Anda di halaman 1dari 28

Journal Reading

*Kepaniteraan Klinik Senior/januari 2023

** Pembimbing/………………..

Praktik Aborsi Berdasarkan Hukum di Indonesia

………………

…………………..

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


SMF/BAGIAN ILMU FORENSIK
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ………….
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan
kasih dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan Journal Reading ini dengan
judul “Praktik Aborsi Berdasarkan Hukum di Indonesia” Laporan ini
merupakan bagian dari tugas Program Profesi Dokter di Bagian Ilmu Forensik.

Terwujudnya laporan ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan dorongan
dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih
kepada dr. ……………………., sebagai pembimbing yang telah memberikan
bimbingan dan arahan sehingga Journal Reading ini dapat terselesaikan dengan
baik dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian laporan
ini.
Penulis menyadari laporan ini masih banyak kekurangannya, untuk itu saran
dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis. Sebagai
penutup semoga kiranya Journal Reading ini dapat bermanfaat bagi kita
khususnya dan bagi dunia kesehatan pada umumnya.

Jambi, Januari 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul................................................................................................ i
Kata Pengantar............................................................................................... ii
Daftar Isi.......................................................................................................... iii
Terjemahan Jurnal......................................................................................... 1
Daftar Pustaka................................................................................................ 25

iii
TERJEMAHAN JURNAL
Praktik Aborsi Berdasarkan Hukum di Indonesia
Dicky Arya Nugraha; Joko Setiyono

Magister Hukum, Fakultas Universitas Diponegoro, Indonesia

Email: dickyarya37@yahoo.co.id

http://dx.doi.org/10.47814/ijssrr.v5i11.759

ABSTRAK
Perdebatan tentang aborsi di Indonesia akhir-akhir ini semakin ramai karena
dipicu oleh berbagai peristiwa yang mengguncang sendi-sendi kehidupan
manusia. Isu aborsi saat ini sudah bukan rahasia lagi untuk dibicarakan, karena
aborsi sudah menjadi hal yang aktual dan kejadiannya sudah terjadi dimana-
mana dan dilakukan oleh siapa saja. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang
Kesehatan Reproduksi menyebutkan bahwa aborsi dapat dilakukan dengan
pengecualian, salah satunya akibat perkosaan. Sehingga tidak ada rasa takut
korban aborsi mengadukan kejadian tersebut. Namun pada kenyataannya
implementasi Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan
Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi
tidak sesuai dengan harapan. Substansi penulisan ini adalah bagaimana peran
pemerintah dan instansi terkait yang melaksanakan aborsi serta kendala yang
dihadapi dalam mewujudkannya. Pelaksanaan aborsi pada kehamilan karena
perkosaan berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 Tentang
Kesehatan Reproduksi Belum Terpenuhi Secara Maksimal Masih banyak
permasalahan dan konflik terkait pelaksanaan Undang-Undang tersebut. aborsi
pada kehamilan karena perkosaan. Adanya perbedaan pandangan dari segi
agama, sosial dan budaya. Kurangnya korelasi antar instansi atau lembaga dan
batas waktu yang diberikan kurang memadai serta adanya kendala yang bersifat
internal eksternal. Diperlukan kerjasama antara legislatif dan pemerintah yang
melibatkan juga pihak-pihak terkait seperti dinas kesehatan dan kepolisian.

2
Kata Kunci: Aborsi; implementasi; Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009

1. PENGANTAR
1.1 Latar Belakang

Menurut "UUD 1945 Pasal 1 ayat (3)", Indonesia adalah "negara hukum,
jadi perbuatan manusia didasarkan atas hukum." Manusia adalah makhluk
sosial karena dimana “makhluk sosial saling berlawanan sering terjadi
perselisihan atau kepentingan pribadi antar manusia sehingga melakukan
kejahatan”. Menurut hukum pidana, “Barang siapa melakukan suatu tindak
pidana, maka akan dikenakan sanksi pidana dalam hal penentuan sanksi
pidananya, untuk menentukan apakah ia melakukan tindak pidana atau tidak
perlu dibuktikan”.

Istilah Aborsi juga dikenal sebagai Abortus Provocatus. Abortus


provocatus adalah pengguguran kandungan yang disengaja, yang terjadi
karena perbuatan manusia yang berusaha menggugurkan kehamilan yang
tidak diinginkan, antara lain aborsi provocatus medicinalis dan aborsi
provocatus kriminalis. Abortus provocatus medicinalis adalah aborsi yang
dilakukan berdasarkan alasan/pertimbangan medis.

Sedangkan aborabortus provocatus criminalis yaitu aborsi yang


dilakukan dengan sengaja dengan melanggar ketentuan hukum yang
berlaku. Secara etimologi akar kata aborsi berasal dari bahasa Inggris,
Secara terminologi, aborsi didefinisikan sebagai pengeluaran (secara paksa)
janin dalam kandungan sebelum ia dapat hidup di luar kandungan.

yang dimaksud dengan abortus adalah terminologi medis yang berarti


pengakhiran kehamilan sebelum usia kehamilan 20 minggu, abortus dapat
terjadi secara spontan dan dapat juga terjadi dengan unsur kesengajaan
(provokatus). Dunia medis mengenal adanya pravokatus medicinalis atau
aborsi terapeutik, yaitu suatu upaya terapeutik yang memerlukan cara

3
penghentian kehamilan. Dengan tidak adanya asas terapi, aborsi provocatus
dianggap sebagai aborsi provokatif pidana atau pengguguran kandungan
sebagaimana diatur dalam pasal-pasal KUHP.

Seperti “tindak pidana pembunuhan yang diatur secara tegas dalam


KUHP, dapat digolongkan sebagai tindak pidana pembunuhan biasa, tindak
pidana pembunuhan berencana atau tindak pidana lain yang dapat
membunuh orang lain”. Untuk memidana pelaku, perlu dilakukan
pemeriksaan perkara pidana dalam proses peradilan untuk mencari
kebenaran materil (materiele waarheid) atas perkara tersebut. Hal ini terlihat
dari upaya aparat penegak hukum dalam proses verifikasi untuk
mendapatkan bukti adanya tindak pidana pembunuhan.

Perdebatan tentang aborsi di Indonesia akhir-akhir ini semakin marak


karena dipicu oleh berbagai peristiwa yang mengguncang sendi-sendi
kehidupan manusia. Kehidupan yang diberikan kepada setiap manusia
adalah Hak Asasi Manusia yang hanya dapat dicabut oleh pemberi
kehidupan tersebut. Berbicara tentang aborsi tentunya kita berbicara tentang
kehidupan manusia karena aborsi sangat erat kaitannya dengan wanita dan
janin yang ada di dalam kandungan wanita. Dalam hal aborsi atau aborsi
kita tidak lepas dari perlindungan hukum terhadap anak. Karena UU
Perlindungan Anak dengan jelas menjabarkan apa yang dimaksud dengan
anak berdasarkan Pasal 1 ayat 1 UU No. 35 tahun 2014 adalah seseorang
yang belum berusia 18 tahun termasuk dalam kandungan. Bahkan dalam
Pasal 1 ayat 2 UU No.

Sebagian besar perempuan korban kehamilan akibat perkosaan memilih


melakukan aborsi. Alasan perempuan korban perkosaan melakukan aborsi
adalah karena melahirkan anak akibat perkosaan akan menambah
penderitaan batin mereka, karena kelahiran anak akan selalu mengingatkan
mereka akan peristiwa perkosaan yang dialaminya. Mereka yang tidak
setuju aborsi dilakukan oleh perempuan korban perkosaan berpendapat

4
bahwa setiap orang berhak untuk hidup, termasuk janin dalam kandungan
perempuan akibat perkosaan. Ciptaan Tuhanlah yang berhak menikmati
hidup. Bagi yang setuju bahwa aborsi dapat dilakukan bagi korban
perkosaan, bahwa kehamilan tidak terjadi atas kehendak korban sehingga
dapat mengurangi penderitaan korban baik secara psikis maupun sosial,
maka korban perkosaan diberikan hak untuk dapat untuk melakukan aborsi.

Jika ditarik dari sejarah Kedokteran Forensik “sejak tahun 44 SM


dilakukan pemeriksaan medis pertama terhadap jenazah, untuk kepentingan
umum, dokter Romawi kuno menyatakan bahwa 21 luka yang ditemukan
adalah luka yang fatal, konon forum ini adalah disebut Forensik." Dan mulai
berkembang. Pada 600M, itu ditulis oleh medicolegal pertama di China,
yang disebut "Ming Yuang Shih Lu, dari 1241-1253M, sebuah manual
diterbitkan tentang kematian yang mencurigakan". Di Indonesia, “ilmu
kedokteran forensik sudah mulai dikembangkan pada akhir masa penjajahan
Belanda di Jakarta.” Sebuah buku tentang "kedokteran forensik" diterbitkan
oleh seorang dokter Belanda di Jakarta pada akhir abad ke-19. Setelah para
dokter Belanda kembali ke negaranya, perkembangan kedokteran forensik
di Indonesia agak lambat.

Baru kemudian pada tahun 1970-an bidang ini mulai dimunculkan dan
mampu mensejajarkan dirinya sebagai cabang spesialisasi kedokteran pada
tahun 1980-an.” Saat ini sedikitnya ada 90 dokter forensik di Indonesia yang
bekerja di berbagai kota, namun tidak cukup untuk semua provinsi.
Sementara laboratorium forensik Polri yang berkedudukan di Jakarta
memiliki cabang di berbagai kota besar, antara lain Semarang, Denpasar,
Medan, Palembang, dan Makassar. Ilmu Kedokteran Forensik di Indonesia
melangkah lebih jauh dengan “memasuki bidang medikolegal dan hukum
kedokteran dalam lingkungan kedokteran, baik dari segi pendidikan,
pelayanan maupun penelitian” Baru kemudian pada tahun 1970-an bidang
ini mulai dimunculkan dan mampu menyelaraskan diri sebagai cabang
spesialisasi medis pada 1980-an.” Saat ini sedikitnya ada 90 dokter forensik

5
di Indonesia yang bekerja di berbagai kota, namun tidak cukup untuk semua
provinsi.

Sementara laboratorium forensik Polri yang berkedudukan di Jakarta


memiliki cabang di berbagai kota besar, antara lain Semarang, Denpasar,
Medan, Palembang, dan Makassar. Ilmu Kedokteran Forensik di Indonesia
melangkah lebih jauh dengan “memasuki bidang medikolegal dan hukum
kedokteran dalam lingkungan kedokteran, baik dari segi pendidikan,
pelayanan maupun penelitian” Baru kemudian pada tahun 1970-an bidang
ini mulai dimunculkan dan mampu menyelaraskan diri sebagai cabang
spesialisasi medis pada 1980-an.” Saat ini sedikitnya ada 90 dokter forensik
di Indonesia yang bekerja di berbagai kota, namun tidak cukup untuk semua
provinsi. Sementara laboratorium forensik Polri yang berkedudukan di
Jakarta memiliki cabang di berbagai kota besar, antara lain Semarang,
Denpasar, Medan, Palembang, dan Makassar. Kedokteran Forensik di
Indonesia melangkah lebih jauh dengan “memasuki bidang medikolegal dan
hukum kedokteran di lingkungan kedokteran, baik dari segi pendidikan,
pelayanan maupun penelitian” Sementara itu, laboratorium forensik Polri
yang berkedudukan di Jakarta memiliki cabang di banyak kota-kota besar,
antara lain Semarang, Denpasar, Medan, Palembang, dan Makassar.
Kedokteran Forensik di Indonesia melangkah lebih jauh dengan “memasuki
bidang medikolegal dan hukum kedokteran di lingkungan kedokteran, baik
dari segi pendidikan, pelayanan maupun penelitian” Sementara itu,
laboratorium forensik Polri yang berkedudukan di Jakarta memiliki cabang
di banyak kota-kota besar, antara lain Semarang, Denpasar, Medan,
Palembang, dan Makassar. Kedokteran Forensik di Indonesia selangkah
lebih maju dengan “memasuki bidang medikolegal dan hukum kedokteran
di lingkungan kedokteran, baik dalam hal pendidikan, pelayanan maupun
penelitian”

Di Indonesia, meskipun hak asasi perempuan sebagai hak asasi manusia


telah diatur dalam UU No. 39/99 tentang hak asasi manusia pasal (45) dan

6
(51), namun jauh sebelum itu, hak asasi perempuan telah menjadi agenda
pembahasan dalam konferensi dunia pertama tentang perempuan di
Meksiko yang diadakan pada tahun 1975. Hal ini didasarkan pada
pengalaman perempuan, bahwa meskipun negaranya telah menandatangani
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (termasuk Indonesia), diskriminasi
terhadap perempuan terus terjadi. Sehubungan dengan fakta tersebut, pada
Sidang Umum PBB tahun 1979, diadopsi naskah yang diajukan oleh Komisi
Status Perempuan di PBB, dengan menetapkannya sebagai Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW).
yang secara resmi diterjemahkan menjadi Konvensi Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Konvensi Perempuan).

Konvensi yang pada tingkat internasional merupakan upaya untuk


memajukan dan menegakkan hak-hak perempuan untuk bebas dari segala
bentuk diskriminasi ini telah diratifikasi di Indonesia dengan Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1984. Selanjutnya dengan menyetujui dan ikut
meratifikasi suatu konvensi internasional, maka Pemerintah Indonesia telah
mengikatkan diri secara moral dan hukum terhadap hukum internasional.
Artinya, Indonesia wajib membuat undang-undang baru, mengubah
kebijakan, peraturan pemerintah, atau ketentuan yang tidak sesuai dengan isi
konvensi yang telah diratifikasi. Pasal (12) ayat (2) Konvensi Perempuan
mengatur kewajiban negara untuk menjamin tersedianya pelayanan
kesehatan reproduksi perempuan, yaitu:

1. Menjamin pelayanan yang layak bagi perempuan sehubungan dengan


kehamilan, persalinan dan masa nifas, memberikan pelayanan gratis jika
diperlukan.
2. Memastikan ibu mendapatkan nutrisi yang cukup selama hamil dan
menyusui

Masa remaja merupakan bagian dari siklus kehidupan manusia yang


harus dilalui. Peralihan dari masa remaja ke masa dewasa merupakan proses

7
universal yang sangat bervariasi dari orang ke orang, wilayah, negara dan
budaya. Titik tolak peralihan ini, baik bagi perempuan maupun laki-laki
terkait pubertas, akan terjadi pada berbagai usia. Tidak ada definisi yang
jelas kapan masa transisi ini akan berakhir

Berbeda dengan KUHP yang tidak memberikan ruang sedikitpun untuk


aborsi, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pada
dasarnya melarang aborsi, namun larangan ini dapat dikecualikan dengan
syarat-syarat tertentu yaitu adanya indikasi kegawatdaruratan medis dan
kehamilan akibat perkosaan.

seperti yang ditentukan dalam ketentuan Pasal 75 ayat (2) huruf a dan b.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, khususnya
Pasal 75, Pasal 76, dan Pasal 77 ditegaskan kembali dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi,
khususnya Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal
37, dan Pasal 38. Mengenai tindakan untuk dapat melakukan aborsi, dalam
hal aborsi yang didasarkan atas kehamilan akibat perkosaan secara teoretis
sudah diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang
Kesehatan Reproduksi tapi kita belum pernah tahu implementasinya.
Berdasarkan uraian di atas, penulis terdorong untuk menyusun sebuah jurnal
dengan judul PRAKTIK ABORSI BERDASARKAN HUKUM DI
INDONESIA.

1.2 Perumusan Masalah

Dari pokok permasalahan yang telah dijelaskan pada latar belakang


makalah ini, maka rumusan masalahnya adalah:

1. Bagaimana kandungan yang terkandung dalam undang-undang dalam


tindak pidana aborsi?

8
2. Bagaimana pelaksanaan tindak pidana aborsi berdasarkan Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

2. METODE PENELITIAN

Penelitian hukum yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif, yaitu


penelitian yang dilakukan terhadap norma hukum positif berupa peraturan
perundang-undangan dan mengidentifikasi konsep dan asas hukum yang
digunakan. Sehubungan dengan jenis penelitian yang digunakan adalah
normatif, maka pendekatan yang digunakan adalah:

1. Pendekatan perundang-undangan dilakukan untuk mengkaji aturan


mengenai hak cipta yaitu bagaimana jika terjadi pelanggaran hak cipta
film terhadap situs-situs yang menyediakan layanan download film gratis
di media internet.
2. Pendekatan konseptual digunakan untuk memahami konsep hak cipta
sehingga diharapkan normalisasi dalam aturan hukum tidak lagi
membiarkan pemahaman yang ambigu dan kabur sehingga perlindungan
bagi pembuat film terhadap situs penyedia layanan download film gratis
di media internet menjadi jelas.

Langkah-langkah yang dilakukan dalam mengumpulkan bahan hukum:

Studi kepustakaan yaitu dengan mempelajari bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder dimana cara memperoleh datanya dilakukan dengan cara
mencari, menemukan berbagai peraturan perundang-undangan serta pendapat
hukum berupa literatur, internet, jurnal, hasil penelitian, surat kabar dan
majalah ilmiah.

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui
pendekatan kualitatif, artinya “pengolahan dan analisis data dengan
mengutamakan kualitas data yang diperoleh. Data yang diperoleh langsung

9
dari data pustaka dan informan dianalisis secara mendalam, holistik dan
komprehensif.

Kemudian sistematisasi hukum positif dilakukan dengan dua cara, yaitu:

1. Sistematisasi vertikal, yaitu sistematisasi yang berkaitan dengan


peraturan perundang-undangan yang berjenjang dari atas ke bawah.
2. Sistematisasi horizontal, yaitu sistematisasi yang berkaitan dengan
peraturan perundang-undangan yang sejenis.

Selain itu, bahan hukum sekunder akan dianalisis dengan mencari persamaan
dan perbedaan pendapat hukum, serta membandingkan pendapat hukum
mengenai pelaksanaan aborsi pada kehamilan akibat perkosaan. Dalam
menarik kesimpulan, digunakan prosedur penalaran deduktif. Prosedur
penalaran deduktif adalah prosedur penalaran yang dimulai dari ketentuan
undang-undang dan diakhiri dengan penarikan kesimpulan dari suatu fakta
hukum yang seharusnya terjadi dalam masyarakat. Dalam penelitian ini,
penulis akan menarik kesimpulan dimulai dari Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun
2014 tentang Kesehatan Reproduksi dan diakhiri dengan kesimpulan yaitu
pelaksanaan aborsi menurut undang-undang di Indonesia.

3. HASIL DAN DISKUSI

3.1 Undang-undang yang Mengatur Larangan Tindak Pidana Aborsi

kami sebut beberapa rumusan pengertian kejahatan atau istilah


“kejahatan sebagai pengganti istilah Strafbaar Feit, apabila pelakunya
memenuhi unsur-unsurnya. dimaksud di atas, para pembuat undang-undang
kini konsisten menggunakan istilah tindak pidana.” Berikut ini adalah
pengertian kejahatan sebagaimana dikemukakan oleh beberapa ahli hukum
diantaranya :

10
1. Menurut Simons

Strafbaar Feitis “perilaku (Hendeling) yang dapat dihukum dengan


kejahatan yang melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan
dan yang dilakukan oleh orang yang mampu untuk bertanggung jawab.
Unsur kejahatan.” Bahwa Starfbaar feit atau peristiwa kriminal, adalah
“perbuatan melawan hukum yang berkaitan dengan kesalahan (schuld)
seseorang yang dapat dimintai pertanggungjawaban. Kesalahan dalam
arti luas yang meliputi dolus (sengaja) dan culpa lata (lalai dan lalai).

Mengenai Undang-undang Aborsi di Indonesia, ada beberapa undang-


undang terkait masalah aborsi yang masih berlaku hingga saat ini,
diantara undang-undang tersebut yang paling relevan adalah:

1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang KUHP Pasal 346-349


KUHP mengkategorikan aborsi sebagai kejahatan, sebagaimana teks
lengkap pasal-pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:

a. Pasal 346: “Seorang wanita yang dengan sengaja menggugurkan


kandungannya atau membunuh kandungannya atau menyuruh
orang lain melakukan itu, diancam dengan pidana penjara paling
lama empat tahun.
b. Pasal 347:

1. Barang siapa dengan sengaja menggugurkan kandungan atau


menyebabkan kematian seorang Wanita kandungannya tanpa
persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama
dua belas tahun.
2. Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya perempuan itu,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

11
c. Pasal 348:

1. Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau membunuh


kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
2. Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita itu, diancam
dengan pidana maksimum penjara tujuh tahun.

d. Pasal 349:

“Jika seorang tabib, dukun atau dukun membantu melakukan salah


satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka
hukuman yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah sepertiga
dan ia dapat diberhentikan dari jabatan yang digunakan untuk
melakukan kejahatan itu”

2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Walaupun


aborsi secara teknis ilegal dalam KUHP namun pada tahun 1992, muncul
UU yang lebih liberal yaitu UU nomor 23 tahun 1992.

Meskipun aborsi secara teknis ilegal di bawah hukum pidana, interpretasi


yudisial pada awal 1970-an mengizinkan para profesional medis untuk
menawarkan prosedur tersebut selama mereka berhati-hati dan berhati-
hati. Jumlah aborsi medis yang dilakukan di Indonesia meningkat secara
dramatis, dan terdapat bukti penurunan yang sesuai dalam insiden
morbiditas dan mortalitas yang disebabkan oleh prosedur ilegal yang
berbahaya. Kelompok medis dan masyarakat mengkampanyekan undang-
undang aborsi yang lebih liberal untuk melindungi para praktisi hukum
dan membasmi praktik-praktik tradisional yang ilegal (Studies In Family
Planning, 1993; 24, 4: 241-251).

12
Dalam Pasal 15 ayat 1, 2 dan 3 Undang-Undang ini yang berkaitan dengan
aborsi berbunyi sebagai berikut:

a. Dalam keadaan darurat sebagai upaya penyelamatan nyawa ibu hamil


dan/atau janinnya dapat dilakukan tindakan medis tertentu.
b. Tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 hanya
dapat dilakukan:
1. Berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan dilakukannya
tindakan tersebut.
2. Oleh tenaga kesehatan yang memiliki keahlian dan kewenangan
untuk itu dan dilaksanakan disesuai dengan tanggung jawab
profesional dan berdasarkan pertimbangan tim ahli.
3. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami
atau keluarganya.
4. Adanya fasilitas kesehatan tertentu.
5. Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan medis tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) diatur dengan
peraturan pemerintah.

Hukum yang mengatur aborsi di Indonesia juga telah diatur dalam


Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Namun berdasarkan Pasal 75
UU Kesehatan disebutkan bahwa hanya ada dua syarat pengecualian
aborsi, menurut alasan medis, antara lain:

1. Adanya indikasi kegawatdaruratan kesehatan pada usia kehamilan dini


yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, janin menderita kelainan
genetik berat, atau cacat bawaan yang tidak dapat disembuhkan
sehingga menyulitkan janin untuk bertahan hidup di luar rahim.
2. Kehamilan akibat perkosaan yang menimbulkan trauma.

13
Jika aborsi dilakukan di luar kedua syarat di atas, maka akan dinyatakan
sebagai sesuatu yang tidak sah dan melanggar hukum. Seperti yang tertulis
dalam pasal 194 UU Kesehatan, yakni setiap orang yang melakukan aborsi
ilegal dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda
paling banyak Rp. 1 Milyar.

Istilah populer untuk aborsi adalah aborsi. Yang dimaksud dengan


perbuatan menggugurkan kandungan adalah melakukan perbuatan dalam
bentuk dan cara apapun terhadap kandungan wanita yang mengakibatkan
lahirnya bayi atau janin dari dalam kandungan wanita tersebut lahir
prematur menurut kodratnya. Perbuatan memaksa lahirnya bayi atau janin
sebelum waktunya ini sering disebut aborsi provocatus atau kadang
disingkat aborsi saja.

Jenis aborsi dapat dikelompokkan menjadi 2 kategori berbeda:

1. Abortus spontan, yaitu abortus yang terjadi secara alamiah tanpa ada
usaha dari luar atau campur tangan manusia, termasuk abortus spontan
(aborsi tidak disengaja) dan abortus alami (aborsi alami)
2. Abortus provocatus yaitu pengguguran kandungan yang disengaja
terjadi karena perbuatan manusia yang berusaha menggugurkan
kandungan yang tidak diinginkan, antara lain :

a. Abortus medicalanalis

Yaitu aborsi yang dilakukan berdasarkan alasan/pertimbangan


medis. Contohnya adalah abortus provocatus therapetic (aborsi untuk
menyelamatkan nyawa ibu).

b. abostus provocatus Yakni aborsi yang dilakukan dengan sengaja


dengan melanggar berbagai ketentuan hukum yang berlaku. Misal:
aborsi diinduksi/abortus diprovokasi (abortus yang disengaja dengan

14
berbagai alasan lain, misalnya malu pada tetangga, tidak bisa punya
anak dan lain sebagainya).

3.2 Implementasi Tindak Pidana Aborsi berdasarkan UU Tindak Pidana


Aborsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan

Mekanisme di Indonesia yang mengatur Kedokteran Forensik di bidang


Kedokteran Forensik hanya ditujukan untuk kepentingan peradilan, namun
perkembangan zaman mengakibatkan pemanfaatannya pada bidang yang
bukan untuk peradilan. Karena merupakan "cabang spesialis ilmu
kedokteran, maka paradigma ilmiah dasar tetaplah paradigma kedokteran,
demikian pula dasar-dasar metodologi ilmiah".

“Fungsi utama kedokteran forensik adalah membantu proses penegakan


hukum dan keadilan, khususnya dalam kasus-kasus pidana yang
menyangkut tubuh, kesehatan, dan jiwa manusia”.

Nama Visum et repertum merupakan nama yang terdapat dalam


“Staatsblad No 350 Tahun 1937” namun dalam Batasan “Visum et
repertum dalam KUHAP memiliki arti yang berbeda dimana dalam arti
Visum et repertum dalam KUHAP” .

“Pasal 1 Staatblad No 350 Tahun 1937”

“Visa reperta dari dokter yang dibuat di bawah sumpah jabatan yang
diucapkan pada waktu menyelesaikan studi kedokteran di Negeri Belanda
atau di Indonesia, atau sumpah khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2, mempunyai bukti dalam perkara pidana, sepanjang memuat keterangan
tentang apa yang dilihat oleh dokter pada benda yang diperiksa.

Dasar hukum pembuatan visum et repertum adalah “Pasal 133


KUHAP, yaitu apabila orang yang diperiksa adalah manusia sebagai

15
korban atau diduga sebagai korban tindak pidana, baik hidup maupun
mati. Pemeriksaan terhadap tersangka tidak menggunakan dasar hukum
Pasal 133 KUHAP.

“Pasal 133 KUHAP”.

(1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan berhadapan dengan


korban baik luka, keracunan, maupun mati yang diduga karena peristiwa
yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan
keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau
ahli lainnya.

(2)(1) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


dilakukan secara tertulis yang dengan tegas dinyatakan dalam surat
pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan/atau pemeriksaan mayat.

(3) Jenazah yang diserahkan kepada ahli kedokteran kehakiman atau


dokter di rumah sakit harus diperlakukan dengan baik dengan penuh
hormat terhadap jenazah dan diberi label yang memuat identitas jenazah,
diberi cap jabatan yang ditempelkan pada jenazah. jempol kaki atau bagian
tubuh lainnya.

Peran visum et repertum adalah pembuktian yang sah dari keterangan ahli
yang dibuat secara tertulis sebagaimana diatur dalam “Pasal 187
KUHAP”. Karena “Visum et repertum dibuat berdasarkan hasil
pemeriksaan kesehatan dan diperlihatkan untuk kepentingan peradilan
sebagai salinan atau salinan alat bukti disertai pendapat dokter pembuat
tentang hasil pemeriksaan”.

Berdasarkan penjelasan di atas mengenai pembunuhan berencana sesuai


dengan “Pasal 340 KUHP”, maka dapat diketahui bahwa “peran
kedokteran forensik sangat diperlukan dalam dunia peradilan, karena

16
dengan bantuan kedokteran forensik seorang hakim dapat menentukan
apakah seorang terdakwa dihukum atau tidak atas perbuatannya”.

“Jenis Visum et repertum dan pembuatannya berkaitan dengan bahan yang


diperiksa dan pemeriksaan dasarnya, yang dikenal dengan pengelompokan
jenis Visum et Repertum” sebagai berikut:

1. “Visum et repertum korban mati


2. Visum et repertum korban hidup
3. Visum et repertum keracunan
4. Visum et repertum kejahatan".

Peran visum et repertum sendiri adalah “sebagai alat bukti yang dianggap
sah sebagai keterangan ahli yang dibuat secara tertulis yang telah diatur
dalam KUHAP dan dasar hukumnya diatur dalam Pasal 187 KUHAP.”

“Pasal 187 KUHAP”

Surat sebagaimana dimaksud dalam “Pasal 184 ayat (1) huruf c” yang
diucapkan di bawah sumpah jabatan atau dikukuhkan dengan sumpah
adalah: (c) “pernyataan ahli yang berisi pendapat berdasarkan keahliannya
mengenai suatu hal atau keadaan. yang secara resmi diminta darinya;”
sedangkan alat bukti yang sah sesuai dengan KUHAP.” adalah:

“Pasal 184 ayat (1) KUHAP”

1) "Kesaksian saksi
2) Pernyataan ahli
3) Surat
4) Instruksi
5) "Pernyataan terdakwa."

Oleh karena itu “Visum et repertum dibuat sesuai dengan hasil


pemeriksaan medis untuk diperlihatkan guna kepentingan peradilan

17
sebagai alat pembuktian yang sah, karena dapat dipahami bahwa Visum et
repertum yang seolah-olah bertindak sebagai salinan atau fotokopi barang
bukti yang disertai berdasarkan pendapat dokter mengenai hasil
pemeriksaan.

Ada beberapa jenis visum et repertum dan cara pembuatannya:

Visum et repertum berkaitan dengan bahan yang akan diperiksa tetapi


dalam pemeriksaannya harus berdasarkan hal tersebut, oleh karena itu
dikenal pengelompokan “jenis-jenis visum et repertum”, sebagai berikut:

1. Visum et repertum psikiatri (psikiatri).

Visum et repertum jenis psikiatri ini “dibuat untuk dapat menjelaskan


status kejiwaan yang dialami seseorang dengan menggunakan ilmu
kejiwaan tersebut yang dicocokkan dengan hasil pemeriksaan
kejiwaan”.

2. Visum et repertum fisik.

Dalam pembuatan “Visum et repertum ini lebih banyak menggunakan


ilmu kedokteran yang didasarkan pada hasil pemeriksaan kesehatan
fisik korban tindak pidana”.

3. Visum et repertum jenajah

“Dalam pemeriksaan badan, bagian ini dibagi menjadi tiga bagian”,


yaitu:

a. Pemeriksaan luar, yaitu “pemeriksaan bagian luar tubuh tanpa


melakukan tindakan invasif, meliputi pemeriksaan bungkus
jenazah, pakaian satu per satu atau lapis demi lapis, gambaran rinci
seluruh bagian tubuh dan pemeriksaan luka atau luka.

18
b. Pemeriksaan dalam (bedah jenazah), yaitu “pemeriksaan bagian
dalam tubuh dengan membuka rongga kepala, leher, dada, perut,
panggul, dan bila perlu membuka anggota tubuh
c. Pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya
yaitu “pemeriksaan lanjutan terhadap sampel yang diambil dari
badan jenazah beserta pakaiannya”.

4. Visum et repertum bagi korban yang masih hidup

Bagian-bagian ini terdiri dari:

a. “Dilihat dari hasil pemeriksaan menyeluruh, baik pemeriksaan fisik


maupun pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang
b. Melakukan suatu tindakan dan pengobatan yang ditunjukkan
dengan alasan tidak dilakukannya tindakan yang seharusnya
dilakukan
c. Untuk keadaan riwayat korban, kondisi ini menyangkut gejala sisa
dan cacat pada tubuh korban (panca indera korban) yang penting
dapat disimpulkan agar dapat dijelaskan dengan jelas.”

5. Visum et repertum injury.

Dalam “Visum et repertum jenazah, bagian ini sekurang-kurangnya


memuat jenis luka atau kelainan, jenis kekerasan atau kelainan yang
menyebabkannya, dan penyebab kematiannya. Korban luka, penyebab
kematiannya diganti dengan kualifikasi luka ."

6. visum et repertum Keracunan

Post mortem keracunan ini dimana kasus seperti, “dokter sering lupa
mengambil bahan untuk pemeriksaan toksikologi, karena sudah
disibukkan dengan tindakan yang biasanya dilimpahkan kepada
perawat.”

19
7. Visum et repertum melawan kejahatan

Dalam “Visum et repertum korban kejahatan seksual, selain luka-luka,


juga diperlukan kesimpulan tentang terjadi atau tidaknya hubungan
seksual dan kapan terjadinya (bila mungkin), indikasi tentang ada atau
tidaknya tanda-tanda pemaksaan atau ketidaksadaran, serta sebagai
petunjuk tentang paksaan atau ketidaksadaran, serta petunjuk tentang
pelaku.”

Berdasarkan ketentuan Pasal 75 ayat (3) Undang-Undang Nomor 36


Tahun 2009 tentang Kesehatan, yaitu aborsi dapat dilakukan setelah
melalui konseling dan/atau konseling pra tindakan dan diakhiri dengan
konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh orang yang
berkompeten dan berwenang. konselor yang berwenang. Dalam
ketentuan Pasal 76 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan, aborsi hanya dapat dilakukan jika:

a. Sebelum usia kehamilan 6 (enam) minggu terhitung sejak haid


pertama dan terakhir, kecuali dalam keadaan darurat medis
b. Oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan
kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh Menteri
c. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan
d. Dengan izin suami, kecuali korban perkosaan
e. Penyedia layanan kesehatan yang memenuhi persyaratan yang
ditetapkan oleh Menteri

Pelaksanaan aborsi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 36


Tahun 2009 tentang Kesehatan ditegaskan lebih lanjut dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi pada
Pasal 35 yaitu:

20
a. Pengguguran kandungan berdasarkan indikasi kedaruratan medis
dan kehamilan akibat perkosaan harus dilakukan secara aman,
bermutu dan bertanggung jawab.
b. Praktek aborsi yang aman, bermutu dan bertanggung jawab
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
1. Dilakukan oleh dokter sesuai standar
2. Dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan yang
memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh
Menteri
3. Atas permintaan atau persetujuan ibu hamil yang
bersangkutan,
4. Dengan izin suami, kecuali korban perkosaan
5. Jangan mengutamakan imbalan materi
c. Dalam hal ibu hamil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c
tidak dapat memberikan persetujuan, keluarga yang bersangkutan
dapat memberikan persetujuan aborsi.
d. Dalam hal suami tidak dapat dihubungi, izin sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) surat diberikan oleh keluarga yang
bersangkutan.

Dalam ketentuan Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun


2014 tentang Kesehatan Reproduksi juga mengatur aborsi yaitu:

1. Aborsi atas dasar indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat


perkosaan hanya dapat dilakukan setelah konseling.
2. Konseling sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi konseling
pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan dan
diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh
konselor.
3. Penyuluhan pra tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan dengan tujuan:

21
a. Menilai kebutuhan wanita yang ingin melakukan aborsi
b. Sampaikan dan jelaskan kepada wanita yang ingin melakukan
aborsi bahwa aborsi boleh atau tidak dilakukan berdasarkan
hasil pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang
c. Jelaskan tahapan aborsi yang akan dilakukan dan kemungkinan
efek samping atau komplikasi
d. Membantu wanita yang ingin melakukan aborsi untuk membuat
keputusan sendiri untuk melakukan aborsi atau membatalkan
keinginan untuk melakukan aborsi setelah mendapat informasi
tentang aborsi

4. Konseling pasca tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)


dilakukan dengan tujuan:

a. Observasi dan evaluasi kondisi pasien pasca aborsi


b. Membantu pasien memahami keadaan atau kondisi fisik setelah
menjalani aborsi
c. Menjelaskan perlunya kunjungan ulang untuk pemeriksaan lebih
lanjut dan konseling atau tindakan rujukan jika diperlukan
d. Menjelaskan pentingnya penggunaan alat kontrasepsi untuk
mencegah terjadinya kehamilan

Selama ini mencermati Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang


Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang
Kesehatan Reproduksi, belum terlaksana secara optimal dan sempurna,
khususnya terkait aborsi. Karena perbedaan waktu antara UU dan PP serta
SOP yang kita miliki, jika melihat Pasal 76 Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan hanya memberikan waktu sekitar 6 minggu
dihitung dari hari pertama haid terakhir sedangkan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi dalam
Pasal 31 ayat (2) hanya 40 hari dihitung dari hari pertama haid terakhir.

22
Dalam melakukan prosedur sebelum korban dinyatakan dapat melakukan
aborsi sangat sulit jika berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014
tentang Kesehatan Reproduksi karena ada laporan dari korban kepada
pihak yang berwajib. untuk dapat memberikan rekomendasi kepada
instansi selanjutnya sedangkan pada dinas terkait atau instansi yang
dimaksud berikutnya belum memiliki bidang khusus untuk menangani
masalah aborsi pada instansi atau dinas yang diberi kewenangan untuk
memberikan izin aborsi. Hal inilah yang menjadi faktor penghambat
pelaksanaan aborsi berdasarkan kehamilan akibat perkosaan. Implementasi
ini terkendala karena persepsi aparat penegak hukum berbeda dengan
lembaga lain seperti PKBI dalam mendefinisikan perkosaan. Penegak
hukum masih menggunakan pengertian umum perkosaan berdasarkan
KUHP. Oleh karena itu, pelaksanaan aborsi terhambat dan tidak dapat
dilaksanakan dengan baik. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 tentang Kesehatan
Reproduksi tidak mengatur secara jelas mengenai pengertian aborsi akibat
perkosaan.

4. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan pada pembahasan, dapat


disimpulkan sebagai berikut:

a. Masih banyak permasalahan dan konflik mengenai kajian aborsi


kehamilan akibat perkosaan, yaitu:

i. Dalam pelaksanaan aborsi kehamilan akibat perkosaan


berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014
tentang Kesehatan Reproduksi belum terlaksana secara
maksimal karena belum adanya laporan yang diperoleh Dinas

23
Kesehatan mengenai aborsi kehamilan akibat perkosaan oleh
PKBI
ii. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan
Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan
Reproduksi mengenai waktu diperbolehkannya aborsi masih
dianggap simpang siur sehingga menjadi penghambat aborsi
kehamilan akibat perkosaan

b. Hambatan yang dihadapi dalam kajian aborsi kehamilan akibat


perkosaan, yaitu:

i. Kendala internal yaitu: Keterkaitan antar instansi terkait baik


dalam memberikan rekomendasi maupun memberikan izin
untuk melakukan aborsi yang dianggap membingungkan
perempuan korban perkosaan untuk dapat melakukan aborsi
yang sehat dan aman.
ii. Kendala yang bersifat eksternal yaitu: Kurangnya
pemahaman tentang kebolehan melakukan aborsi dengan
indikasi tertentu oleh masyarakat sehingga masyarakat masih
menganggap aborsi tidak diperbolehkan. Kurangnya
partisipasi masyarakat dalam keterlibatan pendidikan
kesehatan reproduksi yang diberikan oleh dinas terkait.
Banyak orang yang masih menutup-nutupi kasus kehamilan
akibat perkosaan baik oleh keluarga sendiri maupun orang
lain dan memilih diam. Terdapat perbedaan pendapat di
kalangan masyarakat mengenai diperbolehkannya atau
dilarangnya aborsi dari segi sosial, budaya dan agama.

5. SARAN

24
Dari kesimpulan tersebut penulis dapat memberikan saran sebagai berikut:

1. Badan legislatif atau Pemerintah agar merevisi Undang-Undang Nomor


36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 61
Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi tentang Aborsi agar aborsi
khususnya kehamilan akibat perkosaan dapat dilakukan dengan baik,
aman dan tanpa kebingungan bagi yang bersangkutan yang ingin
melakukan aborsi.
2. Negara harus memfasilitasi instansi atau lembaga yang terlibat dalam
penanganan aborsi agar instansi atau lembaga tersebut dapat melakukan
aborsi kehamilan akibat perkosaan secara aman dan sehat.

REFERENSI

1. Adami Chazawi, 2004, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, PT RajaGrafindo


Persada, Jakarta.
2. Anita Rahman. Hukum dan Hak Kesehatan Reproduksi Perempuan: Masalah
Aborsi. Didalam: Sulistyowati,ed. Perempuan dan Hukum ; 2006.
3. Budi sampurna, Zulhasmar Samsu, Peranan Ilmu Kedokteran Forensik Dalam
Penegakan Hukum, Jakarta: 2008.
4. Charisdiono.M. Achadiat, 2007, Dinamika Etika Dan Hukum Kedokteran, Buku
Kedokteran, Jakarta.
5. Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung:PT. Remaja Rosda
Karya, 2006). Sebagai pembanding, menurut Lexy Moleong, penelitian kualitatif
merupakan penelitian yang ingin menghasilkan prosedur analisis yang tidak
menggunakan prosedur analisis statistic, angka-angka atau kuantifikasi lainnya.
Hal ini mengingat tujuan dari penelitian kualitatif adalh ingin membangun
pandangan secara rinci, dibentuk dengan kata- kata dan bersifat holistic.
6. Suryono Ekotama dkk, 2001, Abortus Provocatus Bagi Korban Perkosaan,
Yogyakarta.
7. Budi sampurna, pak zulhasmar, Tjetjep Dwija Siswaja, PERANAAN ILMU
FORENSIK DALAM PENEGAKANHUKUM, Jakarta.
8. Wiwik Afifah, 2013, Perlindungan Hukum Bagi Perempuan Korban Perkosaan
Yang Melakukan Aborsi, JurnalIlmu Hukum, Vol-9/ No-18/febuari/2013.
9. Zarni Amri, Setyawati B, Azhari A Samudra. Kesehatan Reproduksi. Jakarta:
Reproductive Health Program,Faculty of Public Health,University of Indonesia :
2002.

25

Anda mungkin juga menyukai