Anda di halaman 1dari 71

CASE REPORT SESSION

DIABETIC FOOT

Disusun Oleh:

dr. Elang Muhammad Firdaus

Dokter Pendamping:

dr. Lilis Halim, MARS

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH 45 KUNINGAN

KABUPATEN KUNINGAN

TAHUN 2020

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat
dan karuania-Nya, sehingga saya dapt menyusun laporan presentasi kasus ini
sebagai salah satu tugas Dokter Internship di RSUD 45 Kuningan periode
November 2019-November 2020.
Saya menyadari sepenuhnya bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna
karena keterbatasan pengetahuan, pengalaman, dan waktu. Oleh karena itu kritik
dan saran sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan proses penyelesaian tugas
ini dan mohon maaf atas segala kekurangannya.
Akhirnya saya berharap semoga laporan presentasi kasus ini dapat
bermanfaat khususnya bagi penulis dan bagi semua pihak yang membacanya.

Kuningan, Juni 2020


Penulis

2
BAB I

PENDAHULUAN

Menurut laporan dari beberapa tempat di Indonesia, angka kejadian dan

komplikasi diabetes melitus cukup tersebar sehingga bisa dikatakan

sebagai salah satu masalah nasional yang harus mendapat perhatian, selain itu

sampai saat ini masalah kaki diabetik kurang mendapat perhatian sehingga masih

muncul konsep dasar yang kurang tepat bagi pengelolaan penyakit ini.

Dampaknya banyak penderita yang penyakitnya berkembang menjadi

penderita osteomielitis dan amputasi pada kakinya. Pada negara maju kaki

diabetic memang masih merupakan masalah kesehatan masyarakat, tetapi dengan

kemajuan cara pengelolaan dan adanya klinik kaki diabetik yang aktif maka nasib

penyandang kaki diabetic menjadi lebih baik sehingga angka kematian dan

amputasi menurun 45%-85%.

Kaki diabetik merupakan penyebab tersering dilakukannya amputasi yang

didasari oleh kejadian non traumatik. Risiko amputasi 15-40 kali lebih sering pada

penderita diabetes melitus dibandingkan dengan non diabetes melitus. Kaki

diabetik juga menyebabkan lama rawat penderita diabetes melitus menjadi lebih

lama. Prevalensi penderita diabetes melitus dengan kaki diabetik di

Amerika Serikat sebesar 15-20%, risiko amputasi 15-46 kali lebih tinggi

dibandingkan dengan penderita non diabetes melitus. Prevalensi penderita

diabetes melitus dengan kaki diabetik di negara berkembang didapatkan

jauh lebih besar dibandingkan dengan negara maju, yaitu antara 0-40%.

3
Prevalensi penderita diabetes melitus dengan kaki diabetik di

Indonesia sekitar 15%, angka mortalitas 32% dan kaki diabetik

merupakan sebab perawatan rumah sakit yang terbanyak sebesar 80%

untuk diabetes melitus. Prevalensi angka kematian akibat ulkus dan

gangren berkisar 17-23%, sedangkan angka amputasi berkisar 15-30%. Angka

kematian 1 tahun pasca amputasi sebesar 14,8%. Jumlah itu meningkat pada tahun

ketiga menjadi 37%, ratarata umur pasien hanya 23,8 bulan pasca amputasi.

4
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. H

Med.Rec/Reg : 048369

Tempat, Tgl Lahir : Kuningan, 29/11/1987

Usia : 32 Tahun 6 Bulan

Status Perkawinan : Menikah

Suku bangsa : Sunda

Agama : Islam

Pendidikan : SMP

Pekerjaan : Penjual Telur Asin

Asuransi : BPJS

Alamat : Sukaperna, Kuningan Jawa Barat

Tanggal Kunjungan : Kamis, 14 Mei 2020, pukul : 16.15 WIB

2.2 ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis pada tanggal

15 Mei 2020, Pukul 09.30 WIB

1. Keluhan Utama

Luka pada kaki kanan yang tidak kunjung sembuh

5
2. Riwayat Perjalanan Penyakit

Pasien laki-laki, 32 tahun datang ke RSUD 45 Kuningan diantar

anaknya dengan keluhan luka di kaki kanan yang tidak kunjung

sembuh sejak ±1 bulan sebelum masuk rumah sakit. Luka pada kaki

kanan nya terjadi secara perlahan-lahan dan semakin meluas. Pasien

tidak merasakan nyeri pada kakinya. Menurut pasien luka terjadi

akibat terkena panas mesin motor saat pasien menghangatkan

kendaraan motornya. Awalnya hanya benjolan kecil sebesar koin

berisi cairan seperti luka bakar, lama-kelamaan menjadi luka,

bernanah, berbau, dan berwarna hitam dengan sendirinya. Luka

semakin meluas seiring berjalannya waktu. Pasien juga mengeluhkan

kaki kebas dan kesemutan sejak 3 bulan ini. Pasien sempat

memeriksakan dirinya ke Bidan sebanyak 3 kali, dan diberikan obat

tabur luka. Pasien tidak tahu pasti obat apa itu. Pasien juga diberikan

obat kencing manis Glibenclamide diminum pagi sehari sekali.

Selama pengobatan dengan Bidan, pasien tidak merasa sembuh,

akhirnya pasien berobat ke klinik Dokter umum. Disana pasien

dibersihkan lukanya dan diberikan obat salep dengan merek dagang

Star Ag dan obat gula glibenclamid yang diminum pagi sehari sekali

dan metformin malam nya sehari sekali. Namun pasien masih tidak

kunjung sembuh. Pasien juga mengeluh badan lemas, dan pusing.

Demam dan sesak nafas disangkal pasien. Makan dan minum dalam

batas normal. BAB dan BAK dalam batas normal.

6
Setahun yang lalu pasien mengaku pernah mengalami keluhan

yang sama di kaki kiri nya. Akibat terkena serpihan aspal jalan. Pasien

dilakukan operasi oleh dokter spesialis bedah di RSUD 45 Kuningan.

Luka membaik.

Kurang lebih 5 tahun yang lalu pasien di rawat di RSUD 45

dikarenakan sesak, pasien di diagnosis menderita penyakit paru.

Pasien menjalani pengobatan paru-paru selama 6 bulan di puskesmas,

dan dinyatakan sembuh. Saat dirawat, pasien diketahui mempunyai

penyakit kencing manis dengan gula darah sekitar 500 mg/dl.

Sebelumnya pasien mempunyai keluhan sering berkemih, sering lapar

dan haus, serta penurunan berat badan. Pasien tidak rutin kontrol gula

darahnya. Pasien saat ini sedang mengkonsumsi obat penurun gula

darah yaitu Metformin dan Glibenclamide dari dokter klinik.

3. Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat gejala yang sama sebelumnya : 1 tahun yang lalu

Riwayat Hipertensi : Disangkal

Riwayat Diabetes Melitus : ± 5 tahun yang lalu

Riwayat Penyakit Jantung : Disangkal

Riwayat Penyakit Asma : Disangkal

Riwayat TB : Diakui 5 tahun yang lalu,

Pengobatan tuntas

Riwayat alergi obat : Disangkal

Riwayat Operasi : 1 tahun yang lalu

7
4. Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat Hipertensi : Disangkal

Riwayat Diabetes Melitus : Diakui, Ibu pasien

Riwayat Penyakit Jantung : Disangkal

Riwayat Penyakit Asma : Disangkal

5. Riwayat Kebiasaan

Riwayat merokok : Diakui pasien ±3x sehari setiap

selesai makan. Sudah berhenti ±4

bulan yang lalu.

Riwayat konsumsi alkohol : Disangkal

Riwayat olahraga : Tidak rutin olahraga.

Riwayat memakai alas kaki : Diakui pasien

6. Riwayat Sosial Ekonomi

Pasien adalah seorang kepala rumah tangga, bekerja sebagai

penjual telur asin, dengan penghasilan tidak menentu. Biaya kesehatan

ditanggung BPJS.

7. Riwayat Gizi

Sebelum sakit, pasien makan tidak teratur lebih dari 3 tiga kali

sehari. Pasien sering mengkonsumsi nasi, sayuran, buah-buahan, ikan,

daging, telur dan makanan-makanan yang mengandung kadar gula

tinggi. Pasien juga sering mengkonsumsi minuman teh pucuk apabila

pasien sedang berpergian mengambil telur asin dari Indramayu dan

Cirebon.

8
2.3 PEMERIKSAAN FISIK

PEMERIKSAAN UMUM

1. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

2. Kesadaran : Compos Mentis

3. Tanda Vital

Tekanan darah : 120/80 mmHg

Nadi : 112x/menit, reguler, kuat

Pernafasan : 20x/mnt

Suhu : 36,4°C, aksiler.

4. Tinggi Badan : 165cm

5. Berat Badan : 60 kg

6. IMT : 22,05 (Normo Weight)

STATUS GENERALISATA

1. Kepala

Bentuk kepala : Normosefali, Tidak ada deformitas

Rambut : Warna hitam, Distribusi merata, Tidak mudah

dicabut

Wajah : Simetris, deformitas (-), edema (-)

Mata : Kelopak mata oedem (-), Konjungtiva anemis (+/

+), Sklera ikterik (-/-),

Pupil isokor (+/+), Refleks cahaya langsung (+/+)

Telinga : Normotia, Deformitas (-), Nyeri tekan tragus (-),

Nyeri tekan mastoid (-), Sekret (-)

9
Hidung : Simetris, Pernafasan cuping hidung (-), Sekret (-), Septum

deviasi (-), Mukosa hiperemis (-), epistaksis (-)

Mulut : Tonsil tenang T1-T1, Faring tidak hiperemis, Uvula di

tengah, Oral hygiene baik

2. Leher

Bentuk : Simetris, Normal

KGB : Tidak teraba membesar

Trachea : Lurus ditengah

Kelenjar tiroid : Tidak teraba membesar

JVP : 5+2 cm

3. Toraks

Bentuk dan gerak simetris

Sela iga tidak melebar

Paru-paru

Inspeksi : Simetris, tidak ada hemithorax yang tertinggal, pernafasan

abdominothoracal, retraksi (-)

Palpasi : Gerak simetris, vokal fremitus kedua hemithoraks sama,

Krepitasi (-), nyeri tekan (-)

Perkusi : Sonor pada kedua hemithorax, batas paru hepar sela iga

VI

pada linea midclavicula dextra, dengan peranjakan 2

jari pemeriksa, batas paru lambung pada sela iga ke VIII

pada linea axilaris anterior sinistra

10
Auskultasi : Suara nafas vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Jantung

Inspeksi : Tidak tampak pulsasi ictus cordis

Palpasi : Ictus cordis teraba di sela igaV-VI, 4 cm sebelah

medial

garis midklavikularis sinistra

Perkusi : Batas jantung kanan ICS V-VI, linea parasternalis

dextra. Batas jantung kiri ICS V-VI, sejajar dengan

line axilaris anterior sinistra, batas atas jantung ICS

II

linea sternalis sinistra

Auskultasi : Bunyi jantung S1-S2 reguler, Murmur (-), Gallop (-)

4. Abdomen

Inspeksi : Simetris, tanda-tanda peradangan (-), lukabekas operasi (-)

Palpasi : Supel, hepar / lien tidak teraba, nyeri tekan (-) nyeri ketok

CVA tidak ada

Perkusi : Timpani pada keempat kuadran abdomen

Auskultasi : Bising usus (+) normal

5. Ekstremitas : Akral tampak pucat, hangat pada ke empat ekstremitas,

oedem -/+ pada ekstremitas inferior. CRT <2s

11
STATUS LOKALIS

Inspeksi:

a. Tampak ulkus pada inferior digiti I pedis dextra ukuran 3x3x1 cm,
edema, hiperemis, berbau, dasar otot, debris (+), jaringan nekrotik
(+), pus (+).
b. Tampak ulkus pada sela-sela jari digiti II – III dan III –IV pedis
dextra ukuran 1x3x1 cm, edema, hiperemis, berbau, dasar otot
sebagian tulang, debris (+), jaringan nekrotik (+), pus (+).

Palpasi

Perabaan hangat pada kedua ekstremitas, sensasi raba pedis dextra menurun
(+), nyeri tekan (+/+). Pulsasi arteri dorsalis pedis dextra menurun (+)

Ankle Brachial Index: Tidak dilakukan pemeriksaan

Klasifikasi Wagner: Derajat 3

Klasifikasi PEDIS: Tidak dapat di nilai

12
2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

EKG: 14 Mei 2020

Interprestasi:

Irama : Sinus Takikardi


Rate : 115 bpm Reguler
Axis : Normoaxis
P-R Interval : 0,12 s
P-Wave : 0,08 s
Kompleks QRS : 0,08 s
Q-Patologis : Tidak ditemukan
ST-Segmen : Isoelektrik
T-Wave : Normal
Chamber : Normal

13
Rontgen Thorax: 14/05/20

Ekspertise:

 Foto kurang inspirasi

 Cor membesar ke lateral kiri dengan apex tertanam pada diagfragma,

pinggang jantung mendatar

 Sinuses dan diafragma normal

Pulmo:

 Hilus kanan normal, kiri tertutup bayangan jantung.

 Corakan bronkovaskular bertambah

 Tak tampak infiltrate.

 Fisura minor tampak menebal

Kesan:

Kardiomegali (LV, LA?) dengan suspek efusi pleura kanan terlokalisir.

14
Rontgen Pedis Dextra: 14/05/20

Ekspertise:

Tampak lesi litik dan destruktif pada os phalang proximal sampai distal digiti IV

serta lesi litik pada os phalangs proximal dan distal digiti I pedis dextra 

Charcot’s disease DD/ osteomyelitis, disertai gas gangren di jaringan lunak

disekitarnya.

V. RESUME

Pasien laki-laki, 32 tahun keluhan luka di kaki kanan yang tidak kunjung
sembuh sejak ±1 bulan sebelum masuk rumah sakit akibat terkena panas mesin
motor. Luka terjadi secara perlahan-lahan dan semakin meluas, berbau, bernanah
dan berwarna hitam. Pasien tidak merasakan nyeri pada kakinya. Rasa kebas (+),
kesemutan (+). Pasien sudah memeriksakan dirinya ke Bidan dan dokter. Namun
tidak ada perubahan. Pasien sedang konsumsi obat metformin, glibenclamide dan
obat oles Star Ag. Pasien pernah mengalami hal serupa setahun lalu pada kaki
kirinya, dilakukan operasi dan kaki membaik. Pasien sudah 5 tahun mempunyai
penyakit kencing manis. 5 tahun yang lalu pasien pernah di rawat di RS karena

15
TB dan melakukan pengobatan TB 6 bulan di Puskesmas secara tuntas. Ibu pasien
mempunyai riwayat penyakit kencing manis. Pasien tidak rutin kontrol
memeriksakan penyakitnya. Pasien juga tidak menjaga asupan makanannya,
pasien sering mengkonsumsi minuman manis seperti teh pucuk.

Pasien dalam kondisi sadar, tampak sakit sedang. Pemeriksaan vital sign
dalambatas normal. IMT 22.05 normoweight. Status generalisata konjungtiva
anemis (+/+), perkusi jantung tampak pembesaran batas jantung kiri, ekstremitas
pucat dengan edema pada kaki kanan. Status lokalis tampak ulkus pada inferior
digiti I pedis dextra ukuran 3x3x1 cm, edema, hiperemis, berbau, dasar otot,
debris (+), jaringan nekrotik (+), pus (+). Tampak ulkus pada sela-sela jari digiti II
– III dan III –IV pedis dextra ukuran 1x3x1 cm, edema, hiperemis, berbau, dasar
otot sebagian tulang, debris (+), jaringan nekrotik (+), pus (+). Perabaan hangat
pada kedua ekstremitas, sensasi raba pedis dextra menurun (+), nyeri tekan (+/+).
Pulsasi arteri dorsalis pedis dextra menurun (+), Klasifikasi Wagner derajat 3.

Pemeriksaan lab menunjukan Hb 6,6 g/dl, leukosit 11.91, hematokrit


18.6%, trombosit 677 ribu, hitung jenis leukosit Shift To The Right, GDS 291
mg/dl, ion Na 132 mmol/L, Albumin 2.5. EKG tampak sinus takikardi. Rontgen
thorax: kesan kardiomegali dengan suspek efusi pleura kanan terlokalisir.
Rontgen Pedis Dextra kesan Charcot’s disease DD/ osteomyelitis.

VI. DIAGNOSIS KERJA

a. Ulkus Diabetic Pedis Sinistra Wagner III

b. Diabetes Tipe 2

c. Anemia Penyakit Kronis

d. Hipoalbumin

VII. DIAGNOSIS BANDING

Ulkus Non Diabetik

16
VIII. PENATALAKSANAAN

Non Medikamentosa

a. Komunikasi, informasi, dan edukasi kepada pasien dan keluarga

pasien mengenai penyakit pasien dan keadaan pasien

b. Observasi tanda-tanda vital

c. Observasi hasil pemeriksaan penunjang

d. GV setiap hari

e. Diet diabetes

f. Konsul gizi mengenai diet DM

g. Rawat bersama Sp.PD

h. Pro Debridement Nekrotomi 18 Mei 2020

Medikamentosa

a. IVFD NaCl 0,9 % 500cc /24 Jam

b. Inj. Ceftriaxone 2x1 gr

c. Metronidazol infus 3x500 mg

d. Albumin Sachet Oral 2x1

e. Novorapid 3x8 iu

IX. PROGNOSIS

Ad Vitam : Dubia ad Bonam

Ad Fungsionam : Dubia ad Malam

Ad Sanationam : Dubia ad Bonam

17
X. ANJURAN PEMERIKSAAN

Pemeriksaan HbA1C

Profil Lipid

Echocardiografi

XI. FOLLOW UP PASIEN

Tanggal: 14 Mei 2020

Tanggal Subjective (S), Objective (O), Assesment Planning (P)


(A).
14/05/2020 S: Pasien mengeluh sedikit baal pada kaki Advice dr. Reja, Sp.B
sebelah kanan, nyeri pada luka (-). Mual (-) o Inj.Ceftriaxone 2x1gr
muntah (-), demam (-), BAB dan BAK o Skin Test
dalam batas normal o Kompres Lembab
o Raber dengan Sp.PD
O: TD: 120/80mmhg
N: 82x/m Advice dr. Rio, Sp.PD
R: 20x/m o IVFD Nacl 0,9% /24
S: 36oC jam
SpO2: 98% o Transfusi PRC sampai
Hb 9-10 gr/dl
Status Generalis:
o Sliding Scale /6jam
Mata: Konjungtiva anemis +/+
o Cek Albumin
Jantung: tampak perlebaran batas jantung
kiri
Ekstremitas: akral pucat, edema +/- Post Tranfusi 2 labu hari
ini.
Status Lokalis:
At regio pedis dextra: tampak ulkus tertutup
kassa, rembes (+), edema (+), gangrene (+),
pus (+), darah (+), bau (+)

A: Diabetic Foot pedis dextra wagner 3


DM Tipe II
Anemia Kronis
Hipoalbumin

18
Tanggal Jam Hasil Pemeriksaan Insulin (IU)
Gula Darah (mg/dl)
14/05/20 18.00 444 mg/dl 15 IU
Kamis 24.00 356 mg/dl 15 IU

Pemeriksaan Laboratorium 14 Mei 2020

Parameter Hasil Nilai Rujukan


Darah Rutin
Hemoglobin 6.6 g/dl 14-18
Leukosit 11.91 10ˆ3/uLH 4.0-10.0
Hematokrit 18.6 % 40.0-54.0
Trombosit 677 ribu/uL 150.000-450.000
Eritrosit 2.37 juta/ul 4.50-5.90
Indeks Eritrosit
MCV 78.5 fl 80-96
MCH 27.7 pg/mL 28-33
MCHC 35.3 g/dl 33-36
Hitung Jenis Leukosit
Basofil 1.0 0.0-1.0
Eosinofil 1.0 1.0-6.0
Neutrofil Batang 0.0 2.0-6.0
Neutrofil Segmen 72.0 50.0-70.0
Limfosit 20.0 20.0-40.0
Monosit 6.0 2.0-9.0
NLR 3.6
ALC 2382 >1500
Golongan Darah O
Kimia Klinik
Glukosa Darah Sewaktu 291 mg/dl 70-120
SGOT 10 U/L 5-40
SGPT 11 U/L <45
Ureum 23 mg/dl 10-50
Kreatinin 0.63 mg/dl 0,6-1,5
Pemeriksaan Elektrolit
Natrium 132 mmol/L 135-145
Kalium 3.8 mmol/L 3,3-5,1
Kalsium ion (CA+) 1.15 mmol/L 1,13-1,32

19
Protein Total 6.4 g/dl 6.4-8.3
Albumin 2.5 g/dl 3.2-5.0
Globulin 3.9 g/dl 2.30-3.40

Tanggal: 15 Mei 2020

Tanggal Subjective (S), Objective (O), Assesment Planning (P)


(A).
15/05/2020 S: Pasien mengeluh sedikit baal pada kaki
sebelah kanan, nyeri pada luka (-). Mual (-) o IVFD NaCl 0,9% /24 jam
muntah (-), demam (-), BAB dan BAK o Inj.Ceftriaxone 2x1gr
dalam batas normal o GV setiap hari
o Tranfusi PRC 2 labu
O: TD: 120/80mmhg
N: 98x/m Advice dr. Reja Sp.B
R: 20x/m o Rencana OP senin 18/04/20
S: 36oC o Inf. Metronidazol 3x500mg
SpO2: 97%
Advice dr. Rio, Sp.PD
Status Generalis: o Sliding Scale /6jam
Mata: Konjungtiva anemis +/+ o Chana Sachet 2x1
Jantung: tampak perlebaran batas jantung o Besok fix dose Novorapid
kiri
3x8 iu
Ekstremitas: akral pucat, edema +/-
o Periksa GD2PP
o Tranfusi PRC s/d Hb 9-10
Status Lokalis:
At regio pedis dextra: tampak ulkus tertutup
kassa, rembes (+), edema (+), gangrene (+),
pus (+), darah (+), bau (+)

Hb post tranfusi 2 labu: 7.8


Albumin: 2.5

A: Diabetic Foot pedis dextra wagner 3


DM Tipe II
Anemia Kronis
Hipoalbumin

Tanggal Jam Hasil Pemeriksaan Insulin (IU)


Gula Darah (mg/dl)

20
15/05/20 06.00 164 mg/dl
Jumat 12.00 226 mg/dl 5 IU
18.00 272 mg/dl 5 IU
24.00 275 mg/dl 5 IU
Pemeriksaan Laboratorium 15 Mei 2020

Parameter Hasil Nilai Rujukan


Darah Rutin
Hemoglobin 7,8 g/dl 14-18
Leukosit 11,46 10ˆ3/uLH 4.0-10.0
Hematokrit 23,1 % 40.0-54.0
Trombosit 498 ribu/uL 150.000-450.000
Eritrosit 2,90 juta/ul 4.50-5.90
Indeks Eritrosit
MCV 79,6 fl 80-96
MCH 27,0 pg/mL 28-33
MCHC 33,9 g/dl 33-36
Waktu Pendarahan 2’00’’ (1-3)
Waktu Pembekuan 4’00’’ (2-6)
Hepatitis Marker
HbsAg Negatif Negatif

Tanggal: 16 April 2020

Tanggal Subjective (S), Objective (O), Assesment Planning (P)


(A).
16/05/2020 S: Pasien mengeluh sedikit baal pada kaki
sebelah kanan, nyeri pada luka (-). Mual (-) o IVFD NaCl 0,9% /24 jam
muntah (-), demam (-), BAB dan BAK o Inj.Ceftriaxone 2x1gr
dalam batas normal o Inf. Metronidazol 3x500mg
o Novorapid 3x8iu
O: TD: 120/80mmhg o Chana Sachet 2x1
N: 96x/m o GV setiap hari
R: 20x/m
o Rencana OP Senin 18/04/20
S: 36oC
SpO2: 97%

Status Generalis:
Mata: Konjungtiva anemis -/-
Ekstremitas: akral pucat (-), edema +/-

21
Status Lokalis:
At regio pedis dextra: tampak ulkus tertutup
kassa, rembes (+), edema (+), gangrene (+),
pus (+), darah (+), bau (+)

Hb post tranfusi 4 labu: 10.3

A: Diabetic Foot pedis dextra wagner 3


DM Tipe II
Anemia Kronis
Hipoalbumin

Tanggal Jam Hasil Pemeriksaan Insulin (IU)


Gula Darah (mg/dl)
16/05/20 06.00 215 5 IU
Sabtu Fix Dose 3x8 IU

Pemeriksaan Laboratorium 16 Mei 2020

Parameter Hasil Nilai Rujukan


Darah Rutin
Hemoglobin 10.3 g/dl 14-18
Leukosit 8.88 10ˆ3/uLH 4.0-10.0
Hematokrit 31.3 % 40.0-54.0
Trombosit 423 ribu/uL 150.000-450.000
Eritrosit 3.86 juta/ul 4.50-5.90
Indeks Eritrosit
MCV 81.0 fl 80-96
MCH 26.6 pg/mL 28-33
MCHC 32.9 g/dl 33-36

Tanggal: 17 Mei 2020

Tanggal Subjective (S), Objective (O), Assesment Planning (P)


(A).

22
17/05/2020 S: Pasien mengeluh sedikit baal pada kaki
sebelah kanan, nyeri pada luka (-). Mual (-) o IVFD NaCl 0,9% /24 jam
muntah (-), demam (-), BAB dan BAK o Inj.Ceftriaxone 2x1gr
dalam batas normal o Inf. Metronidazol 3x500mg
o Novorapid 3x8iu (STOP)
O: TD: 130/80mmhg o Chana Sachet 2x1
N: 88x/m o GV setiap hari
R: 20x/m
o Rencana OP Senin 18/04/20
S: 36oC
SpO2: 98%
Konsul dr. Rio Sp,PD via
dr. Eka
Status Generalis: o Insulin SC Stop
Mata: Konjungtiva anemis -/- o Drip Insulin 50 iu dalam
Ekstremitas: akral pucat (-), edema +/-
NaCl 0.9% 500 cc selama
24 jam (insulin 2 unit /jam)
Status Lokalis:
o Sliding Scale /6jam
At regio pedis dextra: tampak ulkus tertutup
kassa, rembes (+), edema (+), gangrene (+), Konsul dr. Taufik Sp.An via
pus (+), darah (+), bau (+) dr. Ike Acc OP
Debridement besok
GDS: 302 mg/dl o Puasa dimulai jam 00.00
GD2PP: 310 mg/dl

A: Diabetic Foot pedis dextra wagner 3


DM Tipe II
Anemia Kronis
Hipoalbumin

Tanggal Jam Hasil Pemeriksaan Insulin (IU)


Gula Darah (mg/dl)
17/05/20 06.00 302 mg/dl
Minggu 09.00 310 mg/dl (2 jam PP) Insulin drip 2 iu/ jam
12.00 235 mg/dl
18.00 265 mg/dl
24.00 115 mg/dl
Tanggal: 18 April 2020

Tanggal Subjective (S), Objective (O), Assesment Planning (P)


(A).
18/04/2020 S: Pasien mengeluh nyeri luka post op pada

23
kaki sebelah kanan, mual (-) muntah (-), Advice dr. Reja, Sp.B
demam (-), BAB dan BAK dalam batas o IVFD RL 20tpm /8jam
normal o Inj.Cefotaxim 2x1gr
o Inf. Metronidazol 3x500mg
O: TD: 120/80mmhg o Inj. Ketorolac 2x1
N: 90x/m o Inj. Omeprazole 1x1
R: 20x/m o GV
S: 36oC
SpO2: 98%
Advice dr. Rio, Sp.PD
o Insulin drip Stop
Status Generalis:
o Sliding Scale tinggi post
Mata: Konjungtiva anemis -/-
op /6jam
Ekstremitas: akral pucat, edema +/-

Status Lokalis:
At regio pedis dextra: tampak luka post op
tertutup kassa.

A:
o Nekrotomi debridement a/r pedis
dextra ec. Diabetic Foot
o DM Tipe II
o Anemia Kronis
o Hipoalbumin

Laporan Operasi

a. At Regio Pedis Dextra, temukan beberapa luka bentuk tidak beraturan, batas

tegas, jaringan nekrotik (+), pus (+), dilakukan nekrotomi dan debridement

24
b. Ditemukan auto amputasi digiti IV pedis sinistra

c. luka di cuci dan di tutup kassa lembab

Hasil Pemantauan Glukosa Darah

Tanggal Jam Hasil Pemeriksaan Insulin (IU)


Gula Darah (mg/dl)
18/05/20 06.00 87
Senin 13.00 134
18.00 236
24.00 269 5 IU

Tanggal: 19 April 2020

Tanggal Subjective (S), Objective (O), Assesment Planning (P)


(A).
19/04/2020 S: Pasien mengeluh nyeri luka post op pada
kaki sebelah kanan, mual (-) muntah (-), Advice dr. Reja Sp.B
demam (-), BAB dan BAK dalam batas o BLPL
normal o Ciprofloxacin tab 2x1
o Chana Cap 3x1
O: TD: 130/80mmhg o Paracetamol tab 3x1
N: 84x/m o Omeprazole cap 3x1
R: 20x/m
S: 36oC Advice dr. Rio, Sp.PD
SpO2: 97% o BLPL
o Sansulin 1x14 iu
Status Generalis: o Glimepirid 1x2 mg
Mata: Konjungtiva anemis -/-
Ekstremitas: akral pucat, edema +/-

Status Lokalis:
At regio pedis dextra: tampak luka post op
tertutup kassa.

A:
o Nekrotomi debridement a/r pedis
dextra ec. Diabetic Foot
o DM Tipe II

25
o Anemia Kronis
o Hipoalbumin

Tanggal Jam Hasil Pemeriksaan Insulin (IU)


Gula Darah (mg/dl)
19/05/20 06.00 236
Selasa

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Diabetes Melitus

26
Diabetes Mellitus (DM) adalah suatu sindrom klinis metabolik yang

berlangsung kronik, ditandai oleh adanya hiperglikemia yang terjadi karena

kelainan sekresi insulin, defek kerja insulin atau keduanya. Diagnosis DM

ditegakkan atas dasar ada tidaknya gejala khas DM (poliuria, polidipsia, polifagia)

dan pemeriksaan kadar glukosa darah secara enzimatik dengan bahan darah

plasma vena. Diagnosis DM juga dapat ditegakkan melalui cara :

1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL (11,1

mmol/L). Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat

pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir.

2. Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL (7,0 mmol/L).

Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam.

3. Glukosa plasma 2 jam pada TTGO ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L). TTGO

menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gram glukosa

anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.

4. A1C ≥ 6,5 % 1,2,3.

27
Gambar 3.1 Alur Diagnosis DM

Manifestasi komplikasi akut dapat terjadi hipoglikemia, ketoasidosis

diabetikum, hyperosmolar non ketotik. Manifestasi komplikasi kronik dapat

terjadi pada tingkat pembuluh darah kecil (mikrovaskuler) berupa kelainan pada

retina mata, glomerulus ginjal, saraf dan pada otot jantung (kardiomiopati). Pada

pembuluh darah besar (makrovaskuler), manifestasi komplikasi kronik DM dapat

terjadi pada pembuluh darah serebral, jantung (penyakit jantung kororner ) dan

pembuluh darah perifer (tungkai bawah ). Komplikasi lain DM dapat berupa

kerentanan berlebih terhadap infeksi dengan akibat mudahnya terjadi infeksi

28
saluran kemih, tuberkulosis paru dan infeksi kaki, yang kemudian dapat

berkembang menjadi ulkus/gangren diabetes.

3.2 Diabetic Foot (Kaki Diabetik)

Kaki diabetik adalah segala bentuk kelainan yang terjadi pada kaki yang

disebabkan oleh diabetes melitus. Faktor utama ysang mempengaruhi

terbentuknya kaki diabetik merupakan kombinasi neuropati otonom dan neuropati

somatik, insufisiensi vaskuler, serta infeksi. Penderita kaki diabetik yang masuk

rumah sakit umumnya disebabkan oleh trauma kecil yang tidak dirasakan oleh

penderita.

3.2.1 Epidemiologi Diabetic Foot

Salah satu komplikasi menahun dan paling ditakuti dari DM adalah kelainan

pada kaki yang disebut sebagai kaki diabetik. Hasil pengelolaan kaki diabetik

sering mengecewakan, baik bagi dokter pengelola maupun penyandang DM dan

keluarganya. Seringkali kaki diabetik berakhir dengan kecacatan dan kematian.

Sampai saat ini, di Indonesia kaki diabetik masih merupakan masalah yang rumit

dan tidak terkelola dengan maksimal, karena selain kurangnya minat untuk

mendalami masalah kaki diabetik, ketidaktahuan masyarakat mengenai kaki

diabetik juga masih sangat menyolok. Sebagai tambahan, masalah biaya

pengobatan yang besar yang tidak terjangkau oleh masyarakat pada umumnya

juga menambah peliknya masalah kaki diabetik.

Di negara berkembang prevalensi kaki diabetik didapat jauh lebih besar

dibanding dengan negara maju yaitu kira-kira 2-4%. Data dari beberapa negara

tertentu menunjukkan bahwa 10-20% penderita harus dirawat di rumah sakit

29
akibat problem kaki diabetik. Di Amerika Serikat, persoalan kaki diabetik

merupakan sebab utama perawatan bagi pasien DM. Pada penelitian selama 2

tahun 16% perawatan akibat kaki diabetik. Diperkirakan sebanyak 15% pasien

DM akan mengalami persoalan kaki dalam kehidupan bersama DM. Keberhasilan

pengelolaan tukak diabetik berkisar diantara 57-94% bergantung pada besarnya

tukak tersebut. Prevalensi tukak diabetik pada penduduk sekitar 2-10%.

Sebenarnya hanya sebagian kecil persoalan kaki diabetik kemudian berlanjut

sampai memerlukan amputasi tungkai bawah sebanyak 15-19% pada pasien DM.

Penelitian lain pula menunjukkan 5-15% pada pasien DM.

3.2.2 Etiologi Diabetic Foot

Ada banyak faktor yang berpengaruh dalam terjadinya kaki diabetik. Secara

umum faktor-faktor tersebut dapat dibagi menjadi:

 Faktor Predisposisi

Faktor yang mempengaruhi daya tahan jaringan terhadap trauma seperti

kelainan makrovaskuler dan mikrovaskuler, jenis kelamin, merokok, dan

neuropati otonom. Faktor yang meningkatkan kemungkinan terkena

trauma seperti neuropati motorik, neuropati sensorik, limited joint

mobility, dan komplikasi DM yang lain (seperti mata kabur).

 Faktor Presipitasi

- Perlukaan dikulit

- Trauma

- Tekanan berkepanjangan pada tumit saat berbaring lama

30
 Faktor yang memperlambat penyembuhan luka

- Derajat luka

- Perawatan luka

- Pengendalian kadar gula darah

3.2.3 Patofisiologi Diabetic Foot

Terjadinya masalah kaki diawali adanya hiperglikemia pada penyandang

DM yang menyebabkan kelainan neuropati dan kelainan pada pembuluh darah.

Neuropati, baik neuropati sensorik maupun neuropati motorik dan autonomik

akan mengakibatkan berbagai perubahan pada kulit dan otot yang kemudian

menyebabkan terjadinya perubahan distribusi tekanan pada telapak kaki dan

selanjutnya akan mempermudah terjadinya ulkus.

Adanya kerentanan terhadap infeksi menyebabkan infeksi mudah merebak

menjadi infeksi yang luas. Faktor aliran darah yang kurang juga akan lebih lanjut

menambah rumitnya pengelolaan kaki diabetes.

1. Neuropati

Gangguan mikrosirkulasi dan neuropati punya hubungan yang erat dengan

pathogenesis kaki diabetik. Neuropati diabetik pada fase awal menyerang saraf

halus terutama di ujung-ujung kaki. Hal ini disebut sebagai fenomena dying back,

di mana ada teori yang menyatakan semakin panjang saraf maka semakin rentan

untuk diserang. Jika dibandingkan dengan ekstremitas atas, ternyata ekstremitas

bawah lebih dulu yang terkena. Gangguan mikrosirkulasi selain menurunkan

aliran darah dan hantaran oksigen pada serabut saraf (keadaan ini bersama dengan

31
proses jalur sorbitol dan mekanisme lain akan mengakibatkan neuropati) juga

akan menurunkan aliran darah ke perifer sehingga aliran tidak cukup dan

menyebabkan iskemia dan bahkan gangrene. Neuropati diabetik disebabkan oleh

gangguan jalur poliol (glukosa  sorbitol fruktosa) akibat kekurangan insulin.

Pada jaringan saraf, terjadi penimbunan sorbitol dan fruktosa serta penurunan

kadar mioinositol yang menimbulkan neuropati. Perubahan biokimia dalam

jaringan saraf akan mengganggu kerja metabolik sel Schwann dan menyebabkan

hilangnya akson.

Kecepatan konduksi motorik akan berkurang pada tahap dini perjalanan

neuropati. Selanjutnya timbul nyeri, paresthesia, berkurangnya sensasi getar dan

proprioseptik dan gangguan motorik yang disertai hilangnya refleks-refleks

tendon dalam, kelemahan otot dan atrofi. Neuropati dapat menyerang saraf-saraf

perifer (mononeuropati dan polineuropati), saraf-saraf kranial atau sistem saraf

otonom. Terserangnya sistem saraf otonom dapat disertai diare nokturnal,

keterlambatan pengosongan lambung dengan gastroparesis, hipotensi postural,

dan impotensi. Pasien dengan neuropati otonom diabetik dapat menderita infark

miokardial akut tanpa nyeri, pasien ini juga dapat kehilangan respons katekolamin

terhadap hipoglikemia dan tidak menyedari reaksi-reaksi hipoglikemia

2. Neuropati sensorik

Kehilangan fungsi sensorik menyebabkan penderita kehilangan daya

kewaspadaan proteksi kaki terhadap rangsangan dari luar. Nilai ambang proteksi

dari kaki ditemukan oleh normal tidaknya fungsi saraf sensoris kaki. Pada

32
keadaan normal sensasi yang diterima menimbulkan reflex untuk meningkatkan

reaksi pertahanan dan menghindarkan diri dari rangsangan yang menyakitkan

dengan cara mengubah posisi kaki untuk mencegah terjadinya kerusakan yang

lebih besar. Sebagian impuls akan diteruskan ke otak dan di sini sinyal diolah

kemudian respons dikirim melalui saraf motorik. Pada penderita DM yang telah

mengalami neuropati perifer saraf sensorik (karena gangguan pengantaran

impuls), pasien tidak merasakan dan tidak menyadari adanya trauma kecil namun

sering pasien tidak merasakan adanya tekanan besar pada telapak kaki. Semuanya

baru diketahui setelah timbul infeksi, nekrosis atau ulkus yang sudah tahap lanjut

dan dapat membahayakan keselamatan pasien.

Berbagai macam mekanisme terjadinya luka dapat terjadi pada pasien DM,

seperti:

1) Tekanan rendah tetapi terus menerus dan berkelanjutan (luka pada

tumit karena lama berbaring, dekubitus)

2) Tekanan tinggi dalam waktu pendek. (luka, tertusuk paku/jarum)

3) Tekanan sedang berulang kali (pada tempat deformitas pada kaki).

3. Neuropati otonom

Pada kaki diabetik gangguan saraf otonom yang berperan terutama adalah

akibat kerusakan saraf simpatik. Gangguan saraf otonom ini mengakibatkan

perubahan aliran darah, produksi keringat berkurang atau tidak ada, hilangnya

tonus vasomotor dan lain-lain. Neuropati otonom mengakibatkan produksi

keringat berkurang terutama pada tungkai yang menyebabkan kulit penderita

mengalami dehidrasi, kering dan pecah-pecah sehingga memudahkan infeksi lalu

33
selanjutnya timbul selulitis, ulkus maupun gangrene. Selain itu neuropati otonom

juga menyebabkan terjadinya pintas arteriovenosa sehingga terjadi penurunan

nutrisi jaringan yang berakibat pada perubahan komposisi, fungsi dan sifat

viskoelastisitas sehingga daya tahan jaringan lunak dari kaki akan menurun

dengan akibat mudah terjadi ulkus.2,4

4. Neuropati Motorik

Kerusakan saraf motorik akan menyebabkan atrofi otot-otot instrinsik yang

menimbulkan kelemahan pada kaki dan keterbatasan gerak sendi akibat akumulasi

kolagen di bawah dermis sehingga terjadi kekakuan periartikuler. Deformitas

akibat atrofi otot dan keterbatasan gerak sendi menyebabkan perubahan

keseimbangan pada sendi kaki, perubahan cara berjalan, dan menimbulkan titik

tumpu baru pada telapak kaki serta berakibat pada mudahnya terbentuk kalus yang

tebal (claw foot). Seiring dengan berlanjutnya trauma, di bagian dalam kalus

tersebut mudah terjadi infeksi yang kemudian berubah menjadi ulkus dan

akhirnya gangren.2,4

Charcot foot merupakan deformitas kaki diabetik akibat neuropati yang

klasik dengan 4 tahap perkembangan.2

1) Adanya riwayat trauma ringan disertai kaki panas, merah dan

bengkak.

2) Terjadi disolusi, fragmentasi dan fraktur pada persendian

tarsometatarsal.

3) Terjadi fraktur dan kolaps persendian.

4) Timbul ulserasi plantaris pedis.

34
5. Fokus Infeksi

Infeksi dimulai dari kulit kaki dan dengan cepat menyebar melalui jalur

muskulofasial. Selanjutnya infeksi menyerang kapsul/sarung tendon dan otot, baik

pada kaki maupun pada tungkai sehingga terjadi sellulitis. Kaki diabetik klasik

biasanya timbul di atas kapsul metatarsal pada sisi plantar pedis.

Infeksi sering berlangsung agresif dan cepat meluas serta mudah terbentuk

gangren yang selanjutnya merupakan ancaman hilangnya kaki. Di samping itu,

50% dari kasus ulkus/gangrene diabetes akan mengalami infeksi akibat

munculnya lingkungan gula darah yang subur untuk berkembangnya bakteri

patogen. Jika kadar gula darah tidak terkontrol maka infeksi akan jadi lebih serius.

Hal ini disebabkan karena pada infeksi akan disekresi hormon kontra insulin

(seperti katekolamin, kortisol, hormone pertumbuhan dan glucagon) yang

menyebabkan meningkatnya kadar gula darah. Peningkatan kadar gula darah juga

menyebabkan gagalnya fungsi neutrofil dan gangguan sistem immunologi.

Sebagaimana diketahui, dalam melaksanakan fagositosis sel PMN membutuhkan

energi dari glukosa eksogen untuk mempertahankan aktivitasnya. Dengan bantuan

insulin yang melekat erat pada sel PMN, glukosa ekstrasel dapat dipakai sebagai

sumber energi. Sumber energi ini akan berkurang pada pasien diabetes yang

mengalami kekurangan insulin.

6. Angiopati

35
Pada pembuluh darah, akibat komplikasi DM terjadi ketidakrataan

permukaan dalam lapisan dalam arteri sehingga aliran lamellar berubah menjadi

turbulen yang berakibat pada mudahnya terbentuk thrombus. Pada stadium lanjut

seluruh lumen arteri akan tersumbat dan manakala aliran kollateral tidak cukup,

akan terjadi iskemia dan bahkan gangrene yang luas. Manifestasi angiopati pada

pembuluh darah penderita DM antara lain berupa penyempitan dan penyumbatan

pembuluh darah perifer yang terutama sering terjadi pada tungkai bawah. Pada

penderita muda, pembuluh darah yang paling awal mengalami angiopati adalah

arteri tibialis. Kelainan arteri akibat diabetes juga sering mengenai bagian distal

dari arteri femoralis profunda, arteri poplitea, arteri tibialis dan arteri digitalis

pedis. Akibatnya perfusi jaringan distal dari tungkai menjadi kurang baik dan

timbul ulkus yang kemudian dapat berkembang menjadi nekrosis/gangren yang

sangat sulit diatasi dan tidak jarang memerlukan amputasi. Perubahan viskositas

darah dan fungsi trombosit, penebalan membrana basalis serta penurunan

produksi prostasiklin (vasodilator dan anti platelet aggregating agent) akan

memacu terbentuknya mikrotrombus dan penyumbatan mikrovaskuler. Peristiwa

ini akan mengakibatkan timbulnya iskemis organ dan/atau jaringan yang

bersangkutan, termasuk serabut saraf perifernya.

Hiperglikemia kronik dapat menyebabkan vaskulopati berupa disfungsi

endotel melalui berbagai mekanisme antara lain:

1) Hiperglikemia kronik menyebabkan glikosilasi non enzimatik dari

protein dan makromolekul seperti DNA, yang akan mengakibatkan

perubahan sifat antigenik dari protein dan DNA. Keadaan ini akan

36
menyebabkan perubahan tekanan intravaskular akibat gangguan

keseimbangan NO dan prostaglandin.

2) Overekspresi growth factor meningkatkan proliferasi sel endotel dan

otot polos pembuluh darah sehingga akan terjadi neovaskularisasi.

3) Hiperglikemia akan meningkatkan sintesis diacylglycerol (DAG)

melalui jalur glikotik. Peningkatan kadar DAG akan meningkatkan

aktivitas PKC. Baik DAG maupun PKC berperan dalam memodulasi

terjadinya vasokonstriksi.

4) Sel endotel sangat peka terhadap pengaruh stress oksidatif. Keadaan

hiperglikemia akan meningkatkan tendensi untuk terjadinya stress

oksidatif dan peningkatan oxidized lipoprotein, terutama small dense

LDL-cholestrol (oxidized LDL) yang lebih bersifat aterogenik.

Disamping itu peningkatan kadar asam lemak bebas dan keadaan

hiperglikemia dapat meningkatkan oksidasi fosfolipid dan protein.

5) Hiperglikemia akan disertai dengan tendensi protrombitik dan

agregasi platelet. Keadaan ini berhubungan dengan beberapa faktor

antara lain penurunan produksi NO dan penurunan aktivitas

fibrinolitik akibat peningkatan kadar PAI-1. Di samping itu, pada DM

Tipe 2 terjadi peningkatan aktivitas koagulasi akibat engaruh berbagai

faktor seperti pembentukan advanced glycosylatin end products

(AGEs) dan penurunan sintesis heparin sulfat.

6) Walaupun tidak ada hubungan langsung antara aktivasi koagulasi

dengan disfungsi endotel, namun aktivasi koagulasi yang berulang

37
dapat menyebabkan stimulasi yang berlebihan dari sel-sel endotel

sehingga akan terjadi disfungsi endotel.

Gambar 3.2 Patofisiologi Diabetic Foot

3.2.4 Gejala Klinis Diabetic Foot

1. Gejala Klinis Akibat Neuropati Perifer

1) Hipesthesia (berkurangnya perasaan raba)

2) Hyperesthesia (sensasi nyeri lebih besar)

3) Paraesthesia (kesemutan)

4) Dysesthesia (sensasi yang tidak menyenangkan)

5) Radicular pain

6) Anhydrosis

2. Gejala akibat insufisiensi arteri perifer

38
Gejala yang biasa dirasakan oleh pasien antara lain, nyeri iskemik pada saat

istirahat, ulkus yang tidak sembuh, rasa kram atau kelelahan pada otot-otot besar

pada salah satu atau kedua ekstremitas bawah yang timbul pada saat berjalan

dalam jarak tertentu yang mengindikasikan adanya klaudikasio intermiten yaitu

nyeri pada saat beraktivitas dan membaik pada saat istirahat. Onset dari

klaudikasio dapat terjadi lebih dini apabila pasien sering berjalan cepat atau

menaiki tangga.Rasa tidak nyaman, kram atau kelemahan pada betis atau kaki

sering terjadi pada penderita kaki diabetik, karena cenderung terjadi oklusi

aterosklerosis tibioperoneal. Atrofi otot-otot betis mungkin juga terjadi. Gejala-

gejala yang timbul pada paha, mengindikasikan adanya oklusi aorta iliaca.

Nyeri pada saat beristirahat jarang terjadi pada penderita diabetes.Pada

beberapa kasus, fissure, ulkus atau kulit pecah-pecah merupakan tanda awal telah

terjadinya penurunan perfusi. Ketika penderita diabetes datang dengan gangren

hal

3.2.5 Klasifikasi Diabetic Foot

Berdasarkan WHO, ulkus kaki diabetes dapat ditinjau dengan pendekatan

klasifikasi Wagner dan klasifikasi PEDIS.

39
Gambar 3.3 Diabetic Foot

Tabel 3.1 Kriteria Wagner

40
Tabel 3.2 Kriteria PEDIS

Interprestasi

Score <7 Outcome yang buruk

Score ≥7 Outcome yang baik

Kriteria PAD: adanya Claudicatio Intermiten, Ankle Brachial Index (ABI)

<0,9 tetapi sistolic ankle blood pressure >50mmhg, Toe Brachial Index <0,6

tetapi sytolic toe blood pressure >30mmhg, Transcutaneus Oxygen Pressure

(TcpO2) 30-50 mmhg.

Kriteria CLI: sistolic ankle blood pressure <50mmhg, sytolic toe blood

pressure <30mmhg, atau TcpO2 <30mmhg.

Kriteria SIRS: temperature >38C atau <36C, HR: >90x/m, RR: >20x/m,

PaCO2 <32mmhg, WBC count >12.000 atau <4.000.

3.2.5 Diagnosis Diabetic Foot

41
Diagnosis kaki diabetik meliputi 1) pemeriksaan ulkus dan keadaan umum

ekstremitas, 2) penilaian risiko insufisiensi vaskuler, 3) penilaian risiko neuropati

perifer, 4) pemeriksaan penunjang.

1. Pemeriksaan Ulkus dan Keadaan Umum Ekstremitas

Ulkus diabetes cenderung terjadi di daerah tumpuan beban terbesar, seperti

tumit, area kaput metatarsal di telapak, ujung jari yang menonjol (jari pertama dan

kedua). Ulkus di malleolus terjadi karena sering mendapat trauma. Kelainan lain

yang dapat ditemukan seperti callus hipertropik, kuku rapuh/pecah, kulit kering,

hammer toes, dan fissure.

2. Penilaian Risiko Insufisiensi Arteri Perifer

Pemeriksaan fisik akan rnendapatkan hilang atau menurunnya nadi perifer.

Penemuan lain yang berhubungan dengan aterosklerosis meliputi bising (bruit)

arteri iliaka dan femoralis, atrofi kulit, hilangnya rambut kaki, sianosis jari kaki,

ulserasi dan nekrosis iskemik, serta pengisian arteri tepi (capillary refill test) lebih

dari 2 detik.

Pemeriksaan vaskular non-invasif untuk mengetahui ada tidaknya PAD

meliputi pengukuran oksigen transkutan, anklebrachial index (ABI), dan tekanan

sistolik jari kaki (Toe Brachial Index). ABI dilakukan dengan alat Doppler. Cuff

dipasang di lengan atas dan dipompa sampai nadi brachialis tidak dapat dideteksi

Doppler. Cuff kemudian dilepas perlahan sampai Doppler dapat mendeteksi

kembali nadi brachialis. Tindakan yang sama dilakukan pada tungkai, cuff

dipasang di bagian distal dan Doppler dipasang di arteri dorsalis pedis atau arteri

42
tibialis posterior. ABI didapat dari tekanan sistolik ankle dibagi tekanan sistolik

brachialis.

Gambar 3.4 Pemeriksaan ankle brachial index (ABI)

Kriteria ABI

≥1 : Normal

< 0,9 : PAD

3. Penilaian Risiko Neuropati Perifer

Tanda neuropati perifer meliputi hilangnya sensasi rasa getar dan posisi,

hilangnya refleks tendon dalam, ulserasi trofik, foot drop, atrofi otot, dan

pembentukan callus hipertropik khususnya di daerah penekanan misalnya tumit.

Status neurologis dapat diperiksa menggunakan monofilamen Semmes-

Weinsten untuk mendeteksi “sensasi protektif”. Hasil abnormal jika penderita

tidak merasakansentuhan saat ditekan sampai monofilamen bengkok. Alat

pemeriksaan lain adalah garputala 128 Hz untuk sensasi getar di pergelangan kaki

43
dan sendi metatarsofalangeal pertama. Pada neuropati metabolik intensitas paling

parah di daerah distal. Pada umumnya, seseorang tidak merasakan getaran garpu

tala di jari tangan lebih dari 10 detik setelah pasien tidak dapat merasakan getaran

di ibu jari kaki. Beberapa penderita normal menunjukkan perbedaan antara sensasi

jari kaki dan tangan pemeriksa kurang dari 3 detik.

4. Pemeriksaan Penujang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain pemeriksaan darah

rutin (tanda-tanda infeksi), pemeriksaan kadar GDP, GD2PP, TTGO, serta

HbA1c, kimia darah, urinalisis, foto thoraks, serta foto pedis. Dengan demikian,

dapat diperoleh gambaran perjalanan penyakit DM yang dialami penderita, yang

selanjutnya akan membantu dalam menentukan penatalaksanaan kaki diabetik.

3.2.6 Penatalaksanaan Diabetic Foot

1. Pencegahan Primer

Pencegahan primer meliputi pencegahan terjadinya kaki diabetik dan

terjadinya ulkus, bertujuan untuk mencegah timbulnya perlukaan pada kulit.

Pencegahan primer ini juga merupakan suatu upaya edukasi kepada penyandang

DM baik yang belum terkena kaki diabetik, maupun penderita kaki diabetik untuk

mencegah timbulnya luka lain pada kulit.1

Pengelolaan kaki diabetik terutama ditujukan untuk pencegahan terjadinya

tukak, disesuaikan dengan keadaan risiko kaki. Berbagai usaha pencegahan

dilakukan sesuai dengan tingkat besarnya resiko tersebut. Dengan memberikan

44
alas kaki yang baik, berbagai hal terkait terjadinya ulkus karena faktor mekanik

akan dapat dicegah.

Penyuluhan diperlukan untuk semua kategori resiko tersebut. Untuk kaki

yang insensitif, alas kaki perlu diperhatikan benar untuk melindungi kaki yang

insensitif tersebut. Jika sudah ada deformitas, perlu perhatian khusus mengenai

alas kaki yang dipakai, untuk meratakan penyebaran tekanan pada kaki. Untuk

kasus dengan permasalahan vaskular, latihan kaki perlu diperhatikan benar untuk

memperbaiki vaskularisasi kaki.

2. Pencegahan Sekunder

Dalam pengelolaan kaki diabetik, kerja sama multi-disipliner sangat

diperlukan. Berbagai hal yang harus ditangani dengan baik agar diperoleh hasil

pengelolaan yang maksimal dapat digolongkan sebagai berikut:

1. Mechanical control (pressure control)

Kaki diabetik terjadi oleh karena adanya perubahan weight-

bearingarea pada plantar pedis. Daerah-daerah yang mendapat

tekanan lebih besar tersebut akan rentan terhadap timbulnya luka.

Berbagai cara untuk mencapai keadaan weight-bearing dapat

dilakukan antara lain dengan removable cast walker, total contant

casting, temporary shoes, felt padding, crutches, wheelchair, electric

carts, maupun cradled insoles.

2. Wound control

45
Perawatan luka sejak pertama kali pasien datang merupakan hal

yang harus dikerjakan dengan baik dan teliti. Evaluasi luka harus

dikerjakan secermat mungkin. Klasifikasi ulkus pedis dilakukan

setelah debridement yang adekuat. Debridement yang baik dan

adekuat akan sangat membantu mengurangi jaringan nekrotik yang

harus dikeluarkan tubuh. Dengan demikian akan sangat mengurangi

produksi cairan/pus dari ulkus/gangren.

3. Microbiological control (infection control)

Data mengenai pola kuman perlu diperbaiki secara berkala

untuk setiap daerah yang berbeda. Antibiotik yang dianjurkan harus

selalu disesuaikan dengan hasil biakan kuman dan resistensinya.

Umumnya didapatkan pola kuman yang polimikrobial, campuran

gram positif dan gram negatif serta kuman anaerob untuk luka yang

dalam dan berbau. Karena itu untuk lini pertama pemberian antibiotik

harus diberikan antibiotik spectrum luas, mencakup kuman gram

positif dan gram negatif (misalnya golongan sefalosporin)

dikombinasikan dengan obat yang bermanfaat terhadap kuman

anaerob (misalnya metronidazole).

4. Vascular control

Keadaan vaskular yang buruk tentu akan menghambat kesembuhan

luka. Berbagai langka diagnostik dan terapi dapat dikerjakan sesuai

keadaan dan kondisi pasien. Umumnya kelainan pembuluh darah

46
perifer dapat dikenali melalui berbagai cara sederhana seperti warna

dan suhu kulit, perabaan arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior,

arteri poplitea, dan arteri femoralis, serta pengukuran tekanan darah.

Setelah dilakukan diagnosis keadaan vaskularnya, dapat

dilakukan pengelolaan untuk kelainan pembuluh darah perifer dari

sudut vascular, yaitu berupa: Modifikasi faktor resiko (stop merokok),

memperbaiki faktor resiko terkait aterosklerosis (hiperglikemia,

hipertensi, dislipidemia)

Terapi farmakologis: Jika mengacu pada berbagai penelitian

yang salah dikerjakan pada kelainan akibat aterosklerosis ditempat

lain (jantung, otak), mungkin obat seperti aspirin dan lain

sebagainyaakan bermanfaat untuk pembuluh darah kaki penyandang

DM, tetapi sampai saat ini belum ada bukti yang cukup untuk

menganjurkan pemakaian obat secara rutin guna memperbaiki patensi

pada penyakit pembuluh darah kaki penyandang DM.

Revaskularisasi: Jika kemungkinan kesembuhan luka rendah

atau jika ada klaudikasio intermitten yang hebat, tindakan

revaskularisasi dapat dianjurkan.Sebelum tindakan revaskularisasi,

diperlukan pemeriksaan angiografi untuk mendapatkan gambaran

pembuluh darah yang lebih jelas.

Untuk oklusi yang panjang dianjurkan operasi bedah pintas

terbuka.Untuk oklusi yang pendek dapat dipikirkan untuk prosedur

47
endovascular (PTCA). Pada keadaan sumbatan akut dapat pula

dilakukan tromboarterektomi.

5. Metabolic control

Keadaan umum pasien harus diperhatikan dan diperbaiki.

Kadar glukosa darah diusahakan agar selalu senormal mungkin,

untuk memperbaiki faktor terkait hiperglikemia yang dapat

menghambat pemyembuhan luka. Umumnya diperlukan insulin

untuk menormalisasi kadar gula darah. Status nutrisi harus

diperhatikan dan diperbaiki. Nutrisi yang baik akan membantu

kesembuhan luka. Berbagai hal lain juga harus diperhatikan dan

diperbaiki, seperti kadar albumin serum, Hb, dan derajat oksigenasi

jaringan serta fungsi ginjal.

48
Tabel 3.3 Konversi Gula Darah Rerata Perkiraan HbA1C

6. Educational control

Edukasi sangat penting untuk semua tahap pengelolaan kaki

diabetik. Dengan penyuluhan yang baik, penyandang DM dan

ulkus/gangren diabetik maupun keluarganya diharapkan akan dapat

membantu dan mendukung berbagai tindakan yang diperlukan untuk

kesembuhan luka yang optimal.

3.2.7 Komplikasi Diabetic Foot

Ada 3 faktor yang berperan dalam kaki diabetik yaitu neuropati, iskemia,

dan infeksi. Biasanya amputasi harus dilakukan. Hilangnya sensori pada kaki

49
mengakibatkan iskemia jaringan dan infeksi. Neuropati, iskemia, dan infeksi bisa

menyebabkan gangren dan amputasi.

Gas gangrene merupakan kondisi medis yang ditandai dengan timbulnya

gelembung-gelembung pada kulit yang pucat yang berubah warna menjadi abu-

abu atau merah keunguan. Hal ini disebabkan oleh bakteri Clostridium

perfringens, yang melepaskan racun mematikan dan menghasilkan gas-gas yang

menyebabkan kematian jaringan. Gas gangrene merupakan bentuk paling fatal

dari antara semua gangrene dan intervensi medis dini diperlukan untuk

mengurangi kematian akibat komplikasi, seperti syok septik.

3.2.8 Prognosis Diabetic Foot

Ada 3 faktor yang berperan pada penyembuhan luka dan infeksi pada kaki

diabetik. Faktor pertama adalah angiopati arteriol yang menyebabkan perfusi

jaringan kaki kurang baik hingga mekanisme radang menjadi tidak efektif. Faktor

kedua adalah lingkungan gula darah yang subur untuk perkembangan bakteri

pathogen, dan faktor ketiga adalah karena adanya pintas arteriovenosa di subkutis

yang terbuka hingga aliran nutrient tidak sampai ke tempat infeksi.

Selain ketiga faktor diatas, masih banyak faktor lain yang ikut berpengaruh

dalam terbentuknya kaki diabetik. Waspadji menyatakan bahwa faktor

pendidikan, sekonomi yang rendah terkait dengan pengetahuan yang kurang

mengenai diabetes melitus dan pencegahan komplikasinya serta kemampuan

financial akan mempengaruhi pengelolaan DM yang dideritanya. Status gizi yang

rendah memiliki keterkaitan dengan rendahnya respon imun sehingga

mempermudah terjadinya infeksi.

50
Adapun prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan dalam pemantauan

penyakit DM secara berkepanjangan antara lain:

 Pemantauan kadar glukosa darah secara berfrekuensi (sebaiknya dapat

dilakukan oleh pasien secara mandiri)

 Pemeriksaan kadar HbA1c (2-4kali/tahun)

 Edukasi pasien mengenai manajemen DM

 Edukasi dan terapi gizi medis

 Pemeriksaan mata

 Pemeriksaan kaki (1-2 kali/tahun di dokter, dan setiap hari oleh pasien

sendiri)

 Tes saring untuk nefropati diabetic

 Pengukuran tekanan darah

 Pemeriksaan profil lipid dan kreatinin serum

 Imunisasi influenza/pneumococcus

 Pertimbangkan terapi antiplatele

3.3 Terapi Insulin Pada Pasien Rawat Inap Dengan Hiperglikemia

Terapi insulin untuk pasien yang menjalani rawat inap tidak saja ditujukan

untuk pasien yang telah diketahui menderita diabetes, tetapi juga pasien dengan

hiperglikemia yang baru diketahui saat di rawat di rumah sakit.

1. Indikasi

Dilihat dari derajat keparahan penyakit, target gula darah, dan

pemantauannya, terapi insulin pada pasien diabetes yang menjalani rawat inap

51
dibagi menjadi 2 bagian besar yaitu pasien DM dengan penyakit kritis dan pasien

DM dengan penyakit non kritis.

Bagan 3.1 Kebutuhan Insulin Pada Pasien Rawat Inap

2. Sasaran Glikemik

Sasaran kendali glikemik diharapkan dapat dicapai tanpa menimbulkan

komplikasi akibat insulin, dengan cara melakukan penurunan kadar gula darah

secara hati-hati. Adapun sasaran kendali glikemik pada rawat inap adalah sebegai

berikut:

1. Pasien DM dengan penyakit kritis: 140-180 mg/dL

2. Pasien DM dengan penyakit non kritis:

a. Sebelum makan: 100-140 mg/dL

b. Acak: <180 mg/dL.

3. Kebutuhan Insulin Pada Pasien Rawat Inap

52
Dalam keadaan yang memerlukan regulasi glukosa darah yang relatif cepat

dan tepat, insulin adalah yang terbaik karena kerjanya cepat dan dosisnya dapat

disesuaikan dengan hasil kadar glukosa darah. Prinsip terapi insulin untuk pasien

yang dirawat inap adalah sama, yaitu memulai dari dosis kecil yang kemudian

dinaikkan secara bertahap, untuk mencegah hipoglikemia. Mungkin memerlukan

terapi kombinasi oral dan insulin atau insulin saja.

Terapi insulin dapat diberikan secara infus intravena kontinyu atau

subkutan, secara terprogram atau terjadwal (insulin prandial, 1-2 kali insulin

basal, dan kalau diperlukan ditambah insulin koreksi atau suplemen). Kebutuhan

insulin harian total (IHT) dapat didasarkan pada dosis insulin sebelum perawatan

atau dihitung sebagai 0,5-1 unit/kg BB/hari. Untuk lanjut usia atau pasien dengan

gangguan fungsi ginjal, hendaknya diberikan dosis yang lebih rendah, misalnya

0,3 unit/kg BB/hari.

Kebutuhan insulin SK pada pasien rawat inap dapat berupa:

1. Insulin basal

Kebutuhan insulin basal didasarkan pada asumsi jumlah insulin yang

dibutuhkan sesuai dengan produksi glukosa hepatik (endogen), yaitu 40-

50% dari kebutuhan IHT.

2. Insulin prandial

Kebutuhan insulin prandial ditentukan berdasarkan asumsi jumlah insulin

yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan peningkatan gula darah

sesudah makan.

3. Insulin koreksional

53
Kebutuhan insulin koreksional merupakan jumlah insulin yang diperlukan

untuk mengoreksi kadar glukosa darah yang melebihi sasaran glikemik

yang telah ditentukan pada waktu tertentu. Secara umum, kebutuhan

prandial/nutrisional atau koreksi/supplemental per dosis biasanya sekitar

10-20% dari kebutuhan IHT.

Ketiga jenis kebutuhan insulin tersebut diatas dapat mengalami perubahan

dari kebutuhan harian pasien sebelum dirawat, tergantung dari beratnya stres

metabolik yang dialami.

4. Protokol Terapi Insulin

a. Terapi Insulin IV Kontinyu

Persyaratan memulai insulin IV kontinyu

 Sesuai indikasi

 Secara teknis memungkinkan: prasarana tersedia (syringe pump,

 mikrodrip, alat pemeriksaan glukosa darah mandiri/glukometer),

 tenaga kesehatan yang terampil, memungkinkan untuk dilakukan

 pemeriksaan glukosa darah yang intensif (yang pada awalnya perlu

 dilakukan setiap jam)

 Kadar kalium > 3mEq/L

 Jenis insulin yang digunakan: kerja pendek

 Upayakan konsentrasi insulin 1 U/m

54
Bagan 3.2 Insulin IV Kontinyu Pasien Rawat Inap

Jika terdapat syringe pump, siapkan 50 unit insulin regular (RI) dalam

spuit 50 cc, kemudian encerkan dengan NaCl 0,9 % 50 cc (1 cc NaCl = 1 Unit RI.

Atur kecepatan tetesan, misal: 1,5 unit RI dibutuhkan dalam 1 jam, petugas

tinggal mengatur kecepatan tetesan 1,5 cc per jam. Jika tidak terdapat syringe

pump, masukan RI kedalam 500 cc NaCl 0,9 % atur kecepatan tetesan

berdasarkan jumlah RI yang dibutuhkan.

55
b. Regimen Subkutan Dosis Terbagi

56
Tabel 3.4 Regimen Terapi Dosis Insulin Terbagi Pada Pasien Rawat Inap

c. Regimen Subkutan Dosis Koreksional

Jika kadar glukosa puasa tidak mencapai target, perlu dilakukan

penyesuaian dosis insulin malam untuk memenuhi kebutuhan basal. Dosis

koreksional ini ditentukan berdasarkan:

 Pola kadar glukosa darah yang terekam pada catatan pemantauan pasien

 Dosis insulin, asupan makanan, dan kegiatan fisik pasien sebelumnya

 Asupan makanan dan kegiatan fisik pasien yang akan diberikan selama

 periode pemberian dosis koreksional.

Koreksi biasanya dilakukan dengan menaikkan dosis insulin rapid-atau

short-acting sejumlah 1-2 unit, atau bisa juga dengan menaikkan sejumlah 3% dari

kebutuhan insulin harian total.

57
Tabel 3.5 Regimen Terapi Dosis Insulin Koreksional Rawat Inap

d. Pemantauan Glukosa Darah

Pemantauan glukosa darah pada pasien rawat inap hendaknya selalu

berpegang pada prinsip kehati-hatian terhadap kejadian hipoglikemia. Semakin

agresif pemberian insulin, pemantauan glukosa darah dilakukan semakin ketat.

Hal ini disesuaikan tidak hanya atas indikasi klinis tetapi juga berdasarkan

kemampuan operasional sarana dan prasarana yang ada. Misalnya, meskipun

harus dilakukan pemantauan ketat, tetapi jika tenaga kesehatan jumlahnya

terbatas, maka agresivitas pemberian insulin hendaknya disesuaikan

Tabel 3.5 Pemantauan glukosa darah pada pasien rawat ina

e. Transisi Dari IV ke Subkutan (SK)

Pasien yang mendapatkan terapi insulin IV kontinyu biasanya akan

membutuhkan transisi ke insulin subkutan jika mereka memulai memakan

makanan biasa atau akan pindah ke ruang rawat biasa. Biasanya, dosis insulin

subkutan diberikan antara 75-80% dari dosis harian total insulin IV kontinyu,

58
yang kemudian dibagi secara proporsional menjadi komponen basal dan prandial.

Perlu dicatat, bahwa insulin SK harus diberikan 2 jam sebelum infus insulin IV

dihentikan untuk mencegah hiperglikemia.

Misalnya pasien mendapatkan insulin IV kontinyu 2 unit/jam dalam 6 jam

terakhir, berarti dosis insulin harian total adalah 48 unit. Kebutuhan insulin

subkutan adalah 80-100% dari insulin harian total yang diberikan secara IV

kontinyu: 80% x 48 unit = 38 unit. Dosis insulin basal subkutan: 50% dari 38 unit

= 19 unit. Dosis insulin prandial: 50% dari 38 unit = 19 unit; dibagi tiga masing-

masing 6 unit setiap kali sebelum makan (makan pagi, siang dan malam).

F. Sliding Scale Pemberian Insulin SK

Sliding scale merupakan regimen pemberian insulin dimana dosis insulin

sebelum makan atau malam hari dinaikkan secara progresif, berdasarkan kisaran

sasaran glukosa darah yang sebelumnya telah ditentukan. Di daerah dengan

fasilitas terbatas, insulin sliding scale SK masih dapat diberikan, disertai dengan

pemeriksaan glukosa darah setiap 6 jam atau mendekati waktu makan. Namun

regimen ini tidak dianjurkan untuk jangka panjang, dan secepatnya segera beralih

ke fixed dose. Selain itu sliding scale juga tidak disarankan digunakan untuk

menentukan dosis harian. Biasanya regimen yang digunakan adalah insulin kerja

cepat. Prinsip pemberian sliding scale:

 Tentukan jumlah asupan karbohidrat

 Metode ini dapat dikombinasikan dengan pemberian insulin basal

59
 Insulin bolus berdasarkan kadar glukosa darah sebelum makan atau malam

sebelum tidur

 Dosis insulin premixedberdasarkan kadar glukosa darah sebelum makan.

Tabel 3.6 Contoh Skema Sliding Scale

Tetapi pemberian dengan target yang lebih rendah dimungkinkan dengan

pemantauan yang lebih ketat.

BAB IV

ANALISIS KASUS

4.1 Anamnesis

60
Pada pasien ini di diagnosis Diabetic Foot regio pedis dextra dengan DM

tipe 2 dikarenakan berdasarkan anamnesis pasien memang menderita DM tipe 2

sejak 5 tahun yang lalu tetapi tidak rutin kontrol dan minum obat.

Sebelumnya pasien memiliki keluhan sesuai dengan keluhan klasik DM yaitu

sering berkemih, selalu merasa haus dan lapar serta penurunan berat badan,

pasien juga merasa lemas. Pertama kali diketahui menderita DM, gula darah

pasien mencapai ±500 mg/dl dan sekarang GDS pasien mencapai 291 mg/dl. Hal

ini sesuai dengan kriteria diagnosis DM, bahwa terdapat gejala klasik DM disertai

peningkatan Glukosa plasma >200 mg/dl. Pada pasien DM terjadi hiperglikemia

karena pengaruh insulin pada metabolisme glukosa terganggu. Penimbunan

glukosa di intravaskular menyebabkan hiperosmolaritas. Transport glukosa akan

meningkat di ginjal sehingga glukosa di ekresikan kedalam urin. Dikarenakan

nilai ambang glukosa di ginjal 180mg/dl maka jika glukosa melebihi nilai ambang

akan dikeluarkan bersama urin. Hal ini mengakibatkan pasien menjadi lebih

sering kencing dan kehausan. Pembentukan glukoneogenesis pada penderita DM

mengalami gangguan, sehingga pembentukan energi diambil dari protein dan

lemak tubuh. Hal ini mengakibatkan pasien mudah merasa lapar, badan lemas,

dan berat badan menjadi turun drastis.

Selain itu pasien juga mempunyai keluhan lainnya seperti kesemutan dan

kebas pada kaki. Dikarenakan kurang nya pengendalian gula darah, pasien

mengalami komplikasi kronis DM yaitu terdapat luka dibagian kaki kanan yang

di alami sejak ±1 bulan yang lalu yang tidak kunjung sembuh dan

bertambah berat serta tidak nyeri. Gejala neuropati menyebabkan hilang atau

61
berkurangnya rasa nyeri dikaki, sehingga apabila penderita mendapat trauma akan

sedikit atau tidak merasakan nyeri sehingga mendapatkan luka pada kaki.

Pada pemeriksaan fisik pasien dalam kondisi sadar, tampak sakit sedang.

Pemeriksaan vital sign dalam batas normal. Status generalisata konjungtiva

anemis (+/+), akral pucat, dan ditandai dengan penurunan jumlah Hb (6,6

mg/dl) hal ini berkaitan dengan hiperglikemia mengakibatkan anemia. Pada

hiperglikemia terjadi proses inflamasi dengan ditandai peningkatan proinflamasi

citokin (IL-6, TNF-α, dan NFkB). Dengan peningkatan IL-6 terjadi efek

Antieritropoietic, karena citokin ini mengubah sensitivitas progenitor (erytroid

growth factor) menjadi eritropoietin dan dapat juga mengakibatkan apoptosis

eritrosit immature, dua hal ini menyebabkan penurunan kosentrasi eritrosit dan

hemoglobin di sirkulasi.

Pada perkusi jantung tampak pembesaran batas jantung kiri, dengan di

dukung pemeriksaan Rontgen Thorax terdapat kardiomegali. Hal ini

mengidentifikasi bahwa terdapat komplikasi kronis lain yang terjadi akibat dari

penyakit DM yaitu cardiomiopati DM (komplikasi makrvoskular). Pembentukan

Cardiomypati Diabetes berhubungan dengan berbagai macam factor, beberapa

mekanisme termasuk gangguan metabolic, resistensi insulin, penyakit

mikrovaskular, peubahan pada system RAA, disfungsi otonom cardiac, dan

fibrosis myocardial. Hiperglikemia kronik berperan sentral pada pembentukan

diabetes cardiomyopati, namun banyak mekanisme kompleks dan peran dari

berbagai molekul dan metabolic didalam myocardium bertanggung jawab

terhadap pembentukan nya. Gangguan metabolic paling utama adalah

62
hiperglikemia, hiperlipidemia, dan inflamasi, semuanya menstimulasi reactive

oxygen atau nitrogen yang menyebabkan komplikasi, termasuk nephrophaty

diabetic dan cardiomyopati diabetic. Beberapa respon adaptif menyebabkan

gangguan metabolic yang berujung perubahan fungsi cardiac dan gagal jantung.

Pemeriksaan status lokalis tampak ulkus pada inferior digiti I pedis dextra

ukuran 3x3x1cm, edema, hiperemis, berbau, dasar otot, debris (+), jaringan

nekrotik (+), pus (+). Tampak ulkus pada sela-sela jari digiti II – III dan III –IV

pedis dextra ukuran 1x3x1 cm, edema, hiperemis, berbau, dasar otot sebagian

tulang, debris (+), jaringan nekrotik (+), pus (+). Perabaan hangat pada kedua

ekstremitas, sensasi raba pedis dextra menurun (+), nyeri tekan (+/+). Berdasarkan

klasifikasi Wagner pada pasien ini termasuk kedalam klasifikasi Wagner derajat

III. Luka yang tak kunjung sembuh pada kaki pasien ini merupakan salah satu

gejala dari komplikasi kronik DM yaitu vaskulopati dimana terjadi ketidakrataan

permukaan lapisan dalam arteri sehingga aliran lamellar berubah menjadi turbulen

yang berakibat pada mudahnya terbentuk trombus. Pada stadium lanjut seluruh

lumen arteri akan tersumbat dan mana kala aliran kolateral tidak cukup, akan

terjadi iskemia dan bahkan gangren yang luas. Pada awal muncul luka, pasien

tidak merasa ada gangguan sampai pasien tersebut melihatnya, hal ini

menunjukkan adanya gejala neuropati yang biasanya terjadi pada penderita DM.

Neuropati pada pasien penderita DM diakibatkan oleh karena adanya gangguan

jalur poliol (glukosa >> sorbitol >> fruktosa) yang selanjutnya akan menimbulkan

gangguan pada sel saraf dan menyebabkan hilangnya akson sehingga kecepatan

konduksi motorik akan berkurang.

63
Pada pemeriksaan palpasi, pulsasi arteri dorsalis dextra menurun, hal ini

menimbulkan kecurigaan adanya PAD. Pemeriksaan lebih lanjut dengan ABI

untuk menilai ada tidak nya gangguan arteri perifer seharusnya dilakukan, namun

karena ketidak tersediaan alat, pemeriksaan tidak dilakukan. Hal ini menjadi

keterbatasan untuk menilai outcome pasien dengan menggunakan kriteria PEDIS.

Pemeriksaan lab menunjukan Hb 6,6 g/dl, leukosit 11.91, hematokrit

18.6%, trombosit 677 ribu, eritrosit 2.37, hitung jenis leukosit Shift To The Right,

GDS 291 mg/dl, ion Na 132 mmol/L, Albumin 2.5. Penurunan nilai Hb,

hematokrit dan eritrosit menunjukan adanya anemia. Hal ini sesuai dengan

kondisi pasien dimana pasien mengeluh badan lemas, konjungtiva anemis, dan

akral pucat. Anemia adalah suatu kondisi ketika terjadi penurunan jumlah massa

eritrosit sehingga tidak dapat menjalankan fingsinya dalam membawa oksigen ke

jaringan perifer. Anemia gravis ditandai dengan nilai Hb <8 mg/dl pada pria.

Pemberian terapi tranfusi darah diberikan kepada pasien dengan anemia gravis

sampai mencapai target Hb (10 mg/dl). Pada pasien ini diberikan tranfusi PRC 4

labu sampai mencapai Hb 10,3 mg/dl.

Peningkatan leukosit pada pasien ini dikarenakan adanya fokus infeksi

pada pasien, hal ini ditandai dengan adanya tanda-tanda inflamasi lokal, ulkus

dengan pus dan nekrosis jaringan di kaki kanan pasien. Hitung jenis menunjukan

adanya pergeseran ke kanan pada neutrofil, hal ini menunjukan adanya infeksi

bakteri pada pasien. Pemberian antibiotik sefalosporin yaitu Ceftriaxone 2x1g

yang bersifat spectrum luas di kombinasi dengan Metronidazol 3x500mg

64
golongan anaerob sudah sesuai dengan teori, dimana pada diabetic foot

didapatkan pola kuman yang polimikrobial, campuran gram positif dan gram

negatif serta kuman anaerob untuk luka yang dalam dan berbau. Karena itu untuk

lini pertama pemberian antibiotik harus diberikan antibiotik spectrum luas,

mencakup kuman gram positif dan gram negatif.

Peningkatan jumlah trombosit berperan penting terhadap hubungan fungsi

pembuluh darah dengan trombosit dimana terjadi peningkatan agregsi trombosit

yang di duga terjadi karena trombosit teraktivasi akibat dari kadar gula darah yang

semakin tinggi mengakibatkan beban kepada jaringan tubuh. Penumpukan gula

darah tersebut akan mengganggu fungsi pembuluh darah dan sel saraf, rusaknya

pembuluh darah yang menyebabkan trombosis kemudian menjadi trombus.

Trombositosis dapat berbahaya jika trombus terbawa aliran darah yang kemudian

dapat menyumbat pada pembuluh darah perifer, hal ini dapat mengakibatkan

berbagai macam komplikasi terkait iskemik jaringan. Pada pasien ini tidak

diberikan terapi kusus terkait trombositosis. Namun seiring perawatan di rawat

inap, jumlah trombosit menurun dan membaik.

Pada pasien ini didapatkan peningkatan gula darah sewaktu 291 mg/dl.

Berdasarkan pemeriksaan GDS ini menjadi penunjang untuk penegakan diagnosis

DM tipe 2. Penatalaksanaan DM dengan ulkus harus dilakukan sesegera

mungkin. Komponen penting dalam manejemen kaki diabetik dengan ulkus

adalah: kendali metabolik (gula darah, lipid, albumin, hemoglobin, dan

sebagainya), kendali vaskular, kendali infeksi, dan kendali luka dengan

65
pembuangan jaringan terinfeksi dan nekrosis (tissue debridement). Adapun untuk

kontrol gula darah pasien, pengobatan yang dilakukan adalah dengan pemberian

terapi insulin karena sudah ada idikasi pemakaian insulin yaitu perkiraan HbA1C

> 9%, adanya ulkus dan infeksi.

Pada pasien ini prinsip pengendalian gula darah sesuai dengan prinsip

pengendalian gula darah pasien rawat inap. Gula darah pasien saat masuk ruangan

yaitu 291 mg/dl, pasien dalam kondisi hiperglikemia, namun bukan termasuk

kedalam pasien kritis, pasien direncanakan untuk operasi sehingga terapi insulin

dapat diberikan secara IV kontinyu atau Sliding Scale Subkutan. Pada pasien ini

diberikan Sliding Scale Subkutan sesuai dengan protap dari tanggal 14 sampai

dengan 15 mei dengan target glukosa <200 mg/dl. Regimen ini tidak dianjurkan

untuk jangka panjang, sehingga pada tanggal 16 mei terapi insulin berpindah ke

Fixed dose subkutan Novorapid 3x8 iu. Berdasarkan teori, kebutuhan total insulin

pasien dalam 24 jam yang kemudian diambil 80% dari kebutuhan insulin dalam

24 jam, yaitu 32 iu. Dosis insulin prandial yaitu 50% dari 32 iu = 16 iu.

Pemberian diberikan sehari 3x yaitu pagi, siang, dan sore sebanyak 5 unit (16:3).

Pada pasien ini setelah pemberian fixed dose selama 24 jam, kadar glukosa darah

tidak terkoreksi dengan baik, didapatkan GDS 302 mg/dl dan GD2PP 310 mg/dl

dan pasien direncanakan operasi esok hari, terapi fixed dose diberhentikan dan

dilanjut dengan terapi IV kontinyu sebanyak 50 iu insulin kerja cepat dalam 500

cc NaCl 0,9 % (2 iu/jam) habis dalam 24 jam (7 tetes/menit). Gula darah pasien

setelah diberikan insulin IV kontinyu mencapi GDS 87 mg/dl, IV kontinyu stop.

Pasien kemudian dilakukan operasi. Setelah operasi GDS pasien meningkat

66
kembali diatas 200 mg/dl, akhirnya pasien diberikan kembali terapi Sliding Scale /

6 jam. Esok nya pasien dipulangkan dengan dosis insulin kerja lama sansulin

1x14 iu dan OHO glimepirid 1x2mg, hal ini sesuai dengan protap kebutuhan

insulin IV kontinyu sebesar 50 iu dalam 24 jam, 80% kebutuhan insulin dalam 24

jam sebesar 40 iu, dengan kebutuhan insulin basal 50% dari 40 iu sebesar 20 iu.

Namun pasien tidak hanya diberikan insulin tapi pasien juga diberikan OHO,

sehingga dosis insulin dapat diturunkan.

Pada pasien ini didapatkan nilai albumin 2.5 mg/dl, dengan pemeriksan

RO Thorax tampak adanya efusi pleura kanan. Pasien ini diberikan terapi Chana

2x1. Pada infeksi ulkus kaki diabetik terjadi proses inflamasi melibatkan banyak

mediator inflamasi yang kan mempengaruhi kadar albumin serum. Faktor yang

mempengaruhi kadar albumin serum adalah dalamnya luka, luas luka, adanya

infeksi, dan IL-6. Pada kondisi ini terjadi perubahan distribusi albumin antara

kompartement intravaskular dan ekstravaskular. Albumin masuk ke interstitial

kemudian menarik cairan ke interstitial terjadi gangguan reekspansi intravaskular

dan edema jaringan. Sebuah penelitian menjelaskan bahwa terdapat hubungan

antara konsentrasi serum albumin dengan perbaikan klinis infeksi ulkus kaki

diabetik. Hipoalbuminemia < 2.8 mg/dl merupakan faktor risiko amputasi pada

pasien yang di rawat dengan ulkus kaki diabetik terinfeksi. Albumin memiliki

fungsi antara lain untuk mempertahankan tekanan onkotik, fungsi metabolik,

keseimbangan asam basa, antioksidan, mempertahankan integritas mikrovaskular,

dan efek antikoagulan. Setiap penurunan albumin 0,25 g/dl berhubungan dengan

peningkatan mortalitas 24-56%., kadar 2.0 g/dl hampir 100% mortal.

67
Hipoalbuminemia dianggap dapat mempengaruhi proses terapi (berkaitan dengan

perannya sebagai tempat berikatan obat), pada obat yang terikat dengan albumin

dapat meningkatkan eliminasi obat (waktu paruh memendek) misalnya berbagai

antibiotik. Pemberan albumin IV tidak selalu memberikan hasil yang signifikan

secara cepat. Beberapa penelitian menjelaskan bahwa tidak ada bukti bahwa

pemberian albumin IV bisa mengurangi mortalitas. Pemberian albumin IV masih

kontroversial, pemberian lebih di dasarkan pada tradisi dan kriteria <2.5 g/dl

menunjukan mortalitas yang tinggi. Pemberian suplementasi oral albumin pada

dasarnya suplementasi protein, bentuk dasarnya pemberian putih telur (dominan

Albumin) atau ikan gabus (Chana striata). Terdapat penelitian yang menjelaskan

bahwa suplementasi albumin telur dapat meningkatkan kadar albumin serum,

namun mempunya efek samping yaitu mual dan muntah. penelitian lain

menjelaskan bahwa putih telur dan ikan gabus gagal menaikan albumin serum

namun dapat mempertahankan albumin tidak turun. Suplementasi albumin oral

ekstrak Chana striata setara dengan koreksi albumin manusia IV pada pasien

emergensi selama 3 hari. Pemberian oral suplemen lebih aman, efektif dan murah.

Kadar ion Natrium pasien mencapai 132 mmol/L hal ini terdapat gangguan

elektrolit hiponatremia. Menurut teori bahwa setiap peningkatan 100 mg/dl

glukosa akan menurunkan kadar natrium 1,6 meq/L, hal ini dikarenakan

peningkatan glukosa di intravaskular mengakibatkan peningkatan viscositas

darah, akibatnya terjadi perpindahan cairan intrasel ke intravaskular untuk

mengimbangi hiperglikemia. Peningkatan jumlah cairan intavaskular akan

mengakibatkan kadar natrium terlarut menjadi lebih sedikit dibandingkan jumlah

68
cairannya. Pada pasien ini diberikan terapi cairan 500 cc NaCl 0,9 % / 24 jam

untuk terapi hiponatremia nya. Berdasarkan teori, pasien ini membutuhkan sekitar

690 cc NaCl 0,9 % dalam waktu 30 jam (koreksi lambat), atau sekitar 23 cc NaCl

0,9% /jam nya (setara 552 cc NaCl 0,9/ 24 jam).

Pemeriksaan EKG tampak adanya sinus takikardi, hal ini dapat terjadi

akibat proses infeksi yang terjadi, serta kebutuhan oksigen pada jaringan yang

menurun (ulkus). Sehingga jantung memompa darah lebih cepat, mengakibatkan

peningkatan denyut jantung. Hal ini dapat membaik apabila faktor risiko di

tangani. Hal ini sesuai dengan pasien bahwa setiap hari perawatan terjadi

penurunan HR menuju nilai normal.

Rontgen Pedis Dextra tampak lesi litik dan detruktif pada os phalang

proksimal sampai distal digiti IV dan lesi litik pada os phalang proksimal dan

distal digiti I pedis dextra, kesan Charcot’s disease DD/ osteomyelitis, disertai gas

gangrene di jaringan lunak. Hal ini sesuai dengan pasien ini bahwa pasien

mengalami komplikasi mikroangiopati DM (neuropati DM) berupa charcot foot

yaitu suatu kondisi yang mengenai tulang, sendi, dan jaringan lunak pada kaki

atau pergelangan kaki. Hal ini diakibatkan oleh neuropati otonom menyebabkan

gangguan aliran darah. Peningkatan sitokin inflamasi akan memicu resorpsi sel

tulang mengakibatkan osteopenia berat. Neuropati motorik berhubungan dengan

ketidak seimbangan dan distribusi abnormal tekanan pada kaki. Gangguan

sensorik membuat pasien tidak merasakan tekanan abnormal tersebut, sehingga

terjadi destruksi tulang. sehingga menurunkan kekuatan tulang. Gejala nya

69
ditandai dengan inlamasi akut, fragmentasi osteolondral, subluksasi sendi, atau

dislokasi sendi dan desruksi tulang. Adanya gas gangren disebabkan oleh infeksi

bakteri Clostridium perfringens, yang melepaskan racun mematikan dan

menghasilkan gas-gas yang menyebabkan kematian jaringan. Gas gangrene

merupakan bentuk paling fatal dari antara semua gangrene dan intervensi medis

dini diperlukan untuk mengurangi kematian akibat komplikasi, seperti syok

septik.

Pemberian injeksi ketorolak 2x1 post operasi adalah untuk penahan rasa

nyeri akibat pembedahan. Ketorolak merupakan golongan NSID yang dapat

mengiritsi lambung, hal ini dapat dicegah dengan pemberian obat ijeksi

Omeprazol 1x1 sebagai proteksi lambung.

DAFTAR PUSTAKA

1. Waspadji S. Kaki Diabetes. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, et al


(eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III Edisi IV. Jakarta: FKUI, 2007:
hal.1911-36
2. Soetjahjo A. Peranan Neuropati Diabetik. Dalam: Majalah Kedokteran
Andalas Vo. 22 No. 1. Juni 1998, h.2-10
3. Shahab A. Komplikasi Kronik DM Penyakit Jantung Koroner. Dalam: Sudoyo
AW, Setiyohadi B, Alwi I, et al (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
III Edisi IV. Jakarta: FKUI, 2007: h.1894-7

70
4. Schteingart DE. Pankreas: Metabolisme Glukosa dan Diabetes Mellitus. Price
SA & Wilson LM (eds). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit
Edisi 6 Volume 2. Jakarta:EGC, 2006: h.1259-74
5. Rowe, W.L. Diabetic ulcers [online]. 2011, april 01[citied on 2014, Maret
15th]. Available from: http://emedicine.medscape.com/
6. Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL, et al. Harrison’s Manual of Medicine 17 th
Edition. New York: McGraw-Hill, 2009; h.942-7
7. Sera M. Medical Condition Diseases [online].2013, maret 27[citied on 2014,
April 5th]. Available from: http://persify/medical-condition-diseases.com/

71

Anda mungkin juga menyukai