Disusun oleh :
Pembimbing:
Oleh :
Septi Dian Yustiani 1810221042
Pembimbing
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat dan karunia-Nya lah penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang
berjudul “Ny.A 66 Tahun Dengan Diabetes Mellitus Tipe 2, Dislipidemia, AKI
On CKD, CAD, dan Neuropati Diabetik” ini. Adapun referat ini disusun untuk
memenuhi salah satu syarat Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam.
Penyusunan laporan ini terselesaikan atas bantuan dari banyak pihak yang
turut membantu terselesaikannya laporan ini. Untuk itu, dalam kesempatan ini
penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr.
Mursida Syarifuddin Kamran, Sp.PD, FINASM selaku pembimbing dan seluruh
teman kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Dalam atas kerjasamanya selama
penyusunan laporan ini.
Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca
guna perbaikan yang lebih baik. Semoga laporan ini dapat bermanfaat baik bagi
penulis sendiri, pembaca maupun bagi semua pihak-pihak yang berkepentingan.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
II.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis di
Bangsal Cempaka 1 RSUD Pasar Minggu pada 14 Maret 2019 pukul 15.00
WIB.
Keluhan Utama
Nyeri pada kedua kaki.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Pasar Minggu dengan keluhan nyeri
pada kedua kaki sejak 3 hari SMRS. Nyeri dirasakan menjalar dari telapak
kaki hingga lutut, disertai rasa kesemutan dan baal pada kedua telapak kaki.
Keluhan memberat terutama ketika berjalan dan melakukan pekerjaan
rumah, dan berkurang saat pasien istirahat.
Pasien mengaku sering merasa haus dan sering buang air kecil. Pasien
tidak pernah merasakan nyeri ataupun panas ketika BAK. Keluhan mudah
merasa lapar disangkal.
Saat ini kedua kaki pasien bengkak. Bengkak dirasakan sejak 1
minggu SMRS. Bengkak timbul secara perlahan dan belum berkurang
hingga saat ini. Keluhan sesak napas saat akan tidur disangkal, pasien juga
tidak memiliki kebiasaan untuk menggunakan beberapa bantal saat tidur.
Pasien juga terkadang merasa mudah lelah dan pusing ketika
beraktivitas. Pusing dirasakan pasien seperti ditekan, keluhan pusing
berputar disangkal. Pasien tidak pernah merasa mual atau muntah. Semakin
hari pasien merasa semakin lemas. Keluhan sesak napas, jantung berdebar
dan nyeri dada disangkal. Pasien mengaku mempunyai riwayat DM,
Hipertensi, dan sakit jantung sejak lama. Pasien rutin minum obat. Riwayat
Hemodialisa disangkal.
Riwayat Pengobatan
Pasien rutin kontrol ke poli Penyakit Dalam RSUD Pasar Minggu dengan
Hipertensi dan Diabetes Mellitus mendapat Candesartan 1x16mg,
Bisoprolol 5mg, Amlodipine 1x10mg, Gliquidone 2x15mg, dan
Metformin 2x500mg
Pasien rutin kontrol ke poli Jantung RSUD Pasar Minggu dengan CAD
mendapat Clopidogrel 1x75mg, Nitrokaf 2x5mg, ISDN 5mg prn, dan
HCT 1x25mg. Pada tahun 2017 pasien pernah disarankan untuk
dilakukan CABG, namun pasien menolak.
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tampak di SIC V LMCS
Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC V LMCS, kuat angkat
Perkusi : Batas atas kanan : SIC II LPSS
Batas atas kiri : SIC II LMCS
Batas bawah kanan : SIC V LPSD
Batas bawah kiri : SIC V LMCS
Auskultasi : S1>S2, regular, murmur (-), gallop (-)
8. Pemeriksaan abdomen
Inspeksi : datar, jaringan parut (-), spider navy (-)
Auskultasi : bising usus
Perkusi : timpani, undulasi (-), shifting dullness (-)
Palpasi : supel, nyeri tekan (-)
Hepar : tidak teraba
Lien : tidak teraba
9. Pemeriksaan ekstremitas
Superior : Edema (-/-), akral dingin (-/-), sianosis (-/-), ikterik (-/-)
Inferior : Edema pitting (+/+), akral dingin (-/-), sianosis (-/-),
ikterik (-/-) nyeri tekan (+/+)
10. Pemeriksaan neurologis
Tanda rangsang meningeal : Kaku kuduk (-)
Laseq >70/>70
Kerniq >135/>135
Status motorik :
Diabetes
GDS 284 (↑) mg/dL 70─180
Fungsi ginjal
Ureum 81 (↑) mg/dL <48
Kreatinin 2.31 (↑) mg/dL 0.6
Elektrolit
Natrium 142 mEq/L 135─147
Kalium 3.70 mEq/L 3.50─5.00
Klorida 102 mEq/L 95─105
Interpretasi EKG:
II.6 Tatalaksana
Tatalaksana Farmakologi
Terapi saat di IGD
− IVFD NaCl 0.9% 20 tpm
− Inj. Ceftriaxon 1x2gr
− Inj. Ranitidin 2x1 amp iv
− Inj. Novorapid 10 IU
− Sliding Scale Insulin per 6 jam
− Obat rutin hipertensi dan DM lanjut Candesartan 1x16mg, Bisoprolol 5mg,
Amlodipine 1x10mg, Gliquidone 2x15mg, dan Metformin 2x500mg
− Obat rutin jantung lanjut Clopidogrel 1x75mg, Nitrokaf 2x5m, ISDN 5mg
prn, dan HCT 1x25mg
II.7 Prognosis
Quo ad vitam : dubia
Quo ad functionam : dubia
Quo ad sanationam : dubia
II.8 Follow Up
13 Maret 2019
S
Pasien mengeluh nyeri pada kedua kakinya, disertai rasa kesemutan, dan
lemas. Kelemahan sebelah anggota tubuh (-), mual (-), muntah (-)
O Tanda vital
TD: 150/60 mmHg
HR: 73x/menit, reguler, kuat angkat
RR: 20x/menit
T: 36.7oC
SaO2: 99%
Status generalis:
Mata: CA -/-, SI -/-
Pulmo: SD Vesikuler +/+, RBK -/-, RBH -/-, Wh-/-
Cor: S1>S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen: datar, supel, nyeri tekan (-), tympani seluruh lapang abdomen
Ekstremitas: akral hangat, CRT <2 detik, edema pitting tungkai +/+
Hematologi
Hemoglobin 10.3 g/dL L 11.7 - 15.5 |
Hematokrit 31 % L 35 - 47 |
Leukosit 7.8 10^3/uL 3.6 - 11.0 |
Trombosit 300 10^3/uL 150 - 440 |
Eritrosit 3.51 10^6/uL L 3.80 - 5.20 |
Kolesterol Total 285 mg/dL H 0 - 265
Ureum 81 mg/dl H <48 |
Kreatinin 2.31 mg/dL H 0.60 - 1.10 |
Natrium 142 mEq/L 135 - 147 |
Kalium 3.70 mEq/L 3.50 - 5.00 |
Chlorida 102 mEq/L 95 - 105 |
P GDS/8 jam
Apidra 3x8 unit
Gliquidone 1x30mg
Metformin stop
Obat jantung lanjut
14 Maret 2019
S
Keadaan umum pasien baik, pasien mengeluh nyeri pada kedua kaki
O Tanda vital
TD: 120/70 mmHg
HR: 82x/menit, reguler, kuat angkat
RR: 22x/menit
T: 36.7oC
SaO2: 99%
Status generalis:
Mata: CA -/-, SI -/-
Pulmo: SD Vesikuler +/+, RBK -/-, RBH -/-, Wh-/-
Cor: S1>S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen: datar, supel, nyeri tekan (-), tympani seluruh lapang abdomen
Ekstremitas: akral hangat, CRT <2 detik, edema pitting tungkai +/+
Hematologi
Hemoglobin 10.3 g/dL L 11.7 - 15.5 |
Hematokrit 31 % L 35 - 47 |
Leukosit 7.8 10^3/uL 3.6 - 11.0 |
Trombosit 300 10^3/uL 150 - 440 |
Eritrosit 3.51 10^6/uL L 3.80 - 5.20 |
Kolesterol Total 285 mg/dL H 0 - 265
Ureum 81 mg/dl H <48 |
Kreatinin 2.31 mg/dL H 0.60 - 1.10 |
Natrium 142 mEq/L 135 - 147 |
Kalium 3.70 mEq/L 3.50 - 5.00 |
Chlorida 102 mEq/L 95 - 105 |
A DM Tipe 2
Dislipidemia
AKI on CKD
CAD
Neuropati Diabetik
P Terapi lanjut
NaCl 0.9% 500cc/12 jam
Apidra 3x10 unit subkitan
Gliquidone 2x30mg
Gabapentin 1x300mg
Natrium diklofenak 2x25mg
Cek HbA1c
15 Maret 2019
S
Pasien mengeluh nyeri pada kedua kakinya berkurang. Kelemahan
sebelah anggota tubuh (-), mual (-), muntah (-)
O Tanda vital
TD: 120/90 mmHg
HR: 88x/menit, reguler, kuat angkat
RR: 20x/menit
T: 36.5oC
SaO2: 98%
Status generalis:
Mata: CA -/-, SI -/-
Pulmo: SD Vesikuler +/+, RBK -/-, RBH -/-, Wh-/-
Cor: S1>S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen: datar, supel, nyeri tekan (-), tympani seluruh lapang abdomen
Ekstremitas: akral hangat, CRT <2 detik, edema pitting tungkai +/+
Hematologi
Hemoglobin 10.3 g/dL L 11.7 - 15.5 |
Hematokrit 31 % L 35 - 47 |
Leukosit 7.8 10^3/uL 3.6 - 11.0 |
Trombosit 300 10^3/uL 150 - 440 |
Eritrosit 3.51 10^6/uL L 3.80 - 5.20 |
Kolesterol Total 285 mg/dL H 0 - 265
Ureum 81 mg/dl H <48 |
Kreatinin 2.31 mg/dL H 0.60 - 1.10 |
Natrium 142 mEq/L 135 - 147 |
Kalium 3.70 mEq/L 3.50 - 5.00 |
Chlorida 102 mEq/L 95 - 105 |
HbA1c : 13.4%
A DM Tipe 2
Dislipidemia
AKI on CKD
CAD
Neuropati Diabetikum
P Terapi Lanjut
Rencana pulang
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Tabel 1. Klasifikasi DM
Tipe 1 Destruksi sel Beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut.
Autoimun
Idiopatik
Tipe 2 Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin disertai insulin relatif
sampai yang dominan defek sekresi insulin disertai resisntensi insulin
insulin. Adiposit yang berlebih akan mensekresi sitokin TNF- , yang berperan untuk
lemak bebas atau free fatty acid (FFA) meningkat. TNF- akan mengganggu
sinyalisasi insulin dalam proses fosforilasi reseptor insulin dan mengurangi ekspresi
GLUT-4. Hal ini akan menggangu konsumsi glukosa oleh otot rangka, menstimulus
produksi glukosa hepar dan menggangu fungsi sel beta sehingga terjadi
hiperglikemia (Price,2005).
Gambar 1. Mekanisme Kerja Insulin
(Price, 2005)
Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas telah
dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-2 Belakangan diketahui
bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat daripada yang
diperkirakan sebelumnya. Selain otot, liver dan sel beta, organ lain seperti:jaringan
lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal (defisiensi incretin), sel alpha
pancreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa), dan otak
(resistensi insulin), kesemuanya ikut berperan dalam menimbulkan terjadinya
gangguan toleransi glukosa pada DM tipe-2. Delapan organ penting dalam gangguan
toleransi glukosa ini (ominous octet) penting dipahami karena dasar patofisiologi ini
memberikan konsep tentang:
1. Pengobatan harus ditujukan guna memperbaiki gangguan patogenesis, bukan
hanya untuk menurunkan HbA1c saja
2. Pengobatan kombinasi yang diperlukan harus didasari atas kinerja obat pada
gangguan multipel dari patofisiologi DM tipe 2.
3. Pengobatan harus dimulai sedini mungkin untuk mencegah atau memperlambat
progresivitas kegagalan sel beta yang sudah terjadi pada penyandang gangguan
toleransi glukosa.
DeFronzo pada tahun 2009 menyampaikan, bahwa tidak hanya otot, liver
dan sel beta pankreas saja yang berperan sentral dalam patogenesis penderita DM
tipe-2 tetapi terdapat organ lain yang berperan yang disebutnya sebagai the ominous
octet (gambar-2)
Gambar 2. Organ target pada patogenesis DM tipe 2
(Ralph A. DeFronzo. From the Triumvirate to the Ominous Octet: A New Paradigm for
the Treatment of Type 2 Diabetes Mellitus. Diabetes. 2009; 58: 773-795)
b. Suntikan
1) Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan : penurunan berat badan yang cepat,
hiperglikemia berat yang disertai ketosis, ketoasidosis diabetik,
hiperglikemia hiperosmolar nonketotik, hiperglikemia dengan asidosis laktat,
gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal, stres berat (infeksi
sistemik, operasi besar, IMA, stroke), DM gestasional yang tidak terkendali
dengan TGM, gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat, serta
kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO. Berdasar lama kerja, insulin
terbagi menjadi empat jenis, yaitu :
a) Insulin kerja cepat ( rapid acting insulin )
a) Insulin kerja pendek ( short acting insulin )
b) Insulin kerja menengah ( intermediate acting insulin )
c) Insulin kerja panjang ( long acting insulin )
d) Insuln campuran tetap ( premixed insulin )
Efek samping terapi insulin yang utama adalah terjadinya
hipoglikemia. Selain itu, efek samping yang lain berupa reaksi imun
terhadap insulin yang dapat menimbulkan alergi insulin atau resistensi
insulin (Sudoyo, 2006).
c. Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah,
untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respon kadar glukosa
darah. Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan
dapat dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi. Terapi OHO dengan
kombinasi harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang mempunyai
mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai,
dapat pula diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau
kombinasi OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai alasan klinik dimana
insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, dipilih terapi kombinasi dengan tiga
OHO. Untuk kombinasi OHO dengan insulin, yang banyak dipergunakan
adalah kombinasi OHO dan insulin basal (insulin kerja sedang/panjang) yang
diberikan pada malam hari menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut
pada umumnya dapat diperoleh kendali glukosa darah yang baik dengan dosis
insulin yang cukup kecil (Fauci, 2008).
Dosis awal insulin kerja menengah/panjang adalah 10 unit yang
diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan
menilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. Bila dengan cara seperti
di atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali, maka obat
hpoglikemik oral dihentikan dan diberikan insulin. (Perkeni, 2015).
III.2.2 Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal, yaitu atas dasar
derajat penyakit dan atas dasar etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit,
dibuat berdasarkan LFG, yang dihitung dengan mempergunakan rumus
Kockcroft-Gault sebagai berikut:
III.2.3 Etiologi
Beberapa penyebab terjadinya CKD antara lain (Sudoyo, 2006) :
1. Gangguan imunologis
a. Glomerulonefritis
b. Poliartritis nodosa
c. Lupus eritematous
2. Gangguan metabolik
a. Diabetes Mellitus
b. Amiloidosis
c. Nefropati Diabetik
3. Gangguan pembuluh darah ginjal
a. Arterisklerosis
b. Nefrosklerosis
4. Infeksi
a. Pielonefritis
b. Tuberkulosis
5. Gangguan tubulus primer
a. Nefrotoksin (analgesik, logam berat)
6. Obstruksi traktus urinarius
a. Batu ginjal
b. Hipertopi prostat
c. Konstriksi uretra
7. Kelainan kongenital
a. Penyakit polikistik
b. Tidak adanya jaringan ginjal yang bersifat kongenital (hipoplasia
renalis)
III.2.6 Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik tergantung pada penyakit yang
mendasari, namun dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi
kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal menyebabkan hipertrofi sisa
nefron secara struktural dan fungsional sebagai upaya kompensasi. Hipertrofi
“kompensatori” ini akibat hiperfiltrasi adaptif yang diperantarai oleh
penambahan tekanan kapiler dan aliran glomerulus. Proses adaptasi ini
berlangsung singkat, yang pada akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi
berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses inidiikuti dengan
penurunan fungsi nefron yang progresif walaupun penyakit yang
mendasarisudah tidak aktif lagi (Suwitra, 2009).
Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron
intrarenal ikut memberikan konstribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi,
sklerosis dan progesifitas tersebut. Aktivitas jangka panjang aksis renin-
angiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor seperti
transforming growth factor ß. Beberapa hal yang juga dianggap berperan
terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria,
hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual
untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstitial
(Suwitra, 2009).
Gagal ginjal kronik ditandai dengan penurunan laju filtrasi glomerulus
(LFG). Pada stadium yang paling dini penyakit ginjal kronik terjadi
kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan mana basal LFG
masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti
akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan
peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Pada LFG sebesar 60%, pasien
belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar
urea dan kreatinin serum. Pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada
pasien seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan
penurunan berat badan(Suwitra, 2009).
Pada LFG di bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda
uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan
metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya.
Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi
saluran napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan
keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan
elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG dibawah 15% akan
terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan
terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis atau
transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium
gagal ginjal(Suwitra, 2009).
Anemia yang terjadi pada penyakit gagal ginjal kronik terutama
disebabkan oleh defisit eritropoietin. Hal-hal lain yang ikut berperan dalam
terjadinya anemia adalah defisiensi besi, kehilangan darah (misal perdarahan
saluran cerna, hematuria), massa hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya
hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh substansi
uremik, proses inflamasi akut maupun kronik (Suwitra, 2009). Pada penderita
CKD, produksi erytropoetin menurun dan anemia berat akan terjadi disertai
keletihan, angina dan sesak nafas (Price et al, 2005).
Hilangnya kemampuan memekatkan atau mengencerkan kemih
menyebabkan BJ urin tetap pada nilai 1,010 atau 285 mOsmot (sama dengan
konsentrasi plasma) dan merupakan penyebab gejala poliuria dan nokturia.
Retensi cairan dan natrium ini mengkibatkan ginjal tidak mampu
mengkonsentrasikan dan mengencerkan urin. Respon ginjal yang tersisa
terhadap masukan cairan dan elektrolit sehari-hari tidak terjadi. Penderita
sering menahan cairan dan natrium, sehingga meningkatkan risiko terjadinya
edema, gagal jantung kongestif dan hipertensi. Hipertensi juga dapat terjadi
akibat aktivasi aksis renin dan angiotensin. Kerjasama keduanya
meningkatkan sekresi aldosteron(Price et al, 2005).
Saat muntah dan diare menyebabkan penipisan air dan natrium yang
dapat mempreberat stadium uremik. Dengan berkembangnya penyakit renal
terjadi asidosis metabolik seiring dengan ketidakmampuan ginjal
mengekskresikan muatan asam (H+) yang berlebihan. Penurunan sekresi
asam terutama akibat ketidakmampuan tubulus ginjal mengekskresikan
amonia dan mengabsorbsi natrium bikarbonat (Price et al, 2005).
Pada gagal ginjal kronik dapat terjadi gangguan metabolisme kalsium
dan fosfat. Kedua kadar serum tersebut memiliki hubungan yang saling
berlawanan. Dengan menurunnya filtrasi melalui glomerulus ginjal, terdapat
peningkatan kadar fosfat serum dan penurunan kadar serum kalsium.
Penderita gagl ginjal kronik juga dapat mengalami osteophorosis sebagai
akibat dari menurunnya fungsi ginjal untuk memproduksi vitamin D,
sehingga terjadi perubahan kompleks kalsium, fosfat dan keseimbangan
hormon (Price et al, 2005).
Pada pendeita DM, konsentrasi gula dalam darah yang meningkat,
menyebabkan kerusakan pada nefron ginjal atau menurunkan fungsinya yang
akhirnya akan merusak sistem kerja nefron untuk memfiltrasi zat – zat sisa.
Keadaan ini bisa mengakibatkan ditemukannya mikroalbuminuria dalam
urine penderita.Inilah yang biasa disebut sebagai nefropati diabetik (Price et
al, 2005).
III.2.9 Tatalaksana
1. Terapi konservatif
Terapi ini bertujuan untuk mencegah memburuknya faal ginjal
secara progresif, meringankan keluhan, memperbaiki metabolisme secara
optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit. Terapi ini
dilakukan dengan mengendalikan asupan protein dan memenuhi
kebutuhan kalori (Sukandar, 2006).
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah
atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat
merugikan terutama berkaitan dengan gangguan keseimbangan negatif
nitrogen. Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG ≤ 60
ml/mnt, sedangkan di atas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak
selalu dianjurkan. Protein diberikan 0,6-0,8/kgbb/hari, yang 0,35-0,50 gr
diantaranya merupakan protein nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang
diberikan sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari, dibutuhkan pemantauan yang
teratur terhadap status nutrisi pasien (Sukandar, 2006).
Bila terjadi malnutrisi, jumlah asupan kalori dan protein dapat
ditingkatkan. Berbeda dengan kelebihan lemak dan karbohidrat, kelebihan
protein tidak disimpan dalam tubuh tapi tapi dipecah menjadi urea dan
substansi nitrogen lain, yang terutama dieksresikan melalui ginjal.
Pemberian diet tinggi protein pada pasien penyakit ginjal kronik akan
mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lain, dan
mengakibatkan gangguan klinis dan metabolik yang disebut uremia.
Pembatasan protein akan mengakibatkan berkurangnya sindrom uremik
(Sukandar, 2006).
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk PGK harus adekuat
dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif
nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.Kebutuhan
cairan bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat
supaya jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.19.Kebutuhan jumlah
mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG dan penyakit
ginjal dasar (underlying renal disease) (Sukandar, 2006).
2. Terapi simptomatik
Beberapa terapi simptomatik yang dapat diberikan adalah :
III.2.9 Komplikasi
Komplikasi yang sering ditemukan pada penderita CKD adalah :
a. Anemia
Anemia terjadi karena gangguan pada produksi eritropoietin yang
bertugas mematangkan sel darah merah. Kekurangan sel darah merah
mengakibatkan gangguan pengangkutan oksigen ke seluruh tubuh dan
jaringan. Gejala yang sering muncul adalah lemas, kurang energi, dan
cepat lelah.
b. Osteodistofi renal
Osteodistrofi renal adalah kelainan tulang karena tulang kehilangan
kalsium akibat adanya hiperparatiroidisme sekunder. Penderita CKD
memiliki kadar fosfat dalam darah yang sangat tinggi. Fosfat tersebut akan
berikatan dengan ion kalsium sehingga terjadi kekurangan ion kalsium
bebas pada darah. Tubuh akan merespon dengan mengeluarkan hormon
paratiroid yang akan meningkatkan pelepasan kalsium dari tulang ke aliran
darah sehingga tulang menjadi kekurangan kalsium.
c. Gagal jantung
Jantung kehilangan kemampuan memompa darah dalam jumlah
yang memadai ke seluruh tubuh akibat berkurangnya kekuatan memompa.
Gagal jantung pada penderita gagal ginjal kronis dimulai dari keadaan
hipertensi dan anemia yang mengakibatkan jantung harus bekerja lebih
keras, sehingga terjadi pelebaran bilik jantung kiri (left venticular
hypertrophy/ LVH). Lama-kelamaan otot jantung akan melemah dan tidak
mampu lagi memompa darah sebagaimana mestinya.
d. Disfungsi ereksi
Ketidakmampuan seorang pria untuk mencapai atau
mempertahankan ereksi yang diperlukan untuk melakukan hubungan
seksual dengan pasangannya. Selain akibat gangguan sistem produksi
hormon testeron, secara emosional penderita gagal ginjal kronis menderita
perubahan emosi. Namun, penyebab utama gangguan kemampuan pria
penderita gagal ginjal kronis adalah suplai darah yang tidak cukup ke
penis.
Beberapa komplikasi CKD berdasarkan derajat keparahannya dapat dilihat pada
Tabel 4.
III.2.10 Prognosis
Pasien dengan gagal ginjal kronik umumnya akan menuju stadium
terminal atau derajat 5. Progresifitas penyakit sangat tergantung dari
diagnosis etiologi yang mendasari dan keberhasilan terapi. Pasien yang
menjalani dialisis kronik akan mempunyai angka kesakitan dan kematian
yang tinggi. Pasien dengan gagal ginjal stadium akhir yang menjalani
transpantasi ginjal akan hidup lebih lama daripada yang menjalani dialisis
kronik. Kematian terbanyak adalah karena kegagalan jantung (45%), infeksi
(14%), kelainan pembuluh darah otak (6%), dan keganasan (4%) (Rahardjo et
al., 2006).
DAFTAR PUSTAKA
Bruno A., Liebeskind D., Hao Q., Raychev R. 2010. “Diabetes Mellitus, Acute
Hyperglicemia, and Ischemic Future stroke. Current Treatment Options in
Neurology. 12: 492-503.
Concheiro J, Loureiro M, González-Vilas D, et al. 2009. Erysipelas and cellulitis:
a retrospective study of 122 cases. 100(10): 888-94
Djuanda, Adhi. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ketujuh. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.2008
Herchline TE. 2011. Cellulitis. Wright State University, Ohio, United State of
America.
Levey, AS, Coresh J, Balk E, Kautz T, Levin A, Steves M et al. 2005. National
Kidney Foundation Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation,
Classification,and Stratification. Ann Intern Med ;139:137-47.
Morris, AD. 2008. Cellulitis and erysipelas. University Hospital of Wales, Cardiff,
UK. 1708
Murray L, Ian W, Tom T, Chee KC. 2007. Chronic Renal failure in Oxford
Handbook of Clinical Medicine. Ed. 7th. New York: Oxford University.
294-97.
Rahardjo, P., Susalit, E., Suhardjono., 2006. Hemodialisis. Dalam: Sudoyo, A.W.,
Setiyohadi, B., Alwi, I., Marcellus, S.K., Setiati, S., Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I. Edisi keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 579-580.
Ralph A. DeFronzo. From the Triumvirate to the Ominous Octet: A New Paradigm for the
Treatment of Type 2 Diabetes Mellitus. Diabetes. 2009; 58: 773-795)
Sharon, K. Chronic kidney disease.Critical Care Nurse. 2006;14:17-22.
Sudoyo, Aru W, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Keempat. Jilid
I. Jakarta Balai Penerbit FKUI. p. 725 – 33 ; 766 – 71.
Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakrta: IPD FKUI. 2006.
Sukandar, E., 2006. Nefrologi Klinik. Edisi ketiga. Bandung: Pusat Informasi
Ilmiah (PII) Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNPAD.
Suwitra K. 2009. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid II Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. 1035-40.