Anda di halaman 1dari 39

Lab/SMF Ilmu Kedokteran Forensik & Medikolegal KARYA TULIS ILMIAH

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

IDENTIFIKASI KORBAN BENCANA MASSAL

Disusun oleh:
Dinda Aprilistya Puri 2010017042
Asti Ainun MZ 2010017046
Rohmi Pawitra Sari 2010017051

Pembimbing:
dr. Kristina Ulli Galtom, Sp.FM

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


SMF/Lab Ilmu Kedokteran Forensik & Medikolegal
Fakultas Kedokteran Umum
Universitas Mulawarman
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah yang berjudul
“Identifikasi Korban Bencana Massal” Penulis menyadari bahwa keberhasilan
penulisan ini tidak lepas dari bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini
penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada :
1. dr. Kristina Ulli Galtom, Sp.FM, sebagai dosen pembimbing klinik selama stase
Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal.
2. Seluruh pengajar yang telah mengajarkan ilmunya kepada penulis hingga
pendidikan saat ini.
3. Rekan sejawat dokter muda yang telah bersedia memberikan saran dan
mengajarkan ilmunya pada penulis.
4. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis.
Akhir kata,”Tiada gading yang tak retak”. Oleh karena itu, penulis membuka
diri untuk berbagai saran dan kritik yang membangun guna memperbaiki laporan ini.
Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semuanya.

Samarinda, 29 Maret 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................ii
BAB 1.....................................................................................................5
PENDAHULUAN..................................................................................5
1.1 Latar Belakang.........................................................................5
1.2 Tujuan......................................................................................6
BAB 2.....................................................................................................7
TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................7
2.1 Identifikasi...............................................................................7
2.1.1 Definisi Identifikasi.................................................................7
2.1.2 Objek Identifikasi....................................................................7
2.1.3 Prinsip Identifikasi...................................................................9
2.1.4 Manfaat Identifikasi.................................................................9
2.1.5 Peran Dokter Dalam Proses Identifikasi................................10
2.1.6 Teknik Identifikasi.................................................................15
2.2 Bencana Massal.....................................................................18
2.3 Disaster Victim Identification (DVI).....................................21
2.3.1. Definisi Disaster Victim Identification (DVI)................................21
2.3.2. Proses DVI....................................................................................22
2.3.3. Metode Identifikasi.......................................................................28
BAB 3...................................................................................................35
LAPORAN KASUS............................................................................36
3.1 Jatuhnya Pesawat Sriwijaya Air SJ 182 (9 Januari 2021)......36
BAB 4...................................................................................................39
PENUTUP...........................................................................................39
4.1 Kesimpulan............................................................................39
4.2 Saran......................................................................................39
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................40

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari 13.667
pulau dengan batas luasnya sebesar 2.027.087 km2 mempunyai kurang
lebih 129 gunung merapi. Secara geologis Indonesia terletak di
pertemuan diantara 3 lempeng tektonik utama (Eurasia, Indo-Australia
dan Mediterania) dan secara demografi terdiri dari bermacam-macam
etnik, agama, latar belakang sosial dan budaya, dimana keadaan
tersebut memberikan petunjuk bahwa Indonesia berisiko tinggi sebagai
negara yang rawan terjadi bencana. Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB) Indonesia melaporkan telah terjadi kurang lebih 13.458 bencana
massal di Indonesia selama periode 1815 sampai 2012. Pada tahun 2020 periode 1
Januari-18 Mei telah tercatat jumlah kejadian bencana massal sebanyak 1.296
kejadian.
Bencana dapat diakibatkan karena alam dan mausia. Indonesia secara
geografis dan geologis terletak di daerah yang rawan terhadap bencana alam
seperti gempa bumi, tsunami,banjir, tanah longsor, angin topan dan angin puting
beliung yang dapat melanda hampir di seluruh Indonesia. Bencana yang di
akibatkan oleh manusia adalah teror bom, konflik, kapal tenggelam dan
kecelakaan pesawat. Bencana masal yang terjadi secara hebat yang tidak terduga
akan menimbulkan banyak korban jiwa yang tidak dikenali atau tidak memiliki
identitas [ CITATION Lar18 \l 1057 ]. Berdasarkan Disaster Victim Identification
Guide yang dikeluarkan oleh Interpol menjelasakan bencana dapat berupa
bencana terbuka dan bencana tertutup. Bencana tertutup adalah bencana dengan
jumlah korban yang sudah pasti dan mudah di identifikasi atau di kelompokkan,
bencana terbuka adalah bencana katastropik dengan jumlah para koraban yang
tidak diketahui dan data-data individual yang tidak jelas [ CITATION Mon13 \l
1057 ].
Disaster Victim Identification (DVI) adalah suatu istilah yang digunakan
untuk menjelaskan prosedur dalam mengidentifikasi identitas korban meninggal

4
akibat suatu bencana massal yang tetapharus dapat di pertanggung jawabkan
secara ilmiah dan mengacu pada standar baku Interpol [ CITATION Yun19 \l
1057 ]. DVI diperlukan untuk menegakkan Hak Asasi Manusia, sebagai bagian
dari proses penyidikan, jika identifikasi visual diragukan, sebagai penunjang
kepentingan hukum (asuransi, warisan, status perkawinan) dan dapat
dipertanggungjawabkan.

1.2 Tujuan
Tujuan umum dari pembuatan Karya Tulis Ilmiah ini adalah untuk
menambah wawasan dan ilmu pengetahuan mengenai bencana, identifikasi dan
identifikasi korban pada bencana massal.

5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

.1 Identifikasi

2.1.1 Definisi Identifikasi


Identifikasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti sebagai
berikut : pertama , tanda kenal diri; bukti diri; kedua, penentu atau penetapan
identitas seseorang, benda, dan sebagainya ketiga, proses psikologi yang terjadi
pada diri seseorang karena secara tidak sadar membayangkan dirinya seperti
orang lain yang dikaguminya, lalu dia meniru tingkah laku orang yang
dikaguminya itu [CITATION Ist13 \l 1057 ].
Identifikasi forensik memiliki arti penetapan identitas seseorang berdasarkan
ilmu kedokteran yang dilakukan berdasarkan fakta-fakta medis. Identifikasi
forensik merupakan upaya yang dilakukan dengan tujuan membantu penyidik
untuk menentukan identitas seseorang. Identifikasi dari tubuh yang tak dikenal,
baik hidup ataupun mati, dapat dilakukan bagi kepentingan penyidikan perkara
pidana dan bagi tugas kepolisian yang lain, misalnya pada peristiwa bencana
alam, kecelakaan yang mengakibatkan korban massal (mass disaster) atau pada
peristiwa ditemukannya seseorang dengan demensia atau kelainan jiwa yang sulit
diajak berkomunikasi [CITATION Ist13 \l 1057 ].
Kepentingan dilakukannya identifikasi adalah sebagai upaya memenuhi hak
dasar setiap individu untuk memiliki identitas semasa hidup ataupun setelah mati,
dan untuk memudahkan penanganan masalah hukum perdata ataupun pidana
antara orang yang meninggal dengan keluarga yang ditinggalkan [ CITATION
Ist13 \l 1057 ].

2.1.2 Objek Identifikasi


a. Identifikasi Orang Hidup
Identifikasi seorang inividu adalah pengenalan individu berdasarkan ciri-ciri
atau sifat-sifat yang membedakannya dari yang lain, pada dasarnya meliputi
anatomi, odontologi dan golongan darah. Pada identifikasi ini dilakukan
pemeriksaan dan pengamatan menyeluruh yang terdiri antara lain [ CITATION

6
Ist13 \l 1057 ] :
1) Pemeriksaan fisik yang meliputi antara lain
- Umur, jenis kelamin, tinggi badan, berat badan;
- Deformitas;
- Parut, tato;
- Gigi, warna mata, kulit dan rambut;
- Ukuran sepatu dan topi;
- Disability (tuli atau buta).
2) Pemeriksaan sidik jari.
3) Penentuan golongan darah.
4) Ciri-ciri tubuh tertentu (perawakan, cara berjalan).
5) Fotografi.
6) Benda-benda milik pribadi (KTP, SIM, ijazah, cincin kawin, pakaian).

b. Identifikasi Orang Mati


Identifikasi terhadap orang yang sudah meninggal dunia dapat dilakukan
terhadap :
1) Jenazah yang masih baru dan utuh.
2) Jenazah yang sudah membusuk dan utuh.
3) Bagian-bagian dari tubuh jenazah.
Identifikasi pada jenazah yang masih baru dan utuh oleh pihak kepolisian
hampir sama seperti yang dilakukan terhadap orang hidup. Adapun pemeriksaan
pada identifikasi jenazah meliputi
Pemeriksaan pada identifikasi jenazah secara umum
- Kerangka manusia atau bukan;
- Penentuan jumlah korban;
- Penentuan jenis kelamin;
- Perkiraan tinggi badan;
- Perkiraan umur;
- Penentuan ras.
Pemeriksaan pada identifikasi jenazah secara khusus
- Pemeriksaan sidik jari;

7
- Pemeriksaan golongan darah;
- Tanda-tanda pekerjaan/kebiasaan;
- Gigi-geligi;
- Warna kulit, mata, rambut;
- Cacat, kelainan bawaan;
- Tato;
- Kelainan patologis/parut.

2.1.3 Prinsip Identifikasi


Dalam proses Identifikasi diperlukan dua aspek [ CITATION Ist13 \l 1057 ] :
a. Aspek pengumpulan data identitas; baik antemortem maupun postmortem
b. Aspek komparasi; antara data antemortem dengan postmortem untuk
menentukan korban. Prinsip dari proses identifikasi adalah membandingkan
data antemortem dengan postmortem, semakin banyak yang cocok semakin
baik.
Data yang digunakan untuk menentukan identitas seseorang, meliputi [ CITATION
Ist13 \l 1057 ] :
a. Identifikasi primer, meliputi pemerikasaan sidik jari, data gigi dan
deoxyrebose nucleic acid (DNA)
b. Identifikasi sekunder, yakni data visual seperti pakaian ataupun perhiasan,
data kepemilikan seperti obat-obatan dan gigi palsu, data dokumentasi seperti
kartu identitas atau foto, dan data medis yaitu ciri tubuh, jenis kelamin,
golongan darah, dan lain-lain.
Kedudukan data identifikasi primer memiliki nilai yang lebih tinggi
dibandingkan data identifikasi sekunder. Korban dinyatakan positif teridentifikasi
apabila satu atau lebih ukuran identifikasi primer terbukti dengan atau tanpa data
sekunder, atau minimal dua data identifikasi sekunder yang cocok bila data primer
tidak ada [ CITATION Ist13 \l 1057 ].

2.1.4 Manfaat Identifikasi


Manfaat dalam identifikasi forensik antara lain [ CITATION Ist13 \l 1057 ] :
a. Mengungkap kasus tindak pidana

8
b. Keluarga/yang ditinggalkan dapat mengurus sertifikat kematian.
c. Keluarga/yang ditinggalkan dapat mengetahui status pernikahan atau
untuk melakukan pernikahan kembali
d. Untuk masalah hukum perdata lainnya, seperti menentukan hak
pengurusan rumah atau tanah, hak waris, dll
e. Mengetahui asal-usul manusia, penyebarannya dan lain sebagainya

2.1.5 Peran Dokter Dalam Proses Identifikasi


Dalam melakukan identifikasi, dokter diharapkan dapat :
a. Membedakan jenazah manusia atau bukan
Apabila hanya di temukan tulang, terkadang tulang antara hewan dengan
manusia mirip. Namun dengan pemeriksaan yang teliti dapat dibedakan tulang
tersebut berasal dari manusia atau hewan. Untuk tulang yang tidak
teridentifikasi dapat ditentukan tulang manusia atau tulang hewan dengan
pemeriksaan imunologik (precipitin test) [ CITATION Ist13 \l 1057 ].
b. Menentukan jumlah korban
Seringkali dalam kecelakaan pesawat udara atau kereta api timbul kesulitan
tidak hanya dalam hal identifikasi siapa saja korbannya, tetapi juga berapa
sebenarnya jumlah korban, sebab biasanya korban banyak yang sudah hancur.
Beberapa parameter untuk mengidentifikasi adanya korban lebih dari satu
adalah [ CITATION Erw19 \l 1057 ] :
- Ada tidaknya duplikasi dari tulang sejenis;
- Perbedaan yang jelas dari ukurannya;
- Perbedaan usia tulang;
- Asimetris;
- Kontur sendi tidak sama;
- X-ray trabecular pattern yang
c. Membedakan jenazah laki-laki atau perempuan
Pada keadaan dimana jenis kelamin tidak mungkin dilakukan dengan
pemeriksaan luar, maka penentuan jenis kelamin dapat dilakukan dengan cara :
1) Jaringan lunak tertentu
Uterus dan prostat merupakan jaringan lunak yang tahan terhadap
pembusukkan dan dapat digunakan untuk menentukan jenis kelamin. Selain itu

9
pemeriksaan seks kromatin dari sampel jaringan lunak atau tulang rawan pun
bisa dilakukan. Pemeriksaan tersebut sering digunakan untuk menentukan jenis
kelamin pada mayat yang terpotong-potong [ CITATION Ist13 \l 1057 ].
2) Tulang-tulang tertentu
Beberapa tulang pada laki-laki dan perempuan jelas perbedaannya, antara lain
tengkorak, pelvis, tulang panjang, rahang dan gigi [ CITATION Ist13 \l 1057 ].
3) Secara Histologi
Prinsip penentuan secara histologik atau mikroskopik ini adalah berdasarkan
pada khromosom. Bahan pemeriksaan dapat diambil dari: kulit, leukosit, sel-sel
selaput lender pipi bagian dalam, sel-sel rawan, kortex kelenjar supra renalis
dan cairan amnion. Adapun beberapa metode atau cara yang dapat digunakan,
diantaranya ialah sebagai berikut [ CITATION Ist13 \l 1057 ].
- Metode yang praktis untuk kepentingan Kedokteran Forensik adalah
pemeriksaan khromosom dari biopsi kulit. Untuk maksud tersebut dipakai
fiksasi merkuri-khlorida setengah jenuh dalam 15% formolsalined.
- Cara lain yang lebih praktis adalah dengan melakukan pemeriksaan atas sel
PMN leucocytes, yaitu melihat adanya bentuk “drumstick”. Kemungkinan
dijumpainya “drumstick” pada wanita lebih banyak bila dibandingkan pria.
Adapun cara penafsirannya adalah sebagai berikut: Pada pemeriksaan
didapatkan adanya bentuk “drumstick” atau tidak ditemukan adanya bentuk
“drumstick”. Ini disebabkan adanya fakta: enam drumstick adalah normal
ditemukan pada 300 neutrophil wanita, dimana untuk pria drumstick tidak
dijumpai pada 500 atau lebih.
- Cara lain adalah pemeriksaan seks-khromatin yang dapat dilakukan pada
akar rambut, dimana pada wanita didapatkan pada 70% sedangkan pada
pria hanya 7%.
- Pemeriksaan penentuan jenis kelamin secara histologik yang paling tepat
adalah pemeriksaan atas struktur inti darah putih dan dari kulit,
pemeriksaan pun dapat dikerjakan pada bahan post mortal. Adapun
ketepatan pemeriksaan pada bahan post mortal adalah 85,5%.

d. Menentukan Umur

10
Umur merupakan identitas primer, selain penting untuk identifikasi juga
diperlukan dalam kasus-kasus seperti [ CITATION Ist13 \l 1057 ] :
- Perkosaan;
- Pelanggaran Kesusilaan;
- Perkawinan;
- Warisan;
- Undang-Undang Kerja;
- Wajib Militer;
- Wajib Belajar;
- Saksi Pengadilan;
- Lainnya.
Pada pemeriksaan luar korban hanya dapat memperkirakan usia seseorang dan
kemungkinan dapat terjadi kesalahan bila korban adalah dewasa. Untuk
menentukan umur dari pemeriksaan kerangka dapat dilakukan dengan melihat [
CITATION Ist13 \l 1057 ] :
- Wajah;
- Gigi-Geligi;
- Perubahan Tulang dan Osifikasi;
- Berat Badan dan Tinggi Badan.
Untuk kepentingan menghadapi kasus-kasus forensik, maka penentuan atau
perkiraan umur dibagi dalam tiga fase yaitu
1) Bayi yang baru lahir
Perkiraan umur bayi menjadi sangat penting apabila dikaitkan dengan kasus
pembunuhan anak, dalam hal ini penentuan umur kehamilan (maturitas), dan
viabilitas. Kriteria yang umum dipakai ialah: berat badan, tinggi badan, dan
pusat-pusat penulangan. Tinggi badan mempunyai nilai yang lebih bila
dibandingkan dengan berat badan di dalam hal perkiraan umur. Pengukuran
tinggi badan dapat diukur mulai dari puncak kepala sampai ke tumit (crown-
heel), atau dapat juga diukur dengan cara lain yaitu dari puncak kepala ke
tulang ekor (crown-rup). Pusat penulangan yang paling bermakna di dalam
upaya memperkirakan umur adalah pusat penulangan pada bagian distal tulang
paha (os femoris). Pemeriksaan dengan sinar-X dapat membantu untuk menilai

11
timbulnya epiphyses dan fusinya dengan diaphysis [ CITATION Ist13 \l 1057 ].
2) Anak-anak dan dewasa di bawah 30 tahun
Saat terjadinya unifikasi dari diaphyses memberi hasil dalam bentuk perkiraan.
Persambungan spenooccipital terjadi dalam umur 17-25 tahun. Pada wanita
saat persambungan tersebut antara 17-20 tahun. Tulang selangka merupakan
tulang panjang terakhir yang mengalami unifikasi. Unifikasi dimulai pada
umur 18-25 tahun, dan mungkin tidak lengkap sampai 25-30 tahun. Dalam usia
31 tahun ke atas unifikasi menjadi lengkap. Tulang belakang (ossis vertebrae),
sebelum 30 tahun akan menunjukkan alur-alur yang dalam yang berjalan radier
pada bagian permukaan atas dan bawah; dalam hal ini corpus vertebraenya
[ CITATION Ist13 \l 1057 ].
3) Dewasa diatas 30 tahun
Perkiraan umur dilakukan dengan memeriksa tengkorak, yaitu sutura-
suturanya. Penutupan pada bagian tabula interna biasanya mendahului tabula
eksterna. Sutura sagitalis, coronarius dan sutura lambdoideus mulai menutup
pada umur 20-30 tahun. Lima tahun berikutnya terjadi penutupan sutura
parietomastoid dan sutura squamaeus, tetapi dapat juga tetap terbuka atau
menutup sebagian pada umur 60 tahun. Sutura spheno-parietal umumnya tidak
akan menutup sampai umur 70 tahun [ CITATION Ist13 \l 1057 ].

e. Menentukan Tinggi Badan


Salah satu informasi penting yang dapat digunakan untuk melacak identitas
seseorang adalah informasi tentang tinggi badan. Apabila seluruh tubuh atau
bagian-bagian tubuh dapat seluruhnya ditemukan, maka tidaklah terlalu sulit
untuk menentukan tinggi badannya yaitu dengan menghimpun kembali dan
mengukur langsung tinggi badan. Namun, akan menjadi sulit apabila tubuh
yang diperiksa tersebut sudah terpotong-potong atau yang didapatkan rangka,
atau sebagian dari tulang saja. Maka dalam hal ini ada beberapa rumus yang
dapat dipakai untuk memperkirakan tinggi badan antara lain [ CITATION Erw19
\l 1057 ].
1) Panjang kepala adalah kira-kira 1/8 panjang badan;
2) Pertengahan panjang kepala adalah garis tepat di bawah mata;

12
3) Dari dagu ke lubang hidung = lubang hidung ke bawah mata = ¼ panjang
kepala;
4) Pubis membagi tinggi badan menjadi 2 sama panjang;
5) Tinggi badan kira-kira sama dengan jarak ujung jari ke ujung jari apabila
kedua lengan direntangkan;
6) Panjang tangan = ½ panjang lengan bawah = ½ panjang lengan atas;
7) ½ panjang tangan = phalanges = metacarpal + carpal.
Pada umumnya perkiraan tinggi badan dapat dipermudah dengan
pengertian bahwa tubuh yang diperiksa itu pendek, sedang atau jangkung.
Adapun perkiraan tinggi badan dapat diketahui dari pengukuran tulang-tulang
panjang yaitu [ CITATION Erw19 \l 1057 ] :
1) Tulang paha (Femur), menunjukkan 27% dari tinggi badan;
2) Tulang kering (Tibia), menunjukkan 22% dari tinggi badan;
3) Tulang lengan atas (Humerus), menunjukkan 35% dari tinggi badan;
4) Tulang belakang menunjukkan 35% dari tinggi badan.
Dalam hal keadaan dimana hanya sebagian tulang saja yang didapat, maka
cara yang dilakukan adalah dengan mengukur panjang tulang Humerus,
Radius, Ulna, Femur, Tibia, dan Fibula. Setelah itu, barulah dimasukkan ke
dalam suatu rumus yang dapat memperkirakan panjang/tinggi badannya
[ CITATION Erw19 \l 1057 ].
Perlu diingat kembali, bahwa ada beberapa hal yang perlu diperhatikan di
dalam pengukuran tulang diantaranya [ CITATION Erw19 \l 1057 ] :
- Pengukuran dengan osteometric board;
- Tulang harus dalam keadaan kering (dry bone);
- Tulang yang diukur dalam keadaan kering biasanya lebih pendek 2 mm
dari tulang yang segar.
- Menggunakan satu atau beberapa rumus yang dapat memperkirakan
panjang/tinggi badan, ketika tubuh yang diperiksa tersebut sudah
terpotong-potong atau yang didapatkan rangka, atau sebagian dari
tulangnya saja

2.1.6 Teknik Identifikasi


Untuk mengidentifikasi jenazah, dapat digunakan berbagai teknik, yaitu :

13
a. Dokumentasi
Dalam hal ini dapat berupa Kartu Tanda Penduduk, Surat Izin
Mengemudi, paspor, kartu golongan darah, tanda pembayaran, dan lain
sebagainya yang ditemukan dalam dompet atau tas korban dapat
membantu menunjukkan identitas korban. Namun perlu diingat bahwa
pada kecelakaan massal, dokumen yang terdapat dalam dompet atau tas
yang berada di dekat jenazah belum tentu adalah milik jenazah yang
bersangkutan [ CITATION Erw19 \l 1057 ].
b. Pengenalan visual
Metode ini dilakukan dengan memperlihatkan jenazah pada orang-orang
yang merasa kehilangan anggota keluarga atau temannya. Cara ini hanya
efektif pada jenazah yang belum membusuk, sehingga masih mungkin
dikenali wajah dan tubuhnya, oleh lebih dari satu orang. Besar
kemungkinan adanya faktor emosi yang mengaburkan pembenaran atau
penyangkalan identitas jenazah [ CITATION Ist13 \l 1057 ].
c. Penyesuaian data antemortem dan postmortem
Cara pengumpulan data antemortem adalah sebagai berikut [ CITATION
Ist13 \l 1057 ] :
1) Melalui Unit polisi pencarian orang hilang dalam DVI
Pengumpulan data berupa nama, alamat, nomor telpon yang bisa
dihubungi dari keluarga korban serta data medis korban.
2) Odontologi
Forensik odontologi harus menghubungi seluruh dokter gigi yang
pernah melakukan perawatan gigi terhadap korban. Data tersebut
harus asli dan meliputi: odontogram, radiograf, cetakan gigi dan
fotograf.
Data postmortem meliputi :
1) Sidik jari
2) Data dan foto dari pakaian, perhiasan, tato
3) Pemeriksaan patologi forensik
Data yang paling sering digunakan adalah odontologi forensik. Data
postmortem dapat dikumpulkan pada tempat kejadian perkara (TKP).

14
Setelah data antemortem dan postmortem yang di kumpulkan oleh tim
yang berbeda terkumpul, kemudian dibawa ke pusat identifikasi untuk
dicocokkan (matching). Proses identifikasi menggunakan 2 metode,
yaitu metode sederhana dan metode ilmiah [ CITATION Ist13 \l 1057 ].
d. Metode obyektif atau ilmiah
Metode ilmiah dibagi menjadi 3 macam, yaitu :
Sidik Jari
Identifikasi menggunakan pola sidik jari merupakan teknik biometrik
tertua di dunia. Sejarahnya kembali ke zaman 6000 tahun sebelum
masehi. Penggunaan sidik jari telah tercatatkan oleh bangsa Assyiria,
Babilonia Jepang dan Cina. Bangsa Cina menggunakan sidik jari sebagai
alat identifikasi penulis dari suatu dokumen. Sejak tahun 1897,
dactyloscopy (identifikasi sidik jari tanpa berbasis komputer) telah
digunakan untuk identifikasi kejahatan. Karakteristik sidik jari setiap
orang adalah unik dan tidak akan berubah selama hidup. Berdasarkan
penelitian peluang dua orang memiliki sidik jari yang sama lebih kecil
dari satu dalam satu milyar. Identifikasi sidik jari dilakukan dengan
mencocokkan pola karakteristik yang khas, yang diketahui sebagai detail
Galton, point of identity atau minutiae, dan pemanding minutiae adalah
cetak referensi berupa cap sidik jari menggunakan tinta dari sidik jari
tersangka.
Ada tiga gambaran dasar dari bentuk karakter dasar, yaitu :
a) The ridge ending
b) The bifurcation
c) The dot or island
Dalam satu sidik jari terdapat lebih dari 100 poin yang digunakan dalam
identifikasi. Tidak ada ukuran jumlah pasti poin identifikasi yang
ditemukan pada luas area tertentu tergantung dari lokasi penempelan.
Contoh, daerah delta mungkin mengandung lebih banyak poin
permilimeter persegi dibanding daerah ujung jari [ CITATION Ist13 \l
1057 ].

15
Rekam gigi
Merupakan metode identifikasi yang memiliki banyak keunggulan, yaitu
[ CITATION Ist13 \l 1057 ] :
a) Gigi resisten terhadap pembusukan dan pengaruh lingkungan yang
ekstrim
b) Karakteristik individual yang unik dalam hal susunan gigi dan
restorasi gigi membuat identifikasi gigi memiliki ketepatan tinggi
c) Kemungkinan adanya data antemortem berupa rekam gigi
d) Terlindung oleh otot bibir dan pipi, trauma akan mengenai otot-otot
tersebut lebih dahulu.
e) Bentuk gigi geligi di dunia tidak sama, kemungkinan sama satu
banding dua miliar
f) Gigi tahan panas hingga 400˚C
g) Gigi tahan asam keras.
Batasan dari forensik odontologi terdiri dari :
a) Identifikasi dari mayat tak dikenal.
b) Penentuan umur
c) Pemeriksaan jejas gigit
d) Penentuan ras berdasarkan gigi
e) Analisis dari trauma orofasial
f) Dental jurisprudensi berupa keterangan saksi ahli
g) Peranan pemeriksaan DNA dalam identifikasi personal

DNA
DNA adalah asam nukleat yang mengandung materi genetik yang
berfungsi untuk mengatur perkembangan biologik seluruh bentuk
kehidupan secara seluler. DNA terdiri dari dua molekul yang membentuk
struktur double helix. Hampir semua sampel biologis tubuh dapat
digunakan sebagai sampel tes DNA, tapi yang sering digunakan adalah
sampel darah, rambut, apusan pipi, dan kuku. Untuk kasus forensik,
sperma, daging, tulang, kulit, air liur atau sampel biologis lainnya yang di
temukan di TKP dapat menjadi sampel tes DNA [ CITATION Ist13 \l 1057

16
].
a) Tujuan Tes DNA
- Tujuan pribadi : penentuan perwalian anak atau penentuan
orang tua dari anak.
- Tujuan hukum : meliputi masalah forensik, seperti identifikasi
korban yang telah hancur, sehingga butuh pencocokkan antara
DNA korban dengan keluarga, ataupun pembuktian pelaku
kejahatan.
b) Metode Tes DNA :
- STR (Short Tandem repeat) STR adalah lokus DNA yang
tersusun atas pengulangan 2-6 basa. Dalam genom manusia
dapat ditemukan pengulangan basa yang bervariasi jumlah dan
jenisnya. Dengan memprofilkan DNA menggunakan STR,
DNA dapat dibandingkan satu sama lain.
- PCR (Polymerase Chain Reaction) PCR merupakan teknik
yang memungkinkan sintesis wilayah DNA tertentu. Yang
memungkinkan peneliti membuat berjuta-juta salinan DNA
dalam waktu singkat untuk kemudian di identifikasi.

2.2 Bencana Massal


2.2.1 Definisi Bencana
Menurut Undang-Undang No. 24 Tahun 2007, bencana adalah peristiwa
atau serangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan
dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan /
atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta
benda, dan dampak psikologis (BNPB), 2017).
Bencana massal itu sendiri didefinisikan sebagai suatu peristiwa yang
disebabkan oleh alam ataupun ulah manusia, yang dapat terjadi secara
tiba-tiba atau perlahan-lahan yang menyebabkan hilangnya jiwa manusia,
kerusakan harta benda dan lingkungan, serta melampaui kemampuan dan
sumber daya masyarakat untuk menanggulanginya.

17
2.2.2 Jenis - Jenis Bencana
Jenis-jenis bencana menurut Undang-Undang No.24 Tahun 2007, sebagai
berikut :
a. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa
gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan,
dan tanah longsor.
b. Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh pristiwa atau
rangkaian peristiwa non alam yang antara lain berupa gagal teknologi,
gagal modernisasi, epidemic, dan wabah penyakit.
c. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh pristiwa atau
serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi
konflik social antar kelompok atau antar komunitas masyarakat, dan teror.

2.2.3 Dampak Bencana


Dampak bencana adalah akibat yang timbul dari kejadian bencana dapat
berupa korban jiwa, luka, pengungsian, kerusakan pada infrastruktur/asset,
lingkungan ekosistem, harta benda, gangguan pada stabilitas social-
ekonomi, besar kecilnya dampak bencana tergantung pada tingkat
ancaman (hazard), kerentanan (vulnerability), dan kapasitas/kemampuan
untuk menanggulangi bencana. dampak bencana dibagi menjadi tiga
bagian yaitu [ CITATION Nur11 \l 1033 ]:
a. Dampak langsung ( direct impact), meliputi kerugian finansial dari
kerusakan asset ekonomi, misalnya rusaknya bangunan seperti tempat
tinggal dan tempat usaha.
b. Dampak tidak langsung (indirect impact) meliputi berhentinya proses
produksi, hilangnya sumber penerimaan yang dala istilah ekonoi
disebut flow value.
c. Dampak sekunder (secondary impact) atau dampak lanjutan. Misalnya
terhambatnya pertumbuhan ekonomi, terganggunya rencana
pembangunan yang telah disusun, meningkatnya angka kemiskinan
dan lain-lain.

18
Disamping dampak bencana di atas, terdapat dampak yang sering
kurang mendapatkan perhatian yaitu dampak psikologis, dampak
bencana ini mengakibatkan terganggunya keseimbangan kondisi
psiklogis seseorang

2.2.4 Manajemen Penanggulangan Bencana


Manajemen bencana adalah suatu proses dinamis, berlanjut dan terpadu
untuk meningkatkan kualitas langkah-langkah yang berhubungan dengan
observasi dan analisis bencana serta pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan,
peringatan dini, penanganan darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi bencana
(UU NO. 24 TAHUN 2007). Model penanggulangan bencana dikenal
sebagai siklus penanggulangan bencana yang terdiri dari tiga fase, yaitu
fase prabencana, fase saat terjadi bencana, dan fase pasca bencana.
a. Fase prabencana Fase prabencana pendekatannya adalah pengurangan
risiko bencana dengan tujuan untuk membangun masyarakat Indonesia
yang tangguh dalam menghadapi ancaman bencana. Tahap manajemen
bencana pada kondisi sebelum kejadian yaitu kesiapsiagaan, peringatan
dini dan mitigasi.
b. Fase saat terjadinya bencana Fase ini kegiatan yang dilakukan adalah
tanggap darurat bencana dimana sasarannya adalah “save more lifes”.
Kegiatan utamanya adalah tanggap darurat berupa pencarian,
penyelamatan, dan evakuasi serta pemenuhan kebutuhan dasar berupa air
minum, makanan dan penampungan/shalter bagi para korban bencana.
c. Fase pasca bencana Pada fase pasca bencana, aktivitas utama
ditargetkan untuk memulihkan kondisi (rehabilitasi) dan pembangunan
kembali (rekonstruksi) tata kehidupan dan penghidupan masyarakat
menjadi lebih baik (build back better).
2.3 Disaster Victim Identification (DVI)
2.3.1. Definisi Disaster Victim Identification (DVI)
Disaster Victim Identification (DVI) adalah prosedur untuk
mengidentifikasi korban meninggal akibat bencana massal yang dapat
dipertanggungjawabkan secara sah oleh hukum dan ilmiah serta mengacu pada

19
standar baku Interpol DVI Guideline. Tim DVI terdiri dari dokter spesialis
forensik, dokter gigi, ahli antropologi (ilmu yang mempelajari tulang), kepolisian,
fotografi, dan ahli DNA[ CITATION Nuh17 \l 1033 ].
DVI diperlukan untuk menegakkan Hak Asasi Manusia, sebagai bagian
dari proses penyidikan, jika identifikasi visual diragukan, sebagai penunjang
kepentingan hukum (asuransi, warisan, status perkawinan) dan dapat
dipertanggungjawabkan. Prosedur DVI diterapkan jika terjadi bencana yang
menyebabkan korban massal, seperti kecelakaan bus dan pesawat, gedung yang
runtuh atau terbakar, kecelakaan kapal laut dan aksi terorisme. Dapat diterapkan
terhadap bencana dan insiden lainnya dalam pencarian korban.Prinsip dari proses
identifikasi ini adalah dengan membandingkan data ante-mortem dan post-
mortem, semakin banyak yang cocok maka akan semakin baik[ CITATION
Nuh17 \l 1033 ].
Penerapan prosedur DVI Interpol di Indonesia diawali dengan
dilakukannya identifikasi korban bencana massal akibat Bom Bali yang terjadi
pada bulan Oktober 2002 dimana terdapat korban meninggal sebanyak 202 orang.
Pada proses identifikasi yang berjalan kurang lebih 3 bulan tersebut berhasil
diidentifikasi sebesar hampir 99% yang teridentifikasi secara positif melalui
metode ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan [ CITATION Nuh17 \l 1033 ].
Penatalaksanaan korban mati mengacu pada Surat Keputusan Bersama
Menteri Kesehatan dan Kapolri No. 1087/Menkes/SKB/IX/2004 dan No.Pol
Kep/40/IX/2004 Pedoman Pelaksanaan Identifikasi Korban Mati pada Bencana
Massal.
Rujukan Hukum :
a) UU No.24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
b) UU No.2 tahun 2002 tentang Polri
c) UU No.23 tentang kesehatan
d) PP No.21 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana
e) Resolusi Interpol No.AGN/65/RES/13 year 1996 on Disaster Victim
Identification
f) MOU Depkes RI-Polri tahun 2004 g. MOU Depkes RI-Polri tahun 2003

20
2.3.2. Proses DVI
Penanggung jawab DVI adalah Kepolisian yang dalam pelaksanaan
operasinya dapat bekerjasama dengan berbagai pihak lintas institusi, sektoral dan
fungsi. Ketua tim dan koordinator fase berasal pihak kepolisian. Pada kasus yang
lebih mementingkan aspek penyidikan, kecepatan dan hot issues seperti pada man
madedisaster, ketua tim DVI lebih mengedepankan timnya sesuai dengan keahlian
dan pengalaman, sedangkan pada kasus yang lebih mengedepankan aspek
kemanusiaan pada natural disaster maka ketua DVI dapat melibatkan beberapa
tim dari berbagai institusi.
Prinsip dalam bekerja bagi tim DVI adalah team work sesuai dengan
keahlian/kompetensi dan pengalaman. Masing-masing tim yang bekerja dalam
masing-masing fase mempunyai tanggung jawab, keahlian dan pengalaman yang
berbeda yang menjadi pertimbangan bagi seorang ketua tim DVI. Misalnya tim
DVI fase I diperuntukkan bagi tim yang telah terlatih dan mempunyai pengalaman
di TKP dibandingkan dengan seorang dokter forensik/dokter gigi forensik yang
lebih berkompeten di DVI fase 2 untuk memeriksa jenasah [ CITATION Nuh17 \l
1033 ].
Proses DVI meliputi 4 fase, dimana setiap fasenya mempunyai keterkaitan
satu dengan yang lainnya, yang terdiri dari :

Gambar 1. 4 fase DVI ([ CITATION Dis18 \l 1033 ].

Fase 1: Fase TKP/The Scene


Pada fase pertama, tim awal yang datang ke TKP melakukan pemilahan
antara korban hidup dan korban mati selain juga mengamankan barang bukti yang
dapat mengarahkan pada pelaku apabila bencana yang terjadi merupakan bencana
yang diduga akibat ulah manusia. Pada korban mati diberikan label sebagai
penanda. Label ini harus memuat informasi tim pemeriksa, lokasi penemuan, dan
nomor tubuh/mayat. Label ini akan sangat membantu dalam proses penyidikan

21
selanjutnya[ CITATION Hen12 \l 1033 ].
Pada prinsipnya untuk fase tindakan awal yang dilakukan di situs bencana,
ada tiga langkah utama. Langkah pertama adalah to secure atau untuk
mengamankan, langkah kedua adalah to collect atau untuk mengumpulkan dan
langkah ketiga adalah documentation atau pelabelan.
Pada langkah to secure organisasi yang memimpin komando DVI harus
mengambil langkah untuk mengamankan TKP agar TKP tidak menjadi rusak.
Langkah – langkah tersebut antara lain adalah:
1) Memblokir pandangan situs bencana untuk orang yang tidak
berkepentingan (penonton yang penasaran, wakil–wakil pers, dll),
misalnya dengan memasang police line.
2) Menandai gerbang untuk masuk ke lokasi bencana.
3) Menyediakan jalur akses yang terlihat dan mudah bagi yang
berkepentingan.
4) Menyediakan petugas yang bertanggung jawab untuk mengontrol siapa
saja yang memiliki akses untuk masuk ke lokasi bencana.
5) Periksa semua individu yang hadir di lokasi untuk menentukan tujuan
kehaditan dan otorisasi.
6) Data terkait harus dicatat dan orang yang tidak berwenang harus
meninggalkan area bencana
Pada langkah to collect organisasi yang memimpin komando DVI harus
mengumpulkan korban – korban bencana dan mengumpulkan properti yang
terkait dengan korban yang mungkin dapat digunakan untuk kepentingan
identifikasi korban.
Pada langkah documentation organisasi yang memimpin komando DVI
mendokumentasikan kejadian bencana dengan cara memfoto area bencana dan
korban kemudian memberikan nomor dan label pada korban. Setelah ketiga
langkah tersebut dilakukan maka korban yang sudah diberi nomor dan label
dimasukkan ke dalam kantung mayat untuk kemudian dievakuasi.

22
Rincian yang harus dilakukan pada saat di TKP adalah sebagai berikut:
1) Membuat sektor-sektor atau zona pada TKP
2) Memberikan tanda pada setiap sektor
3) Memberikan label orange (human remains label) pada jenazah dan potongan
jenazah, label diikatkan pada bagian tubuh / ibu jari kiri jenazah
4) Memberikan label hijau (property label) pada barang-barang pemilik yang
tercecer.
5) Membuat sketsa dan foto setiap sektor
6) Foto mayat dari jarak jauh, sedang dan dekat beserta label jenasahnya
7) Isi dan lengkapi pada formulir Interpol DVI PM dengan keterangan sebagai
berikut
- pada setiap jenazah yang ditemukan, maka tentukan perkiraan umur,
tanggal dan tempat tubuh ditemukan, akan lebih baik apabila di foto pada
lokasi dengan referensi koordinat dan sektor TKP;
- selanjutnya tentukan apakah jenazah lengkap/tidak lengkap, dapat dikenali
atau tidak, atau hanya bagian tubuh saja yang ditemukan;
- diskripsikan keadaannya apakah rusak, terbelah, dekomposisi/membusuk,
menulang, hilang atau terlepas;
- keterangan informasi lainnya sesuai dengan isi dari formulir Interpol DVI
PM
8) Masukkan jenazah dalam kantung jenazah dan atau potongan jenazah di dalam
karung plastik dan diberi label sesuai jenazah

23
9) Formulir Interpol DVI PM turut dimasukkan ke dalam kantong jenasah
dengan sebelumnya masukkan plastik agar terlindung dari basah dan robek
10) Masukkan barang-barang yang terlepas dari tubuh korban ke dalam kantung
plastik dan diberi label sesuai nomor properti
11) Evakuasi jenasah dan barang kepemilikan ke tempat pemeriksaan dan
penyimpanan jenazah kemudian dibuatkan berita acara penyerahan kolektif

Fase 2 : Fase Post Mortem/ The Mortuary


Pengumpulan data post-mortem atau data yang diperoleh paska kematian
dilakukan oleh post-mortem unit yang diberi wewenang oleh organisasi yang
memimpin komando DVI. Pada fase ini dilakukan berbagai pemeriksaan yang
kesemuanya dilakukan untuk memperoleh dan mencatat data selengkap–
lengkapnya mengenai korban[ CITATION Nuh17 \l 1033 ].
Kegiatan pada fase 2 sebagai berikut :
- Menerima jenazah/potongan jenazah dan barang bukti dari unit TKP
- Mengelompokkan kiriman tersebut berdasarkan jenazah utuh, tidak utuh,
potongan jenazah dan barang-barang
- Membuat foto jenazah
- Mengambil sidik jari korban dan golongan darah;
- Melakukan pemeriksaan korban sesuai formulir interpol DVI PM yang
tersedia
- Melakukan pemeriksaan terhadap property yang melekat pada mayat
- Pemeriksaan antropologi forensik : pemeriksaan fisik secara keseluruhan,
dari bentuk tubuh, tinggi badan, berat badan, tatto hingga cacat tubuh dan
bekas luka yang ada di tubuh korban.
- Pemeriksaan odontologi forensik : bentuk gigi dan rahang merupakan ciri
khusus tiap orang ; tidak ada profil gigi yang identik pada 2 orang yang
berbeda
- Membuat rontgen foto jika perlu
- Mengambil sampel DNA
- Menyimpan jenazah yang sudah diperiksa

24
- Melakukan pemeriksaan barang-barang kepemilikan yang tidak melekat di
mayat yang ditemukan di TKP
- Mengirimkan data-data yang telah diperoleh ke unit pembanding data.
Data – data hasil pemeriksaan tersebut kemudian digolongkan ke dalam data
primer dan data sekunder sebagai berikut :
1) Primer (sidik jari, profil gigi, DNA)
2) Sekunder (visual, fotografi, properti jenazah, antropologi, medis)
Data-data post mortem diperoleh dari tubuh jenazah berdasarkan pemeriksaan
dari berbagai keahlian antara lain dokter ahli forensik, dokter umum, dokter gigi
forensik, sidik jari, fotografi, DNA dan ahli antropologi forensik. Data ini
dimasukkan ke dalam pink form berdasarkan standar Interpol [ CITATION
Hen12 \l 1033 ].
Di dalam menentukan identifikasi seseorang secara positif, Badan Identifikasi
DVI Indonesia mempunyai aturan-aturan atau syarat identifikasi yang tepat, yaitu
menentukan identitas seseorang secara positif berdasarkan Identification Board
DVI Indonesia adalah didukung minimal salah satu primary identifiers positif atau
didukung dengan minimal dua secondary identifiers positif. Selain
mengumpulkan data pasca kematian, pada fase ini juga sekaligus dilakukan
tindakan untuk mencegah perubahan–perubahan paska kematian pada jenazah,
misalnya dengan meletakkan jenazah pada lingkungan dingin untuk
memperlambat pembusukan [ CITATION Nuh17 \l 1033 ].
Prinsip dari proses identifikasi ini adalah dengan membandingkan data Ante
Mortem dan Post Mortem, semakin banyak yang cocok maka akan semakin baik.
Primary Identifiers mempunyai nilai yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan
Secondary Identifiers [ CITATION Nuh17 \l 1033 ].

Fase 3: Fase Ante Mortem/Ante Mortem Information Retrieval


Fase ketiga adalah fase pengumpulan data antemortem dimana ada tim
kecil yang menerima laporan orang yang diduga menjadi korban. Tim ini meminta
masukan data sebanyak-banyaknya dari keluarga korban. Data yang diminta mulai
dari pakaian yang terakhir dikenakan, ciri-ciri khusus (tanda lahir, tato, tahi lalat,
bekas operasi, dan lain- lain), data rekam medis dari dokter keluarga dan dokter

25
gigi korban, data sidik jari dari pihak berwenang (kelurahan atau kepolisian), serta
sidik DNA apabila keluarga memilikinya. Apabila tidak ada data sidik DNA
korban maka dilakukan pengambilan sampel darah dari keluarga korban. Data
Ante Mortem diisikan ke dalam yellow form berdasarkan standar interpol
[ CITATION Hen12 \l 1033 ].
Kegiatan :
1) Menerima keluarga korban;
2) Mengumpulkan data-data korban semasa hidup seperti foto dan lain-
lainnya yang dikumpulkan dari keluarga terdekat yang kehilangan anggota
keluarganya dalam bencana tersebut;
3) Mengumpulkan data-data korban dari instansi tempat korban bekerja,
rs/puskesmas/klinik, dokter pribadi, dokter yang merawat, dokter‐dokter
gigi pribadi, polisi (sidik jari), catatan sipil, dll;
4) Data-data ante mortem gigi-geligi;
- Data-data ante mortem gigi-geligi adalah keterangan tertulis atau
gambaran dalam kartu perawatan gigi atau keterangan dari keluarga
atau orang yang terdekat;
- Sumber data-data ante mortem tentang kesehatan gigi diperoleh dari
klinik gigi rs pemerintah, tni/polri dan swasta; lembaga-lembaga
pendidikan pemerintah/tni/polri/swasta; praktek pribadi dokter gigi.
5) Mengambil sampel DNA pembanding;
6) Apabila diantara korban ada warga Negara asing maka Data-data Ante
Mortem dapat diperoleh melalui perantara Set NCB Interpol Indonesia dan
perwakilan Negara asing (kedutaan/konsulat);
7) Memasukkan data-data yang ada dalam formulir Interpol DVI AM;
8) Mengirimkan data-data yang telah diperoleh ke Unit Pembanding Data.

Fase 4 : Fase Analisa/Reconciliation


Pada fase ini dilakukan pembandingan data post mortem dengan data ante
mortem. Ahli forensik dan profesional lain yang terkait dalam proses identifikasi
menentukan apakah temuan post mortem pada jenazah sesuai dengan data ante
mortem milik korban yang dicurigai sebagai jenazah. Apabila data yang

26
dibandingkan terbukti cocok maka dikatakan identifikasi positif atau telah tegak.
Apabila data yang dibandingkan ternyata tidak cocok maka identifikasi dianggap
negatif dan data post mortem jenazah tetap disimpan sampai ditemukan data ante
mortem yang sesuai dengan temuan post mortem jenazah [ CITATION Nuh17 \l
1033 ].
Kegiatan :
1) Mengkoordinasikan rapat-rapat penentuan identitas korban mati antara
unit tkp, unit post mortem dan unit ante mortem;
2) Mengumpulkan data-data korban yang dikenal untuk dikirim ke rapat
rekonsiliasi;
3) Mengumpulkan data-data tambahan dari unit tkp, unit post mortem dan
unit ante mortem untuk korban yang belum dikenal;
4) Membandingkan data ante mortem dan post mortem;
5) Check and recheck hasil unit pembanding data;
6) Mengumpulkan hasil identifikasi korban;
7) Membuat sertifikat identifikasi, surat keterangan kematian untuk korban
yang dikenal dan surat-surat lainnya yang diperlukan;
8) Publikasi yang benar dan terarah oleh unit rekonsiliasi sangat
membantunmasyarakat untuk mendapatkan informasi yang terbaru dan
akurat.

2.3.3. Metode Identifikasi


Identifikasi forensik adalah suatu upaya yang dilakukan dengan tujuan
membantu penyidik dalam menentukan identitas seseorang. Identifikasi personal
sering merupakan suatu masalah dalam kasus pidana dalam penyidikan karena
adanya kekeliruan yang dapat berakibat fatal dalam proses peradilan [ CITATION
ABu97 \l 1033 ].
Tujuan utama pemeriksaan identifikasi pada kasus musibah bencana
massal adalah untuk mengenali korban dan membangun identitas setiap korban
dengan membandingkan dan mencocokkan hasil ante mortem dan post mortem.
Permasalahan yang dapat terjadi adalah tantangan untuk mendapatkan informasi
ante mortem dan post mortem sebagai perbandingan. Dengan identifikasi yang
tepat selanjutnya dapat dilakukan upaya merawat, mendoakan, serta akhirnya

27
menyerahkan kepada keluarganya. Proses identifikasi sangat penting bukan hanya
untuk menganalisis penyebab bencana tetapi memberikan ketenangan psikologis
bagi keluarga dengan adanya kepastian identitas korban [ CITATION Nuh17 \l 1033
].
Identifikasi yang akurat dapat dicapai dengan mencocokkan data ante mortem
dan post mortem yang didapat dari :
- Bukti sirkumtansial : kepemilikan seperti baju, perhiasan, dan isi kantung.
- Bukti fisik yang didukung oleh pemeriksaan luar (contohnya gambaran
umum dan gambaran spesifik) dan pemeriksaan dalam (contohnya bukti
rekam medis, bukti pemeriksaan gigi, dan pemeriksaan laboratorium).
Untuk mengidentifikasi korban bencana diperlukan dua macam data:
- Data orang hilang (contohnya orang yang berada di tempat kejadian
namun terdaftar sebagai korban selamat).
- Data dari jenazah yang ditemukan di tempat kejadian
Terdapat dua metode pokok dalam proses identifikasi, yaitu :
1) Metode sederhana yaitu berupa gambaran visual, kepemilikan (perhiasan
dan pakaian), dan dokumentasi.
2) Metode ilmiah yaitu berupa sidik jari, serologi, odontology, antropologi,
dan biologi molekuler.
Khusus pada korban bencana massal, berdasarkan standar Interpol untuk
proses identifikasi pada DVI telah ditentukan metode identifikasi yang dipakai
yaitu :
1) Metode identifikasi primer (sidik jari, gigi geligi, DNA)
2) Metode identifikasi sekunder (data medis, kepemilikan,fotografi/visual)

Metode Ilmiah / Identifikasi Primer


Secara internasional telah diterama bahwa identifikasi primer merupakan metode
yang paling diandalkan dimana identifikasi dapat dikonfirmasi [ CITATION
Dis18 \l 1033 ] :
1) Sidik Jari
Ada tiga alasan mengapa sidik jari menjadi indikator yang dapat dipakai
dalam penentuan identitas :

28
- Sidik jari unik; kongruensi absolut antara jembatan papilar pada jari-jari
berbeda tiap individu atau pada jari yang berbeda pada orang yang sama
tidak ada.
- Sidik jari tidak berubah; jembatan papilar terbentuk pada usia gestasi
empat bulan dan tidak berubah sampai mati. Mereka akan tumbuh kembai
pada pola yang sama saar luka kecil. Beberapa luka berat dapat
menyebabkan bekas luka permanen.
- Sidik jari dapat diklasifikasikan; karena itu mereka bisa diidentifikasi dan
diregistrasi secara sistematis dan dapat diakses secara muda untuk
kepentingan perbandingan.

2) Odontologi
Odontologi forensik adalah cabang kedokteran gigi yang terlibat dengan
hukum. Keahlian dalam bidang ini diperlukan dalam mengenal pasti bagian tubuh
yang masih ada pada post-mortem dengan memeriksa gigi korban, mengenal pasti
pelaku dalam kasus jenazah berdasarkan kesan gigitan pada korban dan
memperkirakan usia korban berdasarkan radiograf gigi. Penentuan identifikasi
forensik berdasarkan pemeriksaan primer masih dapat dilakukan dengan
pemeriksaan gigi geligi yaitu pada jenazah terbakar karena gigi merupakan
medium yang tidak mudah rusak seperti sidik jari dan memiliki daya tahan
terhadap dekomposisi dan panas. Gigi merupakan suatu sarana identifikasi yang
dapat dipercaya, khususnya bila rekam dan foto gigi pada waktu masih hidup
yang pernah dibuat masih tersimpan dengan baik. Pemeriksaan gigi ini menjadi
amat penting apabila mayat sudah dalam keadaan membusuk atau rusak, seperti
halnya kebakaran [ CITATION Nuh17 \l 1033 ].
Adapun dalam melaksanakan identifikasi manusia melalui gigi, kita
dapatkan 2 (dua) kemungkinan:
a) Memperoleh informasi melalui data gigi dan mulut untuk membatasi atau
menyempitkan identifikasi. Informasi ini dapat diperoleh antara lain
mengenai: umur, jenis kelamin, ras, golongan darah, dan bentuk wajah.
Dengan adanya informasi mengenai perkiraan batas-batas umur korban
misalnya, maka pencarian dapat dibatasi pada data-data orang hilang yang

29
berada di sekitar umur korban. Dengan demikian penyidikan akan menjadi
lebih terarah.
b) Mencari ciri-ciri yang merupakan tanda khusus pada korban tersebut.
Disini dicatat ciri-ciri yang diharapkan dapat menentukan identifikasi
secara lebih akurat dari pada sekedar mencari informasi tentang umur atau
jenis kelamin. Ciri-ciri demikian antara lain : misalnya adanya gigi yang
dibungkus logam, gigi yang ompong atau patah, lubang pada bagian depan
biasanya dapat lebih mudah dikenali oleh kenalan atau teman dekat atau
keluarga korban.
Forensik odontologis akan melakukan pemeriksaan terhadap gigi, gusi,
bagian lain dari kavitas oral, rahang/maxilla, dan komponen dari hidung pada
wajah. Pemeriksaan ini meliputi pencatatan data gigi (odontogram) dan rahang
yang dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan manual, sinar X dan
pencetakan gigi dan rahang. Odontogram memuat data tentang jumlah, bentuk,
susunan, tambalan, protesa gigi, dan sebagainya.
Kondisi pembusukan awal juga masih memungkinkan diidentifikasi melalui
proses pemeriksaan primer yang bersifat ekonomis dan efisien yaitu pemeriksaan
gigi, meskipun keluarga tidak dapat merinci kondisi gigi korban dengantepat.
Semakin lama terpapar dalam air maka proses pembusukan juga akan berlangsung
dengan cepat sehingga akan menyebabkan terbatasnya upayapemeriksaan primer.
Proses identifikasi pada konsisi harus dilakukan kombinasi pemeriksaanprimer
dengan sekunder secara cermat dan akurat. Pada kasus ini korban berikutnya
ditemukan setelah 9-29 hari setelah kejadian sehingga tidak ada satupun yang
berhasil diidentifikasi berdasarkanpemeriksaan primer yang terjangkau yaitu sidik
jari maupun gigi karena terjadi pembusukan lanjut.
Selain itu akibat pemanasan terjadi koagulasi protein yang menyebabkan
otot mengecil diikuti mengkerutnyakulit, termasuk pengerutan peridontal ligament
atauperiodontal membran sebagai jaringan penyanggatulang dan gigi. Hal ini akan
sulit dilakukan pada jenazah yang meninggal dengan cara tenggelam. Pada
jenazah yang meninggal dalam air pada saat proses pembusukan berlangsung
disertai dengan proses pembusukan pada maksila dan mandibula yangakan diikuti
dengan terlepasnya gigi dari tulang akibat lisis jaringan penyangga. Gigi yang

30
terlepasakan sulit dilakukan pemeriksaan karena sebagianbesar akan jatuh dalam
air. Hal ini pula yang mempengaruhi keberhasilan identifikasi primermelalui
pemeriksaan gigi geligi pada korban tenggelam.
Identifikasi Odontologi Forensik
a. Penentuan usia berdasarkan gigi
Perkembangan gigi secara regular terjadi sampai usia 15 tahun.
Identifikasi melalui pertumbuhan gigi ini memberikan hasil yang lebih baik
daripada pemeriksaan antropologi lainnya pada masa pertumbuhan.
Pertumbuhan gigi desidua diawali pada minggu ke 6 intra uteri. Mineralisasi
gigi dimulai saat 12-16 minggu dan berlanjut setelah bayi lahir. Trauma pada
bayi dapat merangsang stress metabolik yang mempengaruhi pembentukan sel
gigi. Kelainan sel ini akan mengakibatkan garis tipis yang memisahkan
enamel dan dentin di sebut sebagai neonatal line. Neonatal line ini akan tetap
ada walaupun seluruh enamel dan dentin telah dibentuk. Ketika ditemukan
mayat bayi, dan ditemukan garis ini menunjukkan bahwa mayat sudah pernah
dilahirkan sebelumnya.
Pembentukan enamel dan dentin ini umumnya secara kasar berdasarkan
teori dapat digunakan dengan melihat ketebalan dari struktur di atas neonatal
line. Pertumbuhan gigi permanen diikuti dengan penyerapan kalsium, dimulai
dari gigi molar pertama dan dilanjutkan sampai akar dan gigi molar kedua
yang menjadi lengkap pada usia 14 – 16 tahun. Ini bukan referensi standar
yang dapat digunakan untuk menentukan umur, penentuan secara klinis dan
radiografi juga dapat digunakan untuk penentuan perkembangan gigi.
Penentuan usia antara 15 dan 22 tahun tergantung dari perkembangan gigi
molar tiga yang pertumbuhannya bervariasi. Setelah melebihi usia 22 tahun,
terjadi degenerasi dan perubahan pada gigi melalui terjadinya proses patologis
yang lambat dan hal seperti ini dapat digunakan untuk aplikasi forensik.

b. Penentuan jenis kelamin berdasarkan gigi


Ukuran dan bentuk gigi juga digunakan untuk penentuan jenis kelamin.
Gigi geligi menunjukkan jenis kelamin berdasarkan kaninusmandibulanya.
Anderson mencatat bahwa pada 75% kasus, mesio distal pada wanita

31
berdiameter kurang dari 6,7 mm, sedangkan pada pria lebih dari 7 mm. Saat
ini sering dilakukan pemeriksaan DNA dari gigi untuk membedakan jenis
kelamin.

c. Penentuan ras berdasarkan gigi


Penentuan ras pada gigi dan rahang tidak dapat diandalkan, meskipun
beberapa morfologi menunjukkan statistik perbedaan dalam frekuensi antara
ras. Contoh gambaran gigi pada ras mongoloid adalah insisivus berbentuk
sekop. Insisivus pada maksila berbentuk sekop pada 85-99% ras mongoloid. 2
sampai 9% ras kaukasoid dan 12% ras negroid memperlihatkan adanya bentuk
seperti sekop walaupun tidak terlalu jelas. Dens evaginatus, aksesoris
berbentuk tuberkel pada permukaan oklusal premolar bawah pada 1-4% ras
mongoloid, Akar distal tambahan pada molar 1 mandibula ditemukan pada
20% mongoloid, lengkungan palatum berbentuk elips, serta batas bagian
bawah mandibula berbentuk lurus.

Langkah langkah penanganan aspek odontologi forensik :


 Bila rahang atas dan bawah lengkap :
1. Pembukaan rahang bawah untuk melepaskan rahang bawah.
2. Melakukan pembersihan rahang bawah dan rahang atas.
3. Melakukan dental charting/odontogram.
2. Melakukan rontgen foto pada seluruh gigi geligi di rahang atas dan
rahang bawah.
3. Pencabutan gigi molar 1 atas atau bawah untuk pemeriksaan DNA.
4. Melakukan pemotretan dengan ukuran close-up
5. Melakukan perbandingan data dental antemortem dengan post mortem 8.
Proses rekonsilasi untuk penentuan identifikasi.
 Pada rahang yang tidak utuh :
Melakukan rekonstruksi bentuk rahang serta susunan gigi geliginya dengan
menggunakan wax/malam. Kenudian diperkuat dengan menggunakan self curing
acrylic. Lalu melakukan pencetakan, dilakukan pemotretan close up, dan
pengembalian pada jenazah.Tujuan rekonstruksi diharapkan dapat memperoleh

32
gambaran perkiraan raut wajah korban untuk membantu memudahkan
identifikasi.

3) DNA
DNA adalah materi genetik yang membawa informasi yang dapat diturunkan.
Di dalam sel manusia DNA dapat ditemukan di dalam inti sel dan di dalam
mitokondria. Konsep dari identifikasi DNA pertama kali diperkenalkan oleh Alex
Jeffreys pada tahun 1985 yang dimana ia menemukan bahwa beberapa regio dari
DNA sangatlah bervariasi antara individu. Analisa dari regio yang polimorfik dari
DNA ini akan menghasilkan “DNA fingerprint” yang dimana sekarang lebih
dikenal dengan sebutan “DNA profile. DNA ini sendiri biasanya disamakan
sebagai suatu cetak biru sebuah kehidupan dan membawa informasi herediter
yang dibutuhkan organiseme terebut untuk melakukan fungsinya.Molekul yang
membawa informasi pengaturan biologis yang fundamental ini sebenarnya
sederhana secara relatif. Yang dimana struktur dasar yang membangun DNA ini
yaitu nukleotida yang tersusun atas tiga grup kimiawi yang berbeda: sebuah gula
(deoxyribosa), grup fosfat dan sebuah basa nitrogen. Ada 4 tipe yang berbeda dari
basa nitrogen DNA, yaitu adenine, guanine, thymine dan cytosine [ CITATION
Kar14 \l 1033 ].
Genom manusia dapat didefinisikan sebagai komplemen kehidupan suatu
organisme. Genom manusia mengandung sekitar 3,2 milyar informasi yang
terorganisir ke dalam 23 kromosom manusia. Manusia pada normalnya terdiri atas
dua set kromosom. Dua set tersebut berasal dari tiap orangtua, yang memberikan
46 kromosom yang terdiri atas 22 pasang kromosom autosomal dan pasangan ke
23 ialah kromosom X dan Y. Yang dimana pada perempuan memiliki dua
kromosom X sedangkan pria memiliki 1 kromosm X dan 1 kromosom Y
[ CITATION Kar14 \l 1033 ].
Bagian DNA yang mengkode dan melakukan sintesis protein disebut
dengan gen. Hal inilah yang sangat luas dipelajari karena memainkan peran yang
sangat vital paa struktur dan fungsi dari semua sel. Beberapa protein yang
dikoding DNA berbentuk polimorfik yang artinya timbul dalam beberapa bentuk,
dan inilah yang digunaan pada ilmu forensik. Sistem yang sangat diketahui

33
dengan baik saat ini ialah sistem golongan darah ABO [ CITATION Kar14 \l 1033 ].
Hampir semua sampel biologis dapat dipakai untuk tes DNA, seperti
buccal swab (usapan mulut pada pipi sebelah dalam), darah, rambut beserta
akarnya, walaupunlebih dipilih penggunaan darah dalam tabung (sebanyak 2 ml)
sebagai sumber DNA. Tes DNA dilakukan dengan berbagai alasan seperti
persoalan pribadi dan hukum antara lain; tunjangan anak, perwalian anak, adopsi,
imigrasi, warisan dan masalah forensik (dalam identifikasi korban bencana)
[ CITATION Nuh17 \l 1033 ].

Metode sekunder / Identifikasi sekunder


Riwayat medis
Deskripsi personal yang berisi data umum (umur, jenis kelamin, tinggi
badan,etnis) dan gambaran penbeda spesifik. Penemuan medis seperti bekas luka,
bukti penyakit sama halnya dengan pengangkatan organ dapat memberikan
informasi krusial mengenai riwayat medis seseorang. Operasi umum yang dapat
membedakan karakteristik individu (misal appendicectomy) dapat diperhitungkan
dalam konteks ini. Nomor unik yang ditemukan pada alat pacu jantung dan alat
prostetik lainnya dapat digunakan untuk identifikasi. Tato, tahi lalat, dan
kerusakan dapat menjadi indikator pada identitas [ CITATION Dis18 \l 1033 ].
Kepemilikan/Property
Kategori ini termasuk semua hal yang ditemukan pada jenazah (contoh perhiasan,
baju, dan dokumen identitas personal). Termasuk metode identifikasi yang baik
walaupun tubuh korban telah rusak atau hangus. Initial yang terdapat pada cincin
dapat memberikan informasi siapa si pemberi cincin tersebut, dengan demikian
dapat diketahui pula identitas korban. Sedangkan dari pakaian, dapat diperoleh
model pakaian, bahan yang dipakai, merek penjahit, label binatu yang dapat
merupakan petunjuk siapa pemilik pakaian tersebut dan tentunya identitas korban.
Dokumentasi seperti KTP, SIM, Paspor, kartu pelajar dan tanda pengenal lainnya
merupakan sarana yang dapat dipakai untuk menentukan identitas [ CITATION
Dis18 \l 1033 ].

34
BAB 3
LAPORAN KASUS
3.1 Jatuhnya Pesawat Sriwijaya Air SJ 182 (9 Januari 2021)
Pada hari Sabtu, 9 januari 2021 pesawat sriwijaya Air SJ 182 berangkat
dari Bandara Soekarno Hatta Tanggerang Banten menuju Pontianak. Pesawat
terbang dari landasan pacu 25R pada pukul 14.36 WIB, pesawat mengangkut 62
orang yang terdiri dari 12 awak kabin , 40 penumpang dewasa, 7 penumpang
anak-anak, dan 3 bayi. Setelah tinggal landas, pesawat terbang mengikuti jalur
keberangkatan yang sudah ditentukan sebelumnya. Pada pukul 17.24 diterima
informasi Flight Data Recorder (FDR) menunjukkan pesawat tersebut berhenti
disekitar 11 mil laut dari bandara Soekarno Hatta atau diatas Kepulauan Seribu.
Pesawat sempat melewati ketinggian 11.000 kaki, namun pada pukul 14.40 FDR
merekam ketinggian pesawat 10.900 kaki kemudian pesawat mulai turun sekitar
20 detik dan posisi terakhir menunjukkan ketinggian 2500 kaki di atas permukaan
air laut dengan kecepatan 358 knots kemudian FDR berhenti merekam data.. Pada
puku 18.00 bupati kepulauan seribu Djunaedi, mengkonfirmasi bahwa pesawat
Sriwijaya jatuh disekitar pulau Laki.

1. Waktu dan Tempat Kejadian

Pesawat Sriwijaya Air SJ 182 jatuh di pulau laki Kepulauan Seribu pada hari
Sabtu 9 Januari 2021 pukul 14.40 WIB.

2. Pelaksanaan DVI

Kegiatan identifikasi dilaksanakan mulai 11 Januari sampai 2 Maret 2021. Tim


DVI mengerahkan sebanyak 306 personil untuk mengidentifikasi korban. Yang
terdiri dari personil Kepolisian Republik Indonesia (POLRI), Tentara Nasional
Indonesia (TNI), Kementerian Kesehatan, dan Ikatan Dokter Ahli Forensik
Indonesia. Kegiatan dipimpin oleh komandan tim DVI RS POLRI Keramat Jati
Kombes Heri Wijatmoko.

Pada fase pertama tim DVI melakukan identifikasia korban kecelakaan pesawat
Sriwijaya Air SJ 182 dimulai oleh Polda Metro Jaya dari posko di terminal JICT
Tanjung Priok.

35
Fase kedua, identifikasi korban yakni pendataan postmortem yang dilanjutkan
dengan penyimpanan dan pemeriksaan di ruang jenazah RS Polri Said Sukanto
Jakarta Timur. Pada fase ini ditangani 25 ahli termasuk ahli forensik, antropologi,
dan ahli lainnya.

Fase ketiga, pengumpulan data antemortem, tim DVI telah membuka posko
antemortem korban kecelakaan Sriwijaya Air SJ 182 di Bandara Supadio
pontianak dan RS Polri Said Sukanto Jakarta Timur. Polisi mengerahkan
sebanyak 51 orang untuk melakukan pendataan antemortem korban. Pada fase ini
tim akan mengumpulkan data primer dan data sekunder. Data yang dikumpulkan
meliputi sidik jari, ijazah, foto korban yang sedang senyum yang menunjukkan
struktur gigi depan, rekam medis, rekam medis gigi dan DNA serta data
penumpang dari pihak Sriwijaya Air.

Fase keempat, rekonsiliasi data korban Pesawat Sriwijaya Air SJ 182 diadakan di
gedung DVI RS Polri Said Sukanto. Setelah hasil rekonsiliasi menemukan hasil
kecocokan data, akan dilakukan penyerahan jenazah korban kepada keluarga.

3. Hasil Kegiatan

Dari total 62 penumpang tim DVI berhasil mengidentifikasi 59 korban. Dengan


rincian 30 korban laki-laki dan 29 perempuan. Adapun metode identifikasi, 13
diantaranya menggunakan sidik jari dan 46 menggunakan metode DNA
sedangkan 3 korban belum teridentifikasi.

4. Kendala Kegiatan
a. Ketiga korban belum teridentifikasi karena sampel data postmortem atau
bagian tubuh jenazah belum ditemukan.
b. Kondisi korban atau bagian tubuh korban yang sudah rusak karena terendam
air dan sudah banyak tercampur dengan potongan tubuh penumpang lainnya
menyulitkan proses identifikasi DNA.
c. Pemeriksaan tidak dilakukan secara maksimal dikarenakan tim DVI
menerapkan aturan protokol kesehatan untuk menghindari timbulnya klaster
baru.

36
d. Buruknya cuaca dan gelombang setinggi 2,5 meter di lokasi kejadian
menyulitkan tim SAR selama melakukan evakuasi korban sehingga proses
evakuasi harus dihentikan untuk sementara.

37
BAB 4
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Identifikasi bencana massal diperlukan untuk memenuhi hak-hak korban
bencana massal untuk memiliki identitas semasa hidup ataupun setelah mati.
Dalam proses identifikasi melibatkan tim DVI yang terdiri dari dokter spesialis
forensik, dokter gigi, ahli antropologi (ilmu yang mempelajari tulang), kepolisian,
fotografi, dan ahli DNA. Prinsip dalam identifikasi adalah mengumpulkan dan
membandingkan data antemortem dan postmortem. Identifikasi postmortem dapat
diperoleh dari data primer berupa sidik jari, gigi dan DNA serta dari data
sekunder yaitu medical, property dan photography. Korban yang teridentifikasi
dapat di kembalikan kepada keluarga setelah melalui beberapa fase identifikasi.
.
4.2 Saran
Sebaiknya sebagai dokter pada fasilitas kesehatan pertama memiliki
kemampuan untuk mengidentifikasi korban bencana massal sehingga dapat
membantu dalam proses identifikasi korban bencana yang terjadi disekitarnya.

38
DAFTAR PUSTAKA

Erwin Asmadi, S. M. (2019). Ilmu Kedokteran Kehakiman. Medan: Pustaka


Prima.
Henky, & Safitry, O. (2012). Identifikasi Korban Bencana Massal; Praktik DVI
Antara Teori dan Kenyataan. Indonesian Journal of Legal and Forensic
Sciences, 5-7.
Istiqomah, & Relawati, R. (2013). Disaster Victim Identification Pada Bencana
Letusan Gunung Merapi dan Serangan Terorisme Bom Bali. Universitas
Diponegoro.
Larasati, A. W., Irianto, M. G., & Bustomi, E. C. (2018). Peran Pemeriksaan
Odontologi Forensik dalam Mengidentifikasi Identitas Korban Bencana
Masal. Majority, 228-233.
Monica, G. L., Siwu, J. F., & Mallo, J. F. (2013). Identifikasi Personal dan
Identifikasi Korban Bencana Massal di BLU RSIP Prof DR. R. D Kandou
Manado Periode Januari 2010- Desember 2012. Jurnal Biomedik (JBM),
119-126.
Singh, S. (2008). Penatalaksanaan Identifikasi Korban. Majalah Kedokteran
Nusantara, 254-258.
Yunus, M., Djais, A. I., Wulansari, D. P., & Thunru, M. (2019). The Role of
Dentist in Disaster Victim Identification. Makassar Dent J, 43-45.

39

Anda mungkin juga menyukai