Hirschsprung’s Disease
PEMBIMBING:
Dr. dr. Iqbal P A Nasution, Sp.BA(K)
Disusun Oleh:
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan laporan kasus kami yang
berjudul “Hirscsprung’s Disease”.
Penulisan laporan kasus ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen
Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen
pembimbing, Dr. dr. Iqbal P A Nasution, Sp.BA(K) yang telah memberikan
bimbingan dalam penyusunan laporan kasus ini sehingga dapat selesai tepat pada
waktunya.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan yang telah disusun ini masih
jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun untuk laporan kasus ini. Akhir kata, semoga laporan kasus ini dapat
memberikan manfaat bagi pembaca dan semua pihak yang terlibat dalam pelayanan
kesehatan di Indonesia.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar i
Daftar Isi ii
BAB 1 PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Tujuan 2
1.2. Manfaat 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 3
2.1. Kolon 3
2.1.1. Embriologi 3
2.1.2. Anatomi 4
2.2. Hirscsprung’s Disease 8
2.2.1. Definisi 8
2.2.2. Epidemiologi 9
2.2.3. Etiologi 9
2.2.4. Patofisiologi 11
2.2.5. Manifestasi Klinis 13
2.2.6. Diagnosis 15
2.2.7. Diagnosis Banding 19
2.2.8. Penatalaksanaan 19
2.2.9. Komplikasi 23
2.2.10. Prognosis 24
BAB 3 STATUS ORANG SAKIT 25
BAB 4 FOLLOW UP 30
BAB 5 DISKUSI 36
BAB 6 KESIMPULAN 42
DAFTAR PUSTAKA 43
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.2. Tujuan
Tujuan dari pembuatan laporan kasus ini adalah untuk melaporkan kasus
Hirscsprung’s Disease dan membandingkannya dengan landasan teori yang sesuai.
Penyusunan laporan kasus ini sekaligus untuk memenuhi persyaratan kegiatan
Program Profesi Dokter (P3D) di Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.
1.3. Manfaat
Laporan kasus ini diharapkan dapat meningkatkan dan mengembangkan
kemampuan penulis maupun pembaca khususnya peserta P3D untuk
mengintergrasikan teori yang telah ada dengan aplikasi pada kasus yang dijumpai
di lapangan.
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kolon
2.1.1. Embriologi
Dalam perkembangan embriologis normal, sel-sel neuroenterik bermigrasi
dari krista neural ke saluran gastrointestinal bagian atas kemudian melanjutkan ke
arah distal. Sel-sel saraf pertama sampai di esofagus dalam gestasi minggu kelima.
Sel-sel saraf sampai di midgut dan mencapai kolon distal dalam minggu kedua
belas. Migrasi berlangsung mula-mula ke dalam pleksus Auerbach, selanjutnya sel-
sel ini menuju ke dalam pleksus submukosa. Sel-sel krista neural dalam migrasinya
dibimbing oleh berbagai glikoprotein neural atau serabut-serabut saraf yang
berkembang lebih awal daripada sel-sel krista neural. Glikoprotein yang berperan
termasuk fibronektin dan asam hialuronik, yang membentuk jalan bagi migrasi sel
neural. Serabut saraf berkembang ke bawah menuju saluran gastrointestinal dan
kemudian bergerak menuju intestine, dimulai dari membran dasar dan berakhir di
lapisan muskular.3
Enteric Nervous System (ENS) merupakan bagian yang paling kompleks
pada sistem saraf perifer. ENS memiliki neuron lebih banyak dibandingkan dengan
medulla spinalis dan mempunyai peranan dalam koordinasi motilitas usus normal
dan aktivitas sekresi. Seiring dengan berkembangnya teknologi, pemahaman
mengenai ENS berkembang, semakin jelas bahwa bukan menjadi masalah ada atau
tidaknya enteric ganglion cell melainkan yang terpenting ialah jumlah yang benar
seta jenis sel ganglion yang ada. Hal ini semakin diperumit dengan adanya fakta
bahwa morfologi dari pleksus mienterik yang bervariasi berdasarkan usia dan sama
halnya dengan lokasi traktus gastrointenstinal. 4
Selama beberapa tahun, masalah dari perkembangan neural crest (NC)
mempunyai peranan ditingkat seluler yang diketahui melalui embrio unggas
sebagai metode eksperimental. Beberapa tahun terakhir, terdapat berbagai gen yang
mengontrol perkembangan dari sel NC.4
NC embrionik berkembang berasal dari neural tube yang merupakan asal
4
usul dari sistem saraf pusat tetapi sel NC memisah dari jaringan ini melalui reduksi
hubungan atau adesi sel-sel dan sel matriks. Transformasi epithelio-mesenchymal
memungkinkan sel NC untuk meigrasi seiring dengan jalannya pada berbagai
jaringan ketika sel tersebut berhenti untuk migrasi dan akan berdiferensiasi menjadi
berbagai jenis sel. Pemilihan jalur migrasi dicapai dengan adanya kombinasi yang
seimbang dari molekul yang mempromosi dan mereduksi adesi. Sel NC
memberikan peningkatan pada neuronal, endokrin, dan paraendokrin, kraniofasial,
conotruncal jantung, dan jaringan berpigmen. Neurocristopathies memungkkan
adanya tumor, malformasi, dan abdomarlitas tunggal atau lebih pada jaringan yang
sebelumnya dijelaskan terkait banyaknya variasi. 4
Pada fetus manusia, sel derivat NC pertama kali muncul berkembang
menjadi esofagus pada minggu gestasi ke lima dan bermigrasi ke bawah ke kanal
anal dalam arah kranio-kaudal selama minggu gestasi kelima sampai ke dua belas.
Bentuk awal sel NC membentuk pleksus mienterik hanya pada bagian terluar dari
bagian otot sirkular terluar. Mesenkim merupakan derivat dari lapisan otot
longitudinal dan berkembang menjadi bentuk lain dan berubah pleksus mieterik dan
sampai terbentuk sempurna pada minggu gestasi ke duabelas. 4
Secara embriologik, kolon kanan berasal dari usus tengah, sedangkan kolon
kiri berasal dari usus belakang. Lapisan otot longitudinal kolon membentuk tiga
buah pita yang disebut taenia yang berukuran lebih pendek dari kolon itu sendiri
sehingga kolon berlipat-lipat dan berbentuk seperti sakulus (kantong kecil) dan
biasa disebut haustra (bejana). Kolon tranversum dan kolon sigmoideum terletak
intraperitoneal dan dilengkapi dengan mesentrium. Gangguan rotasi usus embrional
dapat terjadi dalam perkembangan embriologik sehingga kolon kanan dan sekum
mempunyai mesentrium yang lengkap. Keadaan ini memudahkan terjadinya
putaran atau volvulus sebagian besar usus yang sama halnya dapat terjadi dengan
mesentrium yang panjang pada kolon sigmoid dengan radiksnya yang sempit..5
2.1.2. Anatomi
Usus besar merupakan tabung muscular berongga dengan panjang sekitar 5
kaki (sekitar 1,5 m) yang terbentang dari sekum sampai kanalis ani, diameter usus
5
besar sudah pasti lebih besar daripada usus kecil. Rata-rata sekitar 2,5 inci (sekitar
6,5 cm), tetapi makin dekat anus diameternya semakin kecil. Usus besar dibagi
menjadi sekum, kolon dan rektum. Pada sekum terdapat katup ileosekal dan
apendiks yang melekat pada ujung sekum. Sekum menepati sekitar dua atau tiga
inci pertama dari usus besar. Katup ilosekal mengontrol aliran kimus dari ileum ke
sekum. Kolon dibagi lagi menjadi kolon asendens, transversum, desendens, dan
sigmoid. Tempat di mana kolon membentuk kelokan tajam yaitu pada abdomen
kanan dan kiri atas berturut-turut dinamakan fleksura hepatica dan fleksura
lienalis.6
Kolon sigmoid mulai setinggi Krista iliaka dan berbentuk suatu lekukan
berbentuk-S. lekukan bagian bawah membelok ke kiri waktu kolon sigmoid bersatu
membelok ke kiri waktu kolon sigmoid bersatu dengan rektum, yang menjelaskan
alasan anatomis meletakkan penderita pada sisi kiri bila diberi enema. Pada posisi
ini, gaya berat membantu mengalirkan air dari rektum ke fleksura sigmoid. Bagian
utama usus besar yang terakhir dinamakan rektum dan terbentang dari kolon
sigmoid sampai anus (muara ke bagian luar tubuh). Satu inci terakhir dari rektum
dinamakan kanalis ani dan dilindungi oleh sfinter ani eksternus dan internus.
Panjang rektum dan kanalis ani sekitar (5,9 inci (15 cm). 6
Usus besar memiliki empat lapis morfologik seperti juga bagian usus
lainnya. Akan tetapi, ada beberapa gambaran yang khs pada usus besar saja.
Lapisan otot longitudinal usus besar tidak sempurna, tetapi terkumpul dalam tiga
pita yang dinamakan taenia koli. Taenia bersatu pada sigmoid distal, dengan
demikian rektum mempunyai satu lapisan otot longitudinal yang lengkap. Panjang
tenia lebih pendek daripada usus, hal ini menyebabkan usus tertarik dan terkerut
membenutuk kantong-kantong kecil yang dinamakan haustra. Pendises eipploika
adalah kantong-kantong kecil peritoneum yang berisi lemak dan melekat di
sepanjang taenia. Lapisan mukosa usus besar jauh lebih tebal daripada lapisan
mukosa usus halus dan tidak mengandung vili atau rugae. Kriptus Lieberkuhn
(kelenjar intestinal) terletak lebih dalam dan mempunyai lebih banyak sel goblet
daripada usus halus. 6
6
Usus besar secara klinis dibagi menjadi belah kiri dan kanan sejalan dengan
suplai darah yang diterima. Arteria mesenterika superior memperdarahi belahan
bagian kanan (sekum, kolon asendens dan dupertiga proksimal kolon transversum),
dan arteria mesenterika inferior memperdarahi belahan kiri (sepertiga distal kolon
transversum, kolon transversum, kolon desendens dan sigmoid, dan bagian
proksimal rektum). Suplai darah tambahan untuk rektum adalah melalui arteri
sakralis media dan artera hemoroidalis inferior dan media yang dicabangkan dari
arteria iliaka interna dan aorta abdominalis.6
Aliran balik vena dari kolon dan rektum superior melalui vena mesenterika
superior dan inferior dan vena hemoroidalis superior, yaitu bagian dari system
portal yang mengalirkan darah ke hati. Vena hemoroidalis media dan inferior
mengalirkan darah ke vena iliaka dan merupakan bagian dari sirkulasi sistemik.
Terdapat anastomosis antara vena hemoroidalis superior, media dan inferior,
7
Rektum memiliki 3 buah valvula: superior kiri, medial kanan dan inferior
kiri. 2/3 bagian distal rektum terletak di rongga pelvik dan terfiksasi, sedangkan 1/3
bagian proksimal terletak dirongga abdomen dan relatif mobile. Kedua bagian ini
dipisahkan oleh peritoneum reflektum dimana bagian anterior lebih panjang
dibanding bagian posterior. Saluran anal (anal canal) adalah bagian terakhir dari
8
usus, berfungsi sebagai pintu masuk ke bagian usus yang lebih proximal; dikelilingi
oleh sphincter ani (eksternal dan internal) serta otot-otot yang mengatur pasase isi
rektum ke dunia luar. Sphincter ani eksterna terdiri dari 3 sling : atas, medial dan
depan. 6
Persarafan motorik spinchter ani interna berasal dari serabut saraf simpatis
(N. hipogastrikus) yang menyebabkan kontraksi usus dan serabut saraf parasimpatis
(N. splanknicus) yang menyebabkan relaksasi usus. Kedua jenis serabut saraf ini
membentuk pleksus rektalis. Sedangkan muskulus levator ani dipersarafi oleh N.
sakralis III dan IV. Nervus pudendalis mempersarafi sphincter ani eksterna dan
m.puborektalis. Saraf simpatis tidak mempengaruhi otot rektum.6
Defekasi sepenuhnya dikontrol oleh N. N. splanknikus (parasimpatis).
Akibatnya kontinensia sepenuhnya dipengaruhi oleh N. pudendalis dan N.
splanknikus pelvik (saraf parasimpatis). 6
proksimal dengan panjang segmen tertentu, selalu termasuk anus dan setidak-
tidaknya sebagian rektum.8
Penyakit hirschsprung di karakteristikan sebagai tidak adanya sel ganglion di
pleksus myenterikus (auerbach’s) dan submukosa (meissner’s) serta merupakam penyebab
paling umum dari obstruksi usus neonatal (bayi berumur 0- 28 hari). Penyakit Hirschsprung
merupakan penyakit dari usus besar (kolon) berupa gangguan perkembangan dari sistem
saraf enterik. Pergerakan dalam usus besar didorong oleh otot. Otot ini dikendalikan oleh
sel-sel saraf khusus yang disebut sel ganglion. Pada bayi yang lahir dengan penyakit
Hirschsprung tidak ditemui adanya sel ganglion yang berfungsi mengontrol kontraksi dan
relaksasi dari otot polos dalam usus distal. Tanpa adanya sel-sel ganglion (aganglionosis)
otot-otot di bagian usus besar tidak dapat melakukan gerak peristaltik (gerak mendorong
keluar feses).9
2.2.2 Epidemiologi
Penyakit Hirschsprung merupakan penyakit yang melibatkan multifaktor
dan penyakit ini dapat berkembang secara spontan dan familial. Insidens diperikan
1 per 5000 kelahiran hidup dengan perbandingan antara laki-laki: perempuan
sebesar 4:1. Panjangnya segmen aganglionik bervariasi sekitar 75-80% biasanya
terjadi pada kolon rektosignoid distal dan 5% terjadi pada usus halus. Kolon
aganglionik total jarang ditemukan namun dapat terjadi. Terdapat kecenderungan
familial pada penyakit ini. Sekitar 80% kasus terdiagnosis pada periode neonatus
sedangkan 20% terdiagnosis setelahnya.8
2.2.3. Etiologi
Penyebab dari penyakit ini belum diketahui dengan jelas. Diperkirakan
terjadi defek migrasi sel-sel krista neural yang merupakan prekursor sel ganglion
intestinal. Normalnya, sel-sel tersebut bermigrasi sefalokaudal. Proses tersebut
selesai pada minggu ke-12 kehamilan. Namun, migrasi dari kolon tranversal bagian
tengah ke anus memerlukan waktu selama 4 minggu. Pada periode inilah paling
rentan terjadi defek migrasi sel krista neural. Hingga saat ini penyakit Hirschsprung
diasosiaikan dengan mutas tiga gen spesifik: protoonkogen RET, gen EDNRB
(endotelin B receptor), dan gen EDN3 (Endothelin 3).8
10
pola pseudodominan dan ditemukan hanya pada 5% dari kasus, biasanya yang
sporadis. 10
c) Kelainan dalam lingkungan
Kelainan dalam lingkungan mikro pada dinding usus dapat mencegah
migrasi sel-sel neural crest normal ataupun diferensiasinya. Suatu peningkatan
bermakna dari antigen major histocompatibility complex (MHC) kelas 2 telah
terbukti terdapat pada segmen aganglionik dari usus pasien dengan Hirschsprung’s
disease, namun tidak ditemukan pada usus dengan ganglionik normal pada kontrol,
mengajukan suatu mekanisme autoimun pada perkembangan penyakit ini. 10
d) Matriks Protein Ekstraseluler
Matriks protein ekstraseluler adalah hal penting dalam perlekatan sel dan
pergerkan dalam perkembangan tahap awal. Kadar glycoproteins laminin dan kolagen tipe
IV yang tinggi alam matriks telah ditemukan dalam segmen usus aganglionik. Perubahan
dalam lingkungan mikro ini didalam usus dapat mencegah migrasi sel-sel normal neural
crest dan memiliki peranan dalam etiologi dari Hirschsprung’s disease. 10
2.2.4. Patogenesis
Hirschsprung dapat terjadi dibagian kolon asending ataupun sigmoid. Tidak
adanya ganglion penting seperti myenteric (Auerbach) dan pleksus submukosa
(Meissner) sehingga mengurangi peristaltik usus dan fungsinya. Mekanisme yang
tepat yang mendasari perkembangan penyakit Hirschsprung sampai saat ini masih
belum diketahui (idiopatik) meskipun ada keterlibatan gen dalam hal terjadinya
Hirschprung disease. 11
Sel ganglion enterik berasal dari puncak saraf. Selama perkembangan
normal, neuroblasts ditemukan di usus kecil pada minggu ke-7 kehamilan dan akan
mencapai usus besar pada minggu ke-12 kehamilan. Salah satu kemungkinan
etiologi penyakit Hirschsprung adalah kecacatan dalam migrasi neuroblas sehingga
menyebabkan kegagalan turunnya neuroblast untuk berada di lokasinya yaitu di
usus besar. Selain itu, terjadi kegagalan neuroblas untuk bertahan hidup,
berkembang biak juga dapat menyebabkan gagalnya neuroblast turun kearah usus
besar.11
12
Tiga saraf pleksus usus seperti pada bagian submukosa (yaitu, Meissner)
pleksus intermuskuler (Auerbach) pleksus mukosa pleksus kecil. Semua pleksus ini
terintegrasi dan halus terlibat dalam semua aspek fungsi usus, termasuk absorbsi,
sekresi, motilitas, dan aliran darah. Motilitas yang normal terutama di bawah
kendali neuron intrinsik. meskipun kehilangan persarafan ekstrinsik. Ganglia ini
mengontrol kontraksi dan relaksasi otot polos, dengan relaksasi yang mendominasi.
Pada pasien dengan penyakit Hirschsprung, sel ganglion tidak hadir, yang
mengarah ke peningkatan dalam usus yaitu persarafan ekstrinsik. Persarafan dari
kedua sistem kolinergik dan sistem adrenergik adalah 2-3 kali dari persarafan
normal. Adrenergik (rangsang) sistem diperkirakan mendominasi atas kolinergik
(penghambatan) sistem, yang menyebabkan peningkatan tonus otot polos. Dengan
hilangnya saraf intrinsik enterik penghambatan, nada peningkatan yang terlindung
dan menyebabkan ketidakseimbangan kontraktilitas otot polos, peristaltik yang
tidak terkoordinasi, dan obstruksi fungsional. 11
Kelainan pada penyakit ini berhubungan dengan spasme pada distal colon
dan sphincter anus internal sehingga terjadi obstruksi. Maka dari itu bagian yang
abnormal akan mengalami kontraksi di segmen bagian distal sehingga bagian yang
normal akan mengalami dilatasi di bagian proksimalnya. Bagian aganglionik selalu
terdapat dibagian distal rektum.9
Dasar patofisiologi dari Hirschsprung adalah tidak adanya gelombang
propulsif dan abnormalitas atau hilangnya relaksasi dari sphincter anus internus
yang disebabkan aganglionosis, hipoganglionosis atau disganglionosis pada usus
besar.10
Pada proximal segmen dari bagian aganglion terdapat area
hipoganglionosis. Area tersebut dapat juga merupakan terisolasi. Hipoganglionosis
adalah keadaan dimana jumlah sel ganglion kurang dari 10 kali dari jumlah normal
dan kerapatan sel berkurang 5 kali dari jumlah normal. Pada colon inervasi jumlah
plexus myentricus berkurang 50% dari normal. Hipoganglionosis kadang mengenai
sebagian panjang colon namun ada pula yang mengenai seluruh colon. 10
Sel ganglion yang imatur dengan dendrite yang kecil dikenali dengan
pemeriksaan LDH (laktat dehidrogenase). Sel saraf imatur tidak memiliki
13
2.2.6. Diagnosis
Diagnosis dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, serta
pemeriksaan penunjang. Anamnesis dan pemeriksaan fisis mencakup tanda dan
gejala yang telah diuraikan sebelumnya. Selain itu perlu dilakukan anamnesis
mengenai riwayat kehamilan dan kelahiran.8
1. Anamnesis
Diagnosis penyakit ini dapat dibuat berdasarkan adanya konstipasi pada
neonatus. Gejala konstipasi yang sering ditemukan adalah terlambatnya mekonium
untuk dikeluarkan dalam waktu 48 jam setelah lahir. Tetapi gejala ini biasanya
ditemukan pada 6% atau 42% pasien. Gejala lain yang biasanya terdapat adalah:
distensi abdomen, gangguan pasase usus, poor feeding, muntah. Apabila penyakit
ini terjadi pada neonatus yang berusia lebih tua maka akan didapatkan kegagalan
pertumbuhan. Hal lain yang harus diperhatikan adalah jika didapatkan periode
konstipasi pada neonatus yang diikuti periode diare yang masif kita harus
mencurigai adanya enterokolitis.6,8
Pada bayi yang lebih tua penyakit hirschsprung akan sulit dibedakan dengan
kronik konstipasi dan enkoperesis. Faktor genetik adalah faktor yang harus
diperhatikan pada semua kasus. Pemeriksaan barium enema akan sangat membantu
dalam menegakkan diagnosis. Akan tetapi apabila barium enema dilakukan pada
hari atau minggu awal kelahiran maka zone transisi akan sulit ditemukan. Penyakit
hirschsprung klasik ditandai dengan adanya gambaran spastic pada segmen distal
intestinal dan dilatasi pada bagian proksimnam’al intestinal.8
2. Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Pada pemeriksaan colok dubur sphincter ani teraba hipertonus dan rektum
biasanya kosong. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien dengan
kecurigaan penyakit Hirschsprung adalah8:
1. Pemeriksaan definitif: biopsis rektal. Biopsi rektal dapat dilakukan
secara bedside pada pasien neonatus sedangkan pada anak yang lebih
besar diperlukan sedasi intravena. Pengambilan sampel meliputi lapisan
mukosa serta submukosa, 1 cm, 2 cm, dan 3 cm dari linea dentata.
Sediaan penyakit Hirschsprung menunjukan tidak adanya sel ganglion
16
Gambar 2.5. Pemeriksaan radiografi barium enema pada bayi dengan penyakit
Hirschsprung. (A) Bayi usia dua minggu. Catatan: dilatasi usus halus (tanda panah) dan
gambaran kolon yang normal (tanda panah yang besar). (B) Bayi usia 4 bulan. Catatan:
zona transisi pada regio rektosigmoid dimana usus normal menjadi aganglionik.12
17
Gambar 2.7. (A) Spesimen biopsi usus normal yang memiliki gangliom yang telah
diwarnai dengan hematoxylin dan eosin. Sel ganglion terlihat di submucosa. (B) Spesimen
biopsi pada neonatus dengan penyakit hirsprung menunjukkan tidak adanya sel- sel
ganglion. Selain itu submucosal nerve trunk tampak lebih besar, yang sangat berhubungan
dengan agangliosis.13
Gambar 2.8. Tampak gambaran hyperplastic nerve fiber (tanda panah), tapi
tidak ada sel ganglion pada pleksus myenteric.14
19
2.2.8. Penatalaksanaan
Semua pasien dengan penyakit hirschsprung dirujuk ke dokter
spesialis bedah anak unutk mendapatkan tata laksana definitf. Namun tata
laksana awal dapat diberikan pada pasien dengan distensi abdomen
(biasanya pada kasus aganglionik total)8:
1. Dekompresi saluran cerna dengan selang nasogastrik (NGT). Cairan dihisap
setiap 15-20 menit karena cairan jejenum akan mulai mengisi lambung
dalam rentang waktu ini. Dekompresi rektal juga dapat dilakukan dengan
menggunakan rectal tube. Apabila dekompresi tidak berhasil kolostomi
menjadi pilihan terapi sementara.
20
Pada semya kasus, sangat penting untuk menentukan lebel atau tingkatan
usus ganglionik. Sebagian besar bedah anak percaya bahwa anastomosis
dilakukan setidaknya 5 cm dari titik dimana sel ganglion ditemukan. Hal ini
diperlukan untuk mencegah dilakukan operasi berulang. Komplikasi dari
semua prosedur termasuk enterokolitis post operatif, konstipasi, dan striktur
anastomosis. Akan tetapi komplikasi dari penggunaan atau aplikasi metode
operasi ketiganya bergantung pada keahlian dan pengalaman operator.16
3. Prosedur Soave
Prosedur ini sebenarnya pertama sekali diperkenalkan Rehbein tahun 1959
untuk tindakan bedah pada malformasi anorektal letak tinggi. Namun oleh Soave
tahun 1966 diperkenalkan untuk tindakan bedah definitive Penyakit
Hirschsprung. Tujuan utama dari prosedur Soave ini adalah membuang mukosa
rektum yang aganglionik, kemudian menarik terobos kolon proksimal yang
ganglionik masuk kedalam lumen rektum yang telah dikupas tersebut. 17
4. Prosedur Rehbein
23
Prosedur ini tidak lain berupa deep anterior resection, dimana dilakukan
anastomose end to end antara usus aganglionik dengan rektum pada level otot
levator ani (2-3 cm diatas anal verge), menggunakan jahitan 1 lapis yang
dikerjakan intra abdominal ekstraperitoneal. Pasca operasi, sangat penting
melakukan businasi secara rutin guna mencegah stenosis. 17
2.2.9. Komplikasi
Sebagian besar pasien dengan penyakit Hirschsprung yang telah ditangani
tidak mempunyai komplikasi. Akan tetapi, 10% diantaranya mungkin mempunyai
keluhan konstipasi dan kuran gdari 1 persen mempunyai fecal incontinence.
Enterocolitis dan ruptur kolon merupakan komplikasi yang paling serius terkait
keterlambatan diagnosis dan penanganan penyakit Hirschsprung dan merupakan
penyebab tingginya angka mortalitas. Enterokolitis terjadi pada 17 hingga 50%
persen bayi dengan penyakit Hirschsprung dan sebagian besar disebabkan oleh
karena adanya obstruksi intestinal setelah dilakukannya pembedahan definitif
karena infeksi telah dilaporkan terjadi 10 tahun setelah penanangan. Akan tetapi,
sebagian besar post operatif enterokolitis terjadi dalam waktu dua tahun pertama
setelah dilakukan anastomosis ileoanal pull through.12
Gejala awal dari enterokolitis (Tabel X) pada pasien dengan penyakit
Hirschsprung termasuk distensi abdomen, diare cair, foul-smelling, letargi, dan
buruknya pemberian makanan. Penanganan dengan irigeasi rektal berulang per hari
dan pemberian antibiotik biasanay memberikan efikasi yang tinggi. Pemberian
24
metronidazole oral dapat digunakan sebagai irigasi rektal pada pasien dengan
penyakit yang lebih ringan. Penyakit yang lebih serius seharusnya diterapi dengan
pemberian antibiotik spektrum luas secara intravena dan irigasi rektal. Rektal irigasi
dilakukan dengan memasukan salin normal ke dalam kolon melalui kateter karet
yang memungkinkan untuk keluarnya gas dan feses. Salin (10 sampai 15 mL per
kg) diberikan melalui kateter tersebut.12
2.2.10. Prognosis
Tingkat mortalitas dan morbiditas sangat kecil dengan diagnosis yang
akurat serta pembedahan. Tingkat mortalitas keseluruhan berkisar antara 0,2-0,8%
yang disebabkan oleh komplikasi penyakit dan akibat intervensi bedah. Pada anak,
angka ini berkisar antara 0,1-1%, sedangkan pada pasien di atas usia 70 tahun angka
ini meningkat di atas 20%, terutama akibat keterlambatan diagnosis dan terapi.19
25
BAB 3
STATUS PASIEN
Identitas Pasien
Nama : Josep Siregar
No RM : 72.41.55
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal Lahir : 21 Oktober 2017
Usia : 17 hari
Alamat : Siguri Guri Sitolu Bihal
Agama : Kristen Protestan
Suku : Batak
Status Pernikahan : Belum menikah
Panjang Badan : 50 cm
Berat Badan : 3460 gram
Lingkar Kepala : 34 cm
Lingkar Dada : 33 cm
Lingkar Perut : 39 cm
Tanggal Masuk RS : 30 Oktober 2017
Anamnesis
Keluhan Utama : Perut membesar
Telaah : Hal ini dialami OS sejak lahir, perut semakin lama semakin
membesar. Saat lahir OS tidak langsung BAB. Riwayat BAB
pertama saat OS berusia 3 hari dan setelah itu tidak BAB lagi
seterusnya. BAB yang pertama kali hanya sedikit, konsistensi
lunak. Riwayat BAB berdarah tidak dijumpai. Muntah (+)
berwarna kuning kehijauan sejak OS berusia 4 hari. BAK
dijumpai. Riwayat demam tidak dijumpai.
Riwayat kehamilan: OS lahir cukup bulan, usia ibu saat melahirkan OS 40 tahun.
OS merupakan anak ke 8. Riwayat penyakit hipertensi, DM,
26
Keadaan Umum
Sensorium : Compos Mentis
Frekuensi Nadi : 120 x/menit
Frekuensi Nafas : 42 x/menit
Suhu : 36,7ºC
Status Lokalisata
Kepala
Mata : konjungtiva palp. inferior pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
refleks cahaya (+/+), pupil isokor Ø 3mm/3mm
Telinga : sekret (-), deformitas (-)
Hidung : sekret (-), deformitas (-)
Tenggorokan : dalam batas normal
Mulut : dalam batas normal
Leher : dalam batas normal
Thorax : Simetris, Suara pernafasan vesikuler (+/+), Suara tambahan
(-/-)
Abdomen : Inspeksi : Distensi, simetris, venektasi (+)
Palpasi : Soepel
Perkusi : Timpani, pekak beralih (-).
Auskultasi : Peristaltik (+) ↑
Ekstremitas : Atas: fraktur (-), edema (-), sianosis (-), CRT <3 detik
27
Bawah: fraktur (-), edema (-), sianosis (-), CRT <3 detik
DRE : Spinchter ani menjepit kuat, mukosa licin, ampula recti
kolaps , sarung tangan: feses (+), lendir (-), darah (-), feses
menyemprot (+)
Diagnosis
Susp. Hirschsprung disease
Rencana
1. Foto baby gram
2. Periksa Darah Lengkap, KGD ad random, Elektrolit, Fungsi Ginjal
3. Rawat ruangan
28
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium IGD RSUP HAM (30 Oktober 2017)
Jenis Pemeriksaan Hasil Rujukan
HEMATOLOGI
Hemoglobin (HGB) 15,1 g/dL 10,3 – 17,9 g/dL
Eritrosit (RBC) 4,81 x 106/µL (3,2 - 5,6) x106/µL
Leukosit (WBC) 11.010/µL 5.000 - 19.500 /µL
Hematokrit 48% 31 – 59 %
Trombosit (PLT) 580 x103/µL 229 - 553 x103/µL
GINJAL
BUN 28 mg/dL 7-19 mg/dL
Ureum 60 mg/dL 15-40 mg/dL
Kreatinin 0,49 mg/dL 0,6 - 1,1 mg/dL
ELEKTROLIT
Natrium (Na) 141 mEq/L 135 - 155 mEq/L
Kalium (K) 3,6 mEq/L 3,6 - 5,5 mEq/L
Klorida (Cl) 106 mEq/L 96 - 106 mEq/L
METABOLISME KARBOHIDRAT
Glukosa Darah Sewaktu 64 mg/dL 40-60
29
BAB 4
FOLLOW UP
KCl 10 mEq → 11
Abdomen : cc/jam
Distensi (+), Dies ASI 11 cc/2
venektasi (+) jam/ OGT
Lingkar perut : 40 Washout 2xsehari
cm
BAB 5
DISKUSI KASUS
TEORI KASUS
Epidemiologi
Penyakit Hirschsprung Pasien seorang bayi laki-laki berusia 17 hari.
merupakan penyakit yang
melibatkan multifaktor dan
penyakit ini dapat berkembang
secara spontan dan familial.
Insidens diperikan 1 per 5000
kelahiran hidup dengan
perbandingan antara laki-laki:
perempuan sebesar 4:1.
Manifestasi Klinis
Pasien dengan kemungkinan Pada pasien ditemukan :
penyakit hirshsprung dapat 1. Saat lahir pasien tidak langsung BAB. BAB
menunjukan tanda dan gejala baru terjadi setelah 3 hari pasien dilahirkan.
berikut ini 8: 2. Perut membesar sejak lahir.
6. Gagal mengeluarkan 3. Riwayat muntah berwarna kuning kehijauan
mekonum dalam 24 sejak usia 4 hari.
jam pertama
kehidupan
(keterlambatan
evakuasi mekonium)
7. Tanda obstruksi
intenstinal
nonspesifik: distensi
abdomen, muntah
hijau,dan intoleransi
37
dalam pemberian
makan. Hal ini terjadi
karena tidak adanya
peristalsis yang
bersifat propulsif
pada segmen
aganglionik.
8. Enterokolitis yang
ditandai dengan
demam, distensi
abdomen, tinja
menyemprot bila
dilakukan colok
dubur, tinja berbau
busuk serta berdarah.
Enterokolitis
diperkirakan terjadi
karena stasis
obstruktif dan
pertumbuhan bakteri
yang berlebihan
(misalnya C. difficile
dan rotavirus)
9. Apabila sudah terjadi
komplikasi berupa
peritonitis ditemukan
edema, bercak
kemerahan di sekitar
umbilikus,
punggung, serta pada
daerah genitalia.
38
Diagnosis
Anamnesis Anamnesis
yang mengalami dilatasi dengan anus diinjeksikan kontras barium. Tampak aliran
segemen aganglionik yang kontras dengan lancer mengisi rectum, kolon sigmoid
mengalami konstriksi. dengan terlihat rendudensi kolon sigmoid. Kaliber
Terdapat tanda klasik radiografis rectum tampak kecil sampai ke daerah sigmoid dengan
penyakit hirschsprung, yakni8: zona transisi berbentuk cone (corong).
-Segmen sempit dari sfingter Rasio rektosigmoid lebih kecil dari satu dengan ruang
anal. presakral yang melebar. Tak tampak filling defek
-Zona transisi (daerah perubahan maupun additional shadow. Tak tampak ekstravasasi
dari segmen sempit ke segmen kontras.
dilatasi. Kesimpulan: Sesuai gambaran Hirschsprung’s Disease
-Segmen dilatasi long segment dengan zona transisi berbentuk cone.
-Pemeriksaan barium enema Redunden colon sigmoid.
sangat berguna untuk Saran: Barium retensi
menyingkirkan diagnsis banding
seperti atresia kolon, sumbatan Uraian Hasil Pemeriksaan Barium Retensi:
mekonium, atau small left colon Tampak distensi usus oleh udara.
syndrome. Masih tampak sisa kontras di dalam sebagian usus.
Kesimpulan: Gambaran sesuai dengan Hirschsprung
Disease.
aganglionik total)
5. Dekompresi saluran cerna
dengan selang nasogastrik
(NGT).
6. Rehidrasi (diberikan
kebutuhan rumatan dan
rehidrasi). Hindari
pemberian cairan dengan
kecpeatan tinggi untuk
menghindari edema paru.
7. Pemasangan kateter urin
untuk memantau urine
output. Normalnya 1,5
cc/kgBB/jam.
8. Pemberian antibiotik
apabila terjadi
enterokolitis.
BAB 6
KESIMPULAN
Pasien JS, laki-laki, umur 17 hari datang ke IGD RSUP HAM dengan keluhan
utama perut membesar. Pasien di diagnosa dengan hirschsprung’s disease serta
diberi tatalaksana awal berupa:
1. IVFD D5% NaCl 0,25% 20 gtt/I micro
2. Pasang OGT
3. Washout
DAFTAR PUSTAKA
17. Leonidas J.C., Singh S.P., Slovis T.L. 2004. Chapter 4 Congenital Anomalies of
The Gastrointestinal Tract In: Caffey’s Pediatric Diagnostic Imaging 10th edition.
Elsevier-Mosby. Philadelphia. Page 148-153.
18. Brunicardi FC., Andersen DK., Billiar TR., Dunn DL., et al. 2015.
Schwartz’s Principles of Surgery Tenth Edition. New York : Mc Graw Hill.
19. E