Anda di halaman 1dari 50

REFERAT

IDENTIFIKASI USIA JENAZAH


Disusun untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Madya

Disusun oleh:

Zahra Tazkia N. H. 22104101028


Hizb Hamzah A. K. B. 22104101029
Resa Hardodianto P. P. 22104101030
Juliana Ayu N. 22104101031
Shyania Aria M. L. 22104101032
Salwa Audi S. H. 22104101037
M. Baldan Salim 22104101038
Rodemoza Z. Z. G. D. R. R. 22104101039
Maryati 22104101040

Dosen Pembimbing:
dr. Edy Suharto, Sp.FM

LABORATORIUM ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN


MEDIKOLEGAL
RSUD SYARIFAH AMBAMI RATO EBU BANGKALAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM MALANG
2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Puji syukur kami ucapkan pada Allah SWT karena berkat rahmat dan

hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan Referat ini yang berjudul “Identifikasi

Usia Jenazah”. Referat ini kami susun dengan bimbingan dan bantuan dari

berbagai pihak. Oleh karena itu kami sampaikan banyak terima kasih kepada

semua pihak yang berkontribusi secara maksimal dalam penyusunan referat ini.

Kami menyadari bahwa referat ini tidak sempurna dan memiliki

kekurangan, maka dengan rendah hati penyusun mengharapkan saran dan kritik

yang bersifat membangun demi kesempurnaan referat ini. Harapan kami, semoga

makalah ini dapat memberikan tambahan ilmu khusunya bagi penulis dan

umumnya bagi semua pihak.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Bangkalan, 6 April 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR.............................................................................2

DAFTAR ISI............................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang....................................................................................4

1.2 Rumusan Masalah...............................................................................5

1.3 Tujuan.................................................................................................5

1.4 Manfaat...............................................................................................5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kekerasan Seksual..............................................................................6

2.2 Macam-macam Kekerasan Seksual ..........................................................7

2.3 Ranah Kekerasan Seksual pada Anak dan Remaja....................................8

2.4 Kekerasan Seksual pada Anak dan Remaja..............................................8

2.5 Pemeriksaan dan Tindak Lanjut Kekerasan Seksual.................................11

2.6 Aspek Medikolegal Kekerasan Seksual.....................................................32

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan..........................................................................................39

DAFTAR PUSTAKA................................................................................40

ii
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Prioritas utama penyidik saat menemukan jenazah manusia adalah

mengidentifikasi identitas jenazah tersebut. Terdapat 3 hal yang diperlukan dalam

mengidentifikasi identitas jenazah, yaitu usia, jenis kelamin, dan ras (Glinka et al.,

2007). Usia individu pada saat meninggal dapat ditentukan berdasarkan gigi

geligi, perkembangan seksual, dan skeletal (derajat obliterasi sutura, derajat

osifikasi tulang pipa) (Glinka et al., 2007).

Penentuan usia dapat diterapkan pada orang yang masih hidup maupun yang

telah meninggal untuk dilakukan berbagai kebutuhan, misalnya untuk kasus

pidana, mengidentifikasi korban yang tubuhnya sudah hancur karena bencana

seperti kebakaran, kecelakaan, pembunuhan, pengguguran janin, dan lain-lain

(Carvalho et al., 2009).

Pada kasus jenazah yang tersisa sepenuhnya berupa kerangka atau

ditemukan keadaan jaringan lunak telah mengalami pembusukan, maka autopsi

sidik jari tidak dapat dilakukan, oleh karena itu identifikasi dapat ditentukan

dengan memanfaatkan ilmu odontologi forensik (Ciaparelli, 1992). Keadaan gigi

geligi adalah cara yang paling mudah dalam estimasi usia karena gigi adalah

bagian tubuh yang biasanya masih utuh saat seseorang meninggal. Gigi memiliki

struktur jaringan paling keras dalam tubuh manusia sehingga tahan terhadap

pengaruh pembusukan, trauma mekanis, dan suhu (Ciaparelli, 1992). Hal yang

membuat gigi sangat efektif untuk identifikasi adalah gigi pada tiap manusia tidak

sama (Lukman, 2006).


2

Dalam penentuan usia individu, tidak mungkin menentukan dengan tepat

usia individu tersebut sehingga penentuan usia jenazah hanya berdasarkan interval

dari usia individu tersebut. Kesulitan ini disebabkan karena tingginya variasi

tumbuh kembang setiap manusia secara individual dan mempertimbangkan variasi

genetik maupun oleh lingkungan dimana individu tersebut hidup (Panchbai,

2011).

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa saja sampel yang digunakan untuk identifikasi usia jenazah?

2. Bagaimana cara pemeriksaan untuk penentuan usia pada identifikasi jenazah?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui sampel yang digunakan untuk identifikasi usia jenazah.

2. Mengetahui cara pemeriksaan untuk penentuan usia pada identifikasi jenazah.

1.4 Manfaat

1. Manfaat Teoritis

Penulisan ini diharapkan dapat menambah pengetahuan penulis dan pembaca

tentang penentuan usia pada identifikasi jenazah.

2. Manfaat Praktis

Penulisan ini dapat menjadi bahan rujukan bagi dokter klinis dalam

menentukan usia pada otopsi jenazah.


3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Identifikasi

Identifikasi merupakan proses pengenalan jati diri yang pertama kali

diperkenalkan oleh Alfonsus Bertillon (1853-1914), seorang dokter

berkebangsaan Perancis. Teknik identifikasi ini semakin berkembang setelah

kepolisian Perancis berhasil menemukan banyak pelaku tindakan kriminal. Saat

ini proses identifikasi telah dimanfaatkan untuk kepentingan asuransi, penentuan

keturunan, ahli waris, penyebab kecelakaan dan kematian seseorang, menemukan

orang hilang, serta menentukan apakah seseorang dapat dinyatakan bebas dari

hukuman. Proses ini juga sangat diperlukan dalam identifikasi korban bencana

massal (Disaster Victim Identification/DVI), baik yang disebabkan oleh alam

(gempa bumi, tsunami, tanah longsor, banjir) maupun ulah manusia (kecelakaan

darat, udara, laut, kebakaran hutan serta terorisme) (Singh, 2008).

Identifikasi forensik memberi pengaruh besar terhadap proses berjalannya

sistem pengadilan. Istilah forensik (for the courts) sendiri berarti “untuk

pengadilan” menunjukkan bahwa tujuan utama forensik adalah memberikan

bukti-bukti aktual dan temuan yang diperlukan dalam penegakan hukum di

pengadilan. Kedokteran forensik bersama kepolisian saat ini menggunakan sistem

identifikasi dalam merekonstruksi kejahatan, salah satunya pada kasus penemuan

mayat (Murnaghan, 2012).

Pada kasus penemuan mayat, identifikasi forensik pada sisa-sisa tubuh

manusia sangatlah penting baik untuk alasan hukum maupun kemanusiaan. Proses

identifikasi dilakukan untuk mengetahui apakah sisa-sisa tubuh berasal dari


4

manusia atau bukan, jati diri mayat, penyebab kematian, dan perkiraan waktu

kematian berdasarkan data sebelum seseorang meninggal/hilang (antemortem

data/AMD) untuk dibandingkan dengan temuan pada mayat (postmortem

data/PMD) (ICRC, 2013). Identifikasi akan menjadi lebih sulit jika mayat sudah

tidak dapat dikenali lagi, misalnya pada korban bencana alam, kecelakaan yang

menewaskan banyak orang serta pada kasus mutilasi, dimana potongan-

potongan yang ditemukan mungkin tidak lengkap. Pada kasus seperti ini, dokter

diharapkan dapat memberikan penjelasan kepada penyidik dalam hal perkiraan

saat kematian, usia, jenis kelamin, tinggi badan, dan ras, serta asal sisa-sisa

potongan tubuh (ICRC, 2013).

2.2 Usia

Istilah usia diartikan dengan lamanya keberadaan seseorang diukur dalam

satuan waktu di pandang dari segi kronologik, individu normal yang

memperlihatkan derajat perkembangan anatomis dan fisiologik sama (Nuswantari,

1998). Usia kronologis adalah usia berdasarkan tanggal, bulan, dan tahun

kelahiran. Pada umumnya perkembangan somatik berhubungan dengan usia

kronologis seperti pada pengukuran maturitas somatik, misalnya usia tulang,

menstruasi, dan tinggi badan. Maturitas somatik dapat digunakan untuk

memperkirakan usia kronologis bila tidak ada data usia lain yang akurat. Usia

kronologis sering tidak cukup pada penilaian tahapan pertumbuhan dan maturitas

somatik dari individu, sehingga dibutuhkan penentuan usia biologis (Tamher dan

Noorkasiani, 2009).

Selain usia kronologis, pertumbuhan dan perkembangan manusia dinilai


5

berdasarkan usia biologis. Usia biologis dipakai untuk menunjukkan pertumbuhan

seseorang sudah mencapai suatu tahapan tertentu. Terdapat tiga bentuk usia

biologis yaitu berdasarkan perkembangan maturitas seksual, skeletal, dan gigi

geligi. Usia biologis adalah usia yang sebenarnya, dimana biasanya diterapkan

kondisi pematangan jaringan sebagai indeks usia biologis (Tamher dan

Noorkasiani, 2009).

2.3 Identifikasi Usia

Usia biologis adalah perhitungan usia berdasarkan kematangan biologis

yang dimiliki oleh seseorang. Usia biologis dipakai untuk menunjukkan

pertumbuhan seseorang sudah mencapai suatu tahapan tertentu. Terdapat tiga

bentuk usia biologis yaitu berdasarkan perkembangan maturitas seksual, gigi

geligi, dan skeletal (Tamher dan Noorkasiani, 2009)

2.3.1 Karakteristik umur biologis berdasarkan perkembangan maturitas

seksual

Pada fase pubertas terjadi perubahan fisik sehingga pada akhirnya seorang

anak akan memiliki kemampuan bereproduksi. Terdapat lima perubahan khusus

yang terjadi pada pubertas, yaitu pertambahan tinggi badan yang cepat (pacu

tumbuh), perkembangan seks sekunder, perkembangan organ-organ reproduksi,

perubahan komposisi tubuh, serta perubahan sistem sirkulasi dan sistem respirasi

yang berhubungan dengan kekuatan dan stamina tubuh. Perubahan fisik yang

terjadi pada periode pubertas berlangusng dengan sangat cepatdalam sekuens yang

teratur dan berkelanjutan (Hapsari, 2019). Pertumbuhan dan perkembangan tanda-

tanda seks sekunder tersebut dinilai dengan Tanner Staging atau Sexual
6

Maturation Rating (SMR). Penilaian ini berdasarkan karakteristik organ seksual

sekunder, yaitu: penampakan rambut pubis, perkembangan payudara dan

mulainya menstruasi (pada wanita) atau derajat perkembangan testis dan penis

serta penampakan rambut pubis (pada pria) (Doyle, 2013).

2.3.1.1 Perkembangan Maturitas Seksual pada Laki-laki

Tanda awal pubertas pada laki-laki terlihat dari pembesaran testis dan

perubahan warna scrotum, umumnya berkisar pada usia 10,5 tahun sampai 14,5

tahun ketika SMR stage 2 dan mencapai SMR stage 5 pada usia antara 12,7 dan

17 tahun (Doyle, 2013). Perubahan ini diikuti dengan pemanjangan penis dan

pembesaran vesicular seminalis dan prostat (Doyle, 2013). Volume testis saat

prepubertas sebanyak 3 - 4 ml. Ukuran tersebut menjadi 10 kali lebih besar pada

akhir pubertas. (Gambar 2.1 dan Tabel 2.1). Perkembangan rambut pubis mulai

terlihat pada SMR stage 2 (Gambar 2.2) (Doyle, 2013).

Gambar 2.1 Perubahan Fisik pada Anak Laki-laki selama masa Pubertas (Hapsari,

2019; Doyle, 2013).


7

Tabel 2.1 Tahap perkembangan pubertas anak pada laki-laki menurut

Tanner (Hapsari, 2019)

Gambar 2.2 Tahap Pertumbuhan Rambut Pubis pada Laki-laki menurut Tanner

(Doyle, 2013).

2.3.1.2 Perkembangan Maturitas Seksual pada Perempuan

Pada anak perempuan awal pubertas ditandai oleh timbulnya breast budding
8

atau tunas payudara (thelarce) pada kira-kira usia 10 tahun, kemudian secara

bertahap payudara berkembang menjadi payudara dewasa pada usia 13-14 tahun.

Rambut pubis mulai tumbuh pada usia 11-12 tahun dan mencapai pertumbuhan

lengkap pada usia 14 tahun. Menarke terjadi dua tahun setelah awitan pubertas,

menarke terjadi pada fase akhir perkembangan pubertas yaitu sekitar 12,5 tahun.

Dari survei antroprometrik di tujuh daerah di Indonesia didapatkan bahwa usia

menarke anak Indonesia bervariasi dari 12,5 tahun sampai dengan 13,6 tahun

(Gambar 2.2) (Hapsari, 2019).

Gambar 2.3 Perubahan Fisik pada Anak Perempuan selama Masa Pubertas

Tabel 2.2 Tahap perkembangan pubertas anak pada laki-laki menurut


Tanner (Hapsari, 2019)
9

Gambar 2.4 Perubahan Perkembangan Payudara Perempuan menurut Tanner

(Doyle, 2013).

Gambar 2.5 Perubahan Pertumbuhan Rambut Pubis Perempuan menurut Tanner

(Doyle, 2013).
10

2.3.2 Karakteristik umur biologis dengan gigi geligi

Proses pertumbuhan gigi geligi dimulai dari endapan yang berada pada

ujung-ujung kuspis dan akar gigi. Kronologis erupsi gigi diikuti dengan umur

individu sehingga ahli forensik hanya akan mengikuti dan mencocokan erupsi gigi

dan umur erupsi individu. (Koesbardiati T, 2013)

Gambar 2.6 Identifikasi usia berdasarkan pertumbuhan gigi geligi

Gigi mempunyai peran di bidang kedokteran gigi forensik, yaitu dalam

proses identifikasi individu. Gigi dapat digunakan untuk menentukan identitas

seseorang yang meninggal karena kecelakaan, kejahatan, ataupun karena bencana

alam karena gigi merupakan material biologis yang paling tahan terhadap

perubahan lingkungan. Dari semua jaringan keras pada tubuh manusia gigi

memiliki kelebihan yaitu stabil dan tidak mudah rusak selama penyimpanan

Berdasarkan pengalaman di lapangan gigi mempunyai kontribusi tinggi dalam


11

menentukan indentias individu.

Aspek penting untuk mendapakan perkiraan usia gigi yang tepat adalah

menggunakan lebih dari satu metode, melakukan pengukuran dan kalkulasi

berulang ulang. Beberapa metode yang dapat digunakan antara lain :

A. Metode Radiologis

1. Metode Demirjian

Metode ini didasarkan pada tahapan perkembangan 7 gigi permanen

rahang bawah kiri melalui foto rontgen panoramic, didasarkan pada kriteria

bentuk dan nilai relatif dan bukan pada panjang mutlak gigi. Metode ini

didasarkan pada estimasi usia kronologis yang disederhanakan dengan membatasi

jumlah tahapan perkembangan gigi menjadi delapan tahapan dan memberinya

skor mulai dari "A" hingga "H". Delapan tahapan tersebut mewakili kalsifikasi

masing-masing gigi, mulai dari kalsifikasi mahkota dan akar hingga penutupan

apeks gigi (Apriyono, 2016).

Pemberian skor tiap gigi dan setiap tahap perkembangan berasal dari

metode Tanner yang menggambarkan maturasi tulang. Pemberian skor terbatas

pada tujuh gigi permanen pertama kuadran kiri bawah dan dibandingkan dengan

representasi grafis tahap perkembangan. Setiap tahap perkembangan memiliki

kriteria khusus dan satu, dua, atau kriteria tertulis. Jika hanya terdapat satu

kreteria, harus dipenuhi untuk mencapai tahap tertentu; jika terdapat dua kriteria

maka dianggap terpenuhi jika yang pertama telah ditemukan, jika terdapat tiga

kriteria maka dua yang pertama harus ditemukan agar dianggap terpenuhi.

Analisis statistic skor maturasi digunakan untuk masing-masing gigi dari tujuh

gigi dari tiap-tiap tahap dari 8 tahap perkembangan . standar penghitungan anak
12

laki-laki dan perempuan dipisah (Apriyono, 2016).

Demirjian menggunakan penilaian gigi yang diubah ke dalam skor dengan

menggunakan table untuk anak laki-laki dan anak perempuan secara sendiri-

sendiri. Semua skor untuk masing-masing gigi dijumlah dan skor maturasi

dihitung. Skor maturasi kemudian dikonversi langsung ke dalam usia gigi dengan

menggunakan table konversi (Apriyono, 2016).


13

Gambar 2.7 Tahapan Klasifikasi Gigi Permanen Metode Dermijian (Apriyono,

2016)

Tabel 2.3 Tahapan Pembentukan Gigi oleh Dermijian (Woroprobosari et al, 2019)
14

Tahapan Keterangan

A Untuk gigi akar tunggal maupun lebih, tahap kalsifikasi gigi

dimulai dari bagian tertinggi dari crypt

B Ujung cusp yang mengalami kalsifikasi menyatu dan mulai

menunjukkan pola permukaan oklusal

C a. Pembentukan email selesai pada permukaan oklusal. Tampak

perluasan dan pertemuan pada bagian servikal gigi.

b. Mulai terlihat deposit dentinal

c. Pola kamar pulpa tampak berbentuk garis pada batas oklusal

D a. Pembentukan mahkota gigi selesai dan terjadi perluasan manuju

cemento-enamel junction

b. Tepi atas kamar pulpa pada gigi yang berakar tunggal

menunjukkan batas yang jelas dan proyeksi tanduk pulpa memberi

gambaran seperti payung serta berbentuk trapezium pada gigi

molar

c. Akar gigi mulai terbentuk

E Gigi berakar tunggal

a. Dinding kamar pulpa tampak sebagai garis lurus yang

kontinuitasnya terputus akibat adanya tanduk pulpa

b. Panjang akar gigi kurang dari mahkota

Gigi molar

a. Inisiasi pembentukan bifurkasi akar

b. Panjang akar gigi kurang dari mahkota gigi

F Gigi berakar tunggal

a. Dinding kamar pulpa tampak menyerupai segitiga sama kaki

dan ujung akar seperti corong

b. Panjang akar sama atau lebih panjang dari tinggi mahkota gigi

molar
15

Gigi molar

a. Kalsifikasi pada bifurkasi mengalami perluasan, bentuk akar

lebih nyata dan ujung akar tampak seperti corong

b. Panjang akar sama atau lebih dari tinggi mahkota

G Dinding saluran akar tampak sejajar, namun ujung apikal masih

terbuka

H Ujung apikal sudah tertutup

Demirjian menggunakan penilaian gigi yang diubah ke dalam skor dengan

menggunakan tabel untuk anak laki-laki dan perempuan secara sendiri-sendiri.

Semua skor untuk masing-masing gigi dijumlah dan skor maturasi dihitung. Skor

maturasi kemudian dikonversikan langsung ke dalam usia dengan menggunakan

tabel konversi (Gita et al, 2019).

Tabel 2.4 Skor Maturasi Demirjian (Patel, 2015)

Gigi Tahapan dan Skor

0 A B C D E F G H

Laki-laki

M2 0.0 2.1 3.5 5.9 10.1 12.5 13.2 13.6 15.4

M1 0.0 - - - 8.0 9.6 12.3 17.0 19.3

P2 0.0 1.7 3.1 5.4 9.7 12.0 12.8 13.2 14.4

P1 0.0 - 0.0 3.4 7.0 11.0 12.3 12.7 13.5

C 0.0 - - 0.0 3.5 7.9 10.0 11.0 11.9

I2 0.0 - - - 3.2 5.2 7.8 11.7 13.7

I1 0.0 - - - 0.0 1.9 4.1 8.2 11.8

Perempuan

M2 0.0 2.7 3.9 6.9 11.1 13.5 14.2 14.5 15.6

M1 0.0 - - 0.0 4.5 6.2 9.0 14.0 16.2

P2 0.0 1.8 3.4 6.5 10.6 12.7 13.5 13.8 14.6


16

P1 0.0 - 0.0 3.7 7.5 11.8 13.1 13.4 14.1

C 0.0 - - 0.0 3.8 5.6 10.3 11.6 12.4

I2 0.0 - - 0.0 3.2 5.6 8.0 12.2 14.2

I1 0.0 - - - 0.0 2.4 5.1 9.3 12.9


17

Gambar 2.8 Tabel Konversi Skor Maturasi Dermijian (Patel, 2015)


18

2. Metode Schour-Massler

Pada tahun 1941, Schour and Massler meneliti perkembangan gigi desidui

dan permanen, menjabarkan 21 tahap-tahap kronologis mulai umur 4 bulan

hingga 21 tahun dan mempublikasikannya dalam bentuk diagram perkembangan

numerikal. American Dental Association (ADA) secara berkala telah

memperbarui grafik ini dan menerbitkannya pada tahun 1982, sehingga

memungkinkan untuk membandingkan secara langsung tahap kalsifikasi gigi pada

radiografi dengan standar yang telah dibuat oleh Schour-Massler. Pada grafik ini,

jenis kelamin tidak diperhitungkan. Hasil radiografi yang ada di bandingkan

langsung dengan tahapan standar yang dibuat oleh Schour-Massler (Ebrahim et al,

2014).

Berikut adalah tahapan perkembangan gigi yang dijabarkan oleh Schour-

Massler yang di bagi atas tahapan pada gigi desidui, gigi bercampur dan gigi

permanen (Ebrahim et al, 2014).


19

Gambar 2.9 Metode Schour-Massler pada gigi desidui (Ebrahim et al, 2014)

Gambar 2.10 Metode Schour-Massler pada gigi bercampur dan permanen

(Ebrahim et al, 2014)

3. Metode Blenkin-Taylor

Standar blenkin diperkenalkan oleh Matt Blenkin yang merupakan modifikasi

standar yang digunakan oleh Demirjian et al. Standar Blenkin ini disebut dengan

Simple Maturasi Score (SMS). Standar skor ini merupakan sistem pemberian skor

yang sederhana untuk menilai masing-masing tahapan maturasi dari 7 gigi rahang

bawah kiri yang digunakan oleh Demirjian et al. Pemberian skor abjad-angka
20

tahapan maturasi 0 sampai H dikonversi menjadi pemberian skor maturasi angka

1 sampai 8. skor maturasi (X) diperoleh dari penjumlahan skor yang diberikan

dari penjumlahan skor yang diberikan pada masing-masing tahap klasifikasi gigi.

Prakiraan usia (y) diperoleh dengan menggunakan rumus regresi (Apriyono,

2020).

Laki-laki :

y = -2.042579201 + 0.416441557x - 0.009307122x2 + 0.000128194x3

Perempuan :

y = -1.914675804 + 0.421823224x - 0.010273636x2 + 0.000141442x3

Keterangan :

Y = Usia biologis

X = Skor maturasi

Tabel 2.5 Konversi tahapan maturasi gigi abjad-angka ke skor maturasi


angka menurut Blenkin (2009)
Tingkat Demirjian Skor Maturasi

0 0

A 1

B 2

C 3

D 4

E 5

F 6

G 7

H 8

B. Metode Klinis

Selain penggunaan metode radiologis, dapat juga dilakukan dengan metode


21

klinis. Salah satunya menggunakan perhitungan jumlah gigi erupsi.

Tabel 2.6 Penentuan Berdasarkan Erupsi Gigi Tetap (Aflanie et al, 2020)

Gigi Atas dan Bawah

Incisivus I 7 tahun

Incisivus II 8 tahun

Canninus 11 tahun

Premolar I 9 tahun

Premolar II 10 tahun

Molar I 8 tahun

Molar II 12-13 tahun

Molar III 17-25 tahun

C. Metode Histologi

Metode Gustafson merupakan metode penentuan berdasarkan perubahan

makrostruktural gigi geligi. Skala nilai adalah 0, 1, 2, 3. Gustafson membagi

menjadi 6 tahapan yaitu (Apriyono, 2016) :

a. Derajat atrisi

Merupakan keausan fisiologis permukaan oklusal gigi akibat mastikasi.

Skala keterangan

0 Tidak ada atrisi

1 Atrisi pada enamel

2 Atrisi mencapai dentin

3 Atrisi pada pulp


22

b. Jumlah dentin sekunder

Merupakan lapisan dentin yang terbentuk setelah akar gigi terbentuk sempurna.

Skala keterangan

0 Tidak ada formasi dentin sekunder

1 Mulai mengisi pulp

2 Pulp cavity mulai terisi setengah

3 Pulp cavity terisi sepenuhnya

c. Posisi perlekatan ginggiva

Adanya peradangan jaringan periodontal atau ginggiva seiring bertambahnya usia

yang menyebabkan lepasnya gigi pada socket.

Skala keterangan

0 Tidak ada periodontisis

1 Gigi sedikit longgar

2 Periodontisis sepanjang 1/3 bagian

atas akar

3 Periodontisis sepanjang 2/3 bagian

atas akar

d. Derajat resorpsi akar

Resorpsi akar merupakan kehilangan progresif dentin dan sementum oleh aksi

odontoklas.

Skala keterangan

0 Tidak ada resorpsi


23

1 Hanya titik resorpsi kecil yang

terisolasi

2 Resorpsi 1/3 akar bagian bawah

3 Area resorpsi yang luas

e. Transparansi dentin akar

Seiring bertambahnya usia, tubulus dentin terisi mineral dan menjadi opaque. Ini

adalah kriteria yang paling dapat diandalkan dari semuanya.

Skala keterangan

0 Tidak ada transparansi

1 Sedikit transparansi

2 Transparansi lebih dari 1/3 apical root

3 Transparansi lebih dari 2/3 apical root

f. Ketebalan sementum

Deposisi dari sementum di sekitar akar gigi

Skala keterangan

0 Tidak ada deposisi

1 Aposisi sedikit lebih besar dari

normal

2 Lapisan sementum lebih besar

3 Lapisan sementum yang sangat berat

Nilai masing-masing perubahan dijumlah (X) dan kemudian dihitung


24

menggunakan rumus : Y (estimasi usia) = 3,52x + 8,88. Sampel yang digunakan

adalah gigi insisivus (Apriyono, 2016).

Gambar 2.11 Gambaran perubahan jaringan keras gigi menurut Gustafson


(Apriyono, 2016)

Akurasi dan ketepatan hasil yang didapat dari prakiraan usia berdasarkan

gigi bergantung dari pemilihan metode paling sesuai dengan keadaan masing-

masing kasus. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan metode

prakiraan usia adalah status individu (hidup atau mati), kategori usia individu,

jumlah individu yang akan diidentifikasi usianya, jenis kasus tunggal atau

bencana massal, ketersediaan gigi dan jaringan pendukung, lokasi kasus,

ketersediaan sarana dan perangkat prakiraan usiam serta budaya dan agama yang

dianut individu yang akan diidentifikasi (Putri, 2013).

Prakiraan usia berdasarkan gigi pada individu hidup umumnya

menggunakan metode non-invasif yang tidak melibatkan ekstraksi gigi. Metode

yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan klinis dan radiografis. Sedangkan pada

individu mati dapat digunakan semua metode pemeriksaan yaitu secara klinis,
25

radiografis, histologis maupun biokimiawi dikarenakan pada individu mati dapat

dilakukan ekstraksi (Putri, 2013).

2.3.3 Karakteristik umur biologis dengan mulai bersatunya epiphysis dengan

diaphysis

Sisa rangka dari bayi prenatal, natal dan awal post natal dapat ditentukan

berdasarkan tulang panjang mereka. Pada orang dewasa tulang panjang sangat

bervariasi berdasarkan ras dan jenis kelamin. Pada anak-anak tidak terdapat

perbedaan yang begitu mencolok karena pertumbuhan berakselerasi sejak post

natal sehingga metode ini sangat berguna dan dapat diterapkan pada anak-anak

hingga usia kurang lebih 10 tahun. (Koesbardiati T, 2013)

Seperti telah dijelaskan diatas, bahwa tulang berkembang atas endapan

material pada bagian ujung tulang (tulang panjang). Proses ini berlangsung setelah

terjadi proses penyatuan pada pusat osifikasi primer. Ada banyak epiphisis pada

rangka manusia. Semua tulang panjang minimal mempunyai 2 ephipisis dan

kadang lebih. Salah satu klasifikasi penyatuan ephipisis yang paling banyak

digunakan disusun oleh Buikstra dan Ubelaker. Informasi mengenai penyatuan

ephipisis ini sangat berguna untuk penentuan umur waktu mati, terutama

berdasarkan individu dengan rentang umur 10-25 tahun. Hal ini dikarenakan

bahwa penyatuan ephipisis sering kali lebih cepat dari semestinya. Dengan

kata lain, ada rentang umur (waktu penyatuan ephipisis). Jenis kelamin sangat

mempengaruhi pertumbuhan tulang sehingga hal ini juga diperhitungkan selain

memperhitungkan rentang umur penyatuan ephipisis ini. (Koesbardiati T, 2013)


26

Gambar 2.12 tahapan union epifisis pada distal femur: (a) Tanpa union
(Epifisis belum tampak): (b) union tidak menyatu: (c) union menyatu: (d)
batas union menghilang

Tabel 2.7 Mulai bersatunya epiphysis dengan diaphysis


Epiphysis Umur saat mulai bersatunya epiphysis

Laki-laki Perempuan

Klavikula, Medial 18-22 17-21

Skapula: Processus acromialis 14-22 13-20

Humerus: Caput 14-21 14-20

Tuberkel Mayor 2-4 2-4

Trochlea 11-15 9-13

Epicondylus Lateralis 11-17 10-14

Radius: Caput 14-19 13-16

Distal 16-20 16-19

Ulna, distal 18-20 16-19

Ilium: Krista Iliaca 17-20 17-19

Ischium: Pubis 7-9 7-9

Tuberositas Ischium 17-22 16-20

Femur: Caput 15-18 13-17


27

Distal 14-19 14-17

Tibia: Proximal 15-19 14-17

Distal 14-18 14-16

Fibula: Proximal 14-20 14-18

Distal 14-18 13-16

2.3.4 Karakteristik umur biologis berdasarkan morfologi simphysis pubis

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, ada empat karakter tulang yang

berubah selama masa dewasa yaitu sympisis pubis, permukaan auricular, ujung

rusuk sternal dan sutura pada tengkorak. Sympisis pubis berubah dari area yang

kasar dan ber-rugae menjadi area yang lebih halus, datar dan dengan porositas.

(Koesbardiati T, 2013.

Gambar 2.12 Identifikasi usia berdasarkan perubahan bentuk simphisis pubis

Tabel 2.8 Tahapan perubahan morfologi pada simfisis pubis berdasarkan


deskripsi Todd
Fase Rentang Deskripsi
28

usia

1 18-19 Permukaan simfisis kasar, didapatkan adanya tonjolan

horizontal yang dipisahkan oleh alur, tidak ada perbedaan

ukuran antara punggung atas dan bawah.

2 20-21 Permukaan simfisis masih kasar. Alur horizontal menjadi terisi

di dekat tonjolan tulang baru yang bertekstur halus. Nodul

tulang mungkin ada, menyatu dengan permukaan simfisis atas.

Margin pembatas dorsal mulai berkembang. Tidak ada batasan

ekstremitas. Mulai ada ventral bevel.

3 22-24 Tonjolan dan alur hilang pada permukaan simfisis . Mulai

adanya pembentukan platform dorsal. Nodul tulang mungkin

ada. Definisi margin dorsal, dengan lipping tajam.Ventral

bevel lebih terlihat.

4 25-26 Peningkatan ventral bevel. Pengurangan tonjolan dan alur.

Definisi lengkap margin dorsal melalui pembentukan platform

dorsal. Memulai delimitasi ekstremitas bawah

5 27-30 Sedikit perubahan pada permukaan simfisis dan platform

dorsal. Margin lebih jelas dan lebih tajam. Batasan kstremitas

bawah lebih terlihat. Ekstremitas atas terbentuk dengan atau

tanpa intervensi nodul tulang.

6 30-35 Batasan ekstremitas meningkat. Beberapa tampilan granular

permukaan simfisis terjadi retensi yang menunjukkan bahwa

aktivitas belum berhenti. Tidak ada lipping margin ventral dan

tidak ada peningkatan lipping margin dorsal.


29

7 35-39 Permukaan dan aspek ventral berubah dari granular menjadi

tulang berbutir halus atau padat. Sedikit perubahan pada

permukaan simfisis dan ditandai perubahan dalam aspek ventral

dari berkurangnya batasan. Tidak ada osifikasi tendon dan

ligamen.

8 40-45 Permukaan simfisis dan aspek ventral tulang kemaluan

umumnya halus dan tidak aktif. Didapatkan garis besar oval.

Batas ekstremitas terlihat jelas. Mulai didapatkan osifikasi

tendon dan ligamen, terutama yang dari ligamen sacro-

tuberous dan otot gracilis.

9 45-49 Pemrukaan simfisis menunjukkan berkurangnya tonjolan dan

bentuk lain. Margin dorsal tidak teratur; Margin ventral tidak

beraturan.

10 49+ Margin ventral terkikis lebih besar atau lebih kecil dari

panjangnya, berlanjut agak ke permukaan simfisis. Rarefaction

wajah dan osifikasi tidak teratur. Cacat meningkat seiring

bertambahnya usia.

2.3.5 Karakteristik umur biologis berdasarkan morfologi permukaan daun

telinga

Dasar pemikiran menilai permukaan auricular adalah bahwa tulang pada

persendian sacroiliaka juga berubah seiring dengan waktu, seperti hal nya

sympisis pubis, permukaan auricular mempunyai tahapan perubahan seiring

dengan waktu. Owen Lovejoy et al. (1985, dalam Byers, 2008) mengembangkan
30

metode ini untuk memperhitungkan umur mati individu. Selain bagian ini tidak

gampang rusak, permukaan auricular juga tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin.

(Koesbardiati T, 2013).

Gambar 2.13 Perubahan permukaan daun telinga. (a) Batasan melintang:


berombak besar (1), seperti goresan (2), tanpa susunan melintang. (b)
permukaan tulang: berbutir kasar (1), berbutir halus (2)

Gambar 2.14 Perubahan area daun telinga. (a) Porositas: kecil (1), besar (2).
(b) area retroaurikular illium: halus (1), kasar (2), ruge dengan osifikasi (3).
31

Tabel 2.9 Perubahan Permukaan Daun Telinga Berdasarkan Usia

Rentang Bentukan Apical


Granular Retroauricular Porosity
usia melintang Activity

20-24 Berombak besar Sangat baik (-) (-) (-)

Ombak besar

25-29 berubah menjadi Sedikit kasar (-) (-) (-)

striae

Sedikit ombak
Ringan mungkin Sedikit
30-34 besar lebih Distinctyl (-)
ada mikro
banyak striae

Adanya beberapa

35-39 ombak besar dan Kasar teratur Ringan Ringan -sedang Mikro

striae

Transisi

(-) ombak besar, granular


40-44 Ringan Ringan -sedang Mikro/makro
striae tidak jelas menjadi

padat

Ringan -
45-49 Tidak ada Tulang padat Sedang Mikro/makro
sedang

Tidak ada

50-60 (permukaan Tulang padat Berat Sedang - berat Makro

irregular

Kerusakan Berat dengan


60+ Tidak ada Berat Makro
tulang osteofit
32

2.3.6 Karakteristik umur biologis berdasarkan Rusuk bagian sternal

Penelitian yang dilakukan M.Yasar dkk (dalam Byers, 2008) menunjukan

bahwa ujung dari rusuk yang bergabung dengan sternum dapat digunakan sebagai

petunjuk umur karena ujung dari rusuk ini juga mengalami perubahan seiring

dengan waktu atau masa hidup seseorang. Empat kondisi yang dapat digunakan

sebagai penentu umur pada ujung rusuk adalah permukaan tulang, permukaan

kontur, pinggiran tulang dan pinggiran kontur. (Koesbardiati T, 2013)

Tabel 2.10 Estimasi umur berdasarkan pada rusuk (Byers, 2008)

Rentang Permukaan
Kontur permukaan Bagian tepi Kontur tepi
usia tulang

<19 Halus Datar/berombak besar Bulat Agak teratur

Bergelombang
Berbentuk U-V
20-29 Halus Bulat hingga

teratur

30-39 Keropos Bentuk V-U Tajam Tidak teratur

Tidak teratur
40-49 Keropos Bentuk U Tajam
dengan proyeksi

Terang dan Bentuk U lebih tajam Tidak teratur


50-59 Tajam
keropos dengan proyeksi

Tajam
Keropos Sama disertai
70> Bentuk U dengan
memburuk “jendela”
dinding tipis
33

2.3.7 Karakteristik umur biologis dengan penutupan sutura dan krania

Selama bertahun tahun penutupan sutura tengkorak dianggap metode

yang paling akurat. Adalah merupakan pengetahuan umum bahwa sebagian

besar orang dewasa mengalami sedikitnya sebagian sutura mereka tertutup dan

ini cendrung menyebar lebih luas ketika usia mereka bertambah.

Penutupan berurut dari berbagai sutura tengkorak memberikan informasi

penting mengenai usia dari orang tersebut. Selama usia 25 tahun dan khususnya

dalam usia 25 – 40 tahun, estimasi usia menjadi lebih sulit. Tidak adanya tanda

penutupan dari tengkorak menunjukkan probabilitas kuat bahwa usia tidak

melebihi 30 tahun.

Tiga tehnik estimasi usia yang menggunakan penutupan sutura ectocranial

dan/atau endocranial diuji pada sebuah sample dengan usia yang telah diketahui

oleh Spitalfield, London untuk menentukan nilai penutupan sutura cranial sebagai

indicator penentuan umur. Tiga tehnik tersebut dikemukakan oleh Ascadi –

Nemeskeri, Meindl, dan Perizonius dan hasil menunjukkan bahwa tehnik

Ascaradi – Nemeskeri, yang didasarkan pada sutura endocranial dapat digunakan

untuk membedakan orang-orang muda dan berusia menengah dalam sampel

SpitalFields akan tetapi tidak memberikan informasi untuk cranium pada usia 50

tahun (Ascandy, 1970; Meindl, 1985; Perzonius, 1984). Estimasi usia dengan

menggunakan tehnik Meindl dan Lovejoy dan Perizonius (system lama)

menggunakan sutura ectocranial , ditemukan menjadi subjek pada sejumlah factor

yang bertentangan, dimana dimorfisme seksual dalam tingkat dan pola penutupan

adalah sangat signifikan. Untuk tehnik estimasi usia yang akurat didasarkan pada

penutupan sutura cranial maka kita perlu mengetahui lebih banyak lagi tentang
34

penyebab dan fungsi-fungsi dari penutupan sutura pada manusia.

Ada beberapa teori mengenai obliterasi sutura:

 Perubahan pertumbuhan dalam skeleton, walaupun pemberian dasar yang

sangat dipercaya untuk estimasi usia, tidak memungkinkan didapat penentuan

yang tepat, akan tetapi hanya tingkatan karena ada variasi sehubungan dengan

pertumbuhan dan usia.

 Penutupan sutura mulai secara endocranial dan kemudian berlangsung secara

ectocranial, yaitu mulai dari sisi dalam tengkorak dan berlanjut ke sisi luar.

 Penutupan sutura mulai secara endocranial dan meluas ke arah luar pada

ectocranium. waktu penutupan bagian apapun dari sutura dan urutan dimana

proses berlanjut adalah sangat tidak pasti. Akan tetapi penutupan endocranial

lebih dapat dipercaya daripada fusi ectocranial.

 Sutura mulai menutup pada aspek luar dan dalam pada waktu yang hampir

bersamaan. Meskipun demikian, sutura ectocranial berlangsung secara lebih

lambat, dan umumnya tidak sempurna seperti obliterasi endocranial.

 Sutura tengkorak memulai mengalami obliterasi pada usia 25 – 45 tahun, yang

biasanya mulai pada permukaan ectocranial akan tetapi, meskipun penutupan

sutura pada permukaan endocranial lebih lambat, namun kemajuan pada level

ini lebih cepat, lebih seragam dan lebih sempurna daripada level ectocranial.

 Tidak ada waktu yang berbeda antara dimulai penutupan endocranial dan

ectocranial, ada satu indicator usia yang dapat dipercaya yaitu lapsed union.

Lapsed union adalah union yang tidak sempurna dalam pengertian bahwa

sebuah proses yang pernah mulai tidak berlangsung hingga sempurna. Lapsed

union terjadi lebih sering dalam sutura sagittal.


35

gambar 2.15 sutura dan krania

Gambar 2.16 sutura dan krania bagian inferior

Scala penutupan menurut metode Ascadi – Nemeskeri

 0 = Terbuka. Masih ada sedikit ruang yang tersisa antara sisi-sisi dari tulang

yang menyatu

 1 = Penutupan yang baru mulai. Terlihat secara jelas sebagai yang

berkelanjutan sering dengan jalur zigzag

 2 = Penutupan dalam proses. Garis lebih tebal, kurang zigzag, dihentikan

oleh penutupan sutura


36

 3 = Penutupan lanjut. Hanya pit (lubang) yang mengindikasikan dimana

sutura terletak.

 4 = Tertutup. Bahkan lokasi tidak dapat dikenal.

Penutupan sutura

 Sutura sagittal.

Penutupan sutura sagittal secara ectocranial tidak pernah sempurna.

Sutura sagittal secara endocranial mulai menyatu pada akhir usia 20-29 tahun dan

sempurna pada usia 60-69 tahun.

 Sutura Coronal

Sutura coronal memperlihatkan kasus-kasus lapsed union yang

palig tinggi. Dalam sutura coronal usia yang paling muda dimana union yang

sempurna terlihat pada usia 60 tahun secara ectocranial dan 32 tahun secara

endocranial.

 Sutura Lambdoid

Lambdoid secara endocranial, mulai menyatu pada usia 20-29

tahun. Usia paling dini dimana union sutura lambdoid yang sempurna terlihat

pada usia 52 tahun secara ectocranial dan 36 tahun secara endocranial.

Gambar 2.17 Sutura Ektokranial


37

2.4 Identifikasi Kerangka untuk perkiraan umur

Walaupun umur sebenarnya tidak dapat ditentukan dari tulang,

namun perkiraan umur seseorang dapat ditentukan. Biasanya pemeriksaan

dari os pubis, sakroiliac joint, cranium, artritis pada spinal dan

pemeriksaan mikroskopis dari tulang dan gigi memberikan informasi yang

mendekati perkiraan umur. Untuk memperkirakan usia, bagian yang berbeda

dari rangka lebih berguna untuk menentukan perkiraan usia pada range usia

yang berbeda. Range usia meliputi usia perinatal, neonatus, bayi dan anak kecil,

usia kanak-kanak lanjut, usia remaja, dewasa muda dan dewasa tua.

Pemeriksaan terhadap pusat penulangan (osifikasi) dan penyatuan

epifisis tulang sering digunakan untuk perkiraan umur pada tahun-tahun pertama

kehidupan. Pemeriksaan ini dapat dilakukan menggunakan foto radiologis

atau dengan melakukan pemeriksaan langsung terhadap pusat penulangan pada

tulang.

Pemeriksaan terhadap penutupan sutura pada tulang-tulang atap

tengkorak guna perkiraan umur sudah lama diteliti dan telah berkembang

berbagai metode, namun pada akhirnya hampir semua ahli menyatakan

bahwa cara ini tidak akurat dan hanya dipakai dalam lingkup dekade (umur

20-30-40 tahun) atau mid-dekade (umur 25-35-45 tahun) saja.

Umur dalam tiga tahapan :

1. Bayi baru dilahirkan Neonatus, bayi yg belum mempunyai gigi, sangat

sulit untuk menentukan usianya karena pengaruh proses pengembangan


38

yang berbeda pada masingmasing individu. Bayi dan anak kecil biasanya

telah memiliki gigi. Pembentukan gigi sering kali digunakan untuk

memperkirakan usia. Gigi permanen mulai terbentuk saat kelahiran,

dengan demikian pembentukan dari gigi permanen merupakan indikator

yang baik untuk menentukan usia. Beberapa proses penulangan mulai

terbentuk pada usia ini, ini berarti bagian-bagian yang lunak dari tulang

mulai menjadi keras. Namun, ini bukan faktor penentuan yg baik.

Pengukuran tinggi badan diukur :

 Streeter : tinggi badan dari puncak kepala sampai tulang ekor

 Haase : tinggi badan diukur dari puncak kepala sampai tumit

Umur Panjang Umur Panjang

1 bulan 1 cm 6 bulan 30 cm

2 bulan 4 cm 7 bulan 35 cm

3 bulan 9 cm 8 bulan 40 cm

4 bulan 16 cm 9 bulan 45cm

5 bulan 25 cm 10 bulan 50 cm

2. Anak dan dewasa sampai umur 30 tahun

Masa kanak-kanak lanjut dimulai saat gigi permanen mulai

tumbuh.Semakin banyak tulang yang mulai mengeras.Masa remaja

menunjukkan pertumbuhan tulang panjang dan penyatuan pada ujungnya.

Penyatuan ini merupakan teknik yang berguna dalam penentuan usia. Masing-

massing epifisis akan menyatu pada diafisis pada usia-usia tertentu. Dewasa

muda dan dewasa tua mempunyai metode-metode yang berbeda dalam


39

penentuan usia; penutupan sutura cranium; morfologi dari ujung iga,

permukaan aurikula dan simfisis pubis; struktur mikro dari tulang dan gigi.

 Persambungan speno-oksipital terjadi pada umur 17 – 25 tahun.

 Tulang selangka merupakan tulang panjang terakhir unifikasi.

 Unifikasi dimulai umur 18 – 25 tahun.

 Unifikasi lengkap 25 – 30 tahun, usia lebih dari 31 tahun sudah

lengkap

 Tulang belakang sebelum 30 tahun menunjukkan alur yang dalam dan

radier pada permukaan atas dan bawah.

3. Dewasa > 30 tahun

Sutura kranium (persendian non-moveable pada kepala) perlahan-perlahan

menyatu.Walaupun ini sudah diketahui sejak lama, namun hubungan

penyatuan sutura dengan penentuan umur kurang valid.Morfologi pada ujung

iga berubah sesuai dengan umur.Iga berhubungan dengan sternum melalui

tulang rawan. Ujung iga saat mulai terbentuk tulang rawan awalnya berbentuk

datar, namun selama proses penuaan ujung iga mulai menjadi kasar dan tulang

rawan menjadi berbintik-bintik. Iregularitas dari ujung iga mulai ditemukan

saat usia menua.

Gambar 2.18 Perkembangan Tengkorak Berdasarkan Umur


40

Pemeriksaan tengkorak :

 Pemeriksaan sutura, penutupan tabula interna mendahului eksterna

 Sutura sagitalis, koronarius dan sutura lambdoideus mulai menutup

umur 20 – 30 tahun

 Sutura parieto-mastoid dan squamaeus 25 – 35 tahun tetapi dapat tetap

terbuka sebagian pada umur 60 tahun.

 Sutura spheno-parietal umumnya tidak akan menutup sampai umur 70

tahun.

Pemeriksaan permukaan simfisis pubis dapat memberikan skala umur dari

18 tahun hingga 50 tahun, baik yang dikemukakan oleh Todd maupun oleh

Mokern dan Stewart. Mokern dan Stewart membagi simfisis pubis menjadi 3

komponen yang masing-masing diberi nilai. Jumlah nilai tersebut menunjukkan

umur berdasarkan sebuah tabel.Schranz mengajukan cara pemeriksaan tulang

humerus dan femur guna penentuan umur.

Demikian pula tulang klavikula, sternum, tulang iga dan tulang belakang

mempunyai ciri yang dapat digunakan untuk memperkirakan umur. Nemeskeri,

Harsanyi dan Ascadi menggabungkan pemeriksaan penutupan sutura endokranial,

relief permukan simfisis pubis dan struktur spongiosa humerus proksimal/epifise

femur, dan mereka dapat menentukan umur dengan kesalahan sekitar 2,55 tahun.

Ketika tidak ada yang dapat diidentifikasi, gigi dapat membantu untuk

membedakan usia seseorang, jenis kelamin,dan ras. Hal ini dapat membantu untuk

membatasi korban yang sedang dicari atau memperkuat identitas

korban.Perkembangan gigi secara regular terjadi sampai usia 15 tahun.

Pertumbuhan gigi desidua diawali pada minggu ke-6 intra uteri. Mineralisasi gigi
41

dimulai saat 12 – 16 minggu dan berlanjut setelah bayi lahir. Pertumbuhan gigi

permanen diikuti dengan penyerapan kalsium, dimulai dari gigi molar pertama

dan dilanjutkan sampai akar dan gigi molar kedua yang menjadi lengkap pada usia

14 – 16 tahun. Pada dewasa (lebih dari 30 tahun), gigi molar ketiga telah

tumbuh.Setelah melebihi usia 22 tahun, terjadi degenerasi dan perubahan pada

gigi melalui terjadinya proses patologis yang lambat dan hal seperti ini dapat

digunakan untuk aplikasi forensik.

Identifikasi melalui pertumbuhan gigi memberikan hasil yang lebih baik

daripada pemeriksaan antropologi lainnya pada masa pertumbuhan. Terdapat

empat metode penentuan usia melalui pertumbuhan gigi, yaitu Schour dan

Massler, Gustaffson, dan Koch, Garis Neonatal dan Von Ebner, serta metode

asam aspartat.Ini bukan referensi standar untuk menentukan umur; pemeriksaan

manual, sinar-X dan pencetakan gigi dan rahang juga dapat digunakan untuk

penentuan perkembangan gigi.

Metode Gustaffson menyusun suatu sistem yang berpatokan pada 6 faktor

yang berhubungan dengan usia, yaitu derajat atrisi (A), periodontosis (P), jumlah

dentin sekunder (S), penebalan semen sekunder (C), transparansi dentin (T), serta

resorbsi akar gigi permanen (R). Derajat atrisi (A) atau ausnya permukaan kunyah

gigi bertambah parah sesuai dengan pertambahan usia serta penggunaannya

terutama saat makan. Periodontosis (P) atau perubahan pada gingiva terjadi karena

perubahan fisiologis akibat penggunaan gigi yang ditandaidengan turunnya atau

dalamnya sulkus gingiva melebihi 2 mm, bahkan makin usia lanjut, perlekatan

gingiva turun kearah akar gigi sehinggaterlihat seakan-akan mahkota lebih

panjang.
42

Semakin meningkatnya atrisi, ruang pulpa akan membentuk dentin

sekunder untuk melindungi gigi, sehingga semakin bertambahnya usia, dentin

sekunder juga semakin bertambah (S). Begitu juga dengan semen sekunder, usia

semakin bertambah makan semen sekunder juga semakin menebal (C).

Transparansi akar gigi (T) juga terjadi karena pertambahan usia yang memicu

terjadinya proses kristalisasi dari bahan-bahan mineral akar gigi hingga jaringan

dentin pada akar gigi berangsur-angsur transparan mulai dari akar gigi ke arah

servikal. Terjadinya resorbsi akar gigi (R) permanen diakibatkan oleh

tekananfisiologis dengan bertambahnya usia dan meningkatnya penggunaan gigi.

 Garis-garis inkremental Von Ebner dan Neonatal, dapat dilihat pada gigi

yang telah disiapkan dalam bentuk sediaan asahan dengan ketebalan 30-40

mikron. Pada gigi susu dan Molar 1 (yaitu gigi-gigi yang ada pada waktu

kelahiran), akan ditemukan garis Neonatal berupa garis demarkasi yang

memisahkan bagian dalam email (terbentuk sebelum kelahiran) dengan

bagian luar enamel (terbentuk setelah kelahiran). Selanjutnya juga akan

ditemukan garis-garis inkremental Von Ebner yang merupakan transisi

antara periode pertumbuhan cepat dan pertumbuhan lambat yang berselang-

seling. Ketika ditemukan garis Neonatal pada mayat bayi menunjukkan

bahwa mayat sudah pernah dilahirkan sebelumnya. Pembentukan enamel

dan dentin ini umumnya dapat digunakan dengan melihat ketebalan dari

struktur di atas garis neonatal.


43

BAB III
KESIMPULAN

Pada kasus penemuan mayat, identifikasi forensik pada sisa-sisa tubuh

manusia sangatlah penting baik untuk alasan hukum maupun kemanusiaan. Proses

identifikasi dilakukan untuk mengetahui apakah sisa-sisa tubuh berasal dari

manusia atau bukan, jati diri mayat, penyebab kematian, dan perkiraan waktu

kematian berdasarkan data sebelum seseorang meninggal/hilang (antemortem

data/AMD) untuk dibandingkan dengan temuan pada mayat (postmortem

data/PMD).

Pada identifikasi usia korban, dapat dilakukan dengan melihat

karakteristik umur biologis dengan gigi geligi dengan cara mengikuti dan

mencocokkan erupsi gigi dan umur erupsi individu. Selanjutnya dapat juga

dilakukan melihat bersatunya epiphysis dan diaphysis, morfologi dari symphysis

pubis, morfologi permukaan daun telinga, berdasarkan rusuk bagian sternal, dan

penutupan antara sutura dengan krania. Dengan demikian diharapkan bahwa

dokter dapat mengetahui perkiraan usia korban melalui identifikasi tersebut untuk

dilaporkan kepada penyidik.


44

DAFTAR PUSTAKA

Aflanie, Iwan, Nirmalasari N. , dan Muhammad H. 2020. Ilmu Kedokteran

Forensik dan Medikolegal. Ed.1. Cet.3. Depok. Rajawali Pers. 2020.

Anderson MF, Anderson DT, Wescott DJ (2010) Estimation of Adult Skeletal

Age- at-Death Using the Sugeno Fuzzy Integral. Am J Physical Anthropol

142(1)

Apriyono, D. K. A. K. (2016) ‘Metode Penentuan Usia Melalui Gigi dalam Proses

Identi kasi Korban’, jurnal Forensik, 43(1), pp. 71–74.

Apriyono, D. K. et al. (2020) ‘Prakiraan Usia Gigi Menggunakan Standar Blenkin

(Modifikasi Metode Demirjian) pada Anak-Anak Etnik Jawa di Kabupaten

Jember (Tooth Age Estimation Using the Blenkin Standard (Modified

Demirjian Method) on Ethnic Javanese Children in Jember District)’, pp.

60–66.

Ascady G, Nemeskeri J. History of Human Life Span and Mortality. Akademiai

Kiado. 1970.

Byers S.N. 2008. Basics of Human Osteology and Odontology. In: Introduction to

Forensic Anthropology. Third Edition. Boston. 28-59.

Carvalho SPM, Aves da Silva RH, Lopes-Junior C, Peres AS. 2009. Use of

Images for Human Identification in Forensic Dentistry. Radiol Bras. 42:1-

12.

Ciaparelli, L. 1992. The Chronology of Dental Development and Age

Assessment. Practicial Forensic Odontology. Wright Butterworth-

Heinemann Ltd. p. 22-42.


45

Doyle, DA. 2013. Physical Growth and Sexual Maturation of Adolescents. Merck

Sharp and Dohme Corp.

Ebrahim E, Rao PK, Chatra L, Shenai P, Veena KM, Prabhu RV, et al. Dental

Age Estimation Using Schour and Massler Method in South Indian

Children. Sch J of App Med Sci 2014; 2(5C):1669-1674.

Franklin D (2010) Forensic age estimation in human skeletal remains: Current

concepts and future directions. Legal Med 12(1)

Gita Putu K.D.S, Wedagama D.M, Nasutianto H. Menentukan Usia Melalui Gigi

Menggunakan Metode Demirjian, Goldstein and Tanner pada Usia 6 sampai

dengan 9 Tahun. Dental Forensic Departement, Faculty of Dentistry

Mahasaraswati Denpasar University. Proceeding Book. The 4 th Bali Dental

Science and Exhibition Balidence 2019.

Glinka J, Artaria, MD, Koesbardati T. 2007. Metode Pengukuran Manusia.

Surabaya: Airlangga University Press.

growth_and_sexual_maturation_of_adolescents.html

Hapsari, A. 2019. Buku Ajar Kesehatan Reproduksi Modul Kesehatan Reproduksi

Remaja. Malang: Wineka Media

ICRC. 2014. Sustainable Development at the ICRC Annual Report 2013.

Indriati E (2010) Identifikasi Rangka Manusia, Aplikasi Antropologi Biologis

Dalam Konteks Hukum. Yogyakarta: UGM Press

Koesbardiati, T. 2012. Buku Ajar Antropologi Forensik. Revka: Surabaya

Lovejoy CO, Meindl, RS, Prysbeck, TR, Mensforth, RP (1985) Chronological

metamorphosis of the auricular surface of the ilium: a new method for

the determination of adult skeletal age at death. Am J Physical Anthropol


46

68(1)

Lukman D. 2006. Buku Ajar Ilmu Kedokteran Gigi Forensik Jilid I. CV Sagung

Seto. p. 5-6.

Meindl RS, Lovejoy CO. Ectocranial suture closure: a revised method for the

determination of skeletal age at death based on the lateral–anterior sutures.

Am J Phys Anthropol 1985;68:57–66.

Murnaghan,F.D. 2012. The Laplace Transformation: Lectures on Applied

Mathematics, V1.

Nuswantari 1998. Kamus Kedokteran Dorland,(edisi 25). EGC.

Panchbai, AS. 2011. Dental Radiographic Indicators, A Key to Age Estimation.

Dentomaxilofacial Radiology. 40:199-212.

Patel PS, Chaudhary AR, Dudhia BB, Bhatia PV, Soni NC, Jani YV. Accuracy of

two dental and one skeletal ageestimation methods in 6-16 year old Gujarati

children. J Forensic Dent Sci 2015;7:18-27.

Perzonius WRK. Closing and Non Closing Suture in 256 Cranial of Known Age

and Sex from Amsterdam (AD 1883-1909). J Humqn Evolution. 1984. p.

201-216.

Priya E (2017) Methods of Skeletal Age Estimation used by Forensic

Anthropologists in Adults : A Review. Forensic Research & Criminology

International Journal. Volume 4 Issue 2

Putri, A. S., Nehemia, B. and Soedarsono, N. (2013) ‘Prakiraan usia individu

Melalui Pemeriksaan Gigi Untuk Kepentingan Forensik Kedokteran Gigi’,

Jurnal PDGI, 62(3), pp. 55–63.

Singh S, Gangrade KC. The sexing of adult clavicles demarking points for
47

Varanasi zone. J Anat Soc India 1968;17:89e100.

Tamher dan Noorkasiani. 2009. Kesehatan Usia Lanjut dengan Pendekatan

Asuhan Keperawatan. Jakarta: Salema Medika

Woroprobosari, N. R., Wisaputri, D. V. and Ni’am, M. H. (2021)‘Gambaran

Estimasi Usia Biologis dengan Menggunakan Metode Blenkin-Taylor

(Modifikasi Sistem Demirjian) di Kota Semarang’, e-GiGi, 9(1), pp. 34–40.

doi: 10.35790/eg.9.1.2021.32569.

Anda mungkin juga menyukai