TINJAUAN PUSTAKA
3.1.2 Epidemiologi
Di Inggris, penyakit kardiovaskuler membunuh satu dari dua penduduk dalam
populasi, dan menyebabkan hampir sebesar 250.000 kematian pada tahun 1998. 5
The Health Survey for England (Departemen Kesehatan Inggris, 1996)
mengatakan bahwa 3% atau sekitar 1,4 juta penduduk dewasa menderita angina
dan 0,5% atau sekitar 246.000 penduduk dewasa telah mengalami infark miokard
dalam 12 bulan terakhir. Penyakit jantung koroner merupakan penyebab sekitar
3% perawatan rumah sakit, yaitu sebesar 284.292 perawatan dengan masa rawat
selama 6 hari.5
8
9
b. Merokok
Sekitar 24% kematian akibat PJK pada laki-laki dan 11% pada perempuan
disebabkan kebiasaan merokok. Orang tidak merokok dan tinggal bersama
perokok (perokok pasif) memiliki peningkatan resiko sebesar 20-30%
dibandingkan dengan orang yang tinggal bukan dengan perokok. Resiko
terjadinya PJK akibat merokok berkaitan dengan dosis dimana orang yang
merokok 20 batang rokok atau lebih dalam sehari, memiliki resiko sebesar 2-3
kali lenih tinggi daripada populasi umum untuk mengalami kejadian PJK.6
c. Diabetes mellitus
Diabetes merupakan faktor resiko independen untuk PJK, juga berkaitan
dengan abnormalitas metabolism lipid, obesitas, hipertensi sistemik, dan
peningkatan trombogenesis (peningkatan tingkat adhesi platelet dan peningkatan
kadar fibrinogen). Hasil CABG jangka panjang tidak terlalu baik pada penderita
diabetes, dan pasien diabetes memiliki peningkatan mortalitas dini serta resiko
stenosis berulang pasca angioplasti koroner.6,7
d. Hipertensi
Resiko PJK secara langsung berkaitan dengan tekanan darah. Patofisiologi
dari hipertensi menyebabkan PJK melalui 2 cara. Pertama, hipertensi
menyebabkan kerusakan pada endotel yang akan menyebabkan senyawa
vasodilator tidak dapat keluar dan membuat penumpukan okigen reaktif serta
penumpukan faktor-faktor inflamasi yang mendukung perkembangan dari
aterosklerosis, trombosis, dan penyumbatan pembuluh darah. Kedua, hipertensi
10
f. Riwayat keluarga
Riwayat keluarga PJK pada keluraga yang langsung berhubungan darah yang
berusia kurang dari 70 tahun merupakan faktor resiko independen untuk
terjadinya PJK, dengan rasio odd 2-4 kali lebin besar daripada populasi kontrol.
Agregasi PJK keluarga menandakan adanya predisposisi genetik pada keadaan ini.
Terdapat beberapa bukti bahwa riwayat keluarga yang positif dapat
mempengaruhi usia onset PJK pada kelurga dekat. 7
3.1.4 Patofisiologi
Infark miokard akut (IMA), baik STEMI maupun NSTEMI, terjadi ketika
iskemia miokard cukup berat hingga menyebabkan nekrosis miokard. 2 Infark
dapat dideskripsikan secara patologis melalui luasnya nekrosis yang terjadi pada
otot miokardium. Infark transmural terjadi bila seluruh ketebalan dari miokard
mengalami nekrosis. Adanya oklusi total dan berkepanjangan pada arteri koroner
epikardium akan menyebabkan infark transmural tersebut. Di sisi yang lain, infark
subendokardium secara eksklusif melibatkan lapisan terdalam dari miokard.
Subendokardium merupakan daerah miokard yang rentan terhadap iskemia karena
zona ini terpapar dengan tekanan paling tinggi dari ruang ventrikel jantung,
mempunyai sedikit koneksi kolateral yang menyuplai daerah tersebut, dan
diperdarahi oleh pembuluh darah yang harus menembus lapisan-lapisan miokard
yang berkontraksi.1,8
Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST umumnya terjadi jika aliran
darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi trombus pada plak
aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat yang
berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya
banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus arteri koroner
terjadi secara cepat pada lokasi injuri vaskuler, di mana injuri ini dicetuskan oleh
faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid. 1,8
Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami
fisur, ruptur atau ulserasi, dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu
trombogenesis, sehingga terjadi trombus mural pada lokasi ruptur yang
mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian histologis menunjukkan plak
koroner cenderung mengalami ruptur jika mempunyai fibrous cap yang tipis dan
inti kaya lipid. Pada STEMI, gambaran patologis klasik terdiri dari fibrin rich red
thrombus, yang dipercaya menjadi dasar sehingga STEMI memberikan respons
terhadap terapi fibrinolitik. 1,8
12
3.2.2 Etiologi
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak
setelah oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya.
Aterosklerosis adalah suatu proses kronis yang progresif dan tiba-tiba muncul
dengan karakteristik berupa penumpukan lemak, elemen fibrosa, dan molekul
inflamasi pada dinding arteri koroner. Aterosklerosis merupakan proses
etiopatogenesis utama penyebab PJK dan progresifitasnya berhubungan dengan
faktor lingkungan dan genetik dimana faktor tersebut akhirnya akan berubah
menjadi faktor risiko dari PJK.10
14
Nyeri dada tipikal (Angina) merupakan gejala cardinal pasien IMA. Seorang
dokter harus mampu mengenal nyeri dada angina dan mampu membedakan
dengan nyeri dada lainnya, karena gejala ini merupakan pertanda awal dalam
pengelolaan pasien IMA.11
2. Pemeriksaan Fisik
Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah). Seringkalii
ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal
>30 menit dan banyak keringat dicurigai kuat adanya STEMI. Sekitar
seperempat pasien infark anterior mempunyai manifestasi hiperaktivitas saraf
simpatis (takikardia dan/atau hipotensi) dan hampir setengah pasien infark
inferior menunjukkan hiperaktivitas parasimpatis (bradikardia dan/atau
hipotensi).11
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Elektrokardiogram
Pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin dilakukan pada
semua pasien yang memiliki keluhan nyeridada atau keluhan lain yang
mengarah kepada iskemia. Sebagai tambahan, sadapan V3R dan V4R,
serta V7-V9 sebaiknyadirekam pada semua pasien dengan perubahan EKG
16
b. Marka jantung
Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T merupakan marka
nekrosis miosit jantung dan menjadi marka untuk diagnosis infark miokard.
Troponin I/T sebagai marka nekrosis jantung mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas lebih tinggi dari CK-MB. Peningkatan marka jantung hanya
menunjukkan adanya nekrosis miosit, namun tidak dapat dipakai untuk
menentukan penyebab nekrosis miosit tersebut (penyebab koroner/non
koroner). Troponin I/T juga dapat meningkat oleh sebab kelainan kardiak
nonkoroner seperti takiaritmia, trauma kardiak, gagal jantung, hipertrofi
ventrikel kiri, miokarditis/perikarditis. Keadaan nonkardiak yang dapat
meningkatkan kadar troponin I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal napas,
penyakit neurologik akut, emboli paru, hipertensi pulmoner, kemoterapi, dan
insufisiensi ginjal. Pada dasarnya troponin T dan troponin I memberikan
informasi yang seimbang terhadap terjadinya nekrosis miosit, kecuali pada
keadaan disfungsi ginjal. Pada keadaan ini, troponin I mempunyai spesifisitas
yang lebih tinggi dari troponin T.13
dalam 2 hingga 3 hari, namun bisa tetap meningkat hingga 2 minggu bila terjadi
nekrosis luas. Kadar troponin bisa saja belum meningkat dalam 6 jam setelah
onset gejala, sehingga jika didapatkan hasil negatif pada pemeriksaan pertama,
perlu dilakukan pemeriksaan ulang dalam 8 hingga 12 jam setelah onset gejala.
c. Pemeriksaan Noninvasif
Pemeriksaan ekokardiografi transtorakal saat istirahat dapat memberikan
gambaran fungsi ventrikel kiri secara umum dan berguna untuk menentukan
diagnosis banding seperti stenosis aorta, kardiomiopati hipertrofik, atau diseksi.
Multislice Cardiac CT (MSCT) dapat digunakan untuk menyingkirkan PJK
sebagai penyebab nyeri pada pasien dengan kemungkinan PJK rendah hingga
menengah dan jika pemeriksaan troponin dan EKG tidak meyakinkan.1,11
dilakukan untuk tujuan diagnostik pada pasien dengan risiko tinggi dan
diagnosis banding yang tidak jelas. Penemuan oklusi trombotik akut, misalnya
pada arteri sirkumfleksa, sangat penting pada pasien yang sedang mengalami
gejala atau peningkatan troponin namun tidak ditemukan perubahan EKG
diagnostik.13
e. Pemeriksaan Laboratorium
Selain pemeriksaan marka jantung, yang harus dikumpulkan di ruang gawat
darurat adalah tes darah rutin, gula darah sewaktu, status elektrolit, koagulasi
darah, tes fungsi ginjal, dan panel lipid.
Gambar 7. Angiografi
3.2.5 Tatalaksana
3.2.5.1 Tindakan Umum dan Langkah Awal
Terapi awal pada pasien dengan diagnosa kerja kemungkinan SKA atau SKA
atas keluhan angina di ruang gawat darurat, sebelum ada hasil pemeriksaan EKG
dan atau marka jantung. Terapi awal yang dimaksud adalah Morfin, Oksigen,
Nitrat, Aspirin (disingkat MONA), yang tidak harus semua atau bersamaan.14
1. Tirah baring
2. Pada semua pasien IMA-EST direkomendasikan untuk mengukur saturasi
oksigen perifer
a. Oksigen diindikasikan pada pasien dengan hipoksemia
(SaO2<90%atau PaO2<60 mmHg)
b. Oksigen rutin tidak direkomendasikan pada pasien dengan SaO2
≥90%.
3. Aspirin 160-320 mg diberikan segera kepada semua pasien yang tidak
diketahui intoleransinya terhadap aspirin. Aspirin tidak bersalut lebih
terpilih mengingat absorpsi sublingual yang lebih cepat.
4. Penghambat reseptor adenosisn difosfat (ADP)
22
3.2.5 Komplikasi
1. Gangguan Hemodinamik
- Gagal Jantung
- Hipotensi
- Kongesti Paru
- Keadaan curah jantung rendah
- Syok Kardiogenik
- Aritmia dan gangguan konduksi dalam fase akut
- Aritmia supraventricular
- Aritmia ventrukular
- Sinus bradikardi dan Blok jantung
2. Komplikasi kardiak
- Regurgitasi katup mitral
- Rupture jantung
- Rupture septum ventrikel
- Infark ventrikel kanan
- Perikarditis
- Aneurisma ventrikel kiri
- Trombus ventrikel kiri
27
3.2 Hipertensi
3.2.1 Definisi
Hipertensi adalah kondisi kronis dimana tekanan darah pada dinding arteri
meningkat. Sebagian besar konsensus atau pedoman utama baik dari dalam
maupun luar negeri, menyatakan bahwa seseorang akan dikatakan hipertensi bila
memiliki tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik ≥
90 mmHg, pada pemeriksaan yang berulang. 17,18 Pada umumnya, tekanan yang
dianggap optimal adalah kurang dari 120 mmHg untuk tekanan sistolik dan 80
mmHg untuk tekanan diastolik, sementara tekanan yang dianggap hipertensi
adalah lebih dari 140 mmHg untuk tekanan sistolik dan lebih dari 90 mmHg untuk
tekanan diastolik.19 Risiko meningkat secara progresif sesuai kedua level tekanan
darah yaitu sistolik dan diastolik.20 Dalam menegakan diagnosis hipertensi,
diperlukan beberapa tahapan pemeriksaan yang harus dijalani sebelum
menentukan terapi atau tatalaksana yang akan diambil.21
3.2.2 Epidemiologi
Hipertensi ditemukan pada kurang lebih 6% dari seluruh penduduk dunia,
dan merupakan sesuatu yang sifatnya umum pada seluruh populasi. Data
epidemiologi menunjukkan adanya peningkatan prevalensi hipertensi, dengan
meningkatnya harapan hidup atau populasi usia lanjut. Lebih dari separuh
populasi di atas usia 65 tahun menderita hipertensi, baik hipertensi sistolik
maupun kombinasi sistolik dan diastolik.2 Riset Kesehatan Dasar / RISKESDAS
tahun 2018 menunjukkan bahwa prevalensi hipertensi di Indonesia adalah
sebesar 34,1%.21
3.2.3 Klasifikasi
Penentuan derajat hipertensi dilakukan berdasarkan rata-rata dari dua atau
lebih pengukuran tekanan darah (dalam posisi duduk) selama dua atau lebih
kunjungan pasien rawat jalan. Klasifikasi hipertensi dapat dilihat pada tabel
dibawah ini:
28
3.2.4 Etiologi
Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dapat dibagi dalam dua golongan yaitu :
a. Hipertensi primer/hipertensi esensial
Hipertensi primer atau hipertensi esensial adalah hipertensi yang 90%-95%
tidak diketahui penyebabnya atau tanpa tanda-tanda kelainan organ di dalam
tubuh, walaupun dikaitkan dengan kombinasi faktor gaya hidup seperti kurang
bergerak (inaktivitas).22
b. Hipertensi sekunder/hipertensi non esensial
Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang dapat diduga penyebabnya, pada
sekitar 5-10% penderita hipertensi, penyebabnya adalah penyakit ginjal. Pada
29
Namun, diduga peningkatan kadar kortisol, dan peningkatan volume sel darah
merah serta kekentalan darah berperan dalam menaikan tekanan darah. 25
f. Konsumsi Garam Berlebihan
Garam menyebabkan penumpukan cairan dalam tubuh karena menarik cairan
di luar sel agar tidak dikeluarkan, sehingga akan meningkatkan volume dan
tekanan darah. Pada sekitar 60% kasus hipertensi primer (esensial) terjadi respon
penurunan tekanan darah dengan mengurangi asupan garam. 25
g. Hiperlipidemia/Hiperkolesterolemia
Kelainan metabolisme lipid (Iemak) yang ditandai dengan peningkatan
kadar kolesterol total, trigliserida, kolesterol Low-Density Lipoprotein (LDL)
dan/atau penurunan kadar kolesterol High-Density Lipoprotein (HDL) dalam
darah. Kolesterol merupakan faktor penting dalam terjadinya aterosklerosis yang
mengakibatkan peninggian tahanan perifer pembuluh darah sehingga tekanan
darah meningkat. 25
Menggunakan perhitungan estimasi risiko kardiovaskular yang formal, untuk
mengetahui prognosis. Selalu mencari faktor risiko metabolic ( diabetes, ganguan
tiroiddan lainnya) pada pasien dengan hipertensi dengan atau tanpa penyakit
jantung dan pembuluh darah seperti gambar dibawah ini.26,27
Tabel 5. Faktor Risiko Hipertensi28
33
3.2.6 Patofisiologi
Tekanan darah merupakan hasil kali antara curah jantung dan tahanan perifer.
Patofisiologi dari hipertensi dapat dilihat dari gambar dibawah ini .
yang membesar dan bergeser ke lateral. Pemeriksaan paru dapat ditemukan rhonki
basah halus dan tanda bronkospasme.Pemeriksaan abdomen untuk menemukan
adanya bruit renal atau abdominal, pembesaran ginjal atau adanya pulsasi aorta
yang abnormal. Bruit abdomen, khususnya bruit yang lateralisasi dan melebar
sepanjang sistol ke diastol, meningkatkan kemungkinan adanya hipertensi
renovaskular. Dilakukan juga pemeriksaan pada ekstremitas untuk mengevaluasi
edema atau hilangnya pulsasi arteri perifer. Pemeriksaan fisik sebaiknya termasuk
pemeriksaan saraf.25,27
c) Sebaiknya lebar manset 2/3 kali panjang lengan atas. Manset sedikitnya
harus dapat melingkari 2/3 1engan dan bagian bawahnya harus 2 cm di
atas daerah lipatan lengan atas untuk mencegah kontak dengan stetoskop.
d) Balon dipompa sampai di atas tekanan sistolik, kemudian dibuka perlahan-
lahan dengan kecepatan 2-3 mmHg per denyut jantung. Tekanan sistolik
dicatat pada saat terdengar bunyi yang pertama (Korotkoff I), sedangkan
tekanan diastolik dicatat pada bunyi yang kelima (Korotkoff V).
2.1.8 Tatalaksana
a. Tatalaksana Farmakologis
Terdapat beberapa rekomendasi menurut JNC VIII untuk menangani
hipertensi, beberapa rekomendasi tersebut antara lain:
Rekomendasi 1: Pada populasi umum, terapi farmakologik mulai diberikan
jika tekanan darah sistolik ≥150 mmHg atau jika tekanan darah diastolik
≥90 mmHg pada kelompok usia ≥60 tahun dengan target terapi adalah
tekanan darah sistolik <150 mmHg dan tekanan darah diastolik <90
mmHg.
Rekomendasi 2: Pada kelompok usia < 60 tahun, terapi farmakologik
mulai diberikan jika tekanan darah diastolik ≥90 mmHg dengan target
terapi adalah tekanan darah diastolik <90 mmHg (untuk kelompok usia 30-
59 tahun).25
Rekomendasi 3: Pada kelompok usia <60 tahun, terapi farmakologik mulai
diberikan jika tekanan darah sistolik ≥140 mmHg dengan target terapi
adalah tekanan darah sistolik <140 mmHg. 25
Rekomendasi 4: Pada kelompok usia ≥18 tahun dengan gagal ginjal kronis
terapi farmakologik mulai diberikan jika tekanan darah sistolik ≥140
mmHg atau tekanan darah diastolik ≥90 mmHg dengan target terapi adalah
tekanan darah sistolik <140 mmHg dan tekanan darah diastolic <90
mmHg.
Rekomendasi 5: Pada kelompok usia ≥18 tahun dengan diabetes melitus
terapi farmakologik mulai diberikan jika tekanan darah sistolik ≥140
38
mmHg atau tekanan darah diastolik ≥90 mmHg dengan target terapi adalah
tekanan darah sistolik <140 mmHg dan tekanan darah diastolic <90
mmHg.
Rekomendasi 6: Pada populasi bukan kulit hitam, termasuk penderita
diabetes melitus, terapi inisial dapat menggunakan diuretik-thiazide,
penghambat kanal kalsium, angiotensin-converting enzyme inhibitor
(ACEI) atau angiotensin receptor blocker (ARB).
Rekomendasi 7: Pada populasi kulit hitam, termasuk penderita diabetes
melitus terapi inisial dapat menggunakan diuretik-thiazide atau
penghambat kanal kalsium.
Rekomendasi 8: Pada kelompok usia ≥18 tahun dengan gagal ginjal kronis
terapi antihipertensi harus menggunakan ACEI atau ARB untuk
memperbaiki outcomepada ginjal. (Terapi ini berlaku untuk semua pasien
gagal ginjal kronis dengan hipertensi tanpa memandang ras ataupun
penderita diabetes melitus atau bukan.)
Rekomendasi 9: Tujuan utama dari penanganan hipertensi adalah untuk
mencapai dan mempertahankan tekanan darah yang ditargetkan. Apabila
target tekanan darah tidak tercapai setelah 1 bulan pengobatan maka dosis
obat harus ditingkatkan atau ditambahkan dengan obat lainnya dari
golongan yang sama (golongan diuretic-thiazide, CCB, ACEI, atau ARB).
Jika target tekanan darah masih belum dapat tercapai setelah menggunakan
2 macam obat maka dapat ditambahkan obat ketiga (tidak boleh
menggunakan kombinasi ACEI dan ARB bersamaan). Apabila target
tekanan darah belum tercapai setelah menggunakan obat yang berasal dari
rekomendasi 6 karena ada kontraindikasi atau diperlukan >3 jenis obat
untuk mencapai target tekanan darah maka terapi antihipertensi dari
golongan yang lain dapat digunakan.
39
Gambar 16. Algoritma tatalaksana hipertensi pada dewasa menurut JNC 8.25
terutama lemak dalam makanan yang bersumber dari hewan dan peningkatan
konsumsi lemak tidak jenuh secukupnya yang berasal dari minyak sayuran, biji-
bijian dan makanan lain yang bersumber dari tanaman dapat menurunkan tekanan
darah. 22,23
c. Memperbanyak konsumsi sayuran, buah-buahan dan susu rendah lemak.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa beberapa mineral bermanfaat
mengatasi hipertensi. Kalium dibuktikan erat kaitannya dengan penurunan
tekanan darah arteri dan mengurangi risiko terjadinya stroke. Selain itu,
mengkonsumsi kalsium dan magnesium bermanfaat dalam penurunan tekanan
darah. Banyak konsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan mengandung banyak
mineral, seperti seledri, kol, jamur (banyak mengandung kalium), kacang-
kacangan (banyak mengandung magnesium). Sedangkan susu dan produk susu
mengandung banyak kalsium.23
e. Menghilangkan stress
Stres menjadi masalah bila tuntutan dari lingkungan hampir atau bahkan sudah
melebihi kemampuan kita untuk mengatasinya. Cara untuk menghilangkan stres
yaitu perubahan pola hidup dengan membuat perubahan dalam kehidupan rutin
sehari-hari dapat meringankan beban stres.23
Tabel 9. Tatalaksana Non Farmakologi Hipertensi17
45
yang telah dipublikasi. Pemberian obat ini secara khusus sangat bermanfaat pada
pasien jantung koroner dengan hipertensi, terutama dalam pencegahan kejadian
kardiovaskular.
d. Angiotensin Receptor Blockers (ARB)
Indikasi pemberian ARBs adalah pada pasien yang intoleran terhadap ACEi.
Beberapa penelitian besar, menyatakan valsartan dan captopril memiliki
efektifitas yang sama pada pasien paska infark miokard dengan risiko kejadian
kardiovaskular yang tinggi.
e. Diuretik
Diuretik golongan tiazid, akan mengurangi risiko kejadian kardiovaskular, seperti
yang telah dinyatakan beberapa penelitian terdahulu, sepertiVeterans
Administrations Studies, MRC dan SHEP.
f. Nitrat
Indikasi pemberian nitrat kerja panjang adalah untuk tatalaksana angina yang
belum terkontrol dengan dosis betablocker dan CCB yang adekuat pada pasien
dengan penyakit jantung koroner.
2. Angina Pectoris Tidak Stabil
Dasar dari tatalaksana hipertensi pada pasien dengan sindroma koroner akut
adalah perbaikan keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen miokard, setelah
inisiasi terapi antiplatelet dan antikoagulan. Walaupun kenaikan tekanan darah
dapat meningkatkan kebutuhan oksigen miokard, tetapi harus dihindari penurunan
tekanan darah yang terlalu cepat terutama tekanan diastolik, karena hal ini dapat
mengakibatkan penurunan perfusi darah ke koroner dan juga suplai oksigen,
sehingga akan memperberat keadaan iskemia. Tatalaksana awal meliputi tirah
baring, monitor EKG dan hemodinamik, oksigen, nitrogliserin dan bila angina
terus berlanjut dengan pemdapat diberikan morfin sulfat. Perlu diingat bahwa
pemberian nirat selama angka panjang tidak direkomendasikan oleh berbagai
guidelines sampai saat ini.
e. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-ST)
Pada pasien IMA-ST, prinsip utama tatalaksana hipertensi adalah seperti pada
pasien dengan angina pectoris tidak stabil / IMA-NST, dengan ada beberapa
47
Dibawah ini tabel yang perlu mendapat perhatian dan kontraindikasi terhadap
beberapa anti hipertensi.
48
ii. Komplikasi
1. Stroke
Stroke dapat terjadi akibat hemorargi tekanan tinggi di otak, atau akibat
embolus yang terlepas dari pembuluh selain otak yang terpajan tekanan tinggi.
Stroke dapat terjadi pada hipertensi kronis apabila arteri yang memperdarahi otak
mengalami hipertrofi dan penebalan, sehingga aliran darah ke area otak yang
diperdarahi berkurang. Arteri otak yang mengalami aterosklerosis dapat melemah
sehingga meningkatkan kemungkinan terbentuknya aneurisma.24
2. Infark miokard
Infark miokard dapat terjadi apabila arteri koroner yang aterosklerotik tidak
dapat menyuplai cukup oksigen ke miokardium atau apabila trombus yang
menghambat aliran darah, kebutuhan oksigen miokardium mungkin tidak dapat
terpenuhi dan dapat terjadi iskemia jantung yang menyebabkan infark.24
3. Gagal ginjal
Gagal ginjal dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat tekanan tinggi
pada kapiler glomerulus ginjal. Dengan rusaknya glomerulus, aliran darah ke unit
49
fungsional ginjal, yaitu nefron akan terganggu dan dapat berlanjut menjadi
hipoksik dan kematian. Dengan rusaknya membran glomerulus, protein akan
keluar melalui urine sehingga tekanan osmotik kolid plasma berkurang dan
menyebabkan edema.
4. Ensefalopati
Ensefalopati dapat terjadi, terutama pada hipertensi maligna (hipertensi yang
meningkat cepat dan berbahaya). Tekanan yang sangat tinggi pada kelainan ini
menyebabkan peningkatan tekanan kapiler dan mendorong cairan ke ruang
interstisial di seluruh susunan saraf pusat. Neuron-neuron disekitarnya kolaps dan
terjadi koma serta kematian.24
5. Kejang
Kejang dapat terjadi pada wanita preeklampsi.24
6. Hipertrofi Ventrikel Kiri
Hipertrofi ventrikel kiri (HVK) merupakan bentuk adaptasi otot jantung
dengan cara dilatasi dan hipertrofi (penebalan) akibat peningkatan tahanan
sirkulasi. HVK biasanya diikuti abnormalitas atau pembesaran atrium kiri.
Peningkatan tekanan otot jantung yang terus menerus (kronik) akibat tekanan
darah tinggi menyebabkan kompensasi dari otot jatung agar tetap bisa mengalirkan
darah ke seluruh tubuh. Karena adanya pengingkatan tahanan akibat hipertensi,
jantung membutuhkan energi ekstra untuk memompa darah. Sebagai gantinya otot
jantung akan mengalami dilatasi dan penebalan sehingga menimbulkan HVK.
Perubahan yang terjadi pada sel otot jantung meliputi peningkatan ukuran dari
sel-sel otot jantung dan perubahan matriks kolagen perivaskuler yang akan
menyebabkan kekakuan pada otot jantung. Kekakuan otot jantung akan
menyebabkan gangguan pada relaksasi diastolic yang dapat menyebabkan
turunnya CJ dan ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan aliran darah. Pada
kondisi hipertensi, HVK meningkatkan resiko stroke, penyakit jantung iskemik,
dan pada akhirnya menyebabkan kegagalan pada fungsi jantung.22
7. Penyakit jantung koroner, infark miokard dan Angina
Kondisi hipertensi akan meningkatkan pembentukan plak aterosklerotik yang
menjadi salah satu penyebab disfungsi endotel yang kemudian akan berkembang
50
menjadi penyakit jantung koroner bila pembentukan plak ateros terjadi di arteri
koronaria jantung. Penyakit jantung kororner akan mengakibatkan iskemik otot
jantung yang disebabkan oleh karena penyempitan atau oklusi arteri koroner
akibat aterosklerosis yang menghambat aliran darah. Aterosklerosis yang ruptur
merupakan penyebab infark miokard.22
Iskemik otot jantung juga dapat terjadi akibat remodeling dari arteri koroner.
Pada kondisi hipertensi terjadi hipertrofi pada sel-sel otot jantung namun tidak
diikuti penambahan sirkulasi koroner yang memadai sehingga densitas kapiler
menurun, dan karena ada pembesaran sel-sel otot jantung, jarak antar kapiler
bertambah yang akan memperparah iskemia pada otot jantung. Kejadian iskemik
miokard akan memberikan manifestasi klinis berupa angina pectoris.12