Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN KASUS

BELL’S PALSY

Diajukan sebagai salah satu syarat dalam menjalani Program Internsip Dokter

Disusun oleh :
dr. Salsabela Fithri

Pembimbing :
dr. H. Safrina

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


PUSKESMAS KUALA TUNGKAL II
KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT
PERIODE 23 MEI 2022 – 22 MEI 2023

i
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS
BELL’S PALSY

Oleh :
dr. Salsabela Fithri

Telah melaksanakan presentasi laporan kasus di Puskesmas Kuala Tungkal II

Kuala Tungkal, 9 maret 2023


Mengetahui,

Pembimbing

dr. H. Safrina
(NIP: 19820616 201001 2 006)

ii
KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT atas berkat
dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan presentasi kasus dengan
judul “ Bell’s palsy”. Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. H. Safrina
selaku pendamping.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada setiap pihak yang telah
membantu penyelesaian presentasi kasus ini. Penulis menyadari bahwa dalam
presentasi kasus ini tentu masih terdapat kekurangan dan kesalahan. Oleh
karena itu, saran dan kritik yang membangun dari pembaca sangat penulis
harapkan.
Akhir kata, penulis berharap presentasi kasus ini dapat bermanfaat bagi
para pembaca, khususnya dalam memperkaya wawasan dan pengetahuan
mengenai penyakit bell’s palsy.

Kuala Tungkal, 9 Maret 2022

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..............................................................................................................................I

HALAMAN PENGESAHAN..............................................................................................................II

KATA PENGANTAR.........................................................................................................................III

DAFTAR ISI........................................................................................................................................IV

BAB I PENDAHULUAN......................................................................................................................1

BAB IV ANALISIS KASUS.................................................................................................................2

BAB III TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................................................14

BAB IV ANALISIS KASUS...............................................................................................................28

BAB V KESIMPULAN.......................................................................................................................31

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................32

iv
1

BAB I
PENDAHULUAN

Bell’s Palsy (BP) adalah suatu kelumpuhan akut nervus fasialis perifer
yang tidak diketahui penyebabnya. Sir Charles Bell (1821) adalah orang pertama
yang meniliti beberapa penderita dengan wajah asimetris, sejak itu semua
kelumpuhan N. Fasialis perifer yang tidak diketahui penyebabnya disebut Bell’s
Palsy. 1
Penyakit ini lebih sering ditemukan pada usia dewasa, jarang pada anak
dibawah umur 2 tahun. Biasanya didahului oleh infeksi saluran napas bagian atas
yang erat hubungannya dengan cuaca dingin. Diagnosa BP dapat ditegakan
dengan adanya kelumpuhan n.fasialis perifer diikuti pemeriksaan untuk
menyingkirkan penyebab lain kelumpuhan n.fasialis perifer.1
Insidensi Bell’s Palsy di Amerika Serikat adalah sekitar 23 kasus per
100.000 orang. Tidak ada perbedaan distribusi jenis kelamin pada pasien-pasien
dengan Bell’s Palsy. Usia mempengaruhi probabilitas kontraksi Bell’s Palsy.
Insiden paling tinggi pada orang dengan usia antara 15-45 tahun.4
Paralisis fasialis perifer dapat terjadi pada penyakit-penyakit tertentu,
misalnya diabetes melitus, hipertensi berat, anestesi lokal pada pencabutan gigi,
infeksi telinga bagian tengah, sindrom Guillain Barre. Apabila faktor penyebab
jelas maka disebut paralisis fasialis perifer dan bukannya bell’s palsy.1
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat termasuk pemeriksaan
otoneurologik diperlukan untuk menyingkirkan gangguan-gangguan, yang pada
kesan pertama menyerupai Bell’s palsy, setelah diagnosis. Penatalaksanaan
tersebut meliputi terapi medikamentosa, terapi fisik serta bedah untuk dekompresi
saraf fasialis.6,
2

BAB II
STATUS PASIEN
2.1 Identitas Pasien
Nama : Ny. N
Umur : 38 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Beringin
Pekerjaan : IRT
Masuk RS : 3-1- 2023

2.2 Keluhan Utama :


Wajah sebelah kanan terasa kaku sejak 2 hari yang lalu.
2.3 Riwayat Penyakit Sekarang :
Wajah sebelah kanan terasa kaku sejak 2 hari yang lalu. Awalnya pasien
merasakan nyeri pada sisi kanan wajah, nyeri dirasa seperti ditusuk-tusuk dan
wajah terasa tebal dan baal. Keluhan disertai pasien sulit mengerutkan dahi.
Keluhan semakin dirasa memberat terutama saat pasien berkumur-kumur di
pagi hari dan merasakan air keluar dari mulutnya.
Keesokan harinya saat bangun pagi, mulut pasien dirasa mencong, mata
kanan tidak menutup sempurna sehingga terasa perih dan berair, pipi terasa
kencang dan kaku. Sisi wajah sebelah kanan terasa tebal, kaku, dan sulit
untuk digerakkan, pasien merasa sulit untuk tersenyum, dan sulit untuk
mengembang ngempiskan hidung. Pada saat makan, makanan tidak keluar
namun sulit untuk masuk, bila minum air sering keluar dari sisi mulut sebelah
kanan. Pasien mengeluhan nyeri di belakang telinga kanan. Riwayat keluar
cairan dari telinga kanan tidak ada, tidak ada gangguan pendengaran. Keluhan
pusing berputar, nyeri kepala, telinga berdenging, demam, batuk, pilek tidak
ada.
Pasien mengaku setiap hari tidur di ruang tengah dengan kipas angin.
riwayat sering berpergian malam hari tanpa menggunakan helm tidak ada.
3

2.4 Riwayat Penyakit Dahulu :


- Riwayat keluhan wajah terasa baal (-)
- Riwayat infeksi virus, bakteri (-)
- Riwayat trauma kepala (-)
- Riwayat penyakit tumor (-)
- Riwayat Hipertensi (-)
- Riwayat Diabetes meilitus(-)
2.5 Riwayat Penyakit Keluarga :
- Riwayat penyakit tumor (-)
- Riwayat penyakit jantung (-)
- Riwayat keluarga dengan keluhan serupa (-)
- Riwayat Hipertensi (-)
- Riwayat Diabetes meilitus(-)
2.6 Riwayat makan, alergi, obat-obatan dan perilaku kesehatan :
Pasien merupakan ibu rumah tangga, memiliki kebiasaan tidur di depan kipas
angin dan tidur di lantai. Pasien tidak memiliki alergi makanan maupun obat-
obatan.

2.7 Pemeriksaan Fisik :


Status Generalisata
1. Keadaan Umum : tampak sakit ringan
2. Kesadaran : compos mentis
3. Tekanan darah : 120/80 mmHg
4. Nadi : 79x/menit
5. Pernafasan : 19x/ menit
6. Suhu : 36,7°C
7. Berat Badan : 68 kg
8. Tinggi Badan : 152 cm
9. IMT : 29,4 kg/m2 (Gemuk)
4

Pemeriksaan Organ
1. Kepala : Normocephal
2. Mata : CA(-), SI (-), Isokor, RC (+/+)
3. Telinga : Nyeri tekan (-), bengkak (-)
4. Hidung : Deviasi septum (-), sekret (-)
5. Mulut : Bibir kering (-), pucat (-), hiperemis (-), stomatitis (-)
6. Tenggorok : tidak diperiksa
7. Leher : Pembesaran KGB (-)
8. Thorak : Bentuk dbn, otot bantu napas (-)

Pulmo
Pemeriksaan Kanan Kiri
Inspeksi Simetris, retraksi iga (-) Simetris, retraksi iga (-)
Palpasi Stem fremitus normal Stem fremitus normal
Perkusi Sonor Sonor
Auskultasi Vesikuler (+) Wheezing (-), Vesikuler (+) Wheezing
Rhonki (-) (-), Rhonki (-)

Jantung
Inspeksi Ictus cordis tidak terlihat.
Palpasi Ictus cordis teraba di ICS V linea midclavicula kiri, thrill (-)
Perkusi Batas Jantung
Atas : ICS II ICS II linea parasternalis sinistra
Kanan : ICS IV linea parasternalis dextra
Kiri : ICS IV linea midklavikula sinistra
Auskultasi BJ I/II regular, murmur (-), gallop (-)
5

Abdomen :
Inspeksi Datar, massa (-), jaringan parut (-), petekie (-)
Palpasi Nyeri tekan (-), hepatomegali (-), splenomegali (-), nyeri
ketok costovertebra (-/-)
Perkusi Timpani
Auskultasi Bising usus (+) normal

Ekstremitas
Superior : Akral hangat, CRT<2s, sianosis (-), edem (-),
Inferior : Akral hangat, CRT<2s, sianosis (-), edem (-)

STATUS NEUROLOGIS
a. Tanda rangsang selaput otak
 Kaku Kuduk : negative
 Brudzinski I : negative
 Brudzinski II : negative
 Kernig Sign : negative
 Lasegue : negative

b. Pemeriksaan saraf kranial


Nervus Kranialis Kanan Kiri
N I (Olfaktorius)
Subjektif Baik Baik
Objektif (dengan bahan) Baik (normosmia) Baik (normosmia)
N II (Optikus)
Tajam penglihatan Baik Baik
Lapangan pandang Baik Baik
Melihat warna Baik Baik
Funduskopi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N III (Okulomotorius)
6

Sela mata Simetris Simetris


Ptosis Tidak ada Tidak ada
Pergerakan bola mata Normal Normal
Nistagmus Tidak ada Tidak ada
Strabismus Tidak ada Tidak ada
Ekso/endotalmus Tidak ada Tidak ada
Pupil
Bentuk, besar Bulat, isokor,  3 mm Bulat, isokor,  3 mm
reflex cahaya langsung + +
reflex konvergensi + +
reflex konsensual + +
Diplopia Tidak ada Tidak ada
N IV (Trochlearis)
Pergerakan bola mata ke Normal Normal
bawah-dalam
Diplopia Tidak ada Tidak ada
N V (Trigeminus)
Motorik
Membuka mulut Normal
Mengunyah Normal
Mengigit Normal
Sensibilitas Muka
Oftalmikus Normal Normal
Maksila Normal Normal
Mandibula Normal Normal
Reflek Kornea Normal Normal
N VI (Abdusen)
Pergerakan bola mata Normal Normal
(lateral)
Diplopia Tidak ada Tidak ada
7

N VII (Fasialis)
Mengerutkan dahi - Normal
Menutup mata Tidak menutup rapat normal
Memperlihatkan gigi - normal
Bersiul - normal
Senyum - normal
Sensasi lidah 2/3 depan Baik Baik

Sekresi air mata + (Meningkat) normal


N VIII (Vestibularis)
Suara berbisik Normal Normal
Detik arloji Normal Normal
Rinne test Tidak dilakukan
Weber test Tidak dilakukan
Swabach test Tidak dilakukan
N IX (Glossofaringeus)
Sensasi lidah 1/3 blkg Tidak dilakukan
Sensibilitas faring Tidak dilakukan
N X (Vagus)
Arkus faring Simetris, Uvula ditengah
Berbicara Normal
Menelan Baik
Refleks muntah Baik
Nadi Normal
N XI (Assesorius)
Memalingkan kepala Normal
Mengangkat bahu Normal Normal
N XII (Hipoglosus)
Kedudukan lidah Normal
dijulurkan
8

Atropi papil -
Tremor lidah -
Disartria -

c. Pemeriksaan fungsi motorik


Fungsi motorik otot wajah Kanan Kiri
 Otot frontalis Angkat alis (-) Angkat alis (+)
 Otot korugator supersili Mengerutkan dahi (-) Mengerutkan dahi (+)
 Otot orbicularis oculi Menutup mata (-) Menutup mata (+)
 Otot zygomaticus Pasien tersenyum (-) Pasien tersenyum (+)
 Otot risorius Meringis (-) Meringis (+)

Ekstremitas Superior Inferior


Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Normal Normal Normal Normal
Kekuatan 555 555 555 555
Trofi normotrofi Normotrofi Normotrofi Normotrofi
Tonus Normotonus Normotonus Normotonus Normotonus

Sistem refleks
Refleks Fisiologis Kanan Kiri
Kornea Normal Normal
Biseps ++ ++
Triseps ++ ++
Patella ++ ++
Achiles ++ ++
Bulbokavernosus Tidak diperiksa Tidak diperiksa
Sfingter Tidak diperiksa
9

Refleks Patologis Kanan Kiri


Lengan
Hoffman-Tromner Negatif Negatif
Tungkai
Babinski Negatif Negatif
Chaddoks Negatif Negatif
Oppenheim Negatif Negatif
Gordon Negatif Negatif
Schaeffer Negatif Negatif
10

Gambar 1. Klinis pasien

2.8 Pemeriksaan Penunjang


Tidak dilakukan pemeriksaan

2.9 Diagnosis Kerja


 Diagnosis klinis : Paralisis otot wajah dextra (Bells palsy [G51.0])
 Diagnosis topis : N.VII perifer setinggi stylomastoideus dextra
 Diagnosis etiologi: Idiopatik

2.10 Diagnosis Banding :


- Stroke (I63.9)
- Ramsay Hunt Syndrome (B02.21)

2.11 Manajemen
11

1. Promotif :
- Menjelaskan kepada pasien bahwa penyakit ini bukan bersifat
keturunan dan bukan disebabkan oleh makanan tertentu. Penyakit ini
dapat timbul akibat berbagai faktor, dimana paling sering merupakan
idiopatik.
- Melakukan CTPS (cuci tangan pakai sabun) dan menjaga kebersihan
diri serta lingkungan, karena bakteri maupun virus juga dapat menjadi
penyebab dari Bell’s palsy
- Menganjurkan pasien untuk melakukan senam wajah di rumah. Dapat
dimulai dengan kompres hangat dan pemijatan pada wajah.

2. Preventif :
- Hindari paparan udara dingin, terutama saat malam hari
- Menjaga kebersihan diri dan lingkungan

3. Kuratif :
Non Farmakologi
- Istirahat yang cukup dan menjelaskan penyakit ini dapat sembuh sendiri
dengan pengobatan dan latihan wajah rutin
- Menjaga agar wajah tetap hangat dan hindari dari udara dingin
- Melakukan kompres wajah dengan air hangat
- Lakukan pemijatan pada wajah dengan lembut pada daerah yang
terkena. Pemijatan dilakukan dengan menekan area wajah dengan ujung
jari dari pangkal hidung/rahang/pipi ke bagian bawah telinga pada
bagian wajah yang terkena.
- Lakukan juga senam wajah untuk menggerakkan otot-otot wajah,
misalnya gerakan tersenyum, meringis, mengerutkan dahi, dan
memejamkan mata.
- Konsultasikan untuk melakukan fisioterapi

Farmakologi
12

- Prednisone 5mg 3 x 4tab selama 1 minggu (tapering off) selama 10 hari


- Vit B comp 1 x 1
- Cendo lyteer 3x2 tetes
- asiklovir 5 x 400 mg oral selama 10 hari

4. Rehabilitatif
- Meningkatkan daya tahan tubuh dengan makanan bergizi
- Menjalani pengobatan sampai tuntas
- Rutin kontrol ulang ke fasilitas kesehatan untuk melihat perkembangan
penyakitnya.

2.12 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

Tanggal S O A P
9-01- - Rasa baal, kaku - KU : Baik Bell’s A. Farmakologi
2023 berkurang - Kesadaran : CM palsy - prednisone 60 mg
- Nyeri (-) - Tanda Vital dextra (tapering off)
- Bisa menutup mata o TD : 120/80 - Vit B comp 1 x 1

- Mata perih (-) o HR : 88 x/menit


- Nyeri telinga B. Non Farmakologi
o RR : 20 x/menit
belakang (-) - Istirahat yang cukup
o S : 36,50C
13

- Air keluar dari mulut - Status neurologi - Kompres hangat


kanan (-) Mengerutkan dahi (+) - Pijat wajah
Menutup mata (+) - Senam wajah
Memperlihat kan gigi (+) - Hindari udara dingin
Bersiul (-)
Senyum (+)
Sekresi air mata normal

- Status generalisata : dbn


14

Tanggal S O A P
15-01- - Rasa baal, kaku (-) - KU : Baik Bell’s C. Farmakologi
2023 - Nyeri (-) - Kesadaran : CM palsy - prednisone 60 mg
- Bisa menutup mata - Tanda Vital dextra (tapering off)

- Mata perih (-) o TD : 120/70 - Vit B comp 1 x 1

- Nyeri telinga o HR : 76x/menit


D. Non Farmakologi
belakang (-) o RR : 20 x/menit
- Air keluar dari mulut - Istirahat yang cukup
o S : 36,20C
kanan (-) - Kompres hangat
- Status neurologi
- Pijat wajah
Mengerutkan dahi (+)
Menutup mata (+) - Senam wajah

Memperlihat kan gigi (+) - Hindari udara dingin


Bersiul (-)
Senyum (+)
Sekresi air mata normal

- Status generalisata : dbn


15

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Bell’s palsy adalah paralisis wajah unilateral yang timbul mendadak
akibat lesi nervus fasialis, dan mengakibatkan distorsi wajah yang khas.
Dengan kata lain Bell’s palsy merupakan suatu kelainan pada saraf wajah
yang menyebabkan kelemahan atau kelumpuhan tiba-tiba pada otot di satu isi
wajah1. Istilah Bell’s palsy biasanya digunakan untuk kelumpuhan nervus VII
jenis perifer yang timbul secara akut2. Kebanyakan orang belum mengetahui
nama dari panyakit ini. Adalah Sir Charles Bell seorang ilmuan dari
Skotlandia yang pertama kali menemukan penyakit ini pada abad ke-19.

3.2 Epidemiologi
Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralisis fasial
akut. Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan
insiden terendah ditemukan di Swedia tahun 1997. Insiden Bell’s palsy secara
pasti sulit ditentukan karena penderita tidak hanya berobat ke dokter saraf
saja, tetapi kemungkinan ada yang berobat kepada dokter umum, dokter THT
maupun dokter mata. Data yang dikumpulkan dari 4 buah Rumah sakit di
Indonesia didapatkan frekuensi Bell’s palsy sebesar 19,55 % dari seluruh
kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21–30 tahun. Lebih sering terjadi
pada wanita daripada pria. Tidak didapati perbedaan insiden antara iklim
panas maupun dingin, tetapi pada beberapa penderita didapatkan adanya
riwayat terpapar udara dingin seperti naik kendaraan dengan kaca terbuka,
tidur di lantai atau bergadang sebelum menderita bell’s palsy.3,5

3.3 Etiologi
Penyebab dari penyakit ini belum diketahui secara pasti tetapi dapat
diduga bahwa penyebab dari penyakit ini adalah karena saraf yang
16

mengendalikan otot wajah membengkak, terinfeksi, atau mampat karena


aliran darah berkurang.3 Ada pula para ahli yang menyatakan bahwa pada
kasus Bell’s palsy terjadi proses inflamasi akut pada nervus fasialis di daerah
tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus.1,2
Ada 4 teori yang dihubungkan dengan etiologi Bell’s palsy yaitu:

1. Teori infeksi virus


Beberapa virus diduga sebagai penyebab terjadinya Bell’s palsy antara lain
virus Herpes simpleks, Herpes zoster ataupun virus Epstei-Barr. Keadaan ini
terjadi akibat reaktifasi karena terjadi infeksi akut primer. Virus tersebut
dalam jangka waktu lama berada dalam ganglion sensorius sehingga terjadi
proses peradangan. Gangguan vaskuler pada akhirnya akan menimbulkan
degenerasi pada saraf VII perifer.1,2,3,
2. Teori iskemia vaskular
Kelumpuhan pada saraf fasialis karena adanya gangguan sirkulasi darah di
kanalis fallopi. Kerusakan yang timbul oleh tindakan pada saraf perifer,
terutama berhubungan dengan oklusi dari pembuluh darah yang mengaliri
saraf tersebut.1,2,3,
3. Teori imunologi
Dikatakan bahwa Bell’s Palsy terjadi akibat reaksi imunologi terhadap infeksi
virus yang timbul sebelumnya atau sebelum pemberian imunisasi.
Berdasarkan teori ini maka penderita Bell’s Palsy diberikan pengobatan
kotikosteroid dangan tujuan untuk mengurangi inflamasi dan edema di dalam
kanalis Fallopii dan juga sebagai immunosupresor.2,3
4. Herediter
Kanalis fasialis yang sempit karena faktor keturunan, membuat kecendrungan
untuk mudah terjadi kompresi dengan sedikit saja edema saraf.1

3.4 Patofisiologi
Bell’s Palsy merupakan lesi nervus fasialis yang terjadi secara akut,yang tidak
diketahui penyebabnya atau menyertai penyakit lain. Teori yang dianut saat ini
17

yaitu teori vaskuler. Pada Bell’s Palsy terjadi iskemi primer n. fasialis yang
disebabkan oleh vasodilatasi pembuluh darah yang terletak antara n. fasialis dan
dinding kanalis fasialis. Sebab vasodilatasi ini bermacam-macam, antara lain:
infeksi virus, proses imunologik dll. Iskemi primer yang terjadi menyebabkan
gangguan mikrosirkulasi intraneural yang menimbulkan iskemi sekunder dengan
akibat gangguan fungsi n. fasialis. Terjepitnya n. fasialis di daerah foramen
stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan tipe LMN yang disebut sebagai
Bell’s Palsy.3 Perubahan patologik yang ditemukan pada n. fasialis sebagai
berikut:
1. Tidak ditemukan perubahan patologik kecuali edema.
2. Terdapat demielinisasi atau degenerasi mielin.
3. Terdapat degenerasi akson.
4. Seluruh jaringan saraf dan jaringan penunjang rusak.
Perubahan patologik ini bergantung kepada beratnya kompresi atau
strangulasi terhadap Nv. VII.

Gambar 2. Nervus Facialis


18

3.5 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinik Bell’s Palsy khas dengan memperhatikan


riwayat penyakit dan gejala kelumpuhan yang timbul mendadak. Perasaan
nyeri, pegal, linu dan rasa tidak enak pada telinga atau sekitamya sering
merupakan gejala awal yang segera diikuti oleh gejala kelumpuhan otot
wajah berupa :
- Dahi tidak dapat dikerutkan atau lipat dahi hanya terlihat pada sisi yang
sehat.
- Kelopak mata tidak dapat menutupi bola mata pada sisi yang lumpuh
(lagophthalmus).
- Gerakan bola mata pada sisi yang lumpuh lambat, disertai bola mata
berputar ke atas bila memejamkan mata, fenomena ini disebut Bell's sign.
- Sudut mulut tidak dapat diangkat, lipat nasolabialis mendatar pada sisi
yang lumpuh dan mencong ke sisi yang sehat.
- Selain gejala-gejala diatas, dapat juga ditemukan gejala lain yang
menyertai antara lain : gangguan fungsi pengecap, hiperakusis dan
gangguan lakrimasi.

Gambar 3. Gejala bell’s palsy berhubungan dengan lokasi lesi


19

3.6 Diagnosis

Umumnya diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik


adanya kelumpuhan n. fasialis perifer diikuti pemeriksaan untuk
menyingkirkan penyebab lain dad kelumpuhan n. fasialis perifer.

Beberapa pemeriksaan penunjang yang penting untuk menentukan


letak lesi dan derajat kerusakan n. Fasialis.

1. Anamnesis
Ditanyakan riwayat timbulnya kelumpuhan wajah tersebut, yang
biasanya timbul secara tiba-tiba. Banyak kasus mula-mula diketahui pada
pagi hari setelah bangun tidur, pada satu sisi.14
Tidak memiliki riwayat infeksi telinga, tidak ada riwayat trauma,
gangguan saraf pusat dan keganasan di daerah kepala dan leher. Perlu
ditanyakan juga apakah penderita menderita DM atau tidak, dan dikonfirmasi
dengan pemeriksaan laboratorium. Riwayat keluarga yang pernah mengalami
keluhan lumpuh sebelah wajah sebelumnya juga perlu ditanyakan. 2 sebelum
terjadi kelumpuhan apakah penderita ada riwayat melakukan perjalanan jauh
dengan kaca terbuka atau terpapar udara dingin.2
Pasien biasa mengeluhkan; perasaan nyeri, pegal, linu dan rasa tidak enak
pada telinga atau sekitamya sering merupakan gejala awal yang segera diikuti
oleh gejala kelumpuhan otot wajah yang terjadi secara mendadak.

2. Pemeriksaan fisik
a. Pemeriksaan saraf motoric
Terdapat 10 otot-otot utama wajah yang bertanggung jawab untuk
terciptanya mimic dan ekspresi wajah seseorang. Adapun urutan ke-10
otot-otot tersebut dari sisi superior adalah sebagai berikut :
- M. Frontalis : diperiksa dengan cara mengangkat alis ke atas.
- M. Sourcilier: diperiksa dengan cara mengerutkan alis.
20

- M. Piramidalis: diperiksa dengan cara mengangkat dan mengerutkan hidung


ke atas.
- M. Orbikularis Okuli : diperiksa dengan cara memejamkan kedua mata
kuat-kuat.
- M. Zigomatikus: diperiksa dengan cara tertawa lebar sambil
memperlihatkan gigi.
- M. Relever Komunis: diperiksa dengan cara memoncongkan mulut kedepan
sambil memperlihatkan gigi.
- M. Businator: diperiksa dengan cara menggembungkan kedua pipi.
- M. Orbikularis Oris: diperiksa dengan cara menyuruh penderita bersiul.
- M. Triangularis: diperiksa dengan cara menarik kedua sudut bibir ke bawah.
- M. Mentalis : diperiksa dengan cara memoncongkan mulut yang tertutup
rapat ke depan.
Pada tiap gerakan dari ke 10 otot tersebut, kita bandingkan antara kanan dan
kiri :
- Untuk gerakan yang normal dan simetris dinilai dengan angka tiga ( 3 )
- Sedikit ada gerakan dinilai dengan angka satu ( 1 )
- Diantaranya dinilai dengan angka dua ( 2 )
- Tidak ada gerakan sama sekali dinilai dengan angka nol ( 0 )
Seluruh otot ekspresi tiap sisi muka dalam keadaan normal akan mempunyai
nilai tiga puluh ( 30 ).1

b. Tonus
Pada keadaan istirahat tanpa kontraksi maka tonus otot menentukan
terhadap kesempurnaan mimic / ekspresi muka. Freyss menganggap penting
akan fungsi tonus sehingga mengadakan penilaian pada setiap tingkatan
kelompok otot muka, bukan pada setiap otot. Cawthorne mengemukakan
bahwa tonus yang jelek memberikan gambaran prognosis yang jelek.
Penilaian tonus seluruhnya berjumlah lima belas (15) yaitu seluruhnya
terdapat lima tingkatan dikalikan tiga untuk setiap tingkatan. Apabila terdapat
21

hipotonus maka nilai tersebut dikurangi satu (-1) sampai minus dua (-2) pada
setiap tingkatan tergantung dari gradasinya.1

c. Gustomeri
Sistem pengecapan pada 2/3 anterior lidah dipersarafi oleh n. Korda
timpani, salah satu cabang saraf fasialis. 1 Kerusakan pada N VII sebelum
percabangan korda timpani dapat menyebabkan ageusi (hilangnya
pengecapan).2
Pemeriksaan dilakukan dengan cara penderita disuruh menjulurkan lidah,
kemudian pemeriksa menaruh bubuk gula, kina, asam sitrat atau garam pada
lidah penderita. Hali ini dilakukan secara bergiliran dan diselingi istirahat.
Bila bubuk ditaruh, penderita tidak boleh menarik lidahnya ke dalam mulut,
sebab bubuk akan tersebar melalui ludah ke sisi lidah lainnya atau ke bagian
belakang lidah yang persarafannya diurus oleh saraf lain. Penderita disuruh
untuk menyatakan pengecapan yang dirasakannya dengan isyarat, misalnya 1
untuk rasa manis, 2 untuk rasa pahit, 3 untuk rasa asin, dan 4 untuk rasa
asam.2
Pada pemeriksaan fungsi korda timpani adalah perbedaan ambang
rangsang antara kanan dan kiri. Freyss menetapkan bahwa beda 50% antara
kedua sisi adalah patologis.1

d. Salivasi
Pemeriksaan uji salivasi dapat dilakukan dengan melakukan kanulasi
kelenjar submandibularis. Caranya dengan menyelipkan tabung polietilen no
50 kedalam duktus Wharton. Sepotong kapas yang telah dicelupkan kedalam
jus lemon ditempatkan dalam mulut dan pemeriksa harus melihat aliran ludah
pada kedua tabung. Volume dapat dibandingkan dalam 1 menit.
Berkurangnya aliran ludah sebesar 25 % dianggap abnormal. Gangguan yang
sama dapat terjadi pada jalur ini dan juga pengecapan, karena keduanya
ditransmisi oleh saraf korda timpani.4
e. Schimer Test atau Naso-Lacrymal Reflex
22

Dianggap sebagai pemeriksaan terbaik untuk pemeriksaan fungsi serabut-


serabut pada simpatis dari saraf fasialis yang disalurkan melalui saraf
petrosus superfisialis mayor setinggi ganglion genikulatum. Kerusakan pada
atau di atas saraf petrosus mayor dapat menyebabkan berkurangnya produksi
air mata.4,5
Tes Schimer dilakukan untuk menilai fungsi lakrimasi dari mata. Cara
pemeriksaan dengan meletakkan kertas hisap atau lakmus lebar 0,5 cm
panjang 5-10 cm pada dasar konjungtiva. Setelah tiga menit, panjang dari
bagian strip yang menjadi basah dibandingkan dengan sisi satunya. Freys
menyatakan bahwa kalau ada beda kanan dan kiri lebih atau sama dengan
50% dianggap patologis.

f. Refleks stapedius
Untuk menilai reflex stapedius digunakan elektoakustik impedans meter,
yaitu dengan cara memberikan ransangan pada muskulus stapedius yang
bertujuan untuk mengetahui fungsi N. stapedius cabang N.VII.

g. Uji audiologik
Setiap pasien yang menderita paralisis saraf fasialis perlu menjalani
pemeriksaan audiogram lengkap. Pengujian termasuk hantaran udara dan
hantaran tulang, timpanometri dan reflex stapes. Fungsi saraf cranial
kedelapan dapat dinilai dengan menggunakan uji respon auditorik yang
dibangkitkan dari batang otak. Uji ini bermanfaat dalam mendeteksi patologi
kanalis akustikus internus. Suatu tuli konduktif dapat memberikan kesan
suatu kelainan dalam telinga tengah, dan dengan memandang syaraf fasialis
yang terpapar pada daerah ini, perlu dipertimbangkan suatu sumber infeksi.
Jika terjadi kelumpuhan saraf ketujuh pada waktu otitis media akut, maka
mungkin gangguan saraf pada telinga tengah. Pengujian reflek dapat
dilakukan pada telinga ipsilateral atau kontralateral dengan menggunakan
suatu nada yang keras, yang akan membangkitkan respon suatu gerakan
reflek dari otot stapedius. Gerakan ini mengubah tegangan membrane timpani
23

dan menyebabkan perubahan impedansi rantai osikular. Jika nada tersebut


diperdengarkan pada belahan telinga yang normal, dan reflek ini pada
perangsangan kedua telinga mengesankan suatu kelainan pada bagian aferen
saraf kranialis.2

h. Sinkinesis
Sinkinesis menetukan suatu komplikasi dari kelumpuhan saraf fasialis
yang sering kita jumpai. Cara mengetahui ada tidaknya sinkinesis adalah
sebagai berikut :1
- Penderita diminta untuk memenjamkan mata kuat-kuat kemudian kita
melihat pergerakan otot-otot pada daerah sudut bibir atas. Kalau
pergerakan normal pada kedua sisi dinilai dengan angka dua (2). Kalau
pergerakan pada sisi paresis lebih (hiper) dibandingkan dengan sisi
normal nilainya dikurangi satu (-1) atau dua (-2), tergantung dari
gradasinya.
- Penderita diminta untuk tertawa lebar sambil memperlihatkan gigi,
kemudian kita melihat pergerakan otot-otot pada sudut mata bawah.
Penilaian seperti pada (a).
- Sinkinesis juga dapat dilihat pada waktu penderita berbicara (gerakan
emosi) dengan memperhatikan pergerakan otot-otot sekitar mulut. Nilai
satu (1) kalau pergerakan normal. Nilai nol (0) kalau pergerakan tidak
simetris.

3. Pemeriksaan penunjang
Salah satu pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mengetahui
kelumpuhan saraf fasialis adalah dengan uji fungsi saraf. Terdapat beberapa uji
fungsi saraf yang tersedia antara lain Elektromigrafi (EMG), Elektroneuronografi
(ENOG).2

a. Elektromiografi (EMG)
24

EMG sering kali dilakukan oleh bagian neurologi. Pemeriksaan ini


bermanfaat untuk menentukan perjalanan respons reinervasi pasien. Pola EMG
dapat diklasifikasikan sebagai respon normal, pola denervasi, pola fibrilasi, atau
suatu pola yang kacau yang mengesankan suatu miopati atau neuropati. Namun,
nilai suatu EMG sangat terbatas kurang dari 21 hari setelah paralisis akut.
Sebelum 21 hari, jika wajah tidak bergerak, EMG akan memperlihatkan potensial
denervasi. Potensial fibrilasi merupakan suatu tanda positif yang menunjukkan
kepulihan sebagian serabut. Potensial ini terlihat sebelum 21 hari.
b. Elektroneuronografi (ENOG)
ENOG memberi informasi lebih awal dibandingkan dengan EMG. ENOG
melakukan stimulasi pada satu titik dan pengukuran EMG pada satu titik yang
lebih distal dari saraf. Kecepatan hantaran saraf dapat diperhitungkan. Bila
terdapat reduksi 90% pada ENOG bila dibandingkan dengan sisi lainnya dalam
sepuluh hari, maka kemungkinan sembuh juga berkurang secara bermakna. Fisch
Eselin melaporkan bahwa suatu penurunan sebesar 25 persen berakibat
penyembuhan tidak lengkap pada 88 persen pasien mereka, sementara 77 persen
pasien yang mampu mempertahankan respons di atas angka tersebut mengalami
penyembuhan normal saraf fasialis.2

3.7 Tatalaksana
a) Glukokortikoid
Farmakologi dan penggunaan klinis
Glukokortikoid berperan dalam menghambat tiap fase dari respon
inflamasi, obat-obat ini juga memainkan peran penting dalam parahnya
inflamasi dan kelainan “immune-immediate”. Mekanisme pasti oleh
keuntungan steroid digunakan tidak begitu jelas ditemukan dalam banyak
kondisi dimana steroid ini digambarkan. Pada berbagai petunjuk dan
indikasi menyatakan penggunaan steroid sebagai empiris. Penggunaan
steroid lebih diarahkan ke fase akut saat serangan, contohnya pada
Cerebral Palsy, tapi tidak berefek penuh pada pemulihan total.
25

Respon inflamasi di mediasi oleh beberapa bahan-bahan


intermediate dan tipe-tipe sel. Efek anti inflamasi umum dari
kortikosteroid antara lain adalah efek dari denyut pembuluh darah,
permiabilitas, dan penekanan dari produksi leukosit dan biosintesis
kolagen. Demopilus et al menerangkan buktti bawa peroksidasi lemak
menginduksi radikal-radikal oksigen bebas membenttuk basis molekul
untuk degenerasi neuron postraumatik dan steroid mengambat proses
tersebut. Hall dan Braugter mengamati secara luas dosis-dosis pre-
penatalaksanaan metilprednisolon yang dibutuhkan untuk memproduksi
pengaruh anti-oksidan ini, dan pre-penatalaksanaan dengan dosis yang
lebih rendah tidak efektif.
Terapi steroid untuk inlamasi neouropati seperti neuritis optic
idiopatik masih menadi controversial. Sementara glukokortikoid nampak
dalam penggunaanya untuk mengurangi rasa sakit dan memperpendek
periode dari kebutaan, ada sedikit bukti bahwa steroid tersebut
mempengaruhi level utama dari penyembuhan visual.
Sebagai tambahan dari keuntungan ani inflamasi glukokortikoid,
glokokortikoid steroid memfasilitasi aksi dari neuromuscular junction.
Efek-efek yang saling mempengaruhhi dari steroid ini dapat
mengkontribusikan penyembuhan fungsi neuromuskular pada kelainan
seperti inflamasi polyradiculoneuropati (Guilan Barre Syndrom), patologi
yang disebabkan inflamasi, demyelinisasi segmental.

Penggunaan steoid pada tatalaksana Bell’s Palsy


Adour, Stankevitch, dan May telah menyediakan pandangan
komprehensiv dalam penggunaan terapi steroid pada Bell’s Palsy.
Kebanyakan pembelajaran akhir-akhir ini mengenai kegunaan steroid pada
Belss Palsy didasarkan pada pasien yang diperlakukan dengan control
sebelumnya.
Berdasarkan penelitian ini, yang menggunakan dosis yang lebih
besar dari steroid dan dosis luas gllukokortikoid dengan dextrran dan
26

pentoxiflin memberikan dampak rata-rata perkembangan kesembuhan dari


pasien yang mendapat tindakan walaupun penatalaksanaan tersebut tidak
menampakkan statistic yang signifikan pada sudi-studi sebelumnya.
Hasil evaluasi dari Stankewicz, steroid diberikan pada pasien Bells
Palsy dengan alasan stetroid dapat:
 Mengurangi resiko denervasi jika diberikan secara dini
 Mencegah atau mengurangi sinkinesis
 Mencegah dari perkembangan inkompit menjadi komplit paralisis
 Mencegah sinkinesis autonomic
Tujuan utama dari terapi glukokortikoid pada facial paralysis akut
adalah menginduksi kontrol anti inflamasi efektif. Regimen dosis
glukokortikoid yang optimal untuk penanganan inflamasi neuritis
tergantung dari pemberian kortikosteroid saat proses penyakit
berlangsung. Seperti yang telah ditunjukkan pada respon EEMG,
pemberian glokokortikoid pada Bells Palsy dalam 5-10 hari. Lesi-lesi pada
pada organ-organ lain biasanya hilang 1 sampai 2 minggu, tampaknya
pada inflamasi saraf facial (saraf VII) pada virus ini dapat ditangani pada
periode ini.
Strategi pemberian steroid pada Belss Palsy disarankan dengan
oral prednisone (1mg/kgBB/hari)dibagi menjadi 3 dosis tiap harinya
selama 7-10 hari. Dosis harian harus ditappering off setelah 10 hari.
Secara teori regimen dosis ini memaksimalkan aktivitas anti inflamasi
sementara meminimalkan efek samping dan konsisten dengan anti
inflamasi yang efektif pada hipersensitiv akut, autoimun, dan kelainan
inflamasi lainnya.

Efek samping
Efek samping biasanya manifestasi selama tatalaksana steroid
jangka pendek termasuk aksi hiperglikemik. Harus diwaspadai pemberian
steroid pada pasien palsy facial akut yang berhubungan dengan intoleransi
27

glukosa. Efek samping akut lainnya termasuk perubahan CNS seperti


psychotic breaks, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, dan iritasi
gastrointestinal.
Efek glukokortikoid pada seluler dan komponen-komponen
jaringan inflamasi dapat mengurangi imunitas host terhadap bakteri, virus,
dan infeksi jamur. Infeksi laten dapat reaktivasi dan berkembang.
Ditambah lagi pemberian steroid yang menekan system imun bisa
menutupi gejala adanya tanda klinik dari suatu peyakit infeksi.

b) Terapi Antivirus
Kemoterapi antivirus menghadirkan cara yang lebih baru dalam
menangani facial palsy akut dari penyebab virus. Berdasarkan spectrum
dari aktivitasnya, toksisitas yang rendah, asiklovir (acycloguanosine),
analog nukleosida purin sintetik, telah digunakan untuk mencegah HS tipe
I dan II, VZ, dan Epstein Barr virus dan cytomegalovirus. Asiklovir
mencegah DNA polymerase dan replikasi DNA virus dengan bentuk yang
dikonversi (difosforilasi), itulah asiklovir bertindak sebagai analog
nukleosida.
Dickens, Smith, dan Graham menyarankan pemberian asiklovir
pada deficit neurologic yang dihasilkan herpes zoster otikus adalah
asiklovir intravena (10mg/kgBB setiap 8 jam selama 7 hari). Pemberian
antivirus secara dini ini telah dibuktikan oleh Given mencegah degenerasi
dari saraf yang dapat menyebab hilangnya pendengaran.

c) Dekompresi nervus
Pembedahan dekompresi dari saraf fasial untuk Bells Palsy pernah
dilakukan Balance dan Duel pada tahun 1932. Kemudian penggunaan
stimulasi listrik nervus fasial mulai ditinggalkan. Yang terpenting, segen
vertical telah didekompresi, lalu dekompresi dari seluruh segmen mastoid
direkomendasi (prosedur yang dilakukan adalah termasuk htimpani dan
28

segmen mastoid), dan akhir-akhir ini segmen labirin termasuk foramen


meatal.

3.8 Prognosis
Sangat bergantung kepada derajat kerusakan n. fasialis. Pada anak
prognosis umumnya baik oleh karena jarang terjadi denervasi total.
Penyembuhan spontan terlihat beberapa hari setelah onset penyakit dan
pada anak 90% akan mengalami penyembuhan tanpa gejala sisa. Jika
dengan prednison dan fisioterapi selama 3 minggu belum mengalami
penyembuhan, besar kemungkinan akan terjadi gejala sisa berupa
kontraktur otot-otot wajah, sinkinesis, tik fasialis dan sindrom air mata
buaya.
29

BAB IV

ANALISIS KASUS

Dari anamnesis didapatkan perempuan, berusia 38 tahun, mengeluhkan


Wajah sebelah kanan terasa kaku sejak 2 hari yang lalu. Awalnya pasien
merasakan nyeri pada sisi kanan wajah, nyeri dirasa seperti ditusuk-tusuk dan
wajah terasa tebal dan baal. Keluhan disertai pasien sulit mengerutkan dahi.
Keluhan semakin dirasa memberat terutama saat pasien berkumur-kumur di pagi
hari dan merasakan air keluar dari mulutnya. Keesokan harinya saat bangun pagi,
mulut pasien dirasa mencong, mata kanan tidak menutup sempurna sehingga
terasa perih dan berair, pipi terasa kencang dan kaku. Sisi wajah sebelah kanan
terasa tebal, kaku, dan sulit untuk digerakkan, pasien merasa sulit untuk
tersenyum, dan sulit untuk mengembang ngempiskan hidung. Pada saat makan,
makanan tidak keluar namun sulit untuk masuk, bila minum air sering keluar dari
sisi mulut sebelah kanan. Pasien mengeluhan nyeri di belakang telinga kanan.
Riwayat keluar cairan dari telinga kanan tidak ada, tidak ada gangguan
pendengaran. Keluhan pusing berputar, nyeri kepala, telinga berdenging, demam,
batuk, pilek tidak ada. Pasien mengaku setiap hari tidur di ruang tengah dengan
kipas angin. riwayat sering berpergian malam hari tanpa menggunakan helm tidak
ada.
Dari teori
Kerusakan setinggi foramen stilomastoideus
Gejala : kelumpuhan otot-otot wajah pada sisi lesi
• Sudut mulut sisi lesi jatuh dan tidak dapat diangkat
• Makanan berkumpul diantara pipi dan gusi pada sisi lesi
• Tidak dapat menutup mata dan mengerutkan kening pada sisi lesi

Kelumpuhan ini adalah berupa tipe LMN. Pengecapan dan sekresi air liur masih
baik.
30

Dari pemeriksaan fisik pasien di dapatkan


Status lokalis regio fasialis
 Wajah asimetris
 Sudut nasolabial menghilang
 Kerutan dahi kanan (-), kiri (+)
 Lagoftalmus mata kanan
N VII (Fasialis)
Kanan Kiri
Mengerutkan dahi - +
Menutup mata Tidak menutup rapat Normal
Memperlihatkan gigi - Normal
Bersiul - Normal
Senyum - Normal
Sensasi lidah 2/3 depan Baik Baik

Sekresi air mata + (Meningkat) -

Hal ini sesuai dengan teori dimana, kelumpuhan nervus fasialis mudah
terlihat hanya dengan pemeriksaan fisik tetapi yang harus diteliti lebih lanjut
adalah apakah ada penyebab lain yang menyebabkan kelumpuhan nervus
fasialis. Sesuai teori Bell’s palsy merupakan kelemahan wajah dengan tipe
lower motor neuron lesi dibawah nukleus facialis. Pada lesi supranuklear,
dimana lokasi lesi di atas nukleus fasialis di pons, maka lesinya bersifat UMN
dimana gejala disertai dengan defisit neurologi lain. Sedangkan pada bell’s
palsy Pemeriksaan nervus kranialis yang lain dalam batas normal. Sama pada
pasien ini. Oleh karena itu dapat di simpulkan bahwa, lesi kerusakan pada
pasien ini adalah tipe LMN.
31

Non farmakologis
• Istirahat yang cukup dan menjelaskan penyakit ini dapat sembuh sendiri
dengan pengobatan dan latihan wajah rutin
• Menjaga agar wajah tetap hangat dan hindari dari udara dingin
• Melakukan kompres wajah dengan air hangat
• Lakukan pemijatan pada wajah dengan lembut pada daerah yang terkena.
Pemijatan dilakukan dengan menekan area wajah dengan ujung jari dari
pangkal hidung/rahang/pipi ke bagian bawah telinga pada bagian wajah
yang terkena.
• Lakukan juga senam wajah untuk menggerakkan otot-otot wajah, misalnya
gerakan tersenyum, meringis, mengerutkan dahi, dan memejamkan mata.
• Tiap malam sebelum mau tidur, mata sebelah kiri di plester gunanya
melatih mata yang tidak menutup supaya dapat melindungi mata
• Konsultasikan untuk melakukan fisioterapi

Dari terapi pasien di dapatkan :


Non Medikamentosa :
Menyarankan untuk dilakukan fisioterapi dan melakukan latihan otot-otot
ekspresi wajah dirumah.
Medikamentosa:
- Prednisone 5mg 3 x 4tab selama 1 minggu (tapering off) selama 10 hari
- Vit B comp 1 x 1
- Cendo lyteer 3x2 tetes
32

BAB V
KESIMPULAN

Bell’s Palsy (BP) adalah suatu kelumpuhan akut nervus fasialis perifer
yang tidak diketahui penyebabnya. Sir Charles Bell (1821) adalah orang pertama
yang meniliti beberapa penderita dengan wajah asimetris, sejak itu semua
kelumpuhan N. Fasialis perifer yang tidak diketahui penyebabnya disebut Bell’s
Palsy.
Terdapat lima teori yang kemungkinan menyebabkan terjadinya Bell’ s
palsy, yaitu : Iskemik, vaskular, Virus, Bakteri, Herediter, Imunologi (Mc.
Govern dan Hughes).
Bell’s palsy diyakini disebabkan oleh inflamasi saraf fasialis pada
ganglion genikulatum, yang menyebabkan kompresi, iskemia dan demielinasi.
Secara klinis, Bell’s palsy telah didefinisikan idiopatik, dan penyebab proses
inflamasi masih tidak jelas.
Patofisiologi dari Bell’s Palsy adalah kerusakan/trauma/inflamasi pada
serabut saraf fasialis. Gambaran Klinis : Timbul mendadak dan sebelumnya
merasakan adanya hiperakusis pada telinga daerah wajah yang lumpuh.
Pemeriksaan Fisik yang dilakukan : yaitu fungsi motorik dan fungsi sensorik pada
otot-otot yang diinervasi oleh nervus fasialis. Diagnosa Banding : Stoke, GBS,
dll. Penatalaksanaan : medikamentosa dan non medika mentosa. Prognosa : baik
dapat sembuh total.
DAFTAR PUSTAKA

1. Mardjono M, Sidharta P. Nervus fasialis. Dalam Neurologi Klinis Dasar.


Jakarta : Dian Rakyat, 2005.
2. Sjarifuddin, Bashiruddin J, Bramantyo B. Kelumpuhan Nervus Fasialis
Perifer. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
Leher. 6th ed. Jakarta : Balai Penerbit FK-UI, 2007.
3. Aminoff, MJ et al. Lange medical book : Clinical Neurology, Sixth Edition,
Mcgraw-Hill. 2018.
4. Ropper, AH., Brown, Robert H. Adams & Victors’ Principles of Neurology,
Eight Edition, McGraw-Hill. 2015.
5. Maisel R, Levine S. Gangguan Saraf Fasialis. Dalam Boies Buku Ajar
Penyakit THT edisi 6. Jakarta : EGC, 2010.
6. SM. Lumbantobing. Neurologi Klinik, Pemeriksaan Fisik dan Mental.
Jakarta : Balai Penerbit FK-UI, 2006.
7. Tiemstra JD, Khathate N. Bells’ palsy: diagnosis and management. American
Family Physician. 76. 2007. 997-1002.
8. Lee KJ. Facial nerve paralysis. In: Essential Otolaryngology Head and Neck
Surgery. 8th ed. Mc Graw-Hill Medical Publishing. New York. 2003. 169-89.
9. Vrabec JT, Coker NJ. Acute Paralysis of the Facial Nerve. In: Bailey BJ,
Johnson JT (ed). Head & Neck Surgery-Otolaryngology. Vol 2. 4 th. Lippincott
Williams & Williams. Philadelphia. 2006. 2147-8.
10. Dhingra PL. Facial Nerve and its Disorders. In: Disease of Ear Nose and
Throat. 4th ed. Elsevier. New Delhi. 2017. 90-5.

33

Anda mungkin juga menyukai