Anda di halaman 1dari 74

LAPORAN TUTORIAL

Blok Emergency
Skenario 1

Disusun Oleh :
Kelompok 14

Aditya Bima P (1218011004)

Jose Adelina Putri (1218011087)

Ajeng Defriyanti P(1218011007)

M. Sultan Tantra (1218011101)

Alyssa Fairuds S (1218011011)

Sarah Windia B (1218011135)

Andrian Reza S (1218011018)

Silvia Marischa (21801114)

Dika Yunisa (1218011036)

Talytha Alethea(1218011152)

Harmeida Risa (1218011068)

Widyastuti Ayu H (1218011159)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2015

DAFTAR ISI

Skenario 5......................................................................................................................1
STEP 1.............................................................................................................................
IDENTIFIKASI ISTILAH ASING...............................................................................4
STEP II............................................................................................................................
IDENTIFIKASI MASALAH........................................................................................5
STEP III...........................................................................................................................
BRAINSTORMING......................................................................................................6
STEP IV...........................................................................................................................
PENJELASAN LANJUTAN.......................................................................................24
STEP V............................................................................................................................
PENENTUAN LEARNING OBJECTIVE (LO)........................................................33
STEP VI...........................................................................................................................
BELAJAR MANDIRI.................................................................................................34
STEP VII..........................................................................................................................
PEMBAHASAN LEARNING OBJECTIVE (LO).....................................................35
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................83

Skenario 5
TRAUMA SI RAJA JALANAN
Pasien laki-laki, Tuan Z, usia 25 tahun, datang ke IGD RSP Universitas Lampung
diantar keluarganya. Pasien mengeluh nyeri di seluruh lapangan perut.
Dialami pasien sekitar 10 jam sebelum dibawa ke IGD. Pasien mengalami kecelakaan
lalu lintas mengendarai sepeda motor dengan kencang lalu menabrak pohon yang
berada di pinggir jalan. Riwayat pingsan (-), muntah (-), kejang (-).

KETERANGAN TAMBAHAN SKENARIO


Keadaan umum : tampak sakit sedang
Tekanan darah : 70/40 mmHg
Nadi : 120x/menit
Frekuensi napas : 28x/menit
Berat badan : 60 kg
Konjungtiva : tampak anemis
Pupil : isokhor kanan dan kiri
a. Abdomen
Inspeksi : simetris, distensi (+), memar hipokondrium sinistra
Palpasi : defans muscular, nyeri tekan lepas, nyeri seluruh lapang perut
Perkusi : timpani di seluruh lapang perut
Auskultasi : Peristaltik (-)
b. Thorax
Inspeksi : Lecet di kedua hemithorax
Palpasi : Sten fremitus kanan dan kiri sama, nyeri (-)
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler pada kedua lapang paru
c. Rectal Toucher
Sfingter longgar, nyeri (+), darah (-), rektum kolaps, prostat tidak teraba
d. Ekstrimitas
Tidak ada kelainan, akral dingin
e. Pemeriksaan Penunjang
Hb : 5,8 gr/dL
Leukosit : 12.000
Trombosit : 109.000
Ureum : 21,8
Kreatinin : 0,9
Natrium : 135
Kalium 3,1
Cl : 106
Radiologi : Foto polos abdomen asites (+)

STEP 1
IDENTIFIKASI ISTILAH ASING
Tidak ada istilah asing ditemukan

STEP II
IDENTIFIKASI MASALAH
1.
2.
3.
4.

Anatomi dan gejala yang muncul pada kelainan abdomen


Mekanisme trauma abdomen
Diagnosis kerja dan tatalaksana pada skenario
Penanganan awal pada skenario

STEP III
BRAINSTORMING
1.

Anatomi dan gejala yang muncul pada kelainan abdomen


Abdomen dapat didefinisikan sebagai daerah tubuh yang terletak antara
diaphragma di bagian atas dan pintu masuk pelvis dibagian bawah. Untuk
kepentingan klinik, biasanya abdomen dibagi dalam sembilan regio oleh dua
garis vertikal, dan dua garis horizontal. Masing-masing garis vertikal melalui
pertengahan antara spina iliaca anterior superior dan symphisis pubis. Garis
horizontal

yang

atas

merupakan

bidang

subcostalis,

yang

mana

menghubungkan titik terbawah pinggir costa satu sama lain. Garis horizontal
yang bawah merupakan bidang intertubercularis, yang menghubungkan
tuberculum pada crista iliaca. Bidang ini terletak setinggi corpus vertebrae
lumbalis V.

Pembagian regio pada abdomen yaitu :


Pada abdomen bagian atas : regio hypochondrium kanan, regio epigastrium
dan regio hypocondrium kiri.
Pada abdomen bagian tengah : regio lumbalis kanan, regio umbilicalis dan
regio lumbalis kiri.
Pada abdomen bagian bawah : regio iliaca kanan, regio hypogastrium dan
regio iliaca kiri.

Sedangkan pembagian abdomen juga dipermudah menjadi empat kuadran


dengan menggunakan satu garis vertikal dan satu garis horisontal yang saling
berpotongan pada umbilicus. Kuadran tersebut adalah kuadran kanan atas,
kuadran kiri atas, kuadran kanan bawah dan kuadran kiri bawah.
Dinding perut mengandung struktur muskulo-aponeurosis yang
kompleks. Di bagian belakang, struktur ini melekat pada tulang belakang, di
sebelah atas pada iga, dan di bagian bawah pada tulang panggul. Dinding perut
ini terdiri atas beberapa lapis, yaitu dari luar ke dalam, lapis kulit yang terdiri
dari kutis dan subkutis; lemak subkutan dan fasia superfisial (fasia Scarpa);
kemudian ketiga otot dinding perut, m. oblikus abdominis eksternus, m. oblikus
abdominis internus, dan m. tranversus abdominis; dan akhirnya lapisan
preperitoneal, dan peritoneum. Otot di bagian depan terdiri atas sepasang otot
rektus abdominis dengan fasianya yang di garis tengah dipisahkan oleh linea
alba.
Dinding perut membentuk rongga perut yang melindungi isi rongga
perut. Perdarahan dinding perut berasal dari beberapa arah. Dari kranikaudal
diperoleh pendarahan dari cabang aa.interkostales VI s/d XII dan a.epigastrika
superior. Dari kaudal, a.iliaka sirkumfleksa superfisialis, a.pudenda eksterna,
dan a.epigastrica inferior. Kekayaan vaskularisasi ini memungkinkan sayatan
perut horizontal maupun vertikal tanpa menimbulkan gangguan pendarahan.
Persarafan dinding perut dilayani secara segmental oleh n.torakalis VI s/d XII
dan n.lumbalis I.

Rongga perut (cavitas abdominalis) dibatasi oleh membran serosa yang tipis
mengkilap yang juga melipat untuk meliputi organ-organ di dalam rongga
abdominal. Lapisan membran yang membatasi dinding abdomen dinamakan
peritoneum parietale, sedangkan bagian yang meliputi organ dinamakan
peritoneum viscerale. Di sekitar dan sekeliling organ ada lapisan ganda
peritoneum yang membatasi dan menyangga organ, menjaganya agar tetap
berada di tempatnya, serta membawa pembuluh darah, pembuluh limfe, dan
saraf. Bagian-bagian peritoneum sekitar masing-masing organ diberi namanama khusus.
Mesenterium ialah bangunan peritoneal yang berlapis ganda, bentuknya seperti
kipas, pangkalnya melekat pada dinding belakang perut dan ujungnya yang
mengembang melekat pada usus halus. Di antara dua lapisan membran yang
membentuk mesenterium terdapat pembuluh darah, saraf dan bangunan lainnya
yang memasok usus. Bagian mesenterium di sekitar usus besar dinamakan
mesokolon. Lapisan ganda peritoneum yang berisi lemak, menggantung seperti
celemek di sebelah atas depan usus bernama omentum majus. Bangunan ini
memanjang dari tepi lambung sebelah bawah ke dalam bagian pelvik abdomen
dan kemudian melipat kembali dan melekat pada colon tranversum.
Ada juga membran yang lebih kecil bernama omentum minus yang terentang
antara lambung dan liver.

Organ

dalam

rongga

a. Organ Intraperitoneal

abdomen

dibagi

menjadi

dua,

yaitu

1.Hati
Merupakan kelenjar terbesar dan mempunyai tiga fungsi dasar, yaitu :
(1) pembentukan dan sekresi empedu yang dimasukkan ke dalam usus halus;
(2) berperan pada aktivitas metabolisme yang berhubungan dengan
metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein; (3) menyaring darah untuk
membuang bakteri dan benda asing lain yang masuk dalam darah dari lumen
usus.
Hati bersifat lunak dan lentur dan menduduki regio hypochondrium
kanan, meluas sampai regio epigastrium. Permukaan atas hati cembung
melengkung

pada permukaan bawah diaphragma. Permukaan postero-

inferior atau

permukaan viseral membentuk cetakan visera yang berdekatan,

permukaan ini berhubungan dengan pars abdominalis oesophagus, lambung,


duodenum,
kandung

flexura coli dextra, ginjal kanan, kelenjar suprarenalis, dan


empedu.

Dibagi dalam lobus kanan yang besar dan lobus kiri yang kecil, yang
dipisahkan oleh perlekatan peritonium ligamentum falciforme. Lobus kanan
terbagi menjadi lobus quadratus dan lobus caudatus oleh adanya kandung
empedu, fissura untuk ligamentum teres hepatis, vena cava inferior, dan
fissura untuk ligamentum venosum. Porta hepatis atau hilus hati ditemukan
pada permukaan postero-inferior dengan bagian atas ujung bebas omentum
majus melekat pada pinggirnya. Hati dikelilingi oleh capsula fibrosa yang
membentuk lobulus hati. Pada ruang antara lobulus-lobulus terdapat saluran

portal, yang mengandung cabang arteri hepatica, vena porta, dan saluran
empedu (segitiga portal).

2.Limpa
Merupakan massa jaringan limfoid tunggal yang terbesar dan umumnya
berbentuk oval, dan berwarna kemerahan. Terletak pada regio hypochondrium
kiri, dengan sumbu panjangnya terletak sepanjang iga X dan kutub bawahnya
berjalan ke depan sampai linea axillaris media, dan tidak dapat diraba pada
pemeriksaan fisik. Batas anterior limpa adalah lambung, cauda pankreas,
flexura coli sinistra. Batas posterior pada diaphragma, pleura kiri ( recessus
costodiaphragmatica kiri ), paru kiri, costa IX, X, dan XI kiri.

3.Lambung
Merupakan bagian saluran pencernaan yang melebar dan mempunyai
3 fungsi utama: (1) menyimpan makanan dengan kapasitas 1500 ml pada
orang dewasa; (2) mencampur makanan dengan getah lambung untuk
membentuk kimus yang setengah padat, dan (3) mengatur kecepatan
pengiriman kimus ke usus halus sehingga pencernaan dan absorbsi yang efisien
dapat berlangsung.
Lambung

terletak

pada

bagian

atas

abdomen,

dari

regio

hipochondrium kiri sampai regio epigastrium dan regio umbilikalis. Sebagian


besar lambung terletak di bawah iga-iga bagian bawah. Batas anterior lambung
adalah dinding anterior abdomen, arcus costa kiri, pleura dan paru kiri,

diaphragma, dan lobus kiri hati. Sedangkan batas posterior lambung adalah
bursa omentalis, diaphragma, limpa, kelenjar suprarenal kiri, bagian atas ginjal
kiri, arteri lienalis, pankreas, mesocolon tranversum, dan colon tranversum.
Secara kasar lambung berbentuk huruf J dan mempunyai dua lubang, ostium
cardiacum dan ostium pyloricum, dua curvatura yang disebut curvatura mayor
dan minor, serta dua permukaan anterior dan posterior. Lambung dibagi
menjadi fundus, corpus dan antrum. Fundus berbentuk kubah dan menonjol ke
atas terletak di sebelah kiri ostium cardiacum. Biasanya fundus terisi gas.
Sedangkan corpus adalah badan dari lambung. Antrum merupakan bagian
bawah dari lambung yang berbentuk seperti tabung. Dinding ototnya
membentuk sphincter pyloricum, yang berfungsi mengatur kecepatan
pengeluaran

isi

lambung

ke

duodenum.

Membran mukosa lambung tebal dan memiliki banyak pembuluh darah yang
terdiri dari banyak lipatan atau rugae. Dinding otot lambung mengandung
serabut longitudinal, serabut sirkular dan serabut oblik. Serabut longitudinal
terletak paling superficial dan paling banyak sepanjang curvatura, serabut
sirkular yang lebih dalam mengelilingi fundus lambung,dan menebal pada
pylorus untuk membentuk sphincter pyloricum. Sedangkan serabut oblik
membentuk lapisan otot yang paling dalam, mengelilingi fundus berjalan
sepanjang anterior dan posterior.

4. Kandung empedu (Vesica Fellia)

Vesica Fellia adalah kantong seperti buah pear yang terletak pada
permukaan viseral hati. Secara umum dibagi menjadi tiga bagian yaitu : fundus,
corpus dan collum. Fundus berbentuk bulat dan biasanya menonjol dibawah
pinggir inferior hati; dimana fundus berhubungan dengan dinding anterior
abdomen setinggi ujung rawan costa IX kanan. Corpus bersentuhan dengan
permukaan viseral hati dana arahnya keatas, belakang dan kiri. Sedangkan
collum dilanjutkan sebagai ductus cysticus yang berjalan dalam omentum
minus untuk bersatu dengan sisi kanan ductus hepaticus communis membentuk
ductus choledochus. Batas anterior vesica fellia pada dinding anterior abdomen
dan bagian pertama dan kedua duodenum. Batas posterior pada colon
tranversum dan bagian pertama dan kedua duodenum.
Vesica Fellia berperan sebagai reservoir empedu dengan kapasitas 50
ml. Vesica Fellia mempunyai kemampuan memekatkan empedu. Untuk
membantu proses ini, maka mukosanya mempunyai lipatan-lipatan permanen
yang satu sama lain saling berhubungan seperti sarang tawon. Empedu dialirkan
ke duodenum sebagai akibat kontraksi dan pengosongan parsial kandung
empedu. Mekanisme ini diawali dengan masuknya makanan berlemak ke dalam
duodenum . lemak menyebabkan pengeluaran hormon kolesistokinin dari
mukosa duodenum; hormon kemudian masuk ke dalam darah menyebabkan
kandung empedu berkontraksi. Pada saat yang sama otot polos yang terletak
pada ujung distal ductus choledochus dan ampula relaksasi sehingga
memungkinkan masuknya empedu yang kental ke dalam duodenum. Garam-

garam empedu dalam cairan empedu penting untuk emulsifikasi lemak dalam
usus halus dan membantu pencernaan serta absorbsi lemak.

5. Usus halus
Usus halus merupakan bagian pencernaan yang paling panjang, dibagi menjadi
3 bagian : duodenum, jejunum, dan ileum. Fungsi utama usus halus adalah
pencernaan

dan

absorpsi

hasil-hasil

pencernaan.

Duodenum berbentuk huruf C yang panjangnya sekitar 25 cm, melengkung


sekitar caput pankreas, dan menghubungkan lambung dengan jejunum. Di
dalam duodenum terdapat muara saluran empedu dan saluran pankreas.
Sebagian duodenum diliputi peritonium, dan sisanya terletak retroperitonial.
Duodenum terletak pada regio epigastrium dan regio umbilikalis. Dibagi
menjadi 4 bagian :
1. Bagian pertama duodenum
Panjangnya 5 cm, mulai pada pylorus dan berjalan keatas dan ke belakang pada
sisi kanan vertebra lumbalis pertama. Bagian ini terletak pada bidang
transpilorica. Batas anterior pada lobus quadratus hati dan kandung empedu.
Batas posterior pada bursa omentalis ( 2,5 cm pertama), arteri gastroduodenalis,
ductus choledochus dan vena porta, serta vena cava inferior. Batas superior
pada foramen epiploicum Winslow dan batas inferior pada caput pankreas.
2. Bagian kedua duodenum
Panjangnya 8 cm, berjalan ke bawah di depan hilus ginjal kanan di sebelah
vertebra lumbalis kedua dan ketiga. Batas anterior pada fundus kandung
empedu dan lobus kanan hati, colon tranversum, dan lekukan- lekukan usus

halus. Batas posterior pada hilus ginjal kanan dan ureter kanan. Batas lateral
pada colon ascenden, flexura coli dextra, dan lobus kanan hati. Batas medial
pada caput pancreas.
3. Bagian ketiga duodenum
Panjangnya 8 cm, berjalan horisontal ke kiri pada bidang subcostalis, mengikuti
pinggir bawah caput pankreas. Batas anterior pada pangkal mesenterium usus
halus, dan lekukan-lekukan jejunum. Batas posterior pada ureter kanan,
muskulus psoas kanan, vena cava inferior, dan aorta. Batas superior pada caput
pankreas, dan batas inferior pada lekukan-lekukan jejunum.
4. Bagian keempat duodenum
Panjangnya 5 cm, berjalan ke atas dan kiri, kemudian memutar ke depan pada
perbatasan duodenum dan jejunum. Terdapat ligamentum Treitz yang menahan
junctura

duodeno-jejunalis.

Batas

anterior

pada

permulaan

pangkal

mesenterium dan lekukan-lekukan jejunum. Batas posterior pada pinggir kiri


aorta

dan

pinggir

medial

muskulus

psoas

kiri.

Jejunum dan Ileum panjangnya 6 m, dua perlima bagian atas merupakan


jejunum. Jejunum mulai pada junctura duodenojejunalis dan ileum berakhir
pada junctura ileocaecalis. Dalam keadaan hidup, jejunum dan ileum dibedakan
dengan gambaran berikut :
1. Lekukan jejunum terletak pada bagian atas rongga peritonium di bawah sisi
kiri mesocolon tranversum, ileum terletak pada bagian bawah rongga
peritonium dan dalam pelvis
2. Jejunum lebih besar, berdinding lebih tebal, dan lebih merah dari ileum.
3. Mesenterium jejunum melekat pada dinding posterior abdomen di atas dan

kiri aorta, sedangkan mesenterium ileum melekat di bawah dan kanan aorta.
4. Pembuluh darah mesenterium membentuk satu atau dua arkade dengan
cabang-cabang yang panjang dan jarang, sedangkan ileum menerima banyak
pembuluh

darah

pendek,

berasal

dari

tiga

atau

lebih

arkade.

5. Pada ujung mesenterium jejunum, lemak disimpan dekat pangkal, sedangkan


pada

mesenterium

ileum

lemak

disimpan

di

seluruh

bagian.

6. Kelompokan jaringan limfoid ( agmen Peyer ) terdapat pada mukosa ileum


bagian bawah sepanjang pinggir antimesentrik.
6. Usus besar
Usus besar dibagi dalam caecum, appendix vermiformis, colon
ascenden, colon tranversum, colon descenden, dan colon sigmoideum, rectum
dan anus. Fungsi utama usus besar adalah absorpsi air dan elektrolit dan
menyimpan bahan yang tidak dicernakan sampai dapat dikeluarkan dari tubuh
sebagai feses.
Caecum terletak pada fossa iliaca, panjang 6 cm, dan diliputi oleh
peritonium. Batas anterior pada lekukan-lekukan usus halus, sebagian omentum
majus, dan dinding anterior abdomen regio iliaca kanan. Batas posterior pada
m. psoas dan m. iliacus, n. femoralis, dan n. cutaneus femoralis lateralis. Batas
medial pada appendix vermiformis.
Appendix vermiformis panjangnya 8 13 cm, terletak pada regio iliaca kanan.
Ujung appendix dapat ditemukan pada tempat berikut : (1) tergantung dalam
pelvis berhadapan dengan dinding kanan pelvis; (2) melekuk di belakang
caecum pada fossa retrocaecalis; (3) menonjol ke atas sepanjang pinggir lateral

caecum;

(4)

di

depan

atau

di

belakang

bagian

terminal

ileum.

Colon ascenden terletak pada regio iliaca kanan dengan panjang 13 cm.
Berjalan ke atas dari caecum sampai permukaan inferior lobus kanan hati, di
mana colon ascenden secara tajam ke kiri, membentuk flexura coli dextra, dan
dilanjutkan sebagai colon tranversum. Peritonium menutupi pinggir dan
permukaan depan colon ascenden dan menghubungkannya dengan dinding
posterior abdomen. Batas anterior pada lekukan-lekukan usus halus, omentum
majus, dan dinding anterior abdomen. Batas posterior pada m. Iliacus, crista
iliaca, m. Quadratus lumborum, origo m. Tranversus abdominis, dan kutub
bawah ginjal kanan.
Colon tranversum panjangnya 38 cm dan berjalan menyilang abdomen,
menduduki regio umbilikalis dan hipogastrikum. Batas anterior pada omentum
majus dan dinding anterior abdomen. Batas posterior pada bagian kedua
duodenum, caput pankreas, dan lekukan-lekukan jejunum dan ileum.
Colon descenden terletak pada regio iliaca kiri, dengan panjang 25 cm.
Berjalan ke bawah dari flexura coli sinistra sampai pinggir pelvis. Batas
anterior pada lekukan-lekukan usus halus, omentum majus, dan dinding anterior
abdomen. Batas posterior pada pinggir lateral ginjal kiri, origo m. Tranversus
abdominis, m. Quadratus lumborum, crista iliaca, m. Iliacus, dan m. Psoas kiri.
b. Organ Retroperitoneal
1. Ginjal
Berperan penting dalam mengatur keseimbangan air dan elektrolit dalam tubuh
dan mempertahankan keseimbangan asam basa darah. Kedua ginjal berfungsi

mengekskresi sebagian besar zat sampah metabolisme dalam bentuk urin.


Ginjal berwarna coklat-kemerahan, terletak tinggi pada dinding posterior
abdomen, sebagian besar ditutupi oleh tulang iga. Ginjal kanan terletak lebih
rendah dibanding ginjal kiri, dikarenakan adanya lobus kanan hati yang besar.
Ginjal dikelilingi oleh capsula fibrosa yang melekat erat dengan cortex ginjal.
Di luar capsula fibrosa terdapat jaringan lemak yang disebut lemak perirenal.
Fascia renalis mengelilingi lemak perirenal dan meliputi ginjal dan kelenjar
suprarenalis. Fascia renalis merupakan kondensasi jaringan areolar, yang di
lateral melanjutkan diri sebagai fascia tranversus. Di belakang fascia renalis
terdapat

banyak

lemak

yang

disebut

lemak

pararenal.

Batas anterior ginjal kanan pada kelenjar suprarenalis, hati, bagian kedua
duodenum, flexura coli dextra. Batas posterior pada diaphragma, recessus
costodiaphragmatica pleura, costa XII, m. Psoas, m. Quadratus lumborum, dan
m. Tranversus abdominis
Pada ginjal kiri, batas anterior pada kelenjar suprarenalis, limpa,
lambung, pankreas, flexura coli kiri, dan lekukan-lekukan jejunum. Batas
posterior pada diaphragma, recessus costodiaphragmatica pleura, costa XI, XII,
m. Psoas, m. Quadratus lumborum, dan m. Tranversus abdominis.
2. Ureter
Mengalirkan urin dari ginjal ke vesica urinaria, dengan didorong
sepanjang ureter oleh kontraksi peristaltik selubung otot, dibantu tekanan
filtrasi glomerulus. Panjang ureter 25 cm dan memiliki tiga penyempitan : (1)
di mana piala ginjal berhubungan dengan ureter;(2) waktu ureter menjadi kaku
ketika melewati pinggir pelvis;(3) waktu ureter menembus dinding vesica

urinaria. Ureter keluar dari hilus ginjal dan berjalan vertikal ke bawah di
belakang peritonium parietal pada m. Psoas, memisahkannya dari ujung
processus tranversus vertebra lumbalis. Ureter masuk ke pelvis dengan
menyilang bifurcatio a. Iliaca comunis di depan articulatio sacroiliaca,
kemudian berjalan ke bawah pada dinding lateral pelvis menuju regio
ischiospinalis

dan

memutar

menuju

angulus

lateral

vesica

urinaria.

Pada ureter kanan, batas anterior pada duodenum, bagian terminal ileum, av.
Colica dextra, av. Iliocolica, av. Testicularis atau ovarica dextra, dan pangkal
mesenterium

usus

halus.

Batas

posterior

pada

m.

Psoas

dextra.

Batas anterior ginjal kiri pada colon sigmoideum, mesocolon sigmoideum, av.
Colica sinistra, dan av. Testicularis atau ovarica sinistra. Batas posterior pada m.
Psoas sinistra.
3. Pankreas
Merupakan kelenjer eksokrin dan endokrin, organ lunak berlobus yang
terletak pada dinding posterior abdomen di belakang peritonium. Bagian
eksokrin kelenjer menghasilkan sekret yang mengandung enzim yang dapat
menghidrolisis protein, lemak, dan karbohirat. Bagian endokrin kelenjer, yaitu
pulau langerhans, menghasilkan hormon insulin dan glukagon yang berperan
penting

dalam

metabolisme

karbohidrat.

Pankreas

menyilang

bidang

transpilorica.
Dibagi menjadi empat bagian, yaitu : (1) caput pankreas berbentuki
seperti cakram, terletak pada bagian cekung duodenum. Sebagian caput meluas
ke kiri di belakang av. Mesenterica superior dan dinamakan processus

uncinatus; (2) collum pancreas merupakan bagian yang mengecil dan


menghubungkan caput dengan corpus pankreas. Terletak di depan pangkal vena
porta dan pangkal arteri mesenterica superior dari aorta; (3) corpus berjalan ke
atas dan kiri menyilang garis tengah; (4) cauda berjalan menuju ke ligamentum
lienorenalis dan berhubungan dengan hilus limpa.
Batas anterior pankreas dari kanan ke kiri : colon tranversum,
perlekatan mesocolon tranversum, bursa omentalis, dan lambung. Sedangkan
batas posterior pankreas dari kanan ke kiri : ductus choledochus, vena porta,
vena lienalis, vena cava inferior, aorta, pangkal arteri mesenterica superior, m.
Psoas kiri, kelenjer suprarenalis kiri, ginjal kiri, dan hilus limpa.
2. Mekanisme Trauma Abdomen
Mekanisme terjadinya trauma pada trauma tumpul disebabkan adanya
deselerasi cepat dan adanya organ-organ yang tidak mempunyai kelenturan
(noncomplient organ) seperti hati, limpa, pankreas, dan ginjal. Kerusakan intra
abdominal sekunder untuk kekuatan tumpul pada abdomen secara umum dapat
dijelaskan dengan 3 mekanisme, yaitu :
Pertama, saat pengurangan kecepatan menyebabkan perbedaan gerak
di antara struktur. Akibatnya, terjadi tenaga potong dan menyebabkan robeknya
organ berongga, organ padat, organ viseral dan pembuluh darah, khususnya
pada ujung organ yang terkena. Contoh pada aorta distal yang mengenai tulang
torakal dan mengurangi yang lebih cepat dari pada pergerakan arkus aorta.
Akibatnya, gaya potong pada aorta dapat menyebabkan ruptur. Situasi yang
sama dapat terjadi pada pembuluh darah ginjal dan pada cervicothoracic

junction.
Kedua, isi intra-abdominal hancur di antara dinding abdomen anterior
dan columna vertebra atau tulang toraks posterior. Hal ini dapat menyebabkan
remuk,

biasanya

organ

padat

(spleen,

hati,

ginjal)

terancam.

Ketiga, adalah gaya kompresi eksternal yang menyebabkan peningkatan


tekanan intra-abdomen yang tiba-tiba dan mencapai puncaknya pada ruptur
organ berongga.

3. Diagnosis Kerja dan tatalaksana pada skenario

Dari Pemeriksaan Fisik dan Penunjang : Peritonitis et causa trauma tumpul

abdomen
Perdarahan retroperitoneal
Ruptur Lien

4. Penanganan
-Terapi Medis
Keberhasilan utama paramedis dengan latihan Advanced Trauma Life Support
merupakan latihan menilai dengan cepat jalan napas pasien dengan melindungi
tulang belakang, pernapasan dan sirkulasi. Kemudian diikuti dengan
memfiksasi fraktur dan mengontrol perdarahan yang keluar. Pasien trauma
merupakan risiko mengalami kemunduran yang progresif dari perdarahan
berulang dan membutuhkan transport untuk pusat trauma atau fasilitas yang
lebih teliti dan layak. Sebab itu, melindungi jalan napas, menempatkan jalur

intravena, dan memberi cairan intravena, kecuali keterlambatan transport.


Prioritas selanjutnya pada primary survey adalah penilaian status sirkulasi
pasien. Kolaps dari sirkulasi pasien dengan trauma tumpul abdomen biasanya
disebabkan oleh hipovolemia karena perdarahan. Volume resusitasi yang efektif
dengan mengontrol darah yang keluar infuse larutan kristaloid melalui 2 jalur.
Primary survey dilengkapi dengan menilai tingkat kesadaran pasien
menggunakan Glasgow Coma Scale. Pasien tidak menggunakan pakaian dan
dijaga tetap bersih, kering, hangat. Secondary survey terdiri dari pemeriksaan
lengkap dan teliti sebagai indikasi dalam pemeriksaan fisik.

-Manajemen

Non

Operative

Trauma

Tumpul

Abdomen

Strategis manajemen nonoperatif berdasarkan pada CT scan dan


kestabilan hemodinamik pasien yang saat ini digunakan dalam penatalaksanaan
trauma organ padat orang dewasa, hati dan limpa. Pada trauma tumpul
abdomen, termasuk beberapa trauma organ padat, manajemen nonoperatif yang
selektif menjadi standar perawatan. Angiografi merupakan keutamaan pada
manajemen nonoperatif trauma organ padat pada orang dewasa dari trauma
tumpul. Digunakan untuk kontrol perdarahan.

-Terapi Pembedahan
Indikasi laparotomi pada pasien dengan trauma abdomen meliputi
tanda-tanda peritonitis, perdarahan atau syok yang tidak terkontrol, kemunduran

klinis selama observasi, dan adanya hemoperitonium setelah pemeriksaan FAST


dan DPL
.

Ketika indikasi laparotomi, diberikan antibiotik spektrum luas. Insisi

midline biasanya menjadi pilihan. Saat abdomen dibuka, kontrol perdarahan


dilakukan dengan memindahkan darah dan bekuan darah, membalut semua 4
kuadran, dan mengklem semua struktur vaskuler. Kerusakan pada lubang
berongga dijahit. Setelah kerusakan intra-abdomen teratasi dan perdarahan
terkontrol dengan pembalutan, eksplorasi abdomen dengan teliti kemudian
dilihat untuk evaluasi seluruh isi abdomen.
Setelah trauma intra-abdomen terkontrol, retroperitonium dan pelvis
harus diinspeksi. Jangan memeriksa hematom pelvis. Penggunaan fiksasi
eksternal fraktur pelvis untuk mengurangi atau menghentikan kehilangan darah
pada daerah ini. Setelah sumber perdarahan dihentikan, selanjutnya
menstabilkan pasien dengan resusitasi cairan dan pemberian suasana hangat.
Setelah tindakan lengkap, melihat pemeriksaan laparotomy dengan teliti dengan
mengatasi seluruh struktur kerusakan.

-Follow-Up :
Perlu dilakukan observasi pasien, monitoring vital sign, dan
mengulangi pemeriksaan fisik. Peningkatan temperature atau respirasi
menunjukkan adanya perforasi viscus atau pembentukan abses. Nadi dan
tekanan darah dapat berubah dengan adanya sepsis atau perdarahan intra
abdomen.

STEP IV
PENJELASAN LANJUTAN
1. (sudah dijelaskan lengkap)
2. (sudah dijelaskan lengkap)
3. Diagnosis Banding Skenario
Berdasaran

jenis

organ

yang

cedera

dapat

dibagi

dua

1. Pada organ padat seperti hepar dan limpa dengan gejala utama perdarahan
2. Pada organ berongga seperti usus dan saluran empedu dengan gejala utama
adalah peritonitis
Peritonitis
Peritonitis merupakan komplikasi tersering dari trauma tumpul
abdomen karena adanya ruptur pada organ. Penyebab yang paling serius dari
peritonitis adalah terjadinya suatu hubungan (viskus) ke dalam rongga
peritoneal dari organ-organ intra-abdominal (esofagus, lambung, duodenum,
intestinal, colon, rektum, kandung empedu, apendiks, dan saluran kemih), yang
dapat disebabkan oleh trauma, darah yang menginfeksi peritoneal, benda asing,
obstruksi dari usus yang mengalami strangulasi, pankreatitis, PID (Pelvic
Inflammatory

Disease)

dan

bencana

vaskular

(trombosis

dari

mesenterium/emboli).
Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering

terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya


apendisitis, salpingitis), ruptur saluran cerna, atau dari luka tembus abdomen.
Organisme yang sering menginfeksi adalah organisme yang hidup dalam kolon
pada kasus ruptur apendiks, sedangkan stafilokokus dan stretokokus sering
masuk dari luar. Pada luka tembak atau luka tusuk tidak perlu lagi dicari tandatanda peritonitis karena ini merupakan indikasi untuk segera dilakukan
laparotomi eksplorasi. Namun pada trauma tumpul seringkali diperlukan
observasi dan pemeriksaan berulang karena tanda rangsangan peritoneum bisa
timbul perlahan-lahan.
Gejala dan tanda yang sering muncul pada penderita dengan peritonitis
antara lain:
1. Nyeri perut seperti ditusuk
2. Perut yang tegang (distended)
3. Demam (>380C)
4. Produksi urin berkurang
5. Mual dan muntah
6. Haus
7. Cairan di dalam rongga abdomen
8. Tidak bisa buang air besar atau kentut
9. Tanda-tanda syok
Menegakkan diagnosis peritonitis secara cepat adalah penting sekali.
Diagnosis peritonitis didapatkan dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Diagnosis peritonitis biasanya ditegakkan secara
klinis. Kebanyakan pasien datang dengan keluhan nyeri abdomen. Nyeri ini
bisa timbul tiba-tiba atau tersembunyi. Pada awalnya, nyeri abdomen yang
timbul sifatnya tumpul dan tidak spesifik (peritoneum viseral) dan kemudian

infeksi berlangsung secara progresif, menetap, nyeri hebat dan semakin


terlokalisasi (peritoneum parietale). Dalam beberapa kasus (misal: perforasi
lambung, pankreatitis akut, iskemia intestinal) nyeri abdomen akan timbul
langsung secara umum/general sejak dari awal. Mual dan muntah biasanya
sering muncul pada pasien dengan peritonitis. Muntah dapat terjadi karena
gesekan

organ

patologi

atau

iritasi

peritoneal

sekunder.

Pada pemeriksaan fisik, pasien dengan peritonitis, keadaan umumnya tidak


baik. Demam dengan temperatur >380C biasanya terjadi. Pasien dengan sepsis
hebat akan muncul gejala hipotermia. Takikardia disebabkan karena
dilepaskannya mediator inflamasi dan hipovolemia intravaskuler yang
disebabkan karena mual dan muntah, demam, kehilangan cairan yang banyak
dari rongga abdomen. Dengan adanya dehidrasi yang berlangsung secara
progresif, pasien bisa menjadi semakin hipotensi. Hal ini bisa menyebabkan
produksi urin berkurang, dan dengan adanya peritonitis hebat bisa berakhir
dengan keadaan syok sepsis.
Pada pemeriksaan abdomen, pemeriksaan yang dilakukan akan sangat
menimbulkan ketidaknyamanan bagi pasien, namun pemeriksaan abdomen ini
harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis dan terapi yang akan dilakukan.
Pada inspeksi, pemeriksa mengamati adakah jaringan parut bekas operasi
menununjukkan kemungkinan adanya adhesi, perut membuncit dengan
gambaran usus atau gerakan usus yang disebabkan oleh gangguan pasase. Pada
peritonitis biasanya akan ditemukan perut yang membuncit dan tegang atau
distended.

Minta pasien untuk menunjuk dengan satu jari area daerah yang paling
terasa sakit di abdomen, auskultasi dimulai dari arah yang berlawanan dari yang
ditunjuik pasien. Auskultasi dilakukan untuk menilai apakah terjadi penurunan
suara bising usus. Pasien dengan peritonitis umum, bising usus akan melemah
atau menghilang sama sekali, hal ini disebabkan karena peritoneal yang lumpuh
sehingga menyebabkan usus ikut lumpuh/tidak bergerak (ileus paralitik).
Sedangkan pada peritonitis lokal bising usus dapat terdengar normal.
Palpasi :Peritoneum parietal dipersarafi oleh nervus somatik dan
viseral yang sangat sensitif. Bagian anterior dari peritoneum parietale adalah
yang paling sensitif. Palpasi harus selalu dilakukan di bagian lain dari abdomen
yang tidak dikeluhkan nyeri. Hal ini berguna sebagai pembanding antara bagian
yang tidak nyeri dengan bagian yang nyeri. Nyeri tekan dan defans muskular
(rigidity) menunjukkan adanya proses inflamasi yang mengenai peritoneum
parietale (nyeri somatik). Defans yang murni adalah proses refleks otot akan
dirasakan pada inspirasi dan ekspirasi berupa reaksi kontraksi otot terhadap
rangsangan tekanan. Pada saat pemeriksaan penderita peritonitis, ditemukan
nyeri tekan setempat. Otot dinding perut menunjukkan defans muskular secara
refleks untuk melindungi bagian yang meradang dan menghindari gerakan atau
tekanan setempat.
Perkusi: Nyeri ketok menunjukkan adanya iritasi pada peritoneum,
adanya udara bebas atau cairan bebas juga dapat ditentukan dengan perkusi
melalui pemeriksaan pekak hati dan shifting dullness. Pada pasien dengan
peritonitis, pekak hepar akan menghilang, dan perkusi abdomen hipertimpani
karena adanya udara bebas tadi. Pada pasien dengan keluhan nyeri perut

umumnya harus dilakukan pemeriksaan colok dubur dan pemeriksaan vaginal


untuk membantu penegakan diagnosis. Nyeri pada semua arah menunjukkan
general peritonitis.
Pemeriksaan Fisik dalam trauma tumpul abdomen:
Pemeriksaan fisik pada pasien trauma tumpul abdomen harus dilakukan secara
sistematik

meliputi

inspeksi,

auskultasi,

palpasi,

dan

perkusi.

Pada inspeksi, perlu diperhatikan :


Adanya luka lecet di dinding perut, hal ini dapat memberikan petunjuk adanya
kemungkinan kerusakan organ di bawahnya. Adanya perdarahan di bawah kulit,
dapat memberikan petunjuk perkiraan organ-organ apa saja yang dapat
mengalami trauma di bawahnya. Ekimosis pada flank (Grey Turner Sign) atau
umbilicus (Cullen Sign) merupakan indikasi perdarahan retroperitoneal, tetapi
hal

ini

biasanya

lambat

dalam

beberapa

jam

sampai

hari.

Adanya distensi pada dinding perut merupakan tanda penting karena


kemungkinan adanya pneumoperitonium, dilatasi gastric, atau ileus akibat
iritasi peritoneal.
Pergerakan pernafasan perut, bila terjadi pergerakan pernafasan perut
yang tertinggal maka kemungkinan adanya peritonitis.
Pada auskultasi, perlu diperhatikan :
Ditentukan apakah bising usus ada atau tidak, pada robekan
(perforasi) usus bising usus selalu menurun, bahkan kebanyakan menghilang
sama sekali.
Adanya bunyi usus pada auskultasi toraks kemungkinan menunjukkan adanya
trauma diafragma.
Pada palpasi, perlu diperhatikan :

Adanya defence muscular menunjukkan adanya kekakuan pada otot-otot


dinding perut abdomen akibat peritonitis. Ada tidaknya nyeri tekan, lokasi dari
nyeri tekan ini dapat menunjukkan organ-organ yang mengalami trauma atau
adanya peritonitis.
Pada perkusi, perlu diperhatikan :
Redup hati yang menghilang menunjukkan adanya udara bebas dalam rongga
perut yang berarti terdapatnya robekan (perforasi) dari organ-organ usus.
Nyeri ketok seluruh dinding perut menunjukkan adanya tanda-tanda peritonitis
umum.
Adanya Shifting dullness menunjukkan adanya cairan bebas dalam
rongga perut, berarti kemungkinan besar terdapat perdarahan dalam rongga
perut.
Pemeriksaan rektal toucher dilakukan untuk mencari adanya penetrasi
tulang akibat fraktur pelvis, dan tinja harus dievaluasi untuk gross atau occult
blood. Evaluasi tonus rektal penting untuk menentukan status neurology pasien
dan palpasi high-riding prostate mengarah pada trauma salurah kemih.
Pemeriksaan abdominal tap merupakan pemeriksaan yang penting
untuk mendapatkan tambahan keterangan bila terjadi pengumpulan darah dalam
rongga abdomen, terutama bila jumlah perdarahan masih sedikit, sehingga
klinis masih tidak begitu jelas dan sulit ditentukan. Caranya dapat dilakukan
dengan :
-buli- buli dikosongkan, kemudian penderita dimiringkan ke sisi kiri.
-Disinfeksi kulit dengan yodium dan alcohol.
-Digunakan jarum yang cukup besar dan panjang, misalnya jarum spinal no.18
atau 20.

-Sesudah jarum masuk ke rongga perut pada titik kontra Mc Burney, lalu
diaspirasi.
-Dianggap

positif

bila

diperoleh

darah

minimal

sebanyak

0.5

cc

4. Penanganan Awal pada Skenario


Prinsip umum pengobatan adalah mengistirahatkan saluran cerna
dengan memuasakan pasien, pemberian antibiotik yang sesuai, dekompresi
saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik atau intestinal, penggantian
cairan dan elektrolit yang hilang yang dilakukan secara intravena, pembuangan
fokus septik (apendiks) atau penyebab radang lainnya, bila mungkin dengan
mengalirkan nanah keluar dan tindakan-tindakan menghilangkan nyeri.
Prinsip umum dalam menangani infeksi intraabdominal ada 4, antara lain: (1)
kontrol infeksi yang terjadi, (2) membersihkan bakteri dan racun, (3)
memperbaiki

fungsi

organ,

dan

(4)

mengontrol

proses

inflamasi.9

Eksplorasi laparatomi segera perlu dilakukan pada pasien dengan akut


peritonitis.

Penatalaksanaan
1. Pre Operasi

a. Resusitasi cairan
b. Oksigenasi
c. NGT, DC

peritonis

meliputi,

antara

lain:

d. Antibiotika
e. Pengendalian suhu tubuh

2. Durante Operasi
a. Kontrol sumber infeksi
b. Pencucian rongga peritoneum
c. Debridement radikal
d. Irigasi kontinyu
e. Ettapen lavase/stage abdominal repair

3. Pasca Operasi
a. Balance cairan
b. Perhitungan nutrisi
c. Monitor vital Sign
d. Pemeriksaan laboratorium
e. Antibiotika

Prognosis
Angka mortalitas umumnya adalah 40%. Faktor-faktor yang mempengaruhi
prognosis, antara lain:
1. jenis infeksinya/penyakit primer
2. durasi/lama sakit sebelum infeksi
3. Keganasan

4. gagal organ sebelum terapi


5. gangguan imunologis
6. usia dan keadaan umum penderita

Keterlambatan penanganan 6 jam meningkatkan angka mortalitas


sebanyak 10-30%. Pasien dengan multipel trauma 80% pasien berakhir
dengan kematian. Peritonitis yang berlanjut, abses abdomen yang persisten,
anstomosis yang bocor, fistula intestinal mengakibatkan prognosis yang jelek
.
STEP V
PENETUAN LEARNING OBJECTIVE (LO)
1.
2.
3.
4.
5.

Diagnosis kerja dan diagnosis banding pada skenario


Penanganan kasus pada skenario
Patofisiologi kasus pada skenario
Kegawatdaruratan Gastroenterohepatology
Kegawatdaruratan ginjal hipertensi

STEP VI

STEP VI
BELAJAR MANDIRI

STEP VII
PEMBAHASAN LEARNING OBJECTIVE (LO)
1. Diagnosis dan Diagnosis Banding
Berdasarkan daerah organ yang cedera dapat dibagi dua, yaitu :
a. Organ Intraperitoneal
Intraperitoneal abdomen terdiri dari organ-organ seperti hati, limpa, lambung,
colon

transversum,

usus

halus,

dan

colon

sigmoid.

Ruptur Hati
Hati dapat mengalami laserasi dikarenakan trauma tumpul ataupun
trauma tembus. Hati merupakan organ yang sering mengalami laserasi,
sedangkan empedu jarang terjadi dan sulit untuk didiagnosis. Pada trauma

tumpul abdomen dengan ruptur hati sering ditemukan adanya fraktur costa VII
IX. Pada pemeriksaan fisik sering ditemukan nyeri pada abdomen kuadran
kanan atas. Nyeri tekan dan Defans muskuler tidak akan tampak sampai
perdarahan pada abdomen dapat menyebabkan iritasi peritoneum ( 2 jam post
trauma). Kecurigaan laserasi hati pada trauma tumpul abdomen apabila terdapat
nyeri pada abdomen kuadran kanan atas. Jika keadaan umum pasien baik, dapat
dilakukan CT Scan pada abdomen yang hasilnya menunjukkan adanya laserasi.
Jika kondisi pasien syok, atau pasien trauma dengan kegawatan dapat dilakukan
laparotomi untuk melihat perdarahan intraperitoneal. Ditemukannya cairan
empedu pada lavase peritoneal menandakan adanya trauma pada saluran
empedu.
Ruptur Limpa
Limpa merupakan organ yang paling sering cedera pada saat terjadi trauma
tumpul abdomen. Ruptur limpa merupakan kondisi yang membahayakan jiwa
karena adanya perdarahan yang hebat. Limpa terletak tepat di bawah rangka
thorak kiri, tempat yang rentan untuk mengalami perlukaan. Limpa membantu
tubuh kita untuk melawan infeksi yang ada di dalam tubuh dan menyaring
semua material yang tidak dibutuhkan lagi dalam tubuh seperti sel tubuh yang
sudah rusak. Limpa juga memproduksi sel darah merah dan berbagai jenis dari
sel darah putih. Robeknya limpa menyebabkan banyaknya darah yang ada di
rongga abdomen. Ruptur pada limpa biasanya disebabkan hantaman pada
abdomen kiri atas atau abdomen kiri bawah. Kejadian yang paling sering
meyebabkan ruptur limpa adalah kecelakaan olahraga, perkelahian dan

kecelakaan mobil. Perlukaan pada limpa akan menjadi robeknya limpa segera
setelah terjadi trauma pada abdomen.
Pada pemeriksaan fisik, gejala yang khas adanya hipotensi karena
perdarahan. Kecurigaan terjadinya ruptur limpa dengan ditemukan adanya
fraktur costa IX dan X kiri, atau saat abdomen kuadran kiri atas terasa sakit
serta ditemui takikardi. Biasanya pasien juga mengeluhkan sakit pada bahu kiri,
yang tidak termanifestasi pada jam pertama atau jam kedua setelah terjadi
trauma. Tanda peritoneal seperti nyeri tekan dan defans muskuler akan muncul
setelah terjadi perdarahan yang mengiritasi peritoneum. Semua pasien dengan
gejala takikardi atau hipotensi dan nyeri pada abdomen kuadran kiri atas harus
dicurigai terdapat ruptur limpa sampai dapat diperiksa lebih lanjut. Penegakan
diagnosis dengan menggunakan CT scan. Ruptur pada limpa dapat diatasi
dengan splenectomy, yaitu pembedahan dengan pengangkatan limpa. Walaupun
manusia tetap bisa hidup tanpa limpa, tapi pengangkatan limpa dapat berakibat
mudahnya infeksi masuk dalam tubuh sehingga setelah pengangkatan limpa
dianjurkan melakukan vaksinasi terutama terhadap pneumonia dan flu diberikan
antibiotik sebagai usaha preventif terhadap terjadinya infeksi.
Ruptur Usus Halus
Sebagian besar, perlukaan yang merobek dinding usus halus karena trauma
tumpul menciderai usus dua belas jari. Dari pemeriksaan fisik didapatkan gejala
burning epigastric pain yang diikuti dengan nyeri tekan dan defans muskuler
pada abdomen. Perdarahan pada usus besar dan usus halus akan diikuti dengan
gejala peritonitis secara umum pada jam berikutnya. Sedangkan perdarahan

pada usus dua belas jari biasanya bergejala adanya nyeri pada bagian punggung.
Diagnosis ruptur usus ditegakkan dengan ditemukannya udara bebas dalam
pemeriksaan Rontgen abdomen. Sedangkan pada pasien dengan perlukaan pada
usus dua belas jari dan colon sigmoid didapatkan hasil pemeriksaan pada
Rontgen abdomen dengan ditemukannya udara dalam retroperitoneal.
b. Organ Retroperitoneal
Retroperitoneal abdomen terdiri dari ginjal, ureter, pancreas, aorta, dan vena
cava. Trauma pada struktur ini sulit ditegakkan diagnosis berdasarkan
pemeriksaan fisik. Evaluasi regio ini memerlukan CT scan, angiografi, dan
intravenous pyelogram.
Ruptur Ginjal
Trauma pada ginjal biasanya terjadi karena jatuh dan kecelakaan
kendaraan bermotor. Dicurigai terjadi trauma pada ginjal dengan adanya fraktur
pada costa ke XI XII atau adanya tendensi pada flank. Jika terjadi hematuri,
lokasi perlukaan harus segera ditentukan. Laserasi pada ginjal dapat berdarah
secara ekstensif ke dalam ruang retroperitonial. Gejala klinis : Pada ruptur
ginjal biasanya terjadi nyeri saat inspirasi di abdomen dan flank, dan tendensi
CVA. Hematuri yang hebat hampir selalu timbul, tapi pada mikroscopic
hematuri

juga

dapat

menunjukkan

adanya

ruptur

pada

ginjal.

Diagnosis, membedakan antara laserasi ginjal dengan memar pada ginjal dapat
dilakukan dengan pemeriksaan IVP atau CT scan. Jika suatu pengujian kontras
seperti aortogram dibutuhkan karena adanya alasan tertentu, ginjal dapat dinilai
selama proses pengujian tersebut. Laserasi pada ginjal akan memperlihatkan
adanya kebocoran pada zat warna, sedangkan pada ginjal yang memar akan

tampak gambaran normal atau adanya gambaran warna kemerahan pada stroma
ginjal. Tidak adanya visualisasi pada ginjal dapat menunjukkan adanya ruptur
yang berat atau putusnya tangkai ginjal. Terapi : pada memar ginjal hanya
dilakukan pengamatan. Beberapa laserasi ginjal dapat diterapi dengan tindakan
non operatif. Terapi pembedahan wajib dilakukan pada ginjal yang
memperlihatkan adanya ekstravasasi.
Ruptur Pankreas
Trauma pada pankreas sangat sulit untuk di diagnosis. Kebanyakan
kasus diketahui dengan eksplorasi pada pembedahan. Perlukaan harus dicurigai
setelah terjadinya trauma pada bagian tengah abdomen, contohnya pada
benturan stang sepeda motor atau benturan setir mobil. Perlukaan pada
pankreas memiliki tingkat kematian yang tinggi. Perlukaan pada duodenum
atau saluran kandung empedu juga memiliki tingkat kematian yang tinggi.
Gejala klinis, kecurigaan perlukaan pada setiap trauma yang terjadi pada
abdomen. Pasien dapat memperlihatkan gejala nyeri pada bagian atas dan
pertengahan abdomen yang menjalar sampai ke punggung. Beberapa jam
setelah perlukaan, trauma pada pankreas dapat terlihat dengan adanya gejala
iritasi peritonial.
Diagnosis, penentuan amilase serum biasanya tidak terlalu membantu
dalam proses akut. Pemeriksaan CT scan dapat menetapkan diagnosis. Kasus
yang meragukan dapat diperiksa dengan menggunakan ERCP ( Endoscopic
Retrogade Canulation of the Pancreas) ketika perlukaan yang lain telah dalam
keadaan stabil. Terapi, penanganan dapat berupa tindakan operatif atau
konservatif, tergantung dari tingkat keparahan trauma, dan adanya gambaran

dari trauma lain yang berhubungan. Konsultasi pembedahan merupakan


tindakan yang wajib dilakukan.
Ruptur Ureter
Trauma pada ureter jarang terjadi tetapi berpotensi menimbulkan luka
yang mematikan. Trauma sering kali tak dikenali pada saat pasien datang atau
pada pasien dengan multipel trauma. Kecurigaan adanya cedera ureter bisa
ditemukan

dengan

adanya

hematuria

paska

trauma.

Mekanisme trauma tumpul pada ureter dapat terjadi karena keadaan tiba-tiba
dari deselerasi/ akselerasi yang berkaitan dengan hiperekstensi, benturan
langsung pada Lumbal 2 3, gerakan tiba-tiba dari ginjal sehingga terjadi
gerakan naik turun pada ureter yang menyebabkan terjadinya tarikan pada
ureteropelvic junction. Pada pasien dengan kecurigaan trauma tumpul ureter
biasanya didapatkan gambaran nyeri yang hebat dan adanya multipel trauma.
Gambaran syok timbul pada 53% kasus, yang menandakan terjadinya
perdarahan lebih dari 2000 cc. Diagnosis dari trauma tumpul ureter seringkali
terlambat diketahui karena seringnya ditemukan trauma lain, sehingga tingkat
kecurigaan tertinggi ditetapkan pada trauma dengan gejala yang jelas.
Pilihan terapi yang tepat tergantung pada lokasi, jenis trauma, waktu kejadian,
kondisi pasien, dan prognosis penyelamatan. Hal terpenting dalam pemilihan
tindakan operasi adalah mengetahui dengan pasti fungsi ginjal yang
kontralateral dengan lokasi trauma

Pemeriksaan Penunjang yang dapat dilakukan:


Pemeriksaan Laboratorium:
Pemeriksaan darah dan urin (meliputi urinalisa, toksikologi urin, dan pada
wanita dilakukan tes kehamilan).
Nilai elektrolit serum, tingkat kreatinin, dan glukosa.
Lipase serum atau amylase sensitif sebagai marker trauma pancreas mayor
atau usus. Tingkat elevasi dapat disebabkan oleh trauma kepala dan muka atau
campuran penyebab non traumatic (alcohol, narkotik, obat-obat yang lain).
Amylase atau lipase mungkin berkurang karena iskemi pancreas akibat
hipotensi sistemik yang disertai trauma. Akan tetapi, hiperamilasemia atau
hiperlipasemia meningkatkan sugesti trauma intra-abdominal dan sebagai
indikasi radiografi dan pembedahan.
Semua pasien harus menceritakan riwayat imunisasi tetanusnya. Jika belum
dilakukan maka diberikan profilaksis
.
Pemeriksaan dengan foto:
Hal yang penting dalam evaluasi pasien trauma tumpul abdomen
adalah menilai kestabilan hemodinamik. Pada pasien dengan hemodinamik
yang tidak stabil, evaluasi yang cepat harus ditegakkan untuk mengetahui
adanya hemoperitonium. Hal ini dapat diketahui dengan DPL atau FAST scan.
Pemeriksaan radiografik abdomen diindikasikan pada pasien stabil saat
pemeriksaan fisik dilakukan.
-Radiografi
Radiografi dada membantu dalam diagnosis trauma abdomen seperti
ruptur hemidiafragma atau pneumoperitonium.

Radiografi pelvis atau dada dapat menunjukkan fraktur dari tulang


thoracolumbar. Mengetahui fraktur costa dapat memperkirakan kemungkinan
organ yang terkena trauma. Tampak udara bebas intra intraperitoneal, atau
udara

retroperitoneal

yang

terjebak

dari

perforasi

duodenal.

-Ultrasonografi
Pemeriksaan digunakan untuk mendeteksi hemoperitonium dan
diinterpretasikan positif jika cairan ditemukan dan negatif jika tidak tampak
cairan. Pemeriksaan FAST berdasar pada asumsi bahwa kerusakan abdomen
berhubungan dengan hemoperitonium. Meskipun, deteksi cairan bebas
intraperitoneal berdasar pada faktor-faktor seperti lokasi trauma, adanya
perdarahan

tertutup,

posisi

pasien,

dan

jumlah

cairan

bebas.

Protokol pemeriksaan sekarang ini terdiri dari 4 area dengan pasien terlentang.
Lokasi tersebut adalah perikardiak, perihepatik, perisplenik, dan pelvis.
Penggambaran perikardial digunakan lubang subcosta atau transtoraksis.
Memberikan 4 bagian penggambaran jantung dan dapat mendeteksi adanya
hemoperikardium yang ditunjukkan dengan pemisahan selaput viseral dan
parietal perikardial. Perihepatik menunjukkan gambar bagian dari liver,
diafragma, dan ginjal kanan. Menampakkan cairan pada ruang subphrenik dan
ruang pleura kanan. Perisplenik menggambarkan splen dan ginjal kiri dan
menampakkan cairan pada ruang pleura kiri dan ruang subphrenik. Pelvis
menggambarkan penggunaan vesika urinaria sebagai lubang sonografi. Gambar
ini dilakukan saat bladder penuh. Pada laki-laki, cairan bebas tampak sebagai

area tidak ekoik (warna hitam) pada celah rektovesikuler. Pada wanita,
akumulasi

cairan

pada

cavum

Douglas,

posterior

dari

uterus.

Pasien dengan hemodinamik stabil dengan hasil FAST positif memerlukan CT


scan

untuk

menentukan

sebab

dan

luasnya

kerusakan.

Pasien dengan hemodinamik stabil dengan hasil FAST negative memerlukan


observasi, pemeriksaan abdomen serial, dan follow-up pemeriksaan FAST.
Pasien dengan hemodinamik tidak stabil dengan hasil FAST negative
merupakan diagnosis yang meragukan untuk penanganan dokter.
-Computed Tomography (CT) Scan
CT scan tetap kriteria standar untuk mendeteksi kerusakan organ
padat. CT scan abdomen dapat menunjukkan kerusakan yang lain yang
berhubungan, fraktur vertebra dan pelvis dan kerusakan pada cavum toraks.
Memberikan

gambaran

yang

jelas

pancreas,

duodenum,

dan

sistem

genitourinarius. Gambar dapat membantu banyak jumlah darah dalam abdomen


dan dapat menunjukkan organ dengan teliti. Keterbatasan CT scan meliputi
kepekaannya yang rendah untuk diagnostik trauma diafragma, pancreas, dan
organ berongga. CT scan juga mahal dan memakan dan memerlukan kontras
oral atau intravena, yang menyebabkan reaksi yang merugikan.
Prosedur Diagnostik :
-Diagnostic peritoneal lavage
DPL diindikasikan untuk trauma tumpul pada (1) pasien dengan
trauma tulang belakang, (2) dengan trauma multiple dan syok yang tidak

diketahui, (3) Pasien intoksikasi yang mengarah pada trauma abdomen, (4)
Pasien lemah dengan kemungkinan trauma abdomen, (5) pasien dengan
potensial trauma intra-abdominal yang akan menjalani anestesi dalam waktu
lama untuk prosedur yang lain Kontraindikasi absolut untuk DPL yaitu pasien
membutuhkan laparotomi. Kontraindikasi relatif meliputi kegemukan, riwayat
pembedahan abdomen yang multipel, dan kehamilan.
Metode bervariasi dalam memasukkan kateter ke ruang peritoneal.
Meliputi metode open, semiopen dan closed. Metode open memerlukan insisi
kulit infraumbilikal sampai dan melewati linea alba. Peritoneum dibuka dan
kateter diletakkan langsung. Metode semiopen hampir sama hanya peritoneum
tidak dibuka dan kateter melalui perkutaneus melalui peritoneum ke dalam
ruang peritoneal. Metode closed memerlukan kateter untuk dipasang di dalam
kulit,

subkutan,

linea

alba

dan

peritoneum.

Hasil DPL dinyatakan positif pada trauma tumpul abdomen jika menghasilkan
aspirasi 10 mL darah sebelum pemasukan cairan lavase, mempunyai RBC lebih
dari 100.000 RBC/mL, lebih dari 500 WBC/mL, peningkatan amylase, empedu,
bakteri, atau urin. Hanya sekitar 30 mL darah dibutuhkan dalam peritoneum
untuk

menghasilkan

DPL

positif

secara

mikroskopik.

DPL di tunjukkan pada beberapa studi mempunyai akurasi diagnostik 98-100%,


sensivitas 98-100% dan spesifikasi 90-96%. DPL mempunyai keuntungan
termasuk sensitivitas tinggi, interpretasi cepat, dan segera. Positif palsu dapat
terjadi jika jalan infraumbilikal digunakan pada pasien fraktur pelvis. Sebelum
dilakukan DPL, vesica urinaria dan lambung harus di dekompresi.

Dengan kemampuan yang cepat, noninvasive, dan lebih menggambarkan


(pemeriksaan FAST, CT scan), peranan DPL kini terbatas untuk evaluasi pasien
trauma yang tidak stabil yang hasil FAST negative atau tidak jelas.
2. Penanganan pada Skenario
Tatalaksana ruptur limpa
Penatalaksanaan ruptur limpa berupa splenektomi. Akan tetapi, splenektomi
sedapat mungkin dihindari, terutama pada anak-anak, untuk menghindari
kerentanan permanen terhadap infeksi. Kebanyakan laserasi kecil dan sedang
pada pasien stabil, terutama anak-anak, ditatalaksana dengan observasi dan
transfusi. Kegagalan dalam penatalaksanaan obsevatif lebih sering terjadi
pada trauma grade III, IV, dan V daripada grade I dan II. Pada banyak
penelitian, embolisasi arteri lienalis telah dijelaskan menggunakan berbagai
pendekatan. Satu poin utama dalam pembahasan tentang perbedaan antara
embolisasi arteri lienalis utama, embolisasi arteri lienalis selektif atau
superselektif, dan embolisasi arteri lienalis di berbagai tempat. Embolisasi ini
menghambat aliran pada pembuluh yang mengalami perdarahan. Jika
pembedahan diperlukan, lien dapat diperbaiki secara bedah. Tindakan bedah
yang dapat dilakukan pada keadaan rupture lien meliputi splenorafi dan
splenektomi.
Splenorafi
Splenorafi adalah operasi yang bertujuan mempertahankan lien yang
fungsional dengan teknik bedah. Tindakan ini dapat dilakukan pada trauma
tumpul maupun tajam. Tindak bedah ini terdiri atas membuang jaringan

nonvital, mengikat pembuluh darah yang terbuka, dan menjahit kapsul lien
yang terluka. Jika penjahitan laserasi saja kurang memadai, dapat
ditambahkan dengan pemasangan kantong khusus dengan atau tanpa
penjahitan omentum.
Splenektomi
Mengingat fungsi filtrasi lien, indikasi splenektomi harus
dipertimbangkan benar. Selain itu, splenektomi merupakan suatu operasi yang
tidak boleh dianggap ringan. Eksposisi lien sering tidak mudah karena
splenomegali biasanya disertai dengan perlekatan pada diafragma. Pengikatan
a.lienalis sebagai tindakan pertama sewaktu operasi sangat berguna.
Splenektomi dilakukan jika terdapat kerusakan lien yang tidak dapat
diatasi dengan splenorafi, splenektomi parsial, atau pembungkusan.
Splenektomi parsial bisa terdiri dari eksisi satu segmen yang dilakukan jika
ruptur lien tidak mengenai hilus dan bagian yang tidak cedera masih vital.
Tapi splenektomi tetap merupakan terapi bedah utama dan memiliki tingkat
kesuksesan paling tinggi.
Pengangkatan lien dapat dilakukan pada kondisi berikut :
1). Pecahnya lien dalam kecelakaan karena lien tidak dapat dijahit karena
sangat vaskular dan rapuh oleh karena itu untuk menyelamatkan lien pasien
harus diangkat.
2). Pada penyakit kronis misalnya malaria, lien sangat membesar sehingga
menghasilkan ketidaknyamanan kepada pasien karena itu lien harus diangkat.
Tatalaksana Peritonitis
Tatalaksana utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan dan elektrolit,
kontrol operatif terhadap sepsis dan pemberian antibiotik sistemik.

Penanganan Preoperatif
1. Resusitasi Cairan
Peradangan yang

menyeluruh

pada

membran

peritoneum

menyebabkan perpindahan cairan ekstraseluler ke dalam cavum


peritoneum dan ruang intersisial. Pengembalian volume dalam jumlah
yang cukup besar melalui intravaskular sangat diperlukan untuk menjaga
produksi urin tetap baik dan status hemodinamik tubuh. Jika terdapat
anemia dan terdapat penurunan dari hematokrit dapat diberikan transfusi
PRC (Packed Red Cells) atau WB (Whole Blood). Larutan kristaloid dan
koloid harus diberikan untuk mengganti cairan yang hilang.
Secara teori, cairan koloid lebih efektif untuk mengatasi kehilangan
cairan intravaskuler, tapi cairan ini lebih mahal. Sedangkan cairan
kristaloid lebih murah, mudah didapat tetapi membutuhkan jumlah yang
lebih besar karena kemudian akan dikeluarkan lewat ginjal. Suplemen
kalium sebaiknya tidak diberikan hingga perfusi dari jaringan dan ginjal
telah adekuat dan urin telah diprodukasi.
2. Antibiotik
Bakteri penyebab tersering dari peritonitis dapat dibedakan menjadi
bakteri

aerob

yaitu

E.

Coli,

golongan

Enterobacteriaceae

dan

Streptococcus, sedangkan bakteri anaerob yang tersering adalah


Bacteriodes spp, Clostridium, Peptostreptococci. Antibiotik berperan
penting dalam terpai peritonitis, pemberian antibiotik secara empiris harus
dapat melawan kuman aerob atau anaerob yang menginfeksi peritoneum.
Pemberian antibiotik secara empiris dilakukan sebelum didapatkan
hasil kultur dan dapat diubah sesuai dengan hasil kultur dan uji sensitivitas
jika masih terdapat tanda infeksi. Jika penderita baik secara klinis yang

ditandai dengan penurunan demam dan menurunnya hitung sel darah


putih, perubahan antibiotik harus dilakukan dengan hati-hati meskipun
sudah didapatkan hasil dari uji sensitivitas.
Efek pemberian antibiotik pada peritonitis tergantung kondisi-kondisi
seperti: (1) besar kecilnya kontaminasi bakteri, (2) penyebab dari
peritonitis trauma atau nontrauma, (3) ada tidaknya kuman oportunistik
seperti candida. Agar terapi menjadi lebih efektif, terpai antibiotik harus
diberikan lebih dulu, selama dan setelah operasi.
Pada umumnya Penicillin G 1.000.000 IU dan streptomycin 1 gram harus
segera

diberikan.

Kedua

obat

ini

merupakan

bakterisidal

jika

dipertahankan dalam dosis tinggi dalam plasma. Kombinasi dari penicillin


dan streptomycin juga memberikan cakupan dari bakteri gram negatif.
Penggunaan beberapa juta unit dari peniillin dan 2 gram streptomycin
sehari sampai didapatkan hasil kultur merupakan regimen terpai yang
logis. Pada penderita yang sensitif terhadap penicillin, tetracycline dosis
tinggi

yang

diberikan

secara

parenteral

lebih

baik

daripada

chloramphenicol pada stadium awal infeksi.


Pemberian clindamycin atau metronidazole yang dikombinasi dengan
aminoglikosida sama baiknya jika memberikan cephalosporin generasi
kedua. Antibiotik awal yang digunakan cephalosporin generasi ketiga
untuk gram negatif, metronidazole dan clindamycin untuk organisme
anaerob.
Daya cakupan dari mikroorganisme aerob dan anerob lebih penting
daripada pemilihan terapi tunggal atau kombinasi. Pemberian dosis

antibiotikal awal yang kurang adekuat berperan dalam kegagalan terapi.


Penggunaan aminoglikosida harus diberikan dengan hati-hati, karena
gangguan ginjal merupakan salah satu gambaran klinis dari peritonitis dan
penurunan pH intraperitoneum dapat mengganggu aktivitas obat dalam
sel. Pemberian antibiotik diberikan sampai penderita tidak didapatkan
demam, dengan hitung sel darah putih yang normal.
3. Oksigen dan Ventilator
Pemberian oksigen pada hipoksemia ringan yang timbul pada peritonitis
cukup diperlukan, karena pada peritonitis terjadi peningkatan dari
metabolism tubuh akibat adanya infeksi, adanya gangguan pada ventilasi
paru-paru. Ventilator dapat diberikan jika terdapat kondisi-kondisi seperti
(1) ketidakmampuan untuk menjaga ventilasi alveolar yang dapat ditandai
dengan meningkatnya PaCO2 50 mmHg atau lebih tinggi lagi, (2)
hipoksemia yang ditandai dengan PaO2 kurang dari 55 mmHg, (3) adanya
nafas yang cepat dan dangkal.
4. Intubasi, Pemasangan Kateter Urin dan Monitoring Hemodinamik
Pemasangan nasogastric tube dilakukan untuk dekompresi dari abdomen,
mencegah muntah, aspirasi dan yang lebih penting mengurangi jumlah
udara pada usus. Pemasangan kateter untuk mengetahui fungsi dari
kandung kemih dan pengeluaran urin. Tanda vital (temperature, tekanan
darah, nadi danrespiration rate) dicatat paling tidak tiap 4 jam. Evaluasi
biokimia preoperative termasuk serum elektrolit, kratinin, glukosa darah,
bilirubin, alkali fosfatase dan urinalisis.

Penanganan Operatif
Terapi primer dari peritonitis adalah tindakan operasi. Operasi
biasanya dilakukan untuk mengontrol sumber dari kontaminasi peritoneum.
Tindakan ini berupa penutupan perforasi usus, reseksi usus dengan anstomosis
primer atau dengan exteriorasi. Prosedur operasi yang spesifik tergantung dari
apa yang didapatkan selama operasi berlangsung, serta membuang bahanbahan dari cavum peritoneum seperti fibrin, feses, cairan empedu, darah,
mucus lambung dan membuat irigasi untuk mengurangi ukuran dan jumlah
dari bakteri virulen.
1. Kontrol Sepsis
Tujuan dari penanganan operatif pada peritonitis adalah untuk
menghilangkan semua material-material yang terinfeksi, mengkoreksi
penyebab utama peritonitis dan mencegah komplikasi lanjut. Kecuali pada
peritonitis yang terlokalisasi, insisi midline merupakan teknik operasi
yang terbaik. Jika didapatkan jaringan yang terkontaminasi dan menjadi
fibrotik atau nekrosis, jaringan tersebut harus dibuang. Radikal
debridement yang rutin dari seluruh permukaan peritoneum dan organ
dalam tidak meningkatkan tingkat bertahan hidup. Penyakit primer lalu
diobati, dan mungkin memerlukan tindakan reseksi (ruptur apendik atau
kandung empedu), perbaikan (ulkus perforata) atau drainase (pankreatitis
akut). Pemeriksaan kultur cairan dan jaringan yang terinfeksi baik aerob
maupun anaerob segera dilakukan setelah memasuki kavum peritoneum.
2. Peritoneal Lavage

Pada peritonitis difus, lavage dengan cairan kristaloid isotonik (> 3 liter)
dapat menghilangkan material-material seperti darah, gumpalan fibrin,
serta bakteri. Penambahan antiseptik atau antibiotik pada cairan irigasi
tidak berguna bahkan berbahaya karena dapat memicu adhesi (misal:
tetrasiklin, povidone-iodine). Antibiotik yang diberikan cecara parenteral
akan mencapai level bakterisidal pada cairan peritoneum dan tidak ada
efek tambahan pada pemberian bersamalavage. Terlebih lagi, lavage
dengan menggunakan aminoglikosida dapat menyebabkan depresi nafas
dan komplikasi anestesi karena kelompok obat ini menghambat kerja dari
neuromuscular junction. Setelah dilakukan lavage, semua cairan di kavum
peritoneum harus diaspirasi karena dapat menghambat mekanisme
pertahanan lokal dengan melarutkan benda asing dan membuang
permukaan dimana fagosit menghancurkan bakteri.
3. Peritoneal Drainage
Penggunaan drain sangat penting untuk abses intra abdominal dan
peritonitis lokal dengan cairan yang cukup banyak. Drainase dari kavum
peritoneal bebas tidak efektif dan tidak sering dilakukan, karena drainase
yang terpasang merupakan penghubung dengan udara luar yang dapat
menyebabkan kontaminasi. Drainase profilaksis pada peritonitis difus
tidak dapat mencegah pembentukan abses, bahkan dapat memicu
terbentuknya abses atau fistula. Drainase berguna pada infeksi fokal
residual atau pada kontaminasi lanjutan. Drainase diindikasikan untuk
peradangan massa terlokalisasi atau kavitas yang tidak dapat direseksi.

Pengananan Postoperatif
Monitor intensif, bantuan ventilator, mutlak dilakukan pada pasien
yang tidak stabil. Tujuan utama adalah untuk mencapai stabilitas
hemodinamik untuk perfusi organ-organ vital., dan mungkin dibutuhkan agen
inotropik disamping pemberian cairan. Antibiotik diberikan selama 10-14
hari, bergantung pada keparahan peritonitis. Respon klinis yang baik ditandai
dengan produksi urin yang normal, penurunan demam dan leukositosis, ileus
menurun, dan keadaan umum membaik. Tingkat kesembuhan bervariasi
tergantung pada durasi dan keparahan peritonitis. Pelepasan kateter (arterial,
CVP, urin, nasogastric) lebih awal dapat menurunkan resiko infeksi sekunder.
3. Patofisiologi
Patofisiologi rupture limpa (spleen trauma)
Limpa merupakan organ yang paling sering terluka pada trauma
tumpulabdomen atau trauma toraks kiri bagian bawah. Keadaan ini
mungkin

disertaikerusakan

Limpa mendapat

usus halus, hati

vaskularisasi yang banyak,

yaitu

dan pankreas.
dilewati

kurang

lebih 350 liter darah per harinya yang hampir sama dengan satu kantung unit
darah sekali pemberian. Karena alasan ini, trauma padalimpa mengancam
kelangsungan hidup seseorang.
Limpa kadang terkena ketika trauma pada torakoabdominal
dan traumatembus abdomen. Penyebab utamanya adalah cedera langsung
karena kecelakaanlalu lintas, terjatuh dari tempat tinggi, pada olahraga luncur
atau olahraga kontak,seperti yudo, karate, dan silat. Trauma limpa terjadi pada
25% dari semua traumatumpul abdomen. Perbandingan laki-laki dan
perempuan yaitu 3 : 2, ini mungkin b e r h u b u n g a n d e n g a n t i n g g i n ya
k e g i a t a n d a l a m o l a h r a g a , b e r k e n d a r a a n d a n bekerja kasar pada lakilaki. Angka kejadian tertinggi pada umur 15-35 tahun.

Etiologi
a. Trauma tumpul : organ yang terkena limpa, hati, pankreas, dan ginjal.
disebabkan

oleh

kecelakaan

tabrakan

mobil,

terjatuh

dari

sepeda

motor. Trauma tumpul yaitu Trauma di daerah abdomen yang tidak


menyebabkan perlukaan kulit / jaringan tetapi kemungkinan perdarahan akibat
trauma bisa terjadi. Organ berisiko cedera : Hepar 40 - 55 % , Limpa 35 45
%.
b. Trauma tembus : organ yang terkena hati, usus halus dan besar. disebabkan
oleh baku tembak dan luka tusukan (Brunner & Suddarth, 2002). Trauma
tembus (Tusuk dan tembak) Penyebab benda tajam atau benda tumpul dengan
kekuatan penuh hingga melukai rongga abdomen. Perdarahan hebat ruftur
arteri/vena , Cedera organ di rongga abdomen. Organ berisiko cedera : Luka
Tusuk : Hepar (40%), Usus halus (30%), Diafragma (20%), Colon (14%).
Luka tembak : Usus halus (50%), Colon (40%), Liver (30%), Ruptur vaskuler
abdominal (25%).
c. Trauma Iatrogenik
Ruptur lien sewaktu operasi dapat terjadi pada operasi abdomen bagian atas,
umpamanya karena retractor yang dapat menyebabkan lien terdorong atau
ditarik terlalu jauh sehingga hilus atau pembuluh darah sekitar hilus robek.
Cedera iatrogen lain dapat terjadi pada punksi lien (splenoportografi).
Kelainan patologi dikelompokkan menjadi 5 :
Cedera kapsul
Kerusakan parenkim, fragmentasi, kutub bawah hampir lepas
Kerusakan hillus dilakukan splenektomi parsial
Avulsi lien dilakukan splenektomi total
Hematoma subkapsuler
Jejas pada abdomen dapat disebabkan oleh trauma tumpul atau trauma tajam.
Pada trauma tumpul dengan viskositas rendah (misalnya akibat tinju) biasanya
menimbulkan kerusakan satu organ. Sedangkan trauma tumpul viskositas tinggi
sering menimbulkan kerusakan organ multipel, seperti organ padat ( hepar, lien,
ginjal ) dari pada organ-organ berongga.

Cedera akselerasi (kompresi) merupakan suatu kondisi trauma tumpul langsung


ke area abdomen atau bagian pinggang. Kondisi ini memberukan manifestasi
kerusakan vaskular dengan respons terbentuknya formasi hematomdidalam
visera. Cedera deselerasi adalah suatu kondisi dimana suatu peregangan yang
berlebihan memberikan manifestasi terhadap cedera intraabdominal. Kekuatan
peregangan secara longitudinal memberikan manifestasi ruptur (robek) pada
struktur dipersimpangan antara segmen intraabdomen.
Kondisi cedera akselerasi dan deselerasi memberikan berbagai masalah pada
pasien sesuai organ intraabdominal yang mengalami gangguan. Hal ini
memberikan implikasi pada asuhan keperawatan. Masalah keperawatan yang
muncul berhubungan dengan kondisi kedaruratan klinis, respons sistemik, da
dampak intervensi medis.
Gambaran yang paling sering ditemui yaitu fraktur tulang iga kiri bawah.
Fraktur iga menunjukkan adanya tekanan yang kuat pada kuadran kiri atas yang
menyebabkan keadaan patologi pada lien. Fraktur iga kiri bawah terdapat pada
44 % pasien dengan ruptur lien dan perlu dilakukan pemeriksaan CT Scan
lebih lanjut.
Tanda klasik yang menentukan adanya ruptur lien akut (tingginya diafragma
sebelah kiri, atelektasis lobus bawah kiri, dan efusi pleura) tidak selalu ada dan
tidak bisa dijadikan tanda yang pasti. Namun, tiap pasien dengan diafragma
sebelah kiri yang meninggi disertai dengan trauma tumpul abdomen harus
dipikirkan sebagai trauma lien sampai dibuktikan sebaliknya.
Tanda yang lebih dapat dipercaya dari trauma pada kuadran kiri atas yaitu
perpindahan ke medial udara gaster dan perpindahan inferior dari pola udara
lien. Gambaran ini menunjukkan adanya massa pada kuadran kiri atas dan
menunjukkan adanya hematom subkapsular atau perisplenik.

Hematom

kuadran

bayangan

dari tepi caudal bawah

splenomegali.

kiri

atas,

jika

besar,

dapat

lien, menjadi

menggeser
gambaran

Hematom subkapsular dapat memberikan gambaran yang hampir sama, dan

massa yang ada memiliki batas yang tegas.


Pergeseran gambaran ginjal kiri juga mungkin ditemukan.
Sedikit, jika ada, munculnya efek masa pada kuadran kiri atas
Batas lien tidak jelas, tapi gambaran ini tidak spesifik.
Darah retroperitoneal dapat menghapus gambaran ginjal kiri dan batas otot

psoas.
Kumpulan darah bebas di sekitar kolon kiri, menggeser pola udara pada

kolon desenden ke medial.


Pendarahan yang banyak pada abdomen dapat menghilangkan garis flank.
Pola udara usus yang sedikit dapat digeser keluar pelvis oleh kumpulan

darah.
Gambaran midpelvik yang opak dengan tepi lateral yang konveks dan tajam

dapat ditemukan.
Tepi kandung kemih bertambah dan dibatasi oleh gambaran lusen yang tipis
membentuk kubah dan seperti ekstraperitonial fat.
Hematom lien kronik memberikan gambaran yang berbeda dan lebih komplek
karena diikuti dengan daftar panjang diagnosis banding. Perubahan dari
hematom subkapsuler atau parenkimal yaitu menetap, menjadi cair, dan

biasanya terserap lagi. Kadang, degenerasi kistik dari hematom intrasplenik


menyebabkan formasi yang salah dari kista.

Sekitar 80 % dari kista lien diperkirakan berasal dari posttrauma.


Sekitar 80 % terbentuk dari kista hemoragik, dan 20 % dari kista
serous dan kemungkinan adanya darah telah diserap kembali
semuanya.

Tipis, teratur dan annular kalsifikasi terbentuk sebagai garis fibrosis pada

sekitar 30 % kista.
Bentuk kista simetris dan unilokal, dan terdapat garis kalsifikasi di dalam

dan luar batas..


Satu buah, besar, annular kalsifikasi lien mirip seperti sebuah kista residual

traumatik pada area tindak endemic untuk organisme Echinococcus.


Karakteristik dari gambaran kista traumatik tidak begitu spesifik.

Penyebab utama dari penyebaran kalsifikasi kista lien yaitu infeksi


dari Echinococcus granulosus, tapi organisme ini jarang ada di normal

geografik.
Hematom subkapsular merupakan hasil yang umum terjadi dari trauma lien
dan karakteristik gambarannya berbeda dari patologi parenkim. Dalam
penyembuhan hematom, kalsifikasi dari batas kavitas dapat muncul.
Tergantung pada proyeksi, kalsifikasi kavitas dapat muncul linear atau

diskoid. Derajat dari efek masa tergantung dari ukuran regresi hematom.
Banyak kelainan patologi lain yang dapat memberikan gambaran yang
hampir sama, seperti pada penyakit sickle sel. Infark lien kronik dapat
berkembang menjadi kalsifikasi yang mirip dengan hematom subkapsular.
Tampak gambaran masa yang pinggirnya mengalami kalsifikasi pada kuadran
kiri atas dibawah diafragma. Masa tersebut menggambarkan kalsifikasi
hematom lien
Tabel : Grading untuk trauma lien menurut gambaran CT-Scan

Sebuah cara untuk mengingat sistem ini adalah:


a. Grade 1 kurang dari 1 cm.
b. Grade 2 adalah sekitar 2 cm (1-3 cm).
c. Grade 3 lebih dari 3 cm.

d. Grade 4 adalah lebih dari 10 cm.


e. Grade 5 adalah devascularization total atau maserasi.
Kelemahan grading ini adalah:
a. Sering meremehkan tingkat cedera.
b. kemungkinan variasi antar pembaca
c. Tidak memasukkan:

Adanya perdarahan aktif


Kontusio

d. Post-traumatik infark
e. Yang paling penting: tidak ada nilai prediktif untuk manajemen nonoperasi (NOM)
The Organ Injury Scaling Committee of the American Association for the
Surgery of Trauma juga telah menyusun sistem grading yang telah direvisi
pada tahun 1994, sebagai berikut:

Grade I
Hematoma subcapsular kurang dari 10% dari luas permukaan
Capsular tear kedalamannya kurang dari 1 cm.

Grade II
Hematoma Subkapsular sebesar 10-50% dari luas permukaan
Hematoma intraparenkim kurang dari diameter 5 cm
Laserasi dengan kedalaman dari 1-3 cm dan tidak melibatkan
pembuluh darah trabecular.

Grade III
Hematoma subcapsular lebih besar dari 50% dari luas permukaan atau

meluas dan terdapat ruptur hematomasubcapsular atau parenkim


Hematoma Intraparenkim lebih besar dari 5 cm atau mengalami perluasan
Laserasi yang lebih besar dari 3 cm kedalamannya atau
melibatkan pembuluh darah trabecula

Grade IV
Laserasi melibatkan pembuluh darah segmental atau hilar dengan
devascularisasi lebih dari 25% dari lien

Grade V
Shattered spleen atau cedera vaskuler hilar.
4. Kegawatdaruratan GIH
A. Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas: Hematemesis-Melena

Hematemesis adalah muntah darah dan melena adalah pengeluaran


faeses atau tinja yang berwarna hitam seperti ter yang disebabkan oleh adanya
perdarahan saluran makan bagian atas. Warna hematemesis tergantung pada
lamanya hubungan atau kontak antara drah dengan asam lambung dan besar
kecilnya perdarahan, sehingga dapat berwarna seperti kopi atau kemerahmerahan dan bergumpal-gumpal.
Biasanya terjadi hematemesis bila ada perdarahan di daerah proksimal
jejunun dan melena dapat terjadi tersendiri atau bersama-sama dengan
hematemesis. Paling sedikit terjadi perdarahan sebanyak 50-100 ml, baru
dijumpai keadaan melena. Banyaknya darah yang keluar selama hematemesis
atau melena sulit dipakai sebagai patokan untuk menduga besar kecilnya
perdarahan saluran makan bagian atas. Hematemesis dan melena merupakan
suatu keadaan yang gawat dan memerlukan perawatan segera di rumah sakit.

Penyebab perdarahan saluran makan bagian atas


Kelainan esofagus: varise, esofagitis, keganasan.
Kelainan lambung dan duodenum: tukak lambung dan duodenum, keganasan

dan lain-lain.
Penyakit darah: leukemia, DIC (disseminated intravascular coagulation),

purpura trombositopenia dan lain-lain.


Penyakit sistemik lainnya: uremik, dan lain-lain.
Pemakaian obat-obatan yang ulserogenik:
kortikosteroid, alkohol, dan lai-lain.

golongan

salisilat,

Diagnosis
Anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium
Dilakukan anamnesis yang teliti dan bila keadaan umum penderita lamah
atau kesadaran menurun maka dapat diambil aloanamnesis. Perlu ditanyakan
riwayat penyakit dahulu, misalnya hepatitis, penyakit hati menahun,
alkoholisme, penyakit lambung, pemakaian obat-obat ulserogenik dan penyakit
darah seperti: leukemia dan lain-lain. Biasanya pada perdarahan saluran makan
bagian atas yang disebabkan pecahnya varises esofagus tidak dijumpai adanya
keluhan rasa nyeri atau pedih di daerah epigastrium dan gejala hematemesis
timbul secara mendadak. Dari hasil anamnesis sudah dapat diperkirakan jumlah
perdarahan yang keluar dengan memakai takara yang praktis seperti berapa
gelas, berapa kaleng dan lain-lain.
Pemeriksaan fisik penderita perdarahan saluran makan bagian atas yang
perlu diperhatikan adalah keadaan umum, kesadaran, nadi, tekanan darah,
tanda-tanda anemia dan gejala-gejala hipovolemik agar dengan segera diketahui
keadaan yang lebih serius seperti adanya rejatan atau kegagalan fungsi hati.
Disamping itu dicari tanda-tanda hipertensi portal dan sirosis hepatis, seperti
spider naevi, ginekomasti, eritema palmaris, caput medusae, adanya kolateral,
asites, hepatosplenomegali dan edema tungkai.
Pemeriksaan laboratorium seperti kadar hemoglobin, hematokrit, leukosit,
sediaan darah hapus, golongan darah dan uji fungsi hati segera dilakukan secara
berkala untuk dapat mengikuti perkembangan penderita.
Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan radiologik dilakukan dengan pemeriksaan esofagogram untuk
daerah esofagus dan diteruskan dengan pemeriksaan double contrast pada

lambung dan duodenum. emeriksaan tersebut dilakukan pada berbagai posisi


terutama pada daerah 1/3 distal esofagus, kardia dan fundus lambung untuk
mencari ada/tidaknya varises. Untuk mendapatkan hasil yang diharapkan,
dianjurkan pemeriksaan radiologik ini sedini mungkin, dan sebaiknya segera
setelah hematemesis berhenti.
Pemeriksaan endoskopik
Dengan adanya berbagai macam tipe fiberendoskop, maka pemeriksaan
secara endoskopik menjadi sangat penting untuk menentukan dengan tepat
tempat asal dan sumber perdarahan. Keuntungan lain dari pemeriksaan
endoskopik adalah dapat dilakukan pengambilan foto untuk dokumentasi,
aspirasi cairan, dan biopsi untuk pemeriksaan sitopatologik. Pada perdarahan
saluran makan bagian atas yang sedang berlangsung, pemeriksaan endoskopik
dapat dilakukan secara darurat atau sedini mungkin setelah hematemesis
berhenti.
Pemeriksaan ultrasonografi dan scanning hati
Pemeriksaan dengan ultrasonografi atau scanning hati dapat mendeteksi
penyakit hati kronik seperti sirosis hati yang mungkin sebagai penyebab
perdarahan saluran makan bagian atas. Pemeriksaan ini memerlukan peralatan
dan tenaga khusus yang sampai sekarang hanya terdapat dikota besar saja.
Terapi
Pengobatan penderita perdarahan saluran makan bagian atas harus sedini
mungkin dan sebaiknya diraat di rumah sakit

untuk mendapatkan

pengawasan yang teliti dan pertolongan yang lebih baik. Pengobatan penderita
perdarahan saluran makan bagian atas meliputi :
1. Pengawasan dan pengobatan umum

Penderita harus diistirahatkan mutlak, obat-obat yang menimbulkan

efek sedatif morfin, meperidin dan paraldehid sebaiknya dihindarkan.


Penderita dipuasakan selama perdarahan masih berlangsung dan bila

perdarahan berhenti dapat diberikan makanan cair.


Infus cairan langsung dipasang dan diberilan larutan garam fisiologis

selama belum tersedia darah.


Pengawasan terhadap tekanan darah, nadi, kesadaran penderita dan bila

perlu dipasang CVP monitor.


Pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit perlu dilakukan untuk

mengikuti keadaan perdarahan.


Transfusi darah diperlukan untuk menggati darah yang hilang dan

mempertahankan kadar hemoglobin 50-70 % harga normal.


Pemberian obat-obatan hemostatik seperti vitamin K, 4 x 10 mg/hari,
karbasokrom (Adona AC), antasida dan golongan H2 reseptor
antagonis (simetidin atau ranitidin) berguna untuk menanggulangi

perdarahan.
Dilakukan klisma atau lavemen dengan air biasa disertai pemberian
antibiotika yang tidak diserap oleh usus, sebagai tindadakan sterilisasi
usus. Tindakan ini dilakukan untuk mencegah terjadinya peningkatan
produksi amoniak oleh bakteri usus, dan ini dapat menimbulkan

ensefalopati hepatik.
1. Pemasangan pipa naso-gastrik
Tujuan pemasangan pipa naso gastrik adalah untuk aspirasi cairan
lambung, lavage (kumbah lambung) dengan air , dan pemberian obatobatan. Pemberian air

pada kumbah lambung akan menyebabkan

vasokontriksi lokal sehingga diharapkan terjadi penurunan aliran darah di

mukosa lambung, dengan demikian perdarahan akan berhenti. Kumbah


lambung ini akan dilakukan berulang kali memakai air sebanyak 100- 150
ml sampai cairan aspirasi berwarna jernih dan bila perlu tindakan ini dapat
diulang setiap 1-2 jam. Pemeriksaan endoskopi dapat segera dilakukan
setelah cairan aspirasi lambung sudah jernih.
1. Pemberian pitresin (vasopresin)
Pitresin mempunyai efek vasokoktriksi, pada pemberian pitresin per infus
akan mengakibatkan kontriksi pembuluh darah dan splanknikus sehingga
menurunkan tekanan vena porta, dengan demikian diharapkan perdarahan
varises dapat berhenti. Perlu diingat bahwa pitresin dapat menrangsang otot
polos sehingga dapat terjadi vasokontriksi koroner, karena itu harus
berhati-hati dengan pemakaian obat tersebut terutama pada penderita
penyakit jantung iskemik. Karena itu perlu pemeriksaan elektrokardiogram
dan

anamnesis

terhadap

kemungkinan

adanya

penyakit

jantung

koroner/iskemik.
1. Pemasangan balon SB Tube
Dilakukan pemasangan balon SB tube untuk penderita perdarahan akibat
pecahnya varises. Sebaiknya pemasangan SB tube dilakukan sesudah
penderita tenang dan kooperatif, sehingga penderita dapat diberitahu dan
dijelaskan makna pemakaian alat tersebut, cara pemasangannya dan
kemungkinan kerja ikutan yang dapat timbul pada waktu dan selama
pemasangan.
Beberapa peneliti mendapatkan hasil yang baik dengan pemakaian SB tube
ini dalam menanggulangi perdarahan saluran makan bagian atas akibat
pecahnya varises esofagus. Komplikasi pemasangan SB tube yang berat

seperti laserasi dan ruptur esofagus, obstruksi jalan napas tidak pernah
dijumpai.
1. Pemakaian bahan sklerotik
Bahan sklerotik sodium morrhuate 5 % sebanyak 5 ml atau sotrdecol 3 %
sebanyak 3 ml dengan bantuan fiberendoskop yang fleksibel disuntikan
dipermukaan varises kemudian ditekan dengan balon SB tube. Tindakan ini
tidak memerlukan narkose umum dan dapat diulang beberapa kali. Cara
pengobatan ini sudah mulai populer dan merupakan salah satu pengobatan
yang baru dalam menanggulangi perdarahan saluran makan bagian atas
yang disebabkan pecahnya varises esofagus.
1. Tindakan operasi
Bila usaha-usaha penanggulangan perdarahan diatas mengalami kegagalan
dan perdarahan tetap berlangsung, maka dapat dipikirkan tindakan operasi .
Tindakan operasi yang basa dilakukan adalah : ligasi varises esofagus,
transeksi esofagus, pintasan porto-kaval.
Operasi efektif dianjurkan setelah 6 minggu perdarahan berhenti dan fungsi
hari membaik.
Prognosis
Pada umumnya penderita dengan perdarahan saluran makan bagian atas
yang disebabkan pecahnya varises esofagus mempunyai faal hati yang
buruk/.terganggu sehingga setiap perdarahan baik besar maupun kecil
mengakibatkan kegagalan hati yang berat. Banyak faktor yang mempengaruhi
prognosis penderita seperti faktor umur, kadar Hb, tekanan darah selama
perawatan, dan lain-lain. Hasil penelitian Hernomo menunjukan bahwa angka
kematian penderita dengan perdarahan saluran makan bagian atas dipengaruhi
oleh faktor kadar Hb waktu dirawat, terjadi/tidaknya perdarahan ulang,

keadaan hati, seperti ikterus, encefalopati dan golongan menurut kriteria


Child.
Mengingat tingginya angka kematian dan sukarnya dalam menanggulangi
perdarahan sakuran makan bagian atas maka perlu dipertimbangkan tindakan
yang bersifat preventif terutama untuk mencegah terjadinya sirosis hati.

1.
2.
3.
4.
5.
1.
2.

3.
4.
5.
1.
2.

3.

Pengkajian Hematemesis Melena


a. Riwayat Kesehatan
Riwayat mengidap :
Penyakit Hepatitis kronis, cirrochis hepatis, hepatoma, ulkus peptikum
Kanker saluran pencernaan bagian atas
Riwayat penyakit darah, misalnya DIC
Riwayat penggunaan obat-obat ulserogenik
Kebiasaan/gaya hidup :
Alkoholisme, kebiasaan makan
b. Pengkajian Umum
Intake : anorexia, mual, muntah, penurunan berat badan.
Eliminasi :
BAB :
konstipasi atau diare, adakah melena (warna darah hitam, konsistensi pekat,
jumlahnya)
BAK :
warna gelap, konsistensi pekat
Neurosensori :
adanya penurunan kesadaran (bingung, halusinasi, koma).
Respirasi :
sesak, dyspnoe, hipoxia
Aktifitas :
lemah, lelah, letargi, penurunan tonus otot
c. Pengkajian Fisik
Kesadaran, tekanan darah, nadi, temperatur, respirasi
Inspeksi :
Mata : conjungtiva (ada tidaknya anemis)
Mulut : adanya isi lambung yang bercampur darah
Ekstremitas : ujung-ujung jari pucat
Kulit : dingin
Auskultasi :
Paru
Jantung : irama cepat atau lambat
Usus : peristaltik menurun

4. Perkusi :
Abdomen : terdengar sonor, kembung atau tidak
Reflek patela : menurun
5. Studi diagnostik
Pemeriksaan darah : Hb, Ht, RBC, Protrombin, Fibrinogen, BUN, serum,
amonoiak, albumin.
Pemeriksaan urin : BJ, warna, kepekatan
Pemeriksaan penunjang : esophagoscopy, endoscopy, USG, CT Scan.

d. Pengkajian Khusus
Pengkajian Kebutuhan Fisiologis
1. Oksigen
Yang dikaji adalah :
Jumlah serta warna darah hematemesis.
Warna kecoklatan : darah dari lambung kemungkinan masih tertinggal,

potensial aspirasi.
Posisi tidur klien : untuk mencegah adanya muntah masuk ke jalan nafas,

mencegah renjatan.
Tanda-tanda renjatan : bisa terjadi apabila jumlah darah > 500 cc dan terjadi
secara kontinyu.
Jumlah perdarahan : observasi tanda-tanda hemodinamik yaitu tekanan darah,
nadi, pernapasan, temperatur. Biasanya tekanan darah (sistolik) 110 mmHg,
pernafasan cepat, nadi 110 x/menit, suhu antara 38 - 39 derajat Celcius, kulit
dingin pucat atau cyanosis pada bibir, ujung-ujung ekstremitas, sirkulasi darah
ke ginjal berkurang, menyebabkan urine berkurang.
2. Cairan
Keadaan yang perlu dikaji pada klien dengan hematemesis melena yang
berhubungan dengan kebutuhan cairan yaitu jumlah perdarahan yang terjadi.
Jumlah darah akan menentukan cairan pengganti.

Dikaji : macam perdarahan/cara pengeluaran darah untuk menentukan lokasi


perdarahan serta jenis pembuluh darah yang pecah. Perdarahan yang terjadi
secara tiba-tiba, warna darah merah segar, serta keluarnya secara kontinyu
menggambarkan perdarahan yang terjadi pada saluran pencernaan bagian atas
dan terjadi pecahnya pembuluh darah arteri. Jika fase emergency sudah
berlalu, pada fase berikutnya lakukan pengkajian terhadap :
Keseimbangan intake output. Pengkajian ini dilakukan pada klien
hematemesis melena yang disebabkan oleh pecahnya varices esofagus
sebagai akibat dari cirrochis hepatis yang sering mengalami asites dan

edema.
Pemberian cairan infus yang diberikan pada klien.
Output urine dan catat jumlahnya per 24 jam.
Tanda-tanda dehidrasi seperti turgor kulit yang menurun, mata cekung,
jumlah urin yang sedikit. Untuk klien dengan hemetemesis melena sering
mengalami gangguan fungsi ginjal.

3. Nutrisi
Dikaji :
Kemampuan klien untuk beradaptasi dengan diit : 3 hari I cair

selanjutnya makanan lunak.


Pola makan klien
BB sebelum terjadi perdarahan
Kebersihan mulut : karena hemetemesis dan melena, sisa-sisa

perdarahan
\dapat menjadi sumber infeksi yang menimbulkan ketidaknyamanan.\

4. Temperatur
Klien dengan hematemesis melena pada umumnya mengalami
kenaikan temperatur sekitar 38 - 39 derajat Celcius. Pada keadaan pre renjatan

temperatur kulit menjadi dingin sebagai akibat gangguan sirkulasi.


Penumpukan sisa perdarahan merupakan sumber infeksi pada saluran cerna
sehingga suhu tubuh klien dapat meningkat. Selain itu pemberian infus yang
lama juga dapat menjadi sumber infeksi yang menyebabkan suhu tubuh klien
meningkat.
5. Eliminasi
Pada klien hematemesis melena pada umumnya mengalami gangguan
eliminasi. Yang perlu dikaji adalah :

Jumlah serta cara pengeluaran akibat fungsi ginjal terganggu. Urine berkurang
dan biasanya dilakukan perawatan tirah baring.
Defikasi, perlu dicatat jumlah, warna dan konsistensinya.
6. Perlindungan
Latar belakang sosio ekonomi klien, karena pada hematemesis melena
perlu dilakukan beberapa tindakan sebagai penegakan diagnosa dan terapi bagi
klien.
7. Kebutuhan Fisik dan Psiologis
Perlindungan terhadap bahaya infeksi. Perlu dikaji : kebersihan diri,
kebersihan lingkungan klien, kebersihan alat-alat tenun, mempersiapkan dan
melakukan pembilasan lambung, cara pemasangan dan perawatan pipa

lambung, cara persiapan dan pemberian injeksi IV atau IM.


Perlindungan terhadap bahaya komplikasi :
Kaji persiapan pemeriksaan endoscopy (informed concern).
Persiapan yang berhubungan dengan pengambilan/pemeriksaan darah.

B. Koma Hepatikum

Koma Hepatikum adalah merupakan suatu sindrom neuropsikiatri yang dapat


dijiumpai pada pasien gagal fungsi hati baik yang akut maupun yang kronik,
pada umumnya gambaran klinis berupa kelainan mental, kelainan neurologis,
terdapatnya kelainan parenkim hati serta kelainan laboratorium.
Etiologi :
1. Peningkatan beban nitrogen
a. Perdarahan saluran cerna
b. Makanan mengandung protein dalam jumlah banyak
c. Azotemia (BUN yang meningkat)
d. Konstipasi
2. Ketidakseimbangan elektrolit
a. Alkaliosis
b. Hipokalemia
c. Hipovolemia
3. Obat obatan
a. Obat dieretik
b. Tranquilizer,narkotika,sedative, anestetik
4. Lain lain
a. Serosis hati
b. Hepatitis akut/kronik
Manifestasi Klinis:

Patofisiologi
Dalam arti sederhana, ensefalohepatik atau koma hepatik dapat
dijelaskan sebagai suatu bentuk intoksikasi otak yang disebabkan oleh isi usus
yang tidak mengalami metabolisme dalam hati. Keadaan ini dapat terjadi bila
terdapat kerusakan sel hati akibat nekrosis, atau terdapat pirau (patologis/ akibat

pembedahan) yang memungkinkan darah portal mencapai sirkulasi sistemik


dalam jumlah besar tanpa melewati hati.
Metabolit yang menyebabkan timbulnya ensefalopati belum diketahui
pasti. Mekanisme dasar tampaknya adalah karena intoksikasi otak oleh produk
pemecahan metabolisme protein oleh kerja bakteri dalam usus. Hasil
metabolisme dapat memintas hati karena terdapat penyakit pada sel hati atau
karena terdapat pirau. NH3 (yang dalam keadaan normal diubah menjadi urea
oleh hati) merupakan salah satu zat yang diketahui bersifat toksis dan diyakini
dapat mengganggu metabolisme otak.
Ensefalopati hepatik biasanya dipercepat oleh keadaan seperti ;
perdarahan saluran cerna, asupan protein berlebihan, obat diuretik, parasentesis,
hipokalemia, infeksi akut, pembedahan,azotemia, dan pemberian morfin, sedatif
atau obat mengandung NH3. Azotemia adalah retensi zat nitrogenosa (misal,
urea) dalam darah yang normalnya difiltrasi oleh ginjal. Efek berbahaya dari
zat-zat ini dapat ditelusiri pada mekanisme yang mengakibatkan pembentukan
amonia dalam jumlah besar dalam usus. Ensefalopati yang menyertai
kekurangan kalium atau parasentesis dapat dihubungkan dengan pembentukan
NH3 yang berlebihan oleh ginjal dan perubahan keseimbangan asam/ basa.
Faktor-faktor pencetus dapat mempercepat terjadinya enseg/falopati hepatik
dan mekanisme fisiologis yang mungkin terkait.
Pemeriksaan Penunjang
1. Elektroensefalografi / EEG : peninggian amplitudo dan menurunnya jumlah
siklus gelombang perdetik.terjadi penurunan frekuensi dari gelombang normal
alfa (8-12 Hz)

2. Tes Psikometri : membantu menilai tingkat kemampuan intelektual pasien


yang mengalami koma hepatik subklinis
3. Pemeriksaaan Amonia Darah : terjadi peningkatan konsentrasi amonia darah
karena gangguan fungsi hati dalam mendetoksifikasi amonia serta adanya
pintas (shunt) porto sistemi
Penatalaksanaan
1. Mengobati penyakit dasar hati
2. Mengidentifikasi dan menghilangkan faktor-faktor pencetus
3. Mengurangi atau mencegah pembentukan influks toksin toksin nitrogen ke
jaringan lain, antara lain :
a. Menurunkan atau mengurangi asupan makanan yang mengandung protein
b. Menggunakan laktulosa dan antibiotika
c. Membersihkan saluran cerna bagian bawah
4. Menjaga kecukupan masukan kalori dan mengobati komplikasi yang timbul

5. Kegawatdaruratan Ginjal Hipertensi


Krisis Hipertensi
The Fifth Report of the Joint National Comitte on Detection, Evaluation

and

Treatment of High Blood Pressure (JNCV) membagi krisis HT ini menjadi 2


golongan yaitu : hipertensi emergensi (darurat) dan hipertensi urgensi
(mendesak).

Membedakan kedua golongan krisis HT ini bukanlah dari

tingginya TD, tapi dari kerusakan organ sasaran. Kenaikan TD yang sangat
pada seorang penderita dipikirkan suatu keadaan emergensi bila terjadi
kerusakan secara cepat dan progresif dari sistem syaraf sentral, miokardinal,
dan ginjal. HT emergensi dan urgensi perlu dibedakan karena cara
penaggulangan keduanya berbeda.

Gambaran kilnis krisis HT berupa TD yang sangat tinggi (umumnya TD


diastolik > 120 mmHg) dan menetap pada nilai-nilai yang tinggidan terjadi
dalam waktu yang singkat dan menimbulkan keadaan klinis yang gawat.
Seberapa besar TD yang dapat menyebabkan krisis HT tidak dapat dipastikan,
sebab hal ini juga bisa terjadi pada penderita yang sebelumnya nomortensi atau
HT ringan/sedang.
Secara praktis krisis hipertensi dapat diklasifikasikan berdasarkan
perioritas pengobatan, sebagai berikut :
1. Hipertensi emergensi (darurat) ditandai dengan TD Diastolik > 120 mmHg,
disertai kerusakan berat dari organ sasaran yag disebabkan oleh satu atau lebih
penyakit/kondisi

akut

(tabel

I).

Keterlambatan

pengobatan

akan

menyebebabkan timbulnya sequele atau kematian. TD harus diturunkan sampai


batas tertentu dalam satu sampai beberapa jam. Penderita perlu dirawat di
ruangan intensive care unit atau (ICU).
2. Hipertensi urgensi (mendesak), TD diastolik > 120 mmHg dan dengan tanpa
kerusakan/komplikasi minimum dari organ sasaran. TD harus diturunkan dalam
24 jam sampai batas yang aman memerlukan terapi parenteral. (tabel II).
Dikenal beberapa istilah berkaitan dengan krisis hipertensi antara lain :
1. Hipertensi refrakter : respons pengobatan tidak memuaskan dan TD >
200/110 mmHg, walaupun telah diberikan pengobatan yang efektif (triple drug)
pada penderita dan kepatuhan pasien.
2. Hipetensi akselerasi : TD meningkat (Diastolik) > 120 mmHg disertai dengan
kelainan funduskopi KW III. Bila tidak diobati dapat berlanjut ke fase maligna.
3. Hipertensi maligna : penderita hipertensi akselerasi dengan TD Diastolik >
120 130 mmHg dan kelainan funduskopi KW IV disertai papiledema,

peniggian tekanan intrakranial kerusakan yang cepat dari vaskular, gagal ginjal
akut, ataupun kematian bila penderita tidak mendapat pengobatan. Hipertensi
maligna, biasanya pada penderita dengan riwayat hipertensi essensial ataupun
sekunder dan jarang terjadi pada penderita yang sebelumnya mempunyai TD
normal.
4. Hipertensi ensefalopati : kenaikan TD dengan tiba-tiba disertai dengan
keluhan sakit kepala yang sangat, perubahan kesadaran dan keadaan ini dapat
menjadi reversible bila TD diturunkan.

Obat obat untuk krisis hipertensi:


1. Sodium Nitroprusside : merupakan vasodelator direkuat baik arterial maupun
venous. Secara i. V mempunyai onsep of action yang cepat yaitu : 1 2 dosis
1 6 ug / kg / menit.
Efek samping : mual, muntah, keringat, foto sensitif, hipotensi.

2. Nitroglycerini : merupakan vasodilator vena pada dosis rendah tetapi bila


dengan dosis tinggi sebagai vasodilator arteri dan vena. Onset of action 2 5
menit, duration of action 3 5 menit.
Dosis : 5 100 ug / menit, secara infus i. V.
Efek samping : sakit kepala, mual, muntah, hipotensi.

3. Diazolxide : merupakan vasodilator arteri direk yang kuat diberikan secara i. V


bolus.
Onset of action 1 2 menit, efek puncak pada 3 5 menit, duration of action
4 12 jam.
Dosis permulaan : 50 mg bolus, dapat diulang dengan 25 75 mg setiap 5
menit sampai TD yang diinginkan.
Efek samping : hipotensi dan shock, mual, muntah, distensi abdomen,
hiperuricemia, aritmia, dll.
4. Hydralazine : merupakan vasodilator direk arteri.
Onset of action : oral 0,5 1 jam, i.v : 10 20 menit duration of action : 6
12 jam.
Dosis : 10 20 mg i.v bolus : 10 40 mg i.m
Pemberiannya bersama dengan alpha agonist central ataupun Beta Blocker
untuk mengurangi refleks takhikardi dan diuretik untuk mengurangi volume
intravaskular.
Efeksamping : refleks takhikardi, meningkatkan stroke volume dan cardiac
out put, eksaserbasi angina, MCI akut dll.
5. Enalapriat : merupakan vasodelator golongan ACE inhibitor. Onsep on action
15 60 menit.
Dosis 0,625 1,25 mg tiap 6 jam i.v.

6. Phentolamine ( regitine ) : termasuk golongan alpha andrenergic blockers.


Terutama untuk mengatasi kelainan akibat kelebihan ketekholamin.
Dosis 5 20 mg secar i.v bolus atau i.m.
Onset of action 11 2 menit, duration of action 3 10 menit.
7. Trimethaphan camsylate : termasuk ganglion blocking agent dan menginhibisi
sistem simpatis dan parasimpatis.
Dosis : 1 4 mg / menit secara infus i.v.
Onset of action : 1 5 menit.
Duration of action : 10 menit.
Efek samping : opstipasi, ileus, retensia urine, respiratori arrest, glaukoma,
hipotensi, mulut kering.
8. Labetalol : termasuk golongan beta dan alpha blocking agent.
Dosis : 20 80 mg secara i.v. bolus setiap 10 menit ; 2 mg / menit secara infus
i.v.
Onset of action 5 10 menit
Efek samping : hipotensi orthostatik, somnolen, hoyong, sakit kepala,
bradikardi, dll.
Juga tersedia dalam bentuk oral dengan onset of action 2 jam, duration of
action 10 jam dan efek samping hipotensi, respons unpredictable dan
komplikasi lebih sering dijumpai.
9. Methyldopa : termasuk golongan alpha agonist sentral dan menekan sistem
syaraf simpatis.
Dosis : 250 500 mg secara infus i.v / 6 jam.
Onset of action : 30 60 menit, duration of action kira-kira 12 jam.

DAFTAR PUSTAKA
ATLS. 2008. Advanced Trauma Life Support for Doctor Eighth edition. American
College of Surgeons Committee in Trauma
Mansjoer, Arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid I.Jakarta : FKUI
Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6
Vol. 1. Jakarta: EGC
Rani, A; Simadibrata, M; Syam, AF. 2011. Buku Ajar Gastroenterologi Edisi I.
Jakarta: Interna Publishing
Syansuhidajat; de Jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai