Anda di halaman 1dari 18

KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL REFERAT

RS BHAYANGKARA SEPTEMBER 2020

PROVINSI SULAWESI TENGGARA

KEPANITERAAN KLINIK FK UHO

UNIVERSITAS HALU OLEO

POSTMORTEM DAN ANTEMORTEM

Oleh :
Rahmatiah M Budu, S.Ked (K1A1 12 094)

Habri Tri Sakti, S.Ked (K1A1 14 017)

Pembimbing :

DR.dr.Hj. Annisa Anwar Muthaher, S.H, M.Kes, Sp.F

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL

RUMAH SAKIT BAYANGKARA KENDARI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2020
HALAMANPENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini, menyatakan bahwa:


Nama : Rahmatiah M Budu, S.Ked (K1A1 12 094)
Habri Tri Sakti, S.Ked (K1A1 14 017)

Judul Refarat : Postmortem dan Antemortem

Telah menyelesaikan tugas refarat dalam rangka kepanitraan klinik pada Bagian
Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo.

Kendari, September 2020


Mengetahui,
Pembimbing

DR.dr.Hj. Annisa Anwar Muthaher, S.H, M.Kes, Sp.F

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis sampaikan atas kehadirat Allah SWT atas rahmat dan

kenikmatan yang diberikan, terutama nikmat kesehatan dan kesempatan sehingga

penulis mampu menyelesaikan refarat yang berjudul “Postmortem dan

Antemortem” ini dengan baik dan tepat waktu.

Penulisan makalah ini berdasarkan beberapa referensi, dari pustaka buku

maupun internet. Oleh karena itu penulis sampaikan terima kasih kepada pihak-

pihak yang telah menyediakan berbagai referensi demi kesmpurnaan makalah ini.

Penulis sadari bahwa makalah ini tidak luput dari kesalahan yang bersifat

deskriptif maupun tehnik penulisan. Maka dari itu saran dan kritik dari pembaca

sangat dinantikan oleh penulis demi perbaikan makalah ini secara berkala, semoga

makalah ini dapat berguna bagi orang banyak khususnya mahasiswa kepanitraan

klinik pada Bagian Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas

Halu Oleo.

Kendari, September 2020

Tim Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .........................................................................................i

HALAMAN PENGESAHAN...........................................................................ii

KATA PENGANTAR.......................................................................................iii

DAFTAR ISI......................................................................................................iv

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ......................................................................................1


B. Rumusan Masalah.................................................................................2
C. Tujuan ....................................................................................................2
D. Manfaat ..................................................................................................2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. DVI (Disester Victim Identification) ...................................................3
B. Pengertian Post Mortem dan Antemortem.........................................6
C. Fase Pemeriksaan Post Mortem ..........................................................7
D. Fase Pengambilan Data Antemortem..................................................10
BAB III. PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................12
B. Saran...................................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA

iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Identifikasi forensik merupakan upaya yang dilakukan dengan tujuan

membantu penyidik untuk menentukan identitas seseorang. Identifikasi

personal sering merupakan suatu masalah dalam kasus pidana maupun

perdata. Peran ilmu kedokteran forensik dalam identifikasi terutama pada

jenazah tidak dikenal, jenazah yang rusak, membusuk, hangus terbakar dan

kecelakaan masal, bencana alam yang mengakibatkan banyak korban

meninggal, serta potongan tubuh manusia atau kerangka. Selain itu

identifikasi forensik juga berperan dalam berbagai kasus lain seperti

penculikan anak, bayi tertukar, atau diragukan orang tuanya.1

Pada dasarnya prinsip identifikasi adalah membandingkan data

antemortem dan postmortem pada orang yang tidak dikenal. Data yang

diduga sebagai orang hilang terkadang kurang lengkap, bahkan tidak ada.

Identifikasi dilakukan melalui berbagai metode, seperti sidik jari, medik,

odontologi, anthropologi sampai dengan pemeriksaan biomolekuler. Pada

kasus bencana massal dengan potongan tubuh yang sulit dikenal, memerlukan

keahlian kedokteran forensik yang meliputi berbagai bidang keilmuan dan

bidang keahlian penunjang untuk dapat melakukan identifikasi. Identifikasi

korban tak dikenal dalam pelaksanaannya dapat bekerja sama dengan

berbagai disiplin ilmu, antara lain keahlian bidang forensik patologi, forensik

odontologi, forensik anthropologi, ahli sidik jari, ahli DNA, radiologi dan

fotografer.2

1
2

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Disaster Victim Identification (DVI) ?

2. Apa yang dimaksud dengan Poses dari fase Disaster Victim Identification

(DVI), terutama peran data post mortem dan antemortem ?

3. Apa yang dimaksud dengan post mortem dan antemortem ?

4. Apa yang dimaksud dengan Fase Pemeriksaan Postmortem ?

5. Apa yang dimaksud dengan Fase Pengambilan Data Antemortem ?

C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Mengetahui peran data post mortem dan antemortem

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui apa yang dimaksud dengan Disaster Victim Identification

(DVI)

b. Mengetahui Poses dari fase Disaster Victim Identification (DVI),

terutama peran data post mortem dan antemortem.

c. Mengetahui Apa yang dimaksud dengan post mortem dan antemortem.

d. Mengetahui Fase Pemeriksaan Postmortem.

e. Mengetahui Fase Pengambilan Data Antemortem.

D. Manfaat

Dapat menambah pengetahuan dan wawasan mengenai peran data post

mortem dan antemortem dalam proses Disaster Victim Identification (DVI).


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DVI (Disaster Victim Identification)

Disaster Victim Identification (DVI) adalah sebuah prosedur untuk

mengidentifikasi korban mati akibat bencana masal secara ilmiah dan dapat

dipertanggungjawabkan serta mengacu pada standar Interpol. Proses DVI

menggunakan bermacam-macam metode dan teknik. Interpol telah

menentukan adanya Primary Identifier (PI) yang terdiri dari sidik jari,

odontologi, dan DNA serta Secondary Identifier (SI) yang terdiri dari medis,

aksesoris, dan fotografi. Menurut standar Interpol, identifikasi identitas

disebut sah dan benar apabila telah berhasil diuji oleh minimal satu Primary

Identifier atau dua Secondary Identifier.3

Pada korban kematian akibat bencana besar, seringkali ditemukan

kesulitan terutama karena penampakan tubuh korban yang sama sekali tidak

bisa dikenali secara kasat mata karena sebagian besar tubuhnya telah hancur

dan tidak berbentuk. Dalam keadaan seperti inilah kemudian identifikasi

khusus dibutuhkan. Prosedur identifikasi mengacu pada prosedur DVI

(Disaster Victim Identification) Interpol. Poses DVI yang terdiri dari 5 fase

yaitu:4,5

1. In the scene of incidents atau biasa disebut tempat kejadian peristiwa

(TKP). Pada fase pertama, tim awal yang datang ke TKP melakukan

pemilahan antara korban hidup dan korban mati selain juga mengamankan

barang bukti yang dapat mengarahkan pada pelaku apabila bencana yang

3
4

terjadi merupakan bencana yang diduga akibat ulah manusia. Pada korban

mati diberikan label sebagai penanda. Label ini harus memuat informasi

tim pemeriksa, lokasi penemuan, dan nomor tubuh/mayat. Label ini akan

sangat membantu dalam proses penyidikan selanjutnya.4,5

2. Post mortem examination Fase kedua dalam proses DVI adalah fase

pemeriksaan mayat. Fase ini dapat berlangsung bersamaan dengan fase

pertama dan fase ketiga. Pada fase ini, para ahli identifikasi, dokter

forensik dan dokter gigi forensik melakukan pemeriksaan untuk mencari

data postmortem sebanyak-banyaknya. Sidik jari, pemeriksaan terhadap

gigi, seluruh tubuh, dan barang bawaan yang melekat pada mayat.

Dilakukan pula pengambilan sampel jaringan untuk pemeriksaan DNA.

Data ini dimasukkan ke dalam pink form berdasarkan standar interpol.4,5

3. ante mortem Information Retrieval dimana ada tim kecil yang menerima

laporan orang yang diduga menjadi korban. Tim ini meminta masukan

data sebanyak-banyaknya dari keluarga korban. Data yang diminta mulai

dari pakaian yang terakhir dikenakan, ciri-ciri khusus (tanda lahir, tato,

tahi lalat, bekas operasi, dan lainlain), data rekam medis dari dokter

keluarga dan dokter gigi korban, data sidik jari dari pihak berwenang

(kelurahan atau kepolisian), serta sidik DNA apabila keluarga

memilikinya. Apabila tidak ada data sidik DNA korban maka dilakukan

pengambilan sampel darah dari keluarga korban. Data Ante Mortem

diisikan ke dalam yellow form berdasarkan standar interpol.4,5


5

4. Reconciliation, Seseorang dinyatakan teridentifikasi pada fase keempat

yaitu fase rekonsiliasi apabila terdapat kecocokan antara data Ante Mortem

dan Post Mortem dengan kriteria minimal 1 macam Primary Identifiers

atau 2 macam Secondary Identifiers.4,5

5. debriefing, Setelah selesai keseluruhan proses identifikasi, dengan hasil

memuaskan maupun tidak, proses identifikasi korban bencana ini

belumlah selesai. Masih ada satu fase lagi yaitu fase kelima yang disebut

fase debriefing. Fase ini dilakukan 3-6 bulan setelah proses identifikasi

selesai. Pada fase debriefing, semua orang yang terlibat dalam proses

identifikasi berkumpul untuk melakukan evaluasi terhadap semua hal yang

berkaitan dengan pelaksanaan proses identifikasi korban bencana, baik

sarana, prasarana, kinerja, prosedur, serta hasil identifikasi. Hal-hal baik

apa yang dapat terus dilakukan di masa yang akan datang, apa yang bisa

ditingkatkan, hal-hal apa yang tidak boleh terulang lagi di masa datang,

kesulitan apa yang ditemui dan apa yang harus dilakukan apabila

mendapatkan masalah yang sama di kemudian hari, adalah beberapa hal

yang wajib dibahas pada saat debriefing.4,5

Secara teoritis, kelima fase DVI seharusnya dikerjakan sesuai standar

pada setiap kasus bencana. Namun pada kenyataannya, banyak hambatan dan

kendala yang ditemui di lapangan untuk menerapkan prosedur DVI.4,5


6

B. Pengertian Postmortem dan Antemortem

1. Postmortem

Data postmortem adalah data-data fisik yang diperoleh melalui

personal identification setelah korban meninggal. Seperti sidik jari,

golongan darah, konstruksi gigi dan foto diri korban pada saat ditemukan

lengkap dengan barang-barang yang melekat di tubuhnya dan sekitarnya,

bahkan termasuk isi kantong pakaiannya.6

2. Antemortem

Antemortem adalah data-data fisik khas korban sebelum

meninggal. Mulai dari pakaian atau aksesoris yang terakhir kali dikenakan,

barang bawaan, tanda lahir, tato, bekas luka, cacat tubuh, foto diri, berat

dan tinggi badan, serta sampel DNA. Data-data ini biasanya didapatkan

dari keluarga, ataupun dari instansi di mana korban pernah berhubungan

semasa hidup. Misalnya pihak keluarga memberikan data fisik korban,

menyebutkan umur, warna kulit, ciri fisik seperti sidik jari, tanda lahir atau

susunan gigi berdasarkan data dari dokter gigi jika yang bersangkutan

pernah melakukan pemeriksaan gigi.6

Data-data antemortem tersebut bisa didapatkan melalui, klinik gigi

rumah sakit pemerintah/TNI Polri dan swasta, puskesmas, Rumah Sakit

Pendidikan Universitas/Fakultas Kedokteran Gigi, Klinik gigi swasta,

Praktik pribadi dokter gigi. Data antemortem yang didapat harus

memenuhi keakuratan, misalnya kelengkapan data, kejelasan data, dan

kriteria yang sama untuk dibandingkan.6


7

C. Fase Pemeriksaan Postmortem

Fase kedua dalam proses DVI adalah fase pemeriksaan mayat. Pada

fase ini tubuh korban diradiografi dan diotopsi. Fase ini dapat berlangsung

bersamaan dengan fase pertama dan fase ketiga. Pada fase ini, para ahli

identifikasi, dokter forensik dan dokter gigi forensik melakukan pemeriksaan

untuk mencari data postmortem sebanyak-banyaknya. Sidik jari, pemeriksaan

terhadap gigi, seluruh tubuh, dan barang bawaan yang melekat pada mayat.

Dilakukan pula pengambilan sampel jaringan untuk pemeriksaan DNA. Data

ini dimasukkan ke dalam pink form berdasarkan standar Interpol.4,5

1. Kegiatan pada fase kedua dapat dijabarkan sebagai berikut:7,8,9

a. Menerima jenazah/potongan jenazah dan barang bukti dari unit TKP.

b. Mengelompokkan kiriman tersebut berdasarkan jenazah utuh, tidak

utuh, potongan jenazah dan barang‐barang.

c. Membuat foto jenazah.

d. Mengambil sidik jari korban dan golongan darah.

e. Melakukan pemeriksaan korban sesuai formulir interpol DVI PM yang

tersedia.

f. Melakukan pemeriksaan terhadap properti yang melekat pada mayat.

g. Melakukan pemeriksaan gigi‐geligi korban.

h. Membuat rontgen foto jika perlu.

i. Mengambil sampel DNA.

j. Menyimpan jenasah yang sudah diperiksa.


8

k. Melakukan pemeriksaan barang‐barang kepemilikan yang tidak melekat

di mayat yang ditemukan di TKP.

l. Mengirimkan data‐data yang telah diperoleh ke unit pembanding data.

Data‐data post mortem diperoleh dari tubuh jenazah berdasarkan

pemeriksaan dari berbagai keahlian antara lain dokter ahli forensik, dokter

umum, dokter gigi forensik, sidik jari, fotografi, DNA dan ahli antropologi

forensik.7

2. Urutan pemeriksaan pada jenazah adalah sebagai berikut:7,8,9

a. Mayat diletakkan pada meja otopsi atau meja lain

b. Dicatat nomor jenazah

c. Foto keseluruhan sesuai apa adanya

d. Ambil sidik jari (bila dimungkinkan keadaannya)

e. Deskripsi pakaian satu persatu mulai dari luar, kemudian dilepas dan

dikumpulkan serta diberi nomor sesuai nomor jenazah (bila diperlukan

untuk mengambil foto jika dianggap penting dan khusus).

f. Barang milik pribadi dan perhiasan difoto dan didiskripsi kemudian

dikumpulkan dan diberi nomor sesuai nomor jenazah.

g. Periksa secara teliti mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki yang

meliputi:

1) Identifikasi umum (jenis kelamin‐umur‐BB‐TB, dll);

2) Identifikasi khusus (tato, jaringan parut, cacat, dll).


9

h. Lakukan bedah jenazah dan diskripsikan temuan, prinsipnya mencari

kelainan yang khas, penyakit/patologis, bekas patah tulang, bekas

operasi dan lain‐lain.

i. Ambil sampel untuk pemeriksaan serologi, DNA atau lain‐lain.

j. Foto akhir keseluruhan sesuai kondisi korban.

k. Buat kesimpulan berdasarkan pemeriksaan patologi forensik.

3. Urutan pemeriksaan gigi‐geligi:7

a. Pemeriksaan dilakukan oleh dokter gigi atau dokter gigi forensic.

b. Jenazah diletakkan pada meja atau brankar.

c. Untuk memudahkan pemeriksaan jenazah, jenazah diberi bantalan kayu

pada punggung atas/bahu sehingga kepala jenazah menengadah ke atas.

d. Pemeriksaan dilakukan mulai dari bibir, pipi, dan bagian‐bagian lain

yang dianggap perlu.

e. Guna memperoleh hasil pemeriksaan yang maksimal, maka rahang

bawah harus dilepaskan dan jaringan kulit atau otot pada rahang atas

dikupas ke atas agar gigi tampak jelas kemudian dibersihkan. Hal ini

untuk mempermudah melakukan pemeriksaan secara teliti baik pada

rahang atas maupun bawah.

f. Apabila rahang atas dan bawah tidak dapat dipisahkan dan rahang kaku,

maka dapat diatasi dengan membuka paksa menggunakan tangan dan

apabila tidak bisa dapat menggunakan `T chissel’ yang dimasukkan

pada region gigi molar atas dan bawah kiri atau kanan atau dapat
10

dilakukan pemotongan musculus masetter dari dalam sepanjang tepi

mandibula sesudah itu condylus dilepaskan dari sendi.

g. Catat kelainan‐kelainan sesuai formulir yang ada.

h. Lakukan rontgen gigi.

i. Bila perlu rontgen tengkorak jenazah.

j. Contoh foto rontgen kepala

k. Selanjutnya bila perlu dibuat cetakan gigi jenazah untuk analisa lebih

lanjut.

D. Fase Pengambilan Data Antemortem

Fase ketiga adalah fase pengumpulan data antemortem dimana ada tim

kecil yang menerima laporan orang yang diduga menjadi korban. Tim ini

meminta masukan data sebanyak-banyaknya dari keluarga korban. Data yang

diminta mulai dari pakaian yang terakhir dikenakan, ciri-ciri khusus (tanda

lahir, tato, tahi lalat, bekas operasi, dan lain-lain), data rekam medis dari

dokter keluarga dan dokter gigi korban, data sidik jari dari pihak berwenang

(kelurahan atau kepolisian), serta sidik DNA apabila keluarga memilikinya.

Apabila tidak ada data sidik DNA korban maka dilakukan pengambilan

sampel darah dari keluarga korban. Data Ante Mortem diisikan ke dalam

yellow form berdasarkan standar Interpol.4,5

1. Kegiatan pada fase ketiga dapat dijabarkan sebagai berikut:7,8,9

a. Menerima keluarga korban.


11

b. Mengumpulkan data‐data korban semasa hidup seperti foto dan lainnya

yang dikumpulkan dari keluarga terdekat yang kehilangan anggota

keluarganya dalam bencana tersebut.

c. Mengumpulkan data‐data korban dari instansi tempat korban bekerja,

rs/puskesmas/klinik, dokter pribadi, dokter yang merawat,

dokter‐dokter gigi pribadi, polisi (sidik jari), catatan sipil, dll.

d. Data‐data antemortem gigi‐geligi;

1) Data‐data antemortem gigi‐geligi adalah keterangan tertulis atau

gambaran dalam kartu perawatan gigi atau keterangan dari keluarga

atau orang yang terdekat.

2) Sumber data‐data antemortem tentang kesehatan gigi diperoleh dari :

a) Klinik gigi RS Pemerintah, TNI/Polri dan Swasta;

b) Lembaga‐lembaga pendidikan Pemerintah/TNI/Polri/Swasta;

c) Praktek pribadi dokter gigi.

e. Mengambil sampel DNA pembanding.

f. Apabila diantara korban ada warga negara asing maka data‐data

antemortem dapat diperoleh melalui perantara Set NCB Interpol

Indonesia dan perwakilan negara asing (kedutaan/konsulat).

g. Memasukkan data‐data yang ada dalam formulir Interpol DVI AM

h. Mengirimkan data‐data yang telah diperoleh ke Unit Pembanding Data.


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa terdapat

beberapa tahap identifikasi korban bencana alam atau kecelakaan

a. In the scene of incidents atau biasa disebut tempat kejadian peristiwa

(TKP). Pada fase ini, dilakukan pembatasan area dengan menggunakan

garis batas polisi sehingga area TKP tidak terganggudan dapat dilakukan

labelling pada korban dan dokumentasi untuk kepentingan identifikasi

b. Collecting post mortem data yang terdiri dari pemeriksaan medik

antropologi, pengambilan foto, pengambilan sidik jari, pemeriksaan

rontgen, pemeriksaan odontology forensik, hingga pengambilan sampling

untuk pemeriksaan DNA

c. Collecting ante mortem data yang biasa dilakukan dengan wawancara

mengenai riwayat korban pada orang terdekat terutama keluarga

d. Reconciliation, pada fase ini, data post mortem dan ante mortem yang

telah didapatkan dibandingkan dan dicocokkan. Jika indikator kecocokan

sudah dicapai, maka identitas korban akan semakin mudah untuk

diketahui.

e. Returning to the family atau proses pengembalian pada keluarga jika

korban telah teridentifikasi, selanjutnya dilakukan rekonstruksi hingga

didapatkan kondisi/kosmetik terbaik untuk kemudian dikembalikan pada

keluarganya.

12
13

B. Saran

Penulis sadari bahwa makalah ini tidak luput dari kesalahan yang

bersifat deskriptif maupun tehnik penulisan, oleh karena itu saran dan kritik

dari pembaca selalu dinantikan demi kesempurnaan refarat ini.


DAFTAR PUSTAKA

1. Romdhon A R. 2015. Identifikasi Forensik Rekonstruktif Menggunakan Indeks


Kefalometris. Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung. 4{8}. Hal. 23-28.

2. Monica G L, Siwu J F, Mallo J F. 2013. Identifikasi Personal dan Identifikasi


Korban Bencana Massal di Blu Rsup Prof Dr R.D Kandou Manado Periode
Januari 2010 – Desember 2012. Jurnal Biomedik. 5{1}. Hal. S119-126.

3. Larasati A W, Irianto G M, Bustomi E C. 2018. Peran Pemeriksaan


Odontologi Forensik Dalam Mengidentifikasi Identitas Korban Bencana
Masal. Bagian Ilmu Kedokteran Forensik, Fakultas Kedokteran, Universitas
Lampung. 7{1}. Hal. 228-233.

4. Henky, Safitry O. 2012. Identifikasi Korban Bencana Massal: Praktik DVI


Antara Teori dan Kenyataan. bagian/SMF Ilmu Kedokteran Forensik FK
Universitas Udayana. 2{1}. Hal. 5-7.

5. Interpol Dvi Guide Review Schedule. 2018. Hal. 15-18.

6. Budi A T. 2014. Peran restorasi gigi dalam proses identifikasi korban.


Departemen Odontologi Forensik Fakultas Kedokteran Gigi Universias
Airlangga Surabaya-Indonesia.63{2}. Hal. 41-45.

7. Mudjiharto, et al. Pedoman teknis penanggulangan krisis kesehatan akibat


bencana edisi revisi. 2011. Hal 151-156

8. Hariadi H. Disaster Victim Identification. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kedokteran


Forensik dan Medikolegal edisi ketujuh. Surabaya : Fakultas Kedokteran
Airlangga; 2010.Hal.355-8

9. Diakses pada tanggal 5 April 2015 By dr. bijeugm • Posted in Health System
and Disaster • Tagged ante mortem, autopsi, identifikasi jenazah, post mortem

Anda mungkin juga menyukai