Anda di halaman 1dari 41

Laporan Kasus

Apendisitis

PEMBIMBING:
dr. Desiree Anggia Paramita, Sp. B.

Disusun Oleh:

Andrian 150100036
Alicia 150100103
Achmad Syukran Fauzan 150100065
Alfredo Fransiscus 150100164
Putri Wulandari 150100188
Ian Rimhot Sinaga 120100220

PROGRAM KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


DEPARTEMEN ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK
MEDAN
2020
i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkat dan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan laporan kasus kami yang
berjudul “Apendisitis”.
Penulisan laporan kasus ini merupakan salah satu syarat untuk
menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di
Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen
pembimbing, dr. Desiree Anggia Paramita, Sp. B yang telah meluangkan
waktunya dan memberikan banyak masukan dalam penyusunan laporan kasus ini
sehingga dapat selesai tepat pada waktunya.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan yang telah disusun ini masih
jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun untuk laporan kasus ini. Akhir kata, semoga laporan kasus ini dapat
memberikan manfaat bagi pembaca dan semua pihak yang terlibat dalam
pelayanan kesehatan di Indonesia.

Medan, Maret 2020

Penulis
ii

DAFTAR ISI

Kata Pengantar i
Daftar Isi ii
BAB 1 PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Tujuan 2
1.2. Manfaat 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 3
2.1. Apendiks 3
2.1.1. Anatomi Apendiks 3
2.1.2. Fisiologi Apendiks 4
2.1.3. Histologi Apendiks 5
2.2. Apendisitis 5
2.2.1. Definisi 5
2.2.2. Etiologi dan Patogenesis 6
2.2.3. Patofisiologi 7
2.2.4. Gejala Klinis 8
2.2.5. Diagnosis 9
2.2.6. Diagnosis Banding 14
2.2.7. Penatalaksanaan 15
2.2.8. Komplikasi 17
2.2.9. Prognosis 18
BAB 3 STATUS ORANG SAKIT 19
BAB 4 FOLLOW UP 26
BAB 5 DISKUSI 28
BAB 6 KESIMPULAN 30
DAFTAR PUSTAKA 31
1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Pendahuluan
Penyakit pada apendiks merupakan salah satu kegawatdaruratan medis yang
menyebabkan seseorang perlu di rawat di rumah sakit, dan tindakan apendektomi
merupakan salah satu prosedur bedah emergensi yang paling sering dilakukan di
dunia. Apendisitis merupakan peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis
dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering pada anak-anak
maupun dewasa.1,2
Angka insidensi dari apendisitis adalah sekitar 100 per 100.000 penduduk.
Risiko seseorang untuk menderita apendisitis adalah 8,6% untuk laki-laki dan
6,7% untuk perempuan dengan angka insidensi tertinggi dijumpai pada usia
dekade kedua. Insidensi tertingginya terdapat pada laki-laki usia 10-14 tahun dan
perempuan usia 15-19 tahun. Apendisitis ini jarang terjadi pada bayi dan anak-
anak di bawah usia 2 tahun.Setiap tahunnya, terdapat sekitar 250.000 kasus
apendisitis yang terjadi di Amerika Serikat.1,2,3
Di Indonesia angka insiden apendisitis cukup tinggi, terlihat dengan adanya
peningkatan jumlah pasien dari tahun ketahun. Berdasarkan data yang diperoleh
dari Departemen Kesehatan RI pada tahun 2008, kasus apendisitis akut yang
tercatat pada tahun 2005 sebanyak 65.755 kasus dan pada tahun 2007 jumlah
kasus apendisitis sebanyak 75.601 orang. Ditahun 2008 jumlah kasus apendisitis
7% dari jumlah penduduk Indonesia atau sekitar 179.000 orang. Dalam periode 1
tahun ( 1 Januari 2015 s/d 31 Desember 2015) dari data rekam medis pasien di RS
Dr M Djamil Padang, didapat 126 pasien dengan kasus appendisitis.4
Apendisitis ini merupakan kegawatdaruratan medik yang apabila dibiarkan
dan tidak ditangani dapat mengalami ruptur dan mengakibatkan infeksi pada
peritoneum (peritonitis). Tatalaksana yang tepat dari apendisitis akan menekan
angka mortalitas dari pasien.3
Oleh karena apendisitis merupakan salah satu kegawatdaruratan medis yang
memerlukan tindakan operatif segera serta memiliki komplikasi yang cukup berat,
2

baik sebelum ataupun setelah tindakan operasi, diperlukan perhatian khusus pada
penyakit ini sehingga pasien dapat mendapatkan penanganan yang sesuai dan
efektif untuk menurunkan angka mortalitas dan mencegah terjadinya komplikasi.

1.2. Tujuan
Tujuan dari pembuatan laporan kasus ini adalah untuk melaporkan kasus
apendisitis akut dan membandingkannya dengan landasan teori yang sesuai.
Penyusunan laporan kasus ini sekaligus untuk memenuhi persyaratan kegiatan
Program Profesi Dokter (P3D) di Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.

1.3. Manfaat
Laporan kasus ini diharapkan dapat meningkatkan dan mengembangkan
kemampuan penulis maupun pembaca khususnya peserta P3D untuk
mengintergrasikan teori yang telah ada dengan aplikasi pada kasus yang dijumpai
di lapangan.
3

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Apendiks
2.1.1. Anatomi Apendiks
Apendiks vermiformis atau yang seringkali disebut dengan apendiks
merupakan organ sempit, berbentuk tabung yang mempunyai otot dan
mengandung banyak jaringan limfoid. Pada orang dewasa, panjang rata-rata dari
apendiks adalah 6 hingga 9 cm. Diameter luarnya bervariasi antara 3 hingga 8 mm
sedangkan diameter lumennya bervariasi antara 1 hingga 3 mm. Dasar dari
apendiks melekat pada permukaan sekum dengan bagian lainnya bebas. Apendiks
ditutupi seluruhnya oleh peritoneum, yang melekat pada lapisan bawah
mesenterium intestinum tenue melalui mesenteriumnya sendiri yang pendek, yang
dinamakan mesoapendiks. Mesoapendiks berisi arteri, vena dan saraf.1,5

Gambar 2.1. Apendiks

Apendiks terletak pada regio iliaka dekstra dan pangkalnya diproyeksikan


ke dinding anterior abdomen pada titik sepertiga bawah garis yang
menghubungkan spina iliaka anterior superior kanan dan umbilikus. Lokasi dari
bagian basis apendiks selalu konstan, yaitu pada titik pertemuan dari ketiga
4

taeniae coli sekum yang menyatu untuk membentuk lapisan otot longitudinal
terluar dari apendiks. Bagian distal dari apendiks umumnya terletak pada posisi
retrosekal oleh karena sekum akan mengalami rotasi selama proses tumbuh
kembang anak.5,13
Posisi apendiks sangat bervariasi dibandingkan dengan organ lainnya
dengan posisi yang paling sering adalah retrosekal (74%), pelvis (21%), parasekal
(2%), subsekal (1,5%), preileal (1%) dan postileal (0,5%).6,7,12

Gambar 2.2. Variasi dalam posisi apendiks vermiformis.

Apendiks mendapatkan suplai darah dari percabangan arteri ileokolika.


Arteri tersebut berasal dari bagian posterior menuju ileum terminal dan masuk ke
dalam mesoapendiks dekat dengan basis apendiks. Perdarahan apendiks ini
merupakan end artery sehingga apabila terjadi sumbatan dapat menyebabkan
nekrosis jaringan apendiks. Drainase limfatik dari apendiks melalui nodus limfatik
yang terdapat disepanjang arteri ileokolika. Apendiks mendapatkan persarafan
dari sistem saraf simpatis dan sistem saraf parasimpatis. Persarafan dari sistem
saraf simpatis diperoleh dari pleksus mesenterika superior (T10-L1) dan sistem
saraf parasimpatis diperoleh dari nervus vagus.1

2.1.2. Fisiologi Apendiks


Selama bertahun-tahun, apendiks dipercaya sebagai organ yang tidak
memiliki fungsi. Akan tetapi, saat ini apendiks telah diketahui sebagai organ
5

imunologis yang secara aktif berpartisipasi dalam sistem kekebalan tubuh


manusia. Apendiks merupakan suatu jaringan limfoid yang dapat memproduksi,
menyimpan atau memproses sel limfosit. Apendiks menghasilkan sekret sebanyak
1-2 ml per hari, yang dikeluarkan ke dalam lumen dan mengalir ke sekum.
Imunoglobulin yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue)
yang terdapat di sepanjang saluran cerna, termasuk apendiks adalah
imunoglobulin A. Imunoglobulin tersebut sangat efektif sebagai pelindung
terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi
sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfoid yang diangkat kecil sekali bila
dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh.1

2.1.3. Histologi Apendiks


Struktur apendiks mirip dengan usus mempunyai 4 lapisan yaitu mukosa,
submukosa, muskularis eksterna/propria (otot longitudinal dan sirkuker) dan
serosa. Apendiks mungkin tidak terlihat karena adanya membran Jackson yang
merupakan lapisan peritoneum yang menyebar dari bagian lateral abdomen ke
ileum terminal, menutup caecum dan apendiks. Lapisan submukosa terdiri dari
jaringan ikat kendor dan jaringan elastik membentuk jaringan saraf, pembuluh
darah dan limfe. Antara mukosa dan submukosa terdapat lymphonodes. Mukosa
terdiri dari satu lapis columnar epithelium dan terdiri dari kantong yang disebut
crypta lieberkuhn. Dinding luar (outer longitudinal muscle) dilapisi oleh
pertemuan ketiga taenia colli pada pertemuan caecum dan apendiks taenia anterior
digunakan sebagai pegangan untuk mencari apendiks.6

2.2. Apendisitis
2.2.1. Definisi
Apendisitis adalah inflamasi akut pada apendiks yang terletak pada
kuadran bawah kanan dari rongga abdomen (Smeltzer & Bare, 2002). Apendiks
menjadi meradang akibat invasi bakteri pada dindingnya, biasanya didistal dari
obstruksi lumennya. Obstruksi dapat disebabkan oleh fekalit, biji-bijian atau
cacing dalam lumen.7
6

2.2.2. Etiologi dan Patogenesis


Obstruksi pada lumen merupakan etiologi paling sering pada apendisitis
akut. Fecalith merupakan penyebab obstruksi lumen apendiks yang paling sering.
Penyebab lain yang mungkin adalah pembesaran dari jaringan limfoid,
penggumpalan barium dalam pemeriksaan x-ray, tumor dan parasit. Frekuensi
obstruksi meningkat seiring dengan tingkat keparahan proses inflamasi. Fecalith
ditemukan pada 40% kasus apendisitis akut, pada 65% kasus apendisitis gangren
tanpa adanya ruptur apendiks, dan 90% kasus pada apendisitis gangren dengan
ruptur apendiks.8
Obstruksi oleh fecalith ditambah sekresi dari mukosa apendiks akan
menyebabkan peningkatan tekanan intraluminal. Kapasitas lumen dari apendiks
normalnya hanya 0,1 ml. Sekresi cairan pada distal apendiks yang melebihi
kapasitas menyebabkan peningkatan tekanan di dalam lumen apendiks. Distensi
dari apendiks akan menstimulasi serabut saraf aferen viseral yang menyebabkan
rasa sakit yang tumpul, menyebar dan tidak terlokalisir di bagian tengah abdomen
dan bagian bawah epigastrium. Distensi yang terjadi secara tiba-tiba juga
menstimulasi peristaltik sehingga pada beberapa nyeri viseral pada apendiks
didahului oleh kram perut. Sekresi mukosa yang berlanjut dan berkembangnya
bakteri dalam apendiks semakin meningkatkan distensi. Distensi pada tingkat ini
juga menyebabkan mual, muntah dan nyeri viseral yang berat. Tekanan pada
organ yang semakin meningkat melebihi tekanan pada vena menyebabkan kapiler
dan pembuluh darah venule tersumbat tetapi aliran darah arterial terus berjalan
sehingga menyebabkan pembesaran dan kongesti vaskular. Proses inflamasi
kemudian melibatkan bagian serosa pada apendiks dan kemudian ke arah
peritoneum parietal dimana dihasilkan karakteristik nyeri yang berpindah ke
kuadran kanan bawah. Mukosa saluran cerna termasuk apendiks rentan terhadap
gangguan aliran darah. Oleh sebab itu, integritas mukosa apendiks menjadi
terganggu. Dengan distensi yang terus berlanjut, invasi bakteri, aliran darah yang
tidak adekuat, dan progresi dari nekrosis jaringan dapat menyebabkan terjadinya
perforasi. Rentetan proses ini tidaklah mutlak harus terjadi oleh karena pada
beberapa kasus apendisitis akut dapat sembuh sendiri.1,8
7

2.2.3. Patofisiologi
Apendisitis akut secara umum terjadi karena proses inflamasi pada
apendiks akibat infeksi. Penyebab utama terjadinya infeksi adalah karena terdapat
obstruksi. Obstruksi yang terjadi mengganggu fisiologi dari aliran lendir apendiks,
dimana menyebakan tekanan intralumen meningkat sehingga terjadi kolonisasi
bakteri yang dapat menimbulkan infeksi pada daerah tersebut. Pada sebagaian
kecil kasus, infeksi dapat terjadi semerta-merta secara hematogen dari tempat lain
sehingga tidak ditemukan adanya obstruksi.6
Bakteri dalam lumen apendiks vermiformis berkembang dan menginvasi
dinding apendiks vermiformis sejalan dengan terjadinya pembesaran vena dan
kemudian terganggunya arteri akibat tekanan intraluminal yang tinggi. Ketika
tekanan kapiler melampaui batas, terjadi iskemi mukosa, inflamasi dan ulserasi.
Pada akhirnya, pertumbuhan bakteri yang berlebihan di dalam lumen dan invasi
bakteri ke dalam mukosa dan submukosa menyebabkan peradangan transmural,
edema, stasis pembuluh darah, dan nekrosis muskularis yang dinamakan
apendisitis kataralis. Jika proses ini terus berlangsung, menyebabkan edema dan
kongesti pembuluh darah yang semakin parah dan membentuk abses di dinding
apendiks vermiformis serta cairan purulen, proses ini dinamakan apendisitis
flegmonosa. Kemudian terjadi gangren atau kematian jaringan yang disebut
apendisitis gangrenosa. Jika dinding apendiks vermiformis yang terjadi gangren
2,5
pecah, tandanya apendisitis berada dalam keadaan perforasi. Untuk membatasi
proses radang ini tubuh juga melakukan upaya pertahanan dengan menutup
apendiks vermiformis dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga
terbentuk massa periapendikuler yang secara salah dikenal dengan istilah infiltrat
apendiks.6 Pada anak-anak dengan omentum yang lebih pendek, apendiks
vermiformis yang lebih panjang, dan dinding apendiks vermiformis yang lebih
tipis, serta daya tahan tubuh yang masih kurang, dapat memudahkan terjadinya
apendisitis perforasi. Sedangkan pada orang tua, apendisitis perforasi mudah
terjadi karena adanya gangguan pembuluh darah. Apendiks vermiformis yang
pernah meradang tidak akan sembuh sempurna tetapi membentuk jaringan parut
yang melengket dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan
8

keluhan berulang di perut kanan bawah. Sehingga suatu saat, organ ini dapat
mengalami peradangan akut lagi dan dinyatakan mengalami eksaserbasi akut.6
Infeksi terjadi pada tahap mukosa yang kemudian melibatkan seluruh dinding
apendiks pada 24-48 jam pertama. Adaptasi yang dilakukan tubuh terhadap
inflamasi lokal ini adalah menutup apendiks dengan struktur lain yaitu omentum,
usus halus, dan adneksa. Hal ini yang menyebabkan terbentuknya masa
periapendikuler, yang disebut juga infiltrat apendiks. Pada infilitrat apendiks,
terdapat jaringan nekrotik yang dapat saja terbentuk menjadi abses sehingga
menimbulkan risiko perforasi yang berbahaya pada pasien apendisits. Pada
sebagian kasus, apendisitis dapat melewati fase akut tanpa perlu dilakukannya
operasi. Akan tetapi, nyeri akan seringkali berulang dan menyebabkan eksaserbasi
akut sewaktu-waktu dan dapat langsung berujung pada komplikasi perforasi. Pada
anak-anak dan geriatri, daya tahan tubuh yang rendah dapat meyebabkan sulitnya
terbentuk infiltrat apendisitis sehingga risiko perforasi lebih besar.6

2.2.4. Gejala Klinis


Gejala yang ditimbulkan oleh apendisitis dapat berupa:9
1. Nyeri kolik periumbilikus
Nyeri abdomen merupakan keluhan utama apendisitis akut. Nyeri pada
awalnya terpusat pada epigastrium atau periumbilikus, nyeri bersifat berat
menetap dan biasanya disertai dengan kram intermiten. Distensi dari apendiks
akan menstimulasi serabut saraf aferen viseral yang menyebabkan rasa sakit yang
tumpul, menyebar dan tidak terlokalisir di bagian tengah abdomen dan bawah
epigastrium.
2. Nyeri pada fosa iliaka kanan
Nyeri akan berpindah setelah beberapa jam dari periumbilikus ke daerah
kanan bawah abdomen, yaitu daerah fosa iliaka kanan. Pada lokasi ini, nyeri
dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga menimbulkan nyeri
somatik setempat.
3. Demam
Demam biasanya ringan dengan suhu sekitar 37,5-38,5 oC. Bila suhu lebih
9

tinggi, kemungkinan telah terjadi perforasi.


4. Mual, muntah dan anoreksia
Nyeri perut bagian sentral berhubungan dengan mual, muntah, dan
anoreksia. Apendisitis hampir selalu disertai dengan anoreksia dan biasanya
terjadi satu atau dua kali episode muntah. Hal ini konstan sehingga pada saat
diagnosis harus ditanyakan ada tidaknya keluhan anoreksia. Walaupun 75%
pasien menunjukkan gejala muntah namun hal itu tidak berlangsung lama,
kebanyakan hanya satu atau dua kali saja. Gejala muntah ini disebabkan stimulasi
dari neuron maupun gerakan usus. Pada 95% pasien dengan apendisitis akut,
anoreksia merupakan gejala utama diikuti oleh nyeri abdomen kemudian
dilanjutkan dengan gejala muntah. Jika muntah lebih dominan dari gejala nyeri
abdomen, maka diagnosis apendisitis harus dipertanyakan.

2.2.5. Diagnosis
Anamnesis
Apendisitis harus dipikirkan sebagai diagnosis banding pada semua pasien
dengan nyeri abdomen akut yang sesuai dengan gejala klinis yakni mual dan
muntah pada keadaan awal yang diikuti dengan nyeri perut periumbilikal yang
kemudian bergeser ke kuadran kanan bawah abdomen yang semakin progresif.
Urutan munculnya gejala memiliki peranan penting dalam diagnosis banding
apendisitis.9

Pemeriksaan Fisik
Pasien dengan apendisitis akut akan tampak kesakitan dan berbaring.
Umumnya dijumpai demam dengan suhu sekitar 38oC. Pada pemeriksaan fisik
abdomen, dengan palpasi dapat dijumpai nyeri tekan pada daerah apendiks, yaitu
pada titik sepertiga bawah garis antara umbilicus dengan spina iliaka anterior
superior (Mc Burney’s point). Selain itu, dapat dijumpai pula nyeri lepas dan
muscle guarding. Pada auskultasi, bising usus akan berkurang.
10

Gambar 2.3. Ilustrasi lokasi titik Mc Burney.

Tanda khas lainnya yang dapat dijumpai pada apendisitis adalah:


Rovsing’s sign Positif jika dilakukan palpasi dengan
tekanan pada kuadran kiri bawah dan
timbul nyeri pada sisi kanan.
Psoas sign atau Obraztsova’s sign Pasien dibaringkan pada sisi kiri,
kemudian dilakukan ekstensi dari
panggul kanan. Positif jika timbul nyeri
pada kanan bawah.
Obturator sign Pada pasien dilakukan fleksi panggul
dan dilakukan rotasi internal pada
panggul. Positif jika timbul nyeri pada
hipogastrium atau vagina.
Dunphy’s sign Pertambahan nyeri pada tertis kanan
bawah dengan batuk
Ten Horn sign Nyeri yang timbul saat dilakukan traksi
lembut pada korda spermatic kanan
Kocher (Kosher)’s sign Nyeri pada awalnya pada daerah
epigastrium atau sekitar pusat,
kemudian berpindah ke kuadran kanan
bawah.
Sitkovskiy (Rosenstein)’s sign Nyeri yang semakin bertambah pada
perut kuadran kanan bawah saat pasien
dibaringkan pada sisi kiri
Bartomier-Michelson’s sign Nyeri yang semakin bertambah pada
kuadran kanan bawah pada pasien
dibaringkan pada sisi kiri dibandingkan
dengan posisi terlentang
Aure-Rozanova’s sign Bertambahnya nyeri dengan jari pada
petit triangle kanan (akan positif
Shchetkin-Bloomberg’s sign)
Blumberg sign Disebut juga dengan nyeri lepas.
Palpasi pada kuadran kanan bawah
kemudian dilepaskan tiba-tiba
11

Pada apendiks perforata, nyeri abdomen menjadi sangat hebat dan


tersebar, dapat dijumpai peningkatan spasme otot abdomen sehingga
menyebabkan kaku otot (muscle rigidity). Denyut jantung akan meningkat dan
temperatur akan meningkat hingga melebihi 39oC.

Pemeriksaan penunjang
Pada pemeriksaan laboratorium klinik, kebanyakan pasien memberikan
hasil sel darah putih yang meningkat dengan hitung jenis sel neutrofil lebih dari
75%. Kadar leukosit normal pada kasus apendisitis ditemukan pada 10% kasus.
Kadar leukosit yang tinggi, lebih dari 18.000/ml jarang ditemukan pada kasus
apendisits tanpa komplikasi. Kadar leukosit yang melebihi batasan tersebut
meningkatkan kemungkinan terjadinya apendisitis perforasi dengan atau tanpa
abses. Pemeriksaan kadarc-reactive protein (CRP) yang meningkat merupakan
indikator yang kuat untuk apendisitis, khususnya apendisitis dengan komplikasi.
Perlu juga dilakukan pemeriksaan urinalisis pada pasien untuk membantu
menyingkirkan kemungkinan kelainan pada sistem saluran kemih.10,11
Pada pemeriksaan radiologis dengan menggunakan foto polos abdomen,
dapat dijumpai adanya gambaran fecalith pada sekum yang dihubungkan dengan
apendisitis. Akan tetapi, hasil temuan ini kurang berguna dalam menegakkan
diagnosis apendisits akut. Meskipun demikian, pemeriksaan ini mungkin berguna
untuk membantu menyingkirkan diagnosis lain. Pemeriksaan radiologis lainnya
yang dapat dilakukan adalah ultrasonografi dan CT-scan.1
Pemeriksaan ultrasonografi memiliki keuntungan berupa biaya yang tidak
mahal, dapat dilakukan dengan cepat, tidak memerlukan media kontras, dan
karena tidak menghasilkan radiasi, pemeriksaan ini dapat dilakukan pada wanita
hamil. Gambaran penebalan dinding apendiks dan ditemukannya cairan
periapendiseal meningkatkan kemungkinan diagnosis apendisitis. Apabila
dilakukan penekanan pada apendiks, ukuran diameter apendiks <5 mm dapat
membantu menyingkirkan diagnosis apendisitis. Kekurangan dari pemeriksaan ini
adalah ketepatan diagnosis sangatlah bergantung pada operatornya.1
Pada pemeriksaan CT, apendiks yang mengalami inflamasi akan tampak
berdilatasi (diameter >5 mm) dan terjadi penebalan pada dindingnya. Seringkali
12

ditemukan adanya bukti inflamasi pada apendiks, meliputi penebalan


mesoapendiks, terdapatnya cairan bebas. Fecalith seringkali dapat tervisualisasi
meskipun temuan ini tidaklah patognomonik untuk apendisitis. Meskipun dapat
memberikan visualisasi yang lebih akurat dari apendiks, CT juga memiliki
kekurangan. Kekurangan tersebut meliputi biaya pemeriksaan yang mahal,
paparan radiasi terhadap pasien, dan keterbatasan penggunaan pada pasien hamil.
Adanya alergi terhadap iodine atau zat kontras lainnya semakin membatasi
pemeriksaan ini.

Skoring klinis
Diagnosis apendisitis secara klinis dapat ditegakkan dengan menggunakan
sistem skoring klinis, yang didasarkan pada variabel-variabel yang telah terbukti
berhubungan dengan diagnosis apendisitis sesuai dengan porsinya. Skoring
Alvarado merupakan skoring klinis untuk apendisitis yang paling sering
digunakan. Skoring ini berguna untuk menegakkan diagnosis apendisitis dan
menentukan pemeriksaan diagnostik lanjutan yang diperlukan. The Appendicitis
Inflammatory Response Score menyerupai skor Alvarado tetapi menggunakan
variabel yang lebih spesifik dan meliputi pemeriksaan CRP. Penelitian
menunjukkan bahwa The Appendicitis Inflammatory Response Score lebih akurat
dalam memprediksi apendisitis namun sistem skoring tersebut belum digunakan
secara luas dalam penegakan diagnosis apendisitis.1

Skor Alvarado AIR Score


Muntah 1
Mual atau muntah 1
Anoreksia 1
Nyeri pada fossa iliaka kanan 2 1
Perpindahan nyeri ke fossa iliaka 1
kanan
Nyeri lepas atau defans muskular 1
 Ringan 1
 Sedang 2
 Kuat 3
13

Temp >37.5 1
Temp >38.5 1
Leukosit
 >10 x 109/l 2
 10-14.9 x 109/l 1
 >15 x 109/l 2
Leukocytosis Shift 1
Polymorphonuclear Leukocytes
 70-84% 1
 > 85% 2
Jumlah C-reactive protein
 10-49 mg/l 1
 >50 mg/l 2
Total 10 12
Interpretasi <4 bukan apendisitis <4 rendah
5-6 samar-samar kemungkinan
7-8 mungkin apendisitis
apendisitis 5-8 tidak dapat
9-10 sangat mungkin ditentukan
apendisitis 9-12 tinggi
kemungkinan
apendisitis

Gambar 2.4. Sistem skoring untuk apendisitis.1

2.2.6. Diagnosis Banding


Adapun diagnosis banding untuk apendisitis adalah:11
1. Gastroenteritis
Pada gastroenteritis, gejala mual, muntah dan diare dijumpai terlebih
dahulu sebelum timbul nyeri perut. Selain itu, gejala nyeri perut yang dialami juga
lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Sering dijumpai adanya peningkatan
14

peristaltik usus. Demam dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan


apendisitis akut.
2. Demam dengue
Demam dengue dapat dimulai dengan nyeri perut yang menyerupai
peritonitis. Pada penyakit ini, didapatkan hasil tes positive untuk rumple leede,
trombositopenia dan peningkatan hematokrit.
3. Limfadenitis mesenterika
Limfadenitis mesenterika yang biasanya didahului oleh enteritis atau
gastroenteritis, ditandai oleh nyeri perut, terutama perut sebelah kanan, serta
perasaan mual dan nyeri tekan perut yang simaknya samar, terutama untuk perut
sebelah kanan.
4. Kelainan ovulasi/Mittelschmerz
Folikel ovarium yang pecah pada ovulasi dapat menimbulkan nyeri pada
perut kanan bawah di tengah siklus menstruasi. Pada anamnesis, nyeri yang sama
timbul lebih dahulu. Tidak ada tanda radang dan nyeri biasa hilang dalam waktu
24 jam, tetapi mungkin dapat mengganggu selama dua hari.
5. Infeksi panggul
Salpingitis akut kanan seringkali dikacaukan dengan apendisitis akut.
Suhu tubuh biasanya lebih tinggi daripada apendisitis dan nyeri perut bagian
kanan bawah biasanya disertai keputihan dan infeksi urin. Pada colok vagina,
akan timbul rasa nyeri yang hemat bila uterus terus diayunkan. Pada gadis dapat
dilakukan colok dubur apabila diperlukan.
6. Kehamilan ektopik
Pada penyakit ini hampir selalu ada riwayat keterlambatan haid dengan
keluhan yang tidak menentu. Jika terjadi ruptur tuba atau abortus kehamilan di
luar rahim dengan perdarahan, akan timbul nyeri yang mendadak difus di daerah
perlvis dan mungkin terjadi syok hipovolemik. Pada pemeriksan vagina,
didapatkan nyeri dan penonjolan rongga Douglas.
7. Torsio/ruptur kista ovarium
Pada penyakit ini dapat timbul nyeri mendadak dengan intensitas yang
tinggi dan teraba massa dalam rongga pelvis pada pemeriksaan perut, colok
15

vagina atau colok rektal. Tidak terdapat demam. Pemeriksaan ultrasonografi dapat
menentukan diagnosis ini.
8. Endometriosis eksterna
Endometrium di luar rahim akan menimbukan nyeri di tempat dimana
endometriosis tersebut berada dan dapat terjadi penumpukan darah oleh karena
darah menstruasi pada daerah tersebut mungkin tidak dapat keluar.
9. Urolitiasis pielum/ureter kanan
Dijumpai adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut yang menjalar ke
inguinal kanan merupakan gambaran yang khas. Eritrosit pada urin sering
ditemukan. Foto polos perut atau urografi intravena dapat memastikan diagnosis
penyakit ini.
10. Penyakit saluran cerna lainnya.
Penyakit lain yang perlu dipikirkan sebagai diagnosis banding dari
apendisitis adalah peradangan pada rongga abdomen, seperti pada divertikulus
Merkel, perforasi tukak lambung atau duodenum, kolesistitis akut, pankreatitis,
obstruksi usus, perforasi kolon, demam tifoid abdominalis, karsinoid dan mukokel
apendiks.

2.2.6. Penatalaksanaan
Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan yang paling tepat dan merupakan satu-
satunya pilihan yang baik adalah apendektomi. Menurut Wibisono dan Jeo (2013),
ada hal-hal yang perlu diperhatikan:12
1. Pre-operatif
Dilakukan observasi ketat, tirah baring dan puasa. Pemeriksaan abdomen
dan rektal serta pemeriksaan darah dapat diulang secara periodik. Foto abdomen
dan toraks dapat digunakan untuk mencari penyulit lain. Antibiotik intravena
spektrum luas dan analgesik dapat diberikan. Pada apendisitis perforasi perlu
diberikan resusitasi cairan sebelum operasi. Antibiotik harus segera diberikan
pada pasien suspek apendisitis dan antibiotik harus segera dihentikan setelah
operasi pada pasien tanpa perforasi. Pada pasien apendisitis yang tidak dioperasi,
antibiotik harus diberikan paling sedikit 3 hari sampai gejala klinis infeksi hilang.
16

Pada apendisitis akut, dapat diberikan antibiotik berupa:


- Ampisilin 3 g/6 jam per IV atau
- Ceftriaxone 1 g/24 jam per IV + Metronidazole 500 mg/ 8 jam IV
- Ciprofloxavin 500 mg/12 jam IV
- Metronidazole 500 mg/8 jam per IV atau
- Ertapenem 1 g/24 jam per IV
Pada apendisitis dengan komplikasi, pilihannya adalah sebagai berikut:
- Meropenem 1 g/8 jam per IV atau
- Levofloxacin 750 mg/24 jam per IV + Metronidazole 500 mg/8 jam per IV
- Cefepime 2 g/8-12 jam per IV + Metronidazole 500 mg/8 jam per IV
2. Operatif
- Apendektomi terbuka dilakukan dengan insisi transversal pada kuadran
kanan bawah (Davis-Rockey) atau insisi oblik (McArthur-McBurney).
Pada diagnosis yang belum jelas dapat dilakukan subumbilikal pada garis
tengah.
- Laparoskopi apendektomi, teknik operasi dengan luka dan kemungkinan
infeksi yang lebih kecil.
3. Paska-operatif
Perlu dilakukan observasi tanda vital untuk mengantisipasi adanya
perdarahan dalam, syok, hipertermi atau gangguan pernapasan. Pasien
dibaringkan dalam posisi Fowler dan selama 12 jam dipuasakan terlebih
dahulu. Pada operasi dengan perforasi atau peritonitis umum, puasa
dilakukan hingga fungsi usus kembali normal. Secara bertahap pasien
diberi minum, makanan saring, makanan lunak dan makanan biasa.

2.2.7. Komplikasi
Komplikasi yang paling sering terjadi pada apendisitis akut adalah perforasi
apendiks. Adanya fekalith di dalam lumen, penderita pada usia anak-anak maupun
orang tua, dan keterlambatan diagnosis merupakan faktor yang berperan dalam
terjadinya perforasi apendiks. Insidensi perforasi apendiks pada penderita di atas
usia 60 tahun dilaporkan sekitar 60%. Faktor yang mempengaruhi tingginya
17

insidensi perforasi pada orang tua adalah gejalanya yang samar, keterlambatan
pengobatan, adanya perubahan anatomi apendiks berupa penyempitan lumen, dan
arteriosklerosis. Insidensi tinggi pada anak disebabkan oleh dinding apendiks
yang masih tipis, anak kurang komunikatif sehingga memperpanjang waktu
diagnosis, dan proses pendinginan kurang sempurna akibat perforasi yang
berlangsung cepat dan omentum anak yang belum berkembang.6
Perforasi apendiks akan mengakibatkan peritonitis purulenta yang ditandai
dengan demam tinggi, nyeri yang semakin hebat yang meliputi seluruh perut,
perut menjadi distensi (tegang dan kembung). Nyeri tekan dan defans muskular
terjadi di seluruh perut, mungkin disertai dengan pungtum maksimum di regio
iliaka kanan, peristaltik usus dapat menurun sampai menghilang akibat adanya
ileus paralitik. Abses rongga peritoneum dapat terjadi bila pus yang menyebar
terlokalisasi di suatu tempat, paling sering di rongga pelvis dan subdiafragma.
Adanya massa intraabdomen yang nyeri disertai demam harus dicurigai sebagai
abses. Ultrasonogafi dapat membantu mendeteksi adanya abses. Perbaikan
keadaan umum dengan pemberian infus, pemberian antibiotik untuk kuman gram
negatif, gram positif serta kuman anaerob, dan pemasangan pipa nasogastrik perlu
dilakukan sebelum pembedahan. Perlu dilakukan laparotomi insisi yang panjang,
supaya dapat dilakukan pencucian rongga peritoneum dari pus maupun
pengeluaran fibrin yang adekuat secara mudah serta pembersihan abses. Akhir-
akhir ini mulai banyak dilaporkan pengelolaan apendisitis perforasi secara
laparoskopi apendektomi. Pada prosedur ini, rongga abdomen dapat dibilas
dengan mudah. Hasilnya dilaporkan tidak berbeda jauh dibandingkan dengan
laparotomi terbuka, tetapi keuntungannya adalah lama rawat lebih pendek dan
secara kosmetik lebih baik.6
Komplikasi juga dapat terjadi setelah tindakan apendektomi. Komplikasi
yang paling sering dijumpai setelah tindakan apendektomi adalah infeksi pada
lokasi pembedahan yang terjadi pada 5-10% pasien. Hal ini biasanya terjadi pada
hari ke-4 atau ke-5 setelah operasi yang ditandai dengan rasa nyeri dan eritema
pada lokasi operasi. Tatalaksana yang dilakukan adalah drainase luka dan
pemberian antibiotik. Selain itu, sekitar 8% pasien yang menjalani tindakan
18

apendektomi akan mengalami abses intra-abdomen. Pasien harus diedukasi untuk


kembali ke rumah sakit apabila dijumpai demam, malaise dan anoreksia yang
terjadi dalam 5-7 hari setelah operasi. Komplikasi lainnya yang dapat terjadi
adalah ileus, pyaemia portal dan fistula enterokutan.13

2.2.8. Prognosis
Tingkat mortalitas dan morbiditas sangat kecil dengan diagnosis yang
akurat serta pembedahan. Tingkat mortalitas keseluruhan berkisar antara 0,2-0,8%
yang disebabkan oleh komplikasi penyakit dan akibat intervensi bedah. Pada
anak, angka ini berkisar antara 0,1-1%, sedangkan pada pasien di atas usia 70
tahun angka ini meningkat di atas 20%, terutama akibat keterlambatan diagnosis
dan terapi.12
19

BAB 3
STATUS PASIEN

Identitas Pasien
Nama : Yehezkiel Hotaguan Sinaga
No RM : 114767
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal Lahir : 24 Agustus 2012
Usia : 7 tahun
Alamat : Dusun XIX pasar IV
Agama : Kristen
Suku : Batak
Status Pernikahan : Belum menikah
Pendidikan Terakhir : SD
Pekerjaan : Pelajar
Status Sosio-Ekonomi: Menengah
Tinggi Badan : 118 cm
Berat Badan : 20 kg
Tanggal Masuk RS : 09 Maret 2020

Anamnesis
Keluhan Utama : Nyeri perut kanan bawah
Telaah : Keluhan ini telah dialami oleh pasien sejak 4 hari yang lalu.
Pada awalnya, pasien mengeluhkan adanya rasa nyeri di ulu
hati sekitar 5 hari yang lalu yang berpindah ke perut kanan
bawah. Keluhan nyeri yang dirasakan pasien seperti ditusuk-
tusuk dan bersifat terus-menerus dan semakin lama semakin
berat. Rasa nyeri juga bertambah bila pasien bergerak, batuk
ataupun mengedan. Keluhan mual dan muntah tidak dijumpai.
Penurunan nafsu makan dijumpai pada pasien. Keluhan
demam dijumpai sejak 4 hari yang lalu, bersifat naik turun
20

dengan suhu tertinggi 38,2C. Keluhan batuk, sesak napas dan


diare tidak dijumpai. Flatus dan BAB terakhir dijumpai 1 hari
yang lalu. BAK dan BAB dalam batas normal. Riwayat perut
dipijat dijumpai 4 hari yang lalu oleh ibu os. Pasien merupakan
rujukan dari Rumah Sakit Bunda Thamrin.
RPT : Tidak ada
RPO : Parasetamol 3x240mg.

Keadaan Umum : Tampak lemah


Sensorium : Compos Mentis
Tekanan Darah : 90/60 mmHg
Frekuensi Nadi : 90x/menit
Frekuensi Nafas : 20 x/menit
Suhu : 38 ºC
VAS :4

Status Lokalisata
Kepala
Mata : konjungtiva palp. inferior pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
refleks cahaya (+/+), pupil isokor Ø 3mm/3mm
Telinga : sekret (-), deformitas (-)
Hidung : sekret (-), deformitas (-)
Tenggorokan : tidak hiperemis, dalam batas normal
Mulut : dalam batas normal
Leher : TVJ +2 cm H20, pembesaran KGB(-), pembesaran tiroid
(-)
Thorax
Paru : Inspeksi : Simetris, tidak dijumpai ketinggalan nafas
Palpasi : Stem fremitus kanan=kiri, kesan normal
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Suara pernafasan vesikuler (+/+)
21

Suara tambahan (-/-)


Jantung : Batas Jantung
Batas Atas : ICS II-III
Batas Kiri : 1 jari lateral LMCS
Batas Kanan : LPSD
Auskultasi : S1(+), S2(+)
Abdomen : Inspeksi : Simetris, tidak dijumpai distensi
Palpasi : Soepel, Mc Burney sign (+), Rovsing sign
(+), Obturator sign (+), Psoas sign (+),
defans muskular (-).
Perkusi : Timpani, pekak beralih (+).
Auskultasi : Peristaltik (+) normal, metallic sound (-),
borborigmi (-)
Ekstremitas : Atas: fraktur (-), edema (-), sianosis (-), CRT <3 detik
Bawah: fraktur (-), edema (-), sianosis (-), CRT <3 detik
DRE : Perineum normal, tonus spinchter ani ketat, ampula recti
lapang, mukosa licin, nyeri tekan arah jam 10-11, sarung
tangan: feses (+), lendir (-), darah (-).

Diagnosis
Diffuse peritonitis due to susp. apendisitis perforasi

Penatalaksanaan di IGD
1. Bed rest
2. Pasien dipuasakan
3. IVFD N1/2 20 gtt/I mikro
4. Pemasangan NGT dan kateter urin
5. Inj. Ceftriaxone 500 mg/12 jam IV
22

Rencana
1. Periksa KGD ad random, elektrolit, HST dan Fungsi Ginjal.
2. Foto Rontgen Thoraks AP erect
3. Laparatomy Apendektomi

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium IGD (09 Maret 2020)
Jenis Pemeriksaan Hasil Rujukan
HEMATOLOGI
Hemoglobin (HGB) 11 g/dL 10,8 – 15,6 g/dL
Eritrosit (RBC) 4,14 x 106/µL (4,5 - 6,5) x106/µL
Leukosit (WBC) 19.090/µL 4.500 – 13.500 /µL
Hematokrit 32,4% 39 – 54 %
Trombosit (PLT) 357x103/µL 150 - 450 x103/µL
Eosinofil 2,8% 1-5
Basofil 0,4% 0-1
Neutrofil 77,3% 25-60
Limfosit 11,2% 25-50
Monosit 8,3% 1-6
GINJAL
Ureum 17,9 mg/dL <50 mg/dL
Kreatinin 0.43 mg/dL 0,6 - 1,3 mg/dL
ELEKTROLIT
Natrium (Na) 137 mEq/L 135 - 155 mEq/L
Kalium (K) 4.1 mEq/L 3,6 - 5,5 mEq/L
Klorida (Cl) 101 mEq/L 96 - 106 mEq/L
METABOLISME KARBOHIDRAT
Glukosa Darah Sewaktu 94 mg/dL <200
IMUNO SEROLOGI
Ig M Salmonella typhi Negatif
FAAL HEMOSTASIS
Waktu Protrombin + INR
 Pasien 13,9 detik
 Kontrol 13,1 detik
 Pasien 0,95 detik
23

APTT
 Pasien 27,5 detik
 Kontrol 29,8 detik
24

Foto Rontgen Thoraks AP Erect (09 Maret 2020)


25

Kesan: Tidak tampak kelainan pada cor dan pulmo


26

USG Appendix dari RS Bunda Thamrin (09 Maret 2020)

Hasil pemeriksaan USG Appendix :


Pada scanning di daerah Mc. Burney tampak gambaran ‘Doughnut Sign’
berukuran  0,74 cm, tidak tampak echo cairan disekitarnya.

Kesimpulan :
Gambaran acute appendicitis.
27
28

DURANTE OP LAPARATOMY APENDEKTOMI


29
30
31
32

BAB 4
FOLLOW UP

Tanggal Subjective Objective Assessment Plan


10/03/20 Nyeri luka Sensorium: CM Post laparotomy  IVFD RL
bekas HD stabil Apendektomi d/t  Ceftriaxone 500
operasi apendisitis mg/8 jam/i.v.
Abdomen: soepel, perforasi  Metronidazole
distensi (-), 150mg/8jam/IV
peristaltik  Parasetamol drip
(+),lemah, 300mg/8jam/IV
Luka tertutup  Omeprazole
perban. 15mg/12jam/IV
 Ketorolac 15 mg/
12 jam/i.v.
 Rawat luka
 Puasa
11/03/20 Nyeri luka Sensorium: CM Post laparotomy  IVFD RL
bekas HD stabil Apendektomi d/t  Ceftriaxone 500
operasi apendisitis mg/8 jam/i.v.
berkurang Abdomen: soepel, perforasi  Metronidazole
distensi (-), 150mg/8jam/IV
peristaltik  Parasetamol drip
(+),lemah, 300mg/8jam/IV
Luka tertutup  Omeprazole
perban. 15mg/12jam/IV
 Ketorolac 15 mg/
12 jam/i.v.
 Rawat luka
33

 Puasa
12/03/20 Nyeri luka Sensorium: CM Post laparotomy  IVFD RL
bekas HD stabil Apendektomi d/t  Ceftriaxone 500
operasi apendisitis mg/8 jam/i.v.
berkurang Abdomen: soepel, perforasi  Metronidazole
distensi (-), 150mg/8jam/ oral
peristaltik  Parasetamol drip
(+),lemah, 300mg/8jam/IV
Luka tertutup  Omeprazole
perban. 15mg/12jam/IV
 Ketorolac 15 mg/
12 jam/i.v.
 Rawat luka
 Diet M1
 Perbanyak gerak
34

BAB 5
DISKUSI KASUS

TEORI KASUS
DEFINISI  Pasien YHS, Laki-laki 7 tahun,
Apendisitis merupakan peradangan dari datang dengan keluhan utama nyeri
apendiks vermiformis dan merupakan perut kanan bawah sejak 4 hari
penyebab nyeri akut abdomen yang paling yang lalu yang berpindah dari ulu
sering. hati dimana nyeri ulu hati mulai
dirasakan 5 hari yang lalu.

GEJALA KLINIS
Manifestasi klinis yang dijumpai pada  Penurunan nafsu makan dijumpai
pasien dengan apendisitis adalah: pada pasien.
 Nyeri kolik periumbilikus  Keluhan demam dijumpai sejak 4
 Nyeri pada fosa iliaka kanan hari yang lalu, naik turun dengan
 Demam suhu tertinggi 38,2C.
 Mual, muntah dan anoreksia

PEMERIKSAAN FISIK Pada pemeriksaan fisik abdomen:


Temuan pada pemeriksaan fisik abdomen: Inspeksi: Simetris
Inspeksi: simetris/tidak Palpasi: Soepel, Mc Burney sign (+),
Palpasi: soepel/tidak, defans muskular/tidak, Rovsing sign (+), Obturator sign (+), Psoas
dapat dijumpai Mc Burney sign, Rovsing sign (+), defans muskular (-).
sign, Psoas sign atau Obturator sign Perkusi: Timpani, pekak beralih (-).
Perkusi: timpani/tidak, pekak beralih/tidak Auskultasi: Peristaltik (+) normal.
Auskultasi: peristaltik +/- DRE  Perineum normal, tonus spinchter
DRE  nyeri pada arah anterior rektum, ani ketat, ampula recti lapang, mukosa
terutama pada jam 10-11. licin, nyeri tekan arah jam 10-11, sarung
tangan: feses (+), lendir (-), darah (-).
35

PEMERIKSAAN PENUNJANG  Hasil laboratorium klinik dijumpai


• Darah perifer lengkap: dijumpai leukositosis (19.090/µl), USG
leukositosis ringan, CRP positif. dengan akut apendisitisl, foto
• Urinalisa  membantu menyingkirkan thorax dalam batas normal.
diagnosis banding lainnya (ISK).
• Pemeriksaan radiologis  dapat
dilakukan pemeriksaan USG atau CT-
Scan pada pasien baik untuk penegakan
diagnosis, menyingkirkan diagnosis
banding ataupun mengevaluasi kondisi
pasien.

TATALAKSANA
Tatalaksana pada pasien dengan apendisitis Tatalaksana yang dilakukan pada pasien
akut adalah: adalah:
 Pre-operatif  observasi ketat, tirah  Bed rest
baring, puasa, resusitasi cairan dan  Pasien dipuasakan
pemberian antibiotik.  IVFD N1/2 20 gtt/I mikro
 Operatif  apendektomi terbuka atau  Pemasangan NGT dan kateter urin
laparoskopi apendektomi.  Inj. Ceftriaxone 500 mg/12 jam IV
 Paska-operatif  observasi tanda vital  Tindakan laparatomi eksplorasi
dan perawatan luka. apendektomi.
 Rawat luka paska-operatif.
36

BAB 6
KESIMPULAN

Pasien YHS, laki-laki 7 tahun datang ke IGD dengan keluhan utama


nyeri perut kanan bawah yang dialami sejak 4 hari yang lalu. Pasien didiagnosis
dengan diffuse peritonitis d/t acute appendicitis dan ditatalaksana dengan :
 Bed rest
 Pasien dipuasakan
 IVFD N1/2 20 gtt/I mikro
 Pemasangan NGT dan kateter urin
 Inj. Ceftriaxone 500 mg/12 jam IV
 Tindakan laparatomi eksplorasi apendektomi.
 Rawat luka paska-operatif.
37

DAFTAR PUSTAKA

1. Liang MK, Andersson RE, Jaffe BM and Berger DH. The appendix.In:
Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, et al., editor. Schwartz’s
Principles of Surgery 10th Ed. United States of America: Mc Graw-Hill
Education. 2015: 1241-1259
2. Warsinggih. Apendisitis Akut. Makassar: Universitas Hasanuddin. 2012: 1-
14.
3. Sitorus ASN. Karakteristik Letak Perforasi dan Usia pada Pasien yang
Didiagnosis Menderita Apendisitis Perforasi di Rumah Sakit Umum Pusat
Nasional Cipto Mangunkusumo antara Tahun 2005 hingga 2007. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2009.
4. Angka kejadian apendisitis akut. Ditjen Bina YanMedik DepKes RI. 2008.
5. Tambunan FAE. Manfaat Klinis Sukralfat Secara Topikal Sebagai Terapi
Iritasi Kulit pada Peristoma.Medan: Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara. 2008: 12.
6. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta:
EGC;2011. hal 755-64.
7. Smeltzer, S. C & Brenda G. Bare, 2002, Brunner & Suddarth’s Edisi 8, ,
1097-1098, Jakarta, EGC.
8. Wibisono E dan Jeo WS. Kapita Selekta Kedokteran: Apendisitis Edisi 4,
volume 1. Jakarta: Media Aesculapius. 2014.
9. Berger DH. The appendix.In: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, et
al., editor. Schwartz’s Principles of Surgery 9 th Ed. United States of
America: Mc Graw-Hill Education. 2010.
10. Smeltzer, S. C & Brenda G. Bare, 2002, Brunner & Suddarth’s Edisi 8, ,
1097-1098, Jakarta, EGC.
11. Sherwood L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem: Pertahanan
tubuh edisi 6. Jakarta: EGC. 2007..
12. Wibisono E dan Jeo WS. Kapita Selekta Kedokteran: Apendisitis Edisi 4,
volume 1. Jakarta: Media Aesculapius. 2014.
38

13. O’Connell PR. The appendix vermiformis. In: Bailey & Love’s Short
Practice of Surgery 25th Edition. United Kingdom: Hodder Arnold. 2008.

Anda mungkin juga menyukai