Anda di halaman 1dari 14

SINDROM KORONER AKUT

1. Definisi
Sindrom koroner akut adalah suatu kumpulan gejala klinis iskemia miokard yang terjadi akibat kurangnya aliran
darah ke miokardium berupa nyeri dada, perubahan segmen ST pada Electrocardiogram (EKG), dan perubahan
biomarker jantung.
Sindroma koroner akut adalah serangan jantung, berupa kumpulan gejala yang berhubungan dengan cedera otot
jantung akibat penyumbatan pembuluh darah yang mengalir di jantung

2. Epidemiologi
Prevalensi SKA berdasarkan diagnosis dokter menurut data Riskesdas tahun 2013 adalah sebesar 0,5% atau
sekitar 883.447 pasien, sedangkan berdasarkan diagnosis dokter atau gejala adalah sebesar 1,5% atau mencapai
2.650.340 pasien.

3. Factor risiko
Ada 2 kelompok faktor risiko secara garis besar yang harus dipahami. Pertama adalah faktor-faktor risiko yang
sama sekali tak bisa diubah atau dimodifikasi, yaitu faktor genetik, jenis kelamin dan usia. Jika mempunyai riwayat
keturunan, seseorang kemungkinan besar akan mendapatkan serangan jantung pula dikemudian hari. Resiko
aterosklerosis koroner meningkat seiring bertambahnya usia. Selain itu, wanita agaknya relatif kebal terhadap penyakit
ini sampai menopause, dan kemudian menjadi sama rentannya seperti pria. Hal diduga karena adanya efek perlindungan
estrogen. Ketiga faktor risiko itu memang tak bisa dihindari. Yang kedua adalah faktor-faktor risiko yang sesungguhnya
dapat dikendalikan. Antara lain adalah kolesterol, hipertensi dan rokok, diabetes, stres, kurang berolahraga, dan
sebagainya.
A. Host
a. Usia
Penderita SKA terjadi umur > 45 tahun pada pria dan perempuan <55 tahun dan seiring bertambahbusia bisa
mempengaruhi fungsi jantung. Umur 40-60 tahun dapat meningkat 5 kali dan 45-54 tahun banyak menderita SKA l.
b. Jenis Kelamin
Pendapat WHO menyatakan pasien mengalami SKA relatif banyak pada pria.
c. Merokok
Kebiasaan merokok akan berpotensi untuk menderita SKA tergantung Jangka waktu dan jumlahnya karena
dapat mengganggu proses pengaliran oksigen dan bisa menimbulkan pembentukan flak.
d. Penderita Hipertensi
Keadaan ini dapat membuat beresiko SKA akibat dari kurangnya gaya hidup sehat dan dapat mempercepat
terjadinya aterosklerosis.
e. Keturunan
Orang yang mempunyai keturunan penyakit kardiovaskuler sedikit ditemui menderita SKA jika dibandingkan
dengan keturunan keluarga menderita gagal jantung yang bisa berujung mengalami SKA.
B. Agent
Penyakit ini bukan disebabkan oleh virus,bakteri ataupun parasit tetapi perilaku hidup tidak baik/sehat seperti
konsumsi makanan tinggi lemak berakibat tinggi kadar kolesterol jika dalam jangka panjang dapat terjadi penyumbatan
aliran darah ke jantung.
C. Enviroment
Karakteristik lingkungan yang berpotensi untuk SKA yaitu hidup didaerah yang rendahnya pengetahuan akan
kesehatan dalam hidup, lingkungan merokok dan memiliki keturunan keluarga menderita penyakit kardiovaskuler dan
gagal jantung.

4. Etiologi
Penyebab SKA yakni aterosklerosis adalah pembentukan flak mengakibatkan intima bagian arteri membentuk
trombus menyebabkan lumen menyempit dan suplai darah terganggu membuat kekuatan kontraksi otot jantung relatif
rendah. Ketika thrombus pecah maka terjadi nekrosis total jaringan distal dan timbullah infark pada miokardium.
Penyebab utama Sindrom Koroner Akut dipicu oleh erosi atau rupturnya plak aterosklerotik karena terdapatnya kondisi
plak aterosklerotik yang tidak stabil (vulnerable atherosclerotic plaques) dengan karakteristik; lipid core besar, fibrous
cups tipis, dan bahu plak penuh dengan aktivitas sel-sel inflamasi seperti sel limfosit T dan lain-lain.
Beberapa penyebabnya dapat dijelaskan sebagi berikut:
 Trombus tidak oklusif pada plak yang sudah ada
Penyebab paling sering SKA adalah penurunan perfusi miokard oleh karena penyempitan arteri koroner sebagai
akibat dari trombus yang ada pada plak aterosklerosis yang robek/pecah dan biasanya tidak sampai menyumbat.
Mikroemboli dari agregasi trombosit beserta komponennya dari plak yang rupture merupakan penyebab keluarnya
petanda kerusakan miokard pada banyak pasien.
 Obstruksi dinamik
Penyebab yang agak jarang adalah obstruksi dinamik, yang mungkin diakibatkan oleh spasme fokal yang terus
menerus pada segmen arteri koroner epikardium (angina prinzmetal). Spasme ini disebabkan oleh hiperkontraktilitas otot
polos pembuluh darah dan/atau akibat disfungsi endotel. Obstruksi dinamik koroner dapat juga diakibatkan oleh
konstriksi abnormal pada pembuluh darah yang lebih kecil.
 Obstruksi mekanik yang progresif
Penyebab lainnya adalah penyempitan yang hebat namun bukan karena spasme atau trombus. Hal ini terjadi
pada sejumlah pasien dengan aterosklerosis progresif atau dengan stenosis ulang setelah intervensi koroner perkutan.
 Inflamasi dan/atau infeksi
Inflamasi, disebabkan oleh infeksi, yang mungkin menyebabkan penyempitan arteri, destabilisasi plak, ruptur
dan trombogenesis. Makrofag dan limfosit-T di dinding plak meningkatkan ekspresi enzim seperti metaloproteinase,
yang dapat mengakibatkan penipisan dan ruptur plak, sehingga selanjutnya dapat mengakibatkan SKA.

5. Klasifikasi
 UA (Unstable Angina / Angina Pektoris Tidak Stabil)
Angina Pektoris Tidak Stabil, yang dimaksudkan dengan APTS yaitu; (1). Pasien dengan angina yang
masih baru dalam 2 bulan, dimana angina cukup berat dan frekuensi cukup sering, lebih dari 3 kali per hari. (2)
pasien dengan angina yang makin bertambah berat, sebelumnya angina stabil lalu serangan angina timbul lebih
sering dan lebih berat sakit dadanya, sedangkan factor presipitasi makin ringan. (3) pasien dengan serangan
angina pada waktu istirahat.
 NSTEMI (Infark Miokard Akut Tanpa Elevasi Segmen ST)
APTS dan NSTEMI diketahui merupakan suatu kesinambungan dengan kemiripan patofisiologi dan
gambaran klinis, sehingga pada prinsipnya penatalaksanaan keduanya tidak berbeda. Diagnosis NSTEMI
ditegakkan jika pasien dengan manifestasi klinis UA menunjukkan bukti adanya nekrosis miokard berupa
peningkatan biomarker jantung. NSTEMI dapat disebabkan oleh penurunan suplai oksigen dan atau peningkatan
kebutuhan oksigen miokard yang diperberat oleh obstruksi koroner.
 STEMI (Infark Miokard Akut dengan Elevasi Segmen ST)
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi thrombus
pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat yang berkembang secara
lambat, biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya banyak kontralateral sepanjang waktu. STEMI
terjadi jika thrombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vascular, dimana injuri ini dapat
dicetuskan oleh factor-faktor seperti merokok, hipertensi dan akumulasi lipid.

6. Anatomi-histologi
7. Imunologi
8. Patofisiologi

Sebagian besar SKA adalah manifestasi akut dari plak ateroma pembuluh darah koroner yang koyak atau pecah. Hal ini
berkaitan dengan perubahan komposisi plak dan penipisan tudung fibrus yang menutupi plak tersebut. Kejadian ini akan diikuti
oleh proses agregasi trombosit dan aktivasi jalur koagulasi. Terbentuklah trombus yang kaya trombosit (white thrombus).
Trombus ini akan menyumbat liang pembuluh darah koroner, baik secara total maupun parsial; atau menjadi mikroemboli yang
menyumbat pembuluh koroner yang lebih distal. Selain itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang menyebabkan vasokonstriksi
sehingga memperberat gangguan aliran darah koroner. Berkurangnya aliran darah koroner menyebabkan iskemia miokardium.
Pasokan oksigen yang berhenti selama kurang-lebih 20 menit menyebabkan miokardium mengalami nekrosis (infark miokard).
Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah koroner. Obstruksi subtotal yang disertai vasokonstriksi
yang dinamis dapat menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan otot jantung (miokard). Akibat dari iskemia, selain
nekrosis, adalah gangguan kontraktilitas miokardium karena proses hibernating dan stunning (setelah iskemia hilang), distritmia
dan remodeling ventrikel (perubahan bentuk, ukuran dan fungsi ventrikel). Sebagian pasien SKA tidak mengalami koyak plak
seperti diterangkan di atas. Mereka mengalami SKA karena obstruksi dinamis akibat spasme lokal dari arteri koronaria epikardial
(Angina Prinzmetal). Penyempitan arteri koronaria, tanpa spasme maupun trombus, dapat diakibatkan oleh progresi plak atau
restenosis setelah Intervensi Koroner Perkutan (IKP). Beberapa faktor ekstrinsik, seperti demam, anemia, tirotoksikosis, hipotensi,
takikardia, dapat menjadi pencetus terjadinya SKA pada pasien yang telah mempunyai plak aterosklerosis.

9. Pathogenesis
10. Dasar diagnosis kerja
a. Diagnosis dan Gambaran Klinis Angina Pektoris Tidak Stabil
Anamnesis merupakan hal yang sangat penting. Penderita yang datang dengan keluhan utama nyeri dada atau
nyeri ulu hati yang hebat, bukan disebabkan oleh trauma, yang mengarah pada iskemia miokardium, pada laki-laki
terutama berusia > 35 tahun atau wanita terutama berusia > 40tahun, memerlukan perhatian khusus dan evaluasi
lebih lanjut tentang sifat, onset, lamanya, perubahan dengan posisi, penekanan, pengaruh makanan, reaksi terhadap
obat-obatan, dan adanya faktor resiko. Wanita sering mengeluh nyeri dada atipik dan gejala tidak khas, penderita
diabetes mungkin tidak menunjukkan gejala khas karena gangguan saraf otonom. Nyeri pada SKA bersifat seperti
dihimpit benda berat, tercekik, ditekan, diremas, ditikam, ditinju, dan rasa terbakar. Nyeri biasanya berlokasi di
blakang sternum, dibagian tengah atau dada kiri dan dapat menyebar keseluruh dada, tidak dapat ditunjuk dengan
satu jari. Nyeri dapat menjalar ke tengkuk, rahang, bahu, punggung, lengan kiri atau kedua lengan. Lama nyeri >
20menit, tidak hilang setelah 5 menit istirahat atau pemberian nitrat.
Keluhan pasien umumnya berupa :
- Resting angina : terjadi saat istirahat berlangsung > 20 menit
- New onset angina : baru pertama kali timbul, saat aktivitas fisik sehari-hari, aktifitas ringan/ istirahat
- Increasing angina : sebelumnya usah terjadi, menjadi lebih lama, sering, nyeri atau dicetuskan aktivitas
lebih ringan.
Keluhan SKA dapat berupa rasa tidak enak atau nyeri di daerah epigastrium yang tidak dapat dijelaskan
sebabnya dan dapat disertai gejala otonom sesak napas, mual sampai muntah, kadang-kadang disertai keringat
dingin. Pada pemeriksaan jasmani seringkali tidak ada yang khas.
 Elektrokardiografi (ECG)
Pemeriksaan ECG sangat penting baik untuk diagnosis maupun stratifikasi risiko pasien angina tak stabil.
Adanya depresi segmen ST yang baru menunjukan kemungkinan adanya iskemi atau NSTEMI. Perubahan
gelombang ST dan T yang nonspesifik seperti depresi segmen ST kurang dari 0.5mm dan gelombang T negatif
kurang dari 2 mm, tidak spesifik untuk iskemi, dan dapat disebabkan karena hal lain. Pada angina tak stabil 4%
mempunyai EKG normal, dan pada NSTEMI 1-6% ECG juga normal.
 Exercise test
Pemeriksaan EKG tidak memberikan data untuk diagnosis angina tak stabil secara lansung. Tetapi bila tampak
adanya gangguan faal ventrikel kiri, adanya mitral insuffisiensi dan abnormalitas gerakan dinding reginal jantung,
menandakan prognosis kurang baik. Stress ekokardiografi juga dapat membantu menegakkan adanya iskemi
miokardium.
 Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan troponin T atau I dan pemeriksaan CK-MB telah diterima sebagai petanda paling penting dalam
diagnosis SKA. Menurut European Society of Cardiology (ESC) dan ACC dianggap adanya mionekrosis bila
troponin T atau I positif dalam 24 jam. Troponin tetap positif sampai 2 minggu. Risiko kematian bertambah dengan
tingkat kenaikan troponin. CKMB kurang spesifik karena juga ditemukan di otot skeletal, tapi berguna untuk
diagnosis infark akut dan akan meningkat dalam beberapa jam dan kembali normal dalam 48 jam.
b. Diagnosis dan Gambaran Klinis Infark Miokard Akut Tanpa Elevasi ST (NSTEMI)
Nyeri dada dengan lokasi khas substernal atau kadangkala epigastrium dengan ciri khas seperti diperas, diikat,
perasaan terbakar, nyeri tumpul, rasa penuh, berat atau tertekan, menjadi presentasi gejala yang sering ditemukan
pada NSTEMI. Analisis berdasarkan gambaran klinis menunjukkan mereka memiliki gejala dengan onset baru
angina berat / terakselerasi memiliki prognosis lebih baik berbanding dengan memiliki nyeri pada waktu istirahat.
Gejala tidak khas seperti dispneu, mual, diaforesis, sinkop atau nyeri lengan, epigastrium, bahu atas, atau leher juga
terjadi dalam kelompok yang lebih besar terutama pasien lebih dari 65 tahun.
 Elektrokardiogram (ECG)
Gambaran EKG, secara spesifik berupa deviasi segmen ST merupakan hal penting yang menentukan risiko pada
pasien. Pada Thrombolysis in Myocardial Ischemia Trial (TIMI) III Registry, adanya depresi segmen ST baru
sebanyak 0.05mV merupakan predictor outcome yang buruk. Outocme yang buruk meningkat secara progresif
dengan memberatnya depresi segmen ST dan baik depresi segmen ST maupun perubahan troponin T keduanya
memberikan tambahan informasi prognosis pasien-pasien dengan NSTEMI.
 Biomarker Kerusakan Miokard
Troponin T atau troponin I merupakan petanda nekrosis miokard yang lebih disukai, karena lebih spesifik
berbanding enzim jantung seperti CK dan CKMB. Pada pasien dengan IMA, peningkatan awal troponin pada darah
perifer setelah 3-4 jam dan dapat menetap sampai 3-4 minggu.
c. Diagnosis dan Gambaran Klinis Infark Miokard Akut Dengan Elevasi ST (STEMI)
Diagnosis IMA dengan elevasi ST ditegakkan berdasarkan anamnesa nyeri dada yang khas dan gambaran EKG
adanya elevasi ST > 2mm, minimal pada dua sadapan prekordial yang berdampingan atau > 1mm pada dua sadapan
ektremitas. Pmeriksaan enzim jantung, terutama troponin T yang meningkat, memperkuat diagnosis, namun
keputusan memberikan terapi revaskularisasi tak perlu menunggu hasil pemeriksaan enzim, dalam mengingat
tatalaksana IMA, prinsip utama penatalaksanaan adalah time is muscle.
 Anamnesis
Anamnesis yang cermat perlu dilakukan apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau diluar jantung. Jika
dicurigai nyeri dada yang berasal dari jantung perlu dibedakan apakah nyerinya berasal dari koroner atau bukan.
Perlu dianamnesis pula apakah ada riwayat infark miokard sebelumnya serta faktor-faktor resiko antara lain
hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia, merokok, stress serta riwayat sakit jantung koroner pada keluarga.Pada
hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebelum terjadi STEMI, seperti aktivitas fisik berat, stress emosi
atau penyakit medis atau bedah. Walaupun STEMI bisa terjadi sepanjang hari atau malam, variasi sirkadian
dilaporkan pada pagi hari dalam beberapa jam setelah bangun tidur. Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala
kardinal pasien IMA. Harus mampu mengenal nyeri dada angina dan mamapu membedakan dengan nyeri dada
lainnya, karena gejala ini merupakan petanda awal dalam pengelolaan pasien IMA.
Sifat nyeri dada angina sebagai berikut :
- Lokasi: substernal , retrosternal, dan prekordial.
- Sifat nyeri: rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, seperti ditusuk, rasa diperas, dan
dipelintir.
- Penjalaran ke: biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi, punggung interskapular,
perut dan dapat juga ke lengan kanan.
- Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau obat nitrat.
- Faktor pencetus: latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah makan.
- Gejala yang menyertai: mual muntah, sulit bernapas, keringat dingin, cemas dan lemas.

Gambar 2. pola
nyeri pada pasien infark miokard akut

Diagnosis banding nyeri dada STEMI antara lain perikarditis akut, emboli paru, diseksi aorta akut,
kostokondritis dan gangguan gastrointestinal. Nyeri dada tidak selalu ditemukan pada STEMI. STEMI tanpa nyeri
lebih sering dijumpai pada diabetes melitus dan usia lanjut.

Gambar 3. Diagnosis banding nyeri pada dada

 Pemeriksaan Fisik
Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah). Seringkali ekstremitas pucat disertai keringat
dingin. Kombinasi nyeri dada substernal >30 menit dan banyak keringat dicurigai kuat adanya STEMI. Sekitar
seperempat pasien infark anterior mempunyai manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis (takikardia dan/atau
hipotensi) dan hampir setengah pasien infark posterior menunjukkan hiperaktivitas parasimpatis (bradikardia
dan/atau hipotensi). Tanda fisik lain pada disfungsi ventrikular adalah S4 dan S3 gallop, penurunan intensitas bunyi
jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan murmur midsistolik atau late sistolik
apikal yang bersifat sementara karena disfungsi aparatus katup mitral dan pericardial friction rub. Peningkatan suhu
o
sampai 38 C dapat dijumpai dalam minggu pertama pasca STEMI.
 Elektrokardiogram
Pemeriksaan EKG 12 sadapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri dada atau keluhan yang
dicurigai STEMI dan harus dilakukan segera dalam 10 menit sejak kedatangan di UGD. Pemriksaan EKG
menentukan keputusan terapi karena bukti kuat menunjukkan gambaran elevasi segmen ST dapat mengidentifikasi
pasien yang bermanfaat untuk dilakukan terapi reperfusi. Jika pemeriksaan EKG awal tidak diagnostik untuk
STEMI tetapi pasien tetap simptomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serial dengan interval 5-10menit
atau pemantauan EKG 12 sadapan secara kontinu harus dilakukan untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi
segmen ST. Pada pasien dengan STEMI inferior, EKG sisi kanan harus diambil untuk mendeteksi kemungkinan
infark pada ventrikel kanan.Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi segmen ST mengalami evolusi
menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya didiagnosa infark miokard gelombang Q, sebagian kecil menetap
menjadi infark miokard gelombang non Q. Jika obstruksi trombus tidak total, obstruksi bersifat sementara atau
ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak ditemukan elevasi segmen ST dan biasanya megalami UA atau
NSTEMI. Pada sebagian pasien tanpa elevasi ST berkembang tanpa menunjukkan gelombang Q disebut infark non
Q. Sebelumnya istilah infark miokard transmural digunakan jika EKG menunjukkan gelombang Q atau
menghilangnya gelombang R dan infark miokard nontransmural jika EKG hanya menunjukkan perubahan
sementara segmen ST atau gelombang T. Namun tidak selalu ada korelasi gambaran patologis EKG dengan lokasi
infark (mural atau transmural) sehingga terminologi IMA gelombang Q atau non Q menggantikan infark mural atau
nontransmural

Gambar 4. ST-elevasi pada leads II, III dan aVF; ST depresi pada V1 - V4 gambaran pada infak miokard akut inferior atau
inferior AMI.

Gambar 5. ST-Elevasi pada gambaran anterior acute myocard infark

 Petanda Kerusakan Jantung (Biomarkers)


Pemeriksaan yang dianjurkan adalah Creatinine Kinase (CKMB) dan Cardiac Specific Troponin (cTn)T atau
cTn I dan dilakukan secara serial. cTn harus digunakan sebagai petanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai
kerusakan otot skeletal, karena pada keadaan ini juga akan diikuti peningkatan CKMB. Pada pasien dengan elevasi
ST dan gejala IMA, terapi reperfusi diberikan segera mungkin dan tidak tergantung pada pemeriksaan biomarker.
Peningkatan nilai enzim di atas 2 kali nilai batas atas normal menunjukkan adanya nekrosis jantung (infark
miokard)
- CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan
kembali normal dalam 2-4 hari. CKMB turut meningkat pada operasi jantung, miokarditis dan kardioversi
elektrik.
- cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2 jam bila ada infark miokard dan
mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I
setelah 5-10 hari.

Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu:

- Mioglobin: dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai puncak dalam 4-8 jam.
- Creatinine Kinase (CK) : meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan mencapai punak dalam
10-36 jam dan kembali normal dalam 3-4 hari.
- Lactic Dehydrogenase (LDH): meningkat setelah 24-48 jam bila ada infark miokard, mencapai puncak 3-6
hari dan kembali normal dalam 8-14 hari.

11. Diagnosis banding

12. Tatalaksana
Obat-obatan yang diperlukan dalam menangani SKA adalah:
a. Anti Iskemia
 Penyekat Beta (Beta blocker).
Keuntungan utama terapi penyekat beta terletak pada efeknya terhadap reseptor beta-1 yang
mengakibatkan turunnya konsumsi oksigen miokardium. Terapi hendaknya tidak diberikan pada pasien dengan
gangguan konduksi atrio-ventrikler yang signifikan, asma bronkiale, dan disfungsi akut ventrikel kiri. Pada
kebanyakan kasus, preparat oral cukup memadai dibandingkan injeksi.
Penyekat beta direkomendasikan bagi pasien UAP atau NSTEMI, terutama jika terdapat hipertensi
dan/atau takikardia, dan selama tidak terdapat indikasi kontra (Kelas I-B). penyekat beta oral hendaknya
diberikan dalam 24 jam pertama (Kelas I-B). Penyekat beta juga diindikasikan untuk semua pasien dengan
disfungsi ventrikel kiri selama tidak ada indikasi kontra (Kelas I-B). Pemberian penyekat beta pada pasien
dengan riwayat pengobatan penyekat beta kronis yang datang dengan SKA tetap dilanjutkan kecuali bila
termasuk klasifikasi Kilip ≥III (Kelas I-B).

 Nitrat.
Keuntungan terapi nitrat terletak pada efek dilatasi vena yang mengakibatkan berkurangnya preload
dan volume akhir diastolik ventrikel kiri sehingga konsumsi oksigen miokardium berkurang. Efek lain dari nitrat
adalah dilatasi pembuluh darah koroner baik yang normal maupun yang mengalami aterosklerosis.
- Nitrat oral atau intravena efektif menghilangkan keluhan dalam fase akut dari episode angina (Kelas I-C).
- Pasien dengan UAP/NSTEMI yang mengalami nyeri dada berlanjut sebaiknya mendapat nitrat sublingual
setiap 5 menit sampai maksimal 3 kali pemberian, setelah itu harus dipertimbangkan penggunaan nitrat
intravena jika tidak ada indikasi kontra (Kelas I-C).
- Nitrat intravena diindikasikan pada iskemia yang persisten, gagal jantung, atau hipertensi dalam 48 jam
pertama UAP/NSTEMI. Keputusan menggunakan nitrat intravena tidak boleh menghalangi pengobatan yang
terbukti menurunkan mortalitas seperti penyekat beta atau angiotensin converting enzymes inhibitor (ACE-I)
(Kelas I-B).
- Nitrat tidak diberikan pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90 mmHg atau >30 mmHg di bawah nilai
awal, bradikardia berat (<50 kali permenit), takikardia tanpa gejala gagal jantung, atau infark ventrikel kanan
(Kelas III-C).
- Nitrat tidak boleh diberikan pada pasien yang telah mengkonsumsi inhibitor fosfodiesterase: sidenafil dalam
24 jam, tadalafil dalam 48 jam. Waktu yang tepat untuk terapi nitrat setelah pemberian vardenafil belum
dapat ditentukan (Kelas III-C).

 Calcium channel blockers (CCBs).


Nifedipin dan amplodipin mempunyai efek vasodilator arteri dengan sedikit atau tanpa efek pada SA
Node atau AV Node. Sebaliknya verapamil dan diltiazem mempunyai efek terhadap SA Node dan AV Node
yang menonjol dan sekaligus efek dilatasi arteri. Semua CCB tersebut di atas mempunyai efek dilatasi koroner
yang seimbang. Oleh karena itu CCB, terutama golongan dihidropiridin, merupakan obat pilihan untuk
mengatasi angina vasospastik. Studi menggunakan CCB pada UAP dan NSTEMI umumnya memperlihatkan
hasil yang seimbang dengan penyekat beta dalam mengatasi keluhan angina.
- CCB dihidropiridin direkomendasikan untuk mengurangi gejala bagi pasien yang telah mendapatkan nitrat
dan penyekat beta (Kelas I-B).
- CCB non-dihidropiridin direkomendasikan untuk pasien NSTEMI dengan indikasi kontra terhadap penyekat
beta (Kelas I-B).
- CCB nondihidropiridin (long-acting) dapat dipertimbangkan sebagai pengganti terapi penyekat beta (Kelas
IIb-B).
- CCB direkomendasikan bagi pasien dengan angina vasospastik (Kelas I-C).
- Penggunaan CCB dihidropiridin kerja cepat (immediate-release) tidak direkomendasikan

b. Antiplatelet
 Aspirin harus diberikan kepada semua pasien tanda indikasi kontra dengan dosis loading 150-300 mg dan
dosis pemeliharaan 75-100 mg setiap harinya untuk jangka panjang, tanpa memandang strategi pengobatan
yang diberikan (Kelas I-A).
 Penghambat reseptor ADP perlu diberikan bersama aspirin sesegera mungkin dan dipertahankan selama 12
bulan kecuali ada indikasi kontra seperti risiko perdarahan berlebih (Kelas I-A).
 Penghambat pompa proton (sebaiknya bukan omeprazole) diberikan bersama DAPT (dual antiplatelet
therapy - aspirin dan penghambat reseptor ADP) direkomendasikan pada pasien dengan riwayat perdarahan
saluran cerna atau ulkus peptikum, dan perlu diberikan pada pasien dengan beragam faktor risiko seperti
infeksi H. pylori, usia ≥65 tahun, serta konsumsi bersama dengan antikoagulan atau steroid (Kelas I-A).
 Penghentian penghambat reseptor ADP lama atau permanen dalam 12 bulan sejak kejadian indeks tidak
disarankan kecuali ada indikasi klinis (Kelas I-C).
 Ticagrelor direkomendasikan untuk semua pasien dengan risiko kejadian iskemik sedang hingga tinggi
(misalnya peningkatan troponin) dengan dosis loading 180 mg, dilanjutkan 90 mg dua kali sehari. Pemberian
dilakukan tanpa memandang strategi pengobatan awal. Pemberian ini juga dilakukan pada pasien yang sudah
mendapatkan clopidogrel (pemberian clopidogrel kemudian dihentikan) (Kelas I-B).
 Clopidogrel direkomendasikan untuk pasien yang tidak bisa menggunakan ticagrelor. Dosis loading
clopidogrel adalah 300 mg, dilanjutkan 75 mg setiap hari (Kelas I-A).
 Pemberian dosis loading clopidogrel 600 mg (atau dosis loading 300 mg diikuti dosis tambahan 300 mg saat
IKP) direkomendasikan untuk pasien yang dijadwalkan menerima strategi invasif ketika tidak bisa
mendapatkan ticagrelor (Kelas I-B).
 Dosis pemeliharaan clopidogrel yang lebih tinggi (150 mg setiap hari) perlu dipertimbangkan untuk 7 hari
pertama pada pasien yang dilakukan IKP tanpa risiko perdarahan yang meningkat (Kelas IIa-B).
 Pada pasien yang telah menerima pengobatan penghambat reseptor ADP yang perlu menjalani pembedahan
mayor non-emergensi (termasuk CABG), perlu dipertimbangkan penundaan pembedahan selama 5 hari
setelah penghentian pemberian ticagrelor atau clopidogrel bila secara klinis memungkinkan, kecuali bila
terdapat risiko kejadian iskemik yang tinggi (Kelas IIa-C).
 Ticagrelor atau clopidogrel perlu dipertimbangkan untuk diberikan (atau dilanjutkan) setelah pembedahan
CABG begitu dianggap aman (Kelas IIa-B).
 Tidak disarankan memberikan aspirin bersama NSAID (penghambat COX- 2 selektif dan NSAID non-
selektif ) (Kelas III-C).
Keterangan: DAPT perlu tetap diberikan selama 12 bulan tanpa memperdulikan jenis stent.

c. Penghambat Reseptor Glikoprotein IIb/IIIa


Pemilihan kombinasi agen antiplatelet oral, agen penghambat reseptor glikoprotein IIb/IIIa dan
antikoagulan dibuat berdasarkan risiko kejadian iskemik dan perdarahan (Kelas I-C). Penggunaan penghambat
reseptor glikoprotein IIb/IIIa dapat diberikan pada pasien IKP yang telah mendapatkan DAPT dengan risiko
tinggi (misalnya peningkatan troponin, trombus yang terlihat) apabila risiko perdarahan rendah (Kelas I-B).
Agen ini tidak disarankan diberikan secara rutin sebelum angiografi (Kelas III-A) atau pada pasien yang
mendapatkan DAPT yang diterapi secara konservatif (Kelas III-A).
d. Antikogulan.
Terapi antikoagulan harus ditambahkan pada terapi antiplatelet secepat mungkin.
 Pemberian antikoagulan disarankan untuk semua pasien yang mendapatkan terapi antiplatelet (Kelas I-A).
 Pemilihan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko perdarahan dan iskemia, dan berdasarkan profil efikasi-
keamanan agen tersebut. (Kelas I-C).
 Fondaparinuks secara keseluruhan memiliki profil keamanan berbanding risiko yang paling baik. Dosis yang
diberikan adalah 2,5 mg setiap hari secara subkutan (Kelas I-A).
 Bila antikoagulan yang diberikan awal adalah fondaparinuks, penambahan bolus UFH (85 IU/kg diadaptasi
ke ACT, atau 60 IU untuk mereka yang mendapatkan penghambat reseptor GP Iib/IIIa) perlu diberikan saat
IKP (Kelas I-B).
 Enoksaparin (1 mg/kg dua kali sehari) disarankan untuk pasien dengan risiko perdarahan rendah apabila
fondaparinuks tidak tersedia (Kelas I-B).
 Heparin tidak terfraksi (UFH) dengan target aPTT 50-70 detik atau heparin berat molekul rendah (LMWH)
lainnya (dengan dosis yang direkomendasikan) diindaksikan apabila fondaparinuks atau enoksaparin tidak
tersedia (Kelas I-C).
 Dalam strategi yang benar-benar konservatif, pemberian antikoagulasi perlu dilanjutkan hingga saat pasien
dipulangkan dari rumah sakit (Kelas I-A).
 Crossover heparin (UFH and LMWH) tidak disarankan (Kelas III-B).

e. Kombinasi Antiplatelet dan Antikoagulan


 Penggunaan warfarin bersama aspirin dan/atau clopidogrel meningkatkan risiko perdarahan dan oleh karena
itu harus dipantau ketat (Kelas I-A).
 Kombinasi aspirin, clopidogrel dan antagonis vitamin K jika terdapat indikasi dapat diberikan bersama-sama
dalam waktu sesingkat mungkin dan dipilih targen INR terendah yang masih efektif. (Kelas IIa-C).
 Jika antikoagulan diberikan bersama aspirin dan clopidogrel, terutama pada penderita tua atau yang risiko
tinggi perdarahan, target INR 2- 2,5 lebih terpilih (Kelas IIb-B).
f. Inhibitor ACE dan Penghambat Reseptor Angiotensin
Inhibitor angiotensin converting enzyme (ACE) berguna dalam mengurangi remodeling dan
menurunkan angka kematian penderita pascainfark-miokard yang disertai gangguan fungsi sistolik jantung,
dengan atau tanpa gagal jantung klinis. Penggunaannya terbatas pada pasien dengan karakteristik tersebut,
walaupun pada penderita dengan faktor risiko PJK atau yang telah terbukti menderita PJK, beberapa penelitian
memperkirakan adanya efek antiaterogenik.
 Inhibitor ACE diindikasikan penggunaannya untuk jangka panjang, kecuali ada indikasi kontra, pada pasien
dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤40% dan pasien dengan diabetes mellitus, hipertensi, atau penyakit ginjal
kronik (PGK) (Kelas I-A).
 Inhibitor ACE hendaknya dipertimbangkan pada semua penderita selain seperti di atas (Kelas IIa-B). Pilih
jenis dan dosis inhibitor ACE yang telah direkomendasikan berdasarkan penelitian yang ada (Kelas IIa-C).
 Penghambat reseptor angiotensin diindikasikan bagi pasien infark mikoard yang intoleran terhadap inhibitor
ACE dan mempunyai fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤40%, dengan atau tanpa gejala klinis gagal jantung (Kelas
I-B).

g. Statin
Tanpa melihat nilai awal kolesterol LDL dan tanpa mempertimbangkan modifikasi diet, inhibitor
hydroxymethylglutary-coenzyme A reductase (statin) harus diberikan pada semua penderita UAP/NSTEMI,
termasuk mereka yang telah menjalani terapi revaskularisasi, jika tidak terdapat indikasi kontra (Kelas I-A).
Terapi statin dosis tinggi hendaknya dimulai sebelum pasien keluar rumah sakit, dengan sasaran terapi untuk
mencapai kadar kolesterol LDL <100 mg/ dL (Kelas I-A). Menurunkan kadar kolesterol LDL sampai <70
mg/dL mungkin untuk dicapai.

13. Komplikasi
 Aritmia supraventrikular
Takikardia sinus merupakan aritmia yang paling umum dari tipe ini. Jika hal ini terjadi sekunder akibat sebab
lain, masalah primer sebaiknya diobati pertama. Namun, jika takikardi sinus tampaknya disebabkan oleh stimulasi
simpatik berlebihan, seperti yang terlihat sebagai bagian dari status hiperdinamik, pengobatan dengan penghambat beta
yang relatif kerja singkat seperti propanolol yang sebaiknya dipertimbangkan
 Gagal jantung
Beberapa derajat kelainan sesaat fungsi ventrikel kiri terjadi pada lebih dari separuh pasien dengan infark
miokard. Tanda klinis yang paling umum adalah ronki paru dan irama derap S3 dan S4. Kongesti paru juga sering terlibat
pada foto thoraks dada. Peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri dan tekanan arteri pulmonalis merupakan temuan
hemodinamik karakteristik, namun sebaiknya diketahui bahwa temua ini dapat disebabkan oleh penurunan pemenuhan
diastolik ventrikel dan / atau penurunan isi sekuncup dengan dilatasi jantung sekunder. Diuretik sangat efektif karena
mengurangi kongesti paru- paru dengan adanya gagal jantung sistolik dan / diastolik.
 Sistole prematur ventrikel
Depolarisasi prematur yang jarang dan sporadik terjadi pada hampir semua pasien dengan infark dan tidak
memerlukan terapi. Sementara dulu, ekstrasistole ventrikel distolik yang sering, multifokal atau dini secara rutin diobati,
terapi farmakologik sekarang disediakan untuk pasien dengan aritmia ventrikel yang lama atau simptomatik. Terapi
antiaritmia profilaktik dengan tiadanya takiaritmia ventrikel yang penting secara klinis, dikontra indikasikan karena
terapi seperti itu dapat dengan jelas meningkatkan mortalitas selanjutnya.

14. Pencegahan
Modifikasi faktor risiko
- Berhenti merokok : pasien yang berhenti merokok akan menurunkan angka kematian dan infark dalam 1 tahun
pertama.
- Berat badan : untuk mencapai dan /atau mempertahankan berat badan optimal.
- Latihan : melakukan aktivitas sedang selama 30-60 menit 3-4x/minggu (jalan, bersepeda, berenang atau aktivitas
aerobic yang sesuai)
- Diet : mengkonsumsi makanan dengan kadar kolesterol rendah atau lemak dengan saturasi rendah
- Kolesterol : mengkonsumsi obat-obatan penurun kolesterol. Target primer kolesterol LDL < 100mg/dl.
- Hipertensi target tekanan darah <130/80 mmHg. • DM kontrol optimal hiperglikemia pada DM

15. Prognosis
Terdapat beberapa system untuk menetukan prognosis pasca IMA:
 Klasifikasi Killip : berdasarkan pemeriksaan fisis bedside sederhana, S3 gallop, kongesti paru dan syok kardiogenik.
 Klasifikasi Forrester : berdasarkan monitoring hemodinamik indeks jantung dan pulmonary capillary wedge pressure
(PCWP)

 TIMI Risk Score : adalah system prognostic paling akhir yang menggabungkan anamnesis sederhana dan pemeriksaan
fisik yang dinilai pada pasien STEMI yang mendapat terapi trombolitik.

Sedangkan untuk pasien angina prognosisnya sebagai berikut :


 Resiko rendah antara lain pasien yang tidak mempunyai angina sebelumnya, dan sudah tidak ada serangan angina,
sebelumnya tidak memakai obat anti angina dan ECG normal atau takada perubahan dari sebelumnya, enzim jantung
tidak meningkat termasuk troponin dan biasanya usia masih muda.
 Resiko sedang apabila ada angina yang baru dan makin berat didapatkan angina pada waktu istirahat, takada perubahan
segmen ST, dan enzim jantung tidak meningkat.
 Resiko tinggi bila pasien mempunyai angina waktu istirahat, angina berlangsung lama, sebelumnya sudah mendapat
terapi yang intensif, usia lanjut, didapatkan perubahan segmen ST yang baru, ada kenaikan troponin dan keadaaan
hemodinamik tidak stabil.
Delapan puluh persen pasien dengan UA dapat distabilkan dalam 48 jam setelah diberi terapi medikamentosa secara agresif.
Pasien ini kemudian membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut dengan treadmill test atau ekokardiografi untuk menentukan apakah
pasien cukup dengan terapi medikamentosa atau butuh penanganan lanjutan. Bila pasien tetap stabil dan termasuk resiko rendah
maka terapi medikamentosa sudah cukup. Hanya pasien dengan resiko tinggi yang membutuhkan tindakan invasive segera dengan
kemungkinan tindakan revaskularisasi.

Anda mungkin juga menyukai