OLEH :
FADILAH IRSANDI
1213.20.1903
EKA MAHENDRA
1213.19.1971
2023/2024
KATA PENGANTAR
Makalah “Aborsi dalam Pandangan Hukum Islam” ini, disusun dalam rangka
memenuhi tugas harian mata kuliah “Masa’il Fiqhiyah” bimbingan oleh H.
Muhammad Mursyid M.Pd.I sekaligus kontribusi pemakalah dalam rangka ikut
mengembangkan khazanah keilmuan dalam dunia Islam.
Mohon maaf jika isi yang kurang sesuai, sifat manusiawi yang melekat dalam
fitrah saya pribadi, tentu makalah ini masih banyak terdapat ruang kosong untuk
sama-sama kita sempurnakan sehingga makalah ini menjadi makalah yang sempurna.
Pemakalah
2
KATA PENGANTAR.......................................................................................................2
BAB I.................................................................................................................................3
PENDAHULUAN.............................................................................................................3
A. Latar Belakang...........................................................................................................3
B. Rumusan Masalah......................................................................................................3
C. Tujuan........................................................................................................................3
BAB II...............................................................................................................................4
PEMBAHASAN................................................................................................................4
A. Pengertian Bedah Mayat........................................................................................4
B. Tujuan bedah mayat...............................................................................................4
C. Sebab-sebab yang Memungkinkan untuk di lakukan proses bedah mayat..............6
D. Tinjauan Hukum Islam terhadap bedah mayat.......................................................8
E. Tinjauan hukum yang berlaku di Indonesia terhadap bedah mayat........................9
F. Tinjauan Etika yang berlaku mengenai Bedah Mayat..........................................11
BAB III............................................................................................................................12
PENUTUP.......................................................................................................................12
A. Kesimpulan..............................................................................................................12
B. Saran........................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................13
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu pengetahuan di masa kini sangatlah berbeda dari pengetahuan zaman
dahulu kala. Seiring dengan majunya pengembangan teknologi dan ilmu
pengetahuan, didapatkan dari hasil trial and eror. Dari sinilah para ahli
menemukan hal hal yang baru. Begitu juga halnya di dalam bidang kesehatan,
untuk mendapatkan sesuatu dibutuhkan pengorbanan atau sesuatu yang di jadikan
penelitian.
Sejarah medis telah mencatat bahwa otopsi mayat, atau dengan kata lain
ilmu kedokteran forensik mulai diperkenalkan dari Negara Arab, kemudian
berkembang ke Yunani dan negara-negara barat seterusnya ke seluruh dunia.
Perkembangan kemajuan ilmu kedokteran dalam ilmu bedah adalah berbasis
kepada keilmuan yang dibawa oleh Ibnu Sina. Perkembangan dari waktu ke waktu
melalui penelitian dan studi ilmuwan medis telah menghasilkan teknologi modern
dalam ilmu otopsi mayat dengan cara lebih ilmiah untuk menemukan keadilan
yang diinginkan.
Pada abad ke 21 ini, otopsi mayat adalah satu hal yang tidak dapat
dihindari dan tidak asing di kalangan umat Islam. Ini karena ia adalah tindakan
yang harus diambil dan dilakukan untuk kepentingan masyarakat seperti untuk
menyelesaikan kasus kriminal atau bukan kasus kriminal serta penelitian dalam
bidang medis. Walau bagaimana pun dalam urusan otopsi mayat, Islam telah
menetapkan beberapa pedoman yang harus diikuti agar tidak timbul kontradiksi
antara klaim Islam dengan praktek yang dilakukan dalam bidang medis.
B. Rumusan Masalah
1. Etika apa saja yang harus di lakukan pada saat proses pembedah mayat
secara umum?
2. Membedah Mayat Dalam presektif Islam
3. Ada sebuah hadist yang hadits yang berbunyi : ”Memecahkan tulang
orang mati itu sama dengan memecahkan tulangnya ketika masih hidup dalam
hal dosanya”, bagaimana tanggapan hadits tersebut secara umum ?
C. Tujuan
1. Mengetahui tujuan di lakukannya bedah mayat.
2. Mengetahui kaitan antara etika, hukum, dan agama dalam bidang bedah
mayat.
4
BAB II
PEMBAHASAN
1
Hasan, Muhamad Ali. 1997. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah. Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada.
5
dilakukan pengobatan secara intensif terlebih dahulu semasa hidupnya dan untuk
mengetahui secara pasti jenis penyakit mayat yang tidak diketahui secara
sempurna selama dia sakit. Dengan melakukan otopsi ini seorang dokter dapat
mengetahui penyakit yang menyebabkan kematian jenazah tersebut, sehingga
kalau memang itu suatu wabah dan di khawatirkan akan menyebar bisa segera
diambil tindakan preventif, demi kemashlahatan.
6
C. Sebab-sebab yang Memungkinkan untuk di lakukan proses bedah
mayat
Banyak kemungkinan yang dapat terjadi sehingga terjadinya pembedahan
pada mayat. Kemungkinan terjadinya pembedahan mayat dapat disebabkan oleh :
a. Untuk mengeluarkan janin
Pada prinsipnya ajaran Islam meberikan tuntunan pada umatnya agar
selalu berijtihad dalam hal-hal yang tidak ada ditemukan nashnya dan sebagai
landasannya adalah firman Allah dalam surat al-Hajj ayat 78:Artinya:“Dan
berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. dia
Telah memilih kamu dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu kesempitan
dalam agama …….”
2
Al-Suyuthi, Imam. 2005. Al-Asybah wa al-Nazhair fi Qawaid wa Furu fiqh
al-Syafi’i, tahqiq oleh Muhammad Hasan Islamil al-Syafi’i, Juz I, Beirut:
Dar al-Kutub Ilmiyah
7
Dalam keadaan mati, orang tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Oleh karena
itu orang hiduplah yang berkewajiban untuk menolongnya, terutama sekali
keluarganya yang harus memprakarsai pembedahannya untuk mengeluarkan
barang milik orang lain tersebut dari perutnya guna mengembalikan kepada
pemiliknya. Dalam hal seperti di atas tidak ada cara lain yang bisa ditempuh
kecuali dengan membedah mayat itu untuk mengeluarkan barang yang ada di
perut mayat.
8
dalam ilmu kedokteran tersebut, tentu dengan jalan praktek langsung terhadap
manusia. Otopsi menurut teori kedokteran atau bedah mayat, merupakan syarat
yang amat penting bagi seorang calon dokter, dalam memanfaatkan ilmunya
kelak. Sekiranya mayat itu memang diperlukan sabagai sarana penelitian untuk
mengembangkan ilmu kedokteran, maka menurut hukum Islam, hal ini
dibolehkan, karena pengembangan ilmu kedokteran bertujuan untuk
mensejahterakan umat manusia.
Dan dalam Surat Al-anbiya Ayat 35 yang Artinya: “Setiap yang bernyawa
itu akan mengalami mati, Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan
kebaikan sebagai cobaan. Dan kamu akan dikembalikan hanya kepada Kami.”.
Dalam ayat tersebut diterangkan bahwa Allah SWT menyatakan bahwa setiap
yang bernyawa akan mengalami kematian, dengan kematian itu akan diuji unsur
kejahatan dan kebaikan dan ayat ini sangat berkaitan dengan pernyataan Allah
SWT bahwa manusia adalah makhluk mulia. Yakni dalam Surat Al-Isra’ Ayat 70.
Artinya: “Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak Adam, dan Kami angkut
mereka di darat dan di laut dan Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan
Kami lebihkan mereka diatas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan
kelebihan yang sempurna.”.3
3
Kamal, Mahmud. 1991. Bedah Mayat dari Segi Hukum Islam. Jakarta : Pustaka
Panjimas.
9
Contoh konkretnya adalah orang yang sakit perlu bertanya kepada dokter
tentang penyakitnya agar bisa diobati. Hukum bedah mayat dengan tujuan
anatomis dan klinis dapat berpedoman kepada hadits Rasulullah SAW yang
menganjurkan untuk berobat, karena setiap penyakit ada obatnya. (H.R. Abu
Daud dari Abu Darda). Hadits ini juga mengandung anjuran untuk
mengembangkan ilmu kesehatan, seperti bedah mayat untuk mengantisipasi
penyakit yang belum ditemukan obatnya pada saat itu. Sedangkan bedah mayat
dengan tujuan forensik merupakan salah satu upaya menetapkan hukum secara
adil adalah wajib hukumnya. Ini berdasarkan Firman Allah SWT Surat An-Nisa
Ayat 58 yang Artinya: “Sungguh Allah menyuruhmu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum
diantara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh : Allah
sebaik-baiknya yang memberi pengajaran kepadamu, sungguh, Allah Maha
Mendengar, Maha Melihat.”.
Jadi pembedahan mayat dengan tujuan sebagai alat bukti dalam tindak
pidana dapat dibenarkan. Sebab alat bukti merupakan salah satu unsur dalam
proses perkara di pengadilan.
4
Mahjuddin. 2005. Masailul Fiqhiyah :Berbagai Kasus yang dihadapi “Hukum
Islam”masa Kini, Jakarta : Kalam Mulia
10
Tanda kematian merupakan cara yang digunakan untuk menentukan
seseorang telah benar-benar mati, banyak pendapat yang mendefinisikan tanda
kematian (sign of death) ini tetapi yang lebih penting untuk diamati dari berbagai
tanda kematian ada tiga macam yaitu lebam mayat (livoris mortis), kaku mayat
(rigor mortis), dan penurunan suhu mayat (algor mortis). Kepentingan dari
observasi pada tiga hal ini adalah untuk menentukan sebab kematian, cara
kematian, dan waktu atau saat kematian.
11
2. Dalam hal keluarga keberatan penyidik wajib menerangkan dengan
jelasnya tentang maksud dan tujuan perlu dilakukannya pembedahan
tersebut.
3. Apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga
atau pihak yang perlu diberitahu tidak diketemukan penyidik segera
melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 133
ayat 3 Undang-undang ini.
Selain itu diperkuat juga oleh Pasal 133 dari Undang-undang tersebut
berbunyi sebagai berikut:
Bedah Mayat tidak hanya berkaitan dengan agama dan hukum yang
berlaku saja.Etika juga berlaku dalam proses pembedahan mayat. Etika
adalahPemerintah telah memutuskan melalui Peraturan Pemerintah RI No.18
Tahun 1981 Tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta
Transplantasi Alat Dan/Atau Jaringan Tubuh Manusia , bahwa bedah mayat klinis
hanya boleh di lakukan dalam keadaan sebagai berikut :
Pasal 2
a. Dengan persetujuan penulis penderita dan atau keluarganya yang
terdekat setelah penderita meninggal dunia, apabila sebab kematiannya
belum dapat di tentukan secara pasti.
12
b. Tanpa persetujuan penderita atau keluarganya yang terdekat, apabila di
duga penderita menderita penyakit yang dapat membahayakan orang
lain atau masyarakat sekitarnya.
c. Tanpa persetujuan penderita atau keluarganya terdekat, apabila dalam
jangka waktu 2x24 jam tidak ada keluarga terdekat dari yang
meninggal dunia datang ke rumah sakit
Pasal 3
Bedah mayat klinis hanya di lakukan di ruangan dalam rumah sakit yang
disediakan untuk keperluan itu.
Pasal 4
Perawatan mayat sebelum, selama, dan sesudah bedah mayat klinis di
laksanakan sesuai dengan masing-masing agama dan kepercayaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa dan di atur oleh Menteri Kesehatan.5
5
Hubais, Umar, 1993. Fatwa, Menjawab Masalah-masalah Keagamaan Masa
Kini, cet 7, Jakarta: PT. Al-Irsyad
13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Bedah mayat adalah suatu tindakan dokter ahli untuk membedah mayat
karena dilandasi oleh suatu maksud atau kepentingan-kepentingan tertentu
seperti: kepentingan penegakkan hukum; menyelamatkan janin yang
masih hidup di dalam rahim mayat; untuk mengeluarkan benda yang
berharga dari mayat; dan untuk keperluan penelitian ilmu kedokteran.
Tindakan pembedahan yang didasari oleh motif-motif tersebut dibolehkan
dalam ajaran Islam, bahkan bisa dihukumkan wajib apabila keperluan
bedah itu menempati level hajat atau darurat. Namun pada proses
pembedahan mayat tetap harus mematuhi etika yang telah di
tetapkan,selain itu diwajibkan pula untuk menjaga kerahasiaan,
menghormati dan memuliakan mayat serta menyegerakan proses autopsi
serta mendapatkan izin dari ahli waris tentunya.
2. Hadits yang melarang memecahkan tulang mayat atau dengan kata lain
merusak mayat dalam pemaknaan penulis adalah apabila bedah mayat atau
autopsi yang dilakukan seseorang tersebut dilakukan tanpa tujuan yang
benar, maka hukumnya haram. Termasuk pula bila pembedahan mayat itu
melampaui batas dari tujuan yang dibutuhkan
B. Saran
14
DAFTAR PUSTAKA
Kamal, Mahmud. 1991. Bedah Mayat dari Segi Hukum Islam. Jakarta : Pustaka
Panjimas.
15