Anda di halaman 1dari 47

LAPORAN KASUS

NY.A 66 TAHUN DENGAN DM TIPE 2, DISLIPIDEMIA,


AKI ON CKD, CAD, DAN NEUROPATI DIABETIK

Disusun oleh :

Septi Dian Yustiani 1810221042

Pembimbing:

dr. Mursida Syarifuddin Kamran, Sp.PD, FINASM

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PASAR MINGGU
FAKULTAS KEDOKTERAN UPN “VETERAN” JAKARTA
PERIODE 4 MARET 2019 – 11 MEI 2019
LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN KASUS

NY.A 66 TAHUN DENGAN DM TIPE 2, DISLIPIDEMIA,


AKI ON CKD, CAD, DAN NEUROPATI DIABETIK

Disusun dan diajukan untuk memenuhi persyaratan tugas


Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Rumah Sakit Umum Daerah Pasar Minggu

Oleh :
Septi Dian Yustiani 1810221042

Jakarta, Maret 2019


Telah dibimbing dan disahkan oleh,

Pembimbing

(dr. Mursida Syarifuddin Kamran, Sp.PD, FINASM)


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat dan karunia-Nya lah penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang
berjudul “Ny.A 66 Tahun Dengan Diabetes Mellitus Tipe 2, Dislipidemia, AKI
On CKD, CAD, dan Neuropati Diabetik” ini. Adapun referat ini disusun untuk
memenuhi salah satu syarat Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam.
Penyusunan laporan ini terselesaikan atas bantuan dari banyak pihak yang
turut membantu terselesaikannya laporan ini. Untuk itu, dalam kesempatan ini
penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr.
Mursida Syarifuddin Kamran, Sp.PD, FINASM selaku pembimbing dan seluruh
teman kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Dalam atas kerjasamanya selama
penyusunan laporan ini.
Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca
guna perbaikan yang lebih baik. Semoga laporan ini dapat bermanfaat baik bagi
penulis sendiri, pembaca maupun bagi semua pihak-pihak yang berkepentingan.

Jakarta, Maret 2019

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Hiperglikemia adalah suatu kondisi medik berupa peningkatan kadar glukosa


dalam darah melebihi batas normal. Hiperglikemia merupakan salah satu tanda khas
penyakit diabetes mellitus (DM), meskipun juga mungkin didapatkan pada beberapa
keadaan yang lain. Saat ini penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan
peningkatan angka insidensi dan prevalensi DM tipe-2 di berbagai penjuru dunia. Badan
Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi adanya peningkatan jumlah penyandang DM yang
menjadi salah satu ancaman kesehatan global (Perkeni, 2015).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2003, diperkirakan
penduduk Indonesia yang berusia diatas 20 tahun sebanyak 133 juta jiwa. Dengan
mengacu pada pola pertambahan penduduk, maka diperkirakan pada tahun 2030 nanti
akan ada 194 juta penduduk yang berusia diatas 20 tahun. Dengan kemungkinan terjadi
peningkatan jumlah penyandang DM di masa mendatang akan menjadi beban yang sangat
berat untuk dapat ditangani sendiri oleh dokter spesialis/subspesialis atau bahkan oleh
semua tenaga kesehatan yang ada (Perkeni, 2015).
Penyakit DM sangat berpengaruh terhadap kualitas sumber daya manusia dan
berdampak pada peningkatan biaya kesehatan yang cukup besar. Oleh karenanya semua
pihak, baik masyarakat maupun pemerintah, seharusnya ikut serta secara aktif dalam
usaha penangglukosangan DM, khususnya dalam upaya pencegahan (Perkeni, 2015).
Peran dokter umum sebagai ujung tombak di pelayanan kesehatan primer menjadi
sangat penting. Penyandang DM dengan kadar glukosa darah yang sulit dikendalikan atau
yang berpotensi mengalami penyulit DM perlu secara periodik dikonsultasikan kepada
dokter spesialis penyakit dalam atau dokter spesialis penyakit dalam konsultan endokrin
metabolik dan diabetes di tingkat pelayanan kesehatan yang lebih tinggi di rumah sakit
rujukan. DM merupakan penyakit menahun yang akan disandang seumur hidup.
Pengelolaan penyakit ini memerlukan peran serta dokter, perawat, ahli gizi, dan tenaga
kesehatan lain (Perkeni, 2015).
BAB II
STATUS PASIEN

II.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. A
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 66 tahun
Agama : Islam
Pendidikan Terakhir : SMA
Pekerjaan : Ibu
Status Pernikahan : Menikah
Tanggal Masuk RS : 12 Maret 2019
Tanggal Periksa : 14 Maret 2019
Ruang Rawat : Cempaka 1
Pembiayaan : BPJS

II.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis di
Bangsal Cempaka 1 RSUD Pasar Minggu pada 14 Maret 2019 pukul 15.00
WIB.
 Keluhan Utama
Nyeri pada kedua kaki.
 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Pasar Minggu dengan keluhan nyeri
pada kedua kaki sejak 3 hari SMRS. Nyeri dirasakan menjalar dari telapak
kaki hingga lutut, disertai rasa kesemutan dan baal pada kedua telapak kaki.
Keluhan memberat terutama ketika berjalan dan melakukan pekerjaan
rumah, dan berkurang saat pasien istirahat.
Pasien mengaku sering merasa haus dan sering buang air kecil. Pasien
tidak pernah merasakan nyeri ataupun panas ketika BAK. Keluhan mudah
merasa lapar disangkal.
Saat ini kedua kaki pasien bengkak. Bengkak dirasakan sejak 1
minggu SMRS. Bengkak timbul secara perlahan dan belum berkurang
hingga saat ini. Keluhan sesak napas saat akan tidur disangkal, pasien juga
tidak memiliki kebiasaan untuk menggunakan beberapa bantal saat tidur.
Pasien juga terkadang merasa mudah lelah dan pusing ketika
beraktivitas. Pusing dirasakan pasien seperti ditekan, keluhan pusing
berputar disangkal. Pasien tidak pernah merasa mual atau muntah. Semakin
hari pasien merasa semakin lemas. Keluhan sesak napas, jantung berdebar
dan nyeri dada disangkal. Pasien mengaku mempunyai riwayat DM,
Hipertensi, dan sakit jantung sejak lama. Pasien rutin minum obat. Riwayat
Hemodialisa disangkal.

 Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat penyakit jantung : diakui, yaitu penyakit jantung koroner
Riwayat stroke : disangkal
Riwayat hipertensi : diakui
Riwayat DM : diakui
Riwayat asma : disangkal
Riwayat penyakit ginjal : disangkal
Riwayat penyakit paru : disangkal
Riwayat penyakit liver : disangkal

 Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat hipertensi : diakui
Riwayat DM : diakui
Riwayat asma : disangkal
Riwayat penyakit ginjal : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat penyakit liver : disangkal
Riwayat stroke : disangkal

 Riwayat Pengobatan
 Pasien rutin kontrol ke poli Penyakit Dalam RSUD Pasar Minggu dengan
Hipertensi dan Diabetes Mellitus mendapat Candesartan 1x16mg,
Bisoprolol 5mg, Amlodipine 1x10mg, Gliquidone 2x15mg, dan
Metformin 2x500mg
 Pasien rutin kontrol ke poli Jantung RSUD Pasar Minggu dengan CAD
mendapat Clopidogrel 1x75mg, Nitrokaf 2x5mg, ISDN 5mg prn, dan
HCT 1x25mg. Pada tahun 2017 pasien pernah disarankan untuk
dilakukan CABG, namun pasien menolak.

 Riwayat Sosial, Ekonomi, dan Kebiasaan


 Community
Pasien adalah seorang istri yang tinggal bersama suami dan anaknya.
Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga. Hubungan pasien dengan
keluarga dan tetangga baik.
 Occupational
Pasien adalah seorang ibu rumah tangga.
 Home
Pasien tinggal di sebuah rumah dengan keluarganya.. Kamar mandi dan
jamban di dalam rumah. Kebersihan baik dengan ventilasi baik.
 Personal Habit
Pasien jarang berolahraga. Kebiasaan merokok, minum alkohol dan
menggunakan obat-obatan terlarang disangkal.
 Drugs and Diet
Pasien sedang mengkonsumsi obat-obatan untuk DM dan hipertensinya.
Pasien makan 3 kali sehari. Pasien mengaku senang mengkonsumsi ikan
asin sebagai lauk bersama nasi dan senang minum minuman manis.

II.3 Pemeriksaan Fisik


Status Generalis
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : GCS E4V5M6
Tanda Vital

Tekanan darah : 150/60 mmHg

Laju nadi : 73x/menit, kuat angkat, reguler

Laju pernapasan : 20x/menit

Suhu : 36,7oC

SaO2 : 99%
Status Antropometri

BB : 50 kg

TB : 159 cm

IMT : 19,77 kg/m2
GDS : 284
1. Pemeriksaan kepala
Bentuk kepala : Simetris, mesocephal
Rambut : Distribusi rambut merata, warna hitam
2. Pemeriksaan mata
a. Konjungtiva : Anemis (-/-)
b. Sklera : Ikterik (-/-)
c. Palpebra : Oedem (-/-)
d. Refleks cahaya : Langsung (+/+), tidak langsung (+/+),
pupil isokor 3mm/3mm
3. Pemeriksaan telinga
a. Simetris : (+)
b. Kelainan bentuk : (-)
c. Discharge : (-)
4. Pemeriksaan hidung
a. Discharge : (-)
b. Napas cuping hidung :(-)
5. Pemeriksaan mulut
a. Bibir : sianosis (-), pucat (-), mukosa basah
b. Lidah : sianosis (-)
6. Pemeriksaan leher
Tidak ada deviasi trakea, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid dan KGB,
JVP 5+2 mmHg
7. Pemeriksaan Thorax
Pulmo
Inspeksi : simetris kanan kiri, retraksi (-), ketinggalan gerak (-)
Palpasi : vocal fremitus dikedua lapang paru
Perkusi : sonor di kedua lapang paru, batas paru hepar di SIC V LMCD
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), RBK -/-, RBH -/-, wheezing -/-

Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tampak di SIC V LMCS
Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC V LMCS, kuat angkat
Perkusi : Batas atas kanan : SIC II LPSS
Batas atas kiri : SIC II LMCS
Batas bawah kanan : SIC V LPSD
Batas bawah kiri : SIC V LMCS
Auskultasi : S1>S2, regular, murmur (-), gallop (-)

8. Pemeriksaan abdomen
Inspeksi : datar, jaringan parut (-), spider navy (-)
Auskultasi : bising usus
Perkusi : timpani, undulasi (-), shifting dullness (-)
Palpasi : supel, nyeri tekan (-)
Hepar : tidak teraba
Lien : tidak teraba
9. Pemeriksaan ekstremitas
Superior : Edema (-/-), akral dingin (-/-), sianosis (-/-), ikterik (-/-)
Inferior : Edema pitting (+/+), akral dingin (-/-), sianosis (-/-),
ikterik (-/-) nyeri tekan (+/+)
10. Pemeriksaan neurologis
Tanda rangsang meningeal : Kaku kuduk (-)
Laseq >70/>70
Kerniq >135/>135
Status motorik :

Status Motorik Superior Inferior


Gerak B/B BT/BT
Kekuatan Motorik 5/5 5/5
Tonus N/N N/N
Trofi Eu/Eu Eu/Eu
Klonus -/- -/-
Refleks fisiologis Biceps +/+ Patella +/+

Triceps +/+ Achilles +/+


Refleks patologis Hoffman Tromner -/- Babinsky -/-

Status sensorik : hemihipestesi (-)


Otonom: Retensio uri (-), retensio alvi (-)

II.4 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Laboratorium 12 Maret 2019

Parameter Nilai Satuan Nilai normal


Darah rutin
Hb 10.3 (↓) mg/dL 11.7─15.5
Ht 31 (↓) % 35─47
Leukosit 7.8 (↑) 103/μL 3.6─11.0
Trombosit 300 103/μL 150─440
Eritrosit 3.51 106/μL 3.80─5.20
Kolesterol
Kolesterol 285 (↑) mg/dL 0-265
total

Diabetes
GDS 284 (↑) mg/dL 70─180
Fungsi ginjal
Ureum 81 (↑) mg/dL <48
Kreatinin 2.31 (↑) mg/dL 0.6
Elektrolit
Natrium 142 mEq/L 135─147
Kalium 3.70 mEq/L 3.50─5.00
Klorida 102 mEq/L 95─105

EKG 12 Maret 2019

Interpretasi EKG:

Sinus rhythm HR: 60x/m


Gelombang P 0,08 detik dan 0,1 mV. Interval PR 0,16 detik
Axis: (+) di Lead I dan di Lead II, (-) menonjol di Lead III  Deviasi sumbu
jantung ke kiri
Kompleks QRS 0,12 detik (normal). Segmen ST dan gelombang T normal
Gelombang R di V5/V6 lebih dari 35 mm

Interpretasi : LVH (Left ventricular hypertrophy)


II. 5 Diagnosis Kerja
 Diabetes Mellitus Tipe 2
 Dislipidemia
 AKI dd CKD
 CAD

II.6 Tatalaksana
 Tatalaksana Farmakologi
Terapi saat di IGD
− IVFD NaCl 0.9% 20 tpm
− Inj. Ceftriaxon 1x2gr
− Inj. Ranitidin 2x1 amp iv
− Inj. Novorapid 10 IU
− Sliding Scale Insulin per 6 jam
− Obat rutin hipertensi dan DM lanjut Candesartan 1x16mg, Bisoprolol 5mg,
Amlodipine 1x10mg, Gliquidone 2x15mg, dan Metformin 2x500mg
− Obat rutin jantung lanjut Clopidogrel 1x75mg, Nitrokaf 2x5m, ISDN 5mg
prn, dan HCT 1x25mg

II.7 Prognosis
 Quo ad vitam : dubia
 Quo ad functionam : dubia
 Quo ad sanationam : dubia

II.8 Follow Up
13 Maret 2019
S
Pasien mengeluh nyeri pada kedua kakinya, disertai rasa kesemutan, dan
lemas. Kelemahan sebelah anggota tubuh (-), mual (-), muntah (-)

O Tanda vital
TD: 150/60 mmHg
HR: 73x/menit, reguler, kuat angkat
RR: 20x/menit
T: 36.7oC
SaO2: 99%

Status generalis:
Mata: CA -/-, SI -/-
Pulmo: SD Vesikuler +/+, RBK -/-, RBH -/-, Wh-/-
Cor: S1>S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen: datar, supel, nyeri tekan (-), tympani seluruh lapang abdomen
Ekstremitas: akral hangat, CRT <2 detik, edema pitting tungkai +/+

Hematologi
Hemoglobin 10.3 g/dL L 11.7 - 15.5 |
Hematokrit 31 % L 35 - 47 |
Leukosit 7.8 10^3/uL 3.6 - 11.0 |
Trombosit 300 10^3/uL 150 - 440 |
Eritrosit 3.51 10^6/uL L 3.80 - 5.20 |
Kolesterol Total 285 mg/dL H 0 - 265
Ureum 81 mg/dl H <48 |
Kreatinin 2.31 mg/dL H 0.60 - 1.10 |
Natrium 142 mEq/L 135 - 147 |
Kalium 3.70 mEq/L 3.50 - 5.00 |
Chlorida 102 mEq/L 95 - 105 |

GDS : 284 mg/dl


A  DM Tipe 2
 Dislipidemia
 AKI on CKD
 CAD

P  GDS/8 jam
 Apidra 3x8 unit
 Gliquidone 1x30mg
 Metformin stop
 Obat jantung lanjut

14 Maret 2019
S
Keadaan umum pasien baik, pasien mengeluh nyeri pada kedua kaki

O Tanda vital
TD: 120/70 mmHg
HR: 82x/menit, reguler, kuat angkat
RR: 22x/menit
T: 36.7oC
SaO2: 99%

Status generalis:
Mata: CA -/-, SI -/-
Pulmo: SD Vesikuler +/+, RBK -/-, RBH -/-, Wh-/-
Cor: S1>S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen: datar, supel, nyeri tekan (-), tympani seluruh lapang abdomen
Ekstremitas: akral hangat, CRT <2 detik, edema pitting tungkai +/+

Hematologi
Hemoglobin 10.3 g/dL L 11.7 - 15.5 |
Hematokrit 31 % L 35 - 47 |
Leukosit 7.8 10^3/uL 3.6 - 11.0 |
Trombosit 300 10^3/uL 150 - 440 |
Eritrosit 3.51 10^6/uL L 3.80 - 5.20 |
Kolesterol Total 285 mg/dL H 0 - 265
Ureum 81 mg/dl H <48 |
Kreatinin 2.31 mg/dL H 0.60 - 1.10 |
Natrium 142 mEq/L 135 - 147 |
Kalium 3.70 mEq/L 3.50 - 5.00 |
Chlorida 102 mEq/L 95 - 105 |

GDS jam 05.00 : 152 mg/dl

GDS jam 12.00 : 269 mg/dl

GDS jam 17.00 : 221 mg/dl

A  DM Tipe 2
 Dislipidemia
 AKI on CKD
 CAD
 Neuropati Diabetik
P  Terapi lanjut
 NaCl 0.9% 500cc/12 jam
 Apidra 3x10 unit subkitan
 Gliquidone 2x30mg
 Gabapentin 1x300mg
 Natrium diklofenak 2x25mg
 Cek HbA1c

15 Maret 2019
S
Pasien mengeluh nyeri pada kedua kakinya berkurang. Kelemahan
sebelah anggota tubuh (-), mual (-), muntah (-)

O Tanda vital
TD: 120/90 mmHg
HR: 88x/menit, reguler, kuat angkat
RR: 20x/menit
T: 36.5oC
SaO2: 98%

Status generalis:
Mata: CA -/-, SI -/-
Pulmo: SD Vesikuler +/+, RBK -/-, RBH -/-, Wh-/-
Cor: S1>S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen: datar, supel, nyeri tekan (-), tympani seluruh lapang abdomen
Ekstremitas: akral hangat, CRT <2 detik, edema pitting tungkai +/+

Hematologi
Hemoglobin 10.3 g/dL L 11.7 - 15.5 |
Hematokrit 31 % L 35 - 47 |
Leukosit 7.8 10^3/uL 3.6 - 11.0 |
Trombosit 300 10^3/uL 150 - 440 |
Eritrosit 3.51 10^6/uL L 3.80 - 5.20 |
Kolesterol Total 285 mg/dL H 0 - 265
Ureum 81 mg/dl H <48 |
Kreatinin 2.31 mg/dL H 0.60 - 1.10 |
Natrium 142 mEq/L 135 - 147 |
Kalium 3.70 mEq/L 3.50 - 5.00 |
Chlorida 102 mEq/L 95 - 105 |

GDS jam 06.00 : 125 mg/dl

GDS jam 12.00 : 181 mg/dl

HbA1c : 13.4%
A  DM Tipe 2
 Dislipidemia
 AKI on CKD
 CAD
 Neuropati Diabetikum

P  Terapi Lanjut
 Rencana pulang
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

III.1 Diabetes Mellitus


III.1.1 Definisi Diabetes Mellitus
Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang mengganggu metabolisme karbohidrat,
lipid, dan protein karena defisiensi sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya.
Selain itu, DM mengakibatkan defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan
fungsi insulin. Pada kasus DM tipe 2 dapat terjadi dominan resistensi insulin relatif
disertai defisiensi insulin relatif sampai dominan defek sekresi insulin disertai
resistensi insulin (Perkeni,2015).

III.1.2 Klasifikasi Diabetes Mellitus


Klasifikasi DM dapat dijelaskan pada tabel (Perkeni, 2015).

Tabel 1. Klasifikasi DM
Tipe 1 Destruksi sel Beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut.
 Autoimun
 Idiopatik

Tipe 2 Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin disertai insulin relatif
sampai yang dominan defek sekresi insulin disertai resisntensi insulin

Tipe lain  defek genetik fungsi sel beta


 defek genetik kerja insulin
 penyakit endokrin pankreas
 endokrinopati
 karena obat atau zat kimia
 infeksi
 sebeb imunologi yang jarang
 sindroma genetik lain yang berhubungan dengan DM.
DM Keadaan hiperglikemi atau intoleransi glukosa yang terjadi selama
Gestasional kehamilan.

III.1.3 Faktor Risiko Diabetes Mellitus


Faktor risiko pada DM ada yang tidak dapat dimodifikasi dan yang dapat
dimodifikasi (Perkeni, 2015), yaitu :
Faktor risiko tidak bisa dimodifikasi :
1. Ras dan Etnik
1. Usia lebih dari 40 tahun
2. Riwayat keluargan dengan DM
3. Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi > 4000 gram atau riwayat pernah
menderita DM gestasional
Faktor risiko yang bisa dimodifikasi :
1) Berat badan lebih (IMT > 23)
1) Hipertensi (140/90 mmHg)
2) Dislipidemia
3) Diet yang tidak sehat (diet tinggi gula dan rendah serat)
4) Kurang aktivitas fisik

III.1.4 Patofisiologi Diabetes Mellitus


Permasalahan utama pada DM tipe 2 bukan karena kekurangan insulin,
tetapi pada sensitivitas dari sel target yang berkurang terhadap insulin atau disebut
dengan resistensi insulin. Resistensi insulin menyebabkan hiperglikemia karena
terjadi gangguan penggunaan glukosa pada sel dan peningkatan output glukosa
hepar. Ada banyak spekulasi yang menyebabkan terjadinya resistensi insulin. Salah
satu teori yang dikemukakan adalah penurunan reseptor insulin dan aktivitas tirosin
kinase. Tetapi, hal ini bukan penyebab primer dari resistensi insulin, karena
penurunan tersebut merupakan dampak dari hiperinsulinemia. Defek pada post
reseptor diyakini sebagai penyebab primer dari resistensi insulin, yaitu defek sinyal
PI-3 kinase yang menyebabkan translokasi GLUT-4 pada membran plasma
berkurang (Price,2005).
Teori lainnya menyebutkan bahwa obesitas dapat menyebabkan resistensi

insulin. Adiposit yang berlebih akan mensekresi sitokin TNF- , yang berperan untuk

menghambat lipogenesis dan meningkatkan aktivitas lipolisis sehingga kadar asam

lemak bebas atau free fatty acid (FFA) meningkat. TNF- akan mengganggu

sinyalisasi insulin dalam proses fosforilasi reseptor insulin dan mengurangi ekspresi
GLUT-4. Hal ini akan menggangu konsumsi glukosa oleh otot rangka, menstimulus
produksi glukosa hepar dan menggangu fungsi sel beta sehingga terjadi
hiperglikemia (Price,2005).
Gambar 1. Mekanisme Kerja Insulin
(Price, 2005)

Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas telah
dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-2 Belakangan diketahui
bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat daripada yang
diperkirakan sebelumnya. Selain otot, liver dan sel beta, organ lain seperti:jaringan
lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal (defisiensi incretin), sel alpha
pancreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa), dan otak
(resistensi insulin), kesemuanya ikut berperan dalam menimbulkan terjadinya
gangguan toleransi glukosa pada DM tipe-2. Delapan organ penting dalam gangguan
toleransi glukosa ini (ominous octet) penting dipahami karena dasar patofisiologi ini
memberikan konsep tentang:
1. Pengobatan harus ditujukan guna memperbaiki gangguan patogenesis, bukan
hanya untuk menurunkan HbA1c saja
2. Pengobatan kombinasi yang diperlukan harus didasari atas kinerja obat pada
gangguan multipel dari patofisiologi DM tipe 2.
3. Pengobatan harus dimulai sedini mungkin untuk mencegah atau memperlambat
progresivitas kegagalan sel beta yang sudah terjadi pada penyandang gangguan
toleransi glukosa.
DeFronzo pada tahun 2009 menyampaikan, bahwa tidak hanya otot, liver
dan sel beta pankreas saja yang berperan sentral dalam patogenesis penderita DM
tipe-2 tetapi terdapat organ lain yang berperan yang disebutnya sebagai the ominous
octet (gambar-2)
Gambar 2. Organ target pada patogenesis DM tipe 2
(Ralph A. DeFronzo. From the Triumvirate to the Ominous Octet: A New Paradigm for
the Treatment of Type 2 Diabetes Mellitus. Diabetes. 2009; 58: 773-795)

Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan hal


(omnious octet) berikut (Perkeni, 2015):
1. Kegagalan sel beta pancreas:
Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat
berkurang. Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah sulfonilurea,
meglitinid, GLP-1 agonis dan DPP-4 inhibitor.
2. Liver:
Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu
gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh liver
(HGP=hepatic glucose production) meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur
ini adalah metformin, yang menekan proses gluconeogenesis.
3. Otot:
Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang multiple di
intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga timbul gangguan
transport glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan penurunan
oksidasi glukosa. Obat yang bekerja di jalur ini adalah metformin, dan
tiazolidindion.
4. Sel lemak:
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin, menyebabkan
peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas (FFA=Free Fatty Acid)
dalam plasma. Penigkatan FFA akan merangsang proses glukoneogenesis, dan
mencetuskan resistensi insulin di liver dan otot. FFA juga akan mengganggu
sekresi insulin. Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai
lipotoxocity. Obat yang bekerja dijalur ini adalah tiazolidindion.
5. Usus:
Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding kalau
diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin ini diperankan
oleh 2 hormon GLP-1 (glucagon-like polypeptide-1) dan GIP (glucose-dependent
insulinotrophic polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide).
Pada penderita DM tipe-2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap GIP.
Disamping hal tersebut incretin segera dipecah oleh keberadaan ensim DPP-4,
sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat yang bekerja menghambat
kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP-4 inhibitor. Saluran pencernaan juga
mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja ensim alfa-
glukosidase yang memecah polisakarida menjadi monosakarida yang kemudian
diserap oleh usus dan berakibat meningkatkan glukosa darah setelah makan. Obat
yang bekerja untuk menghambat kinerja ensim alfa-glukosidase adalah akarbosa.
6. Sel Alpha Pancreas:
Sel-α pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam hiperglikemia dan
sudah diketahui sejak 1970. Sel-α berfungsi dalam sintesis glukagon yang dalam
keadaan puasa kadarnya di dalam plasma akan meningkat. Peningkatan ini
menyebabkan HGP dalam keadaan basal meningkat secara signifikan dibanding
individu yang normal. Obat yang menghambat sekresi glukagon atau
menghambat reseptor glukagon meliputi GLP-1 agonis, DPP- 4 inhibitor dan
amylin.
7. Ginjal:
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam pathogenesis DM tipe-2.
Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan puluh persen dari
glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium
Glucose co- Transporter) pada bagian convulated tubulus proksimal. Sedang 10%
sisanya akan di absorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan
asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urine. Pada penderita DM
terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang menghambat kinerja SGLT-2
ini akan menghambat penyerapan kembali glukosa di tubulus ginjal sehingga
glukosa akan dikeluarkan lewat urine. Obat yang bekerja di jalur ini adalah
SGLT-2 inhibitor. Dapaglifozin adalah salah satu contoh obatnya.
8. Otak:
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang obes
baik yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang merupakan
mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini asupan
makanan justru meningkat akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di
otak. Obat yang bekerja di jalur Ini adalah GLP-1 agonis, amylin dan
bromokriptin.

III.1.5 Gejala Diabetes Mellitus


Gejala khas atau klasik dari DM, yaitu : poliuria, polidipsia, polifagia,
dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Sedangkan gejala
tidak khasnya berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, difungsi ereksi
pada pria, pruritus vulvae pada wanita (Perkeni, 2015).

III.1.6 Diagnosis Diabetes Mellitus


Diagnosis DM ditegakan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah dan
tidak dapat ditegakan hanya berdasarkan dengan adanya glukosuria. Berbagai
keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan adanya DM perlu
diperhatikan apabila terdapat gejala klasik, seperti (Perkeni, 2015):
1. Keluhan klasik: poliuria, polidipsi, polifagi dan penurunan berat badan yang tidak
dapat dijelaskan sebabnya.
2. Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi
pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.
Diagonosis DM dapat dipastikan apabila hasil pemeriksaan kadar glukosa darah
sewaktu, kadar glukosa darah puasa, Tes toleransi glukosa oral, dan HbA1c (Perkeni,
2015).

Tabel 2. Kriteria diagnosis DM (Perkeni, 2015)


Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM
digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi glukosa
terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT) (Perkeni, 2015):
1. Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT)
Hasil pemeriksaan glukosa plasma puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan
TTGO glukosa plasma 2-jam <140 mg/dl;
2. Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2 -jam
setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa <100 mg/dl
3. Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
4. Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan
HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4%.

Tabel 3. Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis diabetes


dan prediabetes.

III.1.7 Penatalaksanaan Diabetes Mellitus


Penatalaksanaan DM secara umum adalah untuk meningkatkan kualitas
hidup penderita DM. Tujuan penatalaksanaan DM, yaitu:
1. Jangka pendek : hilangnya keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa
nyaman dan tercapainya target pengendalian glukosa darah.
2. Jangka panjang : mencegah dan terhambat progresivitas penyulit berupa
mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati.
3. Tujuan akhir pengelolaan DM adalah menurunkan angka morbiditas dan
mortalitas dini DM.
Pengelolaan DM dimulai dengan terapi gizi medis dan latihan jasmani
selama beberapa waktu (2 - 4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai
sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO)
dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara
tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi
metabolik berat, misalnya ketoasidosis berat, stres berat, berat badan yang menurun
dengan cepat, adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan. Pengetahuan tentang
pemantauan mandiri tanda dan gejala hipoglikemia dan cara mengatasinya harus
diberikan pada pasien, sedangkan pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan
secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus (Perkeni,2015).
a. Edukasi
Edukasi yang diberikan kepada pasien DM meliputi pemahaman tentang :
perjalanan penyakit DM, makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM,
penyulit DM dan risikonya, intervensi farmakologis dan non-farmakologis serta
target perawatan, interaksi antara asupan makanan, aktifitas fisik, dan obat
hipoglikemik oral atau insulin serta obat-obatan lain, cara pemantauan glukosa
darah dan pemahaman hasil glukosa darah atau urin mandiri, mengatasi
sementara keadaan gawat darurat seperti rasa sakit, atau hipoglikemia,
pentingnya latihan jasmani yang teratur, masalah khusus yang dihadapi (contoh:
DM pada kehamilan), serta pentingnya perawatan diri.
b. Terapi Gizi Medis (TGM)
Pada penderita DM perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam
hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang
menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin (Perkeni, 2015).
Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari :
1) Karbohidrat
a) Dianjurkan sebesar 45-65 % total asupan energi
b) Sukrosa tidak boleh lebih dari 10% total asupan energi
c) Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula, asal tidak
melebihi batas aman konsumsi harian.
d) Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat per hari
2) Lemak
a) Dianjurkan sekitar 20 – 25% kebutuhan kalori. Lemak jenuh < 7%
kebutuhan kalori dan Lemak tidak jenuh ganda < 10 % kebuthan kalori.
b) Membatasi makanan yang banyak mengandung lemak jenuh dan lemak
trans antara lain : daging berlemak dan susu penuh (whole milk)
c) Anjuran konsumsi kolesterol < 300 mg/hari. Diusahakan lemak berasal
dari sumber asam lemak tidak jenuh (MUFA / Mono Unsaturated Fatty
Acid), membatasi PUFA (Poly Unsaturated Acid) dan asam lemak jenuh
3) Protein
a) Dibutuhkan sebesar 15 – 20% total asupan energi
b) Sumber protein yang baik adalah ikan, seafood, daging tanpa lemak, ayam
tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu dan tempe
c) Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8
g/kg BB/hari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya bernilai
biologik tinggi
4) Garam
a) Tidak > 3000 mg atau sama dengan 6 – 7 g (1 sendok teh) garam dapur
b) Pembatasan natrium sampai 2400 mg atau sama dengan 6g/hari terutama
pada penderita hipertensi
5) Serat
Anjuran konsumsi serat adalah ± 25 g/hari, diutamakan serat larut
6) Pemanis
a) Batasi penggunaan pemanis bergizi
b) Fruktosa tidak dianjurkan karena efek samping pada lipid plasma
c) Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman.
c. Latihan Jasmani
Dianjurkan latihan jasmani teratur 3-4 kali tiap minggu selama + 30
menit yang sifatnya CRIPE, yaitu:
1) Continous  Latihan berkesinambungan, terus-menerus tanpa henti.
2) Rytmical  Latihan olah raga harus dipilih yang berirama agar otot-otot
berkontraksi dan berelaksasi secara teratur.
3) Interval  Latihan dilakukan selang-seling antara gerak cepat dan lambat.
Contoh : jalan cepat diselingi dengan jalan lambat.
4) Progressive  Latihan dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan dari
intensitas ringan.
5) Endurance  Latihan daya tahan untuk meningkatkan kemampuan
kardiorespirasi, seperti jalan (jalan santai/cepat, sesuai umur), jogging,
berenang dan bersepeda.
Hal yang perlu diperhatikan dalam latihan jasmani ini adalah jangan sampai
memulai olah raga sebelum makan.
Selain memperbaiki gaya hidup, terapi pada diabetes melitus dapat berupa
terapi secara farmakologis. Berikut adalah berbagai jenis pengobatan untuk pasien
diabetes melitus :
a. Obat Hipoglikemik Oral (OHO)
Intervesi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum
tercapai dengan TGM dan latihan jasmani (Perkeni, 2015). Berdasarkan cara
kerjanya, Obat Hipoglikemik Oral (OHO) dibagi menjadi 5 golongan, yaitu :
1) Pemicu sekresi insulin (insuline secretagogue): sulfonilurea dan glinid
2) Penambah sensitifitas terhadap insulin : metformin, tiazolidindion
3) Penghambat glukoneogenesis : metformin
4) Pengambat absorpsi glukosa : penghambat glukosidase α
5) DPP IV inhibitor
Cara pemberian OHO terdiri dari :
1) Dimulai dengan dosis kecil, ditingkatkan secara bertahap sesuai respon kadar
glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis hampir maksimal
2) Sulfonilurea generasi I & II : 15 – 30 menit sebelum makan
3) Glimepiride, Repaglinid, Nateglinid : sebelum / sesaat sebelum makan
4) Metformin : sebelum / pada saat / sesudah makan karbohidrat
5) Tiazolidindion : tidak bergantung pada jadwal makan
6) Acarbose : bersama suapan pertama makan
7) DPP – IV inhibitor : bersamaan dengan makan dan atau sebelum makan

Tabel 4. Perbandingan Golongan OHO (Perkeni, 2015)


Golongan Cara Kerja Efek Samping Penurunan A1C
Sulfonilurea Meningkatkan sekresi BB naik, 1 – 2 %
insulin hipoglikemia
Glinid Meningkatkan sekresi BB naik, 0,5 – 1,5 %
insulin hipoglikemia
Metformin Menekan produksi Diare, 1–2%
glukosa hati & dyspepsia,
menambah sensitifitas asidosis laktat
terhadap insulin
Penghambat Menghambat absorpsi Flatulens, tinja 0,5 – 0,8 %
glukosidase α glukosa lembek
Tiazolidindion Menambah sensitifitas Edema 0,5 – 1,4 %
terhadap insulin
DPP – IV Meningkatkan sekresi Sebah, muntah 0,5 – 0,8 %
Inhibitor insulin, menghambat
sekresi glucagon

b. Suntikan
1) Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan : penurunan berat badan yang cepat,
hiperglikemia berat yang disertai ketosis, ketoasidosis diabetik,
hiperglikemia hiperosmolar nonketotik, hiperglikemia dengan asidosis laktat,
gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal, stres berat (infeksi
sistemik, operasi besar, IMA, stroke), DM gestasional yang tidak terkendali
dengan TGM, gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat, serta
kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO. Berdasar lama kerja, insulin
terbagi menjadi empat jenis, yaitu :
a) Insulin kerja cepat ( rapid acting insulin )
a) Insulin kerja pendek ( short acting insulin )
b) Insulin kerja menengah ( intermediate acting insulin )
c) Insulin kerja panjang ( long acting insulin )
d) Insuln campuran tetap ( premixed insulin )
Efek samping terapi insulin yang utama adalah terjadinya
hipoglikemia. Selain itu, efek samping yang lain berupa reaksi imun
terhadap insulin yang dapat menimbulkan alergi insulin atau resistensi
insulin (Sudoyo, 2006).

2) Agonis GLP-1/Incretin Mimetic


Pengobatan baru untuk pengobatan DM adalah Agonis GLP-
1/Incretin Mimetic. Agonis GLP-1 bekerja sebagai perangsang pelepasan
insulin yang tidak menimbulkan hipoglikemia atau peningkatan berat badan
yang biasanya terjadi pada pengobatan dengan insulin ataupun sulfonilurea.
Agonis GLP-1 bahkan mungkin menurunkan berat badan. Efek agonis GLP-
1 yang lain adalah menghambat pelepasan glukagon yang diketahui berperan
pada proses glukoneogenensis. Efek samping yang timbul adalah sebah dan
muntah (Sudoyo, 2006).

Tabel 5. Perbandingan Obat Hipoglikemia Suntikan


Golongan Cara Kerja Efek Samping Penurunan
A1C
Insulin Menekan produksi glukosa Sebah, muntah 1,5 – 3,5 %
hati, stimulasi pemanfaatan
glukosa
DPP – IV Meningkatkan sekresi Hipoglikemi, BB 0,5 – 1 %
Inhibitor insulin, menghambat naik
sekresi glucagon

Tabel 6. Jenis – Jenis Insulin


Nama Lama Kerja Kemasan
Insulin Short Acting
Reguler (Actrapid, 3 – 5 jam Vial, pen/cartridge
Humulin-R)
Insulin Analog Rapid Acting
Insulin Lispro (Humalog) 3 – 5 jam Pen/cartridge
Insulin Glulisine (Apidra) 3 – 5 jam Pen
Insulin Aspart (Novorapid) 3 – 5 jam Pen, vial
Insulin Intermediate Action
NPH (Insulatard, Humulin 10 - 16jam Vial, pen/cartridge
N)
Insulin Long Acting
Insulin glargine (Lantus) 18 – 26 jam Pen
Insulin Detemir (Levemir) 22 – 24 jam Pen

c. Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah,
untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respon kadar glukosa
darah. Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan
dapat dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi. Terapi OHO dengan
kombinasi harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang mempunyai
mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai,
dapat pula diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau
kombinasi OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai alasan klinik dimana
insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, dipilih terapi kombinasi dengan tiga
OHO. Untuk kombinasi OHO dengan insulin, yang banyak dipergunakan
adalah kombinasi OHO dan insulin basal (insulin kerja sedang/panjang) yang
diberikan pada malam hari menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut
pada umumnya dapat diperoleh kendali glukosa darah yang baik dengan dosis
insulin yang cukup kecil (Fauci, 2008).
Dosis awal insulin kerja menengah/panjang adalah 10 unit yang
diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan
menilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. Bila dengan cara seperti
di atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali, maka obat
hpoglikemik oral dihentikan dan diberikan insulin. (Perkeni, 2015).

III.1.8 Pencegahan Diabetes Mellitus


1. Pencegahan primer
Sasaran dari pencegahan primer ialah kelompok orang yang berpotensi
untuk mendapat DM, dan orang yang memiliki intoleransi glukosa. Pencegahan
dilakukan dengan penyuluhan dan pengelolaan yang baik. Materi meliputi:
Program penurunan berat badan, diet sehat, latihan jasmani, menghentikan rokok
(Perkeni, 2015).
2. Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder ialah upaya mencegah atau menghambat timbulnya
penyulit pada pasien yang telah menderita DM. Dilakukan dengan pemberian
pengobatan yang cukup dan tindakan deteksi dini penyulit sejak awal pengelolaan
(Perkeni, 2015).

III.1.9 Komplikasi Diabetes Mellitus


Dalam perjalanan penyakit DM, dapat terjadi penyulit akut maupun
menahun, diantaranya adalah :
1. Penyulit akut
Penyulit akut DM sampai saat ini masih merupakan kegawatan yang
harus ditangani dengan tepat dan benar karena hanya dengan cara itulah angka
kematiannya dapat ditekan serendah mungkin.
a. Ketoasidosis diabetik
b. Hiperosmolar nonketotik
c. Hipoglikemia
1. Penyulit menahun
Makroangiopati, yang melibatkan :
a. Pembuluh darah jantung dan otak
b. Pembuluh darah tepi
Mikroangiopati:
a. Retinopati diabetik
b. Nefropati diabetik (Fauci, 2008).

III.2 Chronic Kidney Disease (CKD)


III.2.1 Definisi
Gagal ginjal kronik adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan
terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal.
Penurunan fungsi ginjal yang terjadi bersifat menahun, berlangsung progresif,
dan cukup lanjut. Hal ni terjadi apabila laju filtrasi glomerular (LFG) kurang
dari 50 mL/menit (Sudoyo, 2006).
Gagal ginjal kronik/ Chronic Kidney Disease (CKD) didefinisikan sebagai
penurunan progresif fungsi ginjal menahun dan perlahan yang bersifat
irreversible. Dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme atau keseimbangan cairan dan elektrolit, yang berakibat
terjadinya uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah).
Batasan penyakit ginjal kronik (Suwitra, 2007):
1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi
ginjal,dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan
penanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan gambaran
radiologi.
2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m² selama > 3 bulan dengan
atau tanpa kerusakan ginjal.

III.2.2 Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal, yaitu atas dasar
derajat penyakit dan atas dasar etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit,
dibuat berdasarkan LFG, yang dihitung dengan mempergunakan rumus
Kockcroft-Gault sebagai berikut:

LFG (ml/mnt/1,73m2) = 140 – umur x berat badan


72 x Kreatinin Plasma

CKD diklasifikasikan menjadi lima derajat yang dilihat dari derajat


penyakit dan nilai GFR, semakin besar derajat CKD prognosis penyakit akan
semakin buruk (Eknoyan, 2009; Levey et al., 2005).
Tabel 7. Klasifikasi penyakit ginjal kronik berdasarkan laju filtrasi
glomerolus (Eknoyan, 2009; Levey et al., 2005)
LFG
Derajat Penjelasan
(mL/menit/1,73m2)
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal ≥ 90
atau ↑
2 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ ringan 60-89
3 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ sedang 30-59
4 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ berat 15-29
5 Gagal ginjal <15 atau dialisis

Tabel 8. Klasifikasi Chronic Kidney Disease


Klasifikasi Berdasarkan Keparahan
GFR
Derajat Deskripsi
mL/min/1.73 Keadaan Klinis
m2
1 Kerusakan ginjal dengan Albuminuria,
GFR Normal atau ≥ 90 proteinuria,
meningkat hematuria
2 Kerusakan ginjal dengan Albuminuria,
penurunan GFR ringan 60-89 proteinuria,
hematuria
3 Penurunan GFR sedang Insufisiensi ginjal
30-59
kronik
4 Penurunan GFR berat Insufisiensi ginjal
15-29
kronik, pre-ESRD
5 Gagal ginjal < 15 Gagal ginjal,
Atau dialisis uremia, ESRD

III.2.3 Etiologi
Beberapa penyebab terjadinya CKD antara lain (Sudoyo, 2006) :
1. Gangguan imunologis
a. Glomerulonefritis
b. Poliartritis nodosa
c. Lupus eritematous
2. Gangguan metabolik
a. Diabetes Mellitus
b. Amiloidosis
c. Nefropati Diabetik
3. Gangguan pembuluh darah ginjal
a. Arterisklerosis
b. Nefrosklerosis
4. Infeksi
a. Pielonefritis
b. Tuberkulosis
5. Gangguan tubulus primer
a. Nefrotoksin (analgesik, logam berat)
6. Obstruksi traktus urinarius
a. Batu ginjal
b. Hipertopi prostat
c. Konstriksi uretra
7. Kelainan kongenital
a. Penyakit polikistik
b. Tidak adanya jaringan ginjal yang bersifat kongenital (hipoplasia
renalis)

III.2.4 Faktor Resiko


Faktor risiko potensial GGK dapat dilihat dari faktor klinis dan faktor
sosiodemografi. Faktor klinis berkaitan dengan kondisi kesehatan atau adanya
penyakit yang diderita sebelumnya. Sedangkan faktor sosiodemografi
menekankan kepada kondisi seseorang yang dapat menyebabkan orang
tersebut berisiko terkena GGK.Faktor risiko tersebut dijabarkan pada Tabel 3
(National Kidney Foundation, 2002).

Tabel 9. Faktor risiko gagal ginjal kronis


(National Kidney Foundation, 2002)

Faktor Klinis Faktor Sosiodemografi


Diabetes Usia tua
Hipertensi Kaum minoritas
Penyakit autoimun Paparan zat kimiawi di
Infeksi sistemik lingkungan
Infeksi Saluran Kemih (ISK) Tingkat
Batu saluran kemih pendapatan/pendidikan yang
Obstruksi saluran kemih bawah rendah
Neoplasia
Riwayat GGK pada keluarga
Pernah menderita GGA
Penurunan massa ginjal
Paparan obat
BBLR
III.2.5 Epidemiologi
Insidens penyakit CKD di Amerika Serikat diperkirakan sejumlah 100
juta kasus per juta penduduk per tahun, dan angka ini meningkat sekitar 8%
setiap tahunnya. Terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal per tahunnya di
Malaysia, dan di negara berkembang lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar
40-60 kasus per juta penduduk per tahun. Penyakit gagal ginjal kronik lebih
sering terjadi pada pria daripada wanita. Insidennya pun lebih sering pada
kulit berwarna daripada kulit putih (Suwitra, 2007).
Beberapa penyebab CKD yang menjalani hemodialisis di Indonesia
pada tahun 2000 antara lain glomerulonefritis (46,39%), diabetes mellitus
(18,65%), obstruksi dan infeksi (12,85%), hipertensi (8,46%), dan penyebab
yang lain dengan presentase sebesar (13,65%) (Murray et al, 2007).

III.2.6 Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik tergantung pada penyakit yang
mendasari, namun dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi
kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal menyebabkan hipertrofi sisa
nefron secara struktural dan fungsional sebagai upaya kompensasi. Hipertrofi
“kompensatori” ini akibat hiperfiltrasi adaptif yang diperantarai oleh
penambahan tekanan kapiler dan aliran glomerulus. Proses adaptasi ini
berlangsung singkat, yang pada akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi
berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses inidiikuti dengan
penurunan fungsi nefron yang progresif walaupun penyakit yang
mendasarisudah tidak aktif lagi (Suwitra, 2009).
Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron
intrarenal ikut memberikan konstribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi,
sklerosis dan progesifitas tersebut. Aktivitas jangka panjang aksis renin-
angiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor seperti
transforming growth factor ß. Beberapa hal yang juga dianggap berperan
terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria,
hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual
untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstitial
(Suwitra, 2009).
Gagal ginjal kronik ditandai dengan penurunan laju filtrasi glomerulus
(LFG). Pada stadium yang paling dini penyakit ginjal kronik terjadi
kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan mana basal LFG
masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti
akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan
peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Pada LFG sebesar 60%, pasien
belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar
urea dan kreatinin serum. Pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada
pasien seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan
penurunan berat badan(Suwitra, 2009).
Pada LFG di bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda
uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan
metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya.
Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi
saluran napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan
keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan
elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG dibawah 15% akan
terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan
terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis atau
transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium
gagal ginjal(Suwitra, 2009).
Anemia yang terjadi pada penyakit gagal ginjal kronik terutama
disebabkan oleh defisit eritropoietin. Hal-hal lain yang ikut berperan dalam
terjadinya anemia adalah defisiensi besi, kehilangan darah (misal perdarahan
saluran cerna, hematuria), massa hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya
hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh substansi
uremik, proses inflamasi akut maupun kronik (Suwitra, 2009). Pada penderita
CKD, produksi erytropoetin menurun dan anemia berat akan terjadi disertai
keletihan, angina dan sesak nafas (Price et al, 2005).
Hilangnya kemampuan memekatkan atau mengencerkan kemih
menyebabkan BJ urin tetap pada nilai 1,010 atau 285 mOsmot (sama dengan
konsentrasi plasma) dan merupakan penyebab gejala poliuria dan nokturia.
Retensi cairan dan natrium ini mengkibatkan ginjal tidak mampu
mengkonsentrasikan dan mengencerkan urin. Respon ginjal yang tersisa
terhadap masukan cairan dan elektrolit sehari-hari tidak terjadi. Penderita
sering menahan cairan dan natrium, sehingga meningkatkan risiko terjadinya
edema, gagal jantung kongestif dan hipertensi. Hipertensi juga dapat terjadi
akibat aktivasi aksis renin dan angiotensin. Kerjasama keduanya
meningkatkan sekresi aldosteron(Price et al, 2005).
Saat muntah dan diare menyebabkan penipisan air dan natrium yang
dapat mempreberat stadium uremik. Dengan berkembangnya penyakit renal
terjadi asidosis metabolik seiring dengan ketidakmampuan ginjal
mengekskresikan muatan asam (H+) yang berlebihan. Penurunan sekresi
asam terutama akibat ketidakmampuan tubulus ginjal mengekskresikan
amonia dan mengabsorbsi natrium bikarbonat (Price et al, 2005).
Pada gagal ginjal kronik dapat terjadi gangguan metabolisme kalsium
dan fosfat. Kedua kadar serum tersebut memiliki hubungan yang saling
berlawanan. Dengan menurunnya filtrasi melalui glomerulus ginjal, terdapat
peningkatan kadar fosfat serum dan penurunan kadar serum kalsium.
Penderita gagl ginjal kronik juga dapat mengalami osteophorosis sebagai
akibat dari menurunnya fungsi ginjal untuk memproduksi vitamin D,
sehingga terjadi perubahan kompleks kalsium, fosfat dan keseimbangan
hormon (Price et al, 2005).
Pada pendeita DM, konsentrasi gula dalam darah yang meningkat,
menyebabkan kerusakan pada nefron ginjal atau menurunkan fungsinya yang
akhirnya akan merusak sistem kerja nefron untuk memfiltrasi zat – zat sisa.
Keadaan ini bisa mengakibatkan ditemukannya mikroalbuminuria dalam
urine penderita.Inilah yang biasa disebut sebagai nefropati diabetik (Price et
al, 2005).

III.2.7 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis CKD meliputi kelainan hemopoiesis, kelainan pada saluran
cerna, mata, kulit, dan kelaian kardiovaskular (Murray et al., 2007; Suwitra,
2007).
1. Kelainan hemopoiesis
Anemia pada gagal ginjal kronik terutama disebabkan oleh
defisiensi eritropioetin sehingga menghasilkan anemia normokromik
normositik. Hal lain yang turut berperan dalam proses terjadinya anemia
pada penderita CKD adalah perdarahan, masa hidup eritrosit yang
memendek, depresi sumsum tulang oleh kondisi uremik, dan defisiensi
besi akibat asupan yang kurang.
Evaluasi pada anemia dimulai pada saat kadar hemoglobin < 10
g/dL atau hematokrit < 30%. Evaluasi yang dilakukan meliputi evaluasi
pada status besi, morfologi eritrosit, kemungkinan hemolisis, dan sumber
perdarahan.
Penatalaksanaan yang dilakukan terutama ditujukan pada penyebab
utamanya. Pemberian eritropoietin merupakan hal yang dianjurkan. Selain
itu dapat juga dilakukan transfusi yang harus dilakukan secara hati-hati
agar tidak menimbulkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia, dan
perburukan fungsi ginjal. Penatalaksanaan dilakukan hingga target
hemoglobin terpenuhi yaitu 11-12 g/dL.
2. Kelainan saluran cerna
Penderita CKD sering mengeluhkan mual dan muntah terutama
pada stadium terminal. Keluhan tersebut diduha berhubungan dengan
terjadinya dekompresi flora usus sehingga terbentuklah amonia. Amonia
akan menyebabkan iritasi pada mukosa lambung dan usus halus. Keluhan
saluran cerna dapat diatasi dengan pembatasan diet protein.
3. Kelainan mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian
kecil pasien gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah
beberapa hari mendapat pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat,
misalnya hemodialisis. Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan
hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai pada pasien gagal ginjal
kronik. Penimbunan atau deposit garam kalsium pada conjunctiva
menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan
hipervaskularisasi.
4. Kelainan kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum
jelas dan diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder.
Keluhan gatal ini akan segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi.
Kulit biasanya kering dan bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal
urea pada kulit muka dan dinamakan urea frost (Kumar et al., 2007).
5. Kelainan kardiovaskular
Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik
sangat kompleks. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi,
aterosklerosis, kalsifikasi sistem vaskular, sering dijumpai pada pasien
gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal dan dapat
menyebabkan kegagalan faal jantung.

III.2.8 Penegakkan Diagnosis


1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Anamnesis meliputi semua yang berhubungan dengan gagal ginjal
seperti retensi dan atau akumulasi toksin azotemia, faktor resiko gagal
ginjal kronik, serta semua hal yang dapat menurunkan faal ginjal. Banyak
organ yang terlibat dalam gambaran klinik gagal ginjal, gambaran klinik
tersebut adalah :

a. gambaran klinik penyakit yang mendasari


b. sindrom uremia seperti lemah, letargi, anoreksia, mual, muntah,
nokturia, kelebihan cairan, neuropati perifer, pruritus uremic frost,
pericarditis, kejang, koma
c. gambaran klinik komplikasi seperti hipertensi, anemia, osteodistrofi
renal, gagal jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan
elektrolit (Na, K, Cl) (Ketut, 2007).
2. Pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan labratorium pada penyakit GGK sesuai dengan
penyakit yang mendasarinya. Penurunan fungsi ginjal ditunjukan dengan
peningkatan ureum dan kreatinin serum, penurunan LFG dapat dihitung
dengan rumus Kockroft-Gault. Terdapat pula kelainan biokimia lain seperti
penurunan kadar hemoglobin, ketidaknormalan kadar kalium,
hiperfsfatemia, dan hipokalsemia. Pemeriksaan pada urin dapat
menunjukkan proteinuria, hematuria, leukosuria, dan ditemukannya silinder
(Ketut, 2007).
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk GGK adalah pemeriksaan radiologi.
Pemeriksaan radiologi yang dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis
GGK adalah :
a. foto polos abdomen : dapat menunjukan radio opak berupa batu
b. Pielografi intravena : jarang digunakan karena seringkali kontras tidak
mampu melewati filter glomerulus, dan juga karena pengaruh toksik
kontras yang dapat merusak ginjal yang sudah rusak
c. Pielografi antegrad atau retrograde
d. Ultrasonografi ginjal : mampu menunjukkan ukuran ginjal yang
mengecil, adanya hidronefrosis, batu, kista, dan/atau masa, serta korteks
yang menipis
e. Renografi atas indikasi (Ketut, 2007).

III.2.9 Tatalaksana
1. Terapi konservatif
Terapi ini bertujuan untuk mencegah memburuknya faal ginjal
secara progresif, meringankan keluhan, memperbaiki metabolisme secara
optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit. Terapi ini
dilakukan dengan mengendalikan asupan protein dan memenuhi
kebutuhan kalori (Sukandar, 2006).
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah
atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat
merugikan terutama berkaitan dengan gangguan keseimbangan negatif
nitrogen. Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG ≤ 60
ml/mnt, sedangkan di atas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak
selalu dianjurkan. Protein diberikan 0,6-0,8/kgbb/hari, yang 0,35-0,50 gr
diantaranya merupakan protein nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang
diberikan sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari, dibutuhkan pemantauan yang
teratur terhadap status nutrisi pasien (Sukandar, 2006).
Bila terjadi malnutrisi, jumlah asupan kalori dan protein dapat
ditingkatkan. Berbeda dengan kelebihan lemak dan karbohidrat, kelebihan
protein tidak disimpan dalam tubuh tapi tapi dipecah menjadi urea dan
substansi nitrogen lain, yang terutama dieksresikan melalui ginjal.
Pemberian diet tinggi protein pada pasien penyakit ginjal kronik akan
mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lain, dan
mengakibatkan gangguan klinis dan metabolik yang disebut uremia.
Pembatasan protein akan mengakibatkan berkurangnya sindrom uremik
(Sukandar, 2006).
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk PGK harus adekuat
dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif
nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.Kebutuhan
cairan bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat
supaya jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.19.Kebutuhan jumlah
mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG dan penyakit
ginjal dasar (underlying renal disease) (Sukandar, 2006).
2. Terapi simptomatik
Beberapa terapi simptomatik yang dapat diberikan adalah :

a. Terapi pada asidosis metabolik


Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum
kalium (hiperkalemia) yang dapat menyebabkan aritmia. Untuk
mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat diberikan
suplemen alkali (sodium bicarbonat) yang harus segera diberikan
intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
b. Terapi pada anemia
Dapat diberikan eritropoetin pada pasien GGK. Dosis inisial 50 u/kg
IV 3 kali dalam seminggu. Jika Hb meningkat >2 gr/dL kurangi dosis
pemberian menjadi 2 kali seminggu. Maksimum pemberian 200 u/kg
dan tidak lebih dari tiga kali dalam seminggu. Transfusi darah
misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan terapi
alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus
hati-hati karena dapat menimbulkan kelebihan cairan tubuh,
hiperkalemia, dan perburukan fungsi ginjal. Penatalaksanaan
dilakukan hingga target hemoglobin terpenuhi yaitu 11-12 g/dL.
c. Terapi pada keluhan gastrointestinal
Keluhan berupa anoreksi, cegukan, mual dan muntah merupakan
keluhan utama yang sering dijumpai pada GGK. Tindakan yang harus
dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan pemberian obat-
obatan simtomatik untuk mengurangi keluhan.
d. Terapi pada hipertensi
Pemberian obat anti hipertensi terutama penghambat Enzym
Konverting Angiotensin (ACE inhibitor) dapat digunakan pada kasus
CKD. ACE-Inhibitor melalui berbagai studi terbukti dapat
memperlambat proses pemburukan hipertensi.
e. Terapi pada kelainan sistem kardiovaskular
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan
hal yang penting, karena 40-50% kematian pada penyakit ginjal
kronik disebabkan oleh penyakit kardiovaskular. Tindakan yang
diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang diderita,
termasuk pengendalian DM, hipertensi, dislipidemia, hiperfosfatemia,
dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbanagan
elektrolit. (Sukandar, 2006).
3. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit CKD stadium 5,
yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa
hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal.
a. Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat dilakukan agar tidak
terjadi gejala toksik azotemia dan malnutrisi. Akan tetapi terapi dialisis
juga tidak boleh dilakukan terlalu cepat seperti pada pasien GGK yang
belum mencapai tahap akhir karena akan memperburuk faal ginjal.
Indikasi dilakukannya hemodialosis meliputi indikasi absolut dan
indikasi elektif. Indikasi absolut meliputi adanya perikarditis,
ensefalopati atau neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan
cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter,
muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan
kreatinin > 10 mg%. Sementara indikasi elektif dilakukannya
hemodialisa yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual,
anoreksia, muntah, dan astenia berat. (Rahardjo et al., 2006)
b. Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal dapat dipertimbangkan sebagai
penatalaksanaan bagi penderita CKD karena dapat mengambil alih
seluruh fungsi ginjal, berbeda dengan dialisis yang hanya mampu
mengambil alih 70% fungsi ginjal. Penderita CKD yang memperoleh
transplantasi ginjal memiliki survival rate yang lebih besar dan
mampu memiliki kualitas hidup yang normal. Akan tetapi transplantasi
ginjal memiliki beberapa komplikasi terutama yang berhubungan
dengan pemberian obat-obat imunosupresif untuk mencegah reaksi
penolakan (Rahardjo et al., 2006)

III.2.9 Komplikasi
Komplikasi yang sering ditemukan pada penderita CKD adalah :
a. Anemia
Anemia terjadi karena gangguan pada produksi eritropoietin yang
bertugas mematangkan sel darah merah. Kekurangan sel darah merah
mengakibatkan gangguan pengangkutan oksigen ke seluruh tubuh dan
jaringan. Gejala yang sering muncul adalah lemas, kurang energi, dan
cepat lelah.
b. Osteodistofi renal
Osteodistrofi renal adalah kelainan tulang karena tulang kehilangan
kalsium akibat adanya hiperparatiroidisme sekunder. Penderita CKD
memiliki kadar fosfat dalam darah yang sangat tinggi. Fosfat tersebut akan
berikatan dengan ion kalsium sehingga terjadi kekurangan ion kalsium
bebas pada darah. Tubuh akan merespon dengan mengeluarkan hormon
paratiroid yang akan meningkatkan pelepasan kalsium dari tulang ke aliran
darah sehingga tulang menjadi kekurangan kalsium.
c. Gagal jantung
Jantung kehilangan kemampuan memompa darah dalam jumlah
yang memadai ke seluruh tubuh akibat berkurangnya kekuatan memompa.
Gagal jantung pada penderita gagal ginjal kronis dimulai dari keadaan
hipertensi dan anemia yang mengakibatkan jantung harus bekerja lebih
keras, sehingga terjadi pelebaran bilik jantung kiri (left venticular
hypertrophy/ LVH). Lama-kelamaan otot jantung akan melemah dan tidak
mampu lagi memompa darah sebagaimana mestinya.
d. Disfungsi ereksi
Ketidakmampuan seorang pria untuk mencapai atau
mempertahankan ereksi yang diperlukan untuk melakukan hubungan
seksual dengan pasangannya. Selain akibat gangguan sistem produksi
hormon testeron, secara emosional penderita gagal ginjal kronis menderita
perubahan emosi. Namun, penyebab utama gangguan kemampuan pria
penderita gagal ginjal kronis adalah suplai darah yang tidak cukup ke
penis.
Beberapa komplikasi CKD berdasarkan derajat keparahannya dapat dilihat pada
Tabel 4.

Tabel 10. Komplikasi CKD pada tiap derajat keparahan


Derajat Penjelasan GFR Komplikasi
(ml/men/1,73m2)
1 Kerusakan ginjal ≥ 90 -
dengan GFR normal
2 Kerusakan ginjal 60-89 - TD mulai 
dengan penurunan GFR
ringan
3 Kerusakan ginjal 30-59 - Hiperfosfatemia
dengan penurunan GFR - Hipokalsemia
sedang - Anemia
- Hiperparatiroid
- Hiperosmosistei
nemia
4 Kerusakan ginjal 15-29 - Manutrisi
dengan penurunan GFR - Asidosis
berat metabolic
- Cenderung
hiperkalemia
- Dislipidemia
5 Gagal ginjal < 15 - Gagal jantung
- Uremia

III.2.10 Prognosis
Pasien dengan gagal ginjal kronik umumnya akan menuju stadium
terminal atau derajat 5. Progresifitas penyakit sangat tergantung dari
diagnosis etiologi yang mendasari dan keberhasilan terapi. Pasien yang
menjalani dialisis kronik akan mempunyai angka kesakitan dan kematian
yang tinggi. Pasien dengan gagal ginjal stadium akhir yang menjalani
transpantasi ginjal akan hidup lebih lama daripada yang menjalani dialisis
kronik. Kematian terbanyak adalah karena kegagalan jantung (45%), infeksi
(14%), kelainan pembuluh darah otak (6%), dan keganasan (4%) (Rahardjo et
al., 2006).

DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association. 2014. Diagnosis and Clasification of Diabetes


Melitus. Diabetes care. Vol 37 (1): 581-590

Bruno A., Liebeskind D., Hao Q., Raychev R. 2010. “Diabetes Mellitus, Acute
Hyperglicemia, and Ischemic Future stroke. Current Treatment Options in
Neurology. 12: 492-503.
Concheiro J, Loureiro M, González-Vilas D, et al. 2009. Erysipelas and cellulitis:
a retrospective study of 122 cases. 100(10): 888-94

Djuanda, Adhi. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ketujuh. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.2008

Eknoyan, Garabed. 2009. Definition and Classification of Chronic Kidney


Disease. US Nephrology: 13-7.

Fauci, Anthony S. Braunwald, Eugene. Kasper, Dennis L. Hauser, Stephen L.


Harrison’s Principle of Internal Medicine. 17th Edition. The McGraw-Hill
Companies. 2008.

Fitzpatrick, Thomas B. Dermatology in General Medicine, seventh edition. New


York: McGrawHill: 2008

Herchline TE. 2011. Cellulitis. Wright State University, Ohio, United State of
America.

Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2. 2015.: PERKENI

Levey, AS, Coresh J, Balk E, Kautz T, Levin A, Steves M et al. 2005. National
Kidney Foundation Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation,
Classification,and Stratification. Ann Intern Med ;139:137-47.

Lopez-Novoa, Jose M., Carlos MS., Ana B. RP., Francisco J. L. H. 2010.


Common Pathophysiological Mechanism of Chronic Kidney Disease:
Therapeutic Perspectives. Pharmacology and Therapeutics: 128; 61-81.

McCance, K. L., Sue E. Huether. 2006. Pathophysiology: The Biologic of Disease


in Adults and Children. Canada: Elsevier Mosby.

Morris, AD. 2008. Cellulitis and erysipelas. University Hospital of Wales, Cardiff,
UK. 1708

Murray L, Ian W, Tom T, Chee KC. 2007. Chronic Renal failure in Oxford
Handbook of Clinical Medicine. Ed. 7th. New York: Oxford University.
294-97.

National Kidney Foundation. 2002. KDOQI Clinical Practice Guidelines for


Chronic Kidney Disease: Evaluation, Classification, and Stratification.
http://www.kidney.org/professionals/kdoqi/guidelines_ckd/toc.htm.

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2011. Kosensus: Pengelolaan dan


Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia.

Price, Sylvia A, Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-


Proses Penyakit. volume 1, edisi 6. Jakarta: EGC.
Price, Sylvia Anderson. Wilson, Lorraine McCarty. Patofisologi Konsep Klinis
Proses-proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC. 2005

Rahardjo, P., Susalit, E., Suhardjono., 2006. Hemodialisis. Dalam: Sudoyo, A.W.,
Setiyohadi, B., Alwi, I., Marcellus, S.K., Setiati, S., Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I. Edisi keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 579-580.

Ralph A. DeFronzo. From the Triumvirate to the Ominous Octet: A New Paradigm for the
Treatment of Type 2 Diabetes Mellitus. Diabetes. 2009; 58: 773-795)
Sharon, K. Chronic kidney disease.Critical Care Nurse. 2006;14:17-22.

Sudoyo, Aru W, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Keempat. Jilid
I. Jakarta Balai Penerbit FKUI. p. 725 – 33 ; 766 – 71.

Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakrta: IPD FKUI. 2006.

Sukandar, E., 2006. Nefrologi Klinik. Edisi ketiga. Bandung: Pusat Informasi
Ilmiah (PII) Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNPAD.

Suwitra K. 2009. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid II Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. 1035-40.

Suwitra, K.2007. Penyakit Ginjal Kronik. Aru WS, Bambang S, Idrus A,


Marcellus SK, Siti S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed. 4 Jilid I.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.hlm 570-3.

Anda mungkin juga menyukai