Anda di halaman 1dari 44

M.

K : Etika dan Hukum Kesehatan

ASPEK HUKUM DALAM PELAKSANAAN


EUTHANASIA DAN ABORSI DI INDONESIA

By ; Team II

Oleh
KELOMPOK II :

Kamelia R (R012182018)
Andi Ririn Latif (R012182014)
Selviani Ice Rerung (R012182008)
M. Alfian Rajab (R012182004)

PRODI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2018

i
KATA PENGANTAR

“Alhamdulillahi Robbil Alamin” penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT


atas segala nikmat rahmat serta hidayah-Nya. yang telah diberikan kepada penulis
sehingga dapat menyelesaikan Makalah “Aspek Hukum Dalam Pelaksanaan
Euthanasia Dan Aborsi Di Indonesia” sebagai salah satu tugas pada mata kuliah
Etika dan Hukum Kesehatan.

Teriring salam dan shalawat kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW.
sebagai Uswatun Hasanah beserta keluarga dan para sahabatnya yang merupakan
panutan umat manusia di muka bumi.
Dalam penyusunan makalah ini tentunya jauh dari kesempurnaan, sehingga
penulis sangat mengharapkan masukan, saran, dan kritikan yang bersifat
membangun guna kesempurnaan makalah ini.

Sekian dan terimakasih.

Makassar, Maret 2019

Penulis,

ii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL......................................................................................... i
KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah.......................................................................... 4
C. Tujuan Penulisan Makalah.............................................................. 4
D. Manfaat Penulisan Makalah............................................................ 4
BAB II PEMBAHASAN
A. Konsep Kematian Dalam Kesehatan.............................................. 5
B. Konsep Euthanasia ........................................................................ 8
1. Pengertian.................................................................................. 8
2. Klasifikasi................................................................................... 9
3. Aspek Hukum Dalam Penatalaksanaan Euthanasia
Di Indonesia............................................................................... 13
4. Euthanasia Di Beberapa Negara Di Dunia................................. 17
C. Konsep Aborsi................................................................................. 20
1. Sejarah Aborsi........................................................................... 20
2. Pengertian Aborsi...................................................................... 21
3. Indikasi Aborsi............................................................................ 22
4. Pandangan Agama Tentang Aborsi........................................... 22
5. Aspek Hukum Aborsi Di Indonesia............................................ 23
6. Aborsi Di Beberapa Negara Di Dunia........................................ 34
7. Pencegahan Dan Penyelesaian Tindakan Abortus.................... 36
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan..................................................................................... 38
B. Saran............................................................................................... 38
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam kehidupan setiap makhluk hidup pasti mengalami siklus
kehidupan yang diawali dengan proses-proses kehidupan yang dimulai dari
proses pembuahan, kelahiran, kehidupan di dunia, dan diakhiri dengan
kematian. Dalam proses tersebut, kematian memiliki misteri besar yang belum
ditemukan oleh ilmu pengetahuan. Secara umum, kematian adalah suatu hal
yang ditakuti oleh masyarakat luas dikarenakan pada dasarnya manusia
mempunyai hasrat untuk hidup. Oleh karena itu diperlukan kaedah-kaedah
yang mengatur kehidupan manusia, salah satu masalah yang diatur dalam
KUHP yang berlaku di Indonesia terkait proses kehidupan adalah masalah
euthanasia dan aborsi, saat ini telah diatur lebih lanjut dalam undang-undang
kesehatan nomor 36 tahun 2009 dan PMK No. 37 Tahun 2014.
Dalam konteks kesehatan modern, kematian tidaklah selalu menjadi
sesuatu yang datang secara tiba-tiba. Kematian dapat dilegalisir menjadi
sesuatu yang definit dan dapat ditentukan tanggal kejadiannya. Tindakan
membunuh bisa dilakukan secara legal dan dapat diprediksi waktu dan
tempatnya itulah yang selama ini disebut dengan euthanasia, pembunuhan yang
sampai saat ini masih menjadi kontroversi dan belum bisa diatasi dengan baik
atau dicapainya kesepakatan yang diterima oleh berbagai pihak. Di satu pihak,
tindakan euthanasia pada berbagai kasus dan keadaan memang diperlukan.
Sementara di lain pihak, tindakan ini tidak diterima karena bertentangan
dengan hukum, moral, dan agama (Pradjonggo, 2016).
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti ini menimbulkan
dampak tehadap nilai-nilai etik/moral, agama, hukum, sosial, budaya dan aspek
lainnya. Tenaga medis dalam situasi seperti ini dihadapkan dalam dilema, dalam
hal apakah mereka mempunyai hak hukum untuk mengakhiri hidup pasien
dengan alasan atas permintaan pasien sendiri atau pihak keluarga, tetapi tanpa
membuat tenaga medis itu sendiri menghadapi suatu konsekuensi hukum.
Tenaga medis merasa mempunyai tanggung jawab untuk membantu
menyembuhkan penyakit pasien, sedangkan dipihak lain, pengetahuan dan

1
kesadaran masyarakat terhadap hak-hak individu juga sudah sangat berubah.
(Pradjonggo, 2016 ; Paulus, 2013)
Dalam konteks Indonesia, regulasi mengenai euthanasia belum diatur
secara spesifik dan tegas dan hal ini masih menjadi perdebatan. Pihak yang
menyetujui tindakan euthanasia beralasan bahwa setiap manusia memiliki hak
untuk hidup dan hak untuk mengakhiri hidupnya dengan segera dan hal ini
dilakukan dengan alasan yang cukup mendukung, yaitu alasan kemanusiaan.
Dengan keadaan pasien yang tidak lagi memungkinkan untuk sembuh atau
bahkan hidup, maka ia dapat melakukan permohonan untuk segera diakhiri
hidupnya. Sementara sebagian pihak yang tidak memperbolehkan euthanasia
beralasan bahwa setiap manusia tidak memiliki hak untuk mengakhiri hidupnya
karena masalah hidup dan mati adalah kekuasaan mutlak Tuhan yang tidak
bisa diganggu gugat oleh manusia. Secara umum, argumen pihak anti
euthanasia adalah kita harus mendukung seseorang untuk hidup, bukan
menciptakan struktur yang mengizinkan mereka untuk mati. (Hilman, 2004).
Sedangkan persoalan aborsi menjadi topik hangat yang selalu menarik untuk
diperdebatkan, proses legislasi dan regulasi tentang aborsi tidak mampu
meredam beda pendapat yang mengemuka. Seperti aborsi kasus kehamilan
yang tak diinginkan (KTD) yang belakangan kembali mengemuka pasca
disahkannya PP No. 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi tertanggal
21 Juli 2014. Salah satu poin kontroversial dalam PP ini adalah legalisasi aborsi
bagi korban perkosaan. (Wijayati, 2015)
Membicarakan euthanasia maupun aborsi tidak lepas dari apa yang
disebut hak untuk menentukan nasib sendiri (the right self of determination)
pada diri pasien. Hak ini merupakan salah satu unsur utama dari hak asasi
manusia. Kemajuan cara berpikir masyarakat telah menimbulkan kesadaran-
kesadaran baru mengenai hak-hak tersebut. Demikian pula dengan berbagai
perkembangan ilmu dan teknologi (khususnya dalam bidang kedokteran), telah
mengakibatkan perubahan yang sangat dramatis dan berarti atas pemahaman
mengenai euthanasia maupun aborsi. Namun uniknya, kemajuan dan
perkembangan yang sangat pesat tadi rupanya tidak pernah diikuti oleh
perkembangan dalam bidang hukum dan etika. (Haryadi, 2012)

2
Meski tidak secara tegas diatur, euthanasia maupun aborsi juga dianggap
telah melanggar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yakni dalam Pasal 344
KUHP yang bunyinya:
“Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang
itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati,
diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. 7 ”
Secara umum sebenarnya hukum tidak memberikan rumusan yang tegas
mengenai kematian seseorang. Hanya, disebutkan bahwa kematian adalah
hilangnya nyawa seseorang, namun tidak ada penjelasan lebih lanjut. Padahal,
dengan kemajuan iptek kedokteran masa kini, detak jantung dan napas
seseorang dapat terus dipertahankan karena fungsi otonomnya (dengan
bantuan peralatan medis tertentu), walaupun sebenarnya otak atau batang
otaknya telah berhenti berfungsi. Inilah yang di kalangan medis dikenal sebagai
keadaan vegetatif (vegetative state). (Paulus, 2013)
Aturan hukum mengenai euthanasia maupun aborsi berbeda-beda di tiap
negara dan seringkali berubah seiring dengan perubahan norma-norma budaya
maupun ketersediaan perawatan atau tindakan medis. Oleh karena sensitifnya
isu ini, pembatasan dan prosedur yang jelas harus dapat selalu diterapkan tanpa
memandang status hukumnya. Masalah yang berkaitan dengan euthanasia
maupun aborsi ini akan terus menjadi suatu perdebatan. Karena masalah
euthanasia ini menyangkut dengan soal keselamatan dari jiwa manusia, maka
sebaiknya harus dapat dibuat undang-undang atau pengaturan yang jelas
mengenai euthanasia.
Dalam memandang kasus seperti ini kita memandang dari dua sisi, yaitu
pertama, pasien memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri dan
mempunyai hak untuk menolak perawatan, hal ini merupakan hak dasar yang
tercantum di dalam UU HAM dan UU Kesehatan. Kedua, dokter mempunyai
kewajiban bahwa di dalam menjalankan hak dan kebebasanya sebagai seorang
dokter hendaknya menghormati hak dan kebebasan yang digunakan pasien
untuk memenuhi tuntuntan yang adil sesuai dengan pertimbangan etik-moral.

3
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada makalah ini adalah bagaimana Aspek Hukum
dalam pelaksanaan Euthanasia dan Aborsi di Indonesia?
C. Tujuan Penulisan Makalah
1. Menjelaskan Aspek Hukum dalam pelaksanaan Euthanasia di Indonesia?
2. Menjelaskan Aspek Hukum dalam pelaksanaan Aborsi di Indonesia?
D. Manfaat Penulisan Makalah
Manfaat dari penulisan makalah ini diharapkan bagi seluruh insan
akademika dan praktisi dalam bidang keperawatan mendapatkan informasi yang
berhubungan dengan Aspek Hukum dalam pelaksanaan Euthanasia dan Aborsi
di Indonesia sehingga dapat dijadikan pertimbangan dalam pelaksanaan
kesehatan.

4
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Konsep Kematian Dalam Kesehatan


Untuk dapat memahami lebih jauh tentang euthanasia maupun aborsi,
kita perlu memahami tentang konsep kematian. Kematian dalam ilmu
kedokteran atau medis dipelajari dalam suatu disiplin ilmu yang disebut
dengan ilmu thanatologi. Ilmu thanatologi merupakan cabang dari ilmu
kedokteran forensik yang mempelajari kepentingan peradilan dan penegakan
hukum. Thanatologi berasal dari dua buah kata, yaitu “thanatos” yang berarti
mati dan “logos” yang berarti ilmu. Jadi, thanatologi adalah ilmu yang
mempelajari segala macam aspek yang berkaitan dengan mati (Dahlan,
2007).
Sebelum membahas definisi mati, perlu dipahami bahwa menurut ilmu
kedokteran, manusia memiliki dua dimensi, yaitu sebagai individu dan
sebagai kumpulan dari berbagai macam sel. Oleh karena itu, kematian
manusia juga dapat dilihat dari kedua dimensi tersebut, dengan catatan
bahwa kematian sel (celluler death) akibat ketiadaan oksigen baru akan
terjadi setelah kematian manusia sebagai individu (somatic death).
Dari keterangan tersebut, maka definisi mati atau kematian dalam ilmu
kedokteran ialah hilangnya secara permanen semua tanda-tanda kehidupan
pada setiap waktu setelah kelahiran hidup, yakni lenyapnya fungsi-fungsi
hidup sesudah dilahirkan, tanpa kemungkinan resusitasi53 (death is the
permanent dissaperance of all evidence of life of any time after live birth has
taken place, post natal cessation of vital function without capability of
resuscitation) (Dahlan, 2007).
Dapat disimpulkan bahwa kematian adalah keadaan seseorang yang
keseluruhan alat-alat vitalnya (jantung, paru-paru dan otak) telang hilang atau
berhenti secara permanen. Sehingga, apabila alat-alat vital tersebut telah
berhenti, maka seluruh organ atau sel dalam tubuh akan turut berhenti dan
mengakibatkan jasad seseorang tidak bisa bekerja sebagaimana biasa yang
akhirnya mengalami kematian.

5
Dalam ilmu thanatologi, dikenal dua macam kematian, yakni kematian
biologis dan kematian klinis. Kematian biologis adalah kematian seseorang
yang benar-benar nyata, di mana tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan
secara nyata. Sedangkan kematian klinis adalah kematian seseorang yang
hanya bersifat sementara, karena keadaan tubuhnya hanya berada pada
tingkat yang paling minimal untuk mempertahankan kehidupan, sehingga
tanda-tanda kliniknya tampak seperti sudah mati, yang juga disebut dengan
mati suri.
Adapun istilah-istilah kematian dalam kedokteran di antaranya: (Dahlan,
2007)
a) Mati Somatis (Somatich Death)
Yakni keadaan terhentinya semua fungsi alat-alat vital. Alat-alat
vital tersebut adalah sistem penunjang kehidupan, yaitu susunan saraf
pusat, sistem kardiovaskuler dan sistem pernapasan secara menetap.
b) Mati Seluler (Celluler Death)
Kematian seluler merupakan kematian akibat berhentinya
konsumsi oksigen ke seluruh jaringan tubuh, yang mengakibatkan sel-
sel yang merupakan elemen hidup terkecil pembentuk manusia
mengalami kematian. Otot masih dapat dirangsang listrik sampai ± 2
jam pasca kematian dan mengalami mati seluler setelah 4 jam.
c) Mati Serebral (Cerebral Death)
Dalam beberapa dekade belakangan ini, definisi kematian
menjadi lebih kompleks. Hal ini dikarenakan kemajuan dalam teknologi
medis yang telah memperumit definisi kematian. Kontroversi terus
berlanjut berkisar mengenai kriteria apa yang seharusnya digunakan
untuk menentukan seeorang mati. Misalnya, dengan ditemukannya
respirator (alat napas buatan) yang dapat mempertahankan fungsi
paru-paru dan jantung, maka kriteria tradisional tidak dapat dilakukan
terhadap pasien-pasien yang menggunakan alat tersebut.
d) Mati Batang Otak (Brain Steam Death)
Berhentinya fungsi-fungsi otak yang tinggi maupun yang rendah,
namun beberapa ahli medis menyatakan bahwa sekalipun bagian otak
yang rendah masih berfungsi, individu seharusnya dinyatakan mati,

6
karena fungsi otak yang tertinggi yang membuatnya menjadi
“manusia”.
Konsep terakhir untuk menentukan diagnosis mati otak diperbaiki lagi
menjadi “brain Stem Death Is Death” yakni mati batang otak. Perbaikan ini
berangkat dari pemikiran bahwa:
1) Mustahil dapat mendiagnosis brain death dengan memeriksa
seluruh fungsi otak dalam keadaan koma, mengingat fungsi-
fungsi tertentu dari otak (melihat, mencium, mendengar, fungsi
serebeler dan beberapa fungsi kortek) hanya dapat diperiksa
dalam keadaan kompos mentis.
2) Proses brain death tidak terjadi serentak, tetapi bertahap
mengingat resistensi101 yang berbeda- beda dari berbagai
bagian otak terhadap ketiadaan oksigen. Dalam hal ini brain stem
(batang otak) merupakan bagian yang paling tahan dibandingkan
kortek dan thalamus.
3) Brain stem merupakan bagian otak yang mengatur fungsi vital,
terutama pernapasan.
e) Mati Suri (Apparent/ Clinical Death)
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, mati suri dikatakan
sebagai mati samar, tampaknya sudah mati, tetapi nyatanya belum.129
Dalam ilmu kedokteran, mati suri didiagnosa dengan terhentinya ketiga
sistem penunjang kehidupan (jantung, paru-paru dan otak) yang
ditentukan oleh alat kedokteran sederhana. Mati suri adalah suatu
keadaan yang mirip dengan kematian somatis, akan tetapi gangguan
yang terdapat pada ketiga sistem tersebut bersifat sementara.
Dalam hal ini tenaga kesehatan harus memperjelas arti kematian yang
dapat diterima masyarakat Ta’adi, (2015) membagi kematian menjadi 4
kategori yaitu:
a) Mati sebagai berhentinya darah mengalir. Konsep ini bertolak dari kriteria
mati berupa berhentinya kerja jantung, yaitu organ yang memompa darah
untuk mengalir ke seluruh tubuh. Dalam peraturan pemerintah No. 18
Tahun 1981 dinyatakan bahwa mati adalah berhentinya fungsi jantung
dan paru.

7
b) Mati sebagai terlepasnya nyawa dari tubuh. Pada umumnya, banyak
orang yang berasumsi bahwa nyawa terlepas dari tubuh ketika darah
berhenti mengalir.
c) Hilangnya kemampuan tubuh secara permanen. Dalam defenisi ini, fungsi
organ tubuh yang semula bekerja terpadu, kini berfungsi sendiri tanpa
terkendali karena fungsi pengendali otak rusak dan tidak mampu
mengendalikan lagi.
d) Hilangnya kemampuan manusia secara permanen untuk kembali sadar
dan melakukan interaksi sosial. Konsep ini dikembangkan dari konsep
yang ketiga, namun dengan penekanan nilai moral, yaitu memperhatikan
fungsi manusia sebagai individu yang memiliki kepribadian, menyadari
kehidupannya, kekhususannya, kemampuan mengingat, menentukan
sikap, dan mengambil keputusan dan sebagainya.
B. Konsep Euthanasia
1. Pengertian Euthanasia
Kata yunani eu artinya baik, sedangkan thanatos berarti mati atau
meninggal. Suetonius dalam bukunya Vitaceasarum merumuskan bahwa
Euthanasia adalah mati cepat tanpa derita. Perkembangan selanjutnya istilah
euthanasia diartikan sebagai pengakhiran kehidupan karena belas kasihan
(mercy killing) dan membiarkan seseorang untuk mati (mercy deadth). Ada
juga yang mengartikan sebagai a good or happy deadth (Tribowo, 2014).
Istilah Euthanasia secara etimologis, berasal dari kata Yunani yaitu eu
dan thanatos yang berarti “mati yang baik” atau “mati dalam keadaan tenang
atau senang”. Dalam bahasa inggris sering disebut Marc Killing, sedangkan
menurut “Encyclopedia American mencantumkan Euthanasia ISSN the
practice of ending life in other to give release from incurable sufferering”. Di
Belanda disebutkan bahwa Euthanasia adalah dengan sengaja tidak
melakukan suatu usaha (nalaten) untuk memperpanjang hidup seorang
pasien atau sengaja tidak melakukan sesuatu untuk memperpendek atau
mengakhiri hidup seorang pasien, dan semua ini dilakukan khusus untuk
kepentingan pasien itu sendiri (Tribowo, 2014).
Euthanasia dapat juga didefinisikan sebagai tindakan mengakhiri hidup
seorang individu secara tidak menyakitkan, ketika tindakan tersebut dapat
dikatakan sebagai bantuan untuk meringankan penderitaan dari individu yang
8
akan mengakhiri hidupnya, Euthanasia menunjukan tenaga medis untuk
membantu para pasien supaya dapat meninggal dengan baik, tanpa
penderitaan yang besar (Tribowo, 2014).
Dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), dikenal 3
pengertian yang berkaitan dengan euthanasia, yaitu :
a. Berpindah ke alam baka dengan tenang dan aman, tanpa penderitaan,
untuk yang beriman dengan nama Allah di bibir.
b. Ketika hidup berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberikan
obat penenang.
c. Mengakhiri derita dan hidup seseorang yang sakit dengan sengaja atas
permintaan pasien sendiri dan keluarganya.
2. Klasifikasi Euthanasia
Menurut (Sutarno, 2014), Secara umum ada 3 jenis euthanasia, yaitu :
a. Euthanasia aktif
Euthanasia aktif yaitu perbuatan yang dilakukan secara aktif oleh
dokter untuk mengakhiri hidup pasien yang dilakukan secara medis.
Biasanya dilakukan dengan penggunaan obat-obatan yang bekerja cepat
dan mematikan dan Euthanasia aktif dilakukan dengan menghentikan
segala alat-alat pembantu dalam perawatan, sehingga jantung dan
pernafasan tidak dapat bekerja dan akan berhenti berfungsi, atau
memberikan obat penenang dengan dosis yang melebihi, yang juga akan
menghentikan fungsi jantung
Euthanasia aktif terbagi menjadi dua golongan :
1) Euthanasia aktif langsung, yaitu cara pengakhiran kehidupan melalui
tindakan medis yang diperhitungkan akan langsung mengakhiri hidup
pasien. Misalnya dengan memberi tablet sianida atau suntikan zat yang
segera mematikan.
2) Euthanasia aktif tidak langsung, yang menunjukkan bahwa tindakan
medis yang dilakukan tidak akan langsung mengakhiri hidup pasien,
tetapi diketahui bahwa risiko tindakan tersebut dapat mengakhiri hidup
pasien. Misalnya, mencabut oksigen atau alat bantu kehidupan lainnya
b. Euthanasia Pasif
Euthanasia pasif yaitu secara sengaja tidak (lagi) memberikan
perawatan atau bantuan medik yang dapat memperpanjang hidup
9
penderita. Dalam hal ini bukan berarti tindakan perawatan dihentikan
sama sekali, melainkan tetap diberikan dengan maksud untuk membantu
pasien dalam fase hidupnya yang terakhir. Euthanasia pasif yang
dilakukan atas permintaan dapat dinamakan “Auto Euthanasia”.
Pengertian euthanasia pasif adalah suatu keadaan dimana seorang
pasien, dengan sadar menolak secara tegas untuk menerima perawatan
medis. Bahkan dalam hal ini ia menyadari bahwa sikapnya itu akan dapat
memperpendek atau mengakhiri hidupnya sendiri.
Euthanasia pasif, dokter tidak memberikan bantuan secara aktif bagi
mempercepat proses kematian pasien. Apabila seorang pasien menderita
penyakit dalam stadium terminal, yang menurut pendapat dokter tidak
mungkin lagi disembuhkan, maka kadang-kadang pihak keluarga, karena
tidak tega melihat salah seorang anggota keluarganya berlama-lama
menderita di rumah sakit, lantas mereka meminta kepada dokter untuk
menghentikan pengobatan. Tindakan penghentian pengobatan ini
termasuk kepada Euthanasia pasif. Euthanasia pasif banyak dilakukan di
Indonesia atas permintaan keluarga setelah mendengar penjelasan dan
pertimbangan dari dokter, bahwa pasien yang bersangkutan sudah sangat
tidak mungkin disembuhkan. Biasanya keluarga pasien memilih untuk
membawa pulang pasien tersebut, dengan harapan ia meninggal dengan
tenang dilingkungan keluarganya.
Tujuan Euthanasia pasif adalah menghentikan penderitaan pasien,
sedangkan tujuan perawatan paliatif juga memberikan kenyamanan
pasien dalam menghadapi kematian. Jadi sebetulnya tindakan pada
perawatan paliatif sedikit banyak ada yang dapat digolongkan kedalam
Euthanasia pasif, atau bahkan Euthanasia aktif tidak langsung. Memang
dalam hal pembicaraan perawatan paliatif sangat ditekankan kualitas
hidup dari pasien. Pada stadium lanjut, pasien dengan penyakit kronis
tidak hanya mengalami berbagai masalah fisik seperti nyeri, sesak nafas,
penurunan berat badan, gangguan aktifitas tetapi juga mengalami
gangguan psikososial dan spiritual yang mempengaruhi kualitas hidup
pasien dan keluarganya. Maka kebutuhan pasien pada stadium lanjut
suatu penyakit tidak hanya pemenuhan atau pengobatan gejala fisik,
namun juga pentingnya dukungan terhadap kebutuhan psikologis, sosial
10
dan spiritual yang dilakukan dengan pendekatan interdisiplin yang dikenal
sebagai perawatan paliatif.
Pengertian perawatan paliatif berdasarkan Keputusan Menteri
Kesehatan No.812/Menkes/SK/VII/2007 adalah suatu pendekatan yang
bertujuan memperbaiki kualitas hidup pasien dan keluarga yang
menghadapi masalah yang berhubungan dengan penyakit yang dapat
mengancam jiwa, melalui pencegahan dan peniadaan melalui identifikasi
dini dan penilaian yang tertib serta penanganan nyeri dan masalah-
masalah lain, fisik, psikososial dan spiritual. Masyarakat menganggap
perawatan paliatif hanya untuk pasien dalam kondisi terminal yang akan
segera meninggal. Namun konsep baru perawatan paliatif menekankan
pentingnya integrasi perawatan paliatif dilakukan lebih dini agar masalah
fisik, psikososial dan spiritual dapat diatasi dengan baik.
c. Auto-euthanasia
Auto-euthanasia yaitu penolakan secara tegas oleh pasien untuk
memperoleh bantuan atau perawatan medik terhadap dirinya, dan ia tahu
pasti bahwa hal itu akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya.
Dalam Kongres Hukum Kedokteran Sedunia di gent (Belgia) tahun
1979, Profesor Separovic menyampaikan beberapa kategori, yaitu
a. No assistance in the process of deadth without intention to shorten life.
Contoh : kematian alamiah.
b. Assistance in the process of deadth without intention to shorten life. Dalam
kategori ini terdapat unsur kelalaian (schuld).
c. No assistance in the process of deadth with intention to shorten life.
Euthanasia pasif dapat dimasukkan dalam kategori ini.
d. Assistance in the process of deadth with intention to shorten life. Kategori
ini tidak lain adalah euthanasia aktif.
Kajian dan telaah dari sudut medis, etika-moral maupun hukum oleh
masing-masing pakarnya, akhirnya menyimpulkan adanya beberapa bentuk
pengakhiran kehidupan yang sangat mirip euthanasia, tetapi sebenarnya
ternyata bukan euthanasia. Oleh Profesor Leenen kasus-kasus demikian ini
disebut sebagai Pseduo-Euthanasia dan secara hukum tidak dapat diterapkan
sebagai euthanasia. Dalam bahasa Indonesia, mungkin istilah yang tepat

11
adalah Euthanasia Semu. Bentuk – bentuk euthansia semu sebagaimana
diuraikan oleh Leenen, adalah sebagai berikut :
a. Pengakhiran perawatan medik karena gejala mati otak atau batang otak
Dahulu berakhirnya pernapasan dan detak jantung merupakan
gejala utama yang menentukan kematian seseorang, tetapi dengan
perkembangan kedokteran yang sangat pesat, kini telah dibedakan antara
mati klinis dan mati vegetatif. Juga dengan teknologi kedokteran,
sekarang dimungkinkan jantung dan paru-paru tetap berfungsi (secara
otonom), walaupun fungsi otak telah berhenti. Fungsi berpikir atau
merasakan pada manusia dapat berlangsung jika otak masih berfungsi.
Walaupun pernapasan dan detak jantung masih ada, namun jiika otak
tidak lagi berfungsi maka kehidupan secara intelektual dan psikis /
kejiwaan telah berakhir. Mati otak menjadi tanda bahwa sesroang telah
telah meninggal dunia dalam proses kematian (Sutarno, 2014).
Ilmu hukum menyebutkan tentang mati, namun tidak ada
penjelasan lebih lanjut mengenai hal itu. Teknologi dan ilmu kedokteran
yang berkembang demikian pesat, mendorong perlunya perumusan soal
ini. Dewan kesehatan belanda pada tahun 1974 pernah mengusulkan
kriteria mati otak, yaitu mati : otak mutlak tidak lagi berfungsi dan fungsi
otak mutlak tidak lagi dapat dipulihkan.
Dalam keadaan seperti itu tidak ada tindak euthanasia, karena
sebenarnya pasien telah meninggal dunia dengan tidak berfungsinya
otak, walaupun mungkin pernapasan dan detak jantungnya masih ada
(karena fungsi otonomnya) (Sutarno, 2014).
b. Pasien menolak perawatan atau bantuan medik terhadap dirinya.
Sebagaimana telah disinggung, beberapa pasal KUHPerdata telah
mengatur tentang perikatan/perjanjian, demikian pula syarat-syarat
sahnya perjanjian tersebut (pasal1320). Salah satu syarat yang harus
dipenuhi ialah kehendak bebas, artinya perjanjian itu bebas dari paksaan,
tipuan atau salah pengertian. Selain itu suatu tindakan yang dilakukan
tanpa izin pasien, dapat dikategorikan sebagai penganiayaan
sebagaimana diatur dalam pasal 351 KUHP.
Secara umum dapat dikatakan bahwa dokter tidak berhak
melakukan tindakan apa pun terhadap pasien jika tidak diizinkan atau
12
dikehendaki oleh pasien tersebut. Beberapa ahli berpendapat bahwa jika
pasien tidak memberi izin seperti ini, tetap digolongkan sebagai Auto
Euthanasia, yang hakikatnya adalah euthanasia pasif atas permintaan
pasien.
Kategori yang mirip dengan ini adalah euthanasia aktif tidak
langsung, yakni memberikan obat penenang atau penghilang rasa sakit
dengan dosis terapi setiap kali pasien kesakitan. Tujuan utama langkah
ini ialah sama sekali bukanlah memperpendek hidup pasien, melainkan
mengurangin atau menghilangkan penderitaanya, namun dengan efek
samping / risiko hidupnya dipersingkat (Sutarno, 2014).
3. Aspek Hukum Dalam Pelaksanaan Euthanasia Di Indonesia
Perkembangan Euthanasia di Indonesia dianggap sebagai suatu
bentuk tindak pidana, karena merupakan salah satu bentuk kejahatan
terhadap nyawa, hal ini terbukti dengan adanya pasal di KUHP yang
berkaitan dengan Euthanasia yaitu Pasal 344 KUHP. Indonesia sebagai
negara berasaskan Pancasila, dengan sila pertamanya “ketuhanan yang
maha esa” tidak mungkin menerima tindakan Euthanasia baik Euthanasia
aktif maupun Euthanasia pasif (Sutarno, 2014).
a. Pengaturan Euthanasia Menurut Hukum di Indonesia
Pengaturan Euthanasia menurut hukum di Indonesia berdasarkan
kode etik kedokteran Indonesia, seorang dokter berkewajiban
mempertahankan dan memelihara kehidupan manusia. Bagaimanapun
gawatnya kondisi seorang pasien, setiap dokter harus melindungi dan
mempertahankan hidup pasien tersebut, ini berarti bagaimanapun
gawatnya dan menderitanya seorang pasien, seorang dokter tetap tidak
diperbolehkan melakukan tindakan yang akan berakibat mengakhiri
hidup atau mempercepat kematian pasien tersebut. Pemahaman ini
dapat diambil dari kode etik kedokteran Indonesia Pasal 7d tentang
kewajiban umum yang berbunyi : “Setiap dokter harus senantiasa
mengingat akan kewajiban melindungi hidup mahluk insane” (MNEK IDI).
Dari pemahaman atas Pasal 7d kode etik kedokteran Indonesia
tersebut dapat dikemukakan bahwa berdasarkan etik dan moral,
tindakan Euthanasia itu tidak diperbolehkan. Dalam hubungan ini Oemar

13
Sesno Adji (1985) mengemukakan : “Menurut kode etik itu sendiri, maka
di Indonesia sebagai suatu negara yang beragama dan berpancasila
kepada kekuasaan mutlak dari pada Tuhan yang Maha Esa, sedangkan
dokter harus mengerahkan segala kepandaiannya dan kemampuannya
untuk meringankan penderitaan dan memelihara hidup, tidak untuk
mengakhirinya. Karenanya tidak menginginkan Euthanasia dilakukan
oleh seorang dokter karena antara lain dipandang bertentangan
dengan etik kedokteran itu sendiri dan merupakan pelanggaran terhadap
undang-undang.”
Berdasarkan keterangan tersebut diatas jelaslah bahwa
Euthanasia itu adalah suatu perbuatan yang melanggar hukum atau
merupakan suatu tindak pidana, karena perbuatannya itu mengakibatkan
matinya orang lain, maka Euthanasia itu termasuk tindak pidana
pembunuhan. Dasar hukum untuk larangan Euthanasia tercantum
dalam Pasal 344 KUHP tentang membunuh seseorang atas permintaan
orang tersebut.
b. Sanksi Hukuman Euthanasia Dalam KUHP
Tindakan-tindakan untuk melakukan pembunuhan baik terhadap
diri sendiri maupun orang lain di Indonesia diatur dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP). Ketentuan perundang-undangan
perihal pencabutan nyawa atas permintaan, dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana Indonesia masih dianut sebagai akibat berlakunya asas
konkordansi. Di dalam KUHP masalah tersebut diatur tersendiri dalam
bab “kejahatan” yang ditujukan terhadap jiwa manusia. Sudah tentu
yang dibahas adalah dengan sengaja membunuh orang. Dari istilah
kejahatan dengan sengaja ini mengalami deferensi 2 (dua) arah Menurut
Billy (2008) :
1) Dengan sengaja merampas nyawa seseorang dengan memperberat
pidana,
2) Dilakukan dengan keadaan tertentu yang bisa meringankan
hukumannya.
Sebelumnya melanjutkan bahasan aspek pidana dari euthanasia,
maka penulis kutip beberapa pasal yang berkaitan dengan kejahatan

14
terhadap nyawa dan badan. Diantara pasal-pasal-pasal tersebut adalah
sebagai berikut :
1) Pasal 338 KUHP. “Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa
orang lain, dihukum karena pembunuhan, dengan hukuman penjara
selama-lamanya 15 tahun”.
2) Pasal 340 KUHP. “Barang siapa sengaja dan dengan direncanakan
lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain, dihukum karena
pembunuhan direncanakan (moord), dengan hukuman mati atau
penjara seumur hidup, atau penjara sementara selama-lamanya 20
tahun”.
3) Pasal 344 KUHP. “Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas
permintaan orang itu sendiri yang disebutkan dengan nyata dan
sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun”.
4) Pasal 345 KUHP. “Barang siapa dengan sengaja menghasut orang
lain untuk membunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu, atau
memberikan daya upaya kepadanya untuk itu, maka jika orang itu jadi
membunuh diri, dihukum penjara selama-lamanya 4 bulan”.
5) Pasal 359 KUHP. “Barang siapa karena salahnya menyebabkan
matinya orang dihukum penjara selama-lamanya 5 tahun atau
kurungan selama-lamanya 1 tahun”.
6) Pasal 351 KHUP. “Barang siapa menyaksikan diri orang di dalam
keadaan bahaya maut, lalai memberikan atau mengadakan
pertolongan kepadanya sedang pertolongan itu dapat diberikannya
atau diadakannya dengan tidak akan menguatirkan, bahwa ia sendiri
atau orang lain akan kena bahaya dihukum kurungan selama-lamanya
3 bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,- jika orang yang
perlu ditolong itu mati”.
7) Pasal 304 KUHP. “Barang siapa dengan sengaja menyebabkan /
membiarkan orang dalam kesengsaraan, sedangkan ia wajib memberi
kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan pada orang itu karena
hukum yang berlaku atasnya atau karena menurut perjanjian, dihukum
penjara selama-lamanya 12 tahun 8 bulan atau denda sebanyak-
banyaknya Rp. 4.500,”.

15
8) Pasal 8 KUHP. “Barang siapa melakukan perbuatan karena terpaksa
oleh sesuatu kekuasaan yang tidak dapat dihindarkan tidak boleh
dihukum”.
Untuk melengkapi kajian ini penulis kutipkan pula pasal-pasal
di dalam RUU-KUHP yang ada kaitannya dengan masalah euthanasia.
Hal ini sebagai pembanding ketentuan hukum yang berlaku dengan yang
akan datang. Adapun pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut :
1) Pasal 32 (48 KUHP). “Barang siapa melakukan tindak pidana dalam
keadaan darurat tidak dipidana”.
2) Pasal 42 (48 KUHP). “Barang siapa melakukan tindak pidana karena
daya paksa tidak dipidana”.
3) Pasal 443 ayat 1 (338 KUHP). “Barang siapa merampas nyawa orang
lain, ia dipidana karena pembunuhan dengan pidana penjara paling
lama 15 tahun dan paling rendah 3 tahun”.
4) Pasal 445 (344 KUHP). “Barang siapa merampas nyawa orang lain
atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan
kesungguhan hati atau atas permintaan keluarga dalam hal orang itu
sendiri tidak sadar dipidana dengan pidana penjara paling lama 9
tahun”.
5) Pasal 448 (345 KUHP). “Barang siapa mendorong orang lain untuk
bunuh diri, menolongnya perbuatan itu atau memberi sarana
kepadanya itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun
atau denda paling banyak katagori IV, kalau orang itu mati karena
jadi bunuh diri”.
6) Pasal 458 ayat 3 (359 KUHP). “Barang siapa karena kealpaan
menyebabkan orang lain mati, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 tahunan paling rendah 1 tahun atau denda paling banyak
katagori IV”.
7) Pasal 413 (531 KHUP). “Barang siapa ketika menyaksikan bahwa ada
orang yang sedang menghadapi maut tidak memberi pertolongan
yang dapat diberikan kepadanya tanpa selayaknya menimbulkan
bahaya bagi dirinya sendiri atau orang lain, dipidana, jika kemudian
orang itu meninggal, dengan denda paling banyak katagori IV”

16
D
engan memperhatikan rumusan pasal-pasal KUHP serta yang
ada di dalam RUU-KUHP akan dapat diketahui dengan jelas tentang
euthanasia dalam pengaturannya di dalam hukum positif Indonesia
(KUHP) maupun di dalam KUHP kita mendatang. Dalam dunia
kedokteran upaya mempercepat kematian seorang pasien yang sudah
dalam kondisi koma (sekarat) ini dikenal 2 (dua) macam cara :
Pertama, dengan memberikan obat atau suntikan yang biasa
mempercepat kematian pasien (penderita). Tindakan ini juga bisa
dilakukan baik karena permintaan pasien sendiri atau keluarganya
ataupun karena ada penawaran dari dokter yang sedang menanganinya.
Cara tersebut dikenal sebagai euthanasia aktif;
Kedua, dengan sengaja membiarkan pasien tersebut begitu saja,
tanpa memberikan bantuan perawatan dan pengobatan apapun. Pasien
dibiarkan sampai meninggal dengan sendirinya. Tindakan ini bisa terjadi
karena permintaan pasien sendiri atau keluarganya agar tidak dilakukan
pengobatan lagi. cara ini disebut euthanasia pasif.
4. Euthanasia Di Beberapa Negara Di Dunia
Beberapa negara maju mendasarkan pemikiran Hak Asasi Manusia
dalam mengatur Euthanasia ke dalam undang-undangnya. Memang tidak
semua negara maju sudah menerapkan perundang-undangan Euthanasia,
tetapi makin lama makin bertambah jumlahnya. Hal ini dapat diakibatkan
masyarakatnya semakin berfikir kritis dan logis, serta perkembangan dunia
kedokteran serta teknologi informasi yang sangat pesat.
Berikut adalah penerapan Euthanasia di berbagai negara : (Dharma,
2016)
1) Amerika Serikat
Di negara bagian Washington dulu berlaku larangan dilakukannya
physician assisted suicide. Namun setelah keputusan Ninth U.S.
Circuit Court of Appeals sejak 1997 telah membatalkan larangan tentang
physician assisted suicide, maka kini hak untuk mengakhiri hidup telah
diperbolehkan. Seseorang dikatakan boleh mengakhiri hidupnya apabila
kehilangan daya tanggap, tidak dapat bernafas, serta kerusakan otak.
2) Belanda

17
Negara pertama di dunia yang melegalkan praktik suntik mati
adalah Belanda. Terhitung sejak 2002, Negeri Kincir Angin telah
mengadopsi konsep euthanasia ke dalam kitab hukumnya. Namun ada
batasan usianya, yakni minimal 12 tahun dan orangtua pasien tetap
diposisikan sebagai pengambil keputusan akhir.
Proses persetujuannya juga terbilang ketat. Pemohon haruslah
secara sadar layak meminta disuntik mati. Setelah pasien penyakit kronis
itu meninggal, dokter dan para ahli yang terlibat diwajibkan memberi
ulasan terhadap kasus yang ditangani.
3) Belgia
Belgia menyutujui draf RUU mengenai Euthanasia berdasarkan
persetujuan dari parlemen, untuk mengundangkan praktik itu. Kars
Veling, anggota senat dari partai kristen bersatu. Mengakui kalangan
agama tidak menyetujui undang-undang tersebut. Euthanasia menurut
Kars Veling bukanlah sesuatu yang dapat dipaksakan terhadap
seseorang, akan tetapi hanya sebuah opsi, pilihan terakhir, bagi
mereka yang secara medis sudah tidak mempunyai harapan hidup lagi.
4) Inggris
Pada tanggal 5 November 2006, Kolese kebidanan dan
kandungan Britania Raya (Britain’s Royal College of Obstetricians and
Gynaecologist) mengajukan sebuah proposal kepada Dewan Bioetik
Nuffeld agar dipertimbangkannya izin untuk melakukan Euthanasia
terhadap bayi-bayi yang lahir cacat. Namun hingga saat ini tindakan
Euthanasia merupakan suatu tindakan melawan hukum di kerajaan
Inggris.
5) Jerman
Negara selanjutnya yang memberi hak mati pada pasiennya
adalah Jerman. Caranya adalah dengan dibiarkan meninggal tanpa
perawatan atau menandatangani surat pernyataan yang berisi penolakan
terhadap perawatan dari dokter. Sementara praktik bunuh diri dengan
pendampingan dan euthanasia yang diniatkan untuk mengakhiri nyawa
pasien sifatnya masih ilegal.
6) Swiss
Banyak orang datang ke Swiss untuk mengakhiri hidupnya.
18
Fenomena ini bisa terjadi karena negara tersebut memang membolehkan
orang melakukan bunuh diri dengan pendampingan. Hukum ini berlaku
sejak 1914. Meski begitu, praktik euthanasia malah sempat dilarang
habis-habisan. Pada intinya, Swiss kemudian mengizinkan suntik mati
jika berdasarkan sepengetahuan dan ada permintaan secara sadar dari
pasien. Selumpuh-lumpuhnya seorang pasien, hukum di negara ini
melarang dokter menyuntik mati pasiennya secara diam-diam walau
sudah dengan pertimbangan medis terbaik sekali pun.
7) Australia
Negara bagian Australia, Northern Territory sesungguhnya
menjadi tempat pertama didunia dengan undang-undang yang
mengizinkan guna memohon dipertimbangkannya secara seksama dari
sisi faktor kemungkinan hidup si bayi sebagai suatu legitimasi praktik
kedokteran.
8) Jepang
Jepang tidak memiliki suatu aturan hukum yang mengatur
tentang Euthanasia demikian pula Pengadilan Tinggi Jepang (Supreme
court of Japan) tidak pernah mengatur mengenai Euthanasia. Ada dua
kasus yang terjadi di Jepang yaitu di Nagoya pada tahun 1962 yang
dapat dikategorikan sebagai Euthanasia pasif atau dalam bahasa
Jepang yaitu Shukyokuteki anrakushi.
9) Republik Ceko
Di Republik Ceko Euthanasia dinyatakan sebagai suatu tindakan
pembunuhan berdasarkan peraturan setelah pasal mengenai Euthanasia
dikeluarkan dari rancangan KUHP. Sebelumnya pada rancangan
tersebut, Perdana Menteri Jiri Pospisil bermaksud untuk memasukan
Euthanasia dalam rancangan KUHP tersebut sebagai suatu
kejahatan dengan ancaman pidana selama 6 tahun penjara, namun
Dewan Perwakilan Konsititusional dan komite hukum negara tersebut
merekomendasikan agar pasal kontroversial tersebut dihapus dari
rancangannya tersebut.
10)Luksemburg

19
Luksemburg ikut menerapkan kebijakan yang sama untuk
meringankan beban penderita penyakit kronis yang tak lagi punya
harapan hidup itu pada 2009. Meski begitu, proses pelegalan suntik mati
di negara terkecil Eropa ini memakan proses yang panjang. Sebab
penentangan terbesar datang dari komunitas medis dalam negerinya.
Setelah dilegalkan pun, persetujuan suntik mati di Luksemburg terbilang
ribet karena ada banyak orang yang dilibatkan. Selain dua dokter yang
berbeda, seorang pakar juga wajib dihadirkan untuk membuat keputusan
tentang permintaan sang pasien.

11)China

Di China Euthanasia saat ini tidak diperbolehkan secara hukum,


Euthanasia diketahui terjadi pertama kalinya pada tahun 1986, dimana
seorang yang bernama Wang Mingcheng, meminta kepada seorang
dokter untuk melakukan Euthanasia terhadap ibunya yang sakit. Akhirnya
polisi menangkapnya juga si dokter yang melaksanakan permintannya.
Namun 6 tahun kemudian Pengadilan Tinggi rakyat menyatakan mereka
tidak bersalah. Pada tahun 2003 Wang Mingcheng menderita penyakit
kanker perut yang tidak ada kemungkinan untuk disembuhkan lagi dan ia
meminta untuk dilakukannya Euthanasia atas dirinya sendiri namun
ditolak oleh rumah sakit yang merawatnya.
C. Konsep Aborsi
1. Sejarah Aborsi
Di negara Mesir sendiri pengguguran kandungan sudah ada sejak
1.500 tahun SM dimana perempuan melakukanya dengan cara memasukkan
ke dalam vagina berupa kotoran buaya. Selain itu di negara Cina lebih dari
5000 tahun yang lalu jika ingin menggugurkan kehamilanya maka kaum
perempuan menggunaan air raksa. Di Indonesia sendiri ada beberapa cara
yang digunakan oleh masyarakat jaman dulu seperti menggunaan jamu,
bahkan salah satu peninggalan sejarah kita pada deretan paling bawah relief
di Candi Borobudur diperlihatkan bagaimna seorang dukun memijat perut
pasien untuk menggugurkan kandunganya.Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa abortus atau aborsi atau menggugurkan kandungan merupakan

20
keinginan kaum perempuan yang sudah ada sejak jaman dahulu (Indar,
2010).
Abortus merupakan istilah yang sudah tidak lazim lagi kedengarannya
ditelinga penduduk dunia. Abortus adalah suatu tindakan yang dilakukan
untuk mengeluarkan janin, hal ini biasanya dilakukan oleh seseorang yang
hamil dan menggugurkan kandungannya karena beberapa faktor keadaan
seperti hamil diluar nikah, faktor keuangan,dan sudah terlalu banyak anak. Di
zaman dahulu abortus dilakukan dengan beberapa cara yaitu dengan
meminum obat tradisional seperti ramuan-ramuan, memasukkan benda
kedalam kandungan yang dapat melukai si janin, dan juga memijat perut. Di
Indonesia abortus banyak terjadi dikalangan anak remaja yang berumur
dibawah 18 tahun akibat seks bebas. Akibat pergaulan bebas anak remaja
dizaman sekarang ini banyak kejadian yang terjadi selain adanya penyakit
menular seperti HIV dan raja singa hal yang tidak diinginkan seperti hamil
diluar nikah yang berdampak pada terjadinya aborsi (Asmarawati, 2013)

2. Pengertian Aborsi
Aborsi yang diserap dari bahasa Inggris yaitu Abortion yang artinya
menurut kamus bahasa Indonesia adalah pengguguran kandungan
(Asmarawati, 2013). Aborsi yang berasal dari kata Abortus adalah berakhinya
proses kehamilan dimana janin yang ada didalam kandungan berhasil keluar
sebelum mencapai 22 minggu (Hanafiah & Amir, 2007).
Abortus adalah keluarnya hasil konsepsi dari dalam rahim ibu sebelum
diberi kesempatan hidup diluar kandungan.Tiga macam aborsi yang dikenal
antara lain (Farelya & Nurrobikha, 2015):
a. Abortus alamiah/ spontaneus dapat terjadi dengan sendirinya atau secara
spontaneous adalah pengeluaran hasil konsepsi yang terjadi dengan
sendirinya tanpa pengaruh dari luar (kadang disebabkan oleh kurang
baiknya kualitas si calon janin/masalah rahim itu sendiri.
b. Abortus buatan atau disengaja/ilegal adalah pengeluaran hasil konsepsi
yang dilakukan untuk mengakhiri kehidupan janin sebelum 28 minggu
yang dalam hal ini disadari oleh wanita yang menggugurkan
kandungannya dan pihak yang terkait.

21
c. Abortus terapeutik/dasar medis/legal adalah pengeluaran janin dari dalam
rahim ibu karena pertimbangan medis, dalam hal ini menegaskan bahwa
menimbang kesehatan ibu yang tidak memungkinkan misalnya penyakit
jantung ,hipertensi berat yang dapat mengancam nyawa si calon ibu dan
janinnya. Tindakan ini dilakukan oleh kesepakatan medis sesuai hukum
dan dilaksanakan atas persetujuan dua dokter serta tidak secara terburu-
buru.
Abortus legal adalah adalah tindakan abortus yang dilakukan karena
pertimbangan medik yang dilakukan oleh dokter yang sudah profesional dan
dilaksanakan di rumah sakit yang sudah sudah diakui sedangkan abortus
buatan illegal adalah abortus yang dilakukan tanpa adanya indikasi medik
dibantu oleh tenaga yang tidak profesional. Tindakan aborsi illegal ini
dilakukan dengan obat-obatan seperti ramuan, memasukkan benda asing
kedalam alat reproduksi guna melukai janin, yang akhirnya member dampak
fatal bagi ibu karena perdarahan dan infeksi. Tindakan aborsi dikatakan tidak
etis apabila yang dilakukan tidak sesuai indikasi atau tidak melalui
petimbangan medis, dalam hal ini telah melanggar lafal sumpah Hippokrates,
Dokter Indonesia dan Internasional Code of medical ethis maupun KODEKI.
Berdasarkan lafal sumpah tersebut maka seorang dokter harus menghormati
serta melindungi setiap hidup insan (Asmarawati, 2013).
3. Indikasi Aborsi
Berdasarkan deklarasi Oslo tahun 1970 dan UU No 23 1992 dalam
kesehatan maka ditentukan indikasi abortus yaitu (Hanafiah & Amir, 2007) :
a. Indikasi dilakukannya abortus legal adalah suatu tindakan yang dilakukan
oleh medis dengan pertimbangan mempertahankan nyawa seorang ibu
yang terancam mengalami gangguan fisik, psikologi dimana apabila
tindakan ini tidak dilakukan akan memberikan dampak atau resiko yang
sangat jelas.
b. Apabila dalam keadaan ini dokter yang menangani pasien merasa bahwa
tindakan aborsi tidak sesuai dengan hati nurani maka dokter tersebut
berhak memberikan tindakan kepada teman sejawat.
c. Tindakan aborsi terapeutik dilakukan oleh persetujuan 2 orang dokter yang
sudah berkompeten dan disetujui langsung oleh yang bersangkutan

22
(pasien) dan apabila dalam keadaan tidak sadar boleh disetujui oleh
keluarga inti, suami atau keluarga kandung/sah.
4. Pandangan Agama Tentang Aborsi
Ada beberapa pandangan agama mengenai abortus yaitu:
a. Di dalam islam pengguguran kandungan tidak diperbolehkan dari sejak
pembuahan, selain itu para ulama berpendapat bahwa pengakhiran
kehamilan saat ditiupkan oleh malaikat (sebelum janin berusia 120 hari),
pendapat ini didasarkan pada hadis Nabi Muhammad SAW yang
diriwayatkan oleh Buchari dan muslim bahwa “tiap-tiap manusia terjadi di
dalam perut ibunya dalam 40 hari, sesudah itu ia menjadi sesuatu yang
melekat (janin) selama itu pula; kemudian disuruh Allah malaikat meniup
roh” (Indar, 2010).
b. Para penganut katolik berpendapat pengahiran kehamilan sejak saat
pembuahan disebut dengan pengguguran kandungan (Indar, 2010). Dalam
pandangan moral Kristen bahwa gereja secara terang dan jelas mengakui
bahwa hidup manusia dimulai sejak pembuhan dan hidup personal
didalamnya sehingga gereja katolik pada prinsipnya berpandangan bahwa
melaksanakan pemusnahan atas sesuatu yang akan menjadi pribadi
manusia, yang sedianya adalah manusia, secara objektif adalah suatu
dosa yang serius (John, T & Noana, 2004).
5. Aspek Hukum Aborsi Di Indonesia
Angka aborsi alias pengguguran kandungan di dunia masih
tergolong tinggi. Setiap tahun tak kurang dari 56 juta tindakan aborsi
dilakukan di seluruh dunia. Sementara itu, kasus aborsi tercatat menurun
drastis dalam 25 tahun belakangan ke posisi terendah di negara-negara
kaya. Namun, tidak demikian di negara-negara berkembang yang lebih
miskin. Para peneliti menemukan bahwa pada 1990-2014, tingkat aborsi
tahunan di dunia per 1.000 wanita usia subur (15-44 tahun) turun dari 46
ke 27. Namun, di negara miskin, angka tindakan aborsi hampir tidak
berubah dari 39 ke 37 dari 1.000 wanita (Tempo.co, 2016).
Sebuah studi oleh WHO (badan kesehatan PBB) dan Guttmacher
ketika aborsi dilarang sama sekali atau hanya diizinkan untuk
menyelamatkan nyawa sang ibu, tingkat aborsi berada di 37 per 1.000

23
wanita. Sementara itu, di negara yang melegalkan aborsi, tingkat kejadian
mencapai 34 per 1.000 (Tempo.co, 2016).
Frekuensi aborsi di Indonesia agak sulit dihitung secara akurat
karena memang sangat jarang pada akhirnya dilaporkan. Berdasarkan
perkiraan BKKBN, kejadian aborsi di Indonesia mencapai angka yang amat
fantastis yakni sekitar 2 juta kasus aborsi per tahun. Fakta aborsi di
Indonesia akibat kehamilan yang tidak direncanakan 1.000.000 janin
dibunuh pertahun. Agustus 1998 penelitian Jawa Post 1.750.000 janin
dibunuh pertahun. April 2000, Makasar Post menulis 2.300.000 janin
dibunuh pertahun. Mei 2000, Manado Post memperkirakan 2.600.000
janin dibunuh pertahun. Media Indonesia 2 Oktober 2002 melaporkan saat
itu 3.000.000 janin dibunuh pertahun (BKKBN, 2012).
Selain itu di tahun 2016 aborsi di Indonesia kurang lebih sekitar 20
persen. Jumlah ini kemungkinan masih bertambah karena banyak wanita
cenderung tidak melaporkan kehamilannya (Lensaterkini, 2016); (Kakus,
2016). Abortus buatan sangat sering terjadi tanpa dilaporkan kecuali terjadi
komplikasi. Pelaporan yang kurang disebabkan masyarakat banyak
menyembunyikan masalah ini karena di anggap kontraversial, yang mana
di satu pihak abortus dianggap illegal dan dilarang oleh agama (Indar,
2010).
Di Indonesia abortus adalah tindakan yang tidak diperkenankan
kecuali dalam situasi emergency yang ditegaskan lagi dalam musyawarahn
keluarga berencana pada tahun 1972 di Jakarta. Pada tahun 1970 RUU
telah dibentuk oleh depertemen kesehatan yang pada saat itu belum
sampai ke DPR yang menyatakan bahwa tindakan abortus hanya boleh
dilakukan setelah melalui pertimbangan medik. Pada tahun 1978 RUU
mengenai abortus telah diselesaikan dan pada saat itu para kaum wanita
menginginkan agar tindakan pengguguran di persulit. Pada tahun 1973
Perwari mengadakan konferensi dimana lebih memihak pada kaum wanita
yang menginginkan tentang tindakan abortus dilakukan dengan melihat
kesehatan fisik si ibu sehingga pada tanggal 4 juni 1983 telah disepakati
bahwa tindakan abortus diperbolehkan sesuai aspek hukum dan
kesepakatan sebelumnya (yurisprudensi) dimana abortus yang dimaksud
adalah Abortus Provacatus. Menurut Prof Seno Adji tentang abortus yang
24
dimaksud Abortus provacatus terapeuticus dimana tindakan ini atas
pertimbangan medic dan jauh sebelumnya telah direncanakan. Dan
akhirnya setelah melewati beberapa proses undang undang menyangkut
aborsi ini mulai di sahkan dalam UU kesehatan No 23 dan juga dalam
KUHP yang kemudian diperbaharui lagi melalui UU kesehatan No 36 tahun
2009 (Asmarawati, 2013).
Sesuai dengan sumpah dokter dan kode etik kedokteran Indonesia
(KODEKI) lafal yang diucapakan melalui sumpah dokter “saya akan
menghormati hidup insani dari saat pembuaha”, melalui Word Medical
Assosiation menjadi “saya akan menghormati hidup insani sejak kehidupan
itu terjadi” (Hanafiah & Amir, 2007).
Banyak alasan dilakukannya aborsi , tetapi alasan yang paling banyak
adalah aborsi bukan pertimbangan medis,dengan kata lain bahwa aborsi
dilakukan karena sengaja/illegal. Di negara amerika yang menjadi alasan
terbanyak adalah 75% wanita menggugurkan kandungannya karena
khawatir akan mengganggu karir dan pekerjaan, kemudian 66% masalah
ekonomi , dan 50% dengan alasan karena malu apabila anak yang
dilahirkan tanpa seorang ayah (Farelya & Nurrobikha, 2015).
Abortus dalam dunia kedokteran dilakukan dengan persetujuan oleh
dua dokter yang berkompeten dengan adanya bukti persetujuan yang
ditandatangani oleh ibu janin tersebut beserta suaminya atau orang tua
kandung sebagai penanggung jawab. Dan sebagai salah syarat dilakukan
tindakan tersebut harus dilakukan di instansti yang sah dan mempunyai
fasilitas lengkap.
Masalah aborsi di Indonesia terjadi karena banyaknya hubungan
sebelum nikah yang terjadi.Akhirnya kalau terjadi kehamilan, aborsi adalah
satu-satunya jalan jika tidak ingin melahirkan atau pun menikah
(Lensaterkini, 2016 ; Kakus, 2016). Menurut indar (2016) ada beberapa
sebab terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan (unwanted pregnancy)
sehingga ingin di gugurka yaitu; hamil akibat perkosaan, keadaan tidak
memungkinkan untuk meneruskan kehamilan seperti masalah kesehatan
ibu, tidak menggunkan alat kontrasepsi, tidak mengetahui bahwa perilaku
seks yang dilakukan akan mengakibatkan kehamilan, menggunakan alat

25
kontrasepsi tetapi gagal dan ada cacat berat pada janin yang
dikandungnya.
1. Aspek Hukum Abortus Provacatus Theraupetikus menurut Undang-
Undang Kesehatan (UUK) No.36 tahun 2009.
Masalah abortus provacatus theraupetikus pada pasal 75 disebutkan:
(1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan
berdasarkan:
a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini
kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang
menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun
yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut
hidup di luar kandungan; atau
b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma
psikologis bagi korban perkosaan.
c. Tindakan medis dalam bentuk pengguguran kandungan (depkes,
2009).
d. Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat
dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra
tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang
dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang (depkes,
2009).
Pada pasal 76, aborsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 75
hanya dapat dilakukan:
a. sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari
pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis;
b. Oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan
kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh
menteri;
c. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;
d. Dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan
e. Penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat
yangditetapkan oleh Menteri (depkes, 2009).

26
Selanjutnya pada pasal 77 menegaskan bahwa pemerintah
wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) danayat (3) yang tidak bermutu,
tidak aman, dan tidak bertanggung jawab serta bertentangan dengan
norma agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan (depkes,
2009).
Pelanggaran terhadap pasal 75 ayat (2) UUK akan diancam
dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan pidana denda paling
banyak Rp. 1.000.000.000 (1 miliyar rupiah).
2. Aspek Hukum Abortus Provacatus Theraupetikus Menurut Fatwa Majelis
Ulama Indonesia (MUI) Nomor 4 Tahun 2005
MUI mengeluarkan fatwanya tersebut pada tertanggal 21 Mei
2005 yang menghalalkan aborsi dengan alasan tertentu. Fatwa MUI
antara lain menyebutkan bahwa aborsi dibolehkan karena adanya udzur,
baik yang bersifat darurat ataupun hajat, adapun urainya adalah sebagai
berikut;
Pertama : Ketentuan Umum
1. Darurat adalah suatu keadaan di mana seseorang apabila tidak
melakukan sesuatu yang diharamkan maka ia akan mati atau hampir
mati.
2. Hajat adalah suatu keadaan di mana seseorang apabila tidak melakukan
sesuatu yang diharamkan maka ia akan mengalami kesulitan besar.
Kedua : Ketentuan Hukum
1. Aborsi haram hukumnya sejak terjadinya implantasi blastosis pada
dinding rahim ibu (nidasi).
2. Aborsi dibolehkan karena adanya uzur, baik yang bersifat darurat
ataupun hajat.
3. Aborsi haram hukumnya dilakukan pada kehamilan yang terjadi akibat
zina
a. Keadaan darurat yang berkaitan dengan kehamilah yang
membolehkan aborsi adalah :
1) Perempuan hamil menderita sakit fisik berat seperti kanker
stadium lanjut, TBC dengan caverna dan penyakit-penyakit fisik
berat lainnya yang harus ditetapkan oleh Tim Dokter.
27
2) Dalam keadaan di mana kehamilan mengancam nyawa si ibu.
b. Keadaan hajat yang berkaitan dengan kehamilan yang dapat
membolehkan aborsi adalah:
1) Janin yang dikandung dideteksi menderita cacat genetik yang
kalau lahir kelak sulit disembuhkan.
2) Kehamilan akibat perkosaan yang ditetapkan oleh tim yang
berwenang yang didalamnya terdapat antara lain keluarga
korban, dokter, dan ulama.
Kebolehan aborsi sebagaimana dimaksud huruf b harus dilakukan
sebelum janin berusia 40 hari (Kemenag, 2005)
Namun menurut indar (2010) indikasi abortus provokatus
theraupetikus dapat berubah-ubah karena disesuaikan dengan
perkembangan ilmu kedokteran. Menurut Mukti dan Sutomo (1993) dalam
(indar, 2010) bahwa tuberculosis dan hipertensi tidak lagi dapat dijadikan
indikasi untuk melakukan aborsi namun ada beberapa penyakit yang saat
ini dapat dijadikan indikasi untuk melakukan abortus provokatus
theraupetikus yaitu; glomerunepritis, karsinoma rektil yang harus diradio
terapi, dekompensasi kordis serta sindroma nefrotik.
3. Aspek Hukum Abortus Provacatus Theraupetikus menurut Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor. 61 Tahun 2014
Pada tanggal 13 Oktober 2009 negara mengundangkan UU 36 tahun
2009 yang diatur lebih lanjut oleh PP No. 61 tahun 2014 tentang kesehatan
reproduksi dimana pasal 31-39 menguraikan hal-hal terkait melegalkan
aborsi atas dasar alasan medis dan perkosaan.
Pada Bab. IV tetang Indikasi kedaruratan medis dan pemerkosaan
sebagai pengecualian atas larangan aborsi:
Bagian Satu: Umum
Pasal 31
(1) Tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan: a. indikasi
kedaruratan medis; atau b. kehamilan akibat perkosaan. Meski secara
khusus dalam ayat (2) dalam PP itu dikatakan: Tindakan aborsi akibat
perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat
dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat puluh) hari
dihitung sejak hari pertama haid terakhir (Kemkes, 2014).
28
Bagian Dua: Indikasi Kedaruratan Medis
Pasal 32
(1) Indikasi kedaruratan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat
(1) huruf a meliputi: a. kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan
ibu; dan/atau b. kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan janin,
termasuk yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan,
maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut
hidup di luar kandungan. (2) Penanganan indikasi kedaruratan medis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan standar.
Pasal 33
(1) Penentuan adanya indikasi kedaruratan medis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 32 dilakukan oleh tim kelayakan aborsi. (2) Tim sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling sedikit terdiri dari 2 (dua) orang tenaga
kesehatan yang diketuai oleh dokter yang memiliki kompetensi dan
kewenangan. (3) Dalam menentukan indikasi kedaruratan medis, tim
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melakukan pemeriksaan sesuai
dengan standar. (4) Berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membuat surat
keterangan kelayakan aborsi.
Bagian Ke Tiga: Indikasi Perkosaan
Pasal 34:
(1) Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat
(1) huruf b merupakan kehamilan hasil hubungan seksual tanpa adanya
persetujuan dari pihak perempuan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. (2) Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan: a. usia kehamilan sesuai dengan
kejadian perkosaan, yang dinyatakan oleh surat keterangan dokter; dan b.
keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain mengenai adanya dugaan
perkosaan.
Bagian Keempat: Penyelenggaraan Aborsi;
Pasal 35
(1) Aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat
perkosaan harus dilakukan dengan aman, bermutu, dan bertanggung jawab.
(2) Praktik aborsi yang aman, bermutu, dan bertanggung jawab sebagaimana
29
dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. dilakukan oleh dokter sesuai dengan
standar; b. dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan yang memenuhi syarat
yang ditetapkan oleh Menteri; c. atas permintaan atau persetujuan
perempuan hamil yang bersangkutan; d. dengan izin suami, kecuali korban
perkosaan; e. tidak diskriminatif; dan f. tidak mengutamakan imbalan materi.
(3) Dalam hal perempuan hamil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c
tidak dapat memberikan persetujuan, persetujuan aborsi dapat diberikan oleh
keluarga yang bersangkutan. (4) Dalam hal suami tidak dapat dihubungi, izin
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d diberikan oleh keluarga yang
bersangkutan.
Pasal 36
(1) Dokter yang melakukan aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis
dan kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat
(2) huruf a harus mendapatkan pelatihan oleh penyelenggara pelatihan yang
terakreditasi. (2) Dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan
merupakan anggota tim kelayakan aborsi atau dokter yang memberikan surat
keterangan usia kehamilan akibat perkosaan. (3) Dalam hal di daerah tertentu
jumlah dokter tidak mencukupi, dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat berasal dari anggota tim kelayakan aborsi. (4) Ketentuan lebih lanjut
mengenai pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Menteri.
Pasal 37
(1) Tindakan aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan
akibat perkosaan hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling. (2)
Konseling sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi konseling pra
tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh
konselor. (3) Konseling pra tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan dengan tujuan: a. menjajaki kebutuhan dari perempuan yang ingin
melakukan aborsi; b. menyampaikan dan menjelaskan kepada perempuan
yang ingin melakukan aborsi bahwa tindakan aborsi dapat atau tidak dapat
dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang;
c. menjelaskan tahapan tindakan aborsi yang akan dilakukan dan
kemungkinan efek samping atau komplikasinya; d. membantu perempuan
yang ingin melakukan aborsi untuk mengambil keputusan sendiri untuk
30
melakukan aborsi atau membatalkan keinginan untuk melakukan aborsi
setelah mendapatkan informasi mengenai aborsi; dan e. menilai kesiapan
pasien untuk menjalani aborsi. (4) Konseling pasca tindakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan tujuan: a. mengobservasi dan
mengevaluasi kondisi pasien setelah tindakan aborsi; b. membantu pasien
memahami keadaan atau kondisi fisik setelah menjalani aborsi; c.
menjelaskan perlunya kunjungan ulang untuk pemeriksaan dan konseling
lanjutan atau tindakan rujukan bila diperlukan; dan d. menjelaskan
pentingnya penggunaan alat kontrasepsi untuk mencegah terjadinya
kehamilan.
Pasal 38:
(1) Dalam hal korban perkosaan memutuskan membatalkan keinginan untuk
melakukan aborsi setelah mendapatkan informasi mengenai aborsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (3) huruf d atau tidak memenuhi
ketentuan untuk dilakukan tindakan aborsi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 31 ayat (2), korban perkosaan dapat diberikan pendampingan oleh
konselor selama masa kehamilan. (2) Anak yang dilahirkan dari ibu korban
perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diasuh oleh keluarga.
(3) Dalam hal keluarga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menolak untuk
mengasuh anak yang dilahirkan dari korban perkosaan, anak menjadi anak
asuh yang pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 39:
(1) Setiap pelaksanaan aborsi wajib dilaporkan kepada kepala dinas
kesehatan kabupaten/kota dengan tembusan kepala dinas kesehatan
provinsi. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan.
Perlu di pertegas bahwa dokter yang melakukan proses aborsi tidak
boleh sama dengan dokter yang memberikan surat keterangan usia
kehamilan akibat perkosaan.Namun, Menteri Kesehatan (Menkes) Nafsiah
Mboi memberi pengecualian untuk daerah-daerah sangat terpencil yang
kesulitan mengakses layanan dokter.Dalam kondisi tersebut, Menkes
memperbolehkan bidan untuk turun tangan.Dengan syarat, mereka telah
memperoleh pelatihan dan mengerti betul tentang prosedur aborsi.Mereka
31
(bidan) sebenarnya pasti tidak akan berani melakukan. Mereka akan lebih
memilih merujuk. Tapi, kalau memang jarak yang sangat jauh dan tidak ada
dokter, bisa bidan atau tenaga kesehatan nanti kita latih.Sebagai penganut
Katolik, Nafsiah tidak setuju aborsi.Namun, dirinya juga seorang dokter dan
menteri yang berkewajiban memberitahu pasien bahwa mereka sejatinya
dimungkinkan untuk membuat pilihan (JPNN, 2014).
3) Aspek Hukum Abortus Provacatus Criminalis (APC)
APC adalah tindakan dengan sengaja ingin melakukan perbuatan
menggugurkan kandungan, misalnya dengan cara memakan obat-obatan
yang dapat membahayakan janin yang dilakukanya sendiri. Selain itu APC
dapat dilakukan dengan menusuk atau meremukkan bayi atau memotong-
motong tubuh bayi di dalam kandungan kemudian dikeluarkan satu-satu
didalam kandungan dengan tujuan memastikan potongan bayi tersebut
lengkap dengan cara menyusun kembali potongan-potongan tersebut
kemudian dibuang ketempat sampah/sungai, dibakar ditungku atau dikubur
di tanah yang kosong dan dalam hal ini bisa dilakukan oleh orang lain
(seorang dokter, bidan, dukun beranak) (Indar, 2010).
Adapun aturan hukum yang mengatur APC yaitu dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat beberapa pasal yang berhubungan
dengan pengguguran kandungan yaitu:
a. Pada Bab XIV Tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan.
1. Pasal 283 KUHP
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau
pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah, barang siapa
menawarkan, memberikan untuk terus maupun untuk sementara
waktu, menyerahkan atau memperlihatkan tulisan, gambaran atau
benda yang melanggar kesusilaan, maupun alat untuk mencegah
atau menggugurkan kehamilan kepada seorang yang belum
dewasa, dan yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa
umumya belum tujuh belas tahun, jika isi tulisan, gambaran, benda
atau alat itu telah diketahuinya.
(2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa membacakan
isi tulisan yang melanggar kesusilaan di muka oranng yang belum

32
dewasa sebagaimana dimaksud dalam ayat yang lalu, jika isi tadi
telah diketahuinya.
(3) Diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan atau
pidana kurungan paling lama tiga bulan atau pidana denda paling
banyak sembilan ribu rupiah, barang siapa menawarkan,
memberikan untuk terus maupun untuk sementara waktu,
menyerahkan atau memperlihatkan, tulis- an, gambaran atau
benda yang melanggar kesusilaan, maupun alat untuk mencegah
atau menggugurkan kehamilan kepada seorang yang belum
dewasa sebagaimana dimaksud dalam ayat pertama, jika ada
alasan kuat baginya untuk menduga, bahwa tulisan, gambaran
atau benda yang melang- gar kesusilaan atau alat itu adalah alat
untuk mencegah atau menggugurkan kehamilan.
2. Pasal 299 KUHP
(1) Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau
menyuruh supaya diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan
harapan bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan,
diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau
pidana denda paling banyak empat puluh lima ribu rupiah.
(2) Jika yang bersalah berbuat demikian untuk mencari keu tungan,
atau menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencarian atau
kebiasaan, atau jika dia seorang tabib, bidan atau juruobat,
pidananya dapat ditambah sepertiga
(3) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam
menjalankan pencariannya, dapat dicabut haknya untuk
menjalakukan pencarian itu.
b. Pada Bab XIX Tentang Kejahatan Terhadap Nyawa
1. Pasal 346 KUHP
Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan
kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan
pidana penjara paling lama empat tahun.
2. Pasal 347 KUHP

33
(1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan
kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan
pidana penjara paling lama dua belas tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut diancam
dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

3. Pasal 348 KUHP


(1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan
kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut,
diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
4. Pasal 349 KUHP
Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan
kejahatan berdasarkan pasal 346, ataupun melakukan atau membantu
melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347
dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah
dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian
dalam mana kejahatan dilakukan.
5. Pasal 350 KUHP
Dalam hal pemidanaan karena pembunuhan, karena pembunuhan
dengan rencana, atau karena salah satu kejahatan berdasarkan pasal
344, 347 dan 348, dapat dijatuhkan pencabutan hak berdasarkan pasal
35 No. 1- 5.
Menurut Indar (2010) terdapat beberapa kelemahan dari peraturan
tersebut; pertama, di dalam UUK tidak dijelaskan terutama mengenai
penyakit genetik berat dan atau cacat bawaan yang diderita baik oleh ibu
maupun janinya sehingga perlu penjelasan lebih jauh tentang indikasi
kedaruratan medis.Kedua, pada ketentuan-ketentuan KUHP tidak
dipersoalkan pelaku yang menyebabkan kehamilan yang tidak di inginkan,
melainkan KUHP lebih menitik beratkan pada pelaku abortus baik itu
perempuan maupun pelaku lainya (oknum dokter atau tenaga kesehatan
lainnya).Dengan demikian pelu diakukan peninjauan kembali ketentuan
34
hukum yang berkaitan denan abortus terutama ketentuan hukum yang
menjerat pelaku yang tidak bertanggung jawab dari kehamilan yang tidak
diingnkan sebagai akibat pergaulan bebas.
6. Aborsi Di Beberapa Negara Di Dunia
Ada 5 tipe negara dalam menyikapi hukum aborsi: Pertama, negara
yang sama sekali tidak melegalkan aborsi untuk alasan apapun. Kedua,
negara yang tidak melegalkan aborsi atau hanya legal untuk alasan medis
tertentu yang membahayakan ibu.Ketiga, negara yang melegalkan aborsi
untuk kasus tertentu, seperti perkosaan, inses (hubungan seks dengan
saudara sendiri) atau janin yang cacat. Keempat, negara yang melegalkan
aborsi untuk alasan sosial, seperti ibu tidak sanggup membiayai anaknya atau
melindungi ibu dari gangguan kesehatan mental. Kelima, negara yang
melegalkan semua aborsi pada usia kandungan berapa pun dan dengan
alasan apapun (Wahyuningsih, 2012).
1. Alasan negara yang melegalkan aborsi (Indar, 2010) :
a. Untuk mengontrol laju pertunguhan penduduk
b. Melindungi hak wanita menentukan sendiri nasib kandunganya
c. Untuk mencegah terjadinya delik oborsi
Adapun beberapa negara berikut negara-negara yang sangat
melegalkan aborsi dengan alasan apapun dan usia kandungan berapapun
yaitu: Albania, Australia, Bahrain, Belarus, Belgia, Bosnia, Kamboja,
Kanada, China, Kroasia, Kuba, Denmark, Estonia, Jerman, Yunani,
Hungaria, Korea Utara, Latvia, Lithuania, Macedonia, Belanda, Norwegia,
Slovenia, Swedia, Amerika Serikat, Vietnam, Yugoslavia total ada 27
negara (Wahyuningsih, 2012)
2. Alasan negara yang melarang aborsi (Indar, 2010) :
a. Pengguguran kandungan lebih berat dari pada persalinan biasa
sehingga tidak diperbolehkan atas dasar untuk melindungi nyawa dan
kesehatan ibu.
b. Untuk mencegah timbulnya delik kesusilaan
c. Untuk melindungi hasil pembuahan belum berbentuk manusia yaitu sel
telur atau sperma yang belum berumur 12 minggu atau janin.

35
Adapun negara yang sama sekali tidak melegalkan aborsi untuk
alasan apapun, yaitu : Chili, El Salvador, Malta, Vatican, total ada 4 negara
(Muid, 2017 ; Wahyuningsih, 2012).
Ada beberapa negara yang menduduki 4 negara dengan aborsi
terbanyak di dunia, yaitu: (Lensaterkini, 2016 ; Kakus, 2016).
a. Greenland dimana satu dari dua kehamilan di Greenland
mengalami aborsi. Keadaan ini membuat tingkat kelahiran dan
aborsi nyaris sama, bahkan pada tahun 2000 terdapat 877 kelahiran
dan 944 aborsi yang artinya menggugurkan kandungan jauh lebih
banyak. Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Johnston Archive
mengemukakan fakta bahwa, persentase aborsi pada tahun 2016
sebanyak 63% dari 1.000 kehamilan, artinya 63 bayi tidak akan
dilahirkan karena terlebih dahulu digugurkan oleh ibunya.
b. Rusia adalah satu dari beberapa negara yang melegalkan adanya
aborsi kehamilan yang belum berusia 12 minggu masih bisa
digugurkan dengan catatan tertentu sehingga dari 1.000 kehamilan
di Rusia, sekitar 40 persennya digugurkan.
c. Kuba, dari 1.000 kehamilan yang terjadi di Kuba, sekitar 40
persennya diaborsi karena berbagai alasan. Aborsi di Kuba
diperbolehkan dengan permintaan khusus.Hal ini sedikit
bertentangan mengingat mayoritas penduduk yang ada di Kuba
adalah penganut Katolik.
d. Romania, sebelum tahun 1967, aborsi di Romania masih
dilegalkan.Aborsi dilarang mulai 1967-1990 untuk meningkatkan
rasio kelahiran dan menambah jumlah penduduk di Romania sedikit
demi sedikit.Pasca tahun 1990, aborsi di Romania kembali
diperbolehkan namun dengan beberapa syarat.Saat ini persentase
aborsi di Romania mencapai 30 persen dari 1.000 kehamilan.
7. Pencegahan Dan Penyelesaian Tindakan Aborsi
Menurut (Indar, 2010) jika hanya meletakkan kesalahan pada pihak
laki-laki dan perempuan yang melakukan hubungan seksual diluar nikah
maka penyelesain masalah abortus tidak akan tutas karena ada faktor lain
yang turut andil dalam praktek abortus, seperti orang tua yang membiarkan
anaknya bergaul bebas serta tempat-tempat hiburan yag turut merangsang
36
memberikan kontribusi terjadinya abortus, selain itu juga dokter yang
membuka bisnis abortus. Dengan demikian penyelesain tindakan abortus
diperukan pendekan dari berbagai aspek (religious, psikologis, sosiologis dan
ekonomi).
Dari aspek religious ada hukum agama yang memberikan sansi yng
jelas yaitu dosa besar dan ancaman neraka kelak dikemudin hari. Dalam
agama islam, perbuatan zina (hubungan seksual di luar nikah) diajarkan untuk
menjauhkan diri daripadanya. Namun jika banyak yang melakukan praktek
aborsi karena hamil di luar nikah dan malu kepada masyarakat, meringankan
sangsi sosial dan hukum agama tidak dapat diringankan, bahkan peningkatan
dakwah untuk menjauhi perbuatan zina harus dilakukan dan tentunya
dibarengi dengan aturan hukum yang berbentuk undang-undang serta sansi
yng tegas dan bisa dirasakan di dunia (Indar, 2010).
Hukum sendiri memiliki dua fungsi yaitu mencegah dan menanggulangi
perbuatan melanggar hukum melalui ketaatan dan unduk kepada peraturan
hukum yang berlaku. Fungsi hukum lainya untuk melakukan perubahan
sesuai dengan dinamika masyarakat oleh karena itu, seiring dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan kedokteran maka hukum tentang
abortus seharusnya semakin maju namun tetap dalam batas-batas dan norma
yang hidup dalam masyarakat (Indar, 2010).
Dalam masyarakat tidak jarang ditemui perbuatan orang yang
dikategorikan kejahatan, namun peraturan hukum pidana belum mampu
mendeskripsikan dengan baik, karena itu perlu ditanggulangi secara sinergik
dengan tatanan sosial lainya, mengingat bahwa hukum pidana bukan satu-
satuya alat untuk memecahkan problem sosial, meskipun hukum pidana
‘diserahi tugas untuk menanggulangi kehajahatn yang melanggar hukum
(Indar, 2010).

37
BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
Perkembangan Euthanasia di Indonesia dianggap sebagai suatu bentuk
tindak pidana, karena merupakan salah satu bentuk kejahatan terhadap
nyawa, hal ini terbukti dengan adanya pasal di KUHP yang berkaitan
dengan Euthanasia yaitu Pasal 344 KUHP. Belum adanya aturan secara tegas
dan spesifik tentang aspek hukum dan legal euthanasia karena hal tersebut
masih menimbulkan pro dan kontra. Disis lain ada yang menyetujui dengan
alasan kemanusiaan yaitu jika keadaan klien tidak memungkinkan untuk
disembuhkan dan adanya permohonan untuk mengakhiri hidupnya. Sedangkan
pihak yang tidak memperbolehkan dengan alasan yang memiliki kekuasaan
mutlak untuk mengakhiri hidup manusia adalah Tuhan yang tidak dapat diganggu
gugat oleh siapapun.
Sedangkan praktek aborsi di Indonesia sudah jelas untuk alasan medis yang
membahayakan nyawa ibu dan negara yang melegalkan aborsi untuk kasus
tertentu seperti pemerkosaan, inses dan janin yang cacat. Peraturan hukum yang
jelas yaitu UUK No. 36 tahun 2009, Fatwa MUI No. 4 tahun 2005 dan PP No. 61
tahun 2014. Sedangkan untuk abortus provocatus criminalis dapat diancam
dengan KUHP pasal 283, 299, 346, 347, 348, 350. Namun pada kenyataanya
banyak yang melakukan secara sembunyi-sembunyi sehingga sulit sekali untuk
dibuktikan oleh yang berwajib.
2. Saran

38
Dalam penerapan praktek euthanasia di Indonesia diperlukan dasar hukum
yang jelas sebagaimana masalah aborsi. Sehingga tidak terjadinya dilemma bagi
tenaga medis dalam pelaksanaan euthanasia.

DAFTAR PUSTAKA

Adji, O.S, (1985). Hukum Pidana Pengembangan. Jakarta : Erlangga


Asmarawati, T. (2013). Hukum & Abortus (1st ed.). Yogyakarta: CV BUDI UTAMA.
BKKBN. (2012). Aborsi Dan Permasalahanya. Retrieved March, 2019 from
http://kalteng.bkkbn.go.id/_layouts/mobile/dispform.aspx?
List=8c526a76%2D8b88%2D44fe
%2D8f81%2D2085df5b7dc7&View=69dc083c%2Da8aa%2D496a
%2D9eb7%2Db54836a53e40&ID=40
Dahlan, S. (2007). Ilmu Kedokteran Forensik: Pedoman Bagi Dokter dan Penegak
Hukum. Semarang: Badan Penerbit Universitas Dipenogoro.
Depkes. (2009). Undang-Undang Repoblik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009
Tentang Kesehatan. Retrieved March, 2019 from
http://www.depkes.go.id/resources/download/general/UU%20Nomor
%2036%20Tahun2%20009%20tentang%20Kesehatan.pdf
Dharma, S. (2016). Negara-Negara Yang Legalkan Praktik Euthanasia. Retrieved
from https://news.okezone.com/read/2016/.../negara-negara-yang-legalkan-
praktik-euthanasia
Farelya, G., & Nurrobikha. (2015). Etikolegal dalam Pelayanan Kebidanan (1st ed.).
Yogyakarta: Deeppublish.
Hanafiah, M. J., & Amir, A. (2007). ETIKA KEDOKTERAN & HUKUM KESEHATAN.
(Rusmi, Ed.) (4th ed.). Jakarta: EGC.
Haryadi. (2012). Masalah Euthanasia dalam Hubungannya dengan Hak Asasi
Manusia.
39
Hilman. (2004). Euthanasia. Sebuah Pemikiran. Indonesia: Media Pressindo.
Indar. (2010). Etika dan Hukum Kesehatan. Unhas: Lembaga Penerbit.
John, T & Noana, J. (2004). Abortion And Catholic Church A Summary History. USA:
St Paul Books & Media.
JPNN. (2014). Negara Legalkan Aborsi.
Kakus. (2017). 4 Negara Dengan Aborsi Paling Banyak Di Dunia. Retrieved March,
2019 from https://www.kaskus.co.id/thread/586d3fc954c07adf5a8b4567/4-
negara-dengan-aborsi-paling-banyak-di-dunia/
Kemenag. (2005). Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Dalam Perspektif Hukum
Dan Perundangan. Retrieved March, 2019 from
http://lektur.kemenag.go.id/index.php?
option=com_docman&task=doc_download&gid=67
Kemkes. (2014). Peraturan Pemerintah Repoblik Indonesia Nomor 61 tahun 2014
Tentang kesehatan Reproduksi. Retrieved March, 2019 from
http://kesga.kemkes.go.id/images/pedoman/PP%20No.%2061%20Th
%202014%20ttg%20Kesehatan%20Reproduksi.pdf
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Retrieved March, 2019 from
http://wcw.cs.ui.ac.id/repository/dokumen/lihat/10554.pdf
Lensaterkini. (2016). 4 Negara Dengan Aborsi Paling Banyak Di Dunia. Retrieved
March, 2019 from http://www.lensaterkini.web.id/2016/12/4-negara-dengan-
aborsi-paling-banyak-di.html
Muid, K. A. (2017). 27 Negara Pelegal Aborsi, Indonesia?. Retrieved March, 2019
from http://khoeriabdulmuid.gurusiana.id/article/27-negara-pelegal-aborsi-
indonesia-94971
Paulus, P. K. (2013). Kajian Euthanasia Menurut HAM (Studi Banding Hukum
Nasional Belanda), 21(3), 117–132.
Pradjonggo, T. S. (2016). Suntik Mati (Euthanasia) Ditinjau Dari Aspek Hukum
Pidana Dan Hak Asasi Manusia Di Imdonesia, (99), 56–63.
Sutarno. (2014). Hukum Kesehatan, Euthanasia, Keadilan dan Hukum Positif di
Indonesia. Malang: Setara Press.
Ta’adi. (2015). Hukum Kesehatan. Jakarta: EGC.
Tempo.co. (2016). WHO: Tiap Tahun, 56 Juta Janin Digugurkan. Retrieved March,
2019 from https://gaya.tempo.co/read/770548/who-tiap-tahun-56-juta-janin-
digugurkan
40
Tribowo, C. (2014). Etika dan Hukum Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika.
Wahyuningsih, M. (2012). Negara yang Sangat Membolehkan dan Tidak
Membolehkan Aborsi. Retrieved from https://health.detik.com/ulasan-khas/d-
1928738/negara-yang-sangat-membolehkan-dan-tidak-membolehkan-aborsi
Wijayati, M. (2015). Aborsi Akibat Kehamilan Yang Tak Diinginkan (KTD) :
Kontestasi Antara Pro-Live dan Pro-Choice, 15, 43–62.

41

Anda mungkin juga menyukai