** Pembimbing/………………..
………………
…………………..
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan
kasih dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan Journal Reading ini dengan
judul “Praktik Aborsi Berdasarkan Hukum di Indonesia” Laporan ini
merupakan bagian dari tugas Program Profesi Dokter di Bagian Ilmu Forensik.
Terwujudnya laporan ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan dorongan
dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih
kepada dr. ……………………., sebagai pembimbing yang telah memberikan
bimbingan dan arahan sehingga Journal Reading ini dapat terselesaikan dengan
baik dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian laporan
ini.
Penulis menyadari laporan ini masih banyak kekurangannya, untuk itu saran
dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis. Sebagai
penutup semoga kiranya Journal Reading ini dapat bermanfaat bagi kita
khususnya dan bagi dunia kesehatan pada umumnya.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman Judul................................................................................................ i
Kata Pengantar............................................................................................... ii
Daftar Isi.......................................................................................................... iii
Terjemahan Jurnal......................................................................................... 1
Daftar Pustaka................................................................................................ 25
iii
TERJEMAHAN JURNAL
Praktik Aborsi Berdasarkan Hukum di Indonesia
Dicky Arya Nugraha; Joko Setiyono
Email: dickyarya37@yahoo.co.id
http://dx.doi.org/10.47814/ijssrr.v5i11.759
ABSTRAK
Perdebatan tentang aborsi di Indonesia akhir-akhir ini semakin ramai karena
dipicu oleh berbagai peristiwa yang mengguncang sendi-sendi kehidupan
manusia. Isu aborsi saat ini sudah bukan rahasia lagi untuk dibicarakan, karena
aborsi sudah menjadi hal yang aktual dan kejadiannya sudah terjadi dimana-
mana dan dilakukan oleh siapa saja. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang
Kesehatan Reproduksi menyebutkan bahwa aborsi dapat dilakukan dengan
pengecualian, salah satunya akibat perkosaan. Sehingga tidak ada rasa takut
korban aborsi mengadukan kejadian tersebut. Namun pada kenyataannya
implementasi Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan
Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi
tidak sesuai dengan harapan. Substansi penulisan ini adalah bagaimana peran
pemerintah dan instansi terkait yang melaksanakan aborsi serta kendala yang
dihadapi dalam mewujudkannya. Pelaksanaan aborsi pada kehamilan karena
perkosaan berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 Tentang
Kesehatan Reproduksi Belum Terpenuhi Secara Maksimal Masih banyak
permasalahan dan konflik terkait pelaksanaan Undang-Undang tersebut. aborsi
pada kehamilan karena perkosaan. Adanya perbedaan pandangan dari segi
agama, sosial dan budaya. Kurangnya korelasi antar instansi atau lembaga dan
batas waktu yang diberikan kurang memadai serta adanya kendala yang bersifat
internal eksternal. Diperlukan kerjasama antara legislatif dan pemerintah yang
melibatkan juga pihak-pihak terkait seperti dinas kesehatan dan kepolisian.
2
Kata Kunci: Aborsi; implementasi; Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
1. PENGANTAR
1.1 Latar Belakang
Menurut "UUD 1945 Pasal 1 ayat (3)", Indonesia adalah "negara hukum,
jadi perbuatan manusia didasarkan atas hukum." Manusia adalah makhluk
sosial karena dimana “makhluk sosial saling berlawanan sering terjadi
perselisihan atau kepentingan pribadi antar manusia sehingga melakukan
kejahatan”. Menurut hukum pidana, “Barang siapa melakukan suatu tindak
pidana, maka akan dikenakan sanksi pidana dalam hal penentuan sanksi
pidananya, untuk menentukan apakah ia melakukan tindak pidana atau tidak
perlu dibuktikan”.
3
penghentian kehamilan. Dengan tidak adanya asas terapi, aborsi provocatus
dianggap sebagai aborsi provokatif pidana atau pengguguran kandungan
sebagaimana diatur dalam pasal-pasal KUHP.
4
bahwa setiap orang berhak untuk hidup, termasuk janin dalam kandungan
perempuan akibat perkosaan. Ciptaan Tuhanlah yang berhak menikmati
hidup. Bagi yang setuju bahwa aborsi dapat dilakukan bagi korban
perkosaan, bahwa kehamilan tidak terjadi atas kehendak korban sehingga
dapat mengurangi penderitaan korban baik secara psikis maupun sosial,
maka korban perkosaan diberikan hak untuk dapat untuk melakukan aborsi.
Baru kemudian pada tahun 1970-an bidang ini mulai dimunculkan dan
mampu mensejajarkan dirinya sebagai cabang spesialisasi kedokteran pada
tahun 1980-an.” Saat ini sedikitnya ada 90 dokter forensik di Indonesia yang
bekerja di berbagai kota, namun tidak cukup untuk semua provinsi.
Sementara laboratorium forensik Polri yang berkedudukan di Jakarta
memiliki cabang di berbagai kota besar, antara lain Semarang, Denpasar,
Medan, Palembang, dan Makassar. Ilmu Kedokteran Forensik di Indonesia
melangkah lebih jauh dengan “memasuki bidang medikolegal dan hukum
kedokteran dalam lingkungan kedokteran, baik dari segi pendidikan,
pelayanan maupun penelitian” Baru kemudian pada tahun 1970-an bidang
ini mulai dimunculkan dan mampu menyelaraskan diri sebagai cabang
spesialisasi medis pada 1980-an.” Saat ini sedikitnya ada 90 dokter forensik
5
di Indonesia yang bekerja di berbagai kota, namun tidak cukup untuk semua
provinsi.
6
(51), namun jauh sebelum itu, hak asasi perempuan telah menjadi agenda
pembahasan dalam konferensi dunia pertama tentang perempuan di
Meksiko yang diadakan pada tahun 1975. Hal ini didasarkan pada
pengalaman perempuan, bahwa meskipun negaranya telah menandatangani
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (termasuk Indonesia), diskriminasi
terhadap perempuan terus terjadi. Sehubungan dengan fakta tersebut, pada
Sidang Umum PBB tahun 1979, diadopsi naskah yang diajukan oleh Komisi
Status Perempuan di PBB, dengan menetapkannya sebagai Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW).
yang secara resmi diterjemahkan menjadi Konvensi Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Konvensi Perempuan).
7
universal yang sangat bervariasi dari orang ke orang, wilayah, negara dan
budaya. Titik tolak peralihan ini, baik bagi perempuan maupun laki-laki
terkait pubertas, akan terjadi pada berbagai usia. Tidak ada definisi yang
jelas kapan masa transisi ini akan berakhir
seperti yang ditentukan dalam ketentuan Pasal 75 ayat (2) huruf a dan b.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, khususnya
Pasal 75, Pasal 76, dan Pasal 77 ditegaskan kembali dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi,
khususnya Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal
37, dan Pasal 38. Mengenai tindakan untuk dapat melakukan aborsi, dalam
hal aborsi yang didasarkan atas kehamilan akibat perkosaan secara teoretis
sudah diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang
Kesehatan Reproduksi tapi kita belum pernah tahu implementasinya.
Berdasarkan uraian di atas, penulis terdorong untuk menyusun sebuah jurnal
dengan judul PRAKTIK ABORSI BERDASARKAN HUKUM DI
INDONESIA.
8
2. Bagaimana pelaksanaan tindak pidana aborsi berdasarkan Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
2. METODE PENELITIAN
Studi kepustakaan yaitu dengan mempelajari bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder dimana cara memperoleh datanya dilakukan dengan cara
mencari, menemukan berbagai peraturan perundang-undangan serta pendapat
hukum berupa literatur, internet, jurnal, hasil penelitian, surat kabar dan
majalah ilmiah.
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui
pendekatan kualitatif, artinya “pengolahan dan analisis data dengan
mengutamakan kualitas data yang diperoleh. Data yang diperoleh langsung
9
dari data pustaka dan informan dianalisis secara mendalam, holistik dan
komprehensif.
Selain itu, bahan hukum sekunder akan dianalisis dengan mencari persamaan
dan perbedaan pendapat hukum, serta membandingkan pendapat hukum
mengenai pelaksanaan aborsi pada kehamilan akibat perkosaan. Dalam
menarik kesimpulan, digunakan prosedur penalaran deduktif. Prosedur
penalaran deduktif adalah prosedur penalaran yang dimulai dari ketentuan
undang-undang dan diakhiri dengan penarikan kesimpulan dari suatu fakta
hukum yang seharusnya terjadi dalam masyarakat. Dalam penelitian ini,
penulis akan menarik kesimpulan dimulai dari Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun
2014 tentang Kesehatan Reproduksi dan diakhiri dengan kesimpulan yaitu
pelaksanaan aborsi menurut undang-undang di Indonesia.
10
1. Menurut Simons
11
c. Pasal 348:
d. Pasal 349:
12
Dalam Pasal 15 ayat 1, 2 dan 3 Undang-Undang ini yang berkaitan dengan
aborsi berbunyi sebagai berikut:
13
Jika aborsi dilakukan di luar kedua syarat di atas, maka akan dinyatakan
sebagai sesuatu yang tidak sah dan melanggar hukum. Seperti yang tertulis
dalam pasal 194 UU Kesehatan, yakni setiap orang yang melakukan aborsi
ilegal dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda
paling banyak Rp. 1 Milyar.
1. Abortus spontan, yaitu abortus yang terjadi secara alamiah tanpa ada
usaha dari luar atau campur tangan manusia, termasuk abortus spontan
(aborsi tidak disengaja) dan abortus alami (aborsi alami)
2. Abortus provocatus yaitu pengguguran kandungan yang disengaja
terjadi karena perbuatan manusia yang berusaha menggugurkan
kandungan yang tidak diinginkan, antara lain :
a. Abortus medicalanalis
14
berbagai alasan lain, misalnya malu pada tetangga, tidak bisa punya
anak dan lain sebagainya).
“Visa reperta dari dokter yang dibuat di bawah sumpah jabatan yang
diucapkan pada waktu menyelesaikan studi kedokteran di Negeri Belanda
atau di Indonesia, atau sumpah khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2, mempunyai bukti dalam perkara pidana, sepanjang memuat keterangan
tentang apa yang dilihat oleh dokter pada benda yang diperiksa.
15
korban atau diduga sebagai korban tindak pidana, baik hidup maupun
mati. Pemeriksaan terhadap tersangka tidak menggunakan dasar hukum
Pasal 133 KUHAP.
Peran visum et repertum adalah pembuktian yang sah dari keterangan ahli
yang dibuat secara tertulis sebagaimana diatur dalam “Pasal 187
KUHAP”. Karena “Visum et repertum dibuat berdasarkan hasil
pemeriksaan kesehatan dan diperlihatkan untuk kepentingan peradilan
sebagai salinan atau salinan alat bukti disertai pendapat dokter pembuat
tentang hasil pemeriksaan”.
16
dengan bantuan kedokteran forensik seorang hakim dapat menentukan
apakah seorang terdakwa dihukum atau tidak atas perbuatannya”.
Peran visum et repertum sendiri adalah “sebagai alat bukti yang dianggap
sah sebagai keterangan ahli yang dibuat secara tertulis yang telah diatur
dalam KUHAP dan dasar hukumnya diatur dalam Pasal 187 KUHAP.”
Surat sebagaimana dimaksud dalam “Pasal 184 ayat (1) huruf c” yang
diucapkan di bawah sumpah jabatan atau dikukuhkan dengan sumpah
adalah: (c) “pernyataan ahli yang berisi pendapat berdasarkan keahliannya
mengenai suatu hal atau keadaan. yang secara resmi diminta darinya;”
sedangkan alat bukti yang sah sesuai dengan KUHAP.” adalah:
1) "Kesaksian saksi
2) Pernyataan ahli
3) Surat
4) Instruksi
5) "Pernyataan terdakwa."
17
sebagai alat pembuktian yang sah, karena dapat dipahami bahwa Visum et
repertum yang seolah-olah bertindak sebagai salinan atau fotokopi barang
bukti yang disertai berdasarkan pendapat dokter mengenai hasil
pemeriksaan.
18
b. Pemeriksaan dalam (bedah jenazah), yaitu “pemeriksaan bagian
dalam tubuh dengan membuka rongga kepala, leher, dada, perut,
panggul, dan bila perlu membuka anggota tubuh
c. Pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya
yaitu “pemeriksaan lanjutan terhadap sampel yang diambil dari
badan jenazah beserta pakaiannya”.
Post mortem keracunan ini dimana kasus seperti, “dokter sering lupa
mengambil bahan untuk pemeriksaan toksikologi, karena sudah
disibukkan dengan tindakan yang biasanya dilimpahkan kepada
perawat.”
19
7. Visum et repertum melawan kejahatan
20
a. Pengguguran kandungan berdasarkan indikasi kedaruratan medis
dan kehamilan akibat perkosaan harus dilakukan secara aman,
bermutu dan bertanggung jawab.
b. Praktek aborsi yang aman, bermutu dan bertanggung jawab
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
1. Dilakukan oleh dokter sesuai standar
2. Dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan yang
memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh
Menteri
3. Atas permintaan atau persetujuan ibu hamil yang
bersangkutan,
4. Dengan izin suami, kecuali korban perkosaan
5. Jangan mengutamakan imbalan materi
c. Dalam hal ibu hamil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c
tidak dapat memberikan persetujuan, keluarga yang bersangkutan
dapat memberikan persetujuan aborsi.
d. Dalam hal suami tidak dapat dihubungi, izin sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) surat diberikan oleh keluarga yang
bersangkutan.
21
a. Menilai kebutuhan wanita yang ingin melakukan aborsi
b. Sampaikan dan jelaskan kepada wanita yang ingin melakukan
aborsi bahwa aborsi boleh atau tidak dilakukan berdasarkan
hasil pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang
c. Jelaskan tahapan aborsi yang akan dilakukan dan kemungkinan
efek samping atau komplikasi
d. Membantu wanita yang ingin melakukan aborsi untuk membuat
keputusan sendiri untuk melakukan aborsi atau membatalkan
keinginan untuk melakukan aborsi setelah mendapat informasi
tentang aborsi
22
Dalam melakukan prosedur sebelum korban dinyatakan dapat melakukan
aborsi sangat sulit jika berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014
tentang Kesehatan Reproduksi karena ada laporan dari korban kepada
pihak yang berwajib. untuk dapat memberikan rekomendasi kepada
instansi selanjutnya sedangkan pada dinas terkait atau instansi yang
dimaksud berikutnya belum memiliki bidang khusus untuk menangani
masalah aborsi pada instansi atau dinas yang diberi kewenangan untuk
memberikan izin aborsi. Hal inilah yang menjadi faktor penghambat
pelaksanaan aborsi berdasarkan kehamilan akibat perkosaan. Implementasi
ini terkendala karena persepsi aparat penegak hukum berbeda dengan
lembaga lain seperti PKBI dalam mendefinisikan perkosaan. Penegak
hukum masih menggunakan pengertian umum perkosaan berdasarkan
KUHP. Oleh karena itu, pelaksanaan aborsi terhambat dan tidak dapat
dilaksanakan dengan baik. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 tentang Kesehatan
Reproduksi tidak mengatur secara jelas mengenai pengertian aborsi akibat
perkosaan.
4. KESIMPULAN
23
Kesehatan mengenai aborsi kehamilan akibat perkosaan oleh
PKBI
ii. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan
Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan
Reproduksi mengenai waktu diperbolehkannya aborsi masih
dianggap simpang siur sehingga menjadi penghambat aborsi
kehamilan akibat perkosaan
5. SARAN
24
Dari kesimpulan tersebut penulis dapat memberikan saran sebagai berikut:
REFERENSI
25