Anda di halaman 1dari 24

Clinical Science Session

POST MORTEM INTERVAL

Oleh:
M Zharfan Suchyar - 1310312045
Ghina Pretty Wardani - 1840312011
Trisha Alya Rahmi - 1510312055
Hatika Dara Mareti - 1510311025
Ayunda Sartika - 1510311035
Shylvia Helmanda - 1510311048
Dian Herdianti – 1510311061
Ismail bin Abdullah - 1840312404

Preseptor:
dr. Citra Manela, Sp. F

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR M. DJAMIL PADANG
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas kehadirat Tuhan Yang maha Esa karena atas rahmat-Nya
penulis dapat menyelesaikan referat berjudul “Postmortem Interval” yang disusun
untuk memenuhi salah satu syarat tugas kepaniteraan klinik di bagian Ilmu
kedokteran Forensik di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Penulis mengucapkan
terimakasih kepada dr. Citra Manela, Sp.F yang telah membimbing penulis dalam
proses pembuatan referat ini.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari kata sempurna dan
karena itu penulis sangat terbuka dalam menerima saran dan kritik demi
kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah yang telah penulis susun ini dapat
berguna bagi kita semua.

Padang, Mei 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Batasan Penulisan 1
1.3 Tujuan Penulisan 1
1.4 Metode Penulisan 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi 3
2.2 Sejarah 3
2.3 Perubahan setelah kematian 4
2.4 Pembusukan 10
2.5 Metode terbaru 16
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan 19
3.2 Saran 19
DAFTAR PUSTAKA 20

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kematian adalah suatu proses yang secara klinis dapat dikenali pada
seseorang melalui tanda kematian yaitu perubahan yang terjadi pada tubuh mayat.
Tanda-tanda tersebut berupa lebam mayat, kaku mayat, penurunan suhu tubuh,
pembusukan, mumifikasi dan adiposera. Perubahan postmortem banyak
memberikan informasi baik mengenai waktu kematian, penyebab, maupun
mekanisme kematian.1
Ketika sebuah mayat ditemukan maka waktu kematiannya harus ditentukan.
Jarak antara waktu kematian dengan penemuan mayat disebut Post Mortem Interval
(PMI). Penentuan PMI sangat penting untuk identifikasi dan penentuan penyebab
kematian.2 Penentuan waktu ini juga penting untuk menilai lingkungan saat kematian
terjadi sehingga seseorang atau peristiwa tertentu bisa dikeluarkan atau dimasukkan
ke investigasi yang dilakukan. Hal ini bisa menambah informasi terkait cara kematian
korban yaitu alami atau tidak alami.3
Kasus bunuh diri atau kematian yang tidak diketahui waktunya sangat
membutuhkan perkiraan waktu kematian karena hal ini bisa menilai sekaligus pelaku
dan korban dengan mengeliminasi tersangka dan menghubungkan mayat yang
ditemukan dengan pelaporan orang hilang pada kurun waktu tertentu. Sekalipun
kematian bersifat alami, PMI memiliki peran terkait warisan dan asuransi. Penentuan
waktu kematian maksimal bisa didapatkan dari waktu terakhir korban dilihat namun
yang paling akurat adalah penentuan berdasarkan tubuh mayat itu sendiri.3

1.2 Batasan penulisan


Dalam clinical scientific session ini akan dibahas mengenai Post Mortem
Interval sehingga dapat mengetahui perkiraan waktu kematian

1.3 Tujuan Penulisan

1
Penulisan referat ini bertujuan untuk mengetahui Post Mortem Interval
sehingga dapat mengetahui perkiraan waktu kematian.

1.4 Metode Penulisan


Metode yang dipakai dalam penulisan referat ini adalah tinjauan kepustakaan
yang merujuk pada berbagai literatur.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Post Mortem Interval (PMI) adalah waktu sejak seseorang meninggal sampai
jasad ditemukan. Penentuan PMI penting karena dapat membantu mengidentifikasi
sisa jasad yang ditemukan dan berkontribusi dalam menentukan penyebab kematian
dan waktu kematian.2
2.2 Sejarah
Penentukan waktu kematian secara klasik yaitu dengan melihat livor mortis
(lebam mayat), algormortis (penurunan suhu tubuh), dan rigor mortis (kaku mayat).4
Proses yang terjadi pada mayat setelah livor mortis (lebam mayat), algormortis
(penurunan suhu tubuh), dan rigor mortis (kaku mayat) adalah pembusukan.
Pembusukan adalah proses degradasi jaringan yang terjadi karena autolisis dan kerja
bakteri.3 Pada mayat juga dapat terbentuknya adiposera atau lilin mayat. Adiposera
terutama terdiri dari asam-asam lemak tak jenuh yang terbentuk oleh hidrolisis lemak
dan mengalami hidrogenisasi sehingga terbentuk asam lemak jenuh setelah mati yang
tercampur dengan sisa-sisa otot, jaringan ikat, dan jaringan saraf yang termumifikasi.
Proses lainnya adalah mummifikasi. Mummifikasi adalah penguapan cairan atau
dehidrasi jaringan yang cepat sehingga terjadi pengeringan jaringan dan
menghentikan pembusukan. 1
Dari 1984 hingga 2015 ahli forensik Tiongkok memiliki kemajuan besar
dalam meningkatkan estimasi PMI selain dengan metode klasik. Banyak metode telah
diterapkan untuk membantu menentukan waktu sejak kematian, dan dibagi ke dalam
beberapa kategori seperti metode biologi molekuler (degradasi DNA, RNA atau
protein), teknologi spektro-scopic (Fourier transform infrared atau Raman
microspectroscopy), metode entomologis (pengembangan serangga bangkai atau
model suksesi), estimasi perubahan energi pada tubuh setelah kematian (pendinginan
atau level ATP darah), metode thanato-chemistry (perubahan komposisi kimia
berbagai cairan tubuh), dan metode lain seperti teknologi pencitraan, metode
elektrofisiologi dan aktivitas enzim.5
Beberapa metode telah dikembangkan untuk menentukan waktu kematian,
seperti Henssge-nomogram dan stimulasi listrik atau mekanik dari otot rangka.

3
Metode tersebut dapat digunakan untuk kasus PMI baru, stimulasi elektrik dan
mekanis dari otot dapat digunakan hingga 13 jam post-mortem.2
Studi forensik di Cina baru-baru ini dalam menentukan post mortem interval
adalah menggunakan pemeriksaan degradasi DNA atau RNA, dan pengukuran nilai
pH. PH darah antemortem diatur agar tetap dalam kisaran 7,35 hingga 7,45. Jika pH
darah bersifat basa (lebih besar dari 7,45) atau bersifat asam (kurang dari 7) ini dapat
menyebabkan kematian. PH darah diatur oleh buffer asam-basa seperti asam karbonat
dan ion biokarbonat, yang diatur melalui sistem pernapasan dan ginjal dalam
mengendalikan keseimbangan asam-basa.6

2.3 Perubahan setelah kematian


2.3.1. Lebam Mayat (Livor Mortis)
Lebam mayat adalah salah satu tanda pasti kematian. 1 Setelah kematian
somatis atau klinis (berhentinya fungsi ketiga sistem penunjang kehidupan, yaitu
susunan saraf pusat, sistem kardiovaskuler dan sistem pernapasan yang menetap
(irreversible)), maka sel darah merah (eritrosit) akan mengisi vena dan venula
kemudian membentuk bercak warna merah ungu (livide) dengan menempati tempat
bagian tubuh terbawah akibat gaya gravitasi bumi, kecuali pada bagian tubuh yang
tertekan dengan alas keras.1,7 Faktor-faktor yang memengaruhi lebam mayat yaitu
volume darah yang beredar dan lamanya darah dalam keadaan cepat cair. Lebam
mayat pada anemia berat terjadi sedikit, warna lebih muda dan terjadinya lebih
lambat. Pada polisitemia sebaliknya lebam mayat lebih cepat terjadi.8
Lebam mayat mulai tampak 20-30 menit pasca mati, intensitasnya semakin
lama bertambah dan menetap setelah 8-12 jam. Sebelum 8-12 jam, lebam mayat
masih dapat hilang dengan penekanan dan berpindah jika posisi tubuh mayat diubah.
Hilangnya lebam mayat dengan penekanan akan lebih sempurna jika penekanan
dilakukan pada 6 jam pertama setelah mati somatis atau klinis. 1,7 Adanya aktivitas
fibrinolisin yang berasal dari endotel pembuluh darah menyebabkan darah tetap cair
dalam tubuh, sehingga setelah 24 jam pasca mati sejumlah darah masih dapat
mengalir dan membentuk lebam mayat di tempat terendah yang baru. 1 Pembuluh
darah yang pecah menyebabkan timbulnya bercak perdarahan warna biru kehitaman. 1

4
Setelah 8-12 jam pasca kematian, lebam mayat akan menetap dan tidak hilang dengan
penekanan yang disebabkan karena sel-sel darah merah tertimbun dalam jumlah yang
cukup banyak dan terjadinya kekakuan otot-otot dinding pembuluh darah sehingga
sulit untuk berpindah.1,7
2.3.2. Kaku Mayat (Rigor Mortis)
Elastisnya otot terjadi karena adanya cadangan glikogen dalam otot.
Pemecahan cadangan glikogen otot menghasilkan energi yang mengubah ADP
menjadi ATP. Adanya ATP menyebabkan serabut aktin dan myosin tetap lentur. Jika
cadangan glikogen dalam otot habis, maka energi tidak terbentuk, ATP juga tidak
terbentuk yang menyebabkan serabut aktin dan myosin menggumpal dan otot
menjadi kaku.1
Proses kaku mayat terjadi segera setelah kematian klinis atau somatis. Kaku
mayat mulai terlihat kurang lebih 2 jam pasca mati dimulai dari otot-otot kecil (wajah
dan leher) ke otot besar ( lengan dan tungkai). Kaku mayat menjadi maksimal dalam
waktu kira-kira 12 jam, bertahan selama kira-kira 12 jam, kemudian menghilang
dengan urutan yang sama dengan mulainya.7
Kaku mayat harus dibedakan dengan cadaveric spasm, heat stiffening dan cold
stiffening. Cadaveric spasm yaitu kekakuan otot setempat yang timbul tanpa melalui
fase relaksasi primer dan didahului oleh ketegangan jiwa/emosi/aktifitas setempat
yang berlebihan sebelum meninggal. Heat stiffeningyaitu kekakuan otot akibat luka
bakar/kerusakan protein otot. Cold stiffening yaitu kekakuan otot akibat pembekuan
cairan sendi.1,7
2.3.3. Penurunan Suhu Tubuh (Algor Mortis)
Penurunan suhu tubuh (algor mortis) terjadi karena adanya suatu proses
pemindahan panas dari suatu benda ke benda yang lebih dingin dan adanya perbedaan
antara suhu tubuh mayat dengan lingkungan, melalui cara evaporasi, konduksi serta
sedikit konveksi dan radiasi.1,7 Kecepatan penurunan suhu tubuh dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu suhu keliling (lebih panas, lebih lama), aliran dan kelembaban
udara (kelemababan tinggi, lebih lama), bentuk tubuh (lebih banyak lemak, lebih
lama), posisi tubuh, pakaian (lebih tebal, lebih lama).1,7
Kurva penurunan suhu tubuh mayat berbentuk kurva sigmoid atau huruf S.1
Dalam memperkirakan saat kematian, beberapa penelitian cenderung memperkirakan

5
saat mati melalui pengukuran suhu tubuh pada lingkungan yang menetap/ tidak
diubah di Tempat Kejadian Perkara dengan melakukan 4-5 kali penentuan suhu rektal
dengan menggunakan interval waktu yang sama( minimal 15 menit). 1,7
2.3.4. Entomologi Forensik
Ilmu pengetahuan tentang serangga dan arthropoda dalam kaitan dan
aplikasinya untuk kepentingan hukum. Ilmu tersebut dikaitkan dengan jenazah
manusia sesuai dengan tujuan utamanya untuk menentukan lama perkiraan waktu
sejak kematiannya. diterapkan pada kasus-kasus kematian yang diperkirakan telah
berlangsung selama tujuh puluh dua jam atau lebih, karena metode forensik lainnya
dinilai lebih akurat dalam menentukan waktu kematian sebelum tujuh puluh dua jam
atau lebih.Namun, bila kematian telah berlangsung lebih dari tiga hari bukti serangga
dinilai lebih akurat dan terkadang bisa menjadi satu-satunya metode pilihan dalam
menentukan waktu kematian.9,10
Entomologi forensik dibagi dalam tiga aspek :
1) Aspek urban
menekankan keberadaan serangga hidup dalam lingkungan di sekitar manusia.
Hal tersebut dapat berguna dalam masalah hukum dengan ditemukannya serangga
atau hama urban yang hidup pada manusia baik yang masih hidup ataupun yang
sudah mati. Serangga tersebut dapat menyerang tubuh dan kemudian
menimbulkan kerusakan berupa luka yang dapat diinterpretasikan salah sebagai
tanda kekerasan yang terjadi sebelumnya

2) Aspek strored-product
melibatkan keberadaan serangga atau arthropoda atau bagian-bagian tubuh
serangga pada makanan atau produk lainnya. Contohnya terdapat serangga atau
larva yang berada pada makanan, sayuran atau makanan kaleng
membuatkonsumen menuntut pihak pembuat makanan atau restoran yang
terkadang bisa merupakan suatu penipuan yang dilakukan oleh seseorang dengan
memasukkan serangga atau bagian tubuhnya ke dalam makanan yang sudah dibeli
terlebih dulu untuk menuntut produsen makanan. Kasus tersebut dapat
diselesaikan dengan bantuan entomologi forensik.
3) Aspek medikolegal

6
merupakan aspek yang penting karena kegunaannya dalam memecahkan kasus
kriminal, terutama kekerasan. Hal ini berkaitan dengan adanya suatu jenis
serangga, larva ataupun telur, kapan dan darimana asalnya, atau dalam keadaan
yang bagaimana organisme tersebut dapat muncul di tubuh manusia. Hal tersebut
dapat sangat berguna dalam memperkirakan waktu atau interval post mortem
(post mortem interval) dan menentukan lokasi terjadinya kematian karena
beberapa spesies hanya berada pada tempat tertentu atau hanya aktif pada saat-
saat tertentu (musim atau waktu tertentu).
Kegunaan entomologi forensik11,12
1) Memperkirakan Interval Postmortem
Perubahan postmortem pada tubuh mayat dipengaruhi beberapa faktor, sehingga
interval postmortem akan sulit ditentukan. Perubahan biologi dan fisik yang
merupakan fungsi yang masih terjadi setelah kematian merupakan petunjuk dalam
menentukan saat kematian. Namun pada kasus kematian yang telah berlangsung
lama metode tersebut menjadi tidak berguna dan petunjuk yang tepat didapat dari
informasi entomologi. Mayat yang mengalami pembusukan dapat mempengaruhi
perilaku dan komposisi spesies di sekitarnya. Telah banyak dilakukan pengamatan
terhadap serangga-serangga yang berkaitan dengan proses pembusukan mayat.
Salah satu proses ini adalah perkembangan spesies yang memakan bangkai,
contohnya adalah lalat dari famili Calliphoridae, Sacrophagidae, dan Muscidae,
yang merupakan serangga yang umum ditemukan pada mayat.13
2) Menentukan Waktu Kematian
Analisis mengenai serangga dapat digunakan untuk menentukan waktu kematian.
Ketika jenazah ditemukan setelah beberapa minggu atau beberapa bulan setelah
kematian, bukti entomologi seringkali menjadi satu-satunya metode yang tersedia
untuk menentukan waktu kematian dengan tepat. Beberapa spesies tertarik pada
jenazah segera setelah kematian, jenis lainnya tertarik setelah tahap pembusukan
aktif, dan yang lainnya tertarik dengan kulit dan tulang yang kering. Serangga
terus berkoloni di tubuh mayat sampai tidak ada lagi makanan.
3) Menentukan lokasi Mayat
Analisis berdasarkan suatu serangga spesifik yang mendiami wilayah tertentu bila
terdapat pada tubuh mayat, maka dapat hampir dapat disimpulkan bahwa mayat

7
yang diidentifikasi berasal dari tempat yang merupakan wilayah dari habitat
serangga tersebut.

2.3.5. Vitreus humor


Dalam banyak kasus, studi tambahan sangatlah penting dalam menentukan
penyebab dan cara kematian. Salah satu studi tambahan yang paling umum adalah
analisis kimia vitreous postmortem, juga disebut kimia vitreous. Cairan vitreous
terletak dalam penampang mata, antara retina dan lensa. Zat ini acellular, kental, tidak
berwarna, biasanya jernih pada keadaan normal, dan itu terdiri sebagian besar (917%)
air dengan glukosa, asam hyaluronic, serat kolagen (tipe II), garam-garam anorganik,
dan asam askorbat. Cairan Vitreous ideal untuk analisis kimia postmortem, karena
cairan vitreous relatif terisolasi dari darah dan cairan tubuh lain yang terpengaruh
oleh perubahan postmortem seperti redistribusi dan hemokonsentrasi. Cairan vitreous
juga tahan pembusukan lebih lama dari cairan tubuh lainnya, meskipun tidak
sepenuhnya kebal terhadap itu. Bahkan, cairan vitreous dapat dianalisis dari tubuh
yang sebelumnya telah dibalsem. Meskipun tidak umum, kelainan intrinsik atau
penyakit mata harus dipertimbangkan ketika menafsirkan hasil cairan vitreus.16,17
Cara pengambilan vitreus humor
Cairan vitreus dapat diperoleh dengan memasukkan jarum berukuran 18- atau
20- yang digunakan pada spuit 10 ml ke dalam penampang mata. Lokasi penusukan
yang paling ideal adalah pada lateral canthus, mempertemukan ujung jarum ke
pertengahan bola mata. Vitreous harus ditarik perlahan - lahan. Tabung vakum tidak
boleh digunakan, karena dapat merusak retina, sehingga menyebabkan spesimen
menjadi tidak adekuat. Sekitar 2-5 ml cairan bisa disedot dari setiap mata, Vitreous
harus ditempatkan dalam tabung steril.14,15
Perkiraan Saat Kematian berdasarkan Cairan Vitreous Humor dan Aspek
Medikolegal
Memperkirakan saat mati secara kimia dalam humor vitreus sudah pernah
dicoba selama 30 tahun belakangan ini, walaupun tidak pernah diterima sebagai
pemeriksaan rutin Dasarpemikiran dari digunakannya vitreus humor dalam penentuan
saat mati ialah karena cairan ini bebas terkontaminasi dari darah, bakteri dan produk-

8
produk autolisa postmortem bila dibandingkan dengan LCS. Sebenarnya banyak yang
dapat dinilai untuk penentuan saat mati melalui humor vitreus, seperti mengukur
kadar asam askorbat , konsentrasi asam piruvat,hypoxanthine,glukosa dan potassium,
tetapi yang paling banyak dipakai sebagai penentuan saat mati adalah kadar potassiun
dalam vitreus humor, Jaffe dkk adalah yang pertama kalimemperkenalkan
peningkatan kadar potassium dan menghubungkannya dengan saat kematian. Sesudah
kematian , potassium interseluler menembus masuk kedalam retina melalui membran
sel yang setelah kematian menjadi membran yang permeable, dan kemudian masuk
kedalam corpus vitreus. Disini terdapat peningkatan yang nyata dan progressif dari
konsentrasi potassium sesudah mati, tetapi masih menjadi perdebatan apakah
peningkatan ini secara linear atau bifasik.17,18,19
Elektrolit lain yang dapat diperiksa dari humor vitreus adalah konsentrasi
sodium dan chlorida, dimana konsentrasi elektolit - elektrolit ini megalami penurunan
sesudah kematian, dan ini dapat digunakan untuk memeriksa reabilitasnya satu sama
lain. Teknik analisa yang digunakan untuk menentukan potassium sering memberi
hasil yang berbeda pula, sebagai contoh Coe pada tahun 1985 mengatakan bahwa
penggunaan metodeflame fotometrik memberikan nilai 5 mmol/l kurang untuk
sodium , 7 mmol/l kurang untuk potassium dan 10 mmol/l kurang untuk chloride bila
dibandingkan dengan pemeriksaan dengan menggunakan methode specific electrode
yang modern. Pada orang yang mengalami saat mati yang lama seperti pada penyakit-
penyakit kronis dengan retensi nitrogen memberi hasil yang berbeda bila
dibandingkan dengan suddent death, agaknya gangguan elekrolit premotral pada
pasien juga mempengaruhi hasil pemeriksaan. Hasil dari pemeriksaan dengan
mengunakan flame fotometri dalam mmol/l bila sodium >155 ,chloride > 135, dan
urea > 40 ini dipercaya sebagai indiksasi dari dehidrasi antemortem. Bila sodium dan
choride adalah normal tetapi kelebihan urea adalah 150, diagnosis uremia dapat
diterima. Angka ini berbeda dengan dekomposisi postmortem dimana konsentrasi
sodium adalah < 130, chloride < 105 dan potassium >20 mellitus. Problem umum
yang sering ditemukan dalam autopsi adalah 22 mendiagnosa diabetes yang tidak
terkontrol dan hypoglikemia, glukosa pada cairan vitreus biasanya turun setelah

9
kematian dan akan mencapai angka nol dalam beberapa jam. Sturner pada tahun 1972
menghubungkan adanya kadar glukosa vitreus yang kurang dari 1.4 mmol/l
merupakan petunjuk adanya gula darah yang rendah antemortem, tetapi berapapun
konsentrasinya interprestasi ini tidak reliable untuk dapat digunakan sebagai
pegangan. Pada hypothermia terdapat juga peningkatan glucosa vitreus tetapi tidak
lebih besar dari 11.1 mmol/l.17,18,19

2.4 Pembusukan
Pada siklus kehidupan, tubuh yang mati biasanya akan dikembalikan,
maksudnya adalah tubuh manusia yang mati akan di reduksi atau diuraikan menjadi
berbagai macam komponen ke bumi. Beberapa komponen akan masuk ke rantai
makanan dan lainnya akan diuraikan menjadi kimia sederhana dengan enzim
autolisis.20
Perubahan awal dari dekomposisi merupakan hal yang sangat penting karena
perubahan dari dekomposisi itu dapat membuat rancu pihak polisi atau keluarga
apakah ini akibat dekomposisi atau akibat kekerasan atau trauma. Dekomposisi
menghasilkan liquefaction dari jaringan lunak selama waktu tertentu, adanya
perubahan penampilan, dan kecepatan perubahan dari dekomposisi tersebut
tergantung dari suhu sekitar. Semakin hangat suhu, semakin cepat proses dimulai dan
semakin cepat perubahannya. Dekomposisi merupakan suatu proses yang bervariasi
dan sangat tergantung pada tubuh, lingkungan, menggunakan pakaian atau tidak,
keadaaan kematian dan tempat dimana tubuh ditemukan, iklim dsb. Sebagai contoh,
pembusukan lebih cepat terjadi di udara, air, dan tanah dengan perbandingan
1:2:8.1,20,21
Dekomposisi juga dapat bervariasi pada tubuh mayat yang sama. Ada
beberapa bagian tubuh mengalami adiposera, mumifikasi atau memang
terdekomposisi. Hal ini sangat tergantung pada microenviroment yang berkembang
disekitarnya, tergantung pada tempat yang ditemukan. Hal inilah yang mempersulit
dalam menentukan waktu kematian.21

10
Gambar 2.1 Proses Pembusukan pada mayat

1) Pada minggu pertama:


Pada daerah yang beriklim sedang, proses dekomposisi biasanya pertama kali
dilihat dengan mata telanjang adalah pada hari ketiga dan kempat, yaitu adanya
perubahan warna (discoloration) pada fossa iliaca kanan dari dinding abdomen
anterior. Perubahan warna ini adalah menjadi warna hijau dikarenakan extensi dari
bakteri komensal usus melalui dinding usus ke kulit dimana bakteri tersebut
mendekomposisi hemoglobin sehingga hemoglobin menjadi warna hijau. Fossa iliaca
merupakan tempat dari caecum. Discoloration menjadi hijau ini merupakan tanda
eksternal bahwa bakteri usus sudah menemukan jalan keluar dari rongga usus dan
pembuluh darah.20,21
Pembuluh darah merupakan media yang sangat baik untuk tumbuh dan
menyebarnya bakteri ke seluruh tubuh. Tanda bahwa bakteri tersebut sudah menyebar
adalah terdekomposisinya hemoglobin dimana dapat dilihat pada pembuluh darah
superfisial dengan hasil adanya pola percabangan linear dari perubahan warna kulit
yang disebut juga dengan marbling. Marbling biasanya muncul pada paha, dinding
samping perut, dada dan bahu. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 2.2. Awalnya
berwarna kemerahan, lalu berwarna hijau. Seiring dengan berjalannya waktu,

11
discoloration akan terjadi seluruh tubuh. Pada lapisan kulit superfisial akan terjadi
kehilangan kohesi, membentuk lepuhan dan bula yang berisi cairan merah atau coklat
pada seluruh tubuh. Ketika bula pecah, kulit menjadi lepuh. Hati hati dalam
membedakan lepuhan akibat luka bakar. Pada luka bakar, lepuhan memiliki cincin
erimatosa. Rambut juga pada saat ini akan menjadi rapuh.20,21

Gambar 2.2 Marbling pada kulit


Bakteri tersebut juga berperan dalam pembentukan gas pada jaringan lunak
dan rongga tubuh dengan ciri pembengkakan dan pengembungan pada daerah wajah,
perut, payudara dan alat kelamin seperti yand dapat dilihat pada Gambar 2.3. Gas gas
yang dilepaskan adalah hidrogen belerang, hidroel terfosforilasi, metana, karbon
dioksida, amonia dan hidrogen sehingga membuat mayat berbau tidak sedap.21

Gambar 2.3 Pembengkakan pada jasad yang telah mengalami


pembusukan
2) Pada minggu kedua dan ketiga:
Terjadi juga peningkatan tekanan internal yang disebabkan oleh pembentukan
gas tersebut yang menyebabkan mata dan lidah menonjol dan memaksa cairan seperti
darah keluar atau bocor dari paru ke mulut dan hidung. Selain itu, feses dan urin akan

12
keluar, beberapa kasus membuat prolaps uteri dan kelahiran post mortem. Busa
trakeobronkial dapat juga terbentuk akibat campuran dari udara dan sekret
trakeobronkial. Secara internal, terdapat gelembung gas kecil pada organ visera atau
biasa disebut dengan foamy appearance seperti pada Gambar 2.4.21

Gambar 2.4 Foamy appearance


3) Minggu selanjutnya:
Warna hijau yang terbentuk tersebut akan berubah menjadi kehitaman dan
semakin sulit untuk identifikasi. Akibat edema dan pembentukan gas, kepala akan
membesar dan penonjolan dikepala akan menjadi datar sehingga mirip dengan
blackman’s head. Hal ini biasa disebut dengan Africanization.
Organ:
Pada organ memiliki dekomposisi yang berbeda beda.
 Usus, kelenjar suprarenal, dan limpa dapat membusuk dalam hitungan jam.
 Encephalon berubah warna menjadi merah muda keabu-abuan dan mencair
sekitar 1 bulan; tanda-tanda penyakit otak menghilang (mis., perdarahan
meningeal, tumor).
 Jantung agak tahan. Arteri koroner tetap terlihat selama beberapa bulan,
memungkinkan diagnosis gangguan katup dan jantung, dan trombosis koroner
akan terlihat.
 Ginjal, paru-paru, dan kandung kemih juga resisten.21
4) Perubahan selanjutnya (Bulan):
Lalat, belatung dan binatang lain juga berperan dalam proses dekomposisi ini.
Ketika proses dekomposisi berlanjut, jaringan lunak mencair. Namun pada prostat,
uterus, tendon dan ligamen dapat bertahan dari dekomposisi sampai berbulan-bulan.

13
Setelah itu barulah menjadi kerangka.20 Tidak ada waktu yang dapat ditentukan dalam
proses dekomposisi ini karena sangat berpengaruh pada kondisi lingkungan.20
5) Fermentation
Merupakan tahap dekomposisi wet stage. Pada tahap ini bau yang terkait
dengan aktivitas bakteri mulai menghilang, Tubuh mulai mengering (mummification
husk) dan memiliki bau busuk, yang disebabkan oleh asam butirat. Hal ini terjadi 20
hingga 50 hari setelah kematian. Pembentukan adipocere (atau saponifikasi) dapat
terjadi menghasilkan zat lilin berwarna kuning / putih berminyak. Adipocere
berkembang sebagai akibat dari hidrolisis lemak yang melepaskan asam lemak.
Semua daging yang tersisa dihilangkan selama periode ini.22,23
6) Pembentukan adipocere
Pembentukan adipocere tergantung pada kondisi lingkungan, formasi dapat
diamati paling cepat 1 bulan setelah kematian. Namun, kehadiran adipocere biasanya
menunjukkan interval postmortem setidaknya beberapa bulan. Setelah terbentuk,
adipocere dapat tetap tidak berubah ratusan tahun. Pembentukan adipocere paling
sering terlihat pada mayat yang telah terendam dalam air untuk jangka waktu yang
lama waktu, misalnya, dalam tubuh pulih dari bangkai kapal atau kecelakaan
menyelam. 24
Terlepas dari waktu sejak kematian, pembentukan adipocere dalam sisa-sisa
manusia yang terkubur tergantung pada varietas faktor-faktor seperti lokasi geografis
pemakaman situs, musim pemakaman, vegetasi di situs pemakaman, kedalaman dari
kubur, kolonisasi serangga mayat sebelumnya penguburan, dan pengaruh
antropogenik lainnya (misalnya tubuh mudah diakses oleh serangga, tidak mungkin
adipocere untuk terbentuk), komposisi peti mati, dan tekstur dari tanah (sifat kimia
dan fisik tanah).25
7) Mumifikasi
Mumifikasi secara umum terbagi dua, primer dan sekunder. Mumifikasi
primer umumnya tidak disertai dengan pembusukan sehingga akan dominan terjadi di
lingkungan kondisi yang mendukung pengeringan cepat jaringan lunak dan mencegah
bakteri enterik dan mikroorganisme eksternal dari menyebabkan pembusukan.

14
Mumifikasi sekunder mengikuti pembusukan tubuh dan lebih sering ditemukan di
luar ruangan daripada di dalam ruangan.26
Mumifikasi mengacu pada proses pengeringan, atau proses pengeringan
jaringan lunak. Proses ini dapat mempengaruhi seluruh tubuh atau hanya sebagian,
atau bagian tubuh yang terpapar dengan kondisi lingkungan yang tepat. Mumifikasi
alami terjadi dalam kondisi iklim kering, biasanya panas. Namun, mumifikasi juga
terjadi pada tubuh terletak di lingkungan beku; misalnya, mumifikasi tubuh manusia
ditemukan di daerah kutub atau di gletser ratusan tahun setelahnya.27
Selama proses mumifikasi, jaringan lunak mengalami penyusutan yang
cukup dengan kehilangan cairan tubuh melalui penguapan, mengakibatkan hilangnya
banyak tubuh berat (hingga 60-70%). Kulit menjadi keras dan keras penampilan kasar
coklat ke hitam (Gambar 25), membentuk cangkang tebal di atas tubuh. Akhirnya
semua rambut menghilang. Dalam tubuh mumi, pada lengan sering ditemukan
abduksi pada sendi bahu, tertekuk disendi siku, dan tangan dikepal. Fleksi juga sering
terlihat pada tungkai bawah. Penyusutan otot dan tendon menyebabkan fleksi pada
sendi ekstremitas karena dominasi otot fleksor. Meskipun dehidrasi pada permukaan
tubuh, internal organ menjadi gelap, kental, dan seperti pastel. Dengan peningkatan
interval postmortem dan di bawah pengaruh pembusukan dan aktivitas larva serangga
(belatung), organ internal mengalami penyusutan dan mungkin lenyap. 28

2.5 Metode terbaru


1. Degradasi DNA
Setelah kematian, terjadi serangkaian proses biokimia dan patologi yang
menyebabkan perubahan struktural dan komposisi tubuh manusia. Perubahan ini
terjadi secara berurutan sehingga evaluasi tipe dan tingkat perubahan dapat diusulkan
untuk memperkirakan waktu kematian.29 Perkiraan interval postmortem yang akurat
membutuhkan evaluasi terhadap parameter yang berubah secara konstan seiring
waktu setelah kematian. Definisi ini sesuai dengan degradasi asam nukleat setelah
kematian.30 Dengan berkembangnya biologi molekuler, analisis terhadap degradasi
asam nukleat (baik DNA dan RNA) menjadi fokus perhatian dalam ilmu forensik.31

15
DNA forensik telah meningkat pesat selama 20 tahun terakhir melalui
perkembangan teknik baru, seperti penggunaan analisis miniSTR, yang melibatkan
amplifikasi target DNA yang lebih kecil.32 DNA adalah salah satu komponen sel yang
paling stabil, dan kandungannya serupa di antara individu yang berbeda dan jenis sel
berbeda dalam spesies yang sama.33,34 sehingga DNA sering digunakan untuk
mengidentifikasi orang hilang dan korban pada insiden massal.35,36
Degradasi DNA disebabkan oleh enzim intraseluler dan proliferasi bakteri,
dan perkiraan hal tersebut bisa merujuk pada diagnosis dari tingkat perubahan setelah
kematian termasuk waktu setelah kematian. 37 Semenjak DNA dikenal stabil pada
periode setelah kematian yang panjang, metode kuantifikasi tingkat degradasi DNA,
seperti flow sitometri atau elektroforesis sel tunggal, dijelaskan oleh beberapa
penulis.38
Single cell gel electrophoresis (SCGE), kadang-kadang disebut sebagai uji
komet, menggunakan migrasi DNA dari sel yang dienkapsulasi dalam agarosa untuk
mengukur tingkat fragmentasi DNA. Sampel jaringan dienkapsulasi dalam agarosa
dan DNA di dalam jaringan didenaturasi. DNA dielektroforesis melalui agarosa yang
dienkapsulasi dan sampel dengan DNA terdegradasi menghasilkan ekor yang
dioleskan (oleh karena itu dinamakan uji komet). Semakin kuat sinyal dari ekor,
semakin banyak kerusakan DNA yang terjadi. Panjang ekor dipengaruhi secara
langsung oleh ukuran fragmen DNA dengan DNA yang lebih terdegradasi
menghasilkan ekor yang lebih panjang. 39
Gomaa et al. melakukan penelitian untuk mengevaluasi perubahan tergantung
waktu dari konten DNA pada sel otak dan sel hati tikus dengan uji komet. Pada
penelitian ini ditunjukkan bahwa pada tahap awal setelah kematian, sebagian besar
sel di otak dan jaringan hati menunjukkan kepala lengkap, berbentuk bulat, dan jejak
komet sangat minim.40 Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar DNA berstruktur
panjang tersisa dalam nukleus sel, dengan sedikit fragmentasi. 38 Hasil percobaan ini
juga menunjukkan bahwa dalam 24 jam setelah kematian, sel otak dan hati
menunjukkan peningkatan parameter degradasi DNA Peningkatan parameter
degradasi DNA sejalan dengan peningkatan interval postmortem. Fragmentasi dari 3

16
hingga 24 jam pada sampel otak dan hati ditunjukkan oleh perubahan bentuk komet,
hal ini menunjukkan bahwa memang ada fragmentasi DNA di sel otak dan hati
setelah kematian, dan prosesnya bertahap, progresif dan teratur. 40
Penelitian ini menggunakan metode elektroforesis yang sederhana dan dapat
diterapkan yang membuat harapan menjadi metode yang lebih akurat dalam
penentuan waktu kematian dini. Metode ini dapat digunakan dengan metode
konvensional lainnya untuk analisis interval postmortem yang andal dan sensitif. Juga
direkomendasikan untuk mempelajari degradasi DNA dalam kasus-kasus dengan
penyebab kematian yang berbeda untuk menyelidiki apakah penyebab kematian
memiliki efek pada tingkat degradasi DNA. 40
2. Spektroskopi Fourier Transform Infrared (FTIR)
Spektroskopi Fourier Transform Infrared (FTIR) merupakan metode analisis
yang sangat sensitif untuk mengidentifikasi komposisi molekul sampel biologis
berdasarkan deteksi dari mode getaran ikatan kimianya. Karena keunggulannya yang
tidak merusak, cepat, mudah dibawa-bawa, dan mudah digunakan, FTIR telah banyak
digunakan dalam penyelidikan forensik untuk mendeteksi dan menganalisis sidik jari,
tinta, serat, rambut, dan residu tembakan yang ditemukan di TKP. Selain itu, FTIR
dapat diterapkan untuk menganalisis sampel biologis, termasuk komponen
makromolekul organik, seperti protein, karbohidrat, lipid, dan asam nukleat. Ketika
organ dan jaringan menurun secara bertahap setelah kematian, komponen-komponen
sisa- sisa jaringan berubah dari waktu ke waktu, dan fenomena ini dapat dilihat dalam
data spektral, seperti penurunan puncak intensitas dan area. Jika dikombinasi dengan
chemometrics, lebih banyak informasi spektral yang dapat diperoleh dan model yang
lebih tepat dapat dibuat untuk memperkirakan PMI.41
Pada penelitian sebelumnya menunjukkan kegunaan FTIR untuk studi
perubahan biokimiawi pada organ dan cairan biologis, dan beberapa karakteristik
puncak intensitas dan area terbukti berkorelasi dengan PMI.42
Selama beberapa tahun terakhir, penerapan spektroskopi getaran untuk
mempelajari sampel forensik telah berkembang secara signifikan dan layak untuk
dibahas secara lebih rinci. Teknik spektroskopi getaran menawarkan pengukuran
sampel yang cepat dan tidak merusak. Hal ini sangat menarik untuk bukti ilmiah

17
forensik, setelah menganalisis kandungan kimia dalam sampel, dimungkinkan untuk
menggunakan metode tambahan yang memberikan kesempatan untuk
mengungkapkan informasi pelengkap lebih lanjut.43

18
BAB III
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Ketika sebuah mayat ditemukan maka waktu kematiannya harus ditentukan.
Jarak antara waktu kematian dengan penemuan mayat disebut Post Mortem Interval
(PMI). Penentuan PMI sangat penting untuk identifikasi korban, penentuan penyebab
kematian, serta investigasi kasus kriminal dan bunuh diri. Penentuan waktu kematian
maksimal bisa didapatkan dari waktu terakhir korban dilihat namun yang paling
akurat adalah penentuan berdasarkan tubuh mayat itu sendiri.
Post mortem interval dapat ditentukan dengan berbagai cara tergantung
kepada bagaimana kondisi korban ditemukan. Penentuan PMI dapat dilakukan
dengan melihat perubahan sesaat setelah mati pada jasad yang masih segar. Jika
korban telah mengalami pembusukan, penilaian PMI bisa dilakukan dengan
menggunakan pendekatan ilmu entomologi forensik. Jasad yang sudah mengalami
mumifikasi ataupun menjalani proses adiposera dapat ditentukan waktu kematiannya
sesuai dengan kondisi lingkungan dimana korban ditemukan. Selain melihat tanda
klasik pada tubuh mayat, beberapa penemuan terbaru sekarang sudah dikembangkan
untuk menilai post-mortem interval diantaranya dengan penilaian derajat degradasi
DNA setelah mati dan penilaian derajat kerusakan jaringan secara biokimiawi dengan
Spektroskopi Fourier Transform Infrared (FTIR).
3.2 Saran
a. Kepada peneliti agar memperbanyak penelitian mengenai post-mortem
interval di Indonesia
b. Kepada tenaga kesehatan dan ahli forensik agar selalu memperbarui informasi
mengenai perhitungan PMI dan dapat mengembangkan metode yang lebih
efektif dan akurat namun terjangkau berkaitan dengan penilaian Post-mortem
Interval
c. Kepada pemerintah agar dapat menyediakan fasilitas medik terkait penilaian
post-mortem interval

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono Sm Mun’im TWA. Hertian S, Sampurna B,


Purwadianto A. Ilmu kedokteran forensik. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1997.
2. Gelderman HT, Boer L, Naujocks T, IJzermans ICM, Duijst WLJM. The
development of a post-mortem interval estimation for human remains found on
land in the Netherlands. Int J Legal Med. 2018; 132(3): 863–73.
3. Abdelaleem SA, Younis RHA, Ahmed RF. Postmortem Interval Estimation Using
Myoglobin Concentration in Different Glandular Tissues. Int J Forensic Sci
Pathol. 2016: 4(8); 259-265.
4. Lee DG, Yang KE, Hwang JW, Kang HS, Lee SY, Choi S, et.al. Degradation of
kidney and psoas muscle proteins as indicators of post-mortem interval in a rat
model with use of lateral flow tecgnology. Korea: Biological disaster analysis
group Korea Basic Science Institute Daejoen Republic of Korea. 2016:1-14.
5. Li C, Wang Q, Zhang Y, Lin H, Zhang J, Huang P, et.al. Research progress in the
estimation of the postmortem interval bg Chinese forensic scholars. China:
Forensic Sciences Research. 2016;1(1):3-13.
6. Donaldson AE, Lamont L. Biochemistry changes that occur after death potential
markers for determing post-mortem interval. New Zeeland: Department of
Biochemistry, University of Otago, Dunedin, New Zealand. 2013;8(11):1-10.
7. Sampurna B, Samsu Z, & Siswaja TD. Peranan Ilmu Forensik dalam Penegakan
Hukum. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, 2008.
8. Idries AM. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik (1st ed). Jakarta: Binarupa
Aksara, 1997.
9. Byrd JH. Forensic entomology [online]. 1998 [cited on 20013 Desember 19].:
URL http://www.forensicentomology.com/definition.htm
10. Anonymous. Forensic Entomology. 2008 [cited 2013 Desember 19]. Available
from URL :
http://www.en.wikipedia.org/wiki/forensic_entomological/decomposition
11. Hadley D. An Early History of Forensic Entomology, 1300-1900. 2010. Available
at:
www.insects.about.com/od/forensicentomology/p/early_forensic/ento_history.htm
12. Anonym. Forensic entomology [online].2008 [cited on 2013 Desember 19].
Available from URL : http://www.en.wikipedia.org/wiki/forensic_entomological
13. Anonymous. Insect and Forensic Entomology 2008 [cited 2013 Desember 19].
Available from URL: http://agspsrv34.agrie.wa.gov.au/ento/forensic.htm
14. Mulla, Amith. Role of vitreous humor biochemistery in forensic pathology. 2005
15. Thierauf A, Musshoff F, Madea B. Post Mortem biochemical investigation of
vitreouschumor: Forensic Science Internasional. Elsevier: 2009 .p.78 – 82
16. Barmate,Nitin. A Correlation Study of Time Since Death by Vitreous Potassium
with Postmortem Changes.Journal of Forensic Medicine.2009

20
17. V Yogiraj, V Indumatri. Study Of Vitreous Humour Electrolytes To Assess The
Postmortem Interval And Cause Of Death. Journal of Forensic Medicine and
Toxicology , 2008; Vol. 9
18. Prasad BK, Choudhary A, Sinha JN. A study of correlation between vitreous
potassium level and post mortem interval. Kathmandu University Medical
Journal.2003. Vol. 1, No. 2, 132-134
19. B Camille, G Roselyne, F Paul, and G Philipe. Postmortem biochemistery of
vitreous humor and glucose metabolism : an update. LabMed.Berin. 2011

21

Anda mungkin juga menyukai