Penyusun :
Nia Karima Sjarif FK Universitas Pembangunan Nasional Veteran
Eka Wulan Sari FK Universitas Pembangunan Nasional Veteran
Rizky Amelia FK Universitas Pembangunan Nasional Veteran
Alvito Wira Tiza FK Universitas Pembangunan Nasional Veteran
Tjo Kevin Jaya FK Universitas Kristen Krida Wacana Jakarta
Lukfintia Filia FK Universitas Kristen Krida Wacana Jakarta
Novelia Puspita Widyanto FK Universitas Kristen Krida Wacana Jakarta
Adi Baskoro FK Universitas Kristen Krida Wacana Jakarta
Residen Pembimbing :
dr. Marlis Tarmizi
Dosen Penguji :
dr. Intarniati Nur Rohmah, Sp.KF, M.si, Med
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan
pertolonganNya penulis dapat menyelesaikan journal reading ini. Journal reading yang
berjudul perkiraan waktu kematian pada jenazah yang mengalami mumifikasi ini
disusun untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik di Departemen Ilmu Kedokteran
Forensik dan Medikolegal Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi Semarang.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Marlis tarmizi, sebagai residen
pembimbing dan selaku dosen penguji dr. Intarniati Nur Rohmah, Sp.KF, M.si, Med
journal reading ini dan pihak-pihak yang telah banyak membantu dalam penyusunan
journal reading ini.
Penulis menyadari bahwa journal reading ini masih jauh dari sempurna dan
memiliki banyak keterbatasan. Oleh sebab itu, penulis menerima dengan senang hati
segala kritik dan saran yang membangun demi kepentingan kita bersama. Akhir kata
semoga journal reading ini dapat berguna bagi penulis maupun pembaca sekalian.
Pen
ulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.. i
KATA PENGANTAR.... ii
DAFTAR ISI... iii
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB II JURNAL .. 3
BAB III TINJAUAN PUSTAKA.. 12
BAB IV KEKUATAN DAN KETERBATASAN JURNAL 34
BAB V ANALISIS KASUS 35
BAB VI PERBANDINGAN DENGAN PENELITIAN SEBELUMNYA.. 36
BAB VII PENUTUP... 37
DAFTAR PUSTAKA. 38
LAMPIRAN JURNAL ASLI
BAB I
PENDAHULUAN
Tanatologi atau yang secara umum dikenal sebagai science of death merupakan
ilmu yang penting dikuasai oleh ahli kedokteran kehakiman ataupun dokter yang bukan
ahli kedokteran kehakiman. Tanatologi mempelajari perubahan-perubahan setelah
kematian yang sangat bermanfaat dalam menentukan apakah seseorang sudah
meninggal atau belum, dan menentukan berapa lama seseorang telah meninggal, serta
membedakan perubahan post mortal dengan kelainan yang terjadi pada waktu korban
masih hidup.1
Menentukan saat kematian adalah hal yang penting untuk dilakukan baik pada
kasus kriminal atau sipil. Kematian adalah suatu proses yang dapat dikenali secara
klinis pada seseorang melalui tanda kematian yaitu perubahan yang terjadi pada tubuh
mayat. Memperkirakan saat kematian yang mendekati ketepatan mempunyai arti
penting khususnya bila dikaitkan dengan proses penyidikan, dengan demikian penyidik
dapat lebih terarah dan selektif di dalam melakukan pemeriksaan terhadap para
tersangka pelaku tindak pidana. Tanda-tanda kematian dibagi atas tanda kematian pasti
dan tidak pasti. Tanda kematian tidak pasti adalah penafasan berhenti, sirkulasi terhenti,
kulit pucat, tonus otot menghilang dan relaksasi, pembuluh darah retina mengalami
segmentasi dan pengeringan kornea. Sedangkan tanda pasti kematian adalah lebam
mayat (livor mortis), kaku mayat (rigor mortis), penurunan suhu tubuh (algor mortis),
pembusukan, mumifikasi.2
Lingkungan merupakan penentu utama terjadinya pembusukan pada tubuh,
dimana tubuh tertimbun oleh tanah, terndam oleh air,dan tidak terkena sinar matahari.
Pembusukan berhubungan dengan berbagai macam bau. Bau ini berasal dari
pembusukan tubuh yang tidak bisa digambarkan. Tubuh yang bau pada tahap
pembusukan diakibatkan karena menghasilkan gas yang tinggi pada tubuh setelah
beberapa jam kematian. Pada suhu ruagan , perut kanan bagian bawah akan berubah
warna hijau setelah 24 jam kematian dan seluruh tubuh setelah 36 jam kematian.3
Penentuan saat kematian merupakan hal yang penting dalam kasus pidana dan
perdata . Dari sudut pandangan hukum pidana, estimasi yang tepat membantu penyidik
dalam mengatur waktu pembunuhan, memverifikasi saksi pernyataan, batas jumlah
tersangka dan menilai pernyataan mereka . Hal ini juga sangat penting bagi para
penyidik forensik , terutama ketika mereka mengumpulkan bukti yang dapat
mendukung.3
Abstrak
Salah satu aplikasi entomologi forensik yang paling penting adalah perkiraan
interval postmorten. Serangga merupakan bagian penting pada kasus dimana jenazah
mengalami dekomposisi berat sehingga tidak dapat diidentifikasi dan dengan waktu
kematian yang tidak dapat ditentukan. Serangga akan menghinggapi tubuh jenazah
segera setelah kematian, seringkali dalam waktu beberapa menit setelah kematian.
Dalam penelitian ini, dilakukan suatu upaya untuk memperhitungkan interval
postmortem pada jenazah seorang perempuan yang mengalami mumifikasi dengan
menggunakan serangga. Jenazah ditemukan di sawah di desa Krakala, Kantor Polisi
Ghagga, Distrik Patiala, Punjab, India pada 26 Oktober 2014. Lalat dari famili
Calliphoridae, seperti Chrysomya megacephala (Fabricius) dan Chrysomya rufifacies
(Macquart), stadium imatur lalat tersebut (telur dan pupa) dan kumbang dewasa dari
famili Dermestidae, yaitu Dermestes maculatus ditemukan pada jenazah tersebut. Suhu
rata rata dan kelembapan relatif dihitung dari Bagian Metereologi Universitas Punjabi,
Patiala. Identifikasi serangga dilakukan di Departemen Zoologi dan Ilmu Lingkungan,
Universitas Punjabi, Patiala. Waktu kematian dihitung menggunakan metode ADH.
Kata kunci : Entomologi forensi; Waktu kematian; Lalat; Calliphoridae; Pupa; ADH
Pendahuluan
Entomologi forensik atau entomologi medikolegal dapat diartikan sebagai
penelitian pada serangga yang berhubungan dengan jenazah manusia dalam upaya untuk
menentukan waktu yang telah berlalu sejak kematian. Dalam investigasi medikolegal
kematian, salah satu pertanyaan yang paling penting adalah kapan kematian terjadi ?
Perkiraan waktu kematian (postmortem interval) yang akurat, yaitu periode dari
kematian hingga jenazah ditemukan, memiliki relevansi khusus pada kasus
pembunuhan, karena informasi tersebut dapat mempersempit kemungkinan daftar
tersangka pembunuhan.
Serangga yang paling banyak terlibat dalam investigasi forensik adalah lalat dari
order Diptera. Spesies predominan dalam order tersebut adalah Calliphoridae (blow
flies), Sacrophagidae (lalat daging), dan Muscidae (lalat rumah). Calliphoridae (blow
flies), Sacrophagidae (lalat daging) hinggap dalam beberapa menit setelah kematian.
Muscidae (lalat rumah) menunda kolonisasi hingga tubuh jenazah mencapai tahap
penggembungan (bloat stage) pembusukan. Serangga yang ditemukan pada jenazah
dapat digunakan sebagai bukti untuk perkiraan waktu kematian hingga 1 bulan atau
lebih. Identifikasi spesies yang tepat merupakan langkah awal untuk penghitungan
waktu kematian. Spesies lain memiliki laju pertumbuhan dan maturasi yang berbeda.
Waktu perkembangan serangga sangat bergantung pada suhu. Masing masing tahap
perkembangan memiliki kebutuhan suhu yang berbeda, sehingga setiap spesies
memiliki jumlah accumulated degree days (ADD) atau accumulated degree hours
(ADH) tersendiri untuk menyelesaikan perkembangannya. Setelah riwayat suhu
diperoleh, informasi tersebut dapat dibandingkan dengan suhu saat kematian dan waktu
kematian dapat diperkirakan.
Chrysomya megacephala dan Chrysomya rufifacies merupakan lalat yang
penting dalam ilmu forensik dan sering ditemukan di bagian Barat Laut India.
Chrysomya megacephala (Fabricius, 1794) sering ditemukan pada kadaver di berbagai
negara di dunia, dan digunakan dalam investigasi forensik untuk menentukan waktu
kematian.
Dalam penelitian ini, waktu kematian diperkirakan dari pupa Chrysomya
megacephala menggunakan metode accumulated degree hours (ADH).
Hasil
Sampel serangga dikumpulkan dari jenazah dan diawetkan dalam ethanol 80%.
Pupa lalat (Diptera: Calliphoridae) dikumpulkan dan diidentifikasi. Data mengenai suhu
dari 17 Oktober hingga 26 Oktober didapatkan dari Departemen Meteorologi
Universitas Punjabi, Patiala (Tabel 1). Waktu perkembangan Chrysomya megacephala
dari telur hingga pupa pada suhu 25 1C digunakan untuk menghitung Accumulated
Degree Hours untuk perkiraan waktu kematian (Tabel 2). Chrysomya megacephala
memakan waktu selama 6460.8 jam pada suhu 25 1C untuk berkembang dari stadium
telur mencapai stadium pupa. Accumulated Degree Hours untuk siklus hidup
Chrysomya megacephala dikalkulasikan berdasarkan suhu yang diperoleh dari
Departemen Meteorologi Universitas Punjabi, Patiala, dari 17 Oktober hingga 26
Oktober 2014, dan ADH total ditemukan selama 3489.6 jam (Tabel 3). Nilai ADH
menggambarkan jumlah tertentu jam energi yang diperlukan untuk perkembangan
larva serangga. Rumus untuk menghitung ADH adalah sebagai berikut.
ADH = Waktu (jam) x (Suhu rata rata Batas suhu perkembangan minimal).
Tabel 3. Perkiraan accumulated degree hours (ADH) untuk siklus hidup Chrysomya
megacephala dari 17/10/14 hingga 26/10/14.
Suhu (C) Ambang Growing Degree Day ADH
Tanggal Maks. Min. Rata batas suhu Value (DD) (Suhu DD x 24
-rata (C) rata-rata Ambang jam
batas suhu)
17/10/14 30 15.6 22.8 10 12.8 307.2
18/10/14 30 16.5 23.25 10 13.25 318
1910/14 30.7 16.6 23.65 10 13.65 327.6
20/10/14 31.5 18.4 24.95 10 14.95 358.8
21/10/14 31.6 18.1 26.2 10 14.85 356.4
Tabel 3. Lanjutan
Suhu (C) Ambang Growing Degree Day ADH
Tanggal Maks. Min. Rata- batas Value (DD) (Suhu DD x 24
rata suhu rata-rata Ambang jam
(C) batas suhu)
22/10/14 32.8 19.6 26.2 10 16.2 388.8
23/10/14 32 17.2 24.6 10 14.6 350.4
24/10/14 31.3 18.4 24.8 10 14.8 355.2
25/10/14 30.6 18.6 24.6 10 14.6 350.4
26/10/14 30.8 20.7 25.7 10 15.7 376.8
Diskusi
Perkiraan waktu kematian berdasarkan bukti entomologi sesuai dengan waktu
kematian yang diperoleh menggunakan pemeriksaan standar, membuktikan bahwa
semua bukti dari tempat kejadian perkara perlu dipertimbangkan, seperti penundaan
waktu hinggapnya lalat di jenazah pada lingkungan yang tertutup. Penggunaan metode
entomologi memerlukan pengetahuan yang luas mengenai faktor mekanik dan
lingkungan yang dapat mengganggu proses kolonisasi, waktu perkembangan, dan
pembusukan jenazah oleh serangga. Ahli entomologi forensik harus melakukan
pengukuran suhu secara teliti, dimana serangga yang belum dewasa dikumpulkan, untuk
menentukan suhu manakah yang akan digunakan untuk memperoleh perhitungan yang
lebih tepat.
Sukontason et al. melakukan pemeriksaan pada 30 kasus entomologi forensik di
Thailand Utara. Lalat yang diambil dari jenazah tersebut sebagian besar berasal dari
famili Calliphoridae, yaitu Chrysomya megacephala, Chrysomya bezziana, Chrysomya
nigripes, Lucilia cuprina, Hemipyrellia ligurriens. Chrysomya megacephala dan
Chrysomya rufifacies merupakan spesies yang paling sering ditemukan pada lokasi
kematian dengan ekologi yang beragam di Thailand. Sukontason et al. melaporkan bukti
entomologi dari jenazah yang mengapung di Thailand. Sejumlah besar larva instar
ketiga Chrysomya megacephala dan Chrysomya rufifacies dikumpulkan dan digunakan
untuk memperkirakan waktu kematian. Penelitian tersebut merupakan laporan pertama
mengenai Chrysomya megacephala sebagai suatu spesies lalat yang penting dalam ilmu
forensik di Thailand. Goff menemukan bahwa Chrysomya rufifacies merupakan salah
satu spesies lalat yang paling sering ditemukan pada tubuh jenazah, umumnya hinggap
dalam 10 menit setelah kematian.
Introna et al. melaporkan 3 kasus forensik mengenai perkiraan waktu kematian
(postmortem interval) menggunakan data entomologi. Perkiraan waktu kematian
dihitung berdadarkan perbandingan data dari laporan autopsi (laju pembusukan),
keadaan lingkungan sekitar (suhu, kelembapan, hujan), dan waktu perkembangan
stadium imatur masing masing spesies arthropoda lokal, serta pola suksesi. Babu et al.
memperkirakan waktu kematian seorang jenazah bayi laki laki tanpa kepala berusia 9
bulan yang ditemukan di taman hutan di Jagdalpur, India. Waktu kematian ditentukan
berdasarkan periode perkembangan larva instar kedua lalat Chrysomya rufifacies.
Cheong et al., Lee et al., Kumara et al., Kavitha et al. melaporkan kasus forensik dari
Malaysia dan menemukan bahwa Chrysomya megacephala dan Chrysomya rufifacies
merupakan lalat yang sering ditemukan di lokasi kematian manusia, baik di tempat
tinggal manusia dan di lingkungan terbuka di daerah perkotaan, pinggiran kota,
pedesaan dan dataran tinggi.
Dalam penelitian ini, waktu perkiraan jenazah perempuan adalah 9.6 hari,
sedangkan ahli autopsi memperkirakan waktu kematian selama 10 12 hari. Hasil dari
penghitungan ADH sejalan dengan hasil investigasi polisi, dan lebih akurat
dibandingkan dengan pendapat dokter.
Referensi
1. Catts EP, Goff ML (1992) Forensic entomology in criminal investigation. Ann Rev
Entomol 37: 253- 272.
2. Hall RD (2001) Introduction: perception and status of forensic entomology. ln: Byrd
JH & Castner JL (Eds.), Forensic entomology: the utility of arthropod in legal
investigation. (2nd Edn), Boca Raton, FL CRC Press, pp. 1-15.
3. Zehner R, Amendt J, Schtt S, Sauer J, Krettek R, et al. (2004) Genetic
identification of forensically important flesh flies (Diptera: Sarcophagidae). Int J Legal
Med 118(4): 245-247.
4. Geberth VJ (1990) Practical Homicide investigation. (2nd edn), Elsevier, New York,
USA.
5. Amendt J, Krettek R, Zehner R (2004) Forensic entomology. Naturwissenschaften
91(2): 51- 65.
6. Gruner SV, Slone DH, Capinera JL (2007) Forensically important Calliphoridae
(Diptera) associated with pig carrion in rural northcentral Florida. J Med Entomol 44(3):
509-515.
7. Sukontason K, Narongchai P, Kanchai C, Vichairat K, Sribanditmongkol P, et al.
(2007) Forensic entomology cases in Thailand: a review of cases from 2000 to 2006.
Parasitol Res 101(5): 1417-1423.
8. Wang J, Li Z, Chen Y, Chen Q, Yin X (2008) The succession and development of
insects on pig carcasses and their significances in estimating PMI in South China.
Forensic Sci Int 179(1): 11-18.
9. Greenberg B (1971) Flies and Disease - Ecology, Classification and Biotic
Associations. Princeton University Press, Princeton, New Jersey, USA, 1: 856.
10. Goff ML, Odom CB (1987) Forensic Entomology in the Hawaiian Islands - Three
case studies. Am J Forensic Med Pathol 8(1): 45-50.
11. Goff ML, Omori AI, Gunatilake K (1988) Estimation of Postmortem Interval by
arthropod succession - Three case studies from the Hawaiian Islands. Am J Forensic
Med Pathol 9(3): 220-225.
12. Goff ML (1992) Problems in estimation of Postmortem Interval resulting from
wrapping of the corpse: a case study from Hawaii. J Agr Entomol 9(4): 237-243.
13. Centeno N, Maldonado M, Oliva A (2002) Seasonal patterns of arthropods
occurring on sheltered and unsheltered pig carcasses in Buenos Aires Province
(Argentina). Forensic Sci Int 126(1): 63-70.
14. Bharti M, Singh D, Sharma YP (2007) Effect of temperature on the development of
forensically important blowfly Chrysomya megacephala (Fabricus) (Diptera:
Calliphoridae). Entomon 32(2): 144-151.
15. Sukontason KL, Narongchai P, Sukantason K, Methanitikom R, Piangjai S (2005)
Forensically important fly maggots in a floating corpse: The first case report in
Thailand. J Med Assoc Thai 88(10): 1458-1461.
16. Goff ML (2000) A fly for the prosecution: how insect evidence helps solve crimes.
Cambridge: Harvard University press, USA.
17. Introna F, Compobasso CP, Fazio AD (1998) Three case study in forensic
entomology from South Italy. J Forensic Sci 43(1): 210-214.
18. Babu BS, Sharma H, Bharti M (2013) Estimation of Postmortem Interval by rearing
Chrysomya rufifacies (Macquart, 1842) (Diptera: Calliphoridae): A case study from
central India. J Forensic Med Toxicol 14(2): 1-12.
19. Cheong WH, Mahadevan S, Inder SK (1973) Three species of fly maggots found on
a corpse. Southeast Asia J Trop Med Public Health 4(2): 281.
20. Lee HL, Krishnasamy M, Abdullah AG, Jeffery J (2004) Review of forensically
important entomological specimens in the period of 1972- 2002. Trop Biomed 21(2):
69-75.
21. Kumara TK, Disney RH, Abu Hassan A, Flores M, Hwa TS, et al. (2012)
Occurrence of oriental flies associated with indoor and outdoor human remain in the
tropical climate of north Malaysia. J Vector Ecol 37(1): 62-68.
22. Kavitha R, Nazni WA, Tan TC, Lee HL, Azirun MS (2013) Review of forensically
important entomological specimens collected from human cadavers in Malaysia (2005-
2010). J Forensic Legal Med 20(5): 480- 482.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Menetapkan apakah korban masih hidup atau telah mati dapat kita ketahui dari
masih adanya tanda kehidupan dan tanda-tanda kematian. Tanda kehidupan dapat kita
nilai dari masih aktifnya siklus oksigen yang berlangsung dalam tubuh korban.
Sebaliknya, tidak aktifnya siklus oksigen menjadi tanda kematian.
Mati somatis (mati klinis) ialah suatu keadaan dimana terjadi gangguan pada
ketiga sistem utama tersebut yang bersifat menetap. Pada kejadian mati somatis ini
secara klinis tidak ditemukan adanya refleks, elektro ensefalografi (EEG) mendatar,
nadi tidak teraba, denyut jantung tidak terdengar, tidak ada gerak pernapasan dan suara
napas tidak terdengar saat auskultasi. 5
Mati suri (apparent death) ialah suatu keadaan yang mirip dengan kematian
somatis, akan tetapi gangguan yang terdapat pada ketiga sistem bersifat sementara.
Kasus seperti ini sering ditemukan pada kasus keracunan obat tidur, tersengat aliran
listrik dan tenggelam.5
Mati seluler (mati molekuler) ialah suatu kematian organ atau jaringan tubuh
yang timbul beberapa saat setelah kematian somatis. Daya tahan hidup masing-masing
organ atau jaringan berbeda-beda, sehingga terjadinya kematian seluler pada tiap organ
tidak bersamaan. 4,5
Mati serebral ialah suatu kematian akibat kerusakan kedua hemisfer otak yang
irreversible kecuali batang otak dan serebelum, sedangkan kedua sistem lainnya yaitu
sistem pernapasan dan kardiovaskuler masih berfungsi dengan bantuan alat. 5
Mati otak (mati batang otak) ialah kematian dimana bila telah terjadi kerusakan
seluruh isi neuronal intrakranial yang irreversible, termasuk batang otak dan serebelum.
Dengan diketahuinya mati otak (mati batang otak) maka dapat dikatakan seseorang
secara keseluruhan tidak dapat dinyatakan hidup lagi, sehingga alat bantu dapat
dihentikan. 5
3.3. Tanda Kematian
Kematian adalah suatu proses yang dapat dikenal secara klinis pada seseorang
berupa tanda kematian yang perubahannya biasa timbul dini pada saat meninggal atau
beberapa menit kemudian. Perubahan tersebut dikenal sebagai tanda kematian yang
nantinya akan dibagi lagi menjadi tanda kematian pasti dan tanda kematian tidak
pasti. 4,5
2. Terhentinya sirkulasi yang dinilai selama 15 menit, nadi karotis tidak teraba.
3. Kulit pucat.
1. Lebam Mayat
2. Kaku Mayat
4. Pembusukan
5. Lilin mayat
6. Mummifikasi
3.4 Pembusukan Pada Mayat
Pembusukan adalah kerusakan post mortem dari jaringan lunak tubuh akibat
bakteri dan enzim. Proses pembusukan dimulai 4 menit setelah terjadi kematian.
Permulaan pembusukan ini diatur oleh proses yang disebut autolisis atau self-
digestion. Ketika sel-sel ditubuh kekurangan oksigen, karbon dioksida dalam darah
meningkat, penurunan pH dan terjadi penumpukan sisa-sisa metabolisme yang menjadi
racun bagi sel tubuh. Pada waktu yang bersamaan, enzim pada sel (Lipase, protease,
amilase, dll) mulai larut dari dalam ke luar, yang akhirnya menyebabkan sel pecah, dan
mengeluarkan cairan yang kaya nutrisi. Proses ini dimulai dan berlangsung lebih cepat
pada jaringan yang memiliki kandungan enzim yang tinggi (seperti hati) dan kandungan
air yang tinggi seperti otak, tetapi proses ini mempengaruhi semua sel dalam tubuh.
Proses autolisis biasanya tidak terlihat jelas pada beberapa hari setelah kematian. Proses
ini pertama kali dapat dilihat dengan munculan lepuhan cairan pada kulit dan kulit
menjadi licin, dan terjadi pengelupasan secara luas pada permukaan kulit. Sementara
itu, tubuh akan menyesuaikan diri dengan suhu sekitar (algor mortis), darah yang
menetap dalam tubuh menyebabkan perubahan warna kulit (livor mortis) dan sitoplasma
sel berubah menjadi gel akibat meningkatnya keasaman (rigor mortis). Setelah banyak
sel pecah, cairan kaya nutrisi menjadi bebas dan proses pembusukan dimulai.11,14
Proses Pembusukan, dibagi dalam beberapa tahap :6
1) Tahap segar.
Mayat dianggap berada di tahap segar dari saat kematian sampai tanda-tanda
pertama kembung. Ini adalah tahap di mana tiba di mayat dan mulai bertelur
atau larva.
2. Tahap Kembung.
Tahap ini menandai awal dari pembusukan. bakteri anaerobik menghasilkan gas
sebagai hasil dari proses metabolisme, sehingga menyebabkan kembung.
Kembung biasanya terjadi pertama di perut.
3. Tahap aktif pembusukan. Tahap ini dimulai ketika gas mulai keluar dan kembung
tersebut menjadi mengempis. Selama tahap ini, larva dipteran membentuk
massa belatung besar yang dominan, dalam jumlah besar coleopterans juga
mulai berdatangan. Tahap akhir pembusukan, sebagian besar Calliphoridae dan
Sarcophagidae telah menjadi menjadi kepompong.
4. Lanjutan tahap pembusukan. Ditemukan coleopterans yang merupakan spesies
dominan selama tahap ini ketika sisa-sisa memiliki telah berkurang pada kulit,
tulang rawan, dan tulang
5. Tahap kering. Dalam tahap ini, sisa-sisa hanya terdiri dari rambut dan tulang dan
yang tersisa adalah tungau sebagai indikator yang berguna dari PMI.
3.5 Penyebab Pembusukan
Kerusakan jaringan terjadi akibat aksi enzim endogen yang dikenal sebagai
autolisis. Tahapan pembusukan terjadi secara bertahap dimulai dari jaringan ke gas,
cairan dan garam . Perubahan utama yang dapat terjadi dalam jaringan yang mengalami
pembusukan adalah perubahan warna, evolusi gas, dan pencairan. Bakteri sangat
penting untuk pembusukan dan bakteri komensal akan segera menyerang jaringan
setelah kematian. Organisme yang paling sering ditemukan biasanya organisme yang
terdapat pada saluran pernapasan dan pencernaan yaitu anaerobic spore-bearing bacilli,
organisme coliform, micrococci, diphtheroid, dan organime proteus. Mayoritas bakteri
datang dari saluran pencernaan dan didominasi oleh Clostridium welchii . Setiap bakteri
ante mortem yang infeksi pada tubuh , terutama septikemia , akan mempercepat onset
dan evolusi pembusukan.14
Wajah berwarna kehijauanungu gelap, dengan kelopak mata bengkak dan tertutup
erat, bibir bengkak dan cemberut, pipi bengkak, dan lidah bengkak menonjol keluar
dari mulut. Rambut kepala dan rambut tubuh lainnya longgar pada akar-akarnya dan
dapat mudah ditarik keluar.
4.Bagian Ekstremitas
Jari dan kuku mudah terlepas, lapisan epidermis pada kedua tangan dan kaki mudah
terlepas dengan lengkap sehingga seperti gambaran " sarung tangan " atau " kaus kaki ",
disebut sebagai " degloving ". Leher , badan dan tungkai bengkak secara besar-besaran
, memberikan kesan palsu obesitas. Akhirnya , gas busuk yang berada di bawah
tekanan tinggi, akan mencari kolateral ruang dan seluruh massa yang membusuk
jaringan lunak akan terdesak.
5. Bagian saluran pernafasan
Mukosa saluran napas menjadi merah tua dan ada tanda hemolitik berwarna plum pada
pewarnaan intima endokard dan intima vaskular yang paling mudah dihargai di aorta
dan cabang-cabangnya. Butiran putih kecil yang disebut "plak miliaria" - terlihat pada
endocardium
dan epikardium. Paru-paru , sarat dengan cairan sanguinous , tampak merah tua dan
rapuh.
6. Bagian Jantung
Jantung menjadi lembek, dinding menipis , dan miokardium berwarna merah gelap.
Perubahan warna serupa terlihat juga pada hati dan ginjal. Limpa menjadi lembek dan
rapuh. Selanjutnya otak menjadi semi liquid. Kapsul dari hati, limpa dan ginjal
mengalami pembusukan lebih lama dari jaringan parenkim lainnya.
Pembusukan dikaitkan dengan penyusutan organ . Perforasi fundus dari lambung
atau esofagus bagian bawah ke dalam rongga pleura kiri atau perut dapat terjadi dalam
beberapa jam setelah kematiannya . Ini adalah hasil dari autolisis bukan pembusukan
bakteri.
Ada variasi yang cukup besar dalam waktu onset dan laju perkembangan
pembusukan. Dalam kondisi rata-rata di daerah beriklim sedang, yang paling cepat
dalam menyebabkan perbusukan. Perubahan yang melibatkan dinding anterior abdomen
terjadi antara 36 dan 72 jam setelah kematian. Perkembangan pembentukan gas terjadi
setelah sekitar satu minggu . Suhu tubuh setelah kematian adalah faktor yang paling
penting umumnya menentukan tingkat pembusukan . Jika dipertahankan di atas 26 0C
( 800F ) setelah kematian maka yg menyebabkan perbusukan dengan perubahan jelas
dalam waktu 24 jam dan pembentukan gas akan terlihat dalam waktu sekitar 2-3 hari.
Hal ini dapat diambil sebagai perkiraan waktu terakhir dengan kematian yang
pasti terjadi. Estimasi usia belatung bergantung pada pengetahuan rinci tentang siklus
hidup lalat dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Lalat memiliki empat tahap
kehidupan - telur , larva (belatung ), pupa, dan dewasa. Belatung ( larva lalat ) melewati
tiga tahap pertumbuhan sebelum menjadi tumbuh sepenuhnya. Kerangka waktu untuk
tahap pertumbuhan mereka membutuhkan waktu beberapa hari sampai beberapa
minggu, tergantung pada spesies, kondisi lingkungan, dan jumlah larva yang hadir. 9,13
3
3.9.1 Jenis Serangga
Serangga yang paling penting dalam metode penentuan PMI adalah lalat.
Houseflies (Muscidae)
Toraks berukuran 5.5-9 mm, berwarna abu- abu, diliputi rambut. Boleh menghasilkan
500 telur
Blowfly(Calliphoridae)
Toraks berukuran 9.5-12 mm. Memiliki tiga segment antena. Lebih gemar berada di
lingkungan panas dan tropikal. Blowfly adalah sejenis lalat berasal dari famili
Calliphoridae. Lalat ini merupakan serangga yang pertama yang berkolonisasi pada
tubuh mayat, selalunya dalam beberapa jam. Oleh karena itu, umur larva dari lalat dapat
digunakan untuk menentukan PMI.
Fleshfly(Sarcophagidae)
Membiak pada daging atau bangkai yang sudah membusuk. Juga memiliki toraks
dengan tiga segmen. Lalat jenis ini tidak menghasilkan telur tetapi langsung
menghasilkan larva.
Serangga lain
Coleoptera / Beetles
Kumbang cenderung muncul pada akhir proses dekomposisi. Kumbang akan memakan
tubuh mayat dan juga larva lalat. Kumbang nocturnal yaitu spesies Histeridae hanya
memakan pada waktu malam dan bersembunyi pada waktu siang. Kumbang Rove
kadang- kadang merupakan serangga yang muncul agak awal dan memakan larva lalat
berbanding tubuh mayat sendiri. Dermestidae, (Skin Beetles) memakan kulit kering ,
sinew, dan jaringan yang ditinggalkan larva dan juga dapat memakan keratin pada
rambut.
Tungau
Terdapat dua spesies tungau yang membantu proses dekomposisi yaitu (Macrocheles)
dan (Rostrozetes). Tungau selalunya ditransportasi ke tubuh mayat melalui kumbang
yang mana kumbang ini juga memakan telur dan larva lalat yang terdapat pada tubuh
mayat.
(Macrocheles) (Rostrozetes)
Lepidoptera
Moths mengkomsumsi rambut pada tubuh mayat. Kewujudan moths pada mayat
selalunya pada fase akhir dekomposisi. Serangga lain ini cenderung datang setelah
blowfly berinfestasi di tubuh mayat, menyebabkan kegunaannya bagi menentukan PMI
adalah kurang berguna.
- Setelah stadium ini ukuran larva kembali memendek yang dikenal sebagai Larva
instar III (post feeding) dengan ukuran 10- 12 mm, gerakan mulai lambat,
bentuk ini bisa ditemukan 8- 12 hari sejak telur diletakkan, pada tahap ini mulai
menjauhi jaringan busuk mencari tempat yang kering untuk kemudian berubah
menjadi Prepupa. Larva ini bisa bergerak sejauh beberapa meter sebelum masuk
kedalam tanah atau dibawah batu dan jika pada indoor bisa ditemukan dibawah
permadani dan perabot.
- Prepupa dengan ukuran 8-9 mm, berbentuk bulat seperti bantal guling, berwarna
kemerahan yang dalam beberapa hari menjadi Pupa dengan warna coklat
kehitaman, dan dalam waktu 1- 2 hari kemudian akan menetas menjadi lalat.
Lalat yang menetas akan meninggalkan selubung pupa yang merupakan bukti
dari perkembangan lalat ini.
-
1. Kumpulkan larva yang terdapat di tubuh mayat bersama- sama dengan serangga
lain yang juga turut dijumpai pada tubuh mayat
3. Tentukan ukuran, panjang larva yang ditemukan dan kemudian dapatkan data
cuaca untuk mengestimasi usia larva
Adult flies Emerges from pupa Geneasi baru Lalat dewasa kecil
cases after 4-7 days
BAB IV
KEKUATAN DAN KETERBATASAN JURNAL
BAB V
ANALISIS KASUS
BAB VI
PERBANDINGAN DENGAN PENELITIAN SEBELUMNYA
Perbedaan Persamaan
The Utility of Insects in Membahas tahap-tahap Variable dalam jurnal
Estimation of Post pembusukan berupa suhu dan
Mortem Interval in Jumlah subjek dalam kelembaban
Human Dead Bodies jurnal berjumlah 100 Jenis spesies secara garis
Menjelaskan lokasi
Penulis : besar sama
anatomi ditemukannya
Juglan Sarthak, larva
Dijelaskan pengaruh
Chaturvedi Kumar Rajesh,
suhu terhadap kecepatan
Kulshrestha Pankaj, Soni
pertumbuhan larva di
J.N setiap stadium
Publikasi : 2016
BAB VII
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
1. Hariadi Apuranto, Mutahal. Tanatologi. Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal. Edisi Ketujuh. Surabaya: Departemen Ilmu Kedokteran Forensik
dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga; 2010. page 115
26.
2. Howard C.,Adelman.M. Establishing The Time of Death in : Forensic Medicine.
New York : Infobase Publishing : 2007. p.20-26.
3. Jay Dix, Michael Graham, Time of Death, Decomposition and Identification: An
Atlas (Google eBook) CRC Press, Dec 7, 1999 - Law - 120 pages
4. Tim Penulis Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Ilmu Kedokteran Forensik, Jakarta:FKUI; 1997.h. 25-36.
5. Husni, GM. Hukum Kesehatan Ilmu Kedokteran Forensik, bagian Kedokteran
Forensik Fakulatas Kedokteran Universitas Andala, Padang: FKUNAND;
2007.h.15-26
6. Ibrahim Aldelwahab; Galal. H. Fatma; and Elhefnawy1 Ahmed, Insect
succession associated with corpse's decomposition of the guinea pig Cavia
porcellus in Benha city, Egypt 2013 (1-20)
7. Aly H. Rasmy, The humans lie but the spiders do not lie: An overview on
forensic acarology, Egyptian Journal of Forensic Sciences (2011) 1, 109110
8. Hoda Fouad Abdel Salam a, Eman Ahmed Shaat b, Manal Hassan Abdel Aziz,
Estimation of postmortem interval using thanatochemistry and postmortem
changes, Alexandria Journal of Medicine (2012) 48, 335344
9. Byrd, Jason H.; Castner, James L. , Forensic Entomology : Utility of Arthropods
in Legal Investigations, 2000
10 Molly Tyrrell and Dr. Matthew S. Ward, The Decomposition of Remains and the
Effect of Decomposition Rates on Volatile Organic Chemicals (VOCs)
Released , 2011 (1-3)
11. Arpad A. Vass, Beyond the grave understanding human decomposition, 2001
12. Kapil Verma, Reject Paul MP , Assessment of Post Mortem Interval, (PMI) from
Forensic Entomotoxicological Studies of Larvae and Flies Amity Institute of
Forensic Sciences (AIFS), Amity University, Noida-2013, Uttar Pradesh, India
13. William A. Cox, Md, Early Postmorterm Changes and Tima Of Death Forensic
Pathologist, December 22, 2009
14. University of Dundee: Department of Forensic Medicine , POSTMORTEM
CHANGES AND TIME OF DEATH, 2006
15. On Maggots and Murders, Forensic Entomology, 2011
16. Amri Amir Sp. F(K). 2005. Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik. Entomologi
Forensik. ed. 2.Medan. Percetakan Ramadhan, 226- 233
http://www.scienceinschool.org/repository/docs/issue2_forensic.pdf
(Akses pada 29 April 2017)
18. Forensic Entomology. 2011. Insects in Legal Investigations.
Diakses dari situs:
http://www.forensicentomology.com/definition.htm
(Akses pada 29 April 2017)
19. Red River College. 2011. Entomology.
Diakses dari situs:
http://xnet.rrc.mb.ca/davidb/entomology.htm
(Akses pada 29 April 2017)
LAMPIRAN