Usia : 42 tahun
Anamnesis :
Empat jam SMRS ketika pasien sedang mengendarai sepeda motor di daerah Cicalengka dengan
kecepatan sedang, helm (+) tiba tiba pasien ditabrak dari arah belakang oleh mobil lain sehingga
pasien terpental kearah depan dengan perut membentur stang motor, kaki kanan dan dada kanan
membentur aspal. Riwayat pingsan (+) muntah (-) PTHM (-). Pasien mengeluh nyeri di dada dan
perut serta luka di tungkai kanan.
Pasien kemudian dibawa ke RS Cicalengka kemudian dirujuk ke RS Hasan Sadikin
Survey Primer
A clear + C-spine control
B RR 24 x/menit, B/G simetris, Rh -/-, Wh -/-
C Nadi 98 x/menit, reguler, TD 110/80 mmHg
D GCS E4M6V5 (GCS=15), pupil bulat isokor ODS 3/3 mm refleks cahaya +/+, parese -/-
Survey Sekunder
a/r Thorax : Jejas (+), B/G simetris, VBS kiri=kanan, Rh -/- , Wh -/-
a/r Abdomen : Jejas (+), datar lembut, BU (+) N, NT (+), NL(-), DM (-)
a/r Facialis ` : Vulnus ekskoriasi multiple
a/r patela dextra : luka robek dengan ukuran 2x2x2 cm dasar tulang, tepi ireguler, bersih
perdarahan aktif (+), Motorik : paresis (-)
DK/
Perdarahan intraabdomen ec trauma hepar AAST gr III + trauma lien AAST grade III ec trauma
tumpul abdomen dengan hemodinamik stabil
Fraktur kosta 5, 6 aspek lateral dekstra + kontusio paru kanan
Fraktur terbuka tibial plateau dekstra
Multiple vulnus ekskoriatum ar facialis
Tata Laksana
Observasi ketat tanda vital
Analgetik
Antibiotik
Bedah digestif Non operative management
Bedah thoraks AGD Laktat + ro thoraks serial, Nebulasi, Steroid anti inflamasi
Bedah orthopaedi Anti tetanus profilaskis Debridement + jahit luka Imobilisasi dengan
posterior slab, R/ ORIF
Trauma Tumpul Abdomen
Definisi
Trauma tumpul abdomen adalah cedera pada abdomen tanpa penetrasi ke dalam rongga
peritoneum. Trauma tumpul abdomen didefinisikan sebagai kerusakan terhadap struktur yang
terletak diantara diafragma dan pelvis yang diakibatkan oleh luka tumpul. Trauma tumpul
kadang tidak memberikan kelainan yang jelas pada permukaan tubuh tetapi dapat mengakibatkan
kontusio atau laserasi jaringan atau organ di bawahnya. Trauma tumpul abdomen dapat
menimbulkan cedera pada organ berongga berupa perforasi atau pada organ padat berupa
perdarahan. 1
Anatomi
Abdomen adalah bagian tubuh yang terletak antara diaphragma di bagian atas dan pintu
masuk pelvis dibagian bawah. Untuk kepentingan klinik, biasanya abdomen dibagi dalam
sembilan regio oleh dua garis vertikal, dan dua garis horizontal. Masing-masing garis vertikal
melalui pertengahan antara spina iliaca anterior superior dan symphisis pubis. Garis horizontal
yang atas merupakan bidang subcostalis, yang mana menghubungkan titik terbawah pinggir
costa satu sama lain. Garis horizontal yang bawah merupakan bidang intertubercularis, yang
menghubungkan tuberculum pada crista iliaca. Bidang ini terletak setinggi corpus vertebrae
lumbalis V. 2
Pembagian regio pada abdomen yaitu : pada abdomen bagian atas : regio hypochondrium
kanan, regio epigastrium dan regio hypocondrium kiri. Pada abdomen bagian tengah : regio
lumbalis kanan, regio umbilicalis dan regio lumbalis kiri. Pada abdomen bagian bawah : regio
iliaca kanan, regio hypogastrium dan regio iliaca kiri. 2
Gambar 3.1 Pembagian 9 regio abdomen.
Rongga perut (cavitas abdominalis) dibatasi oleh membran serosa yang tipis mengkilap
yang juga melipat untuk meliputi organ-organ di dalam rongga abdominal. Lapisan membran
yang membatasi dinding abdomen dinamakan peritoneum parietale, sedangkan bagian yang
meliputi organ dinamakan peritoneum viscerale. Di sekitar dan sekeliling organ ada lapisan
ganda peritoneum yang membatasi dan menyangga organ, menjaganya agar tetap berada di
tempatnya, serta membawa pembuluh darah, pembuluh limfe, dan saraf. Bagian-bagian
peritoneum sekitar masing-masing organ diberi nama-nama khusus. 2
Mesenterium ialah bangunan peritoneal yang berlapis ganda, bentuknya seperti kipas,
pangkalnya melekat pada dinding belakang perut dan ujungnya yang mengembang melekat pada
usus halus. Di antara dua lapisan membran yang membentuk mesenterium terdapat pembuluh
darah, saraf dan bangunan lainnya yang memasok usus. Bagian mesenterium di sekitar usus
besar dinamakan mesokolon. Lapisan ganda peritoneum yang berisi lemak, menggantung seperti
celemek di sebelah atas depan usus bernama omentum majus. Bangunan ini memanjang dari tepi
lambung sebelah bawah ke dalam bagian pelvik abdomen dan kemudian melipat kembali dan
melekat pada colon tranversum. Ada juga membran yang lebih kecil bernama omentum minus
yang terentang antara lambung dan liver. Organ dalam rongga abdomen dibagi menjadi dua,
yaitu : 2
a. Organ Intraperitoneal
1. Hepar
Merupakan kelenjar terbesar dan mempunyai tiga fungsi dasar, yaitu : (1) pembentukan
dan sekresi empedu yang dimasukkan ke dalam usus halus; (2) berperan pada aktivitas
metabolisme yang berhubungan dengan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein; (3)
menyaring darah untuk membuang bakteri dan benda asing lain yang masuk dalam darah dari
lumen usus. Hepar bersifat lunak dan lentur dan menduduki regio hypochondrium kanan, meluas
sampai regio epigastrium. Permukaan atas hati cembung melengkung pada permukaan bawah
diaphragma. Permukaan postero-inferior atau permukaan viseral membentuk cetakan visera yang
berdekatan, permukaan ini berhubungan dengan pars abdominalis oesophagus, lambung,
duodenum, flexura coli dextra, ginjal kanan, kelenjar suprarenalis, dan kandung empedu.
Dibagi dalam lobus kanan yang besar dan lobus kiri yang kecil, yang dipisahkan oleh
perlekatan peritonium ligamentum falciforme. Lobus kanan terbagi menjadi lobus quadratus dan
lobus caudatus oleh adanya kandung empedu, fissura untuk ligamentum teres hepatis, vena cava
inferior, dan fissura untuk ligamentum venosum. Porta hepatis atau hilus hati ditemukan pada
permukaan postero-inferior dengan bagian atas ujung bebas omentum majus melekat pada
pinggirnya. Hati dikelilingi oleh capsula fibrosa yang membentuk lobulus hati. Pada ruang antara
lobulus-lobulus terdapat saluran portal, yang mengandung cabang arteri hepatica, vena porta, dan
saluran empedu (segitiga portal). 2
2. Limpa
Merupakan massa jaringan limfoid tunggal yang terbesar dan umumnya berbentuk oval,
dan berwarna kemerahan. Terletak pada regio hypochondrium kiri, dengan sumbu panjangnya
terletak sepanjang iga X dan kutub bawahnya berjalan ke depan sampai linea axillaris media, dan
tidak dapat diraba pada pemeriksaan fisik. Batas anterior limpa adalah lambung, cauda pankreas,
flexura coli sinistra. Batas posterior pada diaphragma, pleura kiri ( recessus costodiaphragmatica
kiri ), paru kiri, costa IX, X, dan XI kiri. 2
3. Lambung
Merupakan bagian saluran pencernaan yang melebar dan mempunyai 3 fungsi utama: (1)
menyimpan makanan dengan kapasitas 1500 ml pada orang dewasa; (2) mencampur makanan
dengan getah lambung untuk membentuk kimus yang setengah padat, dan (3) mengatur
kecepatan pengiriman kimus ke usus halus sehingga pencernaan dan absorbsi yang efisien dapat
berlangsung. Lambung terletak pada bagian atas abdomen, dari regio hipochondrium kiri sampai
regio epigastrium dan regio umbilikalis. Sebagian besar lambung terletak di bawah iga-iga
bagian bawah. Batas anterior lambung adalah dinding anterior abdomen, arcus costa kiri, pleura
dan paru kiri, diaphragma, dan lobus kiri hati. Sedangkan batas posterior lambung adalah bursa
omentalis, diaphragma, limpa, kelenjar suprarenal kiri, bagian atas ginjal kiri, arteri lienalis,
pankreas, mesocolon tranversum, dan colon tranversum. Secara kasar lambung berbentuk huruf
J dan mempunyai dua lubang, ostium cardiacum dan ostium pyloricum, dua curvatura yang
disebut curvatura mayor dan minor, serta dua permukaan anterior dan posterior. Lambung dibagi
menjadi fundus, corpus dan antrum. Fundus berbentuk kubah dan menonjol ke atas terletak di
sebelah kiri ostium cardiacum. Biasanya fundus terisi gas. Sedangkan corpus adalah badan dari
lambung. Antrum merupakan bagian bawah dari lambung yang berbentuk seperti tabung.
Dinding ototnya membentuk sphincter pyloricum, yang berfungsi mengatur kecepatan
pengeluaran isi lambung ke duodenum. Membran mukosa lambung tebal dan memiliki banyak
pembuluh darah yang terdiri dari banyak lipatan atau rugae. Dinding otot lambung mengandung
serabut longitudinal, serabut sirkular dan serabut oblik. Serabut longitudinal terletak paling
superficial dan paling banyak sepanjang curvatura, serabut sirkular yang lebih dalam
mengelilingi fundus lambung,dan menebal pada pylorus untuk membentuk sphincter pyloricum.
Sedangkan serabut oblik membentuk lapisan otot yang paling dalam, mengelilingi fundus
berjalan sepanjang anterior dan posterior. 2
Vesica Fellia adalah kantong seperti buah pear yang terletak pada permukaan viseral hati.
Secara umum dibagi menjadi tiga bagian yaitu : fundus, corpus dan collum. Fundus berbentuk
bulat dan biasanya menonjol dibawah pinggir inferior hati; dimana fundus berhubungan dengan
dinding anterior abdomen setinggi ujung rawan costa IX kanan. Corpus bersentuhan dengan
permukaan viseral hati dana arahnya keatas, belakang dan kiri. Sedangkan collum dilanjutkan
sebagai ductus cysticus yang berjalan dalam omentum minus untuk bersatu dengan sisi kanan
ductus hepaticus communis membentuk ductus choledochus. Batas anterior vesica fellia pada
dinding anterior abdomen dan bagian pertama dan kedua duodenum. Batas posterior pada colon
tranversum dan bagian pertama dan kedua duodenum. 2
Vesica Fellia berperan sebagai reservoir empedu dengan kapasitas 50 ml. Vesica Fellia
mempunyai kemampuan memekatkan empedu. Untuk membantu proses ini, maka mukosanya
mempunyai lipatan-lipatan permanen yang satu sama lain saling berhubungan seperti sarang
tawon. Empedu dialirkan ke duodenum sebagai akibat kontraksi dan pengosongan parsial
kandung empedu. Mekanisme ini diawali dengan masuknya makanan berlemak ke dalam
duodenum . lemak menyebabkan pengeluaran hormon kolesistokinin dari mukosa duodenum;
hormon kemudian masuk ke dalam darah menyebabkan kandung empedu berkontraksi. Pada saat
yang sama otot polos yang terletak pada ujung distal ductus choledochus dan ampula relaksasi
sehingga memungkinkan masuknya empedu yang kental ke dalam duodenum. Garam-garam
empedu dalam cairan empedu penting untuk emulsifikasi lemak dalam usus halus dan membantu
pencernaan serta absorbsi lemak. 2
5. Usus halus
Usus halus merupakan bagian pencernaan yang paling panjang, dibagi menjadi 3 bagian :
duodenum, jejunum, dan ileum. Fungsi utama usus halus adalah pencernaan dan absorpsi hasil-
hasil pencernaan. 2
Duodenum berbentuk huruf C yang panjangnya sekitar 25 cm, melengkung sekitar caput
pankreas, dan menghubungkan lambung dengan jejunum. Di dalam duodenum terdapat muara
saluran empedu dan saluran pankreas. Sebagian duodenum diliputi peritonium, dan sisanya
terletak retroperitonial. Duodenum terletak pada regio epigastrium dan regio umbilikalis. Dibagi
menjadi 4 bagian : 2
Bagian pertama duodenum. Panjangnya 5 cm, mulai pada pylorus dan berjalan keatas dan ke
belakang pada sisi kanan vertebra lumbalis pertama. Bagian ini terletak pada bidang
transpilorica. Batas anterior pada lobus quadratus hati dan kandung empedu. Batas posterior pada
bursa omentalis (2,5 cm pertama), arteri gastroduodenalis, ductus choledochus dan vena porta,
serta vena cava inferior. Batas superior pada foramen epiploicum Winslow dan batas inferior
pada caput pankreas. 2
Bagian kedua duodenum. Panjangnya 8 cm, berjalan ke bawah di depan hilus ginjal kanan di
sebelah vertebra lumbalis kedua dan ketiga. Batas anterior pada fundus kandung empedu dan
lobus kanan hati, colon tranversum, dan lekukan- lekukan usus halus. Batas posterior pada hilus
ginjal kanan dan ureter kanan. Batas lateral pada colon ascenden, flexura coli dextra, dan lobus
kanan hati. Batas medial pada caput pancreas. 2
Bagian ketiga duodenum. Panjangnya 8 cm, berjalan horisontal ke kiri pada bidang subcostalis,
mengikuti pinggir bawah caput pankreas. Batas anterior pada pangkal mesenterium usus halus,
dan lekukan-lekukan jejunum. Batas posterior pada ureter kanan, muskulus psoas kanan, vena
cava inferior, dan aorta. Batas superior pada caput pankreas, dan batas inferior pada lekukan-
lekukan jejunum. 2
Bagian keempat duodenum. Panjangnya 5 cm, berjalan ke atas dan kiri, kemudian memutar ke
depan pada perbatasan duodenum dan jejunum. Terdapat ligamentum Treitz yang menahan
junctura duodeno-jejunalis. Batas anterior pada permulaan pangkal mesenterium dan lekukan-
lekukan jejunum. Batas posterior pada pinggir kiri aorta dan pinggir medial muskulus psoas kiri.
2
Jejunum dan Ileum panjangnya 6 m, dua perlima bagian atas merupakan jejunum.
Jejunum mulai pada junctura duodenojejunalis dan ileum berakhir pada junctura ileocaecalis..
6. Usus besar
Usus besar dibagi dalam caecum, appendix vermiformis, colon ascenden, colon
tranversum, colon descenden, dan colon sigmoideum, rectum dan anus. Fungsi utama usus besar
adalah absorpsi air dan elektrolit dan menyimpan bahan yang tidak dicernakan sampai dapat
dikeluarkan dari tubuh sebagai feses. 2
Caecum terletak pada fossa iliaca, panjang 6 cm, dan diliputi oleh peritonium. Batas
anterior pada lekukan-lekukan usus halus, sebagian omentum majus, dan dinding anterior
abdomen regio iliaca kanan. Batas posterior pada m. psoas dan m. iliacus, n. femoralis, dan n.
cutaneus femoralis lateralis. Batas medial pada appendix vermiformis. 2
Appendix vermiformis panjangnya 8 13 cm, terletak pada regio iliaca kanan. Ujung
appendix dapat ditemukan pada tempat berikut : (1) tergantung dalam pelvis berhadapan dengan
dinding kanan pelvis; (2) melekuk di belakang caecum pada fossa retrocaecalis; (3) menonjol ke
atas sepanjang pinggir lateral caecum; (4) di depan atau di belakang bagian terminal ileum. 2
Colon ascenden terletak pada regio iliaca kanan dengan panjang 13 cm. Berjalan ke
atas dari caecum sampai permukaan inferior lobus kanan hati, di mana colon ascenden secara
tajam ke kiri, membentuk flexura coli dextra, dan dilanjutkan sebagai colon tranversum.
Peritonium menutupi pinggir dan permukaan depan colon ascenden dan menghubungkannya
dengan dinding posterior abdomen. Batas anterior pada lekukan-lekukan usus halus, omentum
majus, dan dinding anterior abdomen. Batas posterior pada m. Iliacus, crista iliaca, m. Quadratus
lumborum, origo m. Tranversus abdominis, dan kutub bawah ginjal kanan. 2
Colon descenden terletak pada regio iliaca kiri, dengan panjang 25 cm. Berjalan ke
bawah dari flexura coli sinistra sampai pinggir pelvis. Batas anterior pada lekukan-lekukan usus
halus, omentum majus, dan dinding anterior abdomen. Batas posterior pada pinggir lateral ginjal
kiri, origo m. Tranversus abdominis, m. Quadratus lumborum, crista iliaca, m. Iliacus, dan m.
Psoas kiri. 2
b. Organ Retroperitoneal
1. Ginjal
Berperan penting dalam mengatur keseimbangan air dan elektrolit dalam tubuh dan
mempertahankan keseimbangan asam basa darah. Kedua ginjal berfungsi mengekskresi sebagian
besar zat sampah metabolisme dalam bentuk urin. Ginjal berwarna coklat-kemerahan, terletak
tinggi pada dinding posterior abdomen, sebagian besar ditutupi oleh tulang iga. Ginjal kanan
terletak lebih rendah dibanding ginjal kiri, dikarenakan adanya lobus kanan hati yang besar.
Ginjal dikelilingi oleh capsula fibrosa yang melekat erat dengan cortex ginjal. Di luar
capsula fibrosa terdapat jaringan lemak yang disebut lemak perirenal. Fascia renalis mengelilingi
lemak perirenal dan meliputi ginjal dan kelenjar suprarenalis. Fascia renalis merupakan
kondensasi jaringan areolar, yang di lateral melanjutkan diri sebagai fascia tranversus. Di
belakang fascia renalis terdapat banyak lemak yang disebut lemak pararenal. 2
Batas anterior ginjal kanan pada kelenjar suprarenalis, hati, bagian kedua duodenum,
flexura coli dextra. Batas posterior pada diaphragma, recessus costodiaphragmatica pleura, costa
XII, m. Psoas, m. Quadratus lumborum, dan m. Tranversus abdominis. Pada ginjal kiri, batas
anterior pada kelenjar suprarenalis, limpa, lambung, pankreas, flexura coli kiri, dan lekukan-
lekukan jejunum. Batas posterior pada diaphragma, recessus costodiaphragmatica pleura, costa
XI, XII, m. Psoas, m. Quadratus lumborum, dan m. Tranversus abdominis. 2
2. Ureter
Mengalirkan urin dari ginjal ke vesica urinaria, dengan didorong sepanjang ureter oleh
kontraksi peristaltik selubung otot, dibantu tekanan filtrasi glomerulus. Panjang ureter 25 cm
dan memiliki tiga penyempitan : (1) di mana piala ginjal berhubungan dengan ureter;(2) waktu
ureter menjadi kaku ketika melewati pinggir pelvis;(3) waktu ureter menembus dinding vesica
urinaria. Ureter keluar dari hilus ginjal dan berjalan vertikal ke bawah di belakang peritonium
parietal pada m. Psoas, memisahkannya dari ujung processus tranversus vertebra lumbalis.
Ureter masuk ke pelvis dengan menyilang bifurcatio a. Iliaca comunis di depan articulatio
sacroiliaca, kemudian berjalan ke bawah pada dinding lateral pelvis menuju regio ischiospinalis
dan memutar menuju angulus lateral vesica urinaria. 2
Pada ureter kanan, batas anterior pada duodenum, bagian terminal ileum, av. Colica
dextra, av. Iliocolica, av. Testicularis atau ovarica dextra, dan pangkal mesenterium usus halus.
Batas posterior pada m. Psoas dextra.Batas anterior ginjal kiri pada colon sigmoideum,
mesocolon sigmoideum, av. Colica sinistra, dan av. Testicularis atau ovarica sinistra. Batas
posterior pada m.
3. Pankreas
Merupakan kelenjer eksokrin dan endokrin, organ lunak berlobus yang terletak pada
dinding posterior abdomen di belakang peritonium. Bagian eksokrin kelenjer menghasilkan
sekret yang mengandung enzim yang dapat menghidrolisis protein, lemak, dan karbohirat.
Bagian endokrin kelenjer, yaitu pulau langerhans, menghasilkan hormon insulin dan glukagon
yang berperan penting dalam metabolisme karbohidrat. Pankreas menyilang bidang transpilorica.
Dibagi menjadi empat bagian, yaitu : (1) caput pankreas berbentuki seperti cakram, terletak pada
bagian cekung duodenum. Sebagian caput meluas ke kiri di belakang av. Mesenterica superior
dan dinamakan processus uncinatus; (2) collum pancreas merupakan bagian yang mengecil dan
menghubungkan caput dengan corpus pankreas. Terletak di depan pangkal vena porta dan
pangkal arteri mesenterica superior dari aorta; (3) corpus berjalan ke atas dan kiri menyilang
garis tengah; (4) cauda berjalan menuju ke ligamentum lienorenalis dan berhubungan dengan
hilus limpa. 2
Batas anterior pankreas dari kanan ke kiri : colon tranversum, perlekatan mesocolon
tranversum, bursa omentalis, dan lambung. Sedangkan batas posterior pankreas dari kanan ke
kiri : ductus choledochus, vena porta, vena lienalis, vena cava inferior, aorta, pangkal arteri
mesenterica superior, m. Psoas kiri, kelenjer suprarenalis kiri, ginjal kiri, dan hilus limpa. 2
Insiden
Etiologi dari trauma tumpul abdomen tergantung dari lingkungan di sekitar institusi
rumah sakit tersebut berada. Di sentral trauma metropolitan, penyebab tersering adalah
kecelakaan lalu lintas (50-75%) yang meliputi tabrakan antar kendaraan bermotor (antara 45-
50%) dan tabrakan antara kendaraan bermotor dengan pejalan kaki. 3,4 Tindakan kekerasan, jatuh
dari ketinggian, dan cedera yang berhubungan dengan pekerjaan juga sering ditemukan. Trauma
tumpul abdomen merupakan akibat dari kompresi, crushing, regangan, atau mekanisme
deselerasi.
Enam hingga 25% dari insidensi trauma tumpul abdomen yang memerlukan tindakan
laparotomi eksplorasi.3,5 Organ yang terkena adalah lien (40-55%), hepar (35-45%), dan organ
retroperitoneal (15%).3
Trauma kompresi
Trauma kompresi terjadi bila bagian depan dari badan berhenti bergerak, sedangkan
bagian belakang dan bagian dalam tetap bergerak ke depan. Organ-organ terjepit dari belakang
oleh bagian belakang torakoabdominal dan kolumna vertebralis dan di depan oleh struktur yang
terjepit. Trauma abdomen menggambarkan variasi khusus mekanisme trauma dan menekankan
prinsip yang menyatakan bahwa keadaan jaringan pada saat pemindahan energi mempengaruhi
kerusakan jaringan. Pada tabrakan, maka penderita akan refleks menarik napas dan menahannya
dengan menutup glotis. Kompresi abdominal mengakibatkan peningkatan tekanan abdominal
dan dapat menyebabkan ruptur diafragma dan translokasi organ-organ abdomen ke dalam rongga
toraks. Transient hepatic kongestion dengan darah sebagai akibat tindakan valsava mendadak
diikuti kompresi abdomen ini dapat menyebabkan rupturnya hati. Keadaan serupa dapat terjadi
pada usus halus bila ada usus halus yang closed loop terjepit antara tulang belakang dan sabuk
pengaman yang salah memakainya.
Cedera akselerasi-deselerasi
Trauma deselerasi terjadi bila bagian yang menstabilisasi organ seperti pedikel ginjal,
ligamentum teres berhenti bergerak, sedangkan organ yang distabilisasi seperti hepar, ginjal,
limpa tetap bergerak. Shear force terjadi bila pergerakan ini terus berlanjut, contoh pada ginjal
dan limpa dengan pedikelnya, pada haepar terjadi laserasi bagian sentral jika deselerasi lobus
kanan dan kiri sekitar ligamentum teres.
Klasifikasi
Penatalaksanaan
Pasien dengan trauma abdomen, secara umum diklasifikasikan menjadi 3, berdasarkan
kondisi hemodinamik setelah resusitasi awal:
Hemodinamik normal
Pemeriksaan lengkap dan penatalaksanaan dapat segera direncanakan
Hemodinamik stabil
Pemeriksaan lebih terbatas dan ditujukan untuk menentukan apakah pasien dapat ditangani
secara non operatif, apakah angioembolisasi dapat digunakan ataukah membutuhkan
pembedahan
Hemodinamik tidak stabil
Membutuhkan intervensi bedah segera untuk menghentikan perdarahan
Laparotomi trauma merupakan langkah terakhir yang dilakukan untuk menggambarkan
cedera intra abdomen. Adakalanya sulit untuk menentukan sumber perdarahan pada pasien
dengan trauma multiple, dan apabila masih ada keraguan, laparotomi dapat menjadi pilihan.
Penatalaksanaan pada pasien-pasien trauma tumpul abdomen pada dasarnya sama dengan
trauma-trauma lainnya berupa primary survey yang cepat, resusitasi, secondary survey dan
akhirnya terapi definitif.
a. Primary survey
Selama primary survey, keadaan yang mengancam nyawa harus dikenalidan resusitasinya
dilakukan pada saat itu juga. Tindakan primary survey dilakukan secara berurutan sesuai
prioritas tapi dalam praktenya hal-hal tersebut sering dilakukan bersamaan (simultan).
Airway
Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran jalan napas berupa obstruksi jalan napas
yang dapat disebabkan oleh benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibula, maksila atau
trakea. Membebaskan jalan napas harus melindungi vertebra servikal dengan melakukan jaw
thrust. Pada pasien yang dapat berbicara dapat dianggap bahwa jalan napas bersih dan tetap
harus dinilai ulang. Pada pasien yang masih sadar dapat memakai nasopharingeal airway,
sedanglkan pada pasien yang tidak sadar dan tidak ada gag reflex dapat menggunakan
oropharingeal airway. Pasien dengan GCS kurang dari 8 atau adanya keraguan mengenai
kemampuan menjaga airway perlunya airway definitif.
Breathing
Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Ventilasi yang baik meliputi fungsi
yang baik dari paru, dinding dada, dan diafragma. Buka dada pasien untuk melihat ekspansi
pernapasan. Auskultasi untuk memastikan masuknya udara ke dalam paru. Perkusi untuk menilai
adanya udara atau cairan dalam rongga pleura. Inspeksi dan palpasi untuk melihat abnormalitas
gerakan atau getaran dinding dada. Jika ada gangguan ventilasi atau gangguan kesadaran diatasi
dengan face mask, intubasi endotrakeal yaitu nasopharingeal airway atau oropharingeal airway.
Kemudian pasang pulse oximetry untuk menilai saturasi O2 yang adekuat.
Circulation
Penilaian pada tahap ini meliputi volume darah, tingkat kesadaran, warna kulit dan nadi.
1. Volume darah
Adanya hipotensi harus dianggap disebabkan oleh hipovolemia sampai terbukti
sebaliknya. 3 jenis penilaian secara cepat yang dapat memberikan gambaran keaadaan tersebut
yaitu tingkat kesadaran, warna kulit dan nadi.
2. Tingkat kesadaran
Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang yang mengakibatkan
penurunan kesadaran.
3. Warna kulit
Pasien trauma yang kulitnya kemerahan, terutama pada wajah dan ekstremitas jarang
dalam keadaan hipovolemia. Sebaliknya wajah pucat keabu-abuan dan kulit ekstremitas yang
pucat sebagai tanda hipovolemia.
4. Nadi
Periksa pada nadi besar seperti arteri femoralis, arteri karotis, untuk kekuatan, kecepatan
dan irama nadi. Nadi yang tidak cepat, kuat dan teratur merupakan normovolemia ( bila tidak
minum beta bloker). Nadi yang cepat dan kecil merupakan hipovolemia. Kecepatan nadi yang
normal tidak menjamin normovolemia. Nadi yang tidak teraur biasanya tanda gangguan jantung.
Tidak ada pulsasi dari arteri besar mengindikasikan perlunya resusitasi segera.
5. Perdarahan
Perdarahan eksternal yang tampak dihentikan dengan penekanan pada luka. Spalk udara (
pneumatic splinting device) sebagai pengontrol perdarahan yang tembus cahaya. Torniquet
sebaiknya jangan dipakai karena merusak jaringan dan menyebabkan iskemia distal, kecuali pada
amputasi traumatik. Sedangkan pemakaian hemostat memerlukan waktu dan dapat merusak
jaringan seperti saraf dan pembuluh darah.
Jika ada gangguan sirkulasi atau syok hipovolemia minimal pasang 2 IV line untuk
resusitasi cairan kristaloid (ringer laktat / RL) 2-3 liter. Jika tidak ada respon diberikan tranfusi
darah segolongan. Jika tidak ada darah segolongan, dapat diberikan darah tipe O rhesus negatif
atau darah tipe O rhesus positif dengan titer rendah. Jangan memberikan vasopresor, steroid atau
bikarbonas natricus. Jangan memberikan resusitasi cairan RL atau transfusi darah secara terus
menerus, karena keadaan ini harus dilakukan resusitasi operatif untuk menghentikan perdarahan.
Sebelum resusitasi, lakukan dengan cepat pemeriksaan genitalia dan colok dubur untuk
menilai ada tidaknya tanda-tanda ruptur uretra yaitu prostat letak tinggi atau tidak teraba. Tanda
lain ruptur uretra berupa adanya darah di orifisium uretra eksternal (metal bleeding), hematom
skrotum atau di perineum. Jika tidak ada tanda-tanda tersebut maka selama resusitasi, pasang
kateter urin untuk menilai perfusi ginjal dan hemodinamik pasien. Namun, jika diduga adanya
ruptur uretra, jangan pasang kateter urin tetapi lakukan uretrogram terlebih dahulu.
Nasogastric tube (NGT) dipakai untuk mengurangi distensi lambung dan mengurangi
kemungkinan muntah. Darah dalam lambung dapat disebabkan karena traumatik karena
pemasangan NGT atau perlukaan lambung. Jika ada dugaan patah pada lamina kibrosa, NGT
yang dipasang hanya bisa yang melaluui mulut untuk mencegah masuknya NGT dalam rongga
otak.
Disability
Pada tahap ini dilakukan penilaian neurologis secara cepat berupa tingkat kesadaran,
ukuran dan reaksi pupil, tanda-tanda lateralisasi dan tingkat cedera spinal.
Exposure
Pada tahap ini, pakaian pasien dibuka keseluruhan kemudian dinilai kelainan yang
tampak secara cepat. Selanjutnya selimuti pasien agar tidak hipotermi.
b. Secondary survey
Secondary survey adalah pemeriksaan kepala hingga kaki (head to toe) termasuk
anamnesis dan reevaluasi pemeriksaan tanda vital. Tahap ini baru dilakukan setelah primary
survey dan resusitasi selesai serta pasien dipastikan sudah membaik. Jika kondisi hemodinamik
pasien sudah stabil tanpa tanda-tanda peritonitis bisa diperiksa lebih detail untuk menentukan
apakah ada trauma spesifik atau apakah selama observasi timbul tanda peritonitis atau
perdarahan.
Anamnesis
Pada trauma tumpul abdomen terutama akibat kecelakaan lalu lintas,
Pemeriksaan fisik
Meskipun pemeriksaan fisik merupakan langkah awal untuk evaluasi perlu tidaknya
dilakukan tindakan pembedahan, tetapi validitasnya diragukan pada trauma tumpul abdomen.
Pemeriksaan fisik ini tidak dapat diandalkan terutama bila ditemukan adanya efek dari alkohol,
obat terlarang, analgesik atau narkotik, atau penurunan kesadaran.3,4,7 Selain itu juga sulitnya
akses untuk palpasi organ-organ pelvis, abdomen atas, dan retroperitoneal menyebabkan
pemeriksaan fisik ini tidak dapat diandalkan.7 Fraktur iga bawah, fraktur pelvis, dan kontusio
dinding abdomen juga dapat menyerupai tanda-tanda peritonitis. Powell et al melaporkan bahwa
pemeriksaan fisik saja hanya memiliki tingkat akurasi sebesar 65% dalam mendeteksi ada
tidaknya perdarahan intra-abdomen.4 Pemeriksaan fisik abdomen inisial menghasilkan 16%
positif palsu, 20% negatif palsu, 29% nilai perkiraan positif, dan 48% nilai perkiraan negatif
untuk menentukan perlu tidaknya laparotomi eksplorasi.3
Pemeriksaan fisik pada trauma abdomen ditujukan untuk secara cepat mengidentifikasi
pasien yang membutuhkan laparotomi. Cedera abdomen sering menyebabkan nyeri dan kejang
pada dinding perut dan membuat diagnosis menjadi sulit . Patah tulang rusuk bawah, patah
tulang panggul, atau kontusio dinding perut dapat menyerupai tanda-tanda peritonitis. Karena
manifestasi utama dari trauma tumpul organ padat adalah perdarahan, pasien harus dipantau
secara ketat selama penilaian awal, dan adanya syok refrakter dianggap akibat perdarahan masif.
Pasien harus diperiksa dari kepala sampai kaki untuk tanda-tanda trauma tumpul dan luka
tembus. Lecet kecil atau ekimosis menunjukkan cedera intraabdominal lokal yang signifikan.
Dinding dan belakang perut harus diperiksa secara hati-hati, dan adanya ekimosis posterior
meningkatkan kemungkinan cedera retroperitoneal . Tidak adanya bising usus berhubungan
dengan ileus, dalam konteks unit gawat darurat, adanya bising usus tidak sensitif untuk
membedakan antara pasien yang memerlukan laparotomy atau tidak.
Pada palpasi dapat ditemukan nyeri lokal, kejang, atau kekakuan dinding perut. Temuan
ini dan temuan rebound tenderness konsisten dengan peritonitis dan perforasi organ berongga.
Nyeri suprapubik dan panggul dapat menunjukkan patah tulang panggul, dinilai pada pasien
sadar. Pemeriksaan perineum dan meatus uretra rutin dilakukan untuk mencari tanda-tanda
fraktur panggul dan kemungkinan cedera uretra. Pemeriksaan rectal toucher dilakukan dan tonus
sfingter ani dievaluasi. Integritas dinding rektum, posisi dan mobilitas prostat terkait dengan
cedera uretra juga dievaluasi. Tinja harus diperiksa untuk mencari adanya darah samar. Kateter
uretra dipasang, dan sampel urin dikirim untuk analisis adanya hematuria mikroskopik. Jika
cedera pada uretra dicurigai, urethrography retrograde ( RUG ) harus dilakukan sebelum
mencoba kateterisasi. Perforasi viskus berongga mungkin memerlukan beberapa jam sebelum
peritonitis menjadi jelas . Perforasi kolon atau lambung menyebabkan peritonitis lebih cepat.
a. Tingkat kesadaran dan tanda-tanda vital
b. Regio kepala
Pemeriksaan berupa konjungtiva anemis, dan tanda-tanda trauma kepala yang terjadi bersamaan
dengan trauma abdomen yaitu adanya luka dan kontusio pada kulit kepala, fraktur, edema
palbebra, benda asing dalam mata, perdarahan konjungtiva, ukuran dan respon pupil.
c. Regio maksilofasial
Pada regio ini diperiksa untuk menilai adanya tanda-tanda trauma kepala yang mungkin terjadi
bersamaan dengan trauma abdomen yaitu fraktur tulang wajah yang mungkin juga ada fraktur
lamina kribosa.
d. Regio vertebra servikalis dan leher
Pada regio ini diperiksa untuk menilai adanya tanda-tanda trauma kepala yang mungkin terjadi
bersamaan dengan trauma abdomen. pasien dengan trauma kepala atau trauma maksilofasial
dianggap ada fraktur servikal. Maka dilakukan imobilisasi hingga vertebra servikal diperiksa
teliti dengan foto servikal. Melakukan pemeriksaan neurologis untuk menilai defisit neurologis
yang disesuaikan dengan penjalaran persarafan servikal.
Pemeriksaan leher meliputi inspeksi adanya jejas, palpasi dan auskultasi pada arteri karotis.
e. Regio toraks
Pemeriksaan toraks diutamakan jika ada trauma torakas yang juga terjadi bersamaan dengan
trauma abdomen. inspeksi dari depan dan belakang untuk menilai adanya flail chest atau open
pneumothorax, hematom pada dinding dada, distensi vena jugularis. Palpasi pada setiap kosta
dan klavikula untuk menilai adanya fraktur. Auskultasi bising napas pada atas toraks untuk
menentukan pneumotoraks dan bagian posterior untuk menilai adanya hemotoraks. Bunyi
jantung yang jauh disertai nadi yang kecil mungkin disebabkan tamponade jantung. Suara napas
yang menurun pada auskultasi dan hipersonor pada perkusi disertai syok mengarahkan pada
pneumotoraks.
f. Regio abdomen
1. Inspeksi
Baju penderita harus dibuka semua. Amati adanya :
a) Hematom, seat belt sign, vulnus ekskoriatum, vulnus laseratum, vulnus puctum, benda asing
yang tertancap
b) Keluarnya isi perut
c) Distensi abdomen, yang biasanya berhubungan dengan pneumoperitoneum, dilatasi gaster, atau
ileus akibat iritasi peritoneal.
d) Kebiruan pada regio flank, punggung bagian bawah ( grey turner sign) menandakan adanya
perdarahan retroperitoneal yang melibatkan ginjal, pankreas, atau fraktur pelvis.
e) Kebiruan disekitar umbilikus (cullen sign) menandakan adanya perdarahan pankreas.
2. Auskultasi
Penurunan peristaltik usus dapat berasal dari adanya peritonitis kimiawi karena perdarahan atau
ruptur organ berongga. Cedera pada struktur yang berdekatan seperti tulang iga, tulang belakang
atau tulang panggul juga dapat mengakibatkan ileus meskipun tidak ada cedera intraabdomen
sehingga tidak ada peristaltik usus bukan berarti pasti ada cedera intraabdomen. Adanya
peristaltik usus pada toraks menandakan adanya cedera pada diafragma.
3. Perkusi
Perkusi pada dinding abdomen menyebabkan pergerakan peritoneum dan dapat menunjukkan
peritonitis. Perkusi timpani pada kuadran atas akibat dari dilatasi lambung akut atau bunyi redup
bila ada hemoperitoneum.
4. Palpasi
Kecenderungan mengeraskan dinding abdomen (voluntary guarding) dapat menyulitkan
pemeriksaan. Sebaliknya, defans muskular (voluntary guarding) merupakan tanda iritasi
peritoneum.palpasi dilakukan selain menilai haltersebut juga untuk mengetahui adanya nyeri
tekan superfisial,nyeri tekan dalam. Nyeri tekan lepas menandakan peritonitis akibat darah atau
isis usus.
Pada kasus trauma tumpul ini, perlu curiga akan adanya fraktur pelvis. Oleh karena itu, untuk
menilai stabilisasi pelvis dengan cara menekankan tangan pada tulang-tulang iliakauntuk
membangkitkan gerakan abnormal atau nyeri tulang.
g. Regio penis, perineum, rektum dan vagina
Adanya darah pada meatus uretra menyebabkan dugaan kuat robeknya uretra. Adanya ekimosis
atau hematom pada inspeksi skrotum dan perineum dapat diduga kuat robeknya uretra.
h. Regio muskuloskeletal
i. Pemeriksaan khusus neurologis
Pemeriksaan diagnostik pada trauma tumpul abdomen
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan hematokrit adalah studi darah utama nilai dalam evaluasi awal pasien
dengan trauma abdomen . Jumlah leukosit, kreatinin serum , glukosa , serum amilase/ lipase, dan
penentuan serum elektrolit sering diperoleh untuk referensi tetapi biasanya memiliki sedikit nilai
pada periode manajemen langsung, tapi sangat penting untuk penilaian serial. Diagnosis
perdarahan masif biasanya jelas dari parameter hemodinamik, dan hematokrit hanya menegaskan
diagnosis. Anemia delusional iatrogenik umum terjadi, dengan adanya stabilitas hemodinamik,
ditoleransi dengan baik. Hematokrit serial yang mengalami penurunan terus-menerus
mengidentifikasi perdarahan yang sedang berlangsung dan membutuhkan intervensi operasi
segera. Urinalisis menegaskan kehadiran hematuria mikroskopik. Untuk trauma tumpul, evaluasi
radiografi ( biasanya dengan CT ) dari ginjal dan kandung kemih harus dimulai pada pasien
dengan gross hematuria atau hematuria mikroskopik dan syok (tekanan darah sistolik < 90 mm
Hg pada orang dewasa) pada setiap titik selama pra-rumah sakit atau instalasi gawat darurat.
Serum amilase tidak sensitif dan spesifik sebagai penanda untuk cedera pankreas. Cedera pada
kepala dan wajah sering menyebabkan peningkatan konsentrasi amilase plasma. Tingkat lipase
serum tidak meningkat pada trauma wajah dan mungkin lebih spesifik daripada tingkat amilase.
Sensitivitas dan spesifisitas kadar lipase , bagaimanapun, terutama pada periode post injury awal
masih relatif rendah.
Bilamana ada bukti awal ataupun bukti yang jelas yang menunjukan pasien harus segera
ditransfer, pemeriksaan yang memerlukan waktu banyak tidak perlu dilakukan. Pemeriksaan
seperti ini antara lain pemeriksaan rontgen foto dengan kontras untuk gastrointestinal maupun
urologi ,DPI,maupun CT scan (lihat tabel 1 , DPL Vs FAST Vs CT scan pada trauma tumpul).
Studi radiologis yang pernting untuk evaluasi trauma abdomen adalah rontgen dada, uretrografi
retrograde, sistografi, CT scan, USG, dan angiografi. Selain itu, semua luka dari trauma tembus
harus dievaluasi dengan radiograf polos dengan penggunaan penanda radiodense di situs luka
untuk memungkinkan evaluasi dari lintasan rudal . Pada trauma tumpul, foto anteroposterior
panggul dapat menggambarkan patah tulang panggul yang tidak terdeteksi pada pemeriksaan
fisik. Fraktur transversal dari vertebra hrus meningkatkan pencarian cedera usus tumpul serius.
Nilai foto polos abdomen setelah trauma tumpul sangat terbatas dan tidak secara rutin diperoleh .
Nilai yang lebih besar adalah pemeriksaan CT scan, USG, dan angiografi. CT memiliki nilai
nyata dalam penilaian yang akurat tentang cedera organ padat, terutama dari hati, ginjal, dan
limpa, CT kontras memiliki akurasi yang besar dalam penggambaran perdarahan intraabdominal.
Keakuratan CT scan dalam evaluasi cedera viskus berongga agak lebih terbatas, namun
perbaikan teknologi CT telah menigkatkan sensitivitas CT dalam mendeteksi tanda-tanda yang
lebih halus dari cedera pada usus . CT juga sangat spesifik dalam evaluasi cedera retroperitoneal
dan merupakan studi diagnostik yang paling berguna dan informatif untuk pasien dengan trauma
abdomen.
Pasien dengan tanda-tanda peritonitis atau ketidakstabilan hemodinamik setelah trauma tembus
jelas bukan merupakan kandidat untuk diagnostik CT scan, juga setiap pasien trauma dengan
ketidakstabilan hemodinamik. Angiografi dicadangkan untuk situasi tertentu, seperti yang
dicurigai cedera aorta atau arteri ginjal , atau perdarahan yang sedang berlangsung dari panggul,
hati, limpa atau cedera . Pemeriksaan ini tidak dianggap sebagai penyelidikan screening awal .
Laparoskopi telah digunakan untuk diagnosis dan mengobati pasien trauma. Meskipun terbatas
pada evaluasi diafragma pada trauma tumpul, setelah menembus trauma laparoskopi sangat
membantu bila tidak jelas apakah peritoneum telah ditembus. Pada pasien yang penetrasi
peritoneal terlihat, penggunaan laparoskopi untuk lebih mengeksplorasi rongga peritoneal dan
perbaikan cedera lebih kontroversial. Kecukupan eksplorasi perut, khususnya pemeriksaan usus
dan retroperitoneum telah dipertanyakan, dan perbaikan cedera besar melalui laparoskop bukan
merupakan pilihan yang baik. Pada pasien dengan luka dada bagian bawah, laparoskopi dapat
mengidentifikasi baik penetrasi peritoneal dan cedera diafragma.
Cedera diafragma terisolasi atau berhubungan nonbleeding laserasi hati adalah salah satu daerah
di mana perbaikan diafragma melalui laparoskop telah terbukti
layak . Dari catatan, saat laparoskopi digunakan pada pasien dengan potensi cedera diafragma,
tekanan positif di rongga peritoneal dapat menyebabkan tension pneumothorax jika dada tidak
cukup vented .
X-ray toraks berguna untuk evaluasi trauma tumpul abdomen karena beberapa alasan. Pertama,
dapat mengidentifikasi adanya fraktur iga bawah. Bila hal tersebut ditemukan, tingkat kecurigaan
terjadinya cedera abdominal terutama cedera hepar dan lien meningkat dan perlu dilakukan
evaluasi lebih lanjut dengan CT scan abdomen-pelvis. Kedua, dapat membantu diagnosis cedera
diafragma. Pada keadaan ini, x-ray toraks pertama kali adalah abnormal pada 85% kasus dan
diagnostik pada 27% kasus.3 Ketiga, dapat menemukan adanya pneumoperitoneum yang terjadi
akibat perforasi hollow viscus. Sama dengan fraktur iga bawah, fraktur pelvis yang ditemukan
pada x-ray pelvis dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya cedera intra-abdominal sehingga
evaluasi lebih lanjut perlu dilakukan dengan CT scan abdomen-pelvis. Pyelografi intravena dan
sistogram retrograd merupakan tes yang berguna dalam evaluasi penderita dengan hematuria.3,4
Pemeriksaan Focused Assessment with Sonography for Trauma (FAST) telah diterima secara
luas sebagai alat untuk evaluasi trauma abdomen. Alatnya yang portabel sehingga dapat
dilakukan di area resusitasi atau emergensi tanpa menunda tindakan resusitasi, kecepatannya,
sifatnya yang non-invasif, dan dapat dilakukan berulang kali menyebabkan FAST merupakan
studi diagnostik yang ideal. Namun tetap didapatkan beberapa kekurangan, terutama karena
ketergantungannya terhadap jumlah koleksi cairan bebas intraperitoneal untuk mendapatkan hasil
pemeriksaan yang positif. Cedera hollow viscus dan retroperitoneal sulit dideteksi dengan
pemeriksaan ini. Mengenai keuntungan dan kerugian FAST dapat dilihat pada tabel berikut ini.4
KEUNTUNGAN KERUGIAN
Dapat dilakukan pada evaluasi awal Negatif palsu : cedera retroperitoneal dan
hollow viscus
Murah
Ambang minimun jumlah hemoperitoneum yang dapat terdeteksi masih dipertanyakan.
Kawaguchi et al dapat mendeteksi sampai 70 cc, sedangkan Tilir et al mengemukakan bahwa 30
cc adalah jumlah minimum yang diperlukan untuk dapat terdeteksi dengan USG. Mereka juga
menyimpulkan strip kecil anekoik di Morison pouch menggambarkan cairan sebanyak kurang
lebih 250 cc, sementara strip selebar 0,5 dan 1 cm menggambarkan koleksi cairan sebesar 500 cc
dan 1 liter. 4
Beberapa penelitian akhir-akhir ini mempertanyakan keandalan FAST pada evaluasi trauma
tumpul abdomen. Stengel et al melakukan meta-analisis dari 30 penelitian prospektif dengan
kesimpulan pemeriksaan FAST memiliki sensitifitas rendah yang tidak dapat diterima
(unacceptably) untuk mendeteksi cairan intra-peritoneal dan cedera organ padat. Mereka
merekomendasikan penambahan studi diagnostik lain dilakukan pada penderita yang secara
klinis dicurigai trauma tumpul abdomen, apapun hasil temuan pemeriksaan FAST.3 Literatur lain
menunjukkan sensitifitas berkisar antara 78-99% dan spesifisitas berkisar antara 93-100%.2,3
Rozycki et al dari studinya yang melibatkan 1540 penderita melaporkan sensitifitas dan
spesifisitas sebesar 100% pada penderita trauma tumpul abdomen.4
Ultrasound dapat digunakan sebagai alat diagnostik bedside dikamar resusitasi ,yang secara
bersamaan dengan pelaksanaan beberapa prosedur diagnostik maupun terapeutik lainnya.
Indikasi pemakainya sama dengan indikasi DPL. Faktor yang mempengaruhi penggunaannya
antara lain adalah obesitas , adanya udara subkutan ataupun bekas operasi abdomen sebelumnya.
Scaning dengan ultrasound bisa dengan cepat dilakukan untuk mendeteksi hemoperitoneum.
Dicari scan dari kantung perikard ,fossa hepatorenalis ,fossa splenorenalis ataupun cavum
douglas. Sesudah scan pertama ,30 menit berikutnya idealnya dilakukan lagi scan kedua atau
scan kontrol scan kontrol ini gunanya adalah untuk melihat pertambahan hemoperitoneum
pada pasien dengan perdarahan yang berangsur-angsur.
Indikasi dan kontraindikasi pemeriksaan CT scan abdomen dapat dilihat pada tabel berikut
ini. Kekurangannya adalah penderita yang harus dibawa ke ruangan CT scan dan biayanya mahal
dibandingkan dengan modalitas lainnya. CT scan pada cedera organ padat digunakan untuk
menentukan derajat cedera dan evaluasi ekstravasasi kontras. 4
Tabel 4. Indikasi dan kontraindikasi CT scan abdomen4
INDIKASI KONTRAINDIKASI
CT abdomen dan pelvis adalah studi diagnostik utama pada trauma abdomen dengan
hemodinamik stabil. Sensitifitasnya berkisar antara 92% dan 97,6% dengan spesifitas yang tinggi
sekitar 98,7%.1 CT dapat menyediakan informasi yang berguna berkaitan dengan cedera organ
spesifik dan lebih unggul dalam hal mendiagnosis cedera retroperitoneal dan pelvis. Namun, CT
kurang sempurna dalam mengidentifikasi cedera hollow viscus sehingga bila timbul kecurigaan
terjadinya cedera tersebut, DPL dapat dilakukan sebagai pemeriksaan tambahan. 4
Root et al pada tahun 1965 memperkenalkan DPL sebagai tes diagnostik yang cepat,
akurat, dan murah untuk deteksi perdarahan intra-peritoneal pada trauma abdomen. Kerugiannya
adalah bersifat invasif, risiko komplikasi dibandingkan tindakan diagnostik non-invasif, tidak
dapat mendeteksi cedera yang signifikan (ruptur diafragma, hematom retroperitoneal, pankreas,
renal, duodenal, dan vesica urinaria), angka laparotomi non-terapetik yang tinggi, dan spesifitas
yang rendah. Dapat juga didapatkan positif palsu bila sumber perdarahan adalah imbibisi dari
hematom retroperitoneal atau dinding abdomen. Adapun indikasi dan kontraindikasi DPL dapat
dilihat pada tabel berikut ini. 7
Kriteria untuk DPL positif pada trauma tumpul abdomen tercantum pada tabel 3. Pada penderita
dengan hemodinamik tidak stabil, DPL positif mengindikasikan perlunya tindakan laparotomi
segera. Namun pada penderita dengan hemodinamik stabil, kriteria DPL terlalu sensitif dan non-
spesifik. Oleh karena itu, bila DPL positif berdasarkan aspirasi darah gross atau hitung sel darah
merah (SDM) pada populasi penderita dengan hemodinamik stabil, tidak mutlak artinya
diperlukan tindakan laparotomi segera untuk menghindari dilakukannya eksplorasi yang non-
terapetik.3,7
ATLS juga menyebutkan indikasi DPL yaitu pasien hemodinamik tidak stabil dengan:
Juga diindikasikan pada pasien dengan hemodinamik stabil bila dijumpai hal seperti diatas, dan
disini tidak kita miliki fasilitas USG ataupun CT scan.
Beberapa penelitian menunjukan tingkat akurasi sebesar 98-100%, sensitifitas sebesar 98-100%,
dan spesifisitas sebesar 90-96%. Pemeriksaan CT scan abdomen-pelvis lebih lanjut dapat
meningkatkan spesifitas untuk menentukan cedera yang memerlukan tindakan pembedahan. 7
Adanya aspirasi darah segar ,isi gastrointestinal ,sarat sayuran atau empedu yang keluar,melalui
tube DPL pada pasien dengan hemodinamik yang abnormal menunjukan indikasi kuat untuk
laparatomi . bila tidak ada darah segar (>10 cc) ataupun cairan feces , dilakukan lavase dengan
1000 cc ringer laktat (pada anak-anak 10cc/kg) .sesudah cairan tercampur dengan cara menekan
maupun melakukan log-roll , cairan di tempung kembali dan diperiksa dilaboratorium untuk
melihat isi gastrointestinal ,serat maupun empedu.
Laparoskopi
Laparoskopi diagnostik pada trauma tumpul abdomen merupakan ilmu yang masih dalam
perkembangan dan masih terbatas penggunaannya. Bila dilakukan secara selektif pada penderita
dengan hemodinamik stabil, laparoskopi merupakan tindakan yang aman dan secara teknis
memungkinkan. Chol et al melaporkan terjadi pengurangan angka laparotomi negatif atau non-
terapetik dengan laparoskopi diagnostik tersebut.3 Namun laparoskopi adalah tindakan yang
bersifat invasif serta mahal dan nampaknya saat ini tidak lebih unggul dari modalitas lain dalam
penentuan keputusan.4
PENATALAKSANAAN NON-OPERATIF
Merupakan pilihan pertama pada penderita dengan hemodinamik stabil. Angka keberhasilan
yang tinggi tidak tergantung pada derajat keparahan berdasarkan CT scan, atau derajat
hemoperitoneum yang terjadi.3 Keuntungan dari penatalaksanaan non-operatif adalah
menghindari terjadinya laparotomi non-terapetik beserta komplikasinya, mengurangi kebutuhan
transfusi, dan komplikasi intra-abdominal yang lebih sedikit.1 Belum ada literatur yang
menegaskan bahwa penatalaksanaan non-operatif meningkatan risiko tidak terdiagnosisnya
cedera intra-abdominal lain yang berhubungan.3
CT abdomen merupakan studi yang paling sensitif dan spesifik dalam mengidentifikasi dan
menentukan derajat kerusakan hepar dan lien. Adanya kontras yang bebas atau perdarahan yang
sedang berlangsung merupakan indikasi untuk angiografi dan embolisasi.3
Penatalaksanaan non-operatif meliputi observasi tanda vital, pemeriksaan fisik, dan nilai
laboratorium yang dilakukan secara serial. Bila salah satu memburuk, maka hal tersebut
merupakan indikasi untuk intervensi pembedahan. Tirah baring total atau pembatasan aktifitas
dan CT scan serial telah dibantah kegunaannya oleh beberapa literatur.1 Waktu untuk kembali ke
aktifitas normal tergantung pada luas dan derajat cedera.3
PENATALAKSANAAN OPERATIF
Apapun mekanisme traumanya, prinsip utama pada operatif trauma adalah pemaparan (exposure)
dan hemostasis, terutama pada trauma hepar. Setelah dilakukan mobilisasi hepar yang adekuat,
laserasi simpel dapat ditangani dengan penekanan langsung, elektrokauterisasi, koagulasi sinar
argon, dan agen hemostatik topikal.3 Teknik finger fracture dengan ligasi langsung pada
pembuluh darah yang ruptur juga dapat dilakukan.
Pada cedera yang berat akan lebih sulit untuk mencapai hemostasis. Jika teknik yang telah
disebutkan gagal, dilakukan kompresi portal triad (the Pringle maneuver) yang akan mengontrol
perdarahan yang berasal dari vena porta dan sistem arterial hepatik. Jika manuver tersebut
efektif, pada laserasi dapat dilakukan finger fractionation dan ligasi langsung pembuluh darah
yang ruptur. Setelah hemostasis tercapai, dilakukan tampon pada laserasi dengan menggunakan
flap omental. Jahitan-dalam hepar sebaiknya tidak dilakukan lagi.3
Bila manuver Pringle tersebut gagal, perlu dicurigai adanya cedera vena hepatik atau cedera vena
cava inferior retrohepatik. Pada keadaan ini, mendapatkan kontrol vaskuler adalah sangat
menantang. Eksklusi hepatik total atau atriocaval shunt merupakan pilihan yang tidak dapat
dianggap mudah. Pada cedera seperti ini perlu dipertimbangkan lebih dalam untuk melakukan
teknik damage control, yang meliputi abdominal packing dan penutupan abdomen sementara.3,4
Penggunaan angiografi pasca-bedah dan embolisasi dapat membantu. Pada penderita dengan
ekstravasasi arterial aktif, beberapa metode embolisasi dapat membantu menghentikan sumber
perdarahan. Reseksi hepar dicadangkan untuk operasi selanjutnya ketika debridement jaringan
hepar yang mati dilakukan. 3,4
Palpasi. Peritoneum parietal dipersarafi oleh nervus somatik dan viseral yang
sangat sensitif. Bagian anterior dari peritoneum parietale adalah yang paling
sensitif. Palpasi harus selalu dilakukan di bagian lain dari abdomen yang
tidak dikeluhkan nyeri. Hal ini berguna sebagai pembanding antara bagian
yang tidak nyeri dengan bagian yang nyeri. Nyeri tekan dan defans muskular
(rigidity) menunjukkan adanya proses inflamasi yang mengenai peritoneum
parietale (nyeri somatik). Defans yang murni adalah proses refleks otot akan
dirasakan pada inspirasi dan ekspirasi berupa reaksi kontraksi otot terhadap
rangsangan tekanan. Pada saat pemeriksaan penderita peritonitis,
ditemukan nyeri tekan setempat. Otot dinding perut menunjukkan defans
muskular secara refleks untuk melindungi bagian yang meradang dan
9
menghindari gerakan atau tekanan setempat.
Fisiologi
Rongga thorax dapat dibandingkan dengan suatu pompa tiup hisap yang memakai pegas,
artinya bahwa gerakan inspirasi atau tarik napas yang bekerja aktif karena kontraksi otot
intercostals menyebabkan rongga thorax mengembang, sedangkan tekanan negatif yang
meningkat dalam rongga thorax menyebabkan mengalirnya udara melalui saluran napas atas ke
dalam paru. Sebaliknya, mekanisme ekspirasi atau keluar napas, bekerja pasif karena
elastisitas/daya lentur jaringan paru ditambah relaksasi otot intercostals, menekan rongga thorax
hingga mengecilkan volumenya, mengakibatkan udara keluar melalui jalan napas.
Adapun fungsi dari pernapasan adalah:
1. Ventilasi: memasukkan/mengeluarkan udara melalui jalan napas ke dalam/dari paru dengan
cara inspirasi dan ekspirasi tadi.
2. Distribusi: menyebarkan/mengalirkan udara tersebut merata ke seluruh sistem jalan napas
sampai alveoli
3. Difusi: oksigen dan CO2 bertukar melaluimembran semipermeabel pada dinding alveoli
(pertukaran gas)
4. Perfusi: Darah arterial di kapiler-kapiler meratakan pembagian muatan oksigennya dan darah
venous cukup tersedia untuk digantikan isinya dengan muatan oksigen yang cukup untuk
menghidupi jaringan tubuh.
Setiap kegagalan atau hambatan dari rantai mekanisme tersebut akan menimbulkan
gangguan pada fungsi pernapasan, berarti berakibat kurangnya oksigenasi jaringan tubuh. Hal ini
misalnya terdapat pada suatu trauma pada thorax. Selain itu maka kelainan-kelainan dari dinding
thorax menyebabkan terganggunya mekanisme inspirasi/ekspirasi, kelainan-kelainan dalam
rongga thorax, terutama kelainan jaringan paru, selain menyebabkan berkurangnya elastisitas
paru, juga dapat menimbulkan gangguan pada salah satu/semua fungsi-fungsi pernapasan
tersebut.
Definisi
Trauma thorax adalah luka atau cedera yang mengenai rongga thorax yang dapat
menyebabkan kerusakan pada dinding thorax ataupun isi dari cavum thorax yang disebabkan
oleh benda tajam atau bennda tumpul dan dapat menyebabkan keadaan gawat thorax akut.
Trauma thorax atau cedera dada dapat menyebabkan kerusakan dinding dada, paru, jantung,
pembuluh darah besar serta organ disekitarnya termasuk viscera (berbagai organ dalam besar di
dalam rongga dada).
Insiden
Secara keseluruhan angka mortalitas trauma thorax adalah 10 %, dimana trauma thorax
menyebabkan satu dari empat kematian karena trauma yang terjadi di Amerika Utara. Banyak
penderita meninggal setelah sampai di rumah sakit dan banyak kematian ini seharusnya dapat
dicegah dengan meningkatkan kemampuan diagnostik dan terapi. Kurang dari 10 % dari trauma
tumpul thorax dan hanya 15 30 % dari trauma tembus thorax yang membutuhkan tindakan
torakotomi. Mayoritas kasus trauma thorax dapat diatasi dengan tindakan teknik prosedur yang
akan diperoleh oleh dokter yang mengikuti suatu kursus penyelamatan kasus trauma thorax.
Etiologi
1. Trauma thorax kebanyakan disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas yang umumnya berupa
trauma tumpul dinding thorax.
2. Dapat juga disebabkan oleh karena trauma tajam melalui dinding thorax.
Patofisiologi
Akibat dari trauma thorax atau dada yang terjadi, menyebabkan gagal ventilasi (keluar
masuknya udara), kegagalan pertukaran gas pada tingkat alveolar (organ kecil pada paru yang
mirip kantong), kegagalan sirkulasi karena perubahan hemodinamik (sirkulasi darah). Ketiga
faktor ini dapat menyebabkan hipoksia (kekurangan suplai O2) seluler yang berkelanjutan pada
hipoksia jaringan. Hipoksia pada tingkat jaringan dapat menyebabkan ransangan terhadap
cytokines yang dapat memacu terjadinya Adult Respiratory Distress Syndrome (ARDS),
Systemic Inflamation Response Syndrome (SIRS), dan sepsis. Hipoksia, hiperkarbia, dan
asidosis sering disebabkan oleh trauma thorax. Hipokasia jaringan merupakan akibat dari tidak
adekuatnya pengangkutan oksigen ke jaringan oleh karena hipovolemia ( kehilangan darah ),
pulmonary ventilation/perfusion mismatch ( contoh kontusio, hematoma, kolaps alveolus) dan
perubahan dalam tekanan intrathorax ( contoh : tension pneumothorax, pneumothorax terbuka ).
Hiperkarbia lebih sering disebabkan oleh tidak adekuatnya ventilasi akibat perubahan tekanan
intrathorax atau penurunan tingkat kesadaran. Asidosis metabolik disebabkan oleh hipoperfusi
dari jaringan (syok).
Kelainan Akibat Trauma Thorax
A. Trauma dinding thorax dan paru
1. Fraktur Iga
Merupakan komponen dari dinding thorax yang paling sering mengalami trauma,
perlukaan pada iga sering bermakna, Nyeri pada pergerakan akibat terbidainya iga terhadap
dinding thorax secara keseluruhan menyebabkan gangguan ventilasi. Batuk yang tidak efektif
untuk mengeluarkan sekret dapat mengakibatkan insiden atelaktasis dan pneumonia meningkat
secara bermakna dan disertai timbulnya penyakit paru paru. Fraktur sternum dan skapula
secara umum disebabkan oleh benturan langsung, trauma tumpul jantung harus selalu
dipertimbangkan bila ada fraktur sternum. Yang paling sering mengalami trauma adalah iga
begian tengah ( iga ke 4 sampai ke 9 ).
Kompresi anteroposterior dari rongga thorax akan menyebabkan lengkung iga akan lebih
melengkung lagi kea rah lateral dengan akibat timbulnya fraktur pada titik tengah (bagian lateral)
iga. Cedera langsung pada iga akan cenderung menyebabkan fraktur dengan pendorongan
ujung-ujung fraktur masuk ke dalam rongga pleura dan potensial menyebabkan cedera
intratorakal seperti pneumothorax. Patah tulang iga terbawah (10 sampai 12) harus dicurigai
adanya cedera hepar atau lien. Pada penderita dengan cedera iga akan ditemukan nyeri tekan
pada palpasi dan krepitasi. Jika teraba atau terlihat adanyadeformitas harus curiga fraktur iga.
Foto Thoraks harus dibuat untuk menghilangkan kemungkinan cedera intratorakal dan bukan
untuk mengidentifikasi fraktur iga. Plester iga, pengikat iga dan bidai eksternal merupakan
kontra indikasi. Yang penting adalah menghilangkan rasa sakit agar penderita dapat bernafas
dengan baik. Blok interkostal, anestesi epidural dan analgesi sistemik dapat dipertimbangkan
untuk mengatasi nyeri.
2. Flail Chest
Terjadi ketika segmen dinding dada tidak lagi mempunyai kontinuitas dengan
keseluruhan dinding dada. Keadaan tersebut terjadi karena fraktur iga multipel pada dua atau
lebih tulang iga dengan dua atau lebih garis fraktur. Adanya segmen flail chest (segmen
mengambang) menyebabkan gangguan pada pergerakan dinding dada. Jika kerusakan parenkim
paru di bawahnya terjadi sesuai dengan kerusakan pada tulang maka akan menyebabkan hipoksia
yang serius. Kesulitan utama pada kelainan Flail Chest yaitu trauma pada parenkim paru yang
mungkin terjadi (kontusio paru). Walaupun ketidak-stabilan dinding dada menimbulkan gerakan
paradoksal dari dinding dada pada inspirasi dan ekspirasi, defek ini sendiri saja tidak akan
menyebabkan hipoksia. Penyebab timbulnya hipoksia pada penderita ini terutama disebabkan
nyeri yang mengakibatkan gerakan dinding dada yang tertahan dan trauma jaringan parunya.
Flail Chest mungkin tidak terlihat pada awalnya, karena splinting (terbelat) dengan
dinding dada. Gerakan pernafasan menjadi buruk dan toraks bergerak secara asimetris dan tidak
terkoordinasi. Palpasi gerakan pernafasan yang abnormal dan krepitasi iga atau fraktur tulang
rawan membantu diagnosis. Dengan foto toraks akan lebih jelas karena akan terlihat fraktur iga
yang multipel, akan tetapi terpisahnya sendi costochondral tidak akan terlihat. Pemeriksaan
analisis gas darah yaitu adanya hipoksia akibat kegagalan pernafasan, juga membantu dalam
diagnosis Flail Chest. Terapi awal yang diberikan termasuk pemberian ventilasi adekuat, oksigen
yang dilembabkan dan resusitasi cairan. Bila tidak ditemukan syok maka pemberian cairan
kristoloid intravena harus lebih berhati-hati untuk mencegah kelebihan pemberian cairan. Bila
ada kerusakan parenkim paru pada Flail Chest, maka akan sangat sensitif terhadap kekurangan
ataupun kelebihan resusitasi cairan. Pengukuran yang lebih spesifik harus dilakukan agar
pemberian cairan benar-benar optimal.
Terapi definitif ditujukan untuk mengembangkan paru-paru dan berupa oksigenasi yang
cukup serta pemberian cairan dan analgesia untuk memperbaiki ventilasi. Tidak semua penderita
membutuhkan penggunaan ventilator. Pencegahan hipoksia merupakan hal penting pada
penderita trauma, dan intubasi serta ventilasi perlu diberikan untuk waktu singkat sampai
diagnosis dan pola trauma yang terjadi pada penderita tersebut ditemukan secara lengkap.
Penilaian hati-hati dari frekuensi pernafasan, tekanan oksigen arterial dan penilaian kinerja
pernafasan akan memberikan suatu indikasi timing / waktu untuk melakukan intubasi dan
ventilasi.
3. Kontusio Paru
Kontusio paru adalah kelainan yang paling sering ditemukan pada golongan potentially
lethal chest injury. Kegagalan bernafas dapat timbul perlahan dan berkembang sesuai waktu,
tidak langsung terjadi setelah kejadian, sehingga rencana penanganan definitif dapat berubah
berdasarkan perubahan waktu. Monitoring harus ketat dan berhati-hati, juga diperlukan evaluasi
penderita yang berulang-ulang. Penderita dengan hipoksia bermakna (PaO2 < 65 mmHg atau 8,6
kPa dalam udara ruangan, SaO2 < 90 %) harus dilakukan intubasi dan diberikan bantuan
ventilasi pada jam-jam pertama setelah trauma.
Kondisi medik yang berhubungan dengan kontusio paru seperti penyakit paru kronis dan
gagal ginjal menambah indikasi untuk melakukan intubasi lebih awal dan ventilasi mekanik.
Beberapa penderita dengan kondisi stabil dapat ditangani secara selektif tanpa intubasi
endotrakeal atau ventilasi mekanik. Monitoring dengan pulse oximeter, pemeriksaan analisis gas
darah, monitoring EKG dan perlengkapan alat bantu pernafasan diperlukan untuk penanganan
yang optimal. Jika kondisi penderita memburuk dan perlu ditransfer maka harus dilakukan
intubasi dan ventilasi terlebih dahulu.
4. Pneumothoraks Sederhana
Pneumotoraks disebabkan masuknya udara pada ruang potensial antara pleura viseral dan
parietal. Dislokasi fraktur vertebra torakal juga dapat ditemukan bersama dengan pneumotoraks.
Laserasi paru merupakan penyebab tersering dari pnerumotoraks akibat trauma tumpul. Dalam
keadaan normal rongga toraks dipenuhi oleh paru-paru yang pengembangannya sampai dinding
dada oleh karena adanya tegangan permukaan antara kedua permukaan pleura. Adanya udara di
dalam rongga pleura akan menyebabkan kolapsnya jaringan paru. Gangguan ventilasi-perfusi
terjadi karena darah menuju paru yang kolaps tidak mengalami ventilasi sehingga tidak ada
oksigenasi.
Ketika pneumotoraks terjadi, suara nafas menurun pada sisi yang terkena dan pada
perkusi hipesonor. Foto toraks pada saat ekspirasi membantu menegakkan diagnosis. Terapi
terbaik pada pneumotoraks adalah dengan pemasangan chest tube pada sela iga ke 4 atau ke 5,
anterior dari garis mid-aksilaris. Bila pneumotoraks hanya dilakukan observasi atau aspirasi saja,
maka akan mengandung resiko. Sebuah selang dada dipasang dan dihubungkan dengan WSD
dengan atau tanpa penghisap, dan foto toraks dilakukan untuk mengkonfirmasi pengembangan
kembali paru-paru. Anestesi umum atau ventilasi dengan tekanan positif tidak boleh diberikan
pada penderita dengan pneumotoraks traumatik atau pada penderita yang mempunyai resiko
terjadinya pneumotoraks intraoperatif yang tidak terduga sebelumnya, sampai dipasang chest
tube. Pneumotoraks sederhana dapat menjadi life thereatening tension pneumothorax, terutama
jika awalnya tidak diketahui dan ventilasi dengan tekanan positif diberikan. Toraks penderita
harus dikompresi sebelum penderita ditransportasi/rujuk.
6. Tension Pneumothorax
Tension pneumorothorax berkembang ketika terjadi one-way-valve (fenomena ventil),
kebocoran udara yang berasal dari paru-paru atau melalui dinding dada masuk ke dalam rongga
pleura dan tidak dapat keluar lagi (one-way-valve). Akibat udara yang masuk ke dalam rongga
pleura yang tidak dapat keluar lagi, maka tekanan di intrapleural akan meninggi, paru-paru
menjadi kolaps, mediastinum terdorong ke sisi berlawanan dan menghambat pengembalian darah
vena ke jantung (venous return), serta akan menekan paru kontralateral.
Penyebab tersering dari tension pneumothorax adalah komplikasi penggunaan ventilasi
mekanik (ventilator) dengan ventilasi tekanan positif pada penderita dengan kerusakan pada
pleura viseral. Tension pneumothorax dapat timbul sebagai komplikasi dari penumotoraks
sederhana akibat trauma toraks tembus atau tajam dengan perlukaan parenkim paru tanpa
robekan atau setelah salah arah pada pemasangan kateter subklavia atau vena jugularis interna.
Kadangkala defek atau perlukaan pada dinding dada juga dapat menyebabkan tension
pneumothorax, jika salah cara menutup defek atau luka tersebut dengan pembalut (occhusive
dressings) yang kemudian akan menimbulkan mekanisme flap-valve. Tension pneumothorax
juga dapat terjadi pada fraktur tulang belakang toraks yang mengalami pergeseran (displaced
thoracic spine fractures).
Diagnosis tension pneumotorax ditegakkan berdasarkan gejala klinis, dan tetapi tidak
boleh terlambat oleh karena menunggu konfirmasi radiologi. Tension pneumothorax ditandai
dengan gejala nyeri dada, sesak, distres pernafasan, takikardi, hipotensi, deviasi trakes, hilangnya
suara nafas pada satu sisi dan distensi vena leher. Sianosis merupakan manifestasi lanjut. Karena
ada kesamaan gejala antara tension pneumothorax dan tamponade jantung maka sering
membingungkan pada awalnya tetapi perkusi yang hipersonor dan hilangnya suara nafas pada
hemitoraks yang terkena pada tension pneumothorax dapat membedakan keduanya.
Tension pneumothorax membutuhkan dekompresi segera dan penanggulangan awal
dengan cepat berupa insersi jarum yang berukuran besar pada sela iga dua garis midclavicular
pada hemitoraks yang mengalami kelainan. Tindakan ini akan mengubah tension pneumothorax
menjadi pneumothoraks sederhana (catatan : kemungkinan terjadi pneumotoraks yang bertambah
akibat tertusuk jarum). Evaluasi ulang selalu diperlukan. Tetapi definitif selalu dibutuhkan
dengan pemsangan selang dada (chest tube) pada sela iga ke 5 (garis putting susu) diantara garis
anterior dan midaxilaris.
7. Hemothorax
Penyebab utama dari hemotoraks adalah laserasi paru atau laserasi dari pembuluh darah
interkostal atau arteri mamaria internal yang disebabkan oleh trauma tajam atau trauma tumpul.
Dislokasi fraktur dari vertebra torakal juga dapat menyebabkan terjadinya hemotoraks. Biasanya
perdarahan berhenti spontan dan tidak memerlukan intervensi operasi. Hemotoraks akut yang
cukup banyak sehingga terlihat pada foto toraks, sebaiknya diterapi dengan selang dada kaliber
besar. Selang dada tersebut akan mengeluarkan darah dari rongga pleura, mengurangi resiko
terbentuknya bekuan darah di dalam rongga pleura, dan dapat dipakai dalam memonitor
kehilangan darah selanjutnya. Evakuasi darah atau cairan juga memungkinkan dilakukannya
penilaian terhadap kemungkinan terjadinya ruptur diafragma traumatik.
Walaupun banyak faktor yang berperan dalam memutuskan perlunya indikasi operasi
pada penderita hemotoraks, status fisiologi dan volume darah yang kelura dari selang dada
merupakan faktor utama. Sebagai patokan bila darah yang dikeluarkan secara cepat dari selang
dada sebanyak 1.500 ml, atau bila darah yang keluar lebih dari 200 ml tiap jam untuk 2 sampai 4
jam, atau jika membutuhkan transfusi darah terus menerus, eksplorasi bedah herus
dipertimbangkan.
8. Hemothorax Masif
Hemotoraks masif yaitu terkumpulnya darah dengan cepat lebih dari 1.500 cc di dalam
rongga pleura. Hal ini sering disebabkan oleh luka tembus yang merusak pembuluh darah
sistemik atau pembuluh darah pada hilus paru. Hal ini juga dapat disebabkan trauma tumpul.
Kehilangan darah menyebabkan hipoksia. Vena leher dapat kolaps (flat) akibat adanya
hipovolemia berat, tetapi kadang dapat ditemukan distensi vena leher, jika disertai tension
pneumothorax. Jarang terjadi efek mekanik dari adarah yang terkumpul di intratoraks lalu
mendorong mediastinum sehingga menyebabkan distensi dari pembuluh vena leher. Diagnosis
hemotoraks ditegakkan dengan adanya syok yang disertai suara nafas menghilang dan perkusi
pekak pada sisi dada yang mengalami trauma.
Terapi awal hemotoraks masif adalah dengan penggantian volume darah yang dilakukan
bersamaan dengan dekompresi rongga pleura. Dimulai dengan infus cairan kristaloid secara
cepat dengan jarum besar dan kemudian pmeberian darah dengan golongan spesifik secepatnya.
Darah dari rongga pleura dapat dikumpulkan dalam penampungan yang cocok untuk
autotransfusi. Bersamaan dengan pemberian infus, sebuah selang dada (chest tube) no. 38 French
dipasang setinggi puting susu, anterior dari garis midaksilaris lalu dekompresi rongga pleura
selengkapnya. Ketika kita mencurigai hemotoraks masif pertimbangkan untuk melakukan
autotransfusi. Jika pada awalnya sudah keluar 1.500 ml, kemungkinan besar penderita tersebut
membutuhkan torakotomi segera. Beberapa penderita yang pada awalnya darah yang keluar
kurang dari 1.500 ml, tetapi pendarahan tetap berlangsung. Ini juga mamebutuhkan torakotomi.
Keputusan torakotomi diambil bila didapatkan kehilangan darah terus menerus sebanyak
200 cc/jam dalam waktu 2 sampai 4 jam, tetapi status fisiologi penderita tetap lebih diutamakan.
Transfusi darah diperlukan selama ada indikasi untuk toraktomi. Selama penderita dilakukan
resusitasi, volume darah awal yang dikeluarkan dengan selang dada (chest tube) dan kehilangan
darah selanjutnya harus ditambahkan ke dalam cairan pengganti yang akan diberikan. Warna
darah (arteri atau vena) bukan merupakan indikator yang baik untuk dipakai sebagai dasar
dilakukannya torakotomi. Luka tembus toraks di daerah anterior medial dari garis puting susu
dan luka di daerah posterior, medial dari skapula harus disadari oleh dokter bahwa kemungkinan
dibutuhkan torakotomi, oleh karena kemungkinan melukai pembuluh darah besar, struktur hilus
dan jantung yang potensial menjadi tamponade jantung. Torakotomi harus dilakukan oleh ahli
bedah, atau dokter yang sudah berpengalaman dan sudah mendapat latihan.
2. Kontusio Miocard
Terjadi karena ada pukulan langsung pada sternum dengan diikuti memar jantung dikenal
sebagai kontusio miocard. Manifestasi klinis cedera jantung mungkin bervariasi dari petekie
epikardial superfisialis sampai kerusakan transmural. Disritmia merupakan temuan yang sering
timbul. Pemeriksaan Jantung yaitu dengan Isoenzim CPK merupakan uji diagnosa yang spesifik,
EKG mungkin memperlihatkan perubahan gelombang T ST yang non spesifik atau disritmia.
DAFTAR PUSTAKA
1. Komisi Trauma IKABI. Advanced Trauma Life Support Untuk Dokter. Jakarta : Komisi
Trauma IKABI. 2004
2. Wanek S, Mayberry JC. Blunt thoracic trauma: f lail chest, pulmonary contusion, and blast
injury. Crit Care Clin 20 (2004) 71 81
4. Sjamsuhidajat R, Jong WD. Buku ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC. 2005