Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
Disusun oleh:
Dinda Aprilistya Puri 2010017042
Asti Ainun MZ 2010017046
Rohmi Pawitra Sari 2010017051
Pembimbing:
dr. Kristina Ulli Galtom, Sp.FM
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah yang berjudul
“Identifikasi Korban Bencana Massal” Penulis menyadari bahwa keberhasilan
penulisan ini tidak lepas dari bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini
penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada :
1. dr. Kristina Ulli Galtom, Sp.FM, sebagai dosen pembimbing klinik selama stase
Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal.
2. Seluruh pengajar yang telah mengajarkan ilmunya kepada penulis hingga
pendidikan saat ini.
3. Rekan sejawat dokter muda yang telah bersedia memberikan saran dan
mengajarkan ilmunya pada penulis.
4. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis.
Akhir kata,”Tiada gading yang tak retak”. Oleh karena itu, penulis membuka
diri untuk berbagai saran dan kritik yang membangun guna memperbaiki laporan ini.
Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semuanya.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................ii
BAB 1.....................................................................................................5
PENDAHULUAN..................................................................................5
1.1 Latar Belakang.........................................................................5
1.2 Tujuan......................................................................................6
BAB 2.....................................................................................................7
TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................7
2.1 Identifikasi...............................................................................7
2.1.1 Definisi Identifikasi.................................................................7
2.1.2 Objek Identifikasi....................................................................7
2.1.3 Prinsip Identifikasi...................................................................9
2.1.4 Manfaat Identifikasi.................................................................9
2.1.5 Peran Dokter Dalam Proses Identifikasi................................10
2.1.6 Teknik Identifikasi.................................................................15
2.2 Bencana Massal.....................................................................18
2.3 Disaster Victim Identification (DVI).....................................21
2.3.1. Definisi Disaster Victim Identification (DVI)................................21
2.3.2. Proses DVI....................................................................................22
2.3.3. Metode Identifikasi.......................................................................28
BAB 3...................................................................................................35
LAPORAN KASUS............................................................................36
3.1 Jatuhnya Pesawat Sriwijaya Air SJ 182 (9 Januari 2021)......36
BAB 4...................................................................................................39
PENUTUP...........................................................................................39
4.1 Kesimpulan............................................................................39
4.2 Saran......................................................................................39
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................40
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
4
akibat suatu bencana massal yang tetapharus dapat di pertanggung jawabkan
secara ilmiah dan mengacu pada standar baku Interpol [ CITATION Yun19 \l
1057 ]. DVI diperlukan untuk menegakkan Hak Asasi Manusia, sebagai bagian
dari proses penyidikan, jika identifikasi visual diragukan, sebagai penunjang
kepentingan hukum (asuransi, warisan, status perkawinan) dan dapat
dipertanggungjawabkan.
1.2 Tujuan
Tujuan umum dari pembuatan Karya Tulis Ilmiah ini adalah untuk
menambah wawasan dan ilmu pengetahuan mengenai bencana, identifikasi dan
identifikasi korban pada bencana massal.
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
.1 Identifikasi
6
Ist13 \l 1057 ] :
1) Pemeriksaan fisik yang meliputi antara lain
- Umur, jenis kelamin, tinggi badan, berat badan;
- Deformitas;
- Parut, tato;
- Gigi, warna mata, kulit dan rambut;
- Ukuran sepatu dan topi;
- Disability (tuli atau buta).
2) Pemeriksaan sidik jari.
3) Penentuan golongan darah.
4) Ciri-ciri tubuh tertentu (perawakan, cara berjalan).
5) Fotografi.
6) Benda-benda milik pribadi (KTP, SIM, ijazah, cincin kawin, pakaian).
7
- Pemeriksaan golongan darah;
- Tanda-tanda pekerjaan/kebiasaan;
- Gigi-geligi;
- Warna kulit, mata, rambut;
- Cacat, kelainan bawaan;
- Tato;
- Kelainan patologis/parut.
8
b. Keluarga/yang ditinggalkan dapat mengurus sertifikat kematian.
c. Keluarga/yang ditinggalkan dapat mengetahui status pernikahan atau
untuk melakukan pernikahan kembali
d. Untuk masalah hukum perdata lainnya, seperti menentukan hak
pengurusan rumah atau tanah, hak waris, dll
e. Mengetahui asal-usul manusia, penyebarannya dan lain sebagainya
9
pemeriksaan seks kromatin dari sampel jaringan lunak atau tulang rawan pun
bisa dilakukan. Pemeriksaan tersebut sering digunakan untuk menentukan jenis
kelamin pada mayat yang terpotong-potong [ CITATION Ist13 \l 1057 ].
2) Tulang-tulang tertentu
Beberapa tulang pada laki-laki dan perempuan jelas perbedaannya, antara lain
tengkorak, pelvis, tulang panjang, rahang dan gigi [ CITATION Ist13 \l 1057 ].
3) Secara Histologi
Prinsip penentuan secara histologik atau mikroskopik ini adalah berdasarkan
pada khromosom. Bahan pemeriksaan dapat diambil dari: kulit, leukosit, sel-sel
selaput lender pipi bagian dalam, sel-sel rawan, kortex kelenjar supra renalis
dan cairan amnion. Adapun beberapa metode atau cara yang dapat digunakan,
diantaranya ialah sebagai berikut [ CITATION Ist13 \l 1057 ].
- Metode yang praktis untuk kepentingan Kedokteran Forensik adalah
pemeriksaan khromosom dari biopsi kulit. Untuk maksud tersebut dipakai
fiksasi merkuri-khlorida setengah jenuh dalam 15% formolsalined.
- Cara lain yang lebih praktis adalah dengan melakukan pemeriksaan atas sel
PMN leucocytes, yaitu melihat adanya bentuk “drumstick”. Kemungkinan
dijumpainya “drumstick” pada wanita lebih banyak bila dibandingkan pria.
Adapun cara penafsirannya adalah sebagai berikut: Pada pemeriksaan
didapatkan adanya bentuk “drumstick” atau tidak ditemukan adanya bentuk
“drumstick”. Ini disebabkan adanya fakta: enam drumstick adalah normal
ditemukan pada 300 neutrophil wanita, dimana untuk pria drumstick tidak
dijumpai pada 500 atau lebih.
- Cara lain adalah pemeriksaan seks-khromatin yang dapat dilakukan pada
akar rambut, dimana pada wanita didapatkan pada 70% sedangkan pada
pria hanya 7%.
- Pemeriksaan penentuan jenis kelamin secara histologik yang paling tepat
adalah pemeriksaan atas struktur inti darah putih dan dari kulit,
pemeriksaan pun dapat dikerjakan pada bahan post mortal. Adapun
ketepatan pemeriksaan pada bahan post mortal adalah 85,5%.
d. Menentukan Umur
10
Umur merupakan identitas primer, selain penting untuk identifikasi juga
diperlukan dalam kasus-kasus seperti [ CITATION Ist13 \l 1057 ] :
- Perkosaan;
- Pelanggaran Kesusilaan;
- Perkawinan;
- Warisan;
- Undang-Undang Kerja;
- Wajib Militer;
- Wajib Belajar;
- Saksi Pengadilan;
- Lainnya.
Pada pemeriksaan luar korban hanya dapat memperkirakan usia seseorang dan
kemungkinan dapat terjadi kesalahan bila korban adalah dewasa. Untuk
menentukan umur dari pemeriksaan kerangka dapat dilakukan dengan melihat [
CITATION Ist13 \l 1057 ] :
- Wajah;
- Gigi-Geligi;
- Perubahan Tulang dan Osifikasi;
- Berat Badan dan Tinggi Badan.
Untuk kepentingan menghadapi kasus-kasus forensik, maka penentuan atau
perkiraan umur dibagi dalam tiga fase yaitu
1) Bayi yang baru lahir
Perkiraan umur bayi menjadi sangat penting apabila dikaitkan dengan kasus
pembunuhan anak, dalam hal ini penentuan umur kehamilan (maturitas), dan
viabilitas. Kriteria yang umum dipakai ialah: berat badan, tinggi badan, dan
pusat-pusat penulangan. Tinggi badan mempunyai nilai yang lebih bila
dibandingkan dengan berat badan di dalam hal perkiraan umur. Pengukuran
tinggi badan dapat diukur mulai dari puncak kepala sampai ke tumit (crown-
heel), atau dapat juga diukur dengan cara lain yaitu dari puncak kepala ke
tulang ekor (crown-rup). Pusat penulangan yang paling bermakna di dalam
upaya memperkirakan umur adalah pusat penulangan pada bagian distal tulang
paha (os femoris). Pemeriksaan dengan sinar-X dapat membantu untuk menilai
11
timbulnya epiphyses dan fusinya dengan diaphysis [ CITATION Ist13 \l 1057 ].
2) Anak-anak dan dewasa di bawah 30 tahun
Saat terjadinya unifikasi dari diaphyses memberi hasil dalam bentuk perkiraan.
Persambungan spenooccipital terjadi dalam umur 17-25 tahun. Pada wanita
saat persambungan tersebut antara 17-20 tahun. Tulang selangka merupakan
tulang panjang terakhir yang mengalami unifikasi. Unifikasi dimulai pada
umur 18-25 tahun, dan mungkin tidak lengkap sampai 25-30 tahun. Dalam usia
31 tahun ke atas unifikasi menjadi lengkap. Tulang belakang (ossis vertebrae),
sebelum 30 tahun akan menunjukkan alur-alur yang dalam yang berjalan radier
pada bagian permukaan atas dan bawah; dalam hal ini corpus vertebraenya
[ CITATION Ist13 \l 1057 ].
3) Dewasa diatas 30 tahun
Perkiraan umur dilakukan dengan memeriksa tengkorak, yaitu sutura-
suturanya. Penutupan pada bagian tabula interna biasanya mendahului tabula
eksterna. Sutura sagitalis, coronarius dan sutura lambdoideus mulai menutup
pada umur 20-30 tahun. Lima tahun berikutnya terjadi penutupan sutura
parietomastoid dan sutura squamaeus, tetapi dapat juga tetap terbuka atau
menutup sebagian pada umur 60 tahun. Sutura spheno-parietal umumnya tidak
akan menutup sampai umur 70 tahun [ CITATION Ist13 \l 1057 ].
12
3) Dari dagu ke lubang hidung = lubang hidung ke bawah mata = ¼ panjang
kepala;
4) Pubis membagi tinggi badan menjadi 2 sama panjang;
5) Tinggi badan kira-kira sama dengan jarak ujung jari ke ujung jari apabila
kedua lengan direntangkan;
6) Panjang tangan = ½ panjang lengan bawah = ½ panjang lengan atas;
7) ½ panjang tangan = phalanges = metacarpal + carpal.
Pada umumnya perkiraan tinggi badan dapat dipermudah dengan
pengertian bahwa tubuh yang diperiksa itu pendek, sedang atau jangkung.
Adapun perkiraan tinggi badan dapat diketahui dari pengukuran tulang-tulang
panjang yaitu [ CITATION Erw19 \l 1057 ] :
1) Tulang paha (Femur), menunjukkan 27% dari tinggi badan;
2) Tulang kering (Tibia), menunjukkan 22% dari tinggi badan;
3) Tulang lengan atas (Humerus), menunjukkan 35% dari tinggi badan;
4) Tulang belakang menunjukkan 35% dari tinggi badan.
Dalam hal keadaan dimana hanya sebagian tulang saja yang didapat, maka
cara yang dilakukan adalah dengan mengukur panjang tulang Humerus,
Radius, Ulna, Femur, Tibia, dan Fibula. Setelah itu, barulah dimasukkan ke
dalam suatu rumus yang dapat memperkirakan panjang/tinggi badannya
[ CITATION Erw19 \l 1057 ].
Perlu diingat kembali, bahwa ada beberapa hal yang perlu diperhatikan di
dalam pengukuran tulang diantaranya [ CITATION Erw19 \l 1057 ] :
- Pengukuran dengan osteometric board;
- Tulang harus dalam keadaan kering (dry bone);
- Tulang yang diukur dalam keadaan kering biasanya lebih pendek 2 mm
dari tulang yang segar.
- Menggunakan satu atau beberapa rumus yang dapat memperkirakan
panjang/tinggi badan, ketika tubuh yang diperiksa tersebut sudah
terpotong-potong atau yang didapatkan rangka, atau sebagian dari
tulangnya saja
13
a. Dokumentasi
Dalam hal ini dapat berupa Kartu Tanda Penduduk, Surat Izin
Mengemudi, paspor, kartu golongan darah, tanda pembayaran, dan lain
sebagainya yang ditemukan dalam dompet atau tas korban dapat
membantu menunjukkan identitas korban. Namun perlu diingat bahwa
pada kecelakaan massal, dokumen yang terdapat dalam dompet atau tas
yang berada di dekat jenazah belum tentu adalah milik jenazah yang
bersangkutan [ CITATION Erw19 \l 1057 ].
b. Pengenalan visual
Metode ini dilakukan dengan memperlihatkan jenazah pada orang-orang
yang merasa kehilangan anggota keluarga atau temannya. Cara ini hanya
efektif pada jenazah yang belum membusuk, sehingga masih mungkin
dikenali wajah dan tubuhnya, oleh lebih dari satu orang. Besar
kemungkinan adanya faktor emosi yang mengaburkan pembenaran atau
penyangkalan identitas jenazah [ CITATION Ist13 \l 1057 ].
c. Penyesuaian data antemortem dan postmortem
Cara pengumpulan data antemortem adalah sebagai berikut [ CITATION
Ist13 \l 1057 ] :
1) Melalui Unit polisi pencarian orang hilang dalam DVI
Pengumpulan data berupa nama, alamat, nomor telpon yang bisa
dihubungi dari keluarga korban serta data medis korban.
2) Odontologi
Forensik odontologi harus menghubungi seluruh dokter gigi yang
pernah melakukan perawatan gigi terhadap korban. Data tersebut
harus asli dan meliputi: odontogram, radiograf, cetakan gigi dan
fotograf.
Data postmortem meliputi :
1) Sidik jari
2) Data dan foto dari pakaian, perhiasan, tato
3) Pemeriksaan patologi forensik
Data yang paling sering digunakan adalah odontologi forensik. Data
postmortem dapat dikumpulkan pada tempat kejadian perkara (TKP).
14
Setelah data antemortem dan postmortem yang di kumpulkan oleh tim
yang berbeda terkumpul, kemudian dibawa ke pusat identifikasi untuk
dicocokkan (matching). Proses identifikasi menggunakan 2 metode,
yaitu metode sederhana dan metode ilmiah [ CITATION Ist13 \l 1057 ].
d. Metode obyektif atau ilmiah
Metode ilmiah dibagi menjadi 3 macam, yaitu :
Sidik Jari
Identifikasi menggunakan pola sidik jari merupakan teknik biometrik
tertua di dunia. Sejarahnya kembali ke zaman 6000 tahun sebelum
masehi. Penggunaan sidik jari telah tercatatkan oleh bangsa Assyiria,
Babilonia Jepang dan Cina. Bangsa Cina menggunakan sidik jari sebagai
alat identifikasi penulis dari suatu dokumen. Sejak tahun 1897,
dactyloscopy (identifikasi sidik jari tanpa berbasis komputer) telah
digunakan untuk identifikasi kejahatan. Karakteristik sidik jari setiap
orang adalah unik dan tidak akan berubah selama hidup. Berdasarkan
penelitian peluang dua orang memiliki sidik jari yang sama lebih kecil
dari satu dalam satu milyar. Identifikasi sidik jari dilakukan dengan
mencocokkan pola karakteristik yang khas, yang diketahui sebagai detail
Galton, point of identity atau minutiae, dan pemanding minutiae adalah
cetak referensi berupa cap sidik jari menggunakan tinta dari sidik jari
tersangka.
Ada tiga gambaran dasar dari bentuk karakter dasar, yaitu :
a) The ridge ending
b) The bifurcation
c) The dot or island
Dalam satu sidik jari terdapat lebih dari 100 poin yang digunakan dalam
identifikasi. Tidak ada ukuran jumlah pasti poin identifikasi yang
ditemukan pada luas area tertentu tergantung dari lokasi penempelan.
Contoh, daerah delta mungkin mengandung lebih banyak poin
permilimeter persegi dibanding daerah ujung jari [ CITATION Ist13 \l
1057 ].
15
Rekam gigi
Merupakan metode identifikasi yang memiliki banyak keunggulan, yaitu
[ CITATION Ist13 \l 1057 ] :
a) Gigi resisten terhadap pembusukan dan pengaruh lingkungan yang
ekstrim
b) Karakteristik individual yang unik dalam hal susunan gigi dan
restorasi gigi membuat identifikasi gigi memiliki ketepatan tinggi
c) Kemungkinan adanya data antemortem berupa rekam gigi
d) Terlindung oleh otot bibir dan pipi, trauma akan mengenai otot-otot
tersebut lebih dahulu.
e) Bentuk gigi geligi di dunia tidak sama, kemungkinan sama satu
banding dua miliar
f) Gigi tahan panas hingga 400˚C
g) Gigi tahan asam keras.
Batasan dari forensik odontologi terdiri dari :
a) Identifikasi dari mayat tak dikenal.
b) Penentuan umur
c) Pemeriksaan jejas gigit
d) Penentuan ras berdasarkan gigi
e) Analisis dari trauma orofasial
f) Dental jurisprudensi berupa keterangan saksi ahli
g) Peranan pemeriksaan DNA dalam identifikasi personal
DNA
DNA adalah asam nukleat yang mengandung materi genetik yang
berfungsi untuk mengatur perkembangan biologik seluruh bentuk
kehidupan secara seluler. DNA terdiri dari dua molekul yang membentuk
struktur double helix. Hampir semua sampel biologis tubuh dapat
digunakan sebagai sampel tes DNA, tapi yang sering digunakan adalah
sampel darah, rambut, apusan pipi, dan kuku. Untuk kasus forensik,
sperma, daging, tulang, kulit, air liur atau sampel biologis lainnya yang di
temukan di TKP dapat menjadi sampel tes DNA [ CITATION Ist13 \l 1057
16
].
a) Tujuan Tes DNA
- Tujuan pribadi : penentuan perwalian anak atau penentuan
orang tua dari anak.
- Tujuan hukum : meliputi masalah forensik, seperti identifikasi
korban yang telah hancur, sehingga butuh pencocokkan antara
DNA korban dengan keluarga, ataupun pembuktian pelaku
kejahatan.
b) Metode Tes DNA :
- STR (Short Tandem repeat) STR adalah lokus DNA yang
tersusun atas pengulangan 2-6 basa. Dalam genom manusia
dapat ditemukan pengulangan basa yang bervariasi jumlah dan
jenisnya. Dengan memprofilkan DNA menggunakan STR,
DNA dapat dibandingkan satu sama lain.
- PCR (Polymerase Chain Reaction) PCR merupakan teknik
yang memungkinkan sintesis wilayah DNA tertentu. Yang
memungkinkan peneliti membuat berjuta-juta salinan DNA
dalam waktu singkat untuk kemudian di identifikasi.
17
2.2.2 Jenis - Jenis Bencana
Jenis-jenis bencana menurut Undang-Undang No.24 Tahun 2007, sebagai
berikut :
a. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa
gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan,
dan tanah longsor.
b. Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh pristiwa atau
rangkaian peristiwa non alam yang antara lain berupa gagal teknologi,
gagal modernisasi, epidemic, dan wabah penyakit.
c. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh pristiwa atau
serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi
konflik social antar kelompok atau antar komunitas masyarakat, dan teror.
18
Disamping dampak bencana di atas, terdapat dampak yang sering
kurang mendapatkan perhatian yaitu dampak psikologis, dampak
bencana ini mengakibatkan terganggunya keseimbangan kondisi
psiklogis seseorang
19
standar baku Interpol DVI Guideline. Tim DVI terdiri dari dokter spesialis
forensik, dokter gigi, ahli antropologi (ilmu yang mempelajari tulang), kepolisian,
fotografi, dan ahli DNA[ CITATION Nuh17 \l 1033 ].
DVI diperlukan untuk menegakkan Hak Asasi Manusia, sebagai bagian
dari proses penyidikan, jika identifikasi visual diragukan, sebagai penunjang
kepentingan hukum (asuransi, warisan, status perkawinan) dan dapat
dipertanggungjawabkan. Prosedur DVI diterapkan jika terjadi bencana yang
menyebabkan korban massal, seperti kecelakaan bus dan pesawat, gedung yang
runtuh atau terbakar, kecelakaan kapal laut dan aksi terorisme. Dapat diterapkan
terhadap bencana dan insiden lainnya dalam pencarian korban.Prinsip dari proses
identifikasi ini adalah dengan membandingkan data ante-mortem dan post-
mortem, semakin banyak yang cocok maka akan semakin baik[ CITATION
Nuh17 \l 1033 ].
Penerapan prosedur DVI Interpol di Indonesia diawali dengan
dilakukannya identifikasi korban bencana massal akibat Bom Bali yang terjadi
pada bulan Oktober 2002 dimana terdapat korban meninggal sebanyak 202 orang.
Pada proses identifikasi yang berjalan kurang lebih 3 bulan tersebut berhasil
diidentifikasi sebesar hampir 99% yang teridentifikasi secara positif melalui
metode ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan [ CITATION Nuh17 \l 1033 ].
Penatalaksanaan korban mati mengacu pada Surat Keputusan Bersama
Menteri Kesehatan dan Kapolri No. 1087/Menkes/SKB/IX/2004 dan No.Pol
Kep/40/IX/2004 Pedoman Pelaksanaan Identifikasi Korban Mati pada Bencana
Massal.
Rujukan Hukum :
a) UU No.24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
b) UU No.2 tahun 2002 tentang Polri
c) UU No.23 tentang kesehatan
d) PP No.21 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana
e) Resolusi Interpol No.AGN/65/RES/13 year 1996 on Disaster Victim
Identification
f) MOU Depkes RI-Polri tahun 2004 g. MOU Depkes RI-Polri tahun 2003
20
2.3.2. Proses DVI
Penanggung jawab DVI adalah Kepolisian yang dalam pelaksanaan
operasinya dapat bekerjasama dengan berbagai pihak lintas institusi, sektoral dan
fungsi. Ketua tim dan koordinator fase berasal pihak kepolisian. Pada kasus yang
lebih mementingkan aspek penyidikan, kecepatan dan hot issues seperti pada man
madedisaster, ketua tim DVI lebih mengedepankan timnya sesuai dengan keahlian
dan pengalaman, sedangkan pada kasus yang lebih mengedepankan aspek
kemanusiaan pada natural disaster maka ketua DVI dapat melibatkan beberapa
tim dari berbagai institusi.
Prinsip dalam bekerja bagi tim DVI adalah team work sesuai dengan
keahlian/kompetensi dan pengalaman. Masing-masing tim yang bekerja dalam
masing-masing fase mempunyai tanggung jawab, keahlian dan pengalaman yang
berbeda yang menjadi pertimbangan bagi seorang ketua tim DVI. Misalnya tim
DVI fase I diperuntukkan bagi tim yang telah terlatih dan mempunyai pengalaman
di TKP dibandingkan dengan seorang dokter forensik/dokter gigi forensik yang
lebih berkompeten di DVI fase 2 untuk memeriksa jenasah [ CITATION Nuh17 \l
1033 ].
Proses DVI meliputi 4 fase, dimana setiap fasenya mempunyai keterkaitan
satu dengan yang lainnya, yang terdiri dari :
21
selanjutnya[ CITATION Hen12 \l 1033 ].
Pada prinsipnya untuk fase tindakan awal yang dilakukan di situs bencana,
ada tiga langkah utama. Langkah pertama adalah to secure atau untuk
mengamankan, langkah kedua adalah to collect atau untuk mengumpulkan dan
langkah ketiga adalah documentation atau pelabelan.
Pada langkah to secure organisasi yang memimpin komando DVI harus
mengambil langkah untuk mengamankan TKP agar TKP tidak menjadi rusak.
Langkah – langkah tersebut antara lain adalah:
1) Memblokir pandangan situs bencana untuk orang yang tidak
berkepentingan (penonton yang penasaran, wakil–wakil pers, dll),
misalnya dengan memasang police line.
2) Menandai gerbang untuk masuk ke lokasi bencana.
3) Menyediakan jalur akses yang terlihat dan mudah bagi yang
berkepentingan.
4) Menyediakan petugas yang bertanggung jawab untuk mengontrol siapa
saja yang memiliki akses untuk masuk ke lokasi bencana.
5) Periksa semua individu yang hadir di lokasi untuk menentukan tujuan
kehaditan dan otorisasi.
6) Data terkait harus dicatat dan orang yang tidak berwenang harus
meninggalkan area bencana
Pada langkah to collect organisasi yang memimpin komando DVI harus
mengumpulkan korban – korban bencana dan mengumpulkan properti yang
terkait dengan korban yang mungkin dapat digunakan untuk kepentingan
identifikasi korban.
Pada langkah documentation organisasi yang memimpin komando DVI
mendokumentasikan kejadian bencana dengan cara memfoto area bencana dan
korban kemudian memberikan nomor dan label pada korban. Setelah ketiga
langkah tersebut dilakukan maka korban yang sudah diberi nomor dan label
dimasukkan ke dalam kantung mayat untuk kemudian dievakuasi.
22
Rincian yang harus dilakukan pada saat di TKP adalah sebagai berikut:
1) Membuat sektor-sektor atau zona pada TKP
2) Memberikan tanda pada setiap sektor
3) Memberikan label orange (human remains label) pada jenazah dan potongan
jenazah, label diikatkan pada bagian tubuh / ibu jari kiri jenazah
4) Memberikan label hijau (property label) pada barang-barang pemilik yang
tercecer.
5) Membuat sketsa dan foto setiap sektor
6) Foto mayat dari jarak jauh, sedang dan dekat beserta label jenasahnya
7) Isi dan lengkapi pada formulir Interpol DVI PM dengan keterangan sebagai
berikut
- pada setiap jenazah yang ditemukan, maka tentukan perkiraan umur,
tanggal dan tempat tubuh ditemukan, akan lebih baik apabila di foto pada
lokasi dengan referensi koordinat dan sektor TKP;
- selanjutnya tentukan apakah jenazah lengkap/tidak lengkap, dapat dikenali
atau tidak, atau hanya bagian tubuh saja yang ditemukan;
- diskripsikan keadaannya apakah rusak, terbelah, dekomposisi/membusuk,
menulang, hilang atau terlepas;
- keterangan informasi lainnya sesuai dengan isi dari formulir Interpol DVI
PM
8) Masukkan jenazah dalam kantung jenazah dan atau potongan jenazah di dalam
karung plastik dan diberi label sesuai jenazah
23
9) Formulir Interpol DVI PM turut dimasukkan ke dalam kantong jenasah
dengan sebelumnya masukkan plastik agar terlindung dari basah dan robek
10) Masukkan barang-barang yang terlepas dari tubuh korban ke dalam kantung
plastik dan diberi label sesuai nomor properti
11) Evakuasi jenasah dan barang kepemilikan ke tempat pemeriksaan dan
penyimpanan jenazah kemudian dibuatkan berita acara penyerahan kolektif
24
- Melakukan pemeriksaan barang-barang kepemilikan yang tidak melekat di
mayat yang ditemukan di TKP
- Mengirimkan data-data yang telah diperoleh ke unit pembanding data.
Data – data hasil pemeriksaan tersebut kemudian digolongkan ke dalam data
primer dan data sekunder sebagai berikut :
1) Primer (sidik jari, profil gigi, DNA)
2) Sekunder (visual, fotografi, properti jenazah, antropologi, medis)
Data-data post mortem diperoleh dari tubuh jenazah berdasarkan pemeriksaan
dari berbagai keahlian antara lain dokter ahli forensik, dokter umum, dokter gigi
forensik, sidik jari, fotografi, DNA dan ahli antropologi forensik. Data ini
dimasukkan ke dalam pink form berdasarkan standar Interpol [ CITATION
Hen12 \l 1033 ].
Di dalam menentukan identifikasi seseorang secara positif, Badan Identifikasi
DVI Indonesia mempunyai aturan-aturan atau syarat identifikasi yang tepat, yaitu
menentukan identitas seseorang secara positif berdasarkan Identification Board
DVI Indonesia adalah didukung minimal salah satu primary identifiers positif atau
didukung dengan minimal dua secondary identifiers positif. Selain
mengumpulkan data pasca kematian, pada fase ini juga sekaligus dilakukan
tindakan untuk mencegah perubahan–perubahan paska kematian pada jenazah,
misalnya dengan meletakkan jenazah pada lingkungan dingin untuk
memperlambat pembusukan [ CITATION Nuh17 \l 1033 ].
Prinsip dari proses identifikasi ini adalah dengan membandingkan data Ante
Mortem dan Post Mortem, semakin banyak yang cocok maka akan semakin baik.
Primary Identifiers mempunyai nilai yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan
Secondary Identifiers [ CITATION Nuh17 \l 1033 ].
25
gigi korban, data sidik jari dari pihak berwenang (kelurahan atau kepolisian), serta
sidik DNA apabila keluarga memilikinya. Apabila tidak ada data sidik DNA
korban maka dilakukan pengambilan sampel darah dari keluarga korban. Data
Ante Mortem diisikan ke dalam yellow form berdasarkan standar interpol
[ CITATION Hen12 \l 1033 ].
Kegiatan :
1) Menerima keluarga korban;
2) Mengumpulkan data-data korban semasa hidup seperti foto dan lain-
lainnya yang dikumpulkan dari keluarga terdekat yang kehilangan anggota
keluarganya dalam bencana tersebut;
3) Mengumpulkan data-data korban dari instansi tempat korban bekerja,
rs/puskesmas/klinik, dokter pribadi, dokter yang merawat, dokter‐dokter
gigi pribadi, polisi (sidik jari), catatan sipil, dll;
4) Data-data ante mortem gigi-geligi;
- Data-data ante mortem gigi-geligi adalah keterangan tertulis atau
gambaran dalam kartu perawatan gigi atau keterangan dari keluarga
atau orang yang terdekat;
- Sumber data-data ante mortem tentang kesehatan gigi diperoleh dari
klinik gigi rs pemerintah, tni/polri dan swasta; lembaga-lembaga
pendidikan pemerintah/tni/polri/swasta; praktek pribadi dokter gigi.
5) Mengambil sampel DNA pembanding;
6) Apabila diantara korban ada warga Negara asing maka Data-data Ante
Mortem dapat diperoleh melalui perantara Set NCB Interpol Indonesia dan
perwakilan Negara asing (kedutaan/konsulat);
7) Memasukkan data-data yang ada dalam formulir Interpol DVI AM;
8) Mengirimkan data-data yang telah diperoleh ke Unit Pembanding Data.
26
dibandingkan terbukti cocok maka dikatakan identifikasi positif atau telah tegak.
Apabila data yang dibandingkan ternyata tidak cocok maka identifikasi dianggap
negatif dan data post mortem jenazah tetap disimpan sampai ditemukan data ante
mortem yang sesuai dengan temuan post mortem jenazah [ CITATION Nuh17 \l
1033 ].
Kegiatan :
1) Mengkoordinasikan rapat-rapat penentuan identitas korban mati antara
unit tkp, unit post mortem dan unit ante mortem;
2) Mengumpulkan data-data korban yang dikenal untuk dikirim ke rapat
rekonsiliasi;
3) Mengumpulkan data-data tambahan dari unit tkp, unit post mortem dan
unit ante mortem untuk korban yang belum dikenal;
4) Membandingkan data ante mortem dan post mortem;
5) Check and recheck hasil unit pembanding data;
6) Mengumpulkan hasil identifikasi korban;
7) Membuat sertifikat identifikasi, surat keterangan kematian untuk korban
yang dikenal dan surat-surat lainnya yang diperlukan;
8) Publikasi yang benar dan terarah oleh unit rekonsiliasi sangat
membantunmasyarakat untuk mendapatkan informasi yang terbaru dan
akurat.
27
menyerahkan kepada keluarganya. Proses identifikasi sangat penting bukan hanya
untuk menganalisis penyebab bencana tetapi memberikan ketenangan psikologis
bagi keluarga dengan adanya kepastian identitas korban [ CITATION Nuh17 \l 1033
].
Identifikasi yang akurat dapat dicapai dengan mencocokkan data ante mortem
dan post mortem yang didapat dari :
- Bukti sirkumtansial : kepemilikan seperti baju, perhiasan, dan isi kantung.
- Bukti fisik yang didukung oleh pemeriksaan luar (contohnya gambaran
umum dan gambaran spesifik) dan pemeriksaan dalam (contohnya bukti
rekam medis, bukti pemeriksaan gigi, dan pemeriksaan laboratorium).
Untuk mengidentifikasi korban bencana diperlukan dua macam data:
- Data orang hilang (contohnya orang yang berada di tempat kejadian
namun terdaftar sebagai korban selamat).
- Data dari jenazah yang ditemukan di tempat kejadian
Terdapat dua metode pokok dalam proses identifikasi, yaitu :
1) Metode sederhana yaitu berupa gambaran visual, kepemilikan (perhiasan
dan pakaian), dan dokumentasi.
2) Metode ilmiah yaitu berupa sidik jari, serologi, odontology, antropologi,
dan biologi molekuler.
Khusus pada korban bencana massal, berdasarkan standar Interpol untuk
proses identifikasi pada DVI telah ditentukan metode identifikasi yang dipakai
yaitu :
1) Metode identifikasi primer (sidik jari, gigi geligi, DNA)
2) Metode identifikasi sekunder (data medis, kepemilikan,fotografi/visual)
28
- Sidik jari unik; kongruensi absolut antara jembatan papilar pada jari-jari
berbeda tiap individu atau pada jari yang berbeda pada orang yang sama
tidak ada.
- Sidik jari tidak berubah; jembatan papilar terbentuk pada usia gestasi
empat bulan dan tidak berubah sampai mati. Mereka akan tumbuh kembai
pada pola yang sama saar luka kecil. Beberapa luka berat dapat
menyebabkan bekas luka permanen.
- Sidik jari dapat diklasifikasikan; karena itu mereka bisa diidentifikasi dan
diregistrasi secara sistematis dan dapat diakses secara muda untuk
kepentingan perbandingan.
2) Odontologi
Odontologi forensik adalah cabang kedokteran gigi yang terlibat dengan
hukum. Keahlian dalam bidang ini diperlukan dalam mengenal pasti bagian tubuh
yang masih ada pada post-mortem dengan memeriksa gigi korban, mengenal pasti
pelaku dalam kasus jenazah berdasarkan kesan gigitan pada korban dan
memperkirakan usia korban berdasarkan radiograf gigi. Penentuan identifikasi
forensik berdasarkan pemeriksaan primer masih dapat dilakukan dengan
pemeriksaan gigi geligi yaitu pada jenazah terbakar karena gigi merupakan
medium yang tidak mudah rusak seperti sidik jari dan memiliki daya tahan
terhadap dekomposisi dan panas. Gigi merupakan suatu sarana identifikasi yang
dapat dipercaya, khususnya bila rekam dan foto gigi pada waktu masih hidup
yang pernah dibuat masih tersimpan dengan baik. Pemeriksaan gigi ini menjadi
amat penting apabila mayat sudah dalam keadaan membusuk atau rusak, seperti
halnya kebakaran [ CITATION Nuh17 \l 1033 ].
Adapun dalam melaksanakan identifikasi manusia melalui gigi, kita
dapatkan 2 (dua) kemungkinan:
a) Memperoleh informasi melalui data gigi dan mulut untuk membatasi atau
menyempitkan identifikasi. Informasi ini dapat diperoleh antara lain
mengenai: umur, jenis kelamin, ras, golongan darah, dan bentuk wajah.
Dengan adanya informasi mengenai perkiraan batas-batas umur korban
misalnya, maka pencarian dapat dibatasi pada data-data orang hilang yang
29
berada di sekitar umur korban. Dengan demikian penyidikan akan menjadi
lebih terarah.
b) Mencari ciri-ciri yang merupakan tanda khusus pada korban tersebut.
Disini dicatat ciri-ciri yang diharapkan dapat menentukan identifikasi
secara lebih akurat dari pada sekedar mencari informasi tentang umur atau
jenis kelamin. Ciri-ciri demikian antara lain : misalnya adanya gigi yang
dibungkus logam, gigi yang ompong atau patah, lubang pada bagian depan
biasanya dapat lebih mudah dikenali oleh kenalan atau teman dekat atau
keluarga korban.
Forensik odontologis akan melakukan pemeriksaan terhadap gigi, gusi,
bagian lain dari kavitas oral, rahang/maxilla, dan komponen dari hidung pada
wajah. Pemeriksaan ini meliputi pencatatan data gigi (odontogram) dan rahang
yang dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan manual, sinar X dan
pencetakan gigi dan rahang. Odontogram memuat data tentang jumlah, bentuk,
susunan, tambalan, protesa gigi, dan sebagainya.
Kondisi pembusukan awal juga masih memungkinkan diidentifikasi melalui
proses pemeriksaan primer yang bersifat ekonomis dan efisien yaitu pemeriksaan
gigi, meskipun keluarga tidak dapat merinci kondisi gigi korban dengantepat.
Semakin lama terpapar dalam air maka proses pembusukan juga akan berlangsung
dengan cepat sehingga akan menyebabkan terbatasnya upayapemeriksaan primer.
Proses identifikasi pada konsisi harus dilakukan kombinasi pemeriksaanprimer
dengan sekunder secara cermat dan akurat. Pada kasus ini korban berikutnya
ditemukan setelah 9-29 hari setelah kejadian sehingga tidak ada satupun yang
berhasil diidentifikasi berdasarkanpemeriksaan primer yang terjangkau yaitu sidik
jari maupun gigi karena terjadi pembusukan lanjut.
Selain itu akibat pemanasan terjadi koagulasi protein yang menyebabkan
otot mengecil diikuti mengkerutnyakulit, termasuk pengerutan peridontal ligament
atauperiodontal membran sebagai jaringan penyanggatulang dan gigi. Hal ini akan
sulit dilakukan pada jenazah yang meninggal dengan cara tenggelam. Pada
jenazah yang meninggal dalam air pada saat proses pembusukan berlangsung
disertai dengan proses pembusukan pada maksila dan mandibula yangakan diikuti
dengan terlepasnya gigi dari tulang akibat lisis jaringan penyangga. Gigi yang
30
terlepasakan sulit dilakukan pemeriksaan karena sebagianbesar akan jatuh dalam
air. Hal ini pula yang mempengaruhi keberhasilan identifikasi primermelalui
pemeriksaan gigi geligi pada korban tenggelam.
Identifikasi Odontologi Forensik
a. Penentuan usia berdasarkan gigi
Perkembangan gigi secara regular terjadi sampai usia 15 tahun.
Identifikasi melalui pertumbuhan gigi ini memberikan hasil yang lebih baik
daripada pemeriksaan antropologi lainnya pada masa pertumbuhan.
Pertumbuhan gigi desidua diawali pada minggu ke 6 intra uteri. Mineralisasi
gigi dimulai saat 12-16 minggu dan berlanjut setelah bayi lahir. Trauma pada
bayi dapat merangsang stress metabolik yang mempengaruhi pembentukan sel
gigi. Kelainan sel ini akan mengakibatkan garis tipis yang memisahkan
enamel dan dentin di sebut sebagai neonatal line. Neonatal line ini akan tetap
ada walaupun seluruh enamel dan dentin telah dibentuk. Ketika ditemukan
mayat bayi, dan ditemukan garis ini menunjukkan bahwa mayat sudah pernah
dilahirkan sebelumnya.
Pembentukan enamel dan dentin ini umumnya secara kasar berdasarkan
teori dapat digunakan dengan melihat ketebalan dari struktur di atas neonatal
line. Pertumbuhan gigi permanen diikuti dengan penyerapan kalsium, dimulai
dari gigi molar pertama dan dilanjutkan sampai akar dan gigi molar kedua
yang menjadi lengkap pada usia 14 – 16 tahun. Ini bukan referensi standar
yang dapat digunakan untuk menentukan umur, penentuan secara klinis dan
radiografi juga dapat digunakan untuk penentuan perkembangan gigi.
Penentuan usia antara 15 dan 22 tahun tergantung dari perkembangan gigi
molar tiga yang pertumbuhannya bervariasi. Setelah melebihi usia 22 tahun,
terjadi degenerasi dan perubahan pada gigi melalui terjadinya proses patologis
yang lambat dan hal seperti ini dapat digunakan untuk aplikasi forensik.
31
berdiameter kurang dari 6,7 mm, sedangkan pada pria lebih dari 7 mm. Saat
ini sering dilakukan pemeriksaan DNA dari gigi untuk membedakan jenis
kelamin.
32
gambaran perkiraan raut wajah korban untuk membantu memudahkan
identifikasi.
3) DNA
DNA adalah materi genetik yang membawa informasi yang dapat diturunkan.
Di dalam sel manusia DNA dapat ditemukan di dalam inti sel dan di dalam
mitokondria. Konsep dari identifikasi DNA pertama kali diperkenalkan oleh Alex
Jeffreys pada tahun 1985 yang dimana ia menemukan bahwa beberapa regio dari
DNA sangatlah bervariasi antara individu. Analisa dari regio yang polimorfik dari
DNA ini akan menghasilkan “DNA fingerprint” yang dimana sekarang lebih
dikenal dengan sebutan “DNA profile. DNA ini sendiri biasanya disamakan
sebagai suatu cetak biru sebuah kehidupan dan membawa informasi herediter
yang dibutuhkan organiseme terebut untuk melakukan fungsinya.Molekul yang
membawa informasi pengaturan biologis yang fundamental ini sebenarnya
sederhana secara relatif. Yang dimana struktur dasar yang membangun DNA ini
yaitu nukleotida yang tersusun atas tiga grup kimiawi yang berbeda: sebuah gula
(deoxyribosa), grup fosfat dan sebuah basa nitrogen. Ada 4 tipe yang berbeda dari
basa nitrogen DNA, yaitu adenine, guanine, thymine dan cytosine [ CITATION
Kar14 \l 1033 ].
Genom manusia dapat didefinisikan sebagai komplemen kehidupan suatu
organisme. Genom manusia mengandung sekitar 3,2 milyar informasi yang
terorganisir ke dalam 23 kromosom manusia. Manusia pada normalnya terdiri atas
dua set kromosom. Dua set tersebut berasal dari tiap orangtua, yang memberikan
46 kromosom yang terdiri atas 22 pasang kromosom autosomal dan pasangan ke
23 ialah kromosom X dan Y. Yang dimana pada perempuan memiliki dua
kromosom X sedangkan pria memiliki 1 kromosm X dan 1 kromosom Y
[ CITATION Kar14 \l 1033 ].
Bagian DNA yang mengkode dan melakukan sintesis protein disebut
dengan gen. Hal inilah yang sangat luas dipelajari karena memainkan peran yang
sangat vital paa struktur dan fungsi dari semua sel. Beberapa protein yang
dikoding DNA berbentuk polimorfik yang artinya timbul dalam beberapa bentuk,
dan inilah yang digunaan pada ilmu forensik. Sistem yang sangat diketahui
33
dengan baik saat ini ialah sistem golongan darah ABO [ CITATION Kar14 \l 1033 ].
Hampir semua sampel biologis dapat dipakai untuk tes DNA, seperti
buccal swab (usapan mulut pada pipi sebelah dalam), darah, rambut beserta
akarnya, walaupunlebih dipilih penggunaan darah dalam tabung (sebanyak 2 ml)
sebagai sumber DNA. Tes DNA dilakukan dengan berbagai alasan seperti
persoalan pribadi dan hukum antara lain; tunjangan anak, perwalian anak, adopsi,
imigrasi, warisan dan masalah forensik (dalam identifikasi korban bencana)
[ CITATION Nuh17 \l 1033 ].
34
BAB 3
LAPORAN KASUS
3.1 Jatuhnya Pesawat Sriwijaya Air SJ 182 (9 Januari 2021)
Pada hari Sabtu, 9 januari 2021 pesawat sriwijaya Air SJ 182 berangkat
dari Bandara Soekarno Hatta Tanggerang Banten menuju Pontianak. Pesawat
terbang dari landasan pacu 25R pada pukul 14.36 WIB, pesawat mengangkut 62
orang yang terdiri dari 12 awak kabin , 40 penumpang dewasa, 7 penumpang
anak-anak, dan 3 bayi. Setelah tinggal landas, pesawat terbang mengikuti jalur
keberangkatan yang sudah ditentukan sebelumnya. Pada pukul 17.24 diterima
informasi Flight Data Recorder (FDR) menunjukkan pesawat tersebut berhenti
disekitar 11 mil laut dari bandara Soekarno Hatta atau diatas Kepulauan Seribu.
Pesawat sempat melewati ketinggian 11.000 kaki, namun pada pukul 14.40 FDR
merekam ketinggian pesawat 10.900 kaki kemudian pesawat mulai turun sekitar
20 detik dan posisi terakhir menunjukkan ketinggian 2500 kaki di atas permukaan
air laut dengan kecepatan 358 knots kemudian FDR berhenti merekam data.. Pada
puku 18.00 bupati kepulauan seribu Djunaedi, mengkonfirmasi bahwa pesawat
Sriwijaya jatuh disekitar pulau Laki.
Pesawat Sriwijaya Air SJ 182 jatuh di pulau laki Kepulauan Seribu pada hari
Sabtu 9 Januari 2021 pukul 14.40 WIB.
2. Pelaksanaan DVI
Pada fase pertama tim DVI melakukan identifikasia korban kecelakaan pesawat
Sriwijaya Air SJ 182 dimulai oleh Polda Metro Jaya dari posko di terminal JICT
Tanjung Priok.
35
Fase kedua, identifikasi korban yakni pendataan postmortem yang dilanjutkan
dengan penyimpanan dan pemeriksaan di ruang jenazah RS Polri Said Sukanto
Jakarta Timur. Pada fase ini ditangani 25 ahli termasuk ahli forensik, antropologi,
dan ahli lainnya.
Fase ketiga, pengumpulan data antemortem, tim DVI telah membuka posko
antemortem korban kecelakaan Sriwijaya Air SJ 182 di Bandara Supadio
pontianak dan RS Polri Said Sukanto Jakarta Timur. Polisi mengerahkan
sebanyak 51 orang untuk melakukan pendataan antemortem korban. Pada fase ini
tim akan mengumpulkan data primer dan data sekunder. Data yang dikumpulkan
meliputi sidik jari, ijazah, foto korban yang sedang senyum yang menunjukkan
struktur gigi depan, rekam medis, rekam medis gigi dan DNA serta data
penumpang dari pihak Sriwijaya Air.
Fase keempat, rekonsiliasi data korban Pesawat Sriwijaya Air SJ 182 diadakan di
gedung DVI RS Polri Said Sukanto. Setelah hasil rekonsiliasi menemukan hasil
kecocokan data, akan dilakukan penyerahan jenazah korban kepada keluarga.
3. Hasil Kegiatan
4. Kendala Kegiatan
a. Ketiga korban belum teridentifikasi karena sampel data postmortem atau
bagian tubuh jenazah belum ditemukan.
b. Kondisi korban atau bagian tubuh korban yang sudah rusak karena terendam
air dan sudah banyak tercampur dengan potongan tubuh penumpang lainnya
menyulitkan proses identifikasi DNA.
c. Pemeriksaan tidak dilakukan secara maksimal dikarenakan tim DVI
menerapkan aturan protokol kesehatan untuk menghindari timbulnya klaster
baru.
36
d. Buruknya cuaca dan gelombang setinggi 2,5 meter di lokasi kejadian
menyulitkan tim SAR selama melakukan evakuasi korban sehingga proses
evakuasi harus dihentikan untuk sementara.
37
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Identifikasi bencana massal diperlukan untuk memenuhi hak-hak korban
bencana massal untuk memiliki identitas semasa hidup ataupun setelah mati.
Dalam proses identifikasi melibatkan tim DVI yang terdiri dari dokter spesialis
forensik, dokter gigi, ahli antropologi (ilmu yang mempelajari tulang), kepolisian,
fotografi, dan ahli DNA. Prinsip dalam identifikasi adalah mengumpulkan dan
membandingkan data antemortem dan postmortem. Identifikasi postmortem dapat
diperoleh dari data primer berupa sidik jari, gigi dan DNA serta dari data
sekunder yaitu medical, property dan photography. Korban yang teridentifikasi
dapat di kembalikan kepada keluarga setelah melalui beberapa fase identifikasi.
.
4.2 Saran
Sebaiknya sebagai dokter pada fasilitas kesehatan pertama memiliki
kemampuan untuk mengidentifikasi korban bencana massal sehingga dapat
membantu dalam proses identifikasi korban bencana yang terjadi disekitarnya.
38
DAFTAR PUSTAKA
39