Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN KASUS

“Bartholinitis”

Disusun Oleh :
Qisthinadia Hazhiyah Setiadi (H1A013053)

Pembimbing :
dr. I Wayan Hendrawan, M. BioMed, Sp.KK

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
RSUD PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan kasus tepat
waktu. Laporan kasus yang berjudul “Bartholinitis” ini disusun dalam rangka
mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin RSUD Provinsi Nusa Tenggara Barat. Penulis ingin mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada pembimbing laporan kasus dr. I Wayan
Hendrawan, M. BioMed, Sp.KK, karena telah memberikan masukan dan saran dalam
penyelesaian tugas. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan kasus ini
masih terdapat banyak kekurangan maka kritik dan saran yang bersifat membangun
sangat penulis harapkan demi kesempurnaan laporan kasus ini. Semoga laporan kasus
ini dapat memberikan manfaat dalam meningkatkan pengetehauan kepada penulis dan
pembaca sehingga dapat diimplementasikan dalam praktik dokter. Terima kasih.

Mataram, 18 November 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................. ii

DAFTAR ISI ................................................................................................................ iii

BAB I ............................................................................................................................ 1

PENDAHULUAN .................................................................................................... 1

BAB II ........................................................................................................................... 2

LAPORAN KASUS .................................................................................................. 2

BAB III ......................................................................................................................... 7

PEMBAHASAN ....................................................................................................... 7

BAB IV ....................................................................................................................... 21

KESIMPULAN ....................................................................................................... 21

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 22

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Kelenjar bartholin merupakan 2 kelenjar kecil hormondependen yang terletak


secara simetris di regio posterior dari orifisium vagina. Fungsi utama kelanjar
bartholin adalah mensekresi mukus untuk lubrikasi vulva dan vagina terutama saat
hubungan seksual.1,2

Infeksi kelenjar bartholin merupakan permasalahan ginekologis tersering pada


vulva dan sering terjadi pada wanita usia reproduksi. Sekitar 2% wanita diseluruh
dunia akan mengalami bartholinitis semasa hidupnya. Infeksi kelenjar bartholin
dalam bentuk abses bartholin akan menimbulkan gejala nyeri hebat yang akan
mengganggu aktivitas seperti berjalan dan duduk, hingga menyebabkan dispareuni
sehingga menyebabkan dampak negatif pada kualitas hidup penderitanya.2,3,4

Berdasarkan paparan diatas, penulis tertarik untuk menulis laporan kasus


mengenai kasus bartholintis yang ditemukan di Rumah Sakit Umum Provinsi NTB
Diharapkan, hal ini dapat menambah pengetahuan penulis mengenai gejala hingga
tata laksana bartholinitis.

1
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1. IDENTITAS PASIEN


Nama : Nn. E.H
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 19 tahun
Alamat : Dompu
Suku : Dompu
Agama : Islam
Pekerjaan : Mahasiswi
Status : Belum Menikah
Waktu Pemeriksaan : 24 Oktober 2018

2.2. ANAMNESIS
Keluhan Utama
Benjolan di kemaluan terasa nyeri.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Poli Kulit RSUD Provinsi NTB pada tanggal 24 Oktober
2018 dengan keluhan muncul benjolan pada kemaluan yang disertai rasa sakit
hilang timbul, semakin nyeri saat berjalan dan saat duduk. Keluhan tersebut
dirasakan 1 minggu sebelum datang ke Poli.
Pasien mengeluhkan mula-mula mengalami keputihan warna putih jernih,
banyak dan berbau. Kemudian muncul benjolan pada bibir kemaluan kanan
tersebut terdapat benjolan sebesar kacang semakin membesar, dan nyeri bila
dipegang. Gatal pada kemaluan (-),nyeri saat buang air kecil (+). Perdarahan

2
setelah berhubungan seksual (+), demam (-). Saat ini pasien sedang
menstruasi hari ketiga.
Pasien belum menikah, riwayat hubungan seksual (+) 10 hari yang lalu,
partner seksual tidak diketahui. Riwayat menstruasi teratur, menstruasi
pertama kali usia 13 tahun, riwayat pemakaian pantyliners disangkal, riwayat
pemakaian sabun kewanitaan disangkal. Pasien belum pernah berobat
sebelumnya

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat keluhan serupa (-)
Riwayat keputihan berulang (-)

Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat penyakit partner seksual tidak diketahui.

Riwayat Sosial
Pasien merupakan mahasiswi di salah satu perguruan tinggi swasta, baru
pertama kali melakukan hubungan seksual, dan menyangkal pernah
melakukan hubungan seksual sebelumnya.

Riwayat pengobatan
Riwayat pengobatan sebelumnya (-)

Riwayat Alergi
Pasien menyangkal adanya riwayat alergi obat ataupun makanan, baik di
keluarga maupun pada pasien sendiri.

3
2.3. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalisata
Keadaan Umum : Baik
GCS : E4V5M6
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 120/70 mmHg
Nadi : 88 x/menit
Frekuensi napas : 20x/menit
Suhu : 36,5 0C

Pemeriksaan Kepala dan Leher


Bentuk kepala normal, rambut hitam, tidak tampak adanya penipisan rambut
alis dan bulu mata.

Ekstremitas
 Superior : Akral hangat, edema (+), kelainan pada kuku (-)
 Inferior : Akral hangat, edema (+), kelainan pada kuku (-)

Status Dermatologis
 Regio : labia mayora dekstra, introitus vagina
 UKK :
Inspeksi: Labia mayora: edema, eritema, nodul, konsistensi lunak,
indurasi (+) diameter ± 5 cm, sekret introitus vagina tidak dapat
dievaluasi.
Palpasi : lunak, nyeri tekan (+)

4
2.4. Pemeriksaan Penunjang
(-)

2.5. Diagnosis Kerja


Bartholinitis

2.6. Terapi Medikamentosa


 Azitromisin 1 gr single dose
 Doksisiklin 2x100mg
 Natrium fusidat

2.7. Edukasi
 Menjelaskan kepada pasien bahwa keluhan yang dirasakan
sekarang merupakan akibat infeksi pada kelenjar di alat
genitalnyaa.
 Menjelaskan bahwa infeksi dapat disebabkan karena perubahan
sifat dari bakteri baik digenitalnya, infeksi menular seksual, atau
infeksi dari daerah lain misalkan saluran cerna. Infeksi ini memiliki
angka kekambuhan yang cukup tinggi.
 Pasien juga diedukasi untuk menjaga higenisitas daerah
kewanitaan
 Kontrol kembali jika keluhan tidak membaik

5
2.8. Dokumentasi Pasien

Gambar 1. Foto Labia Mayor

6
BAB III
PEMBAHASAN

Bartholin merupakan sepasang kelenjar yang homolog dengan kelenjar


Cowper pada laki-laki. Kelenjar bartholin terletak dibagian bawah vagina, dan
terbungkus oleh bagian posterior bulbus vestibulum. Ukurannya masing-masing
sekitar 1cm disertai duktus dengan panjang 2cm yang bermuara ke vestibulum vagina
diantara hymen dan labia minor pada arah jam 4 dan jam 8. Kelenjar bartholin
diinervasi oleh nerus pudendus. Aliran limfatik kelenjar bartholin di drainase ke
limfomodi inguinal superficial dan limfonodi pelvis.3,5,6

Gambar 2. Anatomi Kelenjar Bartholin7

Bartholinitis merupakan infeksi bakteri yang paling umum terjadi pada vulva.
Angka kejadiannya tinggi pada usia reproduksi, terutama usia 20 tahun.7 Hal ini
karena kelenjar bartholin menjadi aktif saat usia pubertasi.3,4 Lebih sering terjadi
pada wanita yang belum menikah, nuliparaatau primipara, dan pada masyarakat
dengan tingkat sosiekonomi rendah. Abses bartholin 3 kali lebih sering terjadi
dibandingkan kista bartholin.3

7
Studi retrospektif selama 4 tahun yang dilakukan oleh Anozie dkk
menunjukkan angka kejadian infeksi bartholin mayoritas pada usia 20-29 tahun. Hal
ini diduga karena wanita pada usia reproduksi memiliki aktivitas seksual yang lebih
tinggi yang dapat menyebabkan episiotomi sehingga meningkatkan risiko gangguan
pada kelenjar bartholin. Pada penelitian ini, faktor risiko utama terjadinya abses
bartholin adalah riwayat serupa sebelumnya dan riwayat infeksi menular seksual
sebelumnya.2

Abses bartholin jarang terjadi pada usia prepubertas, dimana kelenjar


bartholin belum berfungsi. Namun, Radhakrishna dkk pada tahun 2017 melaporkan
kejadian abses bartholin rekuren pada anak berusia 7 tahun. Radhakrishna melakukan
studi literature dan mendapatkan beberapa kasus abses bartholin pada usia
prepubertas dengan pathogen penyebab tersering adalah E.coli, sama seperti pada
usia pubertas.8

Pasien pada laporan kasus ini, pasien berusia 19 tahun, dimana usia tersebut
dan kelenjar bartholin telah menjalankan fungsinya dalam mensekresikan mukus.
Sehingga meningkatkan risiko obstruksi duktus kelenjar bartholin hingga trjadi
infeksi yang menyebabkan abses.

Kelenjar bartholin mulai mengalami involusi pada usia peri menopause.


Involusi gradual dari kelenjar bartholin mulai terjadi saat wanita berusia 30 tahun.
sehingga pembesaran kelenjar bartholin pada perimenopause patut dicurigai sebagai
keganasan dan memerlukan pemeriksaan lebih lanjut.3,7

Wanita kulit hitam dan putih lebih sering mengalami abses bartholin dan kista
bartholin dibandingnkan wanita hispanik. Wanita dengan paritas tinggi memiliki
risiko lebih rendah untuk terjadinya infeksi kelenjar bartholin.7

Pada studi retrospektif dengan periode 5 tahun yang dilakukan oleh John dkk
pada tahun 2015, didapatkan faktor risiko utama terjadinya abses bartholin adalah

8
riwayat abses bartholin sebelumnya. Faktor risiko lain yang diidentifikasi pada studi
ini adalah partner seksual multipel, riwayat trauma vulva sebelumnya (episiotomy
mediolateral, dan riwayat infeksi menular seksual sebelumnya.9 Aktivitas seksual
diduga menyebabkan perubahan ekologi sehingga menimbulkan bartholintis.1

Pada pasien penggalian faktor risiko sulit dilakukan. Kemungkinan salah satu
faktor risikonya adalah adanya riwayat hubungan seksual sebagai penyebab.
Walaupun akhir-akhir ini infeksi menular seksual jarang djadikan sebagai penyebab
abses bartholin. Sedangkan riwayat keluhan serupa sebelumnya disangkal oleh
pasien.

Bartholinitis akut biasanya disebabkan oleh infeksi kista kelenjar bartholin


yang terbentuk karena obstruksi duktus ekskretorius.1 Bartholintis merupakan
penyakit klinis yang cukup sering terjadi dan disebabkan oleh organisme yang
beragam. 21 Sebelumnya infeksi kelenjar bartholin dipercaya selalu disebabkan oleh
gonococcal, namun saat ini diketahui bahwa infeksi disebabkan oleh polimikrobial,
dimana bakteri yang paling umum diisolasi dari abses bartholin adalah bakteri
anaerob dan fakultatif aerob. Mayoritas infeksi disebabkan oleh infeksi organisme
dari perineal dan flora vagina, sebagai infeksi oportunistik, sedangkan pathogen yang
ditularkan melalui hubungan seksual jarang terlibat dalam pathogenesis abses
kelenjar bartholin.1,4,10

9
Tabel Baktei Penyebab Infeksi Kelemjar Bartholin6

Bakteri anaerob umunya berasal dari flora normal vagina dan dapat
memperkuat patogenesitas bakteri aerob. Bakteri anaerob yang sering ditemukan
adalah spesies Bakteroid dan Peptostreptococcus. Sedangkan bakteri aerob yang
sering menjadi penyebab abses bartholin adalah E. coli dan S. aureus. Namun dari
keseluruhan bakteri, E.coli merupakan bakteri yang paling sering diisolasi dari kultur
abses bartholin.3,6,11

Pada penelitian retrospketif yang dilakukan oleh Anozie dkk, kultur mikroba
positif pada hampir sebagian besar kasus, dengan E.coli sebagai penyebab terbanyak
(88,9%), dengan 60% menunjukkan infeksi mikroba multipel. Sebanyak 22,2%
menunjukkan infeksi N.gonorrhea pada isolasi bakteri, hal ini mengkonfirmasi
hubungan seksual sebagai salah satu factor risiko terjadinya abses bartholin.2

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, N. gonorrhea dan C. trachomatis


memiliki peran yang kecil terhadap kejadian infeksi kelenjar bartholin. Abses
bartholin tidak lagi dianggap sebagai penyakit yang hanya disebabkan oleh infeksi
menular seksual. Tetapi pasien dengan bartholinitis perlu dipastikan bahwa tidak

10
mengalami IMS, karena kadang dapat disebabkan oleh infeksi menular seksual
walaupun jarang, serta agar dapat dicapainya respon terapi antibiotik yang
adekuat.3,11,12

Pada sebuah laporan kasus oleh Cummins dan Atia pada tahun 1994, terjadi
sebuah kasus abses bartholinitis yang disebabkan oleh Salmonella sp. Sebagai
komplikasi dari bacteria enteritis.10 Salah satu pathogen intestinal lain yang dapat
menjadi penyebab abses bartholin adalah Klebsiella. Selain itu, Pinsky dkk pada
tahun 2009, melaporkan kasus abses bartholin pada wanita berusia 39 tahun yang
disebabkan oleh infeksi Klebsiella pneumonia yang berasal dari kontaminasi fekal.
Keluhan berulang mengindikasikan terdapat bakteri Klebsiella pada traktus
gastrointestinal pasien atau pasangan seksual pasien. Infeksi oleh pathogen ini
ditandai dengan adanya secret hipermucoviscous.13

Ketika mendapatkan pasien dengan infeksi kelenjar bartholin, tenaga medis


harus mempertimbangkan korelasi antara manifestasi klinis dan kemungkinan
pathogen penyebab infeksi.4

Pada pasien ini, tidak dilakukan kultur dan uji sensitivitas kuman, sehingga
tidak diketahui pathogen penyebab abses bartholin pada pasien ini.

Normalnya kelenjar bartholin tidak teraba kecuali apabila terjadi gangguan


pada kelenjar tersebut.3 Duktus sekretoriusnya yang sempit menyebabkan timbulnya
risiko obstruksi. Obstruksi duktus dapat menyebabkan retensi produk yang
seharusnya di sekresikan, sehingga dapat menimbulkan kista atau abses.4

Bartholinitis adalah peradangan akut pada kelenjar bartholin. Baik duktus


maupun kelenjar terlibat dan menunjukan reaksi inflamasi. Duktus bartholin rentan
mengalami obstruksi terutama dibagian orifisium yang bermuara ke vestibulum.
Penyumbatan saluran dapat terjadi akibat oklusi noninfeksius ostium atau infeksi dan
edema yang menekan duktus. Pembengkakan duktus bartholin dapat disebabkan oleh

11
trauma vestibular, oklusi iatrogenic paska pembedahan, penyempitan duktus
konegnital, atau sumbatan oleh secret sehingga terjadi inflamasi.5

Obstruksi tersebut kemudian menyebabkan akumulasi sekret kelenjar


bartholin sehingga terjadi dilatasi kistik kelenjar bartholin. Kandungan kista bartholin
yang tidak terinfeksi berupa secret jernih dan translusen, dimana biasanya hanya
terjadi respon inflamasi ringan pada jaringan sekitar. Abses bartholin dapat terbentuk
akibat infeksi primer dari kelenjar bartholin atau karena infeksi sekunder dari kista
bartholin. Sehingga kista bartholin tidak harus terbentuk sebelum terbentuknya abses
bartholin. Abses dikaitkan dengan reaksi inflamasi akut pada stroma yang
mengelilingi duktus dan pembentukan abses yang purulen didalam kelenjar.5,9

Pada bartholinitis, saluran duktus menjadi membengkak dan orifisiumnya


akan nampak sebagai macula merah disertai kongesti, pada keadaan normal orifisium
duktus bartholin ini tidak terlihat. Inflamasi ini dapat mengalami resolusi dan sembuh
sepenuhnya, namun lebih sering berlanjut menjadi abses kelenjar bartholin dan diskar
dapat keluar melalui dinding vagina bagian bawah. Infeksi kadang berlanjut dalam
bentuk kronis dengan eksaserbasi periodik dan pembentukan abses. Duktus dapat
mengalami penyembuhan disertai fibrosis yang akan menutup orifisium sehingga
menyebabkan terbentuknya kista. 5,9

Abses bartholin biasanya hanya menyerang satu sisi kelenjar. Ketika abses
sudah terbentuk, nyeri dan dispareuni merupakan keluhan utama yang sering
dikeluhkan. Nyeri dapat bervariasi mulai dari rasa tidak nyaman hingga nyeri berat.
Gejala lain yang dapat menyertai seperti perasaan penuh dan mengganjal, limitasi
aktivitas seperti berjalan, duduk, atau aktivitas seksual yang menyebabkan nyeri
vulvar. Demam dapat muncul pada sepertiga pasien. Namun gejala sistemik sangat
jarang muncul sebagai manifestasi klinis.1,2,3,6,14,15

Keluhan utama pasien pada laporan kasus ini, sesuai dengan keluhan utama
yang sering dikeluhkan pada abses bartholim, yaitu nyeri pada daerah kemaluan.

12
Gejala penyerta yang timbul pada pasien adalah berupa nyeri saat kencing dan
keputihan. Tidak terdapat gejala sistemik, seperti demam yang muncul pada pasien.

Pada studi resropektif yang dilakukan oleh Kessous dkk pada tahun 2013,
mendapatkan hasil kultur positif pada sebanyak 126 (61,8%) dari 219 pasien abses
bartholin. Hasil kultur positif memiliki hubungan yang signifikan dengan gejala klinis
demam lebih dari 37,5C, leukositosis > 12.000sel/mL, dan neutrofilia > 85%
dibandingkan dengan kelompok dengan hasil kultur yang negatif. Mayoritas kuman
penyebab bartholinitis primer dan rekuren adalah E.coli dengan persentase 43,6%
terutama pada kelompok abses bartholin rekuren. Gejala demam memiliki hubungan
yang signifikan dengan bakteri anerob sebagai penyebab. Berdasarkan hasil
penelitiannya, Kessous dkk menyarankan pemberian antibiotic yang memiliki
cakupan untuk E.coli sebagai terapi komplementer untuk tindakan pembedahan pada
pasien dengan abses kelenjar bartholin yang disertai munculnya gejala sistemik.
Antibiotic yang dapat dijadikan pilihan adalah amoksisilin klavulanat.4

Pada penelitian tersebut Kessous dkk juga tidak menemukan adanya pathogen
infeksi menular seksual (IMS) sebagai pathogen penyebab abses kelenjar bartholin.
Sehingga Kessous dkk tidak menyarankan skiring rutin untuk pathogen IMS seperti
N. gonorrhea dan C. trachomatis pada pasien dengan abses bartholin. Namun, limitasi
penelitian ini adalah tidak digunakannya swab khusus dan polymerase chain reaction
(PCR) untuk mendeteksi N. gonorrhea dan C. trachomatis.4

Pada penelitian yang dilakukan Rees pada tahun 1967, dari keseluruhan
pasien bartholinitis yang disebabkan oleh gonococcus, hanya 50% pasien bartholinitis
yang menunjukkan secret mukoid atau mukopurulen, sedangkan 50% lainnya
menunjukkan secret bartholin yang normal walaupun terinfeksi gonococcus.
Sehingga Rees menyimpulkan bahwa 50% wanita yang terinfeksi oleh gonorrhea
asimptomatis.5

13
Pada infeksi kelenjar bartholin terlihat pembengkakan lunak pada bagian
posteroinferior labia mayor yang memanjang ke dalam dasar labia minor, dengan
bentuk yang khas. Ukurannya dapat bervariasi hingga mencapai lebih dari 8cm. Kulit
akan tampak kemerahan dan jaringan sekitar akan mengalami indurasi dan edema.
Abses bartholin umumnya unilateral dan meluas hingga ke labia mayor sehingga
menyebabkan vulva tampak tidak simetris dan dapat disertai diskar vagina. Pada
palpasi biasanya didapatkan nyeri tekan.2,3,6

Abses yang cukup besar meluas hingga ke labia mayor dapat menyebabkan
rupture kulit dan drainase spontan. Ketika secret tersebut terdrainase melalui kulit
yang rupture, pasien akan merasakan perbaikan gejala. 3,6

Diagnosis abses bartholin dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik


ketika didapatkan massa berfluktuasi yang menonjol disertai nyeri tekan pada bagian
posterior introitus. Tidak ada tes yang perlu dilakukan untuk menegakkan
diagnosis.2,3,12,14

Diagnosis bartholinitis pada pasien ditegakkan berdasarkan anamnesis dan


pemeriksaan fisik, dimana didapatkan labia mayor dekstra edema, eritema, disertai
massa konsistensi lunak diameter ± 5 cm, nyeri tekan (+).

Eksudat dari kelenjar bartholin didapatkan dengan melakukan pemijatan


disepanjang duktus. Swab diambil dari vagina, urethra, endoserviks, dan rectum
untuk kultur dan uji sensitivitas. Pemeriksaan darah tidak diperlukan pada abses tanpa
komplikasi. Biopsy diperlukan pada pasien berusia lebih dari 40 tahun, gagal dengan
terapi rutin, adanya riwayat malignansi, dan massa kronis atau tidak nyeri di area
vagina.16

Infeksi pada kelenjar bartholin harus dapat dibedakan dari massa vulvar
lainnya. Diagnosis banding terpenting adalah karsinoma bartholin. Diagnosis banding
lain adalah lesi solid dan kistik pada vulva, seperti kista inklusi epidermal,

14
hidradenoma papilliferum, lipoma, fibroma, leiomioma, dan squamous cell
carcinomapada vestibulum.3 Abses bartholin dan kista bartholin harus dibedakan dari
penyakit dengan massa vulvar lainnya. Adapun penyakit dengan massa vulvar
meliputi7:

Tabel 2. Diagnosis Banding Lesi Vulvar7

Peled dkk pada tahun 2018 melakukan studi retrospektif pada 294 wanita
yang didiagnosis abses vulvar, 267 diantaranya mengalami abses bartholin. Peled dkk

15
menemukan perbedaan manifestasi klinis yang signifikan antara pasien dengan abses
vulvar bartholin dan abses vulvar non bartholin. Pada abses vulvar non bartholin,
gejala utama yang timbul berupa lesi eritematosa yang bengkak dan sangat nyeri.
Sedangkan pada abses bartholin berupa pembengkakan labia mayor saja. Abses
vulvar non bartholin dapat merupakan perluasan anterior dari abses bartholin, kista
sebasea yang terinfeksi, atau folukilitis yang menyebabkan terbentuknya abses pada
vulva.17

Tatalaksana pada infeksi kelenjar bartholin dapat berupa konservatif atau


operatif bergantung gejala klinis pasien dan ukuran massa. Untuk mengatasi rasa
tidak nyaman dapat dilakukan kompres air hangat atau warm bath (Sitz), serta
pemberian analgesik. Kelenjar bartholin yang terinfeksi memerlukan terapi antibiorik
spectrum luas. Pada sebuah studi observasi, tindakan operatif tidak perlu menjadi
terapi utama, dimana pada studi tersebut mayoritas pasien mengalami perbaikan
gejala dengan pemberian terapi konservatif. Terapi antibiotik yang diberikan berupa
metronidazole 400mg dua kali sehari fan penisilin atau eritromisin 250mg empat kali
sehari. Pasien dengan gonorrhea juga diberikan probenecid 1 g dan ampicilin 3,5g.
Perbaikan gejala yang terjadi berupa hilangnya pembengkakan, hilangnya rasa tidak
nyaman, dan drainase duktus yang membaik.16

Pilihan terapi antibiotik bergantung pada pemeriksaan klinis. Antibiotik tidak


diperlukan kecuali jika terjadi selulitis. Jika terdapat selulitis, perlu diberikan
antibiotic spectrum luas.3,18 Antibiotik umumnya diberikan untuk mencegah
penyebaran infeksi, terutama pada pasien yang menunjukkan gejala sistemik. Selain
itu, antibiotik dapat dijadikan sebagai terapi utama apabila abses kelenjar bartholin
dianggap tidak cukup matang untuk tindakan drainase, serta dapat dijadikan sebagai
terapi lini kedua apabila tidak terdapat perbaikan klinis setelah dilakukan drainse
abses.4 Karena abses kelenjar bartholin umumnya disebabkan oleh polimikrobial
(anerob dan aerob), pada praktik klinis sering kali diberikan terapi polifarmasi hingga
empat jenis antibiotik.5,15

16
Apabila terdapat indikasi bahwa abses kemungkinan disebabkan oleh infeksi
gonococcal dari riwayat kontak atau temuan mikroskopis dari specimen genital atau
secret yang di aspirasi, antibiotic pilihan adalah amoksisilin ditambah probenicid atau
ciprofloxacin atau spectinomycin. Umumnya infeksi gonococcal akan disertai infeksi
Chlamydia, sehingga terapi dapat ditambahkan dengan pemberian antibiotic
doksisiklin atau eritromisin. Apabila bakteri penyebab tidak diketahui, disarankan
untuk memberikan terapi antibiotic kombinasi spectrum luas yaitu cotrimoxazol
ditambah metronidazole atau amoksisilin ditambah metronidazole.10,19 Meskipun
hingga saat ini terapi antibiotic ideal untuk mengatasi infeksi kelenjar bartholin belum
diketahui.20\

Pada pasien dalam laporan kasus ini, diberikan tiga buah antibiotic meliputi
doksisiklin, azitromisin, dan natrium fusidat.

Abses bertholin persisten atau rekuren mungkin memerlukan tindakan


pembedahan.2 Tatalaksana berupa terapi pembedahan yang memiliki keterkaitan
dengan morbiditas yang tinggi, seperti terbentuknya sikatrik, dispareuni, dan
rekurensi.3 Tetapi Terapi pembedahan umumnya bertujuan untuk menghilangkan
abses dengan segera serta membentuk duktus atau saluran keluar dari kelenjar
bartholin.14

Berbagai metode terapi pembedahan meliputi aspirasi, insisi drainase,


marsupialisasi, operasi laser, dan eksisi total telah banyak dilakukan. Tidak ada
konsensus yang menyatakan terapi terbaik untuk mengatasi abses bartholin. Pilihan
terapi didasarkan atas kondisi pasien, ketersediaan alat, dan pengalaman.10,16,21
Pilihan terapi terbaik untuk penyakit ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut.2,11

Insisi dan drainase merupakan prosedur instan yang dapat langsung mengatasi
gejala nyeri dan tidak nyaman pada pasien. Tetapi memiliki angka rekurensi yang
cukup tinggi yaitu sebesar 5-15%.7,16 Seringkali diperlukan pembentukan ostium baru
untuk mendrainase secret dan mencegah reakumulasi secret didalam kelenjar

17
bartholin. Terapi yang dapat menawarkan resolusi permanen antara lain
marsupialisasi dalam general anastesia atau insisi drainase yang diikuti dengan
pemasangan kateter word. Namun apabila terjadi rekurensi, disarankan untuk
dilakukan eksisi kelenjar.19

Prosedur insisi drainase yang disertai pemasangan kateter Word, prosedur ini
umumnya dilakukan pada pasien rawat jalan dan tidak memerlukan rawat inap.19

1. Pasien diposisikan dalam posisi litotomi, kemudian dilakukan sterilisasi


area tindakan dengan povidone iodine.
2. Berikan anastesi local dengan melakukan infiltrasi pada kulit yang akan
dilakukan insisi.
3. Lakukan insisi selebar 1cm dengan scapel nomor 11 untuk menembus
kulit dan dinding abses. Insisi harus dilakukan dipermukaan bagian dalam
abses, tepat dibagian luar dari hymen, pada arah jam 4 atau 8 sesuai sisi
yang terkena. Hal ini dilakukan untuk sedapat mungkin menyerupai posisi
anatomis orifisium duktus kelenjar bartholin sehingga menghindari
terbentuknya fistula. Kemudian lakukan drainase
4. Setelah mengosongkan kavitas kelenjar bartholin, masukkan ujung katetr
Word, kemudian kembangkan balon kateter dengan cairan normal saline.
Ujung kateter yang terbuka dapat diletakkan di vagina untuk mencegah
tarikan akibat perubahan posisi atau peregrakan perineum.

18
Gambar 3. Insisi dan Drainase, disertai Pemasangan kateter Word19

Gambar 4. Kateter Word16

Pemberian antibiotik sebagai terapi komplementer tindakan pembedahan


disarankan, meskipun antibiotik jangka panjang dianggap tidak bermanfaat, tidak ada
pengobatan lain selain marsupilasi yang dianjurkan.1 Karena menurut Lilungulu dkk,
terapi pembedahan berupa insisi dan drainase umumnya menyebabkan rekurensi
abses bartholin. Teknik marsupialisasi lebih dipilih untuk mencegah rekurensi.22

19
Gambar 5. Teknik Marsupialisasi7

Komplikasi yang sering timbul pada bartholintis meliputi perdarahan.


Komplikasi berat pada infeksi kelenjar bartholin dapat berupa sepsis, selulitis, dan
necrotizing fasciitis.1,4

Angka rekurensi berkisar 5-15% setelah episode pertama bartholinitis dan


angka rekurensi ini tidak berubah dengan adanya tindakan marsupialisasi.1 Dimana
biasanya rekurensi terjadi 32 bulan setelah episode pertama abses bartholin.4
Rekurensi umumnya terjadi karena buruknya higenisitas diri terutama pada wanita di
negara berkembang.2

20
BAB IV
KESIMPULAN

Telah dilaporkan pasien perempuan berusia 19 tahun dengan diagnosis


bartholinitis, berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan status
lokalis pada pasien.

Pada pemeriksan fisik didapatkan labia mayor dekstra edema dan eritema,
disertai adanya massa konsistensi lunak, indurasi (+) diameter ± 5 cm, nyeri tekan
(+), sekret introitus vagina tidak dapat dievaluasi. Pada pasien diberikan terapi
antibiotik berupa Azitromisin 1 gr single dose, Doksisiklin 2x100mg, serta antibiotic
topikal Natrium fusidat.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Choquet et al. 2016. Bartholinitis due to Aggregatibacter aphrophilus: A Case


Report. BMC Infectious Disease, 16(574), pp.1-3. Available at:
https://bmcinfectdis.biomedcentral.com/track/pdf/10.1186/s12879-016-1908-
2. Anozie et al. 2016. Incidence, Presentation, and Management of Bartholin
Gland Cysts/Abscesses: A Four Year Review in Federal Teaching Hospital,
Abakaliki, South-East Nigeria. Journal of Obstetrics and Gynecology, 6, pp. 299-
305. Available at: https://file.scirp.org/pdf/OJOG_2016042617575247.pdf
3. Pundri J and Auld BJ. 2008. A Review of the Management of Disease of the
Bartholin’s Gland. Journal of Obstetrics and Gynecology, 28(2), pp.161-165.
Available at: http://cyber.sci-
hub.tw/MTAuMTA4MC8wMTQ0MzYxMDgwMTkxMjg2NQ==/pundir2008.pdf
4. Kessous R et al. 2013. Clinical and Microbiological Characteristics of Bartholin
Gland Abscesses. American College of Obstetricians and Gynecologist, 122(4),
pp.794-799. Available at: http://twin.sci-
hub.tw/5616/268e1a0d5bfda45d84a03bd9d5b3fbb7/kessous2013.pdf
5. Rees E. 1967. Gonococcal Bartholinitis. Brit Journal, 43, pp.150-156. Available
at: https://sti.bmj.com/content/sextrans/43/3/150.full.pdf
6. Lee MY et al. 2014. Clinicals Pathology of Bartholins Gland: A Review of the
Literature. Current Urology, 8, pp.22-25. Available at:
https://www.karger.com/Article/Pdf/365683
7. Omole F et al. 2003. Management of Bartholin’s Duct Cyst and Gland Abscess.
American Family Physician, 68(1), pp. 135-140. Available at:
https://pdfs.semanticscholar.org/8326/f497df3f3f6e9a51ac86716a221252881659.pd
8. Radhakrishna V et al. 2017. Bartholin’s Gland Abscess in a Prepubertal Female:
A Case Report. Elseveier, 24, pp.1-2. Available at: http://twin.sci-
hub.tw/6568/56b3d461ab67b4ec641539eb110543c5/radhakrishna2017.pdf

22
9. John CO et al. 2015. Bartholin’s Cyst and Abscesses in a Tertiery Health
Facility in Port Harcout, South0South Nigeria. Journal of Medical and
Biological Science Research, 1(8), pp. 107-111. Available at:
https://pdfs.semanticscholar.org/f083/60bc3c5efe17ef3dcdc04eaf7da1a4208cbb.pdf
10. Cummins AJ and Atia WA. 1994. Bartholin’s Abscess Complicating Food
Poisioning with Salmonella panama: A Case Report. Genitourin Medical, 70,
pp.46-48. Available at: https://sti.bmj.com/content/sextrans/70/1/46.full.pdf
11. Saeed NK and Al-Jufairi ZA. 2013. Bartholin”s Gland Abscesses Caused by
Streptococcus pneumonia in a Primigravida. Journal of Laboratory Physician,
5(2), pp. 130-132. Available at: http://medind.nic.in/jba/t13/i2/jbat13i2p130.pdf
12. Goldsmith LA et al. 2012. Fitzpatrick Dermatology in General Medicine.
NewYork: McGrawHill. Eight Edition.
13. Pinsky BA et al. 2009. BArtholin’s Abscess Caused by Hypermucoviscous
Klebsiella Pneumoniae. Journal of Medical Microbiolgy, 58, pp. 671-673.
Available at:
http://www.microbiologyresearch.org/docserver/fulltext/jmm/58/5/671.pdf?expires=
1542540702&id=id&accname=guest&checksum=B731E38CB1A18245551F8F315620D2
C5
14. Women and Children Health. Bartholin’s Cyst/Abscess. Available at:
https://pdfs.semanticscholar.org/f083/60bc3c5efe17ef3dcdc04eaf7da1a4208cbb.pdfh
ttps://www.nbt.nhs.uk/sites/default/files/attachments/Bartholin%27s%20Cyst-
Abscess_NBT002320.pdf
15. Pernoll ML. 2001. Handbook of Obstetrics and Gynecology. Newyork: Mc Graw
Hill. Tenth Edition.
16. Patil S et al. 2007. Bartholin’s Cyst and Abscesses. Journal of Obstetrics and
Gynecology, 27(3), pp. 241-245. Available at:
https://pdfs.semanticscholar.org/8326/f497df3f3f6e9a51ac86716a221252881659.pdf
17. Peled Y et al. 2018. Clinical Manifestations and Management of Hospitalized
Women with Bartholin Versus Non-bartholin Vulvar Abscess. Meddocs, 1,

23
pp.1001-1004. Available at: https://meddocsonline.org/annals-of-obstetrics-and-
gynecology/Clinical-manifestations-and-management-of-hospitalized-women-with-
bartholin-versus-non-bartholin-vulvar-abscess.pdf
18. Kushnir VA and Mosquera C. 2009. Novel Technique for Management of
Bartholin Gland Cyst and Abscesses. The Journal of Emergency Medicine,
36(4), pp. 388-390. Available at: http://moscow.sci-
hub.tw/1675/d8d98cba1526299745f10d4db3b65a74/kushnir2009.pdf
19. Hoffman et al. 2012. Williams Gynecology. Newyork: Mc Graw Hill. Second
Edition.
20. Bhide A et al. 2010. Microbiology of Cyst/Abscesses of Bartholin’s Gland:
Review of Empirical Antibiotics Therapy Against Microbial Culture. Journal of
Obstetrics and Gynecology, 30(7), pp.701-703. Available at: http://backup.sci-
hub.tw/2638/5769d50947fef5f0ecd450791f15d9b3/bhide2010.pdf
21. Wechter ME et al. 2009. Management of Bartholin Duct Cyst and Abscesses.
Journal of Obstetrics and Gynecology, 64(6), pp. 395-404. Available at:
http://twin.sci-hub.tw/5728/9e713de6f28e09fb363bc310becb6ff3/wechter2009.pdf
22. Lilungulu A et al. 2017. Recurrent Huge Left Bartholin’s Gland Abscess for One
Year in a Teenager. Hindawi, pp.1-3. Available at:
http://downloads.hindawi.com/journals/criid/2017/9151868.pdf

24

Anda mungkin juga menyukai