Anda di halaman 1dari 43

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Sindrom Koroner Akut


3.1.1 Definisi
Infark miokard akut (IMA) didefinisikan sebagai nekrosis miokard yang
disebabkan oleh tidak adekuatnya pasokan darah akibat sumbatan akut arteri
koroner.4 Sindrom koroner akut merupakan sindrom klinis yang terdiri dari infark
mioard akut dengan atau tanpa elevasi segmen ST serta angina pektoris tidak
stabil, walaupun presentasi klinisnya berbeda tetapi memiliki kesamaan
patofisiologi. Keluhan utama adalah nyeri dada atau rasa tidak nyaman di dada
dan klasifikasi SKA berdasarkan gambaran elektrokardiogram (EKG) terdiri dari:1
a. Pasien dengan nyeri dada khas disertai elevasi segmen ST (IMA-EST) :
terjadi oklusi total akut arteri koroner sehingga tujuan utama pengobatan
adalah reperfusi secara cepat dan komplit dengan terapi fibrinolitik atau
angioplasti primer (primary percutaneous coronary intervention=primary
PCI). 1,4
b. Pasien dengan nyeri dada khas tanpa elevasi segmen ST (SKA tanpa
elevasi segmen ST): gambaran EKG berupa depresi segmen ST persisten
atau transien, gelombang T yang inversi atau EKG normal.4

3.1.2 Epidemiologi
Di Inggris, penyakit kardiovaskuler membunuh satu dari dua penduduk dalam
populasi, dan menyebabkan hampir sebesar 250.000 kematian pada tahun 1998. 5
The Health Survey for England (Departemen Kesehatan Inggris, 1996)
mengatakan bahwa 3% atau sekitar 1,4 juta penduduk dewasa menderita angina
dan 0,5% atau sekitar 246.000 penduduk dewasa telah mengalami infark miokard
dalam 12 bulan terakhir. Penyakit jantung koroner merupakan penyebab sekitar
3% perawatan rumah sakit, yaitu sebesar 284.292 perawatan dengan masa rawat
selama 6 hari.5

8
9

3.1.3 Faktor Risiko


a. Dislipidemia
Terdapat hubungan langsung antara resiko PJK dengan kadar kolesterol darah.
Sekitar 75% merupakan lipoprotein densitas rendah (low density lipoprotein/LDL)
dan 20% merupakan lipoprotein densitas tinggi (high density lipoprotein/HDL).
Kadar kolesterol LDL yang rendah berperan dalam terjadinya PJK dan terdapat
hubungan yang terbalik antara kadar HDL dan insidensi PJK.6

b. Merokok
Sekitar 24% kematian akibat PJK pada laki-laki dan 11% pada perempuan
disebabkan kebiasaan merokok. Orang tidak merokok dan tinggal bersama
perokok (perokok pasif) memiliki peningkatan resiko sebesar 20-30%
dibandingkan dengan orang yang tinggal bukan dengan perokok. Resiko
terjadinya PJK akibat merokok berkaitan dengan dosis dimana orang yang
merokok 20 batang rokok atau lebih dalam sehari, memiliki resiko sebesar 2-3
kali lenih tinggi daripada populasi umum untuk mengalami kejadian PJK.6

c. Diabetes mellitus
Diabetes merupakan faktor resiko independen untuk PJK, juga berkaitan
dengan abnormalitas metabolism lipid, obesitas, hipertensi sistemik, dan
peningkatan trombogenesis (peningkatan tingkat adhesi platelet dan peningkatan
kadar fibrinogen). Hasil CABG jangka panjang tidak terlalu baik pada penderita
diabetes, dan pasien diabetes memiliki peningkatan mortalitas dini serta resiko
stenosis berulang pasca angioplasti koroner.6,7

d. Hipertensi
Resiko PJK secara langsung berkaitan dengan tekanan darah. Patofisiologi
dari hipertensi menyebabkan PJK melalui 2 cara. Pertama, hipertensi
menyebabkan kerusakan pada endotel yang akan menyebabkan senyawa
vasodilator tidak dapat keluar dan membuat penumpukan okigen reaktif serta
penumpukan faktor-faktor inflamasi yang mendukung perkembangan dari
aterosklerosis, trombosis, dan penyumbatan pembuluh darah. Kedua, hipertensi
10

menyebabkan peningkatan afterload yang menyebabkan hipertrofi dari ventrikel


kiri. Itu menyebabkan meningkatnya kebutuhan oksigen miokardium dan
menurunnya aliran darah koroner. 7

e. Jenis kelamin dan hormon seks


Morbiditas PJK pada laki-laki dua kali lebih besar dibandingkan pada
perempuan dan kondisi ini terjadi hampir 10 tahun lebih dini pada laki-laki
daripada perempuan. Estrogen endogen bersifat protektif pada perempuan, namun
setelah menopause insidensi PJK meningkat dengan cepat dan sebanding dengan
insidensi pada laki-laki. Namun bagi perokok, mereka akan mengalami
menopause lebih dini dibandingkan dengan bukan perokok. 7

f. Riwayat keluarga
Riwayat keluarga PJK pada keluraga yang langsung berhubungan darah yang
berusia kurang dari 70 tahun merupakan faktor resiko independen untuk
terjadinya PJK, dengan rasio odd 2-4 kali lebin besar daripada populasi kontrol.
Agregasi PJK keluarga menandakan adanya predisposisi genetik pada keadaan ini.
Terdapat beberapa bukti bahwa riwayat keluarga yang positif dapat
mempengaruhi usia onset PJK pada kelurga dekat. 7

Gambar 1. Faktor Risiko Penyakit Jantung Koroner


11

3.1.4 Patofisiologi
Infark miokard akut (IMA), baik STEMI maupun NSTEMI, terjadi ketika
iskemia miokard cukup berat hingga menyebabkan nekrosis miokard. 2 Infark
dapat dideskripsikan secara patologis melalui luasnya nekrosis yang terjadi pada
otot miokardium. Infark transmural terjadi bila seluruh ketebalan dari miokard
mengalami nekrosis. Adanya oklusi total dan berkepanjangan pada arteri koroner
epikardium akan menyebabkan infark transmural tersebut. Di sisi yang lain, infark
subendokardium secara eksklusif melibatkan lapisan terdalam dari miokard.
Subendokardium merupakan daerah miokard yang rentan terhadap iskemia karena
zona ini terpapar dengan tekanan paling tinggi dari ruang ventrikel jantung,
mempunyai sedikit koneksi kolateral yang menyuplai daerah tersebut, dan
diperdarahi oleh pembuluh darah yang harus menembus lapisan-lapisan miokard
yang berkontraksi.1,8

Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST umumnya terjadi jika aliran
darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi trombus pada plak
aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat yang
berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya
banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus arteri koroner
terjadi secara cepat pada lokasi injuri vaskuler, di mana injuri ini dicetuskan oleh
faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid. 1,8

Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami
fisur, ruptur atau ulserasi, dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu
trombogenesis, sehingga terjadi trombus mural pada lokasi ruptur yang
mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian histologis menunjukkan plak
koroner cenderung mengalami ruptur jika mempunyai fibrous cap yang tipis dan
inti kaya lipid. Pada STEMI, gambaran patologis klasik terdiri dari fibrin rich red
thrombus, yang dipercaya menjadi dasar sehingga STEMI memberikan respons
terhadap terapi fibrinolitik. 1,8
12

Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis (kolagen, ADP,


epinefrin, serotonin) memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan
memproduksi dan melepaskan tromboksan A2 (vasokonstriktor lokal yang poten).
Selain itu aktivasi trombosit memicu perubahan konformasi reseptor glikoprotein
Iib/IIIa. Setelah mengalami konversi fungsinya, reseptor mempunyai afinitas
tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi yang larut (integrin)
seperti faktor von Willebrand (vWF) dan fibrinogen, di mana keduanya adalah
molekul multivalen yang dapat mengikat 2 platelet yang berbeda secara simultan,
menghasilkan ikatan silang platelet dan agregasi. 1,8 Kaskade koagulasi diaktivasi
oleh pajanan tissue factor pada sel endotel yang rusak. Faktor VII dan X
diaktivasi, mengakibatkan konversi protrombin menjadi trombin, yang kemudian
mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat kemudian
akan mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri dari agregat trombosit dan
fibrin.2 Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh oklusi arteri
koroner yang disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas kongenital, spasme
koroner, dan berbagai penyakit inflamasi sistemik. 1,8

Infark merepresentasikan kulminasi dari kaskade kejadian yang berbahaya,


yang diinisiasikan oleh iskemia, yang berkembang dari fase yang potensial
reversibel ke fase kematian sel yang ireversibel. Miokard yang disuplai secara
langsung oleh pembuluh darah yang tersumbat akan segera mati. Jaringan di
sekitar daerah yang nekrosis mungkin tidak akan segera nekrosis karena jaringan
tersebut mungkin cukup diperfusikan oleh pembuluh darah sekitar yang masih
baik. Akan tetapi, sel-sel sekitar lainnya dapat menjadi iskemik seiring waktu,
akibat kebutuhan akan oksigen tetap berlangsung meski suplai oksigen menurun,
dan regio infark dapat meluas ke arah luar.
13

Gambar 2. Oklusi Pembuluh Darah Koroner

3.2 ST Elevation Myocardial Infarction (STEMI)


3.2.1 Definisi
STEMI adalah salah satu spektrum klinis dari sindrom koroner akut dimana
terjadi gangguan aliran darah koroner secara total ke miokard akibat akibat ruptur
plak athrematous yang ditandai dengan gejala iskemia miokard dan berkaitan
dengan elevasi segmen ST yang menetap pada pemeriksaan EKG dan pelepasan
biomarker karena adanya nekrosis di miokardium.9

3.2.2 Etiologi
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak
setelah oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya.
Aterosklerosis adalah suatu proses kronis yang progresif dan tiba-tiba muncul
dengan karakteristik berupa penumpukan lemak, elemen fibrosa, dan molekul
inflamasi pada dinding arteri koroner. Aterosklerosis merupakan proses
etiopatogenesis utama penyebab PJK dan progresifitasnya berhubungan dengan
faktor lingkungan dan genetik dimana faktor tersebut akhirnya akan berubah
menjadi faktor risiko dari PJK.10
14

3.2.3 Diagnosis STEMI


a. Anamnesis
Keluhan pasien dengan iskemi miokard berupa nyeri dada typical (angina
typical) atau atypical (angina equivalen). Keluhan angina typical berupa rasa
tertekan atau berat daerah retrosternal, menjalar kelrngan kiri, leher, rahang, area
intraskapular, bahu atau epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung
intermitten/beberapa menit atau persisten (>20 menit). Keluhan angina typical
sering disertai keluhan penyerta seperti mual,muntah,nyeri abdominal, dan
sinkop.11

Nyeri dada tipikal (Angina) merupakan gejala cardinal pasien IMA. Seorang
dokter harus mampu mengenal nyeri dada angina dan mampu membedakan
dengan nyeri dada lainnya, karena gejala ini merupakan pertanda awal dalam
pengelolaan pasien IMA.11

Sifat nyeri dada angina sebagai berikut :

 Lokasi nyeri : Substernal, retrosternal, dan perikordial


 Sifat nyeri : Rasa sakit seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda
berat, seperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.
 Penjalaran : Biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, raahang
bawah, gigi, punggung/iterskapula, perut, dan dapat juga ke lengan kanan.
 Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau obat nitrat
 Factor pencetus : latihan fisik, stress emosi, udara dingin dan sesudah
makan.11
 Gejala yang menyertai mual, muntah, sulit bernapas, keringat dingin, cemas
dan lemas.11
15

Gambar 3. Karakteristik nyeri dada pada infark miokard akut9

2. Pemeriksaan Fisik
Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah). Seringkalii
ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal
>30 menit dan banyak keringat dicurigai kuat adanya STEMI. Sekitar
seperempat pasien infark anterior mempunyai manifestasi hiperaktivitas saraf
simpatis (takikardia dan/atau hipotensi) dan hampir setengah pasien infark
inferior menunjukkan hiperaktivitas parasimpatis (bradikardia dan/atau
hipotensi).11

Tanda fisik lain pada disfungsi ventricular adalah S4 dan S3 gallop,


penurunan intensitas bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan murmur
midsitolik atau late sistolik apical yang bersifat sementara karena disfungsi
apparatus katup mitral dan pericardial friction rub . peningkatan suhu sampai
38°C dapat dijumpai dalam minggu pertama pasca STEMI.1,11

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Elektrokardiogram
Pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin dilakukan pada
semua pasien yang memiliki keluhan nyeridada atau keluhan lain yang
mengarah kepada iskemia. Sebagai tambahan, sadapan V3R dan V4R,
serta V7-V9 sebaiknyadirekam pada semua pasien dengan perubahan EKG
16

yang mengarah kepadaiskemia dinding inferior. Sementara itu, sadapan


V7-V9 juga harus direkampada semua pasien angina yang mempunyai
EKG awal nondiagnostik.11
Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2
sadapan yang bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk
diagnosis STEMIuntuk pria dan perempuan pada sebagian besar sadapan
adalah 0,1 mV. Pasien SKA dengan elevasi segmen ST dikelompokkan
bersama dengan LBBB (komplet) baru/persangkaan baru mengingat
pasien tersebut adalah kandidat terapi reperfusi. Oleh karena itu pasien
dengan EKG yang diagnostik untuk STEMI dapat segera mendapat terapi
reperfusi sebelum hasilpemeriksaan marka jantung tersedia.1

Gambar 4. Evolusi Gelombang EKG pada STEMI

Tabel 1. Lokasi Infark Miokard berdasarkan EKG1

Lokasi Infark Lokasi Elevasi Arteri Kororner


Segmen ST
Miokard Akut

Anterior V3,V4 Arteri koroner kiri cabang LAD-


diagonal

Anteroseptal V1,V2,V3,V4 Arteri koroner kiri cabang LAD-


diagonal, cabang LAD-septal
17

Anterior I,aVL,V2-V6 Arteri koroner kiri – proksimal LAD


Ekstensif

Anterolateral I,aVL,V3,V4,V5,V6 Arteri koroner kiri cabang LAD-


diagonal dan/cabang sirkumfleks

Inferior II,III,Avf Arteri koroner kanan (paling sering)


cabang desenden posterior dan/ cabang
arteri koroner kiri sirkumfleks

Lateral I,aVL,V5,V6 Arteri koroner kiri cabang LAD-


diagonal dan/cabang sirkumfleks

Septum V1,V2 Arteri koroner kiri cabang LAD-septal

Posterior V7,V8,V9 Arteri koroner kanan/sirkumfleks

Ventrikel Kanan V3R-V4R Arteri koroner kanan bagian proksimal

Gambar 5. Lokasi EKG pada ST elevasi myocard infarction9


18

b. Marka jantung
Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T merupakan marka
nekrosis miosit jantung dan menjadi marka untuk diagnosis infark miokard.
Troponin I/T sebagai marka nekrosis jantung mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas lebih tinggi dari CK-MB. Peningkatan marka jantung hanya
menunjukkan adanya nekrosis miosit, namun tidak dapat dipakai untuk
menentukan penyebab nekrosis miosit tersebut (penyebab koroner/non
koroner). Troponin I/T juga dapat meningkat oleh sebab kelainan kardiak
nonkoroner seperti takiaritmia, trauma kardiak, gagal jantung, hipertrofi
ventrikel kiri, miokarditis/perikarditis. Keadaan nonkardiak yang dapat
meningkatkan kadar troponin I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal napas,
penyakit neurologik akut, emboli paru, hipertensi pulmoner, kemoterapi, dan
insufisiensi ginjal. Pada dasarnya troponin T dan troponin I memberikan
informasi yang seimbang terhadap terjadinya nekrosis miosit, kecuali pada
keadaan disfungsi ginjal. Pada keadaan ini, troponin I mempunyai spesifisitas
yang lebih tinggi dari troponin T.13

Dalam keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan CK-MB atau troponinI/T


menunjukkan kadar yang normal dalam 4-6 jam setelah awitan
SKA,pemeriksaan hendaknya diulang 8-12 jam setelah awitan angina. Jika
awitan SKA tidak dapat ditentukan dengan jelas, maka pemeriksaan
hendaknyadiulang 6-12 jam setelah pemeriksaan pertama. Kadar CK-MB
yangmeningkat dapat dijumpai pada seseorang dengan kerusakan otot
skeletal(menyebabkan spesifisitas lebih rendah) dengan waktu paruh yang
singkat(48 jam). Mengingat waktu paruh yang singkat, CK-MB lebih terpilih
untuk mendiagnosis ekstensi infark (infark berulang) maupun infark
periprosedural.13

Pemeriksaan troponin I/T adalah biomarker paling sensitif dan spesifik


sehingga menjadi standar baku emas dalam diagnosis NSTEMI/STEMI, di
mana peningkatan kadar marka jantung tersebut akan terjadi dalam waktu 2
hingga 4 jam setelah onset. Peningkatan kadar troponin biasanya menetap
19

dalam 2 hingga 3 hari, namun bisa tetap meningkat hingga 2 minggu bila terjadi
nekrosis luas. Kadar troponin bisa saja belum meningkat dalam 6 jam setelah
onset gejala, sehingga jika didapatkan hasil negatif pada pemeriksaan pertama,
perlu dilakukan pemeriksaan ulang dalam 8 hingga 12 jam setelah onset gejala.

Jika pemeriksaan troponin tidak dapat dilakukan, maka dapat digunakan


penilaian Musscle and Brain fraction of Creatinin Kinase (CK-MB)yang akan
meningkat dalam waktu 4 hingga 6 jam, mencapai puncaknya saat 12 jam, dan
menetap hingga 2 hari.13

Gambar 6.Waktu timbulnya berbagai jenis marka jantung1

c. Pemeriksaan Noninvasif
Pemeriksaan ekokardiografi transtorakal saat istirahat dapat memberikan
gambaran fungsi ventrikel kiri secara umum dan berguna untuk menentukan
diagnosis banding seperti stenosis aorta, kardiomiopati hipertrofik, atau diseksi.
Multislice Cardiac CT (MSCT) dapat digunakan untuk menyingkirkan PJK
sebagai penyebab nyeri pada pasien dengan kemungkinan PJK rendah hingga
menengah dan jika pemeriksaan troponin dan EKG tidak meyakinkan.1,11

d. Pemeriksaan Invasif (Angiografi Koroner)1


Angiografi koroner memberikan informasi mengenai keberadaan dan
tingkat keparahan Penyakit Jantung Koroner, sehingga sebaiknya segera
20

dilakukan untuk tujuan diagnostik pada pasien dengan risiko tinggi dan
diagnosis banding yang tidak jelas. Penemuan oklusi trombotik akut, misalnya
pada arteri sirkumfleksa, sangat penting pada pasien yang sedang mengalami
gejala atau peningkatan troponin namun tidak ditemukan perubahan EKG
diagnostik.13

Pada pasien dengan penyakit pembuluh multipel dan mereka dengan


stenosis arteri utama kiri yang memiliki risiko tinggi untuk kejadian
kardiovaskular yang serius, angiografi koroner disertai perekaman EKG dengan
abnormalitas gerakan dinding regional seringkali memungkinkan identifikasi
lesi yang menjadi penyebab. Penemuan angiografi yang khas antara lain
eksentrisitas, batas yang ireguler, ulserasi, penampakkan yang kabur, dan filling
defectyang mengesankan adanya trombus intrakoroner.

e. Pemeriksaan Laboratorium
Selain pemeriksaan marka jantung, yang harus dikumpulkan di ruang gawat
darurat adalah tes darah rutin, gula darah sewaktu, status elektrolit, koagulasi
darah, tes fungsi ginjal, dan panel lipid.

f. Pemeriksaan Foto Polos Dada


Tujuan dilakukan pemeriksaan ini adalah untuk membuat diagnose banding,
identifikasi komplikasi, dan penyakit penyerta.
21

Gambar 7. Angiografi

3.2.5 Tatalaksana
3.2.5.1 Tindakan Umum dan Langkah Awal
Terapi awal pada pasien dengan diagnosa kerja kemungkinan SKA atau SKA
atas keluhan angina di ruang gawat darurat, sebelum ada hasil pemeriksaan EKG
dan atau marka jantung. Terapi awal yang dimaksud adalah Morfin, Oksigen,
Nitrat, Aspirin (disingkat MONA), yang tidak harus semua atau bersamaan.14

1. Tirah baring
2. Pada semua pasien IMA-EST direkomendasikan untuk mengukur saturasi
oksigen perifer
a. Oksigen diindikasikan pada pasien dengan hipoksemia
(SaO2<90%atau PaO2<60 mmHg)
b. Oksigen rutin tidak direkomendasikan pada pasien dengan SaO2
≥90%.
3. Aspirin 160-320 mg diberikan segera kepada semua pasien yang tidak
diketahui intoleransinya terhadap aspirin. Aspirin tidak bersalut lebih
terpilih mengingat absorpsi sublingual yang lebih cepat.
4. Penghambat reseptor adenosisn difosfat (ADP)
22

a. Dosis awal ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkan


dengan dosis pemeliharaan 2x90 mg/hari kecuali pada pasien IMA-EST
yang direncanakan untuk reperfusi menggunakan agen fibrinoliyik, atau
b. Dosis awal Clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan 75 mg/hari (pada pasien yang direncanakan untuk
terapireperfusi menggunakan agen fibrinolitik, penghambat reseptor
ADPyang dianjurkan adalah clopidogrel).1
5. Nitrogliserin tablet sublingual bagi pasien dengan nyeri dada yang masih
berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat. Jika nyeri dada tidak hilang
bisa diulang sampai 3 kali. Nitrogliserin intravena diberikanpada pasien
yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual. Dalam
keadaan tidak tersedia NTG, isosorbid dinitrat (ISDN)dapat dipakai
sebagai pengganti.1,14
6. Morfin sulfat 1-5 mg IV, dapat diulang setiap 10-30 menit, bagi pasien
yang tidak responsif dengan terapi 3 dosis NTG sublingual.1

Gambar 8. Algoritma evaluasi dan tatalaksana SKA


23

3.2.5.2 Terapi Reperfusi


Terapi reperfusi segera, baik dengan IKP atau farmakologis, diindikasikan
untuk semua pasien dengan gejala yang timbul dalam 12 jam dengan elevasi
segmen ST yang menetap atau Left Bundle Branch Block (LBBB) yang (terduga)
baru.Terapi reperfusi (sebisa mungkin berupa IKP primer) diindikasikan apabila
terdapat bukti klinis maupun EKG adanya iskemia yang sedang
berlangsung,bahkan bila gejala telah ada lebih dari 12 jam yang lalu atau jika
nyeri dan perubahan EKG tampak tersendat. Dalam menentukan terapi reperfusi,
tahap pertama adalah menentukan ada rumah sakit sekitar yang memiliki fasilitas
IKP. Bila tidak ada, langsung pilih terapi fibrinolitik. Bila ada, pastikan waktu
tempuh dari tempat kejadian (baik rumah sakit atau klinik) ke rumah sakit tersebut
apakah kurang atau lebih dari (2 jam). Jika membutuhkan waktu lebih dari 2 jam,
reperfusi pilihan adalah fibrinolitik. Setelah fibrinolitik selesai diberikan, jika
memungkinkan pasien dapat dikirim ke pusat dengan fasilitas IKP.1

Gambar 9. Maksimum target untuk reperfusi4


24

3.2.5.3 Terapi Fibrinolotik


Fibrinolisis merupakan strategi reperfusi yang penting, terutama pada tempat
yang tidak dapat melakukan IKP pada pasien STEMI dalam waktu yang
disarankan. Terapi fibrinolitik direkomendasikan diberikan dalam 12 jam
sejakawitan gejala pada pasien-pasien tanpa indikasi kontra apabila IKP primer
tidak bisa dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120 menit sejak
kontakmedis pertama. Pada pasien-pasien yang datang segera (<2 jamsejak awitan
gejala) dengan infark yang besar dan risiko perdarahan rendah,fibrinolisis perlu
dipertimbangkan bila waktu antara kontak medis pertamadengan inflasi balon
lebih dari 90 menit. Fibrinolisis harus dimulaipada ruang gawat darurat. Agen
yang spesifik terhadap fibrin (tenekteplase, alteplase, reteplase) lebih disarankan
dibandingkan agen-agen yang tidak spesifik terhadap fibrin (streptokinase).
Aspirin oral atau intravena harus diberikan. Clopidogrel diindikasikan diberikan
sebagai tambahan untuk aspirin.1

Antikoagulan direkomendasikan pada pasien-pasien STEMI yang diobati


dengan fibrinolitik hingga revaskularisasi (bila dilakukan) atau selama dirawat di
rumah sakit hingga 5 hari. Antikoagulan yang digunakan dapat berupa:15

1. Enoksaparin secara subkutan (lebih disarankan dibandingkan heparintidak


terfraksi).
2. Heparin tidak terfraksi diberikan secara bolus intravena sesuai berat badan
dan infus selama 3 hari.
3. Pada pasien-pasien yang diberikan streptokinase, Fondaparinuk sintravena
secara bolus dilanjutkan dengan dosis subkutan 24 jam kemudian.
Langkah-langkah pemberian fibrinolitik pada pasien STEMI
25

Gambar 10. Langkah-langkah pemberian fibrinolitik STEMI16

Tabel 2. Kontraindikasi terapi fibrinoltik1


26

3.2.5 Komplikasi
1. Gangguan Hemodinamik
- Gagal Jantung
- Hipotensi
- Kongesti Paru
- Keadaan curah jantung rendah
- Syok Kardiogenik
- Aritmia dan gangguan konduksi dalam fase akut
- Aritmia supraventricular
- Aritmia ventrukular
- Sinus bradikardi dan Blok jantung
2. Komplikasi kardiak
- Regurgitasi katup mitral
- Rupture jantung
- Rupture septum ventrikel
- Infark ventrikel kanan
- Perikarditis
- Aneurisma ventrikel kiri
- Trombus ventrikel kiri
27

3.2 Hipertensi
3.2.1 Definisi
Hipertensi adalah kondisi kronis dimana tekanan darah pada dinding arteri
meningkat. Sebagian besar konsensus atau pedoman utama baik dari dalam
maupun luar negeri, menyatakan bahwa seseorang akan dikatakan hipertensi bila
memiliki tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik ≥
90 mmHg, pada pemeriksaan yang berulang. 17,18 Pada umumnya, tekanan yang
dianggap optimal adalah kurang dari 120 mmHg untuk tekanan sistolik dan 80
mmHg untuk tekanan diastolik, sementara tekanan yang dianggap hipertensi
adalah lebih dari 140 mmHg untuk tekanan sistolik dan lebih dari 90 mmHg untuk
tekanan diastolik.19 Risiko meningkat secara progresif sesuai kedua level tekanan
darah yaitu sistolik dan diastolik.20 Dalam menegakan diagnosis hipertensi,
diperlukan beberapa tahapan pemeriksaan yang harus dijalani sebelum
menentukan terapi atau tatalaksana yang akan diambil.21

3.2.2 Epidemiologi
Hipertensi ditemukan pada kurang lebih 6% dari seluruh penduduk dunia,
dan merupakan sesuatu yang sifatnya umum pada seluruh populasi. Data
epidemiologi menunjukkan adanya peningkatan prevalensi hipertensi, dengan
meningkatnya harapan hidup atau populasi usia lanjut. Lebih dari separuh
populasi di atas usia 65 tahun menderita hipertensi, baik hipertensi sistolik
maupun kombinasi sistolik dan diastolik.2 Riset Kesehatan Dasar / RISKESDAS
tahun 2018 menunjukkan bahwa prevalensi hipertensi di Indonesia adalah
sebesar 34,1%.21

3.2.3 Klasifikasi
Penentuan derajat hipertensi dilakukan berdasarkan rata-rata dari dua atau
lebih pengukuran tekanan darah (dalam posisi duduk) selama dua atau lebih
kunjungan pasien rawat jalan. Klasifikasi hipertensi dapat dilihat pada tabel
dibawah ini:
28

Gambar 11 : target terapi menurut JNC 8


Tabel 3. Klasifikasi Tekanan Darah17

3.2.4 Etiologi
Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dapat dibagi dalam dua golongan yaitu :
a. Hipertensi primer/hipertensi esensial
Hipertensi primer atau hipertensi esensial adalah hipertensi yang 90%-95%
tidak diketahui penyebabnya atau tanpa tanda-tanda kelainan organ di dalam
tubuh, walaupun dikaitkan dengan kombinasi faktor gaya hidup seperti kurang
bergerak (inaktivitas).22
b. Hipertensi sekunder/hipertensi non esensial
Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang dapat diduga penyebabnya, pada
sekitar 5-10% penderita hipertensi, penyebabnya adalah penyakit ginjal. Pada
29

sekitar 1-2%, penyebabnya adalah kelainan hormonal atau pemakaian obat


tertentu (misalnya pil KB), penyebab lainnya adalah : 22,23
- Penyakit : Penyakit ginjal kronik, sindroma cushing, koarktasi aorta,
obstructive sleep apnea, penyakit paratiroid, feokromositoma,
aldesteronism primer, penyakit renovaskular, penyakit tiroid.
- Obat-obatan : Prednison, fludrokortison, triamsinolon
- Makanan : Sodium, etanol, licorice
- Obat jalanan yang mengandung bahan-bahan sebagai berikut : cocaine,
cocaine withdrawal, ephedra alkaloids,nicotine withdrawal, anabolic
steroids, narcotic withdrawal, dan ketamin.
Tabel 4. Penyebab Hipertensi Sekunder23

3.2.5 Faktor risiko


Berikut adalah faktor yang bisa meningkatkan risiko seseorang mengalami
tekanan darah tinggi adalah :
1. Faktor risiko yang tidak dapat diubah
a. Umur
Umur mempengaruhi terjadinya hipertensi. Dengan bertambahnya umur,
risiko terkena hipertensi menjadi lebih besar sehingga prevalensi hipertensi di
kalangan usia lanjut cukup tinggi, yaitu sekitar 57,6%, dengan kematian
sekitar di atas 65 tahun. Pada usia lanjut, hipertensi terutama ditemukan hanya
berupa kenaikan tekanan darah sistolik. Tingginya hipertensi sejalan dengan
30

bertambahnya umur, disebabkan oleh perubahan struktur pada pembuluh darah


besar, sehingga lumen menjadi lebih sempit dan dinding pembuluh darah
menjadi lebih kaku.24
b. Jenis Kelamin
Faktor gender berpengaruh pada terjadinya hipertensi, di mana pria lebih
banyak yang menderita hipertensi dibandingkan dengan wanita, dengan rasio
sekitar 2,29 untuk peningkatan tekanan darah sistolik. Pria diduga memiliki gaya
hidup yang cenderung dapat meningkatkan tekanan darah dibandingkan dengan
wanita. Laki-laki mempunyai risiko yang lebih besar terhadap morbiditas dan
mortalitas kardiovaskuler. Namun, setelah memasuki menopause, prevalensi
hipertensi pada wanita meningkat. Bahkan setelah usia 65 tahun, terjadinya
hipertensi pada wanita lebih tinggi dibandingkan dengan pria yang diakibatkan
oleh faktor hormonal.24
c. Keturunan (genetik)
Riwayat keluarga dekat yang menderita hipertensi juga mempertinggi risiko
terkena hipertensi, terutama pada hipertensi primer. Tentunya faktor genetik ini
juga dipengaruhi faktor-faktor lingkungan lain, yang kemudian menyebabkan
seorang menderita hipertensi. Faktor genetik juga berkaitan dengan metabolisme
pengaturan garam dan renin membran sel. Menurut Davidson bila kedua orang
tuanya menderita hipertensi maka sekitar 45% akan turun ke anak-anaknya dan
bila salah satu orang tuanya yang menderita hipertensi maka sekitar 30% akan
turun ke anak-anaknya. Faktor keturunan memang memiliki peran yang besar
terhadap munculnya hipertensi. Hal tersebut terbukti dengan ditemukannya
kejadian bahwa hipertensi lebih banyak terjadi pada kembar monozigot (berasal
dari satu sel telur) dibanding heterozigot (berasal dari sel telur yang berbeda). 24
d. Etnis
Setiap etnis memiliki kekhasan masing-masing yang menjadi ciri khas dan
pembeda satu dengan lainnya. Hipertensi lebih banyak terjadi pada orang berkulit
hitam daripada yang berkulit putih. Belum diketahui secara pasti penyebabnya,
tetapi pada orang kulit hitam ditemukan kadar renin yang lebih rendah dan
sensitivitas terhadap vasopresin yang lebih besar. 24
31

2. Faktor Risiko Yang Dapat Diubah


a. Kegemukan (obesitas)
Kegemukan (obesitas) adalah persentase abnormalitas lemak yang dinyatakan
dalam IMT yaitu perbandingan antara berat badan dengan tinggi badan
kuadrat dalam meter. Kaitan erat antara kelebihan berat badan dan kenaikan
tekanan darah telah dilaporkan oleh beberapa studi. IMT berkorelasi langsung
dengan tekanan darah, terutama tekanan darah sistolik. Obesitas bukanlah
penyebab hipertensi. 24
b. Psikososial dan Stres
Stres atau ketegangan jiwa (rasa tertekan, murung, rasa marah, dendam,
rasa takut, rasa bersalah) dapat merangsang kelenjar ginjal melepaskan hormon
adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih cepat serta lebih kuat, sehingga
tekanan darah akan meningkat. Jika stres berlangsung lama, tubuh akan berusaha
mengadakan penyesuaian sehingga timbul kelainan organis atau perubahan
patologis. Gejala yang muncul dapat berupa hipertensi atau penyakit maag. 24
c. Merokok
Zat-zat kimia beracun seperti nikotin dan Carbon Monoxide (CO) yang
dihisap melalui rokok yang masuk ke dalam aliran darah dapat merusak lapisan
endotel pembuluh darah arteri dan mengakibatkan proses artereosklerosis, dan
tekanan darah tinggi. Risiko merokok berkaitan dengan jumlah rokok yang
dihisap per hari, dan bukan pada lama merokok. Seseorang yang merokok lebih
dari satu pak perhari menjadi dua kali lebih rentan terhadap penyakit hipertensi
daripada mereka yang tidak merokok.25
d. Olahraga atau aktivitas fisik
Olahraga yang teratur dapat membantu menurunkan tekanan darah dan
bermanfaat bagi penderita hipertensi ringan. Pada orang tertentu dengan
melakukan olahraga aerobik yang teratur dapat menurunkan tekanan darah, tanpa
perlu sampai berat badan turun. 25
e. Konsumsi Alkohol Berlebih
Pengaruh alkohol terhadap kenaikan tekanan darah telah dibuktikan.
Mekanisme peningkatan tekanan darah akibat alkohol masih belum jelas.
32

Namun, diduga peningkatan kadar kortisol, dan peningkatan volume sel darah
merah serta kekentalan darah berperan dalam menaikan tekanan darah. 25
f. Konsumsi Garam Berlebihan
Garam menyebabkan penumpukan cairan dalam tubuh karena menarik cairan
di luar sel agar tidak dikeluarkan, sehingga akan meningkatkan volume dan
tekanan darah. Pada sekitar 60% kasus hipertensi primer (esensial) terjadi respon
penurunan tekanan darah dengan mengurangi asupan garam. 25
g. Hiperlipidemia/Hiperkolesterolemia
Kelainan metabolisme lipid (Iemak) yang ditandai dengan peningkatan
kadar kolesterol total, trigliserida, kolesterol Low-Density Lipoprotein (LDL)
dan/atau penurunan kadar kolesterol High-Density Lipoprotein (HDL) dalam
darah. Kolesterol merupakan faktor penting dalam terjadinya aterosklerosis yang
mengakibatkan peninggian tahanan perifer pembuluh darah sehingga tekanan
darah meningkat. 25
Menggunakan perhitungan estimasi risiko kardiovaskular yang formal, untuk
mengetahui prognosis. Selalu mencari faktor risiko metabolic ( diabetes, ganguan
tiroiddan lainnya) pada pasien dengan hipertensi dengan atau tanpa penyakit
jantung dan pembuluh darah seperti gambar dibawah ini.26,27
Tabel 5. Faktor Risiko Hipertensi28
33

3.2.6 Patofisiologi

Tekanan darah merupakan hasil kali antara curah jantung dan tahanan perifer.
Patofisiologi dari hipertensi dapat dilihat dari gambar dibawah ini .

Tekanan yang dibutuhkan untuk mengalirkan darah melalui sistem


sirkulasi dilakukan oleh aksi memompa dari jantung (cardiac output/CO) dan
resistensi vaskular (peripheral vascular resistance). Fungsi kerja masing-masing
penentu tekanan darah ini dipengaruhi oleh interaksi dari berbagai faktor yang
kompleks. Hipertensi sesungguhnya merupakan abnormalitas dari faktor-faktor
tersebut, yang ditandai dengan peningkatan curah jantung dan / atau ketahanan
periferal.19
Cardiac output berhubungan dengan hipertensi, peningkatan cardiac

Gambar 12. Patofisiologi Hipertensi29

Tekanan yang dibutuhkan untuk mengalirkan darah melalui sistem sirkulasi


dilakukan oleh aksi memompa dari jantung (cardiac output/CO) dan resistensi
vaskular (peripheral vascular resistance). Fungsi kerja masing-masing penentu
tekanan darah ini dipengaruhi oleh interaksi dari berbagai faktor yang kompleks.
Hipertensi sesungguhnya merupakan abnormalitas dari faktor-faktor tersebut,
yang ditandai dengan peningkatan curah jantung dan / atau ketahanan periferal. 30
Cardiac output berhubungan dengan hipertensi, peningkatan cardiac output
secara logis timbul dari dua jalur, yaitu baik melalui peningkatan cairan (preload)
atau peningkatan kontraktilitas dari efek stimulasi saraf simpatis. Tetapi tubuh
dapat mengkompensasi agar cardiac output tidak meningkat yaitu dengan cara
meningkatkan resistensi perifer.30 Selain itu konsumsi natrium berlebih dapat
menyebabkan hipertensi karena peningkatan volume cairan dalam pembuluh
darah dan preload, sehingga meningkatkan cardiac output. 30,31
34

2.1.7 Penegakan Diagnosa


1. Anamnesis
Anamnesis yang dilakukan meliputi tingkat hipertensi dan lama menderitanya,
riwayat dan gejala-gejala penyakit yang berkaitan seperti penyakit jantung
koroner, penyakit serebrovaskuler dan lainnya. Apakah terdapat riwayat penyakit
dalam keluarga, gejala yang berkaitan dengan penyakit hipertensi, perubahan
aktifitas atau kebiasaan (seperti merokok, konsumsi makanan, riwayat dan faktor
psikososial lingkungan keluarga, pekerjaan, dan lain-lain). Dalam pemeriksaan
fisik dilakukan pengukuran tekanan darah dua kali atau lebih dengan jarak dua
menit, kemudian diperiksa ulang di kontrolateralnya.25
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik harus diperhatikan bentuk tubuh, termasuk berat dan
tinggi badan. Pada pemeriksaan awal, tekanan darah diukur pada kedua lengan,
dan dianjurkan pada posisi terlentang, duduk, dan berdiri sehingga dapat
mengevaluasi hipotensi postural. Pasien yang berusia kurang dari 30 tahun
sebaiknya juga diukur tekanan arterinya di ekstremitas bawah, setidaknya satu
kali. Laju nadi juga dicatat.25
Palpasi leher dilakukan untuk meraba pembesaran tiroid dan penilaian
terhadap tanda hipo- atau hipertiroid serta memeriksa adanya distensi vena.
Pemeriksaan pembuluh darah dapat menggambarkan penyakit pembuluh darah
dan sebaiknya mencakup funduskopi, auskultasi untuk mencari bruit pada arteri
karotis dan arteri femoralis serta palpasi pada pulsasi femoralis dan kaki. Retina
merupakan jaringan yang arteri dan arteriolnya dapat diperiksa secara langsung.
Seiring dengan peningkatan derajat beratnya hipertensi dan penyakit
aterosklerosis, terjadi perubahan progresif pada pemeriksaan funduskopi, yaitu
adanya peningkatan refleks cahaya arteriol, defek pertukaran arteriovenosus,
hemoragik, eksudat, dann pada pasien dengan hipertensi maligna dapat ditemukan
papiledema. 25,27
Pemeriksaan pada jantung dapat menunjukkan abnormalitas dari laju dan
ritme jantung, peningkatan ukuran, heave perikordial, murmur serta bunyi jantung
ketiga dan keempat. Pembesaran jantung kiri dapat dideteksi dengan iktus kordis
35

yang membesar dan bergeser ke lateral. Pemeriksaan paru dapat ditemukan rhonki
basah halus dan tanda bronkospasme.Pemeriksaan abdomen untuk menemukan
adanya bruit renal atau abdominal, pembesaran ginjal atau adanya pulsasi aorta
yang abnormal. Bruit abdomen, khususnya bruit yang lateralisasi dan melebar
sepanjang sistol ke diastol, meningkatkan kemungkinan adanya hipertensi
renovaskular. Dilakukan juga pemeriksaan pada ekstremitas untuk mengevaluasi
edema atau hilangnya pulsasi arteri perifer. Pemeriksaan fisik sebaiknya termasuk
pemeriksaan saraf.25,27

Gambar 13. Gejala dan Tanda Hipertensi26


Cara pemeriksaan tekanan darah
a) Pengukuran tekanan darah yang umum dilakukan menggunakan alat tensi
meter yang dipasang/dihubungkan pada lengan pasien dalam keadaan
duduk bersandar,berdiri atau tiduran. Penurunan lengan dari posisi hampir
mendatar (setinggi jantung) ke posisi hampir vertikal dapat menghasilkan
kenaikan pembacaan dari kedua tekanan darah sistolik dan diastolik.
b) Untuk mencegah penyimpangan bacaan sebaiknya pemeriksaan tekanan
darah dapat dilakukan setelah orang yang akan diperiksa beristirahat
selama 5 menit. Bila perlu dapat dilakukan dua kali pengukuran dengan
selang waktu 5 sampai 20 menit pada sisi kanan dan kiri. Ukuran manset
dapat mempengaruhi hasil.
36

c) Sebaiknya lebar manset 2/3 kali panjang lengan atas. Manset sedikitnya
harus dapat melingkari 2/3 1engan dan bagian bawahnya harus 2 cm di
atas daerah lipatan lengan atas untuk mencegah kontak dengan stetoskop.
d) Balon dipompa sampai di atas tekanan sistolik, kemudian dibuka perlahan-
lahan dengan kecepatan 2-3 mmHg per denyut jantung. Tekanan sistolik
dicatat pada saat terdengar bunyi yang pertama (Korotkoff I), sedangkan
tekanan diastolik dicatat pada bunyi yang kelima (Korotkoff V).

Gambar 14. Cara Pengukuran Tekanan Darah26


3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang sebagai evaluasi inisial pada penderita hipertensi
meliputi pengurukan funsi ginjal, elektrolit serum, glukosa puasa, dan lemak
dapat diulang kembali setelah pemberian agen antihipertensi dan selanjutnya
sesuai dengan indikasi klinis. Pemeriksaan laboratorium ekstensif diperlukan pada
pasien dengan hipertensi yang resisten terhadap obat dan ketiga evaluasi klinis
mengarah pada bentuk kedua dari hipertensi.9,12
37

Tabel 15. Pemeriksaan Penunjang sebagai evaluasi awal.24

2.1.8 Tatalaksana
a. Tatalaksana Farmakologis
Terdapat beberapa rekomendasi menurut JNC VIII untuk menangani
hipertensi, beberapa rekomendasi tersebut antara lain:
 Rekomendasi 1: Pada populasi umum, terapi farmakologik mulai diberikan
jika tekanan darah sistolik ≥150 mmHg atau jika tekanan darah diastolik
≥90 mmHg pada kelompok usia ≥60 tahun dengan target terapi adalah
tekanan darah sistolik <150 mmHg dan tekanan darah diastolik <90
mmHg.
 Rekomendasi 2: Pada kelompok usia < 60 tahun, terapi farmakologik
mulai diberikan jika tekanan darah diastolik ≥90 mmHg dengan target
terapi adalah tekanan darah diastolik <90 mmHg (untuk kelompok usia 30-
59 tahun).25
 Rekomendasi 3: Pada kelompok usia <60 tahun, terapi farmakologik mulai
diberikan jika tekanan darah sistolik ≥140 mmHg dengan target terapi
adalah tekanan darah sistolik <140 mmHg. 25
 Rekomendasi 4: Pada kelompok usia ≥18 tahun dengan gagal ginjal kronis
terapi farmakologik mulai diberikan jika tekanan darah sistolik ≥140
mmHg atau tekanan darah diastolik ≥90 mmHg dengan target terapi adalah
tekanan darah sistolik <140 mmHg dan tekanan darah diastolic <90
mmHg.
 Rekomendasi 5: Pada kelompok usia ≥18 tahun dengan diabetes melitus
terapi farmakologik mulai diberikan jika tekanan darah sistolik ≥140
38

mmHg atau tekanan darah diastolik ≥90 mmHg dengan target terapi adalah
tekanan darah sistolik <140 mmHg dan tekanan darah diastolic <90
mmHg.
 Rekomendasi 6: Pada populasi bukan kulit hitam, termasuk penderita
diabetes melitus, terapi inisial dapat menggunakan diuretik-thiazide,
penghambat kanal kalsium, angiotensin-converting enzyme inhibitor
(ACEI) atau angiotensin receptor blocker (ARB).
 Rekomendasi 7: Pada populasi kulit hitam, termasuk penderita diabetes
melitus terapi inisial dapat menggunakan diuretik-thiazide atau
penghambat kanal kalsium.
 Rekomendasi 8: Pada kelompok usia ≥18 tahun dengan gagal ginjal kronis
terapi antihipertensi harus menggunakan ACEI atau ARB untuk
memperbaiki outcomepada ginjal. (Terapi ini berlaku untuk semua pasien
gagal ginjal kronis dengan hipertensi tanpa memandang ras ataupun
penderita diabetes melitus atau bukan.)
 Rekomendasi 9: Tujuan utama dari penanganan hipertensi adalah untuk
mencapai dan mempertahankan tekanan darah yang ditargetkan. Apabila
target tekanan darah tidak tercapai setelah 1 bulan pengobatan maka dosis
obat harus ditingkatkan atau ditambahkan dengan obat lainnya dari
golongan yang sama (golongan diuretic-thiazide, CCB, ACEI, atau ARB).
Jika target tekanan darah masih belum dapat tercapai setelah menggunakan
2 macam obat maka dapat ditambahkan obat ketiga (tidak boleh
menggunakan kombinasi ACEI dan ARB bersamaan). Apabila target
tekanan darah belum tercapai setelah menggunakan obat yang berasal dari
rekomendasi 6 karena ada kontraindikasi atau diperlukan >3 jenis obat
untuk mencapai target tekanan darah maka terapi antihipertensi dari
golongan yang lain dapat digunakan.
39

Gambar 16. Algoritma tatalaksana hipertensi pada dewasa menurut JNC 8.25

Gambar 17. Algoritma tatalaksana hipertensi pada dewasa menurut AHA.17


40

Tatalaksana dikeluarkan oleh American Heart Assosiation untuk terapi


farmakologis, berikut adalah beberapa jenis obat serta dosisnya yang dapat
digunakan.

Tabel 6. Obat Anti Hipertensi Lini Kedua Beserta Dosis17


41

Tabel 7. Obat Anti Hipertensi Lini Kedua Beserta Dosis17

Tabel 8. Strategi Penggunaan Obat Anti Hipertensi21


42

Gambar 18. Kombinasi Obat Anti Hipertensi21

1. Tatalaksana Non Farmakologis


Pendekatan nonfarmakologis merupakan penanganan awal sebelum
penambahan obat-obatan hipertensi, disamping perlu diperhatikan oleh seorang
yang sedang dalam terapi obat. Sedangkan pasien hipertensi yang terkontrol,
pendekatan nonfarmakologis ini dapat membantu pengurangan dosis obat pada
sebagian penderita. Oleh karena itu, modifikasi gaya hidup merupakan hal yang
penting diperhatikan, karena berperan dalam keberhasilan penanganan hipertensi.
Pendekatan nonfarmakologis dibedakan menjadi beberapa hal:
2. Menurunkan faktor risiko yang menyebabkan aterosklerosis.
Berhenti merokok penting untuk mengurangi efek jangka panjang hipertensi
karena asap rokok diketahui menurunkan aliran darah ke berbagai organ dan
dapat meningkatkan beban kerja jantung. Selain itu pengurangan makanan
berlemak dapat menurunkan risiko aterosklerosis. Penderita hipertensi dianjurkan
untuk berhenti merokok dan mengurangi asupan alkohol. Berdasarkan hasil
penelitian eksperimental, sampai pengurangan sekitar 10 kg berat badan
berhubungan langsung dengan penurunan tekanan darah rata-rata 2-3 mmHg per
kg berat badan.24
43

3. Olahraga dan aktifitas fisik


Selain untuk menjaga berat badan tetap normal, olahraga dan aktifitas fisik
teratur bermanfaat untuk mengatur tekanan darah, dan menjaga kebugaran tubuh.
Olahraga seperti jogging, berenang baik dilakukan untuk penderita hipertensi.
Dianjurkan untuk olahraga teratur, minimal 3 kali seminggu, dengan demikian
dapat menurunkan tekanan darah walaupun berat badan belum tentu turun.
Melakukan aktivitas secara teratur (aktivitas fisik aerobik selama 30-45
menit/hari) diketahui sangat efektif dalam mengurangi risiko relatif hipertensi
hingga mencapai 19% hingga 30%. Begitu juga halnya dengan kebugaran kardio
respirasi rendah pada usia paruh baya diduga meningkatkan risiko hipertensi
sebesar 50%.21
Olahraga yang teratur dibuktikan dapat menurunkan tekanan perifer sehingga
dapat menurunkan tekanan darah. Olahraga dapat menimbulkan perasaan santai
dan mengurangi berat badan sehingga dapat menurunkan tekanan darah. Yang
perlu diingat adalah bahwa olahraga saja tidak dapat digunakan sebagai
pengobatan hipertensi.18
4. Perubahan pola makan
a. Mengurangi asupan garam
Pada hipertensi derajat I, pengurangan asupan garam dan upaya penurunan
berat badan dapat digunakan sebagai langkah awal pengobatan hipertensi. Nasihat
pengurangan asupan garam harus memperhatikan kebiasaan makan pasien,
dengan memperhitungkan jenis makanan tertentu yang banyak mengandung
garam. Pembatasan asupan garam sampai 60 mmol per hari, berarti tidak
menambahkan garam pada waktu makan, memasak tanpa garam, menghindari
makanan yang sudah diasinkan, dan menggunakan mentega yang bebas garam.
Cara tersebut diatas akan sulit dilaksanakan karena akan mengurangi asupan
garam secara ketat dan akan mengurangi kebiasaan makan pasien secara
drastis.21,22
b. Diet rendah lemak jenuh
Lemak dalam diet meningkatkan risiko terjadinya aterosklerosis yang
berkaitan dengan kenaikan tekanan darah. Penurunan konsumsi lemak jenuh,
44

terutama lemak dalam makanan yang bersumber dari hewan dan peningkatan
konsumsi lemak tidak jenuh secukupnya yang berasal dari minyak sayuran, biji-
bijian dan makanan lain yang bersumber dari tanaman dapat menurunkan tekanan
darah. 22,23
c. Memperbanyak konsumsi sayuran, buah-buahan dan susu rendah lemak.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa beberapa mineral bermanfaat
mengatasi hipertensi. Kalium dibuktikan erat kaitannya dengan penurunan
tekanan darah arteri dan mengurangi risiko terjadinya stroke. Selain itu,
mengkonsumsi kalsium dan magnesium bermanfaat dalam penurunan tekanan
darah. Banyak konsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan mengandung banyak
mineral, seperti seledri, kol, jamur (banyak mengandung kalium), kacang-
kacangan (banyak mengandung magnesium). Sedangkan susu dan produk susu
mengandung banyak kalsium.23
e. Menghilangkan stress
Stres menjadi masalah bila tuntutan dari lingkungan hampir atau bahkan sudah
melebihi kemampuan kita untuk mengatasinya. Cara untuk menghilangkan stres
yaitu perubahan pola hidup dengan membuat perubahan dalam kehidupan rutin
sehari-hari dapat meringankan beban stres.23
Tabel 9. Tatalaksana Non Farmakologi Hipertensi17
45

d. Tatalaksana Hipertensi pada Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah


Tatalaksana hipertensi pada pasien dengan penyakit jantung dan pembuluh
darah ditujukan pada pencegahan kematian, infark miokard, stroke, pengurangan
frekuensi dan durasi iskemia miokard dan memperbaiki tanda dan gejala. Target
tekanan darah yang telah banyak direkomendasikan oleh berbagai studi pada
pasien hipertensi dengan penyakit jantung dan pembuluh darah, adalah tekanan
darah sistolik < 140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik < 90 mmHg.
1. Angina pectoris
a. Betablocker
Betablocker merupakan obat pilihan pertama dalam tatalaksana hipertensi
pada pasien dengan penyakit jantung koroner terutama yang menyebabkan
timbulnya gejala angina. Obat ini akan bekerja mengurangi iskemia dan angina,
karena efek utamanya sebagai inotropik dan kronotropik negative. Dengan
menurunnya frekuensi denyut jantung maka waktu pengisian diastolik untuk
perfusi koroner akan memanjang. Betablocker juga menghambat pelepasan renin
di ginjal yang akan menghambat terjadinya gagal jantung. Betablocker
cardioselective (β1) lebih banyak direkomendasikan karena tidak memiliki
aktifitas simpatomimetik intrinsik.
b. Calcium Channel Blocker
CCB akan digunakan sebagai obat tambahan setelah optimalisasi dosis
betabloker, bila terjadi :
- TD yang tetap tinggi
- Angina yang persisten
- Atau adanya kontraindikasi absolute pemberian dari betabloker
CCB bekerja mengurangi kebutuhan oksigen miokard dengan menurunkan
resistensi vaskular perifer dan menurunkan tekanan darah. Selain itu, CCB juga
akan meningkatkan suplai oksigen miokard dengan efek vasodilatasi koroner.
c. ACE Inhibitor
Penggunaan ACEi pada pasien penyakit jantung koroner yang disertai
diabetes mellitus dengan atau tanpa gangguan fungsi sistolik ventrikel kiri
merupakan pilihan utama dengan rekommendasi penuh dari semua guidelines
46

yang telah dipublikasi. Pemberian obat ini secara khusus sangat bermanfaat pada
pasien jantung koroner dengan hipertensi, terutama dalam pencegahan kejadian
kardiovaskular.
d. Angiotensin Receptor Blockers (ARB)
Indikasi pemberian ARBs adalah pada pasien yang intoleran terhadap ACEi.
Beberapa penelitian besar, menyatakan valsartan dan captopril memiliki
efektifitas yang sama pada pasien paska infark miokard dengan risiko kejadian
kardiovaskular yang tinggi.
e. Diuretik
Diuretik golongan tiazid, akan mengurangi risiko kejadian kardiovaskular, seperti
yang telah dinyatakan beberapa penelitian terdahulu, sepertiVeterans
Administrations Studies, MRC dan SHEP.
f. Nitrat
Indikasi pemberian nitrat kerja panjang adalah untuk tatalaksana angina yang
belum terkontrol dengan dosis betablocker dan CCB yang adekuat pada pasien
dengan penyakit jantung koroner.
2. Angina Pectoris Tidak Stabil
Dasar dari tatalaksana hipertensi pada pasien dengan sindroma koroner akut
adalah perbaikan keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen miokard, setelah
inisiasi terapi antiplatelet dan antikoagulan. Walaupun kenaikan tekanan darah
dapat meningkatkan kebutuhan oksigen miokard, tetapi harus dihindari penurunan
tekanan darah yang terlalu cepat terutama tekanan diastolik, karena hal ini dapat
mengakibatkan penurunan perfusi darah ke koroner dan juga suplai oksigen,
sehingga akan memperberat keadaan iskemia. Tatalaksana awal meliputi tirah
baring, monitor EKG dan hemodinamik, oksigen, nitrogliserin dan bila angina
terus berlanjut dengan pemdapat diberikan morfin sulfat. Perlu diingat bahwa
pemberian nirat selama angka panjang tidak direkomendasikan oleh berbagai
guidelines sampai saat ini.
e. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-ST)
Pada pasien IMA-ST, prinsip utama tatalaksana hipertensi adalah seperti pada
pasien dengan angina pectoris tidak stabil / IMA-NST, dengan ada beberapa
47

pengecualian. Terapi awal hipertensi pada pasien dengan hemodinamik stabil


adalah betablocker cardioselective, setelah pemberian nitrat. Tetapi, bila pasien
mengalami gagal jantung atau hemodinamik yang tidak stabil, maka pemberian
betablocker harus ditunda, sampai kondisi pasien menjadi stabil. Dalam kondisi
ini, maka diuretik dapat diberikan untuk tatalaksana gagal jantung atau hipertensi.
f. Gagal Jantung
Hipertensi merupakan salah satu penyebab utama terjadinya gagal jantung.
Penggunaan obat-obat penurun tekanan darah yang baik memiliki keuntungan
yang sangat besar dalam pencegahan gagal jantung, termasuk juga pada golongan
usia lanjut. Hal ini telah banyak diteliti pada penggunaan diuretik, betablocker,
ACEi dan ARB, dimana penggunaan CCB paling sedikit memberikan keuntungan
dalam pencegahan gagal jantung.
g. Atrial Fibrilasi
Sebagian besar pasien hipertensi dengan fibrilasi atrial, ternyata memiliki laju
ventrikel yang cepat. Hal ini mendasari rekomendasi pemberian betablocker atau
CCB golongan non dihidropiridin pada kelompok pasien ini. 9
i. Kelainan Penyerta
Hipertensi yang disertai kelainan penyerta (compelling indications) seperti
gagal jantung, paska infark miokard, penyakit jantung koroner, diabetes mellitus,
dan riwayat penyakit stroke dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 10. Pengobatan Kelainan Penyerta Hipertensi19

Dibawah ini tabel yang perlu mendapat perhatian dan kontraindikasi terhadap
beberapa anti hipertensi.
48

Tabel 11. Compelling Anti Hipertensi25

ii. Komplikasi
1. Stroke
Stroke dapat terjadi akibat hemorargi tekanan tinggi di otak, atau akibat
embolus yang terlepas dari pembuluh selain otak yang terpajan tekanan tinggi.
Stroke dapat terjadi pada hipertensi kronis apabila arteri yang memperdarahi otak
mengalami hipertrofi dan penebalan, sehingga aliran darah ke area otak yang
diperdarahi berkurang. Arteri otak yang mengalami aterosklerosis dapat melemah
sehingga meningkatkan kemungkinan terbentuknya aneurisma.24
2. Infark miokard
Infark miokard dapat terjadi apabila arteri koroner yang aterosklerotik tidak
dapat menyuplai cukup oksigen ke miokardium atau apabila trombus yang
menghambat aliran darah, kebutuhan oksigen miokardium mungkin tidak dapat
terpenuhi dan dapat terjadi iskemia jantung yang menyebabkan infark.24
3. Gagal ginjal
Gagal ginjal dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat tekanan tinggi
pada kapiler glomerulus ginjal. Dengan rusaknya glomerulus, aliran darah ke unit
49

fungsional ginjal, yaitu nefron akan terganggu dan dapat berlanjut menjadi
hipoksik dan kematian. Dengan rusaknya membran glomerulus, protein akan
keluar melalui urine sehingga tekanan osmotik kolid plasma berkurang dan
menyebabkan edema.
4. Ensefalopati
Ensefalopati dapat terjadi, terutama pada hipertensi maligna (hipertensi yang
meningkat cepat dan berbahaya). Tekanan yang sangat tinggi pada kelainan ini
menyebabkan peningkatan tekanan kapiler dan mendorong cairan ke ruang
interstisial di seluruh susunan saraf pusat. Neuron-neuron disekitarnya kolaps dan
terjadi koma serta kematian.24
5. Kejang
Kejang dapat terjadi pada wanita preeklampsi.24
6. Hipertrofi Ventrikel Kiri
Hipertrofi ventrikel kiri (HVK) merupakan bentuk adaptasi otot jantung
dengan cara dilatasi dan hipertrofi (penebalan) akibat peningkatan tahanan
sirkulasi. HVK biasanya diikuti abnormalitas atau pembesaran atrium kiri.
Peningkatan tekanan otot jantung yang terus menerus (kronik) akibat tekanan
darah tinggi menyebabkan kompensasi dari otot jatung agar tetap bisa mengalirkan
darah ke seluruh tubuh. Karena adanya pengingkatan tahanan akibat hipertensi,
jantung membutuhkan energi ekstra untuk memompa darah. Sebagai gantinya otot
jantung akan mengalami dilatasi dan penebalan sehingga menimbulkan HVK.
Perubahan yang terjadi pada sel otot jantung meliputi peningkatan ukuran dari
sel-sel otot jantung dan perubahan matriks kolagen perivaskuler yang akan
menyebabkan kekakuan pada otot jantung. Kekakuan otot jantung akan
menyebabkan gangguan pada relaksasi diastolic yang dapat menyebabkan
turunnya CJ dan ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan aliran darah. Pada
kondisi hipertensi, HVK meningkatkan resiko stroke, penyakit jantung iskemik,
dan pada akhirnya menyebabkan kegagalan pada fungsi jantung.22
7. Penyakit jantung koroner, infark miokard dan Angina
Kondisi hipertensi akan meningkatkan pembentukan plak aterosklerotik yang
menjadi salah satu penyebab disfungsi endotel yang kemudian akan berkembang
50

menjadi penyakit jantung koroner bila pembentukan plak ateros terjadi di arteri
koronaria jantung. Penyakit jantung kororner akan mengakibatkan iskemik otot
jantung yang disebabkan oleh karena penyempitan atau oklusi arteri koroner
akibat aterosklerosis yang menghambat aliran darah. Aterosklerosis yang ruptur
merupakan penyebab infark miokard.22
Iskemik otot jantung juga dapat terjadi akibat remodeling dari arteri koroner.
Pada kondisi hipertensi terjadi hipertrofi pada sel-sel otot jantung namun tidak
diikuti penambahan sirkulasi koroner yang memadai sehingga densitas kapiler
menurun, dan karena ada pembesaran sel-sel otot jantung, jarak antar kapiler
bertambah yang akan memperparah iskemia pada otot jantung. Kejadian iskemik
miokard akan memberikan manifestasi klinis berupa angina pectoris.12

Gambar 19. Komplikasi Hipertensi25

Anda mungkin juga menyukai