Anda di halaman 1dari 20

A.

Pendahuluan

Saat ini Penyakit Jantung Koroner (PJK) atau penyakit kardiovaskular merupakan
salah satu penyebab utama dan pertama kematian di negara maju dan berkembang,
termasuk Indonesia. Pada tahun 2010, secara global penyakit ini menjadi penyebab
kematian pertama di negara berkembang, menggantikan kematian akibat infeksi.
Diperkirakan bahwa diseluruh dunia, PJK pada tahun 2020 menjadi pembunuh pertama
tersering yakni sebesar 36% dari seluruh kematian, angka ini dua kali lebih tinggi dari
angka kematian akibat kanker.1 Di Indonesia dilaporkan PJK merupakan penyebab utama
dan pertama dari seluruh kematian, yakni sebesar 26,4%. Angka ini empat kali lebih
tinggi dari angka kematian yang disebabkan oleh kanker (6%).1 Dengan kata lain, lebih
kurang satu diantara empat orang yang meninggal di Indonesia adalah akibat PJK.
Acute Coronary Syndrome atau biasa dikenal dengan sebutan Sindrom Koroner
Akut (SKA) adalah salah satu manifestasi klinis Penyakit Jantung Koroner (PJK) yang
utama dan paling sering mengakibatkan kematian.

B. Definisi

Sindrom Koroner Akut (Acute Coronary Syndrome) adalah suatu istilah atau
terminologi yang digunakan untuk menggambarkan spektrum keadaan atau kumpulan
proses penyakit yang meliputi angina pektoris tidak stabil/APTS (unstable angina/UA),
infark miokard gelombang non-Q atau infark miokard tanpa elevasi segmen ST (Non-ST
elevation myocardial infarction/ NSTEMI), dan infark miokard gelombang Q atau infark
miokard dengan elevasi segmen ST (ST elevation myocardial infarction/STEMI)2,3,4
(Gambar 1).1 Ketiganya mempunyai dasar patofisiologi yang sama, hanya berbeda
derajat keparahannya.
Sindrom koroner akut merupakan suatu keadaan gawat darurat jantung dengan
manifestasi klinis berupa keluhan perasaan tidak enak atau nyeri di dada atau gejala-
gejala lain sebagai akibat iskemia miokard. Karena memiliki keluhan awal yang sama
yaitu nyeri dada, maka diperlukan pemeriksaan marker untuk bisa segera mengetahui
diagnosis. Pemeriksaan marker yang disarankan adalah pemeriksaan CK-MB dan
troponin.
Sindrom koroner akut adalah spektrum gejala klinis penyakit jantung koroner
sebagai akibat penurunan mendadak aliran darah ke jantung yang menyebabkan iskemia
miokardium akut. Penyebab penurunan mendadak aliran arteri koroner sebagian besar
adalah thrombosis yang disebabkan rupturnya plak aterosklerosis.4 Penyebab lain yaitu
karena spasme arteri koroner.

Gambar 1. Spektrum Sindrom Koroner Akut

C. Etiologi
Beberapa hal yang dapat menyebabkan Sindrom Koroner Akut yaitu :
1. Trombus tidak oklusif pada plak yang sudah ada
Penyebab paling sering SKA adalah penurunan perfusi miokard oleh karena
penyempitan arteri koroner sebagai akibat dari trombus yang ada pada plak
aterosklerosis yang robek atau pecah dan biasanya tidak sampai menyumbat.
Mikroemboli (emboli kecil) dari agregasi trombosit beserta komponennya dari plak
yang ruptur, yang mengakibatkan infark kecil di distal, merupakan penyebab
keluarnya pertanda kerusakan miokard pada banyak pasien.
2. Obstruksi dinamik
Penyebab yang agak jarang adalah obstruksi dinamik, yang mungkin
diakibatkan oleh spasme fokal yang terus menerus pada segmen arteri koroner
epikardium. Spasme ini disebabkan oleh hiperkontraktilitas otot polos pembuluh
darah atau akibat disfungsi endotel. Obstruksi dinamik koroner dapat juga diakibatkan
oleh konstriksi abnormal pada pembuluh darah yang lebih kecil.
3. Obstruksi mekanik yang progresif
Penyebab ketiga SKA adalah penyempitan yang hebat namun bukan karena
spasme atau trombus. Hal ini terjadi pada sejumlah pasien dengan aterosklerosis
progresif atau dengan stenosis ulang setelah intervensi koroner perkutan (PCI).
4. Inflamasi dan/atau infeksi
Penyebab keempat adalah inflamasi, disebabkan karena infeksi, yang mungkin
menyebabkan penyempitan arteri, destabilisasi plak, ruptur dan trombogenesis.
Makrofag dan limfosit-T di dinding plak meningkatkan ekspresi enzim seperti
metaloproteinase, yang dapat mengakibatkan penipisan dan ruptur plak, sehingga
selanjutnya dapat mengakibatkan SKA.
5. Faktor atau keadaan pencetus
Penyebab kelima adalah SKA yang merupakan akibat sekunder dari kondisi
pencetus diluar arteri koroner. Pada pasien ini ada penyebab berupa penyempitan
arteri koroner yang mengakibatkan terbatasnya perfusi miokard, dan mereka biasanya
menderita angina stabil yang kronik. SKA jenis ini antara lain karena :
 Peningkatan kebutuhan oksigen miokard, seperti demam, takikardi dan
tirotoksikosis.
 Berkurangnya aliran darah koroner.
 Berkurangnya pasokan oksigen miokard, seperti pada anemia dan hipoksemia.

D. Epidemiologi

Menurut data (WHO)3 tahun 2012, penyakit kardiovaskuler memiliki angka


kematian sebesar 48%. Salah satu penyakit kardiovaskuler adalah sindrom koroner akut.
Sindrom Koroner Akut (SKA) masih tetap merupakan masalah kesehatan publik yang
bermakna di negara industri, dan mulai menjadi bermakna di negara-negara sedang
berkembang. Di Amerika Serikat, 1,36 juta penyebab rawat inap adalah kasus SKA, 0,81
juta di antaranya adalah kasus infark miokardium, sisanya angina tidak stabil. Setiap
tahun satu juta pasien dirawah di rumah sakit karena angina pektoris tidak stabil, dimana
6 sampai 8 persen kemudian mendapatkan serangan infark jantung yang fatal atau
meninggal dalam 1 tahun setelah diagnosis ditegakkan.

Data di Amerika Serikat sebelumnya juga menunjukkan bahwa tujuh sampai


delapan juta penderita datang ke unit gawat darurat dengan keluhan dada tidak enak.
Lebih dari 2 juta di diagnosis sebagai SKA. Dari jumlah tersebut, sekitar 500 penderita
menjalani rawat inap dengan diagnosis angina stabil dan 1,5 juta penderita mengalami
infark miokard akut. Dari 1,5 juta penderita IMA, kira-kira 500 ribu meninggal dunia.
Diantara jumlah tersebut 250 ribu mati mendadak dalam satu jam pertama sejak mulai
serangan jantung.4

E. Patogenesis

APTS dan NSTEMI mempunyai patogenesis dan presentasi klinik yang sama,
hanya berbeda dalam derajatnya. Bila ditemui peningkatan troponin I, troponin T, atau
CK-MB maka diagnosis adalah NSTEMI. Sedangkan bila tidak terjadi peningkatan, maka
diagnosis adalah APTS. Penentuan troponin I atau troponin T merupakan ciri paling
sensitif dan spesifik untuk nekrosis miosit dan penentuan patogenesis dan alur
pengobatannya. Sedang kebutuhan miokard tetap dipengaruhi obat-obat yang bekerja
terhadap kerja jantung, beban akhir, status inotropik, beban awal untuk mengurangi
konsumsi O2 miokard.
APTS dan NSTEMI merupakan SKA yang ditandai dengan ketidakseimbangan
pasokan dan kebutuhan oksigen. Penyebab utama adalah stenosis koroner akibat trombus
non-oklusif yang terjadi pada plak aterosklerosis yang mengalami erosi, dan ruptur. SKA
merupakan salah satu bentuk manifestasi klinis dari PJK akibat utama dari proses
aterotrombosis. Aterotrombosis merupakan suatu penyakit kronik dengan proses yang
sangat komplek dan multifaktor serta saling terkait. Aterotrombosis terdiri dari
aterosklerosis dan trombosis.
Aterosklerosis merupakan proses pembentukan plak (plak aterosklerotik) akibat
akumulasi beberapa bahan seperti lipid-filled macrophages (foam cells), massive
extracellular lipid dan plak fibrous yang mengandung sel otot polos dan kolagen.
Perkembangan terkini menjelaskan aterosklerosis adalah suatu proses inflamasi/infeksi,
dimana awalnya ditandai dengan adanya kelainan dini pada lapisan endotel, pembentukan
sel busa dan fatty streks, pembentukan fibrous cups dan lesi lebih lanjut, dan proses
pecahnya plak aterosklerotik yang tidak stabil.
Banyak sekali penelitian yang membuktikan bahwa inflamasi memegang peranan
penting dalam proses terjadinya aterosklerosis. Pada penyakit jantung koroner inflamasi
dimulai dari pembentukan awal plak hingga terjadinya ketidakstabilan plak yang akhirnya
mengakibatkan terjadinya ruptur plak dan trombosis pada SKA. Perjalanan proses
aterosklerosis (Gambar 2)1 secara bertahap berjalan dari sejak usia muda bahkan
dikatakan juga sejak usia anak-anak sudah terbentuk bercak-bercak garis lemak (fatty
streaks) pada permukaan lapis dalam pembuluh darah, dan lambat-laun pada usia tua
dapat berkembang menjadi bercak sklerosis (plak atau kerak pada pembuluh darah)
sehingga terjadinya penyempitan dan/atau penyumbatan pembuluh darah. Kalau plak tadi
pecah, robek atau terjadi perdarahan subendotel, mulailah proses trombogenik, yang
menyumbat sebagian atau keseluruhan suatu pembuluh koroner. Pada saat inilah muncul
berbagai presentasi klinik seperti angina atau infark miokard. Proses aterosklerosis ini
dapat stabil, tetapi dapat juga tidak stabil atau progresif. Konsekuensi yang dapat
menyebabkan kematian adalah proses aterosklerosis yang bersifat tidak stabil /progresif
yang dikenal juga dengan SKA.

Gambar 2. Perjalanan Proses Pada Plak Aterosklerosis

Sedangkan trombosis merupakan proses pembentukan atau adanya darah beku


yang terdapat di dalam pembuluh darah atau kavitas jantung. Ada dua macam trombosis,
yaitu trombosis arterial (trombus putih) yang ditemukan pada arteri, dimana pada trombus
tersebut ditemukan lebih banyak platelet, dan thrombosis vena (trombus merah) yang
ditemukan pada pembuluh darah vena dan mengandung lebih banyak sel darah merah dan
lebih sedikit platelet. Komponen komponen yang berperan dalam proses trombosis adalah
dinding pembuluh darah, aliran darah dan darah sendiri yang mencakup platelet, sistem
koagulasi, sistem fibrinolitik, dan antikoagulan alamiah.
Tebalnya plak yang dapat dilihat dengan persentase penyempitan pembuluh
koroner pada pemeriksaan angiografi koroner tidak berarti apa-apa selama plak tersebut
dalam keadaan stabil. Dengan kata lain, risiko terjadinya ruptur pada plak aterosklerosis
bukan ditentukan oleh besarnya plak (derajat penyempitan) tetapi oleh kerentanan plak.
Erosi, fisur, atau ruptur plak aterosklerosis mengeluarkan zat vasoaktif (kolagen, inti
lipid, makrofag dan tissue factor) ke dalam aliran darah, merangsang agregasi dan adhesi
trombosit serta pembentukan fibrin, membentuk trombus atau proses trombosis. Trombus
yang terbentuk dapat menyebabkan oklusi koroner total atau subtotal. Oklusi koroner
berat yang terjadi akibat erosi atau ruptur pada plak aterosklerosis yang relatif kecil akan
menyebabkan angina pektoris tidak stabil dan tidak sampai menimbulkan kematian
jaringan.
Trombus biasanya transien atau labil dan menyebabkan oklusi sementara yang
berlangsung antara 10–20 menit. Bila oklusi menyebabkan kematian jaringan tetapi dapat
diatasi oleh kolateral atau lisis trombus yang cepat (spontan atau oleh tindakan
trombolisis) maka akan timbul NSTEMI (tidak merusak seluruh lapisan miokard).
Trombus yang terjadi lebih persisten dan berlangsung sampai lebih dari 1 jam. Bila oklusi
menetap dan tidak dikompensasi oleh kolateral maka keseluruhan lapisan miokard
mengalami nekrosis (Q-wave infarction) atau dikenal juga dengan STEMI. Trombus yang
terbentuk bersifat fixed dan persisten yang menyebabkan perfusi miokard terhenti secara
tiba-tiba yang berlangsung lebih dari 1 jam dan menyebabkan nekrosis miokard
transmural (Gambar 3).1
Gambar 3 . Patogenesis Pada Berbagai Manifestasi Klinik SKA

F. Diagnosis
1. Anamnesis
Diagnosa adanya suatu SKA harus ditegakkan secara cepat dan tepat dan
didasarkan pada tiga kriteria, yaitu; gejala klinis nyeri dada spesifik, gambaran EKG
(elektrokardiogram) dan evaluasi biokimia dari enzim jantung. Nyeri dada tipikal
(angina) merupakan gejala kardinal pasien SKA. Nyeri dada atau rasa tidak nyaman di
dada merupakan keluhan dari sebagian besar pasien dengan SKA. Gejala umum iskemia
dan infark miokardium adalah nyeri dada retrosternal. Pasien sering merasa dada ditekan
atau dihimpit lebih dominan dibanding rasa nyeri. Seorang dokter harus mampu mengenal
nyeri dada angina dan mampu membedakan dengan nyeri dada lainnya karena gejala ini
merupakan pertanda awal dalam pengelolaan pasien SKA. Sifat nyeri dada yang spesifik
angina sebagai berikut :
 Lokasi : substernal, retrosternal, dan prekordial. Biasanya pasien sulit melokalisir
rasa nyeri.
 Sifat nyeri : rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, seperti
ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir. Perlu diwaspadai juga bila pasien mengeluh
nyeri epigastrik, sinkope atau sesak nafas.
 Penjalaran nyeri : leher rasa tercekik, rahang bawah (ngilu) lengan kiri, mandibula,
gigi, punggung atau interskapula, dan dapat juga ke lengan kanan.
 Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat atau obat nitrat. Nyeri pada SKA
biasanya lebih dari 20 menit.
 Faktor pencetus : latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah makan
 Gejala yang menyertai : mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin, dan lemas.

Selain itu, dalam anamnesis juga tidak lupa ditanyakan riwayat penyakit keluarga.
Pada beberapa pasien dapat ditemukan tanda-tanda gagal ventrikel kiri akut. Gejala yang
tidak tipikal seperti rasa lelah yang tidak jelas, nafas pendek, rasa tidak nyaman di
epigastrium atau mual dan muntah dapat terjadi, terutama pada wanita, penderita diabetes
dan pasien lanjut usia. Kecurigaan harus lebih besar pada pasien dengan faktor risiko
kardiovaskular multipel dengan tujuan agar tidak terjadi kesalahan diagnosis.

2. Pemeriksaan Fisik
Tujuan dari pemeriksaan fisik adalah untuk mengidentifikasi faktor pencetus
dan kondisi lain sebagai konsekuensi dari suatu penyakit. Hipertensi tak terkontrol,
anemia, tirotoksikosis, stenosis aorta berat, kardiomiopati hipertropik dan kondisi lain,
seperti penyakit paru. Keadaan disfungsi ventrikel kiri (hipotensi, ronki dan gallop S3)
menunjukkan prognosis yang buruk. Adanya bruit di karotis atau penyakit vaskuler
perifer menunjukkan bahwa pasien memiliki kemungkinan juga penderita penyakit
jantung koroner (PJK).
3. Pemeriksaan Penunjang
Elektrokardiografi
EKG memberi bantuan untuk diagnosis dan prognosis. Rekaman yang
dilakukan saat sedang nyeri dada sangat bermanfaat. Gambaran diagnosis dari EKG
adalah :
- Depresi segmen ST > 0,05 mV.
- Inversi gelombang T, ditandai dengan > 0,2 mV inversi gelombang T yang
simetris di sandapan prekordial Perubahan EKG lainnya termasuk bundle branch
block (BBB) dan aritmia jantung, terutama Sustained VT. Serial EKG harus
dibuat jika ditemukan adanya perubahan segmen ST. Namun EKG yang normal
pun tidak menyingkirkan diagnosis APTS/NSTEMI.
Pemeriksaan laboraturium
Pemeriksan laboratorium untuk menilai adanya tanda nekrosis miokardium
seperti CK-MB, troponin T dan I, serta mioglobin dipakai untuk menegakkan
diagnosis SKA. Troponin lebih dipilih karena lebih sensitif dari pada CK-MB.
Troponin juga berguna untuk diagnosis, stratifikasi risiko, dan menentukan prognosis.
Troponin yang meningkat dihubungkan dengan peningkatan risiko kematian. Pada
pasien dengan STEMI, reperfusi tidak boleh ditunda hanya untuk menunggu enzim
jantung.
- Mioglobin merupakan suatu protein yang dilepaskan dari sel miokardium yang
mengalami kerusakan, dapat meningkat setelah jam-jam awal terjadinya infark
dan mencapai puncak pada jam 1 sampai dengan ke 4 dan tetap tinggal sampai 24
jam.
- CKMB merupakan isoenzim dari creatinin kinase yang merupakan konsentrasi
terbesar dari miokardium. Dalam jumlah kecil CK-MB juga dapat dijumpai di otot
rangka, usus kecil atau diapragma. Mulai meningkat 3 jam setelah infark dan
mencapai puncak 12-14 jam. CK-MB akan mulai menghilang dalam darah 48-72
jam setelah infark.
- Troponin mengatur interaksi kerja aktin myosin dalam otot jantung dan lebih
spesifik dari CK-MB. Mempunyai dua bentuk troponin T dan I. enzim ini mulai
meningkat pada jam 3 sampai 12 jam setelah onset iskemik. Mencapai puncak
pada 12-24 jam dan masih tetap tinggi sampai hari ke 8-21 (trop T) dan 7-14 (trop
I) . peingkatan enzim ini berhubungan dengan bukti adanya miokard dan
menunjukkan prognosis yang buruk pada SKA.
G. Penatalaksanaan

Gambar 4. Algoritme sindrom koroner akut.5


secara umum tatalaksana STEMI dan NSTEMI hampir sama baik pre-hospital
maupun hospital hanya berbeda dalam strategi reperfusi terapi, dimana STEMI lebih
ditekankan untuk segera melakukan reperfusi baik dengan medikamentosa (trombolisis) atau
intervensi (Percutaneous Coronary Intervention-PCI). Berdasarkan International Consensus
on Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care Science with
Treatment Recommendation (AHA/ACC) tahun 2010, sangat ditekanan waktu efektif
reperfusi terapi. Bila memungkinkan trombolisis dilakukan saat pre-hospital untuk
menghemat waktu. Tatakasana SKA dibagi atas pre-hospital dan hospital

1. Pre-hospital
 Monitoring dan amankan ABC, persiapkan RJP dan defibrilasi.
 Berikan aspirin, dan pertimbangkan oksigen, nitrogliserin, dan morfin jika diperlukan.
 Pemeriksaan EKG 12-sadapan dan interpretasi.
 Lakukan pemberitahuan ke RS untuk melakukan persiapan, penerimaan pasien
dengan STEMI.
 Bila akan diberikan fibrinolitik prehospital, lakukan check-list terapi fibrinolitik.

2. Hospital

Ruang gawat darurat

Penilaian awal di UGD (<10 MENIT)

 Cek tanda vital, evaluasi saturasi oksigen.


 Pasang intravena.
 Lakukan anamnesis singkat, terarah, dan pemeriksaan fisik.
 Lengkapi check list fibrinolitik, cek kontraindikasi.
 Lakukan pemeriksaan enzim jantung, elektrolit, dam pembekuan darah.
 Pemeriksaan sinar x (< 30 menit setelah pasien sampai di UGD).

Terapi awal di IGD

 Segera berikan oksigen 4 L/menit kanul nasal, pertahankan sampai saturasi O > 90%.
 Berikan aspirin 160-325 mg.
 Nitrogliserin sublingual atau semprot.
 Morfin IV jika nyeri dada tidak berkurang dengan nitrogliserin.
ST elevation myocardial infraction (STEMI) (KOTAK 5-8)

 Pasien dengan SKA STEMI biasanya terjadinya penyumbatan yang lengkap


(complete) pada arteri koroner epikardial.
 Pengobatan utama pada SKA STEMI adalah terapi reperfusi segera yang dapat
dilakukan dengan fibrinolitik atau PCI primer.
 Reperfusi terapi pada SKA STEMI merupakan perkembangan yang sangat penting
dalam pengobatan penyakit kardiovaskular saat ini. Terapi fibrinolitik segera atau
kateterisasi langsung reperfusi sudah merupakan standard pengobatan pasien STEMI
yang onset serangan masih dalam 1 jam dan tidak terdapat kontraindikasi terapi
reperfusi mengurangi mortalitas dan menyelamatkan jantung. Makin pendek waktu
reperfusi manfaatnya semakin besar.

Unstable angina pectoris/non ST elevation myocardial infraction (UAP/NSTEMI) risiko


tinggi (kotak 9-12)

 Pertimbangkan strategi invasive segera apabila nyeri dada refrakter, ST deviasi


persisten atau berulang, ventrikel takikardi, hemodinamik tidak stabil atau didapatkan
tanda gagal jantung.
 Mulai terapi untuk SKA seperti nitrogliserin, heparin, penyakit beta, clopidogrel,
penyekat glycoprotein IIb/IIIa.
 Rawat dengan monitoring dan nilai status risiko.

SKA risiko rendah atau sedang (normal EKG atau perubahan segmen ST-T non diagnostic)
(kotak 13-17)

 Lakukan pemeriksaan enzim jantung serial.


 Ulanng EKG dan lakukan monitoring EKG kontinyu bila memungkinkan.
 Pertimbangkan pemeriksaan non invasif.
 Bila kemudian tidak ditemukan bukti iskemia atau infark dengan tes yang dilakukan,
maka pasien dapat dipulangkan dengan tindak lanjut nantinya.
Terapi inisial pada SKA

1. Oksigen

Oksigen harus diberikan pada semua pasien dengan sesak napas, tanda gagal
jantung, syok atau saturasi oksigen <94%. Monitoring non invasif tentang kadar oksigen
darah akan sangat bermanfaat untuk mengetahui apakah perlu diberikan oksigen pada
pasien. Berdasarkan consensus terbaru 2010 tentang resusitasi jantung paru oleh
AHA/ACC, tidak ada bukti manfaat pemberian oksigen aliran tinggi pada pasien SKA
yang masuk emergensi bila tidak ada komplikasi kardivaskular atau bila saturasi oksigen
dalam batas normal. Begitu pula pemberian oksigen mampu mengurangi ST elevasi pada
infark anterior. Berdasarkan consensus, dianjurkan memberikan oksigen dalam 6 jam
pertama terapi. Pemberian oksigen lebih dari 6 jam secara klinis tidak bermanfaat, kecuali
ada keadaan seperti dibawah ini:

 Pasien dengan nyeri dada menetap atau berulang atau hemodinamik yang tidak stabil.
 Pasien dengan tanda bendungan paru.
 Pasien dengan saturasi oksigen <90%.

2. Aspirin

Aspirin direkomendasikan kepada semua pasien SKA kecuali terdapat


kontraindikasi dan diberikan 160-325 mg dikunyah untuk pasien yang belum mendapat
aspirin dan tidak ada riwayat alergi dan tidak ada bukti perdarahan lambung saat
pemeriksaan. Aspirin dapat menurunkan reoklusi koroner dan berulangnya kejadian
iskemik stelah terapi fibrinolitik. Penggunaan aspirin supositoria dapat dilakukan pada
pasien dengan mual, muntah atau ulkus peptic atau gangguan pada saluran pencernaan
atas. Dosis pemeliharaan 75-100 mg/hari.

3. Nitrogliserin

Dapat diberikan tablet nitrogliserin sublingual sampai 3 kali dengan interval 3-5
menit jika tidak terdapat kontraindikasi. Obat ini tidak boleh diberikan pada pasien
dengan keadaan hemodinamik tidak stabil. TD < 90 mmHg atau kurang lebih sama
dengan 30 mmHg lebih rendah dari pemeriksaan TD awal, bradikardi < 50 x/menit atau
takikardi >100 x/menit tanpa adanya gagal jantung, dan adanya infark ventrikel kanan.
Nitrogliserin adalah venodilator dan penggunaannya harus berhati-hati pada keadaan
pasien yang menggunakan obat penghambat fosfodiesterase (contoh: Viagra) dalam
waktu < 24 jam.

4. Analgetik

Analgetik terpilih pada pasien SKA adalah morfin. Pemberian morfin dilakukan
jika pemberian nirogliserin sublingual atau semprot tidak respon. Morfin merupakan
pengobatan yang cukup penting pada SKA oleh karena:

 Menimbulkan efek analgesik pada SSP yang dapat mengurangi aktivasi


neurohumoral dan menyebabkan pelepasan katekolamin.
 Menghasilkan venodilatasi yang akan mengurangi beban ventrikel kiri dan
mengurangi kebutuhan oksigen.
 Menurunkan tahanan vascular sistemik, sehingga mengurangi afterload ventrikel
kiri.
 Membantu redristibusi volume darah pada edema paru akut.

Menurut consensus 2010 AHA/ACC tentang kardiopulmonal resusitasi morfin


diberikan secara intravena untuk mengurangi nyeri pada SKA (kelas IIA).

5. Clopidogrel dan antiplatelet lain

Clopidogrel (antiagregasi platelet) terutama bermanfaat pada pasien STEMI dan


NSTEMI risiko sedang smpai tinggi, dengan dosis pertama 300 mg yang dianjurkan
dengan dosis pemeliharaan 75 mg. untuk pasien yang dipersiapkan untuk invasif terapi
diberikan dosis 600 mg.

Terapi reperfusi pada STEMI

Reperfusi pada pasien SKA akan mengembalikan aliran koroner pada arteri yang
berhubungan dengan area infark, mengurangi ukuran infark, dan menurunkan mortilitas
jangka panjang. Fibrinolitik berhasil mengembalikan aliran normal koroner pada 50-60%
kasus. Sedangkan Percutaneous Coronary Intervension (PCI) dapat mengembalikan aliran
normal sampai 90% kasus dan manfaat ini lebih besar didapatkan pada pasien dengan syok
kardiogenik. PCI juga menurunkan risiko perdarahan intrakranial dan stroke. Pada SKA
STEMI dan LBBB baru atau dugaan baru, sebelum melakukan terapi reperfusi harus
dilakukan evaluasi sebagai berikut :

Langkah 1 : nilai waktu onset serangan, risiko STEMI, risiko fibrinolisis, waktu yang
diperlukan dari transportasi kepada ahli intervensi yang tersedia.

Langkah 2 : strategi terapi reperfusi.

Terapi fibrinolitik

Terapi Fibrinolitik (Tabel 1).4 dengan pengobatan awal (door-drug < 30 menit) dapat
membatasi luasnya infark, fungsi ventrikel normal, dan mengurangi angka kematian.
Beberapa jenis obat fibrinolisis misalnya alteplase recombinant (activase), reteplase,
tenecplase, dan streptokinase. Di Indonesia umumnya tersedia streptokinase dengan dosis
pemberian sebesar 1,5 juta U, dilarutkan dalam 100 cc NaCl 0,9% atau dextrose 5 %
diberikan secara infuse selama 30-60 menit. Beberpa hal yang perlu diperhatikan

- Fibrinolisis bermanfaat diberikan pada pasien :


 ST elevasi atau perkiraan LBBB baru.
 Infark miokard yang luas.
 Pada usia muda dengan risiko perdarahan intraserebral yang lebih rendah.
- Finrinolisis kurang bermanfaat pada:
 Onset serangan setelah 12-24 jam atau infark kecil.
 Pasien usia >75 tahun.
- Fibrinolisis mungkin berbahaya pada :
 Depresi segmen ST.
 Onset lebih 24 jam.
 Pada TD tinggi (TD sistolik > 175 mmHg).

Kontraindikasi absolut terapi fibrinolitik adalah :

 Perdarahan intrakranial kapanpun.


 Stroke iskemik kurang dari 3 bulan dan lebih dari 3 jam.
 Kecurigaan diseksi aorta.
 Tumor intrakranial.
 Adanya kelainan struktur vascular serebral (AVM).
 perdarahan internal aktif atau gangguan sistem pembekuan darah.
 cedera kepala tertutup atau cedera wajah dalam 3 bulan terkahir.

Kontraindikasi relatif terapi fibrinolitik adalah:

 tekanan darah yang tidak terkontrol.


 TD sistolik >180 mmHg, TD diastolik >110 mmHg.
 Trauma atau RJP lama (>10 menit) atau operasi besar > 3 bulan.
 Perdarahan internal dalam 2-4 minggu.
 Penusukan pembuluh darah yang sulit dilakukan penekanan.
 Pernah mendapat streptokinase/anistreplase 5 hari yang lalu atau lebih, atau riwayat
alergi terhadap obat tersebut.
 Hamil.
 Ulkus peptikum aktif.
 Sedang menggunakan antikoagulan dengan INR tinggi.

Tindakan percutaneous coronary intervention (PCI) primer

Angioplasti koroner dengan atau tanpa pemasangan steril adalah terapi terpilih pada
tata laksana STEMI bila dapat dilakukan kontak doctor-ballon atau door-ballon < 90 menit
pada pusat kesehatan yang mempunyai fasilitas PCI terlatih. Pilihan untuk PCI primer efektif
dilaksanakan pada pasien :

 Syok kardiogenik
 STEMI usia > 75 tahun dan syok kardiogenik
 Pasien kontraindikasi fibrinolisis
Terapi fibrinolisis Terapi invasif (PCI)
 Onset <3 jam  Onset > 3 jam
 Terapi invasif bukan pilihan (tidak  Tersedia ahli PCI
ada akses ke fasilitas PCI atau akses - Kontak medic-ballon atau door-
vascular sulit) atau akan ballon < 90 menit
menimbulkan penundaan: - (door-ballon) minus (door-
- Kontak medic-ballon atau door- needle)< 1 jam
ballon >90 menit  Kontraindikasi fibrinolisis, termasuk
- (door- ballon) minus (door- risiko perdarahan dan perdarahan
needle) lebih dari 1 jam intraserebral
 Tidak terdapat kontraindikasi  STEMI risiko tinggi (CHF, kilip
fibrinolisis lebih besar sama dengan 3)
 Diagnosis STEMI diragukan

Antikoagulan
Antikoagulan diberikan pada ACS NSTEMI bersama antiplatelet baik yang
konservatif terapi maupun yang akan dilakukan intervensi koroner.enoxaparin atau
fondaparinux merupakan pilihan antikoagulan di samping yang UFH (unfraxionated
heparin).
Pada pasien dengan SKA NSTEMI dan gangguan fungsi ginjal bivalirudin
atau UFH dapat menjadi pilihan. Sedangkan pada STEMI yang mendapatkan
trombolisis juga dapat dilanjutkan dengan pemberian enoxaparin. UFH atau
fondaparinux. Pada STEMI yang akan dilakukan intervensi koroner enoxaparin cukup
efektif dan aman sama dengan pemberian UFH.

Terapi tambahan
1. Antiaritmia.
Tidak diberikan sebagai terapi rutin pada SKA STEMI yang bertujuan untuk
profilaksis.
2. Penyekat beta.
Pemberian penyekat beta intravena tidak diberikan secara rutin pada pasien SKA,
hanya diberikan bila terdapat takikardi dan hipertensi.
3. ACE-Inhibitor dan ARB.
Kedua obat tersebut di atas telah terbukti, mengurangi morbidilitas dan mortalitas
bila diberikan pada SKA STEMI
4. Statin (HMG Co-A inhibitor)
Pemberian statin intensif diberikan segera setelah onset SKA dalam rangka
menstabilkan plak.

H. Prognosis

Umumnya pasien dengan angina pektoris dapat hidup bertahun-tahun dengan


hanya sedikit pembatasan dalam kegiatan sehari-hari. Mortalitas bervariasi dari 2% - 8%
setahun. Faktor yang mempengaruhi prognosis adalah beratnyan kelainan pembuluh
koroner. Pasien dengan penyempitan di pangkal pembuluh koroner kiri mempunyai
mortalitas 50% dalam lima tahun. Hal ini jauh lebih tinggi dibandingkan pasien dengan
penyempitan hanya pada salah satu pembuluh darah lainnya. Juga faal ventrikel kiri yang
buruk akan memperburuk prognosis. Dengan pengobatan yang maksimal dan dengan
bertambah majunya tindakan intervensi dibidang kardiologi dan bedah pintas koroner,
harapan hidup pasien angina pektoris menjadi jauh lebih baik.

Sedangkan pada Infark Miokard Akut, terdapat beberapa sistem untuk menentukan
prognosis paska IMA yaitu :
1. Klasifikasi Killip berdasarkan pemeriksaan fisik bedside sederhana, S3 gallop,
kongesti paru dan syok kardiogenik (Tabel 2).6

2. Klasifikasi Forrester berdasarkan monitoring hemodinamik indeks jantung dan


pulmonary capillary wedge pressure (PCWP) (Tabel 3).6

3. TIMI risk score adalah sistem prognostik paling akhir yang menggabungkan
anamnesis sederhana dan pemeriksaan fisik yang dinilai pada pasien STEMI yang
mendapat terapi fibrinolitik (Tabel 4).6
Pada IMA, 25% kematian terjadi mendadak dalam beberapa menit setelah
serangan. Karena itu banyak yang tidak sampai ke rumah sakit. Mortalitas keseluruhan
15-30%.risiko kematian tergantung pada faktor: usia penderita, riwayat penyakit jantung
koroner, adanya penyakit lain-lain dan luasnya infark. Mortalitas serangan akut naik
dengan meningkatnya umur.Kematian kira-kira 10-20% pada usia dibawah 50 tahun dan
20% pada usia lanjut.
I. Perujukan
1. Bina D, Komunitas F, Klinik DAN, Bina D, Dan K, Kesehatan A, et al.
PHARMACEUTICAL CARE UNTUK PASIEN PENYAKIT JANTUNG
KORONER : 2006; Available from:
http://binfar.depkes.go.id/bmsimages/1361351516.pdf pada 17 Februari 2015.
2. Zahara F, Syafri M, Yerizel E. Artikel Penelitian Gambaran Profil Lipid pada Pasien
Sindrom Koroner Akut di Rumah Sakit Khusus Jantung Sumatera Barat Tahun 2011-
2012. J Kesehat Andalas [Internet]. 2013;2(2):167–72. Available from:
http://jurnal.fk.unand.ac.id/images/articles/vol3/no2/n167-172.pdf pada 17 Februari
2015.
3. Myrtha R. Perubahan Gambaran EKG pada Sindrom Koroner Akut ( SKA ).
2011;38(7):541–2. Available from:
http://www.academia.edu/7504766/31_188Praktis_Perubahan_Gambaran_EKG_pada
_Sindrom_Koroner_Akut.pdf pada 17 Februari 2015.
4. Agus Subagjo, dkk. Basic Cardiac Life Support. Jakarta: Perhimpunan Dokter
Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI). 2011.
5. Connor REO, Brady W, Brooks SC, Diercks D, Ghaemmaghami C, Menon V, et al.
Part 10 : Acute Coronary Syndromes 2010 American Heart Association
Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular
Care. 2010; available from:
http://circ.ahajournals.org/cgi/content/full/122/18_suppl_3/S787.pdf
6. Sudoyono, A.W. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5th ed. Jakarta: Interna Publishing.
2009.

J. Penutup
Sindrom Koroner Akut (Acute Coronary Syndrome) adalah suatu manifestasi
klinik yang menggambarkan spektrum keadaan atau kumpulan proses penyakit yang
meliputi angina pektoris tidak stabil, infark miokard tanpa elevasi segmen ST, dan infark
miokard dengan elevasi segmen ST. Ketiganya mempunyai dasar patofisiologi yang
sama, hanya berbeda derajat keparahannya yang bisa diketahui dengan berbagai diagnosis
yang dapat dilakukan. Pengobatan yang dilakukan dapat dilakukan dengan berbagai cara
sesuai pertimbangan yang ada sehingga dalam pengobatannya dapat memberikan
prognosis yang baik.

Anda mungkin juga menyukai