Anda di halaman 1dari 29

KEPANITERAAN KLINIK

ILMU PENYAKIT DALAM

REFLEKSI KASUS

“ANEMIA APLASTIK”

Qisthinadia Hazhiyah Setiadi

H1A013053

PEMBIMBING

dr. L Ahmadi Jaya Sp.PD

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN


ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT PROVINSI NTB
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan puji syukur kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya
penulis dapat menyelesaikan refleksi kasus ini. Refleksi kasus ini disusun dalam rangka mengikuti
Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Provinsi Nusa
Tenggara Barat.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
pembimbing dr. L Ahmadi Jaya Sp.PD yang telah banyak memberikan bimbingan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tinjauan pustaka ini masih banyak kekurangan. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan
refleksi kasus ini.
Semoga refleksi kasus ini dapat memberikan manfaat dan tambahan pengetahuan khususnya
kepada penulis dan kepada pembaca dalam menjalankan praktek sehari-hari sebagai dokter. Terima kasih.

Mataram, 14 Desember 2017

Penulis

Kepaniteraan Klinik Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam 2


2017
DAFTAR ISI

Halaman Judul 1
Kata Pengantar 2
Daftar Isi 3
BAB I PENDAHULUAN 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5
2.1 Definisi 5
2.2 Epidemiologi 5
2.3 Etiologi 5
2.4 Patofisiologi 7
2.5 Klasifikasi 9
2.6 Manifestasi Klinis 9
2.7 Diagnosis 10
2.8 Penatalaksanaan 12
2.9 Prognosis 16
BAB III LAPORAN KASUS GINEKOLOGI 18
3.1 Identitas 18
3.2 Anamnesis 18
3.3 Pemeriksaan Fisik 19
3.4 Pemeriksaan Penunjang 24
3.5 Resume 25
3.6 Assessment 26
3.7 Planning 26
3.8 Prognosis 26

BAB IV PEMBAHASAN 27
BAB V PENUTUP 38
DAFTAR PUSTAKA 29

Kepaniteraan Klinik Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam 3


2017
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Anemia aplastik merupakan kegagalan hemopoeisis yang relatif jarang ditemukan
namun berpotensi mengancam jiwa. Penyakit ini ditandai oleh pansitopenia dan aplasia
sumsum tulang. Dasar penyakit ini adalah kegagalan sumsum tulang dalam memproduksi
sel-sel hematopoietik dan limfopoetik, yang mengakibatkan tidak ada atau berkurangnya sel-
sel darah di darah tepi.1,2
Anemia aplastik dapat diwariskan atau didapat. Perbedaan antara keduanya bukan
berdasarkan pada usia pasien, namun berdasarkan pemeriksaan klinis dan laboratorium. Oleh
karena itu, pasien dewasa mungkin membawa kelainan herediter yang muncul di usia
dewasa.1
Gejala-gejala yang dapat timbul pada pasien anemia aplastik merupakan gejala
pansitopenia seperti pucat, perdarahan, dan infeksi. Etiologi penyakit ini kebanyakan tidak
diketahui, maka tatalaksananya juga belum optimal dan sering kali menimbulkan masalah-
masalah baru pada pasien, bukan hanya memperburuk kondisi pasien atau bahkan dapat
mengancam jiwa pasien.2

Kepaniteraan Klinik Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam 4


2017
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Anemia aplastik merupakan hasil dari kegagalan produksi sel darah pada sumsum tulang
belakang. Anemia aplastik merupakan suatu kelainan dari sindrom klinik yang diantaranya
ditandai oleh defisiensi sel darah merah, neutrofil, monosit dan platelet tanpa adanya bentuk
kerusakan sumsum tulang lainnya.3

Anemia aplastik merupakan anemia yang disertai oleh pansitopenia pada darah tepi yang
disebabkan oleh kelainan primer pada sumsum tulang dalam bentuk aplasia atau hipoplasia.
Karena sumsum tulang pada sebagian besar kasus bersifat hipoplastik, bukan aplastik total, maka
anemia ini disebut juga sebagai anemia hipoplastik. Dalam pemeriksaan sumsum dinyatakan
hampir tidak ada hematopoetik sel perkusi dan digantikan oleh jaringan lemak.3

2.2 Epidemiologi

Insidensi anemia aplastik didapat berkisar antara 2-6 kasus per 1 juta penduduk per tahun.
Anemia aplastik didapat umumnya muncul pada usia 15-24 tahun, puncak insidensi kedua yang
lebih kecil muncul setelah usia 60 tahun. Umur dan jenis kelamin bervariasi secara geografis.
Perjalanan penyakit pada pria juga lebih berat dibandingkan pada perempuan. Perbedaan umur
dan jenis kelamin mungkin disebabkan oleh faktor risiko pekerjaan, sedangkan perbedaan
geografis mungkin disebabkan oleh pengaruh lingkungan.1,4

2.3 Etiologi

Penyebab anemia aplastik sulit ditentukan, terutama karena banyak kemungkinan yang harus
disingkirkan. Jika tidak ditemukan penyebab yang pasti maka digolongkan ke dalam penyebab
idiopatik. Sebagian besar anemia aplastik bersifat idiopatik. Pendapat lain menyatakan bahwa

Kepaniteraan Klinik Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam 5


2017
penyebab tersering dari kegagalan sumsum tulang adalah iatrogenik karena kemoterapi atau terai
radiasi.1,2 Beberapa etiologi anemia aplastik antara lain1:

a. Toksisitas langsung
 Iatrogenik: radiasi, kemoterapi
 Benzena
Benzena merupakan bahan kimia yang paling berhubungan dengan anemia
aplastik. Meskipun diketahui sebagai penyebab, bahan ini sering digunakan dalam
bahan kimia pabrik, sebagai obat, pewarna pakaian, dan bahan yang mudah
meledak. Selain penyebab keracunan sumsum tulang, benzena juga menyebabkan
abnormalitas hematologi yang meliputi anemia hemolitik, hiperplasia sumsum,
metaplasia mieloid, dan akut mielogenous leukemia. Benzena dapat meracuni
tubuh dengan cara dihirup dan dengan cepat diserap oleh tubuh, namun terkadang
benzena juga dapat meresap melalui membran mukosa dan kulit dengan intensitas
yang kecil.
 Metabolit intermediet beberapa jenis obat
b. Penyebab yang diperantarai imun
 Iatrogenik: transfusion associated graft versus host disease
 Fasciitis eosinofilik
 Infeksi
Hepatitis merupakan infeksi yang paling sering terjadi sebelum terjadinya
kegagalan sumsum. Virus epsteinbarr ditemukan di sumsum beberapa pasien,
tanpa riwayat infeksi epsteinbarr sebelumnya. Sitomegalovirus dapat menekan
produksi sel sumsum tulang.4
 Kehamilan
Pada kehamilan, kadang ditemukan pansitopenia disertai aplasia sumsum tulang
yang berlangsung sementara. Hal ini mungkin disebabkan oleh estrogen pada
seseorang dengan predisposisi genetik, adanya zat penghambat dalam darag atau
tidak ada perangsang hematopoesis.
 Metabolit intermediet beberapa jenis obat

Kepaniteraan Klinik Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam 6


2017
Anemia aplastik terkait obat terjadi karena hipersensitivitas atau dosis obat yang
berlebihan, obat yang banyak menyebabkan anemia aplastik adalah
kloramfenikol.
 Anemia aplastik idiopatik

Anemia aplastik didapat dan anemia aplastik herediter memiliki etiologi yang berbeda,
seperti yang terlihat dalam tabel berikut4:

Tabel 1. Etiologi Anemia Aplastik

2.4 Patofisiologi

Pansitopenia dalam anemia aplastik menggambarkan kegagalan proses hematopoetik


yang ditunjukkan dengan penurunan drastis jumlah sel primitif hematopoetik. Tiga mekanisme
dijelaskan pada kegagalan sumsum tulang yaitu5:

a. Kelainan sel induk (stem cell)


b. Kelainan imunologi (humoral maupun cell mediated, limphokine mediator)
c. Kelainan faktor lingkungan (growth factor)

Kepaniteraan Klinik Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam 7


2017
Sel sitotoksik T diperkirakan dapat bertindak sebagai faktor penghambat dalam sel
hematopoetik dalam menyelesaikan produksi hematopoesis. Efek dari imun sebagai media
penghambat dalam hematopoesis mungkin dapat menjelaskan mengapa hampir sebagian besar
pasien dengan anemia aplastik didapat memiliki respon terhadap terapi imunosupresif.3

Gambar 1. Peran Sel T Sitotoksik dalam Anemia Aplastik1


Peningkatan produksi interleukin-2 mengawali terjadinya ekspansi poliklonal sel T. Limfosit
T sitotoksik memperantarai destruksi sel-sel asal hemopoietik pada kelainan ini. Sel-sel tersebut
menghasilkan interferon γ dan TNFα yang merupakan inhibitor langsung hemopoiesis dan
meningkatkan ekspresi Fas pada sel-sel CD34+. Interferon γ memiliki efek menghambat
transkripsi gen dan masuk ke dalam siklus sel. Selain itu juga menginduksi pembentukan nitic
oxide synthase (NOS) dan produksi gas toksik nitrit oksida yang mungkin menyebankan efek
toksiknya menyebar.1,2

2.5 Klasifikasi

Berdasarkan derajat pansitopenia darah tepi, anemia aplastik diklasifikasikan menjadi1:


a. Anemia aplastik tidak berat
Sumsum tulang hiposeluler namun sitopenia tidak memenuhi kriteria berat.
b. Anemia aplastik berat

Kepaniteraan Klinik Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam 8


2017
 Selularitas sumsum tulang <25%
 Sitopenia sedikitnya dua dari tiga sel darah: hitung neutrofil <500/µL; hitung
trombosit <20.000/µL; hitung retikulosit absolut <60.000/µL
c. Anemia aplastik sangat berat
 Selularitas sumsum tulang <25%
 Sitopenia sedikitnya dua dari tiga sel darah: hitung neutrofil <200/µL; hitung
trombosit <20.000/µL; hitung retikulosit absolut <60.000/µL

2.6 Manifestasi Klinis

Anemia aplastik mungkin muncul mendadak (dalam beberapa hari) atau perlahan-lahan.
Hitung jenis darah menentukan manifestasi klinis yang muncul. Anemia dapat menyebabkan
fatig, dispnea, dan jantung berdebar-debar. Trombositopenia menyebabkan mudah memar dan
perdarahan mukosa. Selain itu pasien sering melaporkan terdapat memar (ekimosis), bintik
merah (pteki) yang biasanya muncul pada daerah superficial tertentu, dan pendarahan pada
hidung (epitaksis). Menstruasi berat atau menorrhagia sering terjadi pada perempuan usia subur.
Pendarahan organ dalam jarang dijumpai, tetapi pendarahan dapat bersifat fatal. Neutropenia
meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Pasien juga mungkin mengeluh sakit kepala, demam,
sesak napas, penglihatan kabur, telinga berdenging.1,3,6

Kepaniteraan Klinik Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam 9


2017
Gambar 2. Manifestasi Klinis Anemia Aplastik6

2.7 Diagnosis

Diagnosis anemia aplastik ditegakkan berdasarkan keadaan pansitopenia yang ditandai oleh
anemia, leukopenia, dan trombositopenia pada darah tepi. Keadaan inilah yang menimbulkan
keluhan pucat, perdarahan, dan demam yang disebabkan oleh infeksi. Pada pemeriksaan fisik
secara umum tidak ada penampakan kecuali tanda infeksi atau pendarahan. Pada pemeriksaan
fisik biasanya tidak ditemukan hepatomegali maupun splenomegali. Disamping keadaan
pansitopenia, pada hitung jenis juga menujukkan gambaran limfositosis relatif.1,2,3,7

Penegakkan diagnosis memerlukan pemeriksaan darah lengkap dengan hitung jenis leukosit,
hitung retikulosit, dan aspirasi serta biopsi tulang.1
a. Pemeriksaan Darah Tepi
Jenis anemia yang terjadi adalah anemia normokrom normositik. Adanya eritrosit muda
dan leukosit muda dalam darah tepi menandakan bukan anemia aplastik. Grnaulosit dan
trombosit ditemukan rendah. Limfositosis relatif terdapat pada 75% kasus. Persentase
retikulosit umumnya normal.
b. Laju endap darah
Laju endap darah selalu meningkat.

Kepaniteraan Klinik Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam 10


2017
c. Faal Hemostasis
Waktu perdarahan memanjang dan retraksi bekuan buruk disebabkan oleh
trombositopenia
d. Sumsum Tulang
Diagnosis pasti anemia aplastik ditentukan berdasarkan pemeriksaan aspirasi sumsum
tulang yang menunjukkan gambaran sel yang sangat kurang, terdapat banyak jaringan
ikat dan jaringan lemak, dengan aplasia sistem eritropoietik, granulopoietik, dan
trombopoietik.2

Gambar 3. Spesimen sumsum tulang dengan biopsy pada pasien normal (A) dan pasien
anemia aplastik (B)3
Sumsum tulang biasanya mempunyai tipikal mengandung spicule dengan ruang lemak
kosong, dan sedikit sel hematopoetik. Limfosit, plasma sel, makrofag, dan sel induk
mungkin mencolok, tetapi ini mungkin merupakan refleksi dari kekurangan sel lain dari
pada meningkatnya elemen ini.3
e. Nuclear Magnetic Resonance Imaging
Dapat digunakan untuk membedakan antara lemak sumsum dan sel hemapoetik.
Pemeriksaan ini merupakan cara terbaik untuk mengetahui luasnya perlemakan karena
dapat membuat pemisahan tegas antara daerah sumsum tulang berlemak dan sumsum
tulang berselular.

Kepaniteraan Klinik Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam 11


2017
Berikut merupakan alur diagnosis anemia aplastik7:

Gambar 4. Diagnosis Anemia Aplastik7

2.8 Penatalaksanaan
Terapi definitif untuk anemia aplastik adalah transplantasi sumsum tulang. Namun kuragnya
fasilitas dibanyak tempat, serta batasan klinis termasuk usia (55 tahun) menyebabkan perlunya
diberikan berbagai modalitas terapi lain.1

Terapi Imonosupresif

Terapi imunosupresif merupakan modalitas terapi terpenting untuk sebagian besar pasien
anemia aplastik. Obat-obatan yang termasuk terapi imunosupresif adalah2:

Kepaniteraan Klinik Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam 12


2017
a. Metilprednisolon
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa metilprednisolon dosis rendah 2-4 mg/kg berat
badan /hari, dapat digunakan untuk mengurangi perdarahan dan gejala serum sickness.
Metilprednisolon dosis tinggi memberikan respons pengobatan yang baik sampai
40%. Dosis metilprednisolon adalah 5mg/kg/ berat badan secara intravena selama 8 hari
kemudian dilakukan tappering dengan dosis 1mg/kg berat badan/hari selama 9-14 hari,
lalu tappering selama 15-29 hari. Pemakaian kortikosteroid dibatasi pada keadaan
antilimfosit globulin tidak tersedia atau terlalu mahal. Efek samping antara lain ulkus
peptikum, edem, hiperglikemia, dan osteonekrosis.
b. Antilimfosit globulin (ALG)
Antilimfosit globulin adalah sitolitik sel T yang bersama dengan siklosponin berperan
dalam menghambat fungsi sel T, khususnya dalam produksi limfokin-limfokin supresif.
Pemberian ALG secara cepat akan mengurangi limfosit dalam sirkulasi sehingga
berkurang 10%, dan ketika limfosit total kembali normal berarti limfosit T aktif
jumlahnya berkurang. Sediaan ALG invitro merangsang proliferasi sel T dan
mempromosikan sekresi beberapa faktor pertumbuhan.
Antilimfosit globulin dapat diberikan dengan dosis 40 mg/kg berat badan /hari selama 12
jam dilanjutkan dengan infus yang dikombinasikan dengan metilprednisolon 1mg/kg
berat badan /hari intravena selama 4 hari. Dapat juga diberikan dosis 20mg/kg berat
badan /hari selama 4-6 jam dengan infus intravena selama 8 hari berturut- turut yang
dikombinasikan dengan prednison 40mg/m2/hari selama 5 hari dimulai pada hari
terakhir pemberian ALG. ALG dapat menyebabkan perasaan panas dingin, kemerahan,
trombositopenia dan serum sickness. Keberhasilan terapi menggunakan ALG tunggal
sekitar 50%.
c. Antitymocyt globulin (ATG)
Antitymocyt Globulin menghambat mediasi respons imun dengan mengubah fungsi sel T
atau menghilangkan sel reaktif antigen. Dosis yang diberikan 100-200mg/kg berat badan
intravena. Kontraindikasi ATG adalah reaksi hipersensitivitas, keadaan leukopenia dan
atau trombositopenia.
Penelitian yang membandingkan hasil akhir antara tata laksana anemia aplastik dengan
ATG dan transplantasi sumsum tulang (TST) dilaporkan bahwa pada 155 pasien anemia

Kepaniteraan Klinik Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam 13


2017
aplastik dewasa yang diterapi dengan TST lebih baik dibandingkan dengan penggunaan
ATG tunggal sesuai protokol terbaru.
The European blood and marrow transplant severe anemia aplastic working party
melakukan penelitian pada pasien anemia aplastik tidak berat, yang diberikan terapi
imunosupresan. Disimpulkan bahwa penggunaan kombinasi ATG dan siklosporin A lebih
baik daripada siklosporin A tunggal dalam kelompok respons hematologi, kualitas
respons dan kematian awal.
d. Siklosporin A (CsA)
Merupakan cyclic polypeptide yang menghambat imunitas humoral, sebagai inhibitor
spesifik terhadap sel limfosit T, mencegah pembentukan interleukin-2 dan interferon-y.
Dan dapat menghambat reaksi imun seperti penolakan jaringan transplan, GVHD, dan
lain-lain. Dosis awal dapat diberikan 8 mg/kg berat badan /hari peroral selama 14 hari
dilanjutkan dengan dosis 15 mg/kg berat badan /hari pada anak-anak dan 12 mg/kg/hari
pada dewasa. Dosis kemudian dipertahankan pada kadar 200-500ug/L untuk menghindari
efek toksik. Bila ditemukan efek toksik terapi dihentikan 1-4 hari untuk kemudian
dilanjutkan dengan dosis yang lebih rendah. Respons terapi dengan siklosporin tunggal
hanya sekitar 25%. Kombinasi siklosporin dengan ATG meningkatkan kecepatan remisi
sistem hematopoetik sekitar 70%.

Terapi Kombinasi

Kombinasi obat-obat imunosupresan pada terapi pasien anemia aplastik hasilnya Iebih
memuaskan dibandingkan dengan imunosupresan tunggal. Kombinasi ALG, metilprednisolon
dan siklosporin A menghasilkan remisi parsial atau total sebesar 65%.2

Regimen imunosupresi yang paling sering dipakai adalah ATG dari kuda dengan dosis
20mg/kg per hari selama 4 hari atau ATG kelinci dengan dosis 3,5mg/kg per hari selama 5 hari
ditambah CsA 2qwa12-15mg/kg dua kali per hari selama 6 bulan.1

ATG atau ALG diindikasikan pada anemia aplastik bukan berat, pasien tidak mempunyai
donor sumsum tulang yang cocok, anemia aplastik berat yang berumur lebih dari 20 tahun dan
pada saat pengobatan tidak terdapat infeksi atau perdarahan dengan granulosit lebih dari
200/mm3.1

Kepaniteraan Klinik Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam 14


2017
Transplantasi Sumsum Tulang (TST)

Transplantasi allogenik teredia untuk sebagian kecil pasien (hanya sekitar 30% yang
mempunyai saudara dengan kecocokan HLA). Dengan perbaikan umum, TST dapat memberikan
kelangsungan hidup jangka panjang sebesar 94% (dengan donor saudara yang cocok). Batas usia
untuk TST sebagai terapi primer belum dipastikan, namun pasien yang berusia lebih tua dari 30
tahun, lebih baik dipilih terapi imunosuprsif intensif sebagai upaya pertama.1

Kelompok European Bone Marrow Transplantation (EBMT) mendefinisikan respon terapi


sebagai berikut1:

 Remisi komplit: bebas transfusi, granulosit sekurang-kurangnya 2000/mm3, dan


trombosit sekurang-kurangnya 100.000/mm3
 Remisi sebagian: tidak tergantung pada transfusi, granulosit dibawah 2000/mm3, dan
trombosit dibawah 100.000/mm3
 Refrakter: tidak ada perbaikan

Gambar 5. Algoritme Penatalaksanaan Pasien Anemia Aplastik Berat1

Terapi Suportif

Tidak banyak kemajuan yang dicapai dalam pengobatan terhadap anemia aplastik dalam
satu dekade terakhir di luar modalitas yang telah diuraikan diatas. Karena itu, peran terapi

Kepaniteraan Klinik Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam 15


2017
suportif amat besar, yaitu: mencegah dan menanggulangi infeksi, menjaga nilai hemoglobin,
serta mengatasi perdarahan bila muncul. Tatalaksana suportif ditujukkan pada gejala-gejala
akibat keadaan pansitopenia.1,2

Bila terdapat keluhan akibat anemia, diberikan transfusi eritrosit sampai hemoglobin 7-8g%
atau lebih pada orang tua dan pasien dengan penyakit kardiovaskular. Transfusi ini dapat
berlangsung berulang-ulang sehingga perlu diperhatikan efek samping dan bahaya transfusi
seperti reaksi transfusi, hemolitik dan nonhemolitik, transmisi penyakit infeksi, dan penimbunan
zat besi. Risiko perdarahan meningkat bila trombosit kurang dari 20.000/mm3. Transfusi
trombosit diberikan bila terdapat perdarahan atau kadar trombosit dibawah 20.000/mm3
(profilaksis).1,2,5

Pemberian transfusi leukosit sebagai profilaksis masih controversial dan tidak dianjurkan
karena efek samping yang lebih parah daripada manfaatnya. Masa hidup leukosit yang
ditransfusikan sangat pendek. Untuk mengatasi infeksi yang timbul karena keadaan leukopenia,
dapat diberikan pemberian antibiotik profilaksis dan perawatan isolasi. Kebersihan kulit dan
perawatan gigi yang baik sangat penting, karena infeksi yang terjadi biasanya berat dan sering
menjadi penyebab kematian. Pada pasien anemia aplastik yang demam perlu dilakukan
pemeriksaan kultur darah, sputum, urin, feses, dan kalau perlu cairan serebrospinalis. Bila
dicurigai terdapat sepsis dapat diberikan antibiotik spektrum luas dengan dosis tinggi secara
intravena dan kalau penyebab demam dipastikan bakteri terapi dilanjutkan sampai 10-14 hari
atau sampai hasil kultur negatif. Bila demam menetap hingga 48 jam setelah diberikan antibiotic
secara empiris dapat diberikan anti jamur.1,2

2.9 Prognosis

Prognosis penyakit ini suka diramalkan namun pada umumnya buruk. Sekitar 2/3 pasien
meninggal 6 bulan setelah diagnosis ditegakkan, kurang dari 10-20% sembuh tanpa transplantasi
sumsum tulang, dan 1/3 pasien meninggal akibat perdarahan dan infeksi yang tidak teratasi.
Penyebab kematian umumnya adalah sepsis akibat infeksi Pseudomonas dan Stafilokokus. Pada
pasien berusia dibawah 20 tahun, angka harapan hidup setelah TST adalah sebesar 80%,
sedangkan pada pasien berusia 20-50 tahun, angka harapan hidupnya 65-70%.2,8

Kepaniteraan Klinik Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam 16


2017
Penggunaan imunosupresif dapat meningkatkan keganasan sekunder. Pada penelitian di
luar negeri dari 103 pasien yang diobati dengan ALG, 20 pasien diikuti jangka panjang berubah
menjadi leukemia akut, mielodisplasia, dan adanya risiko menjadi hepatoma. Kejadian ini
mungkin merupakan riwayat alamiah penyakit walaupun komplikasi tersebut lebih jarang
ditemukan pada transplantasi.1

Kepaniteraan Klinik Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam 17


2017
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Tn A
Umur : 29 Tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Pujut, Lombok Tengah
Suku : Sasak
Agama : Islam
Status : Menikah
Pekerjaan : ABK
No. RM : 004830
MRS : 07 Desember 2017
Waktu Pemeriksaan : 10 Desember 2017

3.2 ANAMNESIS
Keluhan Utama : lemas
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke Poli Penyakit Dalam RSUP NTB dengan keluhan lemas diseluruh
badan, lemas dirasakan sejak 2 minggu yang lalu. Pada awalnya lemas dirasakan
tidak mengganggu aktivitas pasien, namun semakin lama dirasakan semakin
mengganggu aktivitas, saat pasien berjalan badan terasa seperti akan jatuh dan kepala
pusing. Selain itu pasien juga mengeluhkan gusi pasien berdarah sehari sebelum
datang ke Poli Penyakit Dalam. Keluhan perdarahan tersebut sudah dialami pasien
berulang kali sejak 1 bulan terakhir. Pasien juga mengeluhkan BAB darah segar (+).
Riwayat epistaksis (-), BAB hitam (+) 3 minggu yll, dan BAK berwarna teh (-).
Keluhan demam disangkal saat pemeriksaan, namun pasien mengaku sudah
mengalami demam, batuk, dan pilek 4 kali dalam satu bulan terakhir. Demam terus-
menerus sepanjang hari dan membaik dengan pemberian antipiretik. Keluhan dada

Kepaniteraan Klinik Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam 18


2017
berdebar (+), penglihatan kabur (-), telinga berdenging (-), nyeri kepala (-). Nafsu
makan normal, penurunan berat badan (-), mual (-), muntah (-),batuk (-), sesak (- ),
nyeri dada (-). Riwayat terapi radiasi (-), kemoterapi (-), konsumsi obat-obatan
tertentu (-), terpapar zat kimia (-).
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya. Riwayat penyakit
hipertensi (-), DM (-), ginjal (-), hati (-), maag (-), asma (-) disangkal oleh pasien.
Riwayat Penyakit Keluarga
 Tidak ada anggota keluarga pasien yang mengalami keluhan serupa.
 Riwayat HT (-).
 Riwayat DM (-).
Riwayat Pengobatan :
Pasien belum mendapatkan pengobatan terkait dengan keluhannya saat ini
Riwayat Alergi
Pasien menyangkal adanya riwayat alergi makanan maupun obat-obatan
Riwayat Pribadi dan Sosial
Pasien seorang wiraswasta, riwayat merokok (+), alkohol (-)

3.3 PEMERIKSAAN FISIK


Status Generalis
Keadaan Umum : Sedang
Kesadaran : Compos Mentis / E4V5M6
Vital sign
Tekanan Darah : 110/ 60 mmHg
Nadi : 112 x/menit, reguler, kuat angkat
Pernapasan : 20 x/menit
Suhu : 37° C
Status Gizi
Berat Badan : 60 kg
Tinggi Badan : 165 cm
BMI : 22,01

Kepaniteraan Klinik Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam 19


2017
Status Lokalisalis
` Kepala:
• Ekspresi wajah : tidak tampak kesakitan
• Bentuk dan ukuran : normal
• Rambut : tersebar merata, rontok (-)
• Edema : (-)
• Malar rash : (-)
• Parese N. VII : (-)
• Nyeri tekan kepala : (-)
• Massa : (-)
Mata:
• Simetris
• Alis : normal
• Exopthalmus : (-/-)
• Ptosis : (-/-)
• Edema palpebra : (-/-)
• Konjungtiva : anemis (+/+)
• Sklera : ikterus (-/-)
• Pupil : isokor, bulat, refleks pupil (+/+)
• Kornea : normal
• Lensa : katarak (-/-)
• Pergerakan bola mata ke segala arah : normal
• Nyeri tekan retroorbita : (-)
Telinga:
• Bentuk : normal simetris antara kiri dan kanan
• Lubang telinga : normal, sekret (-/-)
• Nyeri tekan tragus : (-/-)
• Peradangan pada telinga: (-)
• Pendengaran : kesan normal
Hidung:
• Simetris, deviasi septum (-/-)

Kepaniteraan Klinik Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam 20


2017
• Napas cuping hidung : (-/-)
• Perdarahan : (-/-)
• Sekret :(-/-)
• Penghidu normal
Mulut:
• Simetris
• Bibir : sianosis (-), stomatitis angularis (-), pursed lips breathing (-)
• Gusi : hiperemia (-), perdarahan (-)
• Lidah : glositis (-), atropi papil lidah (-), oral kandidiasis (-), kemerahan di pinggir (-),
tremor (-), lidah kotor (-)
• Gigi : dalam batas normal
• Mukosa: dalam batas normal
Leher:
• Simetris
• Scrofuloderma : (-)
• Pembesaran KGB :(-)
• JVP : 5 + 2 (tidak meningkat)
• Pembesaran otot SCM : (-)
• Otot bantu nafas SCM : tidak aktif
• Pembesaran kelenjar tiroid :(-)
Thoraks:
1. Inspeksi:
• Bentuk & ukuran: simetris
• Pergerakan dinding dada: simetris
• Permukaan dada: ikterik (-), papula (-), petechiae (-), purpura (-), ekimosis (-), spider
naevi (-), vena kolateral (-), massa (-).
• Penggunaan otot bantu nafas: SCM tidak aktif, tak tampak hipertrofi SCM, otot
bantu abdomen tidak aktif
• Iga dan sela iga: simetris
• Fossa supraclavicularis, fossa infraclavicularis: simetris
• Tipe pernapasan: torakoabdominal.

Kepaniteraan Klinik Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam 21


2017
• Ictus cordis : tidak tampak
2. Palpasi:
• Posisi mediastinum: ditengah
• Nyeri tekan (-), benjolan (-), krepitasi (-)
• Gerakan dinding dada: simetris
• Fremitus vocal:
Depan:
Normal Normal
Normal Normal
Normal Normal
Belakang:
Normal Normal
Normal Normal
Normal Normal
• Ictus cordis teraba pada ICS V midclavicula line sinistra, thrill (-).
3. Perkusi:
 Depan:
Sonor Sonor
Sonor Sonor
Sonor Sonor
 Belakang
Sonor Sonor
Sonor Sonor
Sonor Sonor
• Batas paru-jantung :
• Dextra → ICS IV linea parasternalis dekstra
• Sinistra → ICS V di linea midclavikularis sinistra
• Batas paru-hepar:
Inspirasi → ICS VI
Ekskursi :2 ICS (normal)
Ekspirasi → ICS IV

Kepaniteraan Klinik Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam 22


2017
3. Auskultasi:
 Cor : S1S2 tunggal regular murmur (-), gallop (-).
 Pulmo :

Vesikuler Vesikuler
Vesikuler Vesikuler
Vesikuler Vesikuler

Rhonki basah :
- -
- -
- -

Wheezing:
- -
- -
- -

Abdomen:
1. Inspeksi:
• Distensi (-), ascites (-), mengikuti gerak nafas, darm countuor (-), darm steifung (-).
• Umbilikus: masuk merata
• Permukaan kulit: ikterik (-), vena collateral (-), massa (-), caput medusae (-), spider
naevi (-), scar (-), striae (-), ruam (-)
2. Auskultasi:
• Bising usus (+) normal, frekuensi 18 x/menit
• Metallic sound (-)
• Bising aorta (-)
3. Perkusi:
• Orientasi :
Timpani Timpani Timpani
Timpani Timpani Timpani
Timpani Timpani Timpani

Kepaniteraan Klinik Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam 23


2017
• Organomegali : Hepatomegali (-), splenomegali (-)
• Nyeri ketok : (-)
• Shifting dullness : (-)
• Undulasi tes : (-)
4. Palpasi:
 Hepar dan lien tidak teraba
 Renal tidak teraba
 Massa Tumor (-)
 Nyeri Tekan (-)

Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan

Anus dan Rectum : Tidak dilakukan pemeriksaan

Ekstremitas:
 Akral hangat : + +  Sianosis : - -
+ + - -
 Edema : - -  Clubbing finger : - -
- - - -
 Deformitas : - -  Ikterik : - -
- - - -

3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Hasil Pemeriksaan Darah :
Parameter Hasil Hasil Hasil Normal
(7/12/17) (9/12/17) (11/12/17)
HGB 6,4 8,6 11,7 L : 14,0-18,0 g/dL
RBC 2,04 2,8 3,85 L : 4,7 – 6,1 [10^6/µL]
HCT 19,1 24,7 33 L : 42-52 [%]
MCV 93,6 88,2 85,7 79,0 – 99,0 [fL]
MCH 31,4 30,7 30,4 27,0-31,0 [pg]

Kepaniteraan Klinik Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam 24


2017
MCHC 33,5 34,8 35,5 33,0-37,0 [g/dL]
WBC 2,42 4,52 5,19 4,8 – 10,8 [10^3/ µL]
Lymph 71,5 48,5 27,2 20,0-40,0
PLT 27 21 44 150-450 [10^3/ µL]

Parameter Hasil Normal


(7/12/2017)
GDS 98 <160 mg%
Creatinin 0,8 0,9-1,3 mg%
Ureum 13 10-50 mg%
SGOT 39 <40 U/L
SGPT 16 <41 U/L
HBsAg Non Reaktif Non Reaktif

3.5 RESUME
Pasien laki-laki berusia 29 tahun datang ke Poli Penyakit Dalam RSUP NTB dengan
keluhan lemas diseluruh badan, lemas dirasakan sejak 2 minggu yang lalu. Pada
awalnya lemas dirasakan tidak mengganggu aktivitas pasien, namun semakin lama
dirasakan semakin mengganggu aktivitas, saat pasien berjalan badan terasa seperti
akan jatuh dan kepala pusing. Pasien juga mengeluhkan BAB darah segar (+). BAK
dalam batas normal. Riwayat perdarahan mukosa (+) dan riwayata BAB hitam (+),
riwayat demam berulang (+).
Pada pemeriksaan fisis didapatkan keadaan umum pasien sedang, gizi cukup, dan
kesadaran composmentis. Tekanan darah 110/60 mmHg, nadi 112x/menit dan
regular, suhu 37 0C, pernapasan 20 x/menit. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan
tidak didapat kelainan, peristaltik (+) kesan normal, organomegali (-).
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan, penurunan kadar Hb kesan anemia berat
normositik normokromik, leukopenia, trombositopenia, dan limfositosis.

Kepaniteraan Klinik Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam 25


2017
3.6 ASSESSMENT
Pansitopenia e.c Susp Anemia Aplastik

3.7 PLANNING:
Planning Diagnostik
 Aspirasi sumsum tulang

Planning Terapi
Medikamentosa :
 IVFD RL 20 tpm
 Inj. Ciprofloxacin 2 x 500mg/hari
 Transfusi PRC 5 kolf
Non-Medikamentosa
 Tirah baring

Edukasi:
- Menjelaskan kepada keluarga pasien mengenai keadaan pasien dan penyakit yang
dialaminya.
- Menjelaskan mengenai pemeriksaan lanjutan yang diperlukan, rencana pengobatan
yang diberikan dan rencana terapi lanjutan yang akan diberikan.

3.8 PROGNOSIS :
Ad vitam : dubia ad malam
Ad fungtionam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam

Kepaniteraan Klinik Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam 26


2017
BAB IV

PEMBAHASAN

Pada pasien ini ditemukan gejala pansitopenia yang terdiri dari anemia, leukopenia, dan
trombositopenia. Gejala anemia yang muncul pada pasien ini antara lain merasa lemas, serta
tanda anemia seperti kondisi umum pasien yang lemah, dan konjungtiva pucat/anemis.
Berdasarkan hal tersebut saya menduga pasien mengalami anemia. Anemia dapat disebabkan
oleh penurunan produksi eritrosit (oleh karena kurangnya intake untuk bahan baku pembuatan
eritrosit dan gangguan pada hormon pembentuk eritrosit) maupun peningkatan
pengeluaran/penghancuran eritrosit (perdarahan, hemolitik). Gejala trombositopenia yang
terdapat pada pasien ini antara lain perdarahan mukosa dan BAB darah segar. Sedangkan
leukopenia pada saat ini tidak menunjukkan gejala, namun pasien memiliki riwayat infeksi
berulang satu bulan terakhir ini yang dapat disebabkan oleh leukopenia.

Pansitopenia pada pasien ini diduga disebabkan oleh adanya gangguang pada sel
hemopoetik pada sumsum tulang pasien yang menyebabkan penurunan semua produksi sel
darah, seperti pada kondisi anemia aplastik. Pada anemia aplastik gangguan sumsum tulang
dapat disebabkan cedera hematopoetik langsung akibat faktor lingkungan, kerusakan sel induk,
atau penekanan produksi sel sumsum tulang. Etiologi anemia aplastik pada pasien ini
kemungkinan idiopatik, karena tidak adanya riwayat terpapar faktor risiko anemia aplastik.

Diagnosis anemia aplastik dibuat berdasarkan manifestasi klinis berupa lemas, konjungtiva
pucat, riwayat perdarahan mukosa, dan riwayat infeksi berulang. Manifestasi klinis juga
didukung hasil pemeriksaan darah lengkap dimana didapatkan Hb 6,4 g/dl (menurun), RBC 2,04
(106/µL) (menurun), dan leukosit 2,42 (103/µL) (menurun), dan trombosit 27 (103/µL)
(menurun). Untuk menegakkan diagnosis pasti anemia aplastik pada pasien ini, dapat dilakukan
pemeriksaan sumsum tulang.

Pada pasien ini diberikan terapi suportif berupa pemberian cairan intravena (IVFD RL 20
tpm), tranfusi PRC, dan injeksi Ciprofloxacin 2 x 500mg/hari (untuk profilaksis infeksi). Pada
pasien ini dapat dipertimbangkan transplantasi sumsum tulang jika terdapat donor sumsum
tulang yang cocok atau dapat dipertimbangkan terapi imunosupresif agar keluhan pasien tidak
kembali berulang

Kepaniteraan Klinik Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam 27


2017
BAB V

KESIMPULAN

1
Dalam laporan kasus ini dilaporkan seorang laki-laki berusia 29 tahun dengan keluhan
lemas. Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan penunjang, maka didapatkan diagnosis yang
paling mungkin pada kasus ini adalah anemia aplastik dengan penyebab idiopatik. Pada pasien
ini dapat dilakukan pemeriksaan lanjutan sumsum tulang sebagai standar baku diagnosis anemia
aplastik. Terapi yang diberikan berupa terapi suportif yaitu transfusi PRC. Dapat
dipertimbangkan pemberiaan terapi definitif pada pasien ini, yaitu transplantasi sumsum tulang
atau terapi imunosupresif.
Anemia aplastik merupakan suatu kelainan dari sindrom klinik yang diantaranya ditandai
oleh defisiensi sel darah merah, neutrophils, monosit dan platelet tanpa adanya bentuk kerusakan
sumsum lainnya. Permulaan dari suatu anemia aplastik sangat tersembunyi dan berbahaya, yang
disertai dengan penurunan sel darah merah secara berangsur sehingga menimbulkan kepucatan,
rasa lemah dan letih, atau dapat lebih hebat dengan disertai panas badan namun pasien merasa
kedinginan, dan faringitis atau infeksi lain yang ditimbulkan dari neutropenia. Penemuan
laboratorium juga dapat mempertegas diagnosis anemia aplastik antara lain penemuan pada
darah (hapusan darah tepi dan darah lengkap), sumsum tulang, radiologi urin dan plasma darah.
Tedapat beberapa terapi untuk mengatasi anemia aplastik. Secara garis besarnya terapi untuk
anemia apalstik dapat dibagi menjadi 4 yaitu: terapi kausal; terapi suportif; terapi untuk
memperbaiki fungsi sumsum tulang; serta terapi definitif.

Kepaniteraan Klinik Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam 28


2017
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo, A. W dkk. Anemia Aplastik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi V.
Jakarta : Pusat Penerbitan IPD FK UI ; 2009.
2. Isyanto, Abdulsalam M. Masalah pada Tatalaksana Anemia Aplastik Didapat. Sari
Pediatri; 2005; 7(1): 26-33. Available from: < https://saripediatri.org/index.php/sari-
pediatri/article/download/865/799>
3. Laksmi NMD, Herawati S, Yasa IWPS. Anemia Aplastik. Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana; 2012. Available from: <
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=82562&val=970>
4. Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo. Anemia Aplastic,
Myelodysplasia, and Related Bone Marrow Failure Syndrome. Harrison’s Princeples of
Internal Medicine. 17th Edition. New York: McGrawHill; 2008.
5. Tjokroprawiro A, Setiawan PB, Santoso D, Soegiarto G. Anemia Aplastik. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya: FK Unair; 2007.
6. Thaha, Lestari W, Yasa IWPS. Diagnosis, Diagnosis Differensial, dan Penatalaksanaan
Immunosupresif dan Terapi Sumsum Tulang pada Pasien Anemia Aplastik Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana; 2013. Available from:
<http://download.portalgaruda.org/article.php?article=143942&val=970>
7. Melinkeri SR. Epidemiology, Pathogenesis, and Diagnosis of Aplastic Anemia. Journal
of the Association of Physycian of India. 2015; 5(2): 1-5. Available from:
<http://www.japi.org/march_2015_special_issue/02_epidemiology_pathogenesis_and_d
iagnosis.pdf>
8. Papadakis MA, McPhee SJ. Anemia Aplastic. Current Medical Diagnosis and
Treatment. New York: McGrawHill; 2015.

Kepaniteraan Klinik Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam 29


2017

Anda mungkin juga menyukai