan Provokasi Nyeri
Kanan Kiri
Laseque : - -
Patrick : - -
Kontra Patrick : - -
3. Status Psikiatri
a. Deskripsi Umum
Penampilan : Laki – laki penampilan sesuai umur, berpakaian rapi,
perawatan diri baik
Kesadaran
Kuantitatif : Compos mentis
Kualitatif : Tidak berubah
Aktivitas motorik : Baik
Pembicaraan : Baik, artikulasi jelas, volume cukup, realistis
Sikap terhadap pemeriksa : Kooperatif

8
b. Alam Perasaan
Mood : Eutimik
Afek : Serasi
c. Gangguan Persepsi
Halusinasi : (-)
Ilusi : (-)
Depersonalisasi : (-)
Derealisasi : (-)
d. Proses Pikir
Bentuk : Realistis
Isi : Waham (-)
Arus : Koheren
e. Sensorium dan Kognitif
Konsentrasi : Baik
Orientasi : O / T / W / S baik
Daya ingat : Jangka panjang baik, jangka pendek baik
f. Tilikan
Tilikan derajat 6
g. Taraf Dapat Dipercaya
Dapat dipercaya
4. Fungsi Motorik dan Range of Motion
a. Leher
ROM
MMT
Aktif Pasif
Fleksi 0 – 70° 0 – 70° 5
Ekstensi 0 – 40° 0 – 40° 5
Right lateral bending 0 – 60° 0 – 60° 5
Left lateral bending 0 – 60° 0 – 60° 5
Rotasi kanan 0 – 60° 0 – 60° 5

9
b. Extremitas Superior
ROM Pasif ROM Aktif MMT
Dextra Sinistra Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Fleksi 0 – 180° 0 – 180° 0 – 180° 0 – 180° 5 5
Ekstensi 0 – 60° 0 – 60° 0 – 60° 0 – 60° 5 5
Shoulder Abduksi 0 – 180° 0 – 180° 0 – 180° 0 – 180° 5 5
Adduksi 0 – 60° 0 – 60° 0 – 60° 0 – 60° 5 5
Eksternal Rotasi 0 – 90° 0 – 90° 0 – 90° 0 – 90° 5 5
Fleksi 0 – 150° 0 – 150° 0 – 150° 0 – 150° 5 5
Ekstensi 0° 0° 0° 0° 5 5
Elbow
Pronasi 0 – 90° 0 – 90° 0 – 90° 0 – 90° 5 5
Supinasi 0 – 90° 0 – 90° 0 – 90° 0 – 90° 5 5
Fleksi 0 – 90° 0 – 90° 0 – 90° 0 – 90° 5 5
Ekstensi 0 – 70° 0 – 70° 0 – 70° 0 – 70° 5 5
Wrist
Deviasi ulna 0 – 30° 0 – 30° 0 – 30° 0 – 30° 5 5
Deviasi radius 0 – 20° 0 – 20° 0 – 20° 0 – 20° 5 5
MCP I fleksi 0 – 50° 0 – 50° 0 – 50° 0 – 50° 5 5
MCP II – IV fleksi 0 – 90° 0 – 90° 0 – 90° 0 – 90° 5 5
Finger DIP II – V fleksi 0 – 90° 0 – 90° 0 – 90° 0 – 90° 5 5
PIP II – V fleksi 0 – 90° 0 – 90° 0 – 90° 0 – 90° 5 5
MCP I ekstensi 0 – 30° 0 – 30° 0 – 30° 0 – 30° 5 5
Fleksi 0 – 70° 0 – 70° 5
Ekstensi 0 – 10° 0 – 10° 5
Trunk
Right lateral bending 0 – 35° 0 – 35° 5
Left lateral bending 0 – 35° 0 – 35° 5

10
c. Extremitas Inferior
ROM Pasif ROM Aktif MMT
Dextra Sinistra Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Fleksi 0 – 120° 0 – 120° 0 – 120° 0 – 120° 5 5
Ekstensi 0 – 30° 0 – 30° 0 – 30° 0 – 30° 5 5
Abduksi 0 – 45° 0 – 45° 0 – 45° 0 – 45° 5 5
Hip
Adduksi 0 – 30° 0 – 30° 0 – 30° 0 – 30° 5 5
Eksorotasi 0 – 45° 0 – 45° 0 – 45° 0 – 45° 5 5
Endorotasi 0 – 35° 0 – 35° 0 – 35° 0 – 35° 5 5
Fleksi 0 – 135° 0 – 135° 0 – 135° 0 – 135° 5 5
Knee
Ekstensi 0° 0° 0° 0° 5 5
Dorsofleksi 0 – 15° 0 – 20° 0 – 20° 0 – 20° 4 5
Plantarfleksi 0 – 35° 0 – 40° 0 – 40° 0 – 40° 4 5
Ankle
Eversi 0 – 15° 0 – 20° 0 – 20° 0 – 20° 4 5
Inversi 0 – 25° 0 – 30° 0 – 30° 0 – 30° 4 5

D. Pemeriksaan Laboratorium Darah (Tanggal 24 September 2018)


Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Hematologi Rutin
Hemoglobin 14,3 gram/dL 12,0 – 15,6
Hematokrit 41 % 33 – 45
Leukosit 6,3 ribu/L 4,5 – 11,0
Trombosit 298 ribu/L 150 – 450
Eritrosit 4,86 juta/L 4,10 – 5,10
Indeks Eritrosit
MCV 84.8 /m 80,0 – 96,0
MCH 29.4 pg 28,0 – 33,0
MCHC 34.7 g/dL 33,0 – 36,0
RDW 13.0 % 11,6 – 14,6
MPV 8.6 fl 7,2 – 11,1
PDW 16 % 25 – 65
Hitung Jenis dan Golongan Darah
Neutrofil 58.20 % 55,00 – 80,00

11
Limfosit 36.10 % 22,00 – 44,00
Mono, Eos, Bas 5.70 % 0,00 – 12,00
Golongan Darah B
Hemostasis
PT 12.8 detik 10,0 – 15,0
APTT 34.7 detik 20,0 – 40,0
INR 0,980 detik -

E. Indeks Barthel
Item yang Dinilai Skor Nilai
0 : Tidak mampu
Makan (feeding) 1 : Butuh bantuan memotong, mengoles mentega, dll 2
2 : Mandiri
0 : Tergantung orang lain
Mandi (bathing) 1
1 : Mandiri
Perawatan diri 0 : Membutuhkan bantuan orang lain
1
(grooming) 1 : Mandiri dalam perawatan muka, rambut, gigi, bercukur
0 : Tergantung orang lain
Berpakaian
1 : Sebagian dibantu (misal mengancing baju) 2
(dressing)
2 : Mandiri
0 : Inkonstinensia atau pakai kateter dan tidak terkontrol
Buang air kecil
1 : Kadang inkonstinensia (maksimal 1  24 jam) 2
(bladder)
2 : Konstinensia (teratur untuk lebih dari 7 hari)
0 : Inkonstinensia (tidak teratur atau perlu enema)
Buang air besar
1 : Kadang inkonstensia (seminggu sekali) 2
(bowel)
2 : Konstinensia (teratur)
0 : Tergantung bantuan orang lain
1 : Membutuhkan bantuan tetapi dapat melakukan
Penggunaan toilet 2
beberapa hal sendiri
2 : Mandiri
Transfer 0 : Tidak mampu 2

12
1 : Butuh bantuan duduk (2 orang)
2 : Bantuan kecil (1 orang)
3 : Mandiri
0 : Immobile (tidak mampu)
1 : Menggunakan kursi roda
Mobilitas 2
2 : Berjalan dengan bantuan 1 orang
3 : Mandiri (meskipun menggunakan alat bantu tongkat)
0 : Tidak mampu
Naik turun tangga 1 : Membutuhkan bantuan (alat bantu) 0
2 : Mandiri

Interpretasi Hasil
20 : Mandiri
12 – 19 : Ketergantungan ringan
9 – 11 : Ketergantungan sedang
5–8 : Ketergantungan berat
0–4 : Ketergantungan total
Jumlah skor Barthel 16 (ketergantungan ringan)
F. Assessment
Hemarthrosis ankle joint dextra et causa hemofilia A
G. Daftar Masalah
1. Masalah Medis
Hemarthrosis ankle joint dextra et causa hemofilia A
2. Masalah Rehabilitasi Medis
Fisioterapi : Ankle kanan terasa nyeri dan sulit digerakkan, jalan pincang
Terapi wicara : Tidak ditemukan masalah
Terapi okupasi : Keterbatasan saat berjalan dan naik turun tangga
Sosial medis : Tidak ditemukan masalah
Ortesa-prostesa : Keterbatasan ambulasi
Psikologi : Beban pikiran pasien dan keluarga dalam menghadapi penyakit

13
H. Penatalaksanaan
1. Terapi Medikamentosa
a. Diet nasi lauk 1800 kkal
b. Injeksi faktor VIII 1000 IU / 12 jam IV
2. Rehabilitasi Medis
a. Fisioterapi
Cryotherapy dan TENS di ankle
Latihan ROM setelah fase akut
b. Terapi Wicara
Tidak diperlukan
c. Terapi Okupasi
Tidak diperlukan
d. Terapi Sosial Medis
Edukasi keluarga tentang cara perawatan dan pentingnya peran keluarga dalam
membantu pasien untuk melakukan latihan rehabilitasi di rumah
e. Ortesa-Prostesa
Lofstrand crutches
f. Terapi Psikologi
Psikoterapi suportif untuk mengurangi kecemasan pasien dan keluarganya
I. Impairment, Disability, dan Handicap
Impairment : Ankle kanan terasa nyeri dan sulit digerakkan
Disability : Jumlah skor Barthel 16 (ketergantungan ringan), jalan pincang,
membutuhkan bantuan untuk berjalan ke kamar mandi
Handicap : Sering tidak masuk sekolah, tidak dapat mengikuti ujian
J. Planning
Planning diagnostik : Tidak ada
Planning terapi : Medikamentosa, fisioterapi
Planning edukasi : 1. Penjelasan tentang penyakit dan komplikasi yang terjadi
2. Edukasi home exercise dan kepatuhan melakukan terapi
Planning monitoring : Evaluasi hasil fisioterapi cryotherapy dan TENS

14
K. Goal
1. Jangka Pendek
a. Minimalisasi impairment dan disability
b. Mencegah terjadinya komplikasi akibat hemarthrosis seperti deformitas sendi,
kontraktur sendi, dan muscle wasting
2. Jangka Panjang
a. Memperbaiki kemampuan pasien untuk mengatasi gejala pada fase akut dan kronis
b. Memperbaiki kemampuan pasien sehingga mampu melakukan aktivitas sehari – hari
c. Meningkatkan dan memelihara kekuatan otot ankle dextra
d. Meningkatkan dan memelihara ROM ankle dextra
e. Mengatasi masalah sosial yang muncul akibat penyakit yang dialami pasien
L. Prognosis
Ad vitam : Dubia ad bonam
Ad sanam : Dubia ad bonam
Ad functionam : Dubia ad bonam

15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Hemofilia adalah gangguan pembekuan darah karena defisiensi faktor koagulasi yang
diturunkan (herediter) secara X-linked resesif. Meskipun diturunkan secara genetik, tetapi
sekitar 20 – 30% pasien tidak memiliki riwayat anggota keluarga dengan hemofilia. Kondisi
tersebut mungkin disebabkan oleh mutasi spontan akibat lingkungan endogen atau eksogen1
B. Etiologi dan Patogenesis
1. Etiologi
Menurut defisiensi faktor koagulasi, hemofilia dibagi menjadi hemofilia A, hemofilia
B, dan hemofilia C. Hemofilia A (hemofilia klasik) disebabkan oleh defisiensi atau
disfungsi faktor VIII, hemofilia B (penyakit Christmas) disebabka oleh defisiensi atau
disfungsi faktor IX, dan hemofilia C disebabkan oleh defisiensi faktor XI 2
Gen yang mengodekan faktor VIII dan faktor IX terletak pada kromosom X dan bersifat
resesif. Perempuan memiliki dua kromosom X sedangkan laki – laki memiliki satu
kromosom X. Maka dari itu, penyakit ini dibawa oleh perempuan dan bermanifestasi klinis
pada laki – laki. Perempuan dapat mengalami hemofilia apabila terdapat kelainan pada
kedua kromosom X. Jika kelainannya hanya pada satu kromosom X, maka disebut carrier
hemofilia. Carrier tidak mengalami hemofilia tetapi dapat menurunkan gen cacat pada
anak – anaknya1
2. Patogenesis
Gangguan pembekuan darah pada hemofilia dapat dijelaskan menurut model koagulasi
berbasis sel. Defisiensi faktor VIII atau IX menyebabkan disfungsi kompleks tenase
(FVIIIa/FIXa) sehingga tidak dapat mengaktifkan faktor X di permukaan trombosit. Jika
faktor X tidak teraktivasi, maka pembentukan kompleks protrombinase (FVa/FXa)
menjadi terhambat sehingga tidak dapat mengubah protrombin menjadi trombin. Sintesis
trombin yang rendah menganggu stabilisasi sumbat hemostasis primer sehingga
menyebabkan pendarahan berkelanjutan3,4

16
C. Gambaran Klinis
1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Pendarahan merupakan gejala dan tanda klinis yang paling sering ditemukan.
Pendarahan dapat muncul spontan atau karena trauma ringan sampai sedang serta dapat
muncul saat bayi mulai belajar merangkak. Manifestasi klinis tersebut tergantung pada
beratnya hemofilia. Tanda pendarahan yang sering muncul adalah hemarthrosis, hematoma
subkutan atau intramuskular, pendarahan mukosa mulut, pendarahan intracranial,
epistaksis, dan hematuria. Selain itu, juga dapat terjadi pendarahan saat sirkumsisi atau
setelah ekstraksi gigi1
Hemarthrosis paling sering ditemukan dengan lokasi berturut – turut: sendi lutut, siku,
pergelangan kaki, bahu, pergelangan tangan, dan lainnya. Sendi engsel lebih sering
mengalami hemarthrosis daripada sendi peluru karena tidak dapat menahan gerakan
berputar dan menyudut1
Pendarahan sendi menyebabkan nyeri sendi hebat disertai spasme otot dan gerakan
sendi yang terbatas. Pendarahan berulang pada sendi yang sama menyebabkan inflamasi
dan penebalan jaringan sinovium kemudian terjadi atrofi otot. Kontraksi sendi yang stabil
merupakan faktor predisposisi untuk kerusakan selanjutnya. Kista tulang dan kontraktur
permanen menyebabkan hilangnya gerakan sendi. Selain itu, juga terjadi hipertrofi yang
menyebabkan pembengkakan sendi tanpa disertai nyeri5
Hematoma subkutan atau intramuskular biasanya diawali oleh trauma. Otot yang sering
terkena adalah otot fleksor besar seperti otot betis, otot regio iliopsoas, dan otot lengan
bawah. Hematoma menyebabkan kehilangan darah, sindrom kompartemen, kompresi
saraf, dan kontraktur otot. Jika terjadi di leher, maka dapat menyebabkan sesak napas berat
sampai kematian karena menekan saluran napas1
Pendarahan intrakranial merupakan penyebab utama kematian, dapat terjadi secara
spontan atau setelah trauma. Pendarahan retroperitoneal dan retrofaring dapat menganggu
saluran napas sehingga sangat berbahaya. Hematuria masif dapat menyebabkan kolik
ginjal tetapi tidak mengancam nyawa. Pendarahan setelah operasi sering terjadi selama
beberapa jam sampai beberapa hari dan menyebabkan penyembuhan luka yang buruk1
Menurut kadar atau aktivitas faktor koagulasi dalam plasma, hemofilia dibagi menjadi
hemofilia ringan, sedang, dan berat. Hemofilia ringan apabila aktivitas faktor VIII atau IX

17
antara 5 – 30%. Gejala klinis jarang sekali terdeteksi kecuali apabila mengalami trauma
berat seperti ekstraksi gigi, sirkumsisi, luka iris, dan jatuh terbentur. Hemofilia sedang
apabila aktivitas faktor koagulasi 1 – 5%. Kondisi ini menyebabkan pendarahan setelah
trauma ringan. Hemofilia berat apabila aktivitas faktor koagulasi < 1% sehingga
menyebabkan pendarahan spontan tanpa trauma1
2. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan adalah pemeriksaan darah lengkap,
pemeriksaan hemostasis, dan pemeriksaan faktor koagulasi. Pada hemofilia, APTT
memanjang atau normal pada hemofilia ringan. Hitung trombosit, bleeding time, thrombine
time, dan PPT semuanya normal2,5
Diagnosis pasti ditegakkan dengan penurunan aktivitas faktor VIII atau faktor IX.
Aktivitas faktor VIII dan IX dinyatakan dalam U/ml yang berarti aktivitas faktor koagulasi
dalam 1 ml plasma normal adalah 100%. Nilai normal aktivitas faktor VIII atau IX dalah
0,5 – 1,5 U/ml atau 50 – 150%. Jika ditemukan defisiensi faktor VIII, maka dilanjutkan
dengan pemeriksaan faktor Von Willebrand1,2
Tabel 2.1 Gambaran Klinis dan Laboratorium pada Hemofilia A, Hemofilia B,
dan Penyakit Von Willebrand6
Penyakit Von
Hemofilia A Hemofilia B
Willebrand
Pewarisan X-linked recessive X-linked recessive Autosomal dominan
Lokasi pendarahan Sendi otot, post Sendi otot, post Mukosa, kulit, post
trauma, post operasi trauma, post operasi trauma, post operasi
Hitung trombosit Normal Normal Normal
Bleeding time Normal Normal Memanjang
PT Normal Normal Normal
APTT Memanjang Memanjang Memanjang / normal
Faktor VIII Rendah Normal Sedikit berkurang
Faktor IX Normal Rendah Normal
Vwf Normal Normal Rendah
Tes ristocetin Normal Normal Terganggu

18
D. Terapi
1. Terapi Substitusi Faktor Koagulasi
Terapi substitusi faktor koagulasi dilakukan dengan memberikan faktor VIII atau IX
dalam bentuk rekombinan, konsentrat, atau komponen darah yang mengandung banyak
faktor koagulasi tersebut. Pemberian biasanya dilakukan dalam beberapa hari sampai luka
atau pembengkakan membaik serta selama fisioterapi1
a. Konsentrat Faktor VIII atau IX
Hemofilia berat atau hemofilia ringan-sedang dengan episode pendarahan yang
berat membutuhkan koreksi faktor koagulasi dengan kadar tinggi melalui pemberian
konsentrat faktor VIII atau IX. Faktor VIII atau IX dinyatakan dalam satuan unit. Satu
unit adalah jumlah faktor VIII (100 ng/ml) atau IX (5 mcg/ml) dalam 1 ml plasma
normal. Satu unit faktor VIII per kilogram berat badan dapat meningkatkan kadar faktor
VIII sebesar 2%7
Perhitungan dosis untuk konsentrat faktor VIII dan IX adalah :
Dosis faktor VIII = (Kadar faktor VIII yang diinginkan – Kadar faktor VIII awal) 
Berat badan (kg)  0,5 U/kg
Dosis faktor IX = (Kadar faktor IX yang diinginkan – Kadar faktor IX awal)  Berat
badan (kg)  1 U/k7
Faktor VIII memiliki waktu paruh 8 – 12 jam sehingga diberikan 2 kali sehari untuk
mempertahankan kadar terapeutik. Sedangkan faktor IX memiliki waktu paruh sekitar
24 jam sehingga dapat diberikan sehari sekali. Pada kondisi tertentu, misalnya setelah
operasi, faktor koagulasi dapat diberikan secara kontinue untuk mencapai kadar yang
berkelanjutan dengan total biaya lebih rendah7
b. Kriopresipitat
Kriopresipitat adalah salah satu komponen darah non seluler yang mengandung
faktor VIII, fibrinogen, dan faktor Von Willebrand. Dapat diberikan apabila konsentrat
faktor VIII tidak ditemukan. Satu kantong kriopresipitat mengandung 80 – 100 U faktor
VIII. Satu kantong kriopresipitat yang mengandung 100 U faktor VIII dapat
meningkatkan kadar faktor VIII sebesar 35%. Efek samping yang dapat terjadi adalah
reaksi alergi dan demam1

19
c. Desmopresin (DDAVP)
DDAVP adalah analog sintesis desmopresin yang dapat mengeluarkan cadangan
faktor VIII dan faktor Von Willebrand dari sel endotel. DDAVP 0,3 mcg/kgBB selama
20 menit diharapkan dapat meningkatkan kadar faktor VIII sebesar 2 sampai 3 kali
kadar awal, dengan waktu puncak 30 – 60 menit setelah infus. DDAVP tidak
meningkatkan kadar faktor VIII pada hemofilia A berat karena tidak terdapat cadangan
di sel endotel. Pemberian DDAVP secara berulang menyebabkan takifilaksis karena
DDAVP hanya mengeluarkan cadangan faktor koagulasi, bukan sintesis faktor
koagulasi. Jika membutuhkan DDAVP lebih dari 3 dosis, maka sebaiknya diganti
dengan konsentrat faktor VIII7
d. Antifibrinolitik
Pendarahan gusi, saluran cerna, dan selama bedah mulut membutuhkan
antifibrinolitik karena saliva banyak mengandung enzim fibrinolitik. Obat yang
digunakan adalah asam ɛ-amino kaproat atau asam traneksamat yang diberikan selama
satu minggu atau lebih. Dosis asam traneksamat adalah 25 mg/kgBB 3 atau 4 kali
sehari. Sedangkan asam ɛ -amino kaproat diberikan dalam dosis awal 200 mg/kgBB
(maksimal 10 gram) kemudian 100 mg/kgBB/6 jam (maksimal 30 gram/hari).
Antifibrinolitik tidak boleh digunakan untuk hematuria karena menyebabkan
pembentukan trombus pada lumen saluran kencing7
2. Terapi Suportif
a. Menghindari luka atau benturan1
b. Untuk mengatasi pendarahan akut, dapat dilakukan tindakan pertama berupa rest, ice,
compression, dan elevation (RICE) pada lokasi pendarahan1
1) Rest adalah immobilisasi atau mengistirahatkan bagian tubuh yang cedera. Istirahat
diperlukan untuk mencegah trauma yang lebih parah dan mengurangi kebutuhan
metabolik jaringan yang cedera. Imobilisasi dilakukan dengan bed rest dan
menghindari berjalan. Jika diperlukan, maka dapat menggunakan crutch, arm sling,
atau bidai8
2) Ice adalah meletakkan ice pack pada bagian tubuh yang cedera selama 15 – 20
menit setiap 2 – 3 jam. Es harus dibungkus dengan handuk untuk mencegah

20
kerusakan kulit. Fungsi kompres es adalah menurunkan aliran darah melalui
vasokonstriksi, mengurangi edema dan nyeri, serta mencegah trauma lebih lanjut8,9
3) Compression adalah memasang bebat kompresi bagian tubuh yang cedera dengan
perban elastis atau kain. Bebat dipasang dari ankle sampai ke kaki. Tujuan bebat
kompresi adalah menghentikan pendarahan dan mengurangi edema9
4) Elevation adalah meninggikan bagian tubuh yang cedera dengan cara meletakkan
tungkai di atas bantal atau menggunakan arm sling. Elevasi berfungsi untuk
meningkatkan aliran vena dan limfe sehingga mengurangi edema8

Gambar 2.1 Rest, ice, compression, elevation (RICE)

c. Kortikosteroid sangat membantu untuk mengurangi inflamasi pada sinovitis akut yang
terjadi setelah hemarthrosis. Prednison 0,5 – 1 mg/kgBB/hari selama 5 – 7 hari dapat
mencegah terjadinya gejala sisa berupa kaku sendi yang menganggu aktivitas dan
menurunkan kualitas hidup1
d. Analgesik diberikan pada hemarthrosis dengan nyeri hebat. Aspirin tidak boleh
diberikan sebagai analgesik karena menghambat agregasi platelet1
E. Terapi Rehabilitasi Medis
Latihan fisik melalui latihan kekuatan, latihan berjalan, dan edukasi pasien, terbukti efektif
dalam mengurangi jumlah episode pendarahan. Hal ini digunakan untuk mencegah deformitas
tambahan serta mengurangi nyeri dan pendarahan lanjut selama fase akut. Terapis membantu

21
seseorang untuk mengidenfikasi, mencari, dan menikmati latihan fisik yang memberikan
manfaat lebih besar daripada risiko. Saat ini, pelayanan medis sudah bersifat komprehensif
sehingga terapi fisik lebih fokus ke upaya preventif daripada rehabilitatif10
1. Terapi Modalitas
a. Terapi Dingin / Cryotherapy
Aplikasi dingin pada kulit menyebabkan perubahan sensasi lokal, vasokonstriksi,
relaksasi otot, yang diikuti oleh vasodilatasi. Suhu dingin menurunkan eksitabilitas
saraf tepi sehingga menghambat penghantaran impuls. Hambatan konduksi saraf
menimbulkan efek analgesik lokal dan mengurangi spasme otot. Vasokonstriksi awal
mungkin disebabkan oleh peningkatan afinitas reseptor -adrenergik terhadap
norepinefrin pada otot polos pembuluh darah. Setelah itu, terjadi vasodilatasi karena
refleks spinal untuk mempertahankan suhu normal sehingga terjadi penghangatan
jaringan kembali11
1) Indikasi dan Kontraindikasi
Tabel 2.2 Indikasi dan Kontraindikasi Terapi Dingin12
Indikasi Kontraindikasi
 Luka akut misalnya ligament  Gangguan sensibilitas
sprain, muscle strain, tendinitis,  Gangguan sirkulasi
tenosinovitis, bursitis, kapsulitis  Luka terbuka > 48 jam
 Nyeri myofacial  Hipersensitivitas terhadap dingin
 Pasca bedah ortopedi  Angina pektoris atau penyakit
 Spasme otot jantung lain
 Luka bakar ringan  Saraf tepi yang sedang regenerasi
 Menurunkan suhu tubuh
 Merangsang kontraksi otot
melalui peningkatan eksitabilitas
motor neuron

2) Teknik Pemberian
Ice packs dibuat dengan membungkus pecahan es dengan handuk kering atau
basah kemudian diletakkan pada bagian yang nyeri selama 10 – 20 menit12

22
Cold gel packs berisi gel yang tetap efektif sampai 45 – 60 menit setelah
didinginkan. Dapat digunakan secara berulang, tetapi penggunaan yang tidak tepat
mungkin menyebabkan frost bite12
Vapocoolant spray menggunakan zat fluoromethan, etil klorida, atau nitrogen
cair yang diuapkan. Jika disemprotkan pada kulit, maka akan memberikan efek
pendinginan melalui evaporasi12
b. Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS)
TENS merupakan alat yang menghantarkan arus listrik pada kulit melalui elektroda
untuk menghilangka nyeri akut dan nyeri kronis. Mekanisme kerjanya terdiri dari
mekanisme perifer dan mekanisme sentral. Pada mekanisme perifer, impuls pada saraf
berdiameter besar bekerja lebih cepat sehingga menutup pintu gerbang di spinal (gate
control theory). Sedangkan pada mekanisme sentral, impuls sentuhan akan merangsang
pelepasan endorfin12
Keuntungan pemberian TENS adalah: 1) Alat kecil, mudah digunakan, dan mudah
dibawa; 2) Tidak terdapat komplikasi berat; 3) Tidak terdapat trauma listrik; 4) Sebagai
pengganti obat analgesik; 4) Dapat digunakan untuk nyeri akut maupun kronis11,12
TENS bukan pengobatan untuk penyakit primer yang disertai nyeri. TENS tidak
boleh diberikan pada pasien dengan alat pacu jantung meskipun dengan intensitas
kecil. Jika nyeri bertambah, maka terapi harus dihentikan12
2. Terapi Latihan
a. Latihan Luas Gerak Sendi / ROM
Latihan pasif dilakukan apabila kekuatan otot 0 atau 1, latihan aktif dengan bantuan
(active assistive) dilakukan apabila kekuatan otot 2, latihan aktif mandiri dilakukan
apabila kekuatan otot 3, dan latihan aktif dengan beban (active resistive) dilakukan
apabila kekuatan otot 4 atau 5. Latihan ROM bermanfaat untuk mencegah kontraktur
sendi serta meningkatkan fleksibilitas dan keseimbangan sehingga tidak mudah jatuh12
Latihan dilakukan dengan intensitas ringan pada ROM yang tidak menimbulkan
nyeri. Setiap kelompok otot diulang sebanyak 10 kali dengan frekuensi minimal 2 – 3
hari/minggu13

23
Gambar 2.2 Latihan ruang gerak sendi (ROM) pada ankle joint

b. Latihan Kekuatan
Latihan isometrik dan isotonik dapat dilakukan pada fase subakut. Pada latihan
isometrik, kontraksi otot meningkat tetapi sendi tidak bergerak. Pada latihan isotonik,
kontraksi otot terjadi bersama dengan gerakan sendi. Latihan kekuatan dapat
memperkuat otot dan melindungi sendi sehingga mengurangi episode pendarahan12,14
Latihan ROM dan latihan kekuatan yang dilakukan 1 jam/hari dengan frekuensi 5
hari/minggu selama 4 minggu terbukti dapat meningkatkan ROM sendi, mengurangi
nyeri, dan mengurangi disabilitas14

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Rotty, L. (2014). Hemofilia A dan B. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (hlm. 2742–

2749) Jakarta: Interna Publishing.

2. Bakta, I. (2006). Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC.

3. Ferreira, C., Sousa, M. & Dusse, L. (2010). A Cell-based Model of Coagulation and Its

Implications. Rev Bras Hematol Hemoter, 32(5): 416–421.

4. Ruseva, A. & Dimitrova, A. (2011). A New Understanding of the Coagulation Process - The

Cell-based Model. J Biomed Clin Res, 4(1): 17–22.

5. Drelich, D. (2018). Hemophilia A: Practice Essentials, Background, Pathophysiology.

Diambil 24 September 2018, dari https://emedicine.medscape.com/article/779322-

overview#a1.

6. Hoffbrand, A. & Moss, P. (2011). Essential Haematology. West Sussex: John Wiley & Sons.

7. Arruda, V. & High, K. (2015). Coagulation Disorders. Dalam Harrison’s Principles of

Internal Medicine (hlm. 732–735). Philadelphia: McGraw Hill.

8. Bekerom MPJ, et al. (2012). What Is the Evidence for Rest, Ice, Compression, and Elevation

Therapy in the Treatment of Ankle Sprains in Adults? J Athl Train, 47(4): 435–443.

9. Kaminski, TW, et al. (2013). National Athletic Trainers’ Association Position Statement:

Conservative Management and Prevention of Ankle Sprains in Athletes. Journal of Athletic

Training, 48(4): 528–545.

10. Iioka, F, et al. Long-term treatment course of a patient with mild haemophilia A who

developed a high titre factor VIII inhibitor. Haemophilia, 20(6): 402–404.

11. Chen, W., Annnaswamy, T., Yang, W. & Wang, T. Physical Agent Modalities. Dalam

Braddom’s Physical Medicine and Rehabilitation (hlm. 369–395). Philadelphia: Elsevier.

25
12. Nugraheni, N., Tinduh, D. & Rochman, F. (2015). Terapi Fisiatrik. Dalam Ilmu Kedokteran

Fisik dan Rehabilitasi (hlm. 40–60). Jakarta: CV Sagung Seto.

13. Wilder, R., Jenkins, J., Panchang, P. & Statuta, S. Therapeutic Exercise. Dalam Braddom’s

Physical Medicine and Rehabilitation (hlm. 321–345). Philadelphia: Elsevier.

14. Gurcay, E., Eksioglu, E., Ezer, U., Cakir, B. & Cakci, A. (2008). A prospective series of

musculoskeletal system rehabilitation of arthropathic joints in young male hemophilic

patients. Rheumatol Int, 28(6): 541–545.

26

Anda mungkin juga menyukai