Anda di halaman 1dari 48

Laporan Kasus

Hirschsprung’s Disease

PEMBIMBING:
Dr. dr. Iqbal P A Nasution, Sp.BA(K)

Disusun Oleh:

Citra Ayu Dystira 120100043


Masitha Ayuni 120100094
Bryan Franco GM 120100121
Kiki Fernando Tua Siahaan 120100138
Singgih E Prasetyo 120100197
Nancy Mediatrick Nadeak 120100289
Kevin Hocin 120100319
Febbyola Ramanda 120100348
Nurul Idayu Binti Abd.Rahim 120100471
Tachna Shanmugam 120100496

PROGRAM KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


DEPARTEMEN ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK
MEDAN
2017
i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan laporan kasus kami yang
berjudul “Hirscsprung’s Disease”.
Penulisan laporan kasus ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen
Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen
pembimbing, Dr. dr. Iqbal P A Nasution, Sp.BA(K) yang telah memberikan
bimbingan dalam penyusunan laporan kasus ini sehingga dapat selesai tepat pada
waktunya.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan yang telah disusun ini masih
jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun untuk laporan kasus ini. Akhir kata, semoga laporan kasus ini dapat
memberikan manfaat bagi pembaca dan semua pihak yang terlibat dalam pelayanan
kesehatan di Indonesia.

Medan, November 2017

Penulis
ii

DAFTAR ISI

Kata Pengantar i
Daftar Isi ii
BAB 1 PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Tujuan 2
1.2. Manfaat 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 3
2.1. Kolon 3
2.1.1. Embriologi 3
2.1.2. Anatomi 4
2.2. Hirscsprung’s Disease 8
2.2.1. Definisi 8
2.2.2. Epidemiologi 9
2.2.3. Etiologi 9
2.2.4. Patofisiologi 11
2.2.5. Manifestasi Klinis 13
2.2.6. Diagnosis 15
2.2.7. Diagnosis Banding 19
2.2.8. Penatalaksanaan 19
2.2.9. Komplikasi 23
2.2.10. Prognosis 24
BAB 3 STATUS ORANG SAKIT 25
BAB 4 FOLLOW UP 30
BAB 5 DISKUSI 36
BAB 6 KESIMPULAN 42
DAFTAR PUSTAKA 43
1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Penyakit hirschsprung. (megakolon kongenital) disebabkan oleh karena
kegagalan migrasi sel ganglion kolon selama gestasi. Gangguan embriologi migrasi
sel tersebut menyebabkan terjadinya defek (agangliosis) yang menyebabkan kolon
distal tidak dapat relaksasi dan mengakibatkan terjadinya obstruksi fungsional
kolon.1
Penyakit hirschsprung biasanya hanya melibatkan regio rektosigmoid kolon,
namun juga dapat melibatkan sebagian besar bagian kolon dan yang paling jarang
melibatkan usus halus. Penyakit ini biasanya didapatkan pada bayi, meskipun pada
beberapa pasien asimptomatik yang nantinya dapat berkembang menjadi konstipasi
berat seiring bertambahnya usia. Gejala pada penyakit hirschsprung ialah buruknya
pergerakan usus, sulitnya pemberian makanan, sulitnya mencapai berat badan ideal,
dan distensi abdomen yang progresif.1
Diagnosis dini merupakan hal yang penting dalam mencegah komplikasi
penyakit ini. Rectal suction biopsy dapat digunakan untuk mendeteksi adanya
hipertrofi trunkus neuron dan ketiadaan sel ganglion pada lapisan submukosa
kolon. Pemeriksaan ini merupakan baku emas dari penyakit hirschsprung. 1
Penanganan pasien dengan penyakit hirschsprung ialah mengurangi distensi
abdomen dengan melakukan dekompresi saluran cerna, baik dengan pemasangan
NGT (selang nasogastrik) dan selang rektal. Rehidrasi perlu diberikan pada pasien
dengan dehidrasi. Akan tetapi, pemberian cairan perlu perhatian dalam kecepatan
cairan yang diberikan untuk menghindari terjadinya edema paru. Penanganan
operatif definitif dilakukan metode pull through operation.2
Komplikasi dari keterlambatan penanganan penyakit hirschsprung ialah
enterokolitis yang merupakan penyebab angka mortalitas tinggi pada pasien dengan
penyakit hirschsprung. 1
2

1.2. Tujuan
Tujuan dari pembuatan laporan kasus ini adalah untuk melaporkan kasus
Hirscsprung’s Disease dan membandingkannya dengan landasan teori yang sesuai.
Penyusunan laporan kasus ini sekaligus untuk memenuhi persyaratan kegiatan
Program Profesi Dokter (P3D) di Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.

1.3. Manfaat
Laporan kasus ini diharapkan dapat meningkatkan dan mengembangkan
kemampuan penulis maupun pembaca khususnya peserta P3D untuk
mengintergrasikan teori yang telah ada dengan aplikasi pada kasus yang dijumpai
di lapangan.
3

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kolon
2.1.1. Embriologi
Dalam perkembangan embriologis normal, sel-sel neuroenterik bermigrasi
dari krista neural ke saluran gastrointestinal bagian atas kemudian melanjutkan ke
arah distal. Sel-sel saraf pertama sampai di esofagus dalam gestasi minggu kelima.
Sel-sel saraf sampai di midgut dan mencapai kolon distal dalam minggu kedua
belas. Migrasi berlangsung mula-mula ke dalam pleksus Auerbach, selanjutnya sel-
sel ini menuju ke dalam pleksus submukosa. Sel-sel krista neural dalam migrasinya
dibimbing oleh berbagai glikoprotein neural atau serabut-serabut saraf yang
berkembang lebih awal daripada sel-sel krista neural. Glikoprotein yang berperan
termasuk fibronektin dan asam hialuronik, yang membentuk jalan bagi migrasi sel
neural. Serabut saraf berkembang ke bawah menuju saluran gastrointestinal dan
kemudian bergerak menuju intestine, dimulai dari membran dasar dan berakhir di
lapisan muskular.3
Enteric Nervous System (ENS) merupakan bagian yang paling kompleks
pada sistem saraf perifer. ENS memiliki neuron lebih banyak dibandingkan dengan
medulla spinalis dan mempunyai peranan dalam koordinasi motilitas usus normal
dan aktivitas sekresi. Seiring dengan berkembangnya teknologi, pemahaman
mengenai ENS berkembang, semakin jelas bahwa bukan menjadi masalah ada atau
tidaknya enteric ganglion cell melainkan yang terpenting ialah jumlah yang benar
seta jenis sel ganglion yang ada. Hal ini semakin diperumit dengan adanya fakta
bahwa morfologi dari pleksus mienterik yang bervariasi berdasarkan usia dan sama
halnya dengan lokasi traktus gastrointenstinal. 4
Selama beberapa tahun, masalah dari perkembangan neural crest (NC)
mempunyai peranan ditingkat seluler yang diketahui melalui embrio unggas
sebagai metode eksperimental. Beberapa tahun terakhir, terdapat berbagai gen yang
mengontrol perkembangan dari sel NC.4
NC embrionik berkembang berasal dari neural tube yang merupakan asal
4

usul dari sistem saraf pusat tetapi sel NC memisah dari jaringan ini melalui reduksi
hubungan atau adesi sel-sel dan sel matriks. Transformasi epithelio-mesenchymal
memungkinkan sel NC untuk meigrasi seiring dengan jalannya pada berbagai
jaringan ketika sel tersebut berhenti untuk migrasi dan akan berdiferensiasi menjadi
berbagai jenis sel. Pemilihan jalur migrasi dicapai dengan adanya kombinasi yang
seimbang dari molekul yang mempromosi dan mereduksi adesi. Sel NC
memberikan peningkatan pada neuronal, endokrin, dan paraendokrin, kraniofasial,
conotruncal jantung, dan jaringan berpigmen. Neurocristopathies memungkkan
adanya tumor, malformasi, dan abdomarlitas tunggal atau lebih pada jaringan yang
sebelumnya dijelaskan terkait banyaknya variasi. 4
Pada fetus manusia, sel derivat NC pertama kali muncul berkembang
menjadi esofagus pada minggu gestasi ke lima dan bermigrasi ke bawah ke kanal
anal dalam arah kranio-kaudal selama minggu gestasi kelima sampai ke dua belas.
Bentuk awal sel NC membentuk pleksus mienterik hanya pada bagian terluar dari
bagian otot sirkular terluar. Mesenkim merupakan derivat dari lapisan otot
longitudinal dan berkembang menjadi bentuk lain dan berubah pleksus mieterik dan
sampai terbentuk sempurna pada minggu gestasi ke duabelas. 4
Secara embriologik, kolon kanan berasal dari usus tengah, sedangkan kolon
kiri berasal dari usus belakang. Lapisan otot longitudinal kolon membentuk tiga
buah pita yang disebut taenia yang berukuran lebih pendek dari kolon itu sendiri
sehingga kolon berlipat-lipat dan berbentuk seperti sakulus (kantong kecil) dan
biasa disebut haustra (bejana). Kolon tranversum dan kolon sigmoideum terletak
intraperitoneal dan dilengkapi dengan mesentrium. Gangguan rotasi usus embrional
dapat terjadi dalam perkembangan embriologik sehingga kolon kanan dan sekum
mempunyai mesentrium yang lengkap. Keadaan ini memudahkan terjadinya
putaran atau volvulus sebagian besar usus yang sama halnya dapat terjadi dengan
mesentrium yang panjang pada kolon sigmoid dengan radiksnya yang sempit..5

2.1.2. Anatomi
Usus besar merupakan tabung muscular berongga dengan panjang sekitar 5
kaki (sekitar 1,5 m) yang terbentang dari sekum sampai kanalis ani, diameter usus
5

besar sudah pasti lebih besar daripada usus kecil. Rata-rata sekitar 2,5 inci (sekitar
6,5 cm), tetapi makin dekat anus diameternya semakin kecil. Usus besar dibagi
menjadi sekum, kolon dan rektum. Pada sekum terdapat katup ileosekal dan
apendiks yang melekat pada ujung sekum. Sekum menepati sekitar dua atau tiga
inci pertama dari usus besar. Katup ilosekal mengontrol aliran kimus dari ileum ke
sekum. Kolon dibagi lagi menjadi kolon asendens, transversum, desendens, dan
sigmoid. Tempat di mana kolon membentuk kelokan tajam yaitu pada abdomen
kanan dan kiri atas berturut-turut dinamakan fleksura hepatica dan fleksura
lienalis.6
Kolon sigmoid mulai setinggi Krista iliaka dan berbentuk suatu lekukan
berbentuk-S. lekukan bagian bawah membelok ke kiri waktu kolon sigmoid bersatu
membelok ke kiri waktu kolon sigmoid bersatu dengan rektum, yang menjelaskan
alasan anatomis meletakkan penderita pada sisi kiri bila diberi enema. Pada posisi
ini, gaya berat membantu mengalirkan air dari rektum ke fleksura sigmoid. Bagian
utama usus besar yang terakhir dinamakan rektum dan terbentang dari kolon
sigmoid sampai anus (muara ke bagian luar tubuh). Satu inci terakhir dari rektum
dinamakan kanalis ani dan dilindungi oleh sfinter ani eksternus dan internus.
Panjang rektum dan kanalis ani sekitar (5,9 inci (15 cm). 6
Usus besar memiliki empat lapis morfologik seperti juga bagian usus
lainnya. Akan tetapi, ada beberapa gambaran yang khs pada usus besar saja.
Lapisan otot longitudinal usus besar tidak sempurna, tetapi terkumpul dalam tiga
pita yang dinamakan taenia koli. Taenia bersatu pada sigmoid distal, dengan
demikian rektum mempunyai satu lapisan otot longitudinal yang lengkap. Panjang
tenia lebih pendek daripada usus, hal ini menyebabkan usus tertarik dan terkerut
membenutuk kantong-kantong kecil yang dinamakan haustra. Pendises eipploika
adalah kantong-kantong kecil peritoneum yang berisi lemak dan melekat di
sepanjang taenia. Lapisan mukosa usus besar jauh lebih tebal daripada lapisan
mukosa usus halus dan tidak mengandung vili atau rugae. Kriptus Lieberkuhn
(kelenjar intestinal) terletak lebih dalam dan mempunyai lebih banyak sel goblet
daripada usus halus. 6
6

Gambar 2.1. Anatomi Aliran Darah Kolon7

Usus besar secara klinis dibagi menjadi belah kiri dan kanan sejalan dengan
suplai darah yang diterima. Arteria mesenterika superior memperdarahi belahan
bagian kanan (sekum, kolon asendens dan dupertiga proksimal kolon transversum),
dan arteria mesenterika inferior memperdarahi belahan kiri (sepertiga distal kolon
transversum, kolon transversum, kolon desendens dan sigmoid, dan bagian
proksimal rektum). Suplai darah tambahan untuk rektum adalah melalui arteri
sakralis media dan artera hemoroidalis inferior dan media yang dicabangkan dari
arteria iliaka interna dan aorta abdominalis.6
Aliran balik vena dari kolon dan rektum superior melalui vena mesenterika
superior dan inferior dan vena hemoroidalis superior, yaitu bagian dari system
portal yang mengalirkan darah ke hati. Vena hemoroidalis media dan inferior
mengalirkan darah ke vena iliaka dan merupakan bagian dari sirkulasi sistemik.
Terdapat anastomosis antara vena hemoroidalis superior, media dan inferior,
7

sehingga peningkatan tekanan portal dapat mengakibatkan aliran balik ke dalam


vena-vena ini dan mengakibatkan hemoroid. 6
Persarafan usus besar dilakukan oleh sistem saraf otonom dengan
perkecualian sfingter eksterna yang berada dibawah kontrol volunter. Serabut
parasimpatis berjalan melalui saraf vagus ke bagian tengah kolon transversum, dan
saraf pelvikus yang berasal dari daerah sakral mensuplai bagian distal. Serabut
simpatis meninggalkan medulla spinalis melalui saraf splangnikus untuk mencapai
kolon. Perangsangan simpatis menyebabkan penghambatan sekresi dan kontraksi,
serta perangsangan sfingter rektum, sedangkan perangsangan parasimpatis
mempunyai efek yang berlawanan. Sistem syaraf autonomik intrinsik pada usus
terdiri dari 3 pleksus : (1) Pleksus Auerbach : terletak diantara lapisan otot sirkuler
dan longitudinal, (2) Pleksus Henle : terletak disepanjang batas dalam otot sirkuler,
(3) Pleksus Meissner : terletak di sub-mukosa. Pada penderita penyakit
Hirschsprung, tidak dijumpai ganglion pada ke-3 pleksus tersebut. 6

Gambar 2.2. Persarafan Sistem Pencernaan6

Rektum memiliki 3 buah valvula: superior kiri, medial kanan dan inferior
kiri. 2/3 bagian distal rektum terletak di rongga pelvik dan terfiksasi, sedangkan 1/3
bagian proksimal terletak dirongga abdomen dan relatif mobile. Kedua bagian ini
dipisahkan oleh peritoneum reflektum dimana bagian anterior lebih panjang
dibanding bagian posterior. Saluran anal (anal canal) adalah bagian terakhir dari
8

usus, berfungsi sebagai pintu masuk ke bagian usus yang lebih proximal; dikelilingi
oleh sphincter ani (eksternal dan internal) serta otot-otot yang mengatur pasase isi
rektum ke dunia luar. Sphincter ani eksterna terdiri dari 3 sling : atas, medial dan
depan. 6

Gambar 2.3. Anatomi Rektum6

Persarafan motorik spinchter ani interna berasal dari serabut saraf simpatis
(N. hipogastrikus) yang menyebabkan kontraksi usus dan serabut saraf parasimpatis
(N. splanknicus) yang menyebabkan relaksasi usus. Kedua jenis serabut saraf ini
membentuk pleksus rektalis. Sedangkan muskulus levator ani dipersarafi oleh N.
sakralis III dan IV. Nervus pudendalis mempersarafi sphincter ani eksterna dan
m.puborektalis. Saraf simpatis tidak mempengaruhi otot rektum.6
Defekasi sepenuhnya dikontrol oleh N. N. splanknikus (parasimpatis).
Akibatnya kontinensia sepenuhnya dipengaruhi oleh N. pudendalis dan N.
splanknikus pelvik (saraf parasimpatis). 6

2.2. Hirschsprung’s Disease


2.2.1. Definisi
Penyakit Hirschsprung (megakolon kongenital) adalah suatu kelainan
bawaan berupa aganglionosis usus mulai dari sfingter anal internal ke arah
9

proksimal dengan panjang segmen tertentu, selalu termasuk anus dan setidak-
tidaknya sebagian rektum.8
Penyakit hirschsprung di karakteristikan sebagai tidak adanya sel ganglion di
pleksus myenterikus (auerbach’s) dan submukosa (meissner’s) serta merupakam penyebab
paling umum dari obstruksi usus neonatal (bayi berumur 0- 28 hari). Penyakit Hirschsprung
merupakan penyakit dari usus besar (kolon) berupa gangguan perkembangan dari sistem
saraf enterik. Pergerakan dalam usus besar didorong oleh otot. Otot ini dikendalikan oleh
sel-sel saraf khusus yang disebut sel ganglion. Pada bayi yang lahir dengan penyakit
Hirschsprung tidak ditemui adanya sel ganglion yang berfungsi mengontrol kontraksi dan
relaksasi dari otot polos dalam usus distal. Tanpa adanya sel-sel ganglion (aganglionosis)
otot-otot di bagian usus besar tidak dapat melakukan gerak peristaltik (gerak mendorong
keluar feses).9

2.2.2 Epidemiologi
Penyakit Hirschsprung merupakan penyakit yang melibatkan multifaktor
dan penyakit ini dapat berkembang secara spontan dan familial. Insidens diperikan
1 per 5000 kelahiran hidup dengan perbandingan antara laki-laki: perempuan
sebesar 4:1. Panjangnya segmen aganglionik bervariasi sekitar 75-80% biasanya
terjadi pada kolon rektosignoid distal dan 5% terjadi pada usus halus. Kolon
aganglionik total jarang ditemukan namun dapat terjadi. Terdapat kecenderungan
familial pada penyakit ini. Sekitar 80% kasus terdiagnosis pada periode neonatus
sedangkan 20% terdiagnosis setelahnya.8

2.2.3. Etiologi
Penyebab dari penyakit ini belum diketahui dengan jelas. Diperkirakan
terjadi defek migrasi sel-sel krista neural yang merupakan prekursor sel ganglion
intestinal. Normalnya, sel-sel tersebut bermigrasi sefalokaudal. Proses tersebut
selesai pada minggu ke-12 kehamilan. Namun, migrasi dari kolon tranversal bagian
tengah ke anus memerlukan waktu selama 4 minggu. Pada periode inilah paling
rentan terjadi defek migrasi sel krista neural. Hingga saat ini penyakit Hirschsprung
diasosiaikan dengan mutas tiga gen spesifik: protoonkogen RET, gen EDNRB
(endotelin B receptor), dan gen EDN3 (Endothelin 3).8
10

Penyakit Hirschsprung disebabkan karena kegagalan migrasi sel-sel saraf


parasimpatis myentericus dari cephalo ke caudal. Sehingga sel ganglion selalu tidak
ditemukan dimulai dari anus dan panjangnya bervariasi keproksimal.10
a) Ketiadaan sel-sel ganglion
Ketiadaan sel-sel ganglion pada lapisan submukosa (Meissner) dan pleksus
myenteric (Auerbach) pada usus bagian distal merupakan tanda patologis untuk
Hirschsprung’s disease. Okamoto dan Ueda mempostulasikan bahwa hal ini
disebabkan oleh karena kegagalan migrasi dari sel-sel neural crest. 10
Vagal servikal dari esofagus ke anus pada minggu ke 5 smpai 12 kehamilan.
Teori terbaru mengajukan bahwa neuroblas mungkin bisa ada namun gagal unutk
berkembang menjadi ganglia dewasa yang berfungsi atau bahwa mereka
mengalami hambatan sewaktu bermigrasi atau mengalami kerusakan karena
elemen-elemen didalam lingkungn mikro dalam dinding usus. Faktor-faktor yang
dapat mengganggu migrasi, proliferasi, differensiasi, dan kolonisasi dari sel-sel ini
mingkin terletak pada genetik, immunologis, vascular, atau mekanisme lainnya. 10
b) Mutasi pada RET Proto-oncogene
Mutasi pada RET proto-oncogene,yang berlokasi pada kromosom 10q11
telah ditemukan dalam kaitannya dengan Hirschsprung’s disease segmen panjang
dan familial. Mutasi RET dapat menyebabkan hilangnya sinyal pada tingkat
molekular yang diperlukan dalam pertubuhan sel dan diferensiasi ganglia enterik.
Gen lainnya yang rentan untuk Hirschsprung’s disease adalah endothelin-B
receptor gene (EDNRB) yang berlokasi pada kromososm 13q22. sinyal darigen ini
diperlukan untuk perkembangan dan pematangan sel-sel neural crest yang
mempersarafi colon. 10
Mutasi pada gen ini paling sering ditemukan pada penyakit non-familial dan
short-segment. Endothelian-3 gene baru-baru ini telah diajukan sebagai gen yang
rentan juga. Defek dari mutasi genetik ini adalah mengganggu atau menghambat
pensinyalan yang penting untuk perklembangan normal dari sistem saraf enterik.
Mutasi pada proto-oncogene RET adalah diwariskan dengan pola dominan autosom
dengan 50- 70% penetrasi dan ditemukan dalam sekitar 50% kasus familial dan
pada hanya 15-20% kasus spordis. Mutasi pada gen EDNRB diwariskan dengan
11

pola pseudodominan dan ditemukan hanya pada 5% dari kasus, biasanya yang
sporadis. 10
c) Kelainan dalam lingkungan
Kelainan dalam lingkungan mikro pada dinding usus dapat mencegah
migrasi sel-sel neural crest normal ataupun diferensiasinya. Suatu peningkatan
bermakna dari antigen major histocompatibility complex (MHC) kelas 2 telah
terbukti terdapat pada segmen aganglionik dari usus pasien dengan Hirschsprung’s
disease, namun tidak ditemukan pada usus dengan ganglionik normal pada kontrol,
mengajukan suatu mekanisme autoimun pada perkembangan penyakit ini. 10
d) Matriks Protein Ekstraseluler
Matriks protein ekstraseluler adalah hal penting dalam perlekatan sel dan
pergerkan dalam perkembangan tahap awal. Kadar glycoproteins laminin dan kolagen tipe
IV yang tinggi alam matriks telah ditemukan dalam segmen usus aganglionik. Perubahan
dalam lingkungan mikro ini didalam usus dapat mencegah migrasi sel-sel normal neural
crest dan memiliki peranan dalam etiologi dari Hirschsprung’s disease. 10

2.2.4. Patogenesis
Hirschsprung dapat terjadi dibagian kolon asending ataupun sigmoid. Tidak
adanya ganglion penting seperti myenteric (Auerbach) dan pleksus submukosa
(Meissner) sehingga mengurangi peristaltik usus dan fungsinya. Mekanisme yang
tepat yang mendasari perkembangan penyakit Hirschsprung sampai saat ini masih
belum diketahui (idiopatik) meskipun ada keterlibatan gen dalam hal terjadinya
Hirschprung disease. 11
Sel ganglion enterik berasal dari puncak saraf. Selama perkembangan
normal, neuroblasts ditemukan di usus kecil pada minggu ke-7 kehamilan dan akan
mencapai usus besar pada minggu ke-12 kehamilan. Salah satu kemungkinan
etiologi penyakit Hirschsprung adalah kecacatan dalam migrasi neuroblas sehingga
menyebabkan kegagalan turunnya neuroblast untuk berada di lokasinya yaitu di
usus besar. Selain itu, terjadi kegagalan neuroblas untuk bertahan hidup,
berkembang biak juga dapat menyebabkan gagalnya neuroblast turun kearah usus
besar.11
12

Tiga saraf pleksus usus seperti pada bagian submukosa (yaitu, Meissner)
pleksus intermuskuler (Auerbach) pleksus mukosa pleksus kecil. Semua pleksus ini
terintegrasi dan halus terlibat dalam semua aspek fungsi usus, termasuk absorbsi,
sekresi, motilitas, dan aliran darah. Motilitas yang normal terutama di bawah
kendali neuron intrinsik. meskipun kehilangan persarafan ekstrinsik. Ganglia ini
mengontrol kontraksi dan relaksasi otot polos, dengan relaksasi yang mendominasi.
Pada pasien dengan penyakit Hirschsprung, sel ganglion tidak hadir, yang
mengarah ke peningkatan dalam usus yaitu persarafan ekstrinsik. Persarafan dari
kedua sistem kolinergik dan sistem adrenergik adalah 2-3 kali dari persarafan
normal. Adrenergik (rangsang) sistem diperkirakan mendominasi atas kolinergik
(penghambatan) sistem, yang menyebabkan peningkatan tonus otot polos. Dengan
hilangnya saraf intrinsik enterik penghambatan, nada peningkatan yang terlindung
dan menyebabkan ketidakseimbangan kontraktilitas otot polos, peristaltik yang
tidak terkoordinasi, dan obstruksi fungsional. 11
Kelainan pada penyakit ini berhubungan dengan spasme pada distal colon
dan sphincter anus internal sehingga terjadi obstruksi. Maka dari itu bagian yang
abnormal akan mengalami kontraksi di segmen bagian distal sehingga bagian yang
normal akan mengalami dilatasi di bagian proksimalnya. Bagian aganglionik selalu
terdapat dibagian distal rektum.9
Dasar patofisiologi dari Hirschsprung adalah tidak adanya gelombang
propulsif dan abnormalitas atau hilangnya relaksasi dari sphincter anus internus
yang disebabkan aganglionosis, hipoganglionosis atau disganglionosis pada usus
besar.10
Pada proximal segmen dari bagian aganglion terdapat area
hipoganglionosis. Area tersebut dapat juga merupakan terisolasi. Hipoganglionosis
adalah keadaan dimana jumlah sel ganglion kurang dari 10 kali dari jumlah normal
dan kerapatan sel berkurang 5 kali dari jumlah normal. Pada colon inervasi jumlah
plexus myentricus berkurang 50% dari normal. Hipoganglionosis kadang mengenai
sebagian panjang colon namun ada pula yang mengenai seluruh colon. 10
Sel ganglion yang imatur dengan dendrite yang kecil dikenali dengan
pemeriksaan LDH (laktat dehidrogenase). Sel saraf imatur tidak memiliki
13

sitoplasma yang dapat menghasilkan dehidrogenase. Sehingga tidak terjadi


diferensiasi menjadi sel Schwann’s dan sel saraf lainnya. Pematangan dari sel
ganglion diketahui dipengaruhi oleh reaksi succinyldehydrogenase (SDH).
Aktivitas enzim ini rendah pada minggu pertama kehidupan. Pematangan dari sel
ganglion ditentukan oleh reaksi SDH yang memerlukan waktu pematangan penuh
selama 2 sampai 4 tahun. Hipogenesis adalah hubungan antara imaturitas dan
hipoganglionosis.10

2.2.5. Manifestasi Klinis


Pasien dengan kemungkinan penyakit hirshsprung dapat menunjukan tanda dan
gejala berikut ini 8:
1. Gagal mengeluarkan mekonum dalam 24 jam pertama kehidupan
(keterlambatan evakuasi mekonium)
2. Tanda obstruksi intenstinal nonspesifik: distensi abdomen, muntah
hijau,dan intoleransi dalam pemberian makan. Hal ini terjadi karena
tidak adanya peristalsis yang bersifat propulsif pada segmen
aganglionik.
3. Enterokolitis yang ditandai dengan demam, distensi abdomen, tinja
menyemprot bila dilakukan colok dubur, tinja berbau busuk serta
berdarah. Enterokolitis diperkirakan terjadi karena stasis obstruktif dan
pertumbuhan bakteri yang berlebihan (misalnya C. difficile dan
rotavirus)
4. Apabila sudah terjadi komplikasi berupa peritonitis ditemukan edema,
bercak kemerahan di sekitar umbilikus, punggung, serta pada daerah
genitalia.
5. Pada anak yang lebih dewasa: konstipasi berulang, gagal tumbuh, serta
tampak letargis.
14

Tabel 2.1. Manifestasi Klinis Penyakit Hirschsprung12


Gejala-Gejala Penyakit Hirschsprung
Bayi
Bilious vomiting
Diare terkait enterokolitis
Gagal mengeluarkan mekonium selama 24 jam kehidupan pertama
Jaundice
Pemberian makanan
Distensi abdomen progresif
Sfingter anus ketat dengan rektum yang kosong
Anak-anak lebih tua
Absensinya sensasi defekasi atau overflow incontinence
Failure to thrive
Fecal impaction
Malnutrisi
Distensi abdomen progesif

Gambar 2.4. Manifestasi Klinis Hirschsprung7


15

2.2.6. Diagnosis
Diagnosis dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, serta
pemeriksaan penunjang. Anamnesis dan pemeriksaan fisis mencakup tanda dan
gejala yang telah diuraikan sebelumnya. Selain itu perlu dilakukan anamnesis
mengenai riwayat kehamilan dan kelahiran.8
1. Anamnesis
Diagnosis penyakit ini dapat dibuat berdasarkan adanya konstipasi pada
neonatus. Gejala konstipasi yang sering ditemukan adalah terlambatnya mekonium
untuk dikeluarkan dalam waktu 48 jam setelah lahir. Tetapi gejala ini biasanya
ditemukan pada 6% atau 42% pasien. Gejala lain yang biasanya terdapat adalah:
distensi abdomen, gangguan pasase usus, poor feeding, muntah. Apabila penyakit
ini terjadi pada neonatus yang berusia lebih tua maka akan didapatkan kegagalan
pertumbuhan. Hal lain yang harus diperhatikan adalah jika didapatkan periode
konstipasi pada neonatus yang diikuti periode diare yang masif kita harus
mencurigai adanya enterokolitis.6,8
Pada bayi yang lebih tua penyakit hirschsprung akan sulit dibedakan dengan
kronik konstipasi dan enkoperesis. Faktor genetik adalah faktor yang harus
diperhatikan pada semua kasus. Pemeriksaan barium enema akan sangat membantu
dalam menegakkan diagnosis. Akan tetapi apabila barium enema dilakukan pada
hari atau minggu awal kelahiran maka zone transisi akan sulit ditemukan. Penyakit
hirschsprung klasik ditandai dengan adanya gambaran spastic pada segmen distal
intestinal dan dilatasi pada bagian proksimnam’al intestinal.8
2. Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Pada pemeriksaan colok dubur sphincter ani teraba hipertonus dan rektum
biasanya kosong. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien dengan
kecurigaan penyakit Hirschsprung adalah8:
1. Pemeriksaan definitif: biopsis rektal. Biopsi rektal dapat dilakukan
secara bedside pada pasien neonatus sedangkan pada anak yang lebih
besar diperlukan sedasi intravena. Pengambilan sampel meliputi lapisan
mukosa serta submukosa, 1 cm, 2 cm, dan 3 cm dari linea dentata.
Sediaan penyakit Hirschsprung menunjukan tidak adanya sel ganglion
16

pada pleksus myeterikus, adanya hipertrofi bundel saraf serta


pewarnaan yang menyangat dengan asetilkolin.
2. Ronsen abdomen. Pemeriksaan ini bersifat nonspesifik. Hasil foto
menunjukan usus-usus yang terdistensi dan terisi udara. Biasanya sulit
membedakan usus halus dan usus besar saat usia neonatus.
3. Pemeriskaan barium enema. Dilakukan untuk menunjukan lokasi zona
transisi antara segmen kolon dengan ganglion yang mengalami dilatasi
dengan segemen aganglionik yang mengalami konstriksi.
Terdapat tanda klasik radiografis penyakit hirschsprung, yakni8:
a. Segmen sempit dari sfingter anal.
b. Zona transisi (daerah perubahan dari segmen sempit ke segmen dilatasi.
c. Segmen dilatasi
Pemeriksaan barium enema sangat berguna untuk menyingkirkan diagnsis
banding seperti atresia kolon, sumbatan mekonium, atau small left colon
syndrome.

Gambar 2.5. Pemeriksaan radiografi barium enema pada bayi dengan penyakit
Hirschsprung. (A) Bayi usia dua minggu. Catatan: dilatasi usus halus (tanda panah) dan
gambaran kolon yang normal (tanda panah yang besar). (B) Bayi usia 4 bulan. Catatan:
zona transisi pada regio rektosigmoid dimana usus normal menjadi aganglionik.12
17

Diagnosis histopatologi penyakit Hirschsprung didasarkan atas absennya


sel ganglion pada pleksus mienterik (Auerbach) dan pleksus submukosa
(Meissner). Disamping itu akan terlihat dalam jumlah banyak penebalan serabut
syaraf (parasimpatis). Akurasi pemeriksaan akan semakin tinggi jika menggunakan
pengecatan immunohistokimia asetilkolinesterase, suatu enzim yang banyak
ditemukan pada serabut syaraf parasimpatis, dibandingkan dengan pengecatan
konvensional dengan haematoxylin eosin. Disamping memakai asetilkolinesterase,
juga digunakan pewarnaan protein S-100, metode peroksidase-antiperoksidase dan
pewarnaan enolase. Hanya saja pengecatan immunohistokimia memerlukan ahli
patologi anatomi yang berpengalaman, sebab beberapa keadaan dapat memberikan
interpretasi yang berbeda seperti dengan adanya perdarahan.13
Metode pemeriksaan dengan eksisi seluruh tebal dinding oto rektum sulit
dilakukan sebab memerlukan anastesi umum, dapat menyebabkan inflamasi dan
pembentukan jaringan ikat yang mempersulit tindakan bedah definitif. Noblett
tahun 1969 mempelopori teknik biopsi hisap dengan menggunakan alat khusus,
untuk mendapatkan jaringan mukosa dan sub-mukosa sehingga dapat melihat
keberadaan pleksus Meissner. Biasanya biopsi hisap dilakukan pada 3 tempat :
2,3,dan 5 cm proksimal dari anal verge. Apabila hasil biopsi hisap meragukan,
barulah dilakukan biopsi eksisi otot rektum untuk menilai pleksus Auerbach.14
Gambaran yang dapat ditemukan pada pemeriksaan histopatologi pasien
dengan penyakit hirsprung adalah sebagai berikut15:
 Tidak adanya sel ganglion di submukosa atau pleksus myenteric.
 Tidak adanya/berkurangnya sel interstitial cajal (myenteric and muscular
interstitial cells of cajal) di rektosimoid kolon.
 Penebalan dan hipertrofi nonmyelinated nerve fibers dan muscularis
mucosa stercoral ulcers (ulkus dangkal dengan inflamasi mukosa karena
tekanan feses).
 Displasia firbromuskular arteri antara jaringan normal dan jaringan
hirsprung.
 Hipoganglionosis yang terjadi antara usus normal dan usus aganglion,
berkurangnya jumlah sel-sel ganglion (misalnya 10% normal).
18

Gambar 2.6. Gambaran Makroskopik Penyakit Hirschprung13

Gambar 2.7. (A) Spesimen biopsi usus normal yang memiliki gangliom yang telah
diwarnai dengan hematoxylin dan eosin. Sel ganglion terlihat di submucosa. (B) Spesimen
biopsi pada neonatus dengan penyakit hirsprung menunjukkan tidak adanya sel- sel
ganglion. Selain itu submucosal nerve trunk tampak lebih besar, yang sangat berhubungan
dengan agangliosis.13

Gambar 2.8. Tampak gambaran hyperplastic nerve fiber (tanda panah), tapi
tidak ada sel ganglion pada pleksus myenteric.14
19

2.2.7. Diagnosis Banding


Adapun diagnosis banding untuk penyakit Hirschsprung adalah8:
1. Atresia ileum: mekonium sedikit, kering, berbutir-butir, bewarna hijau
muda;
2. Sumbatan mekonium: pada Roentgen abdomen tampak usus melebar
disertai kalsifikasi
3. Atresia rektal
4. Enterokolitis nekrotikan neonatal: pasien letargis, mekonium bercampur
darah, tanda enterokolitis muncul lebih cepat dibandingkan penyakit
Hirschsprung;
5. Peritonitis intra-uterin
6. Sepsis neonatorum: gagal evakuasi mekonium dalam 24-48 jam pertama,
pasien menolak minum, distensi abdomen mulai dari daerah gaster, pasien
tampak letargis
7. Small left colon syndrome: biasanya pad ibu dengan diabetes mellitus, pada
pemeriksaan barium enema, kolon kiri terlihat kecil sedangkan ampula
rektum melebar;
8. Obstipasi psikogenik: pada pasien usia >2 tahun feses seperti tanah liat
dekat sfingter anal

2.2.8. Penatalaksanaan
Semua pasien dengan penyakit hirschsprung dirujuk ke dokter
spesialis bedah anak unutk mendapatkan tata laksana definitf. Namun tata
laksana awal dapat diberikan pada pasien dengan distensi abdomen
(biasanya pada kasus aganglionik total)8:
1. Dekompresi saluran cerna dengan selang nasogastrik (NGT). Cairan dihisap
setiap 15-20 menit karena cairan jejenum akan mulai mengisi lambung
dalam rentang waktu ini. Dekompresi rektal juga dapat dilakukan dengan
menggunakan rectal tube. Apabila dekompresi tidak berhasil kolostomi
menjadi pilihan terapi sementara.
20

2. Rehidrasi (diberikan kebutuhan rumatan dan rehidrasi). Hindari pemberian


cairan dengan kecpeatan tinggi untuk menghindari edema paru.
3. Pemasangan kateter urin untuk memantau urine output. Normalnya 1,5
cc/kgBB/jam.
4. Pemberian antibiotik apabila terjadi enterokolitis.
Tata laksana operatif dilakukan dalam beberapa tahap8:
1. Kolostomi dilakukan pada periode neonatus pasien anak dan dewasa yang
terlambat terdiagnosis dan pasien enterokolitis berat dengan keadaan umum
yang buruk. Apabila pasien tidak termasuk kedalam tiga kelompok ini,
tindakan bedah definitif dapat dilaksanakan.
2. Pull through operation. Prinsip operasi ini adalah membuang segmen
aganglionik dan membuat anastomis segmen gangluon dengan anus. Ada
tiga buah teknik yang sering digunakan oleh dokter bedah ana, yaitu teknik
Duhamel dan Soave memberikan hasil yang lebih baik dan dapat digunakan
pada kasus aganglionik total. Teknik lain yang sering digunakan dengan
transanal pull through. Pada kasus aganglionik total, ileum digunakan
sebagai anastomosis. Metode operasi yang digunakan terdiri dari tiga
metode. Prosedur pertama kali yang digunakan ialah prosedur Swenson.
Pada metode operasi ini, rektum aganglionik diseksi dalam pelvis dan
dibuang ke bawah menuju anus. Kemudian kolon ganglionik dilakukan
anastomis ke anus dengan pendekatan perineum. Dengan metode Duhamel,
diseksi dilakukan diluar rektum terbatas pada rongga rektorektal dan kolon
ganglionik dilakukan anastomosis posterior dibawah anus. Dinding anterior
kolon ganglion dan dinding posterior rektum aganglionik dianastomosis
dengan stapler. Walaupun kedua prosedur tersebut memberikan efektivitas
yang tinggi, kedua prosedur tersebut terbatas dengan terjadinya kerusakan
pada saraf parasimpatis yang berlekatan pada rektum. Untuk mengatasi
masalah tersebut, prosedur Soave dilakukan diseksi seluruhnya didalam
rektum. Mukosa rektum direseksi dari lapisan muskular dan kolon
ganglionik ditarik ke laoisan ini dan dilakukan ansastomosis ke anus.
Operasi ini dilakukan secara menyeluruh dengan pendekatan dari bawah.
21

Pada semya kasus, sangat penting untuk menentukan lebel atau tingkatan
usus ganglionik. Sebagian besar bedah anak percaya bahwa anastomosis
dilakukan setidaknya 5 cm dari titik dimana sel ganglion ditemukan. Hal ini
diperlukan untuk mencegah dilakukan operasi berulang. Komplikasi dari
semua prosedur termasuk enterokolitis post operatif, konstipasi, dan striktur
anastomosis. Akan tetapi komplikasi dari penggunaan atau aplikasi metode
operasi ketiganya bergantung pada keahlian dan pengalaman operator.16

Tindakan operatif tergantung pada jenis segmen yang terkena.17


a. Tindakan Bedah Sementara
Tindakan bedah sementara pada penderita penyakit Hirschsprung adalah
berupa kolostomi pada usus yang memiliki ganglion normal paling distal. Tindakan ini
dimaksudkan guna menghilangkan obstruksi usus dan mencegah enterokolitis sebagai
salah satu komplikasi yang berbahaya. Manfaat lain dari kolostomi adalah menurunkan
angka kematian pada saat dilakukan tindakan bedah definitif dan mengecilkan kaliber
usus pada penderita penyakit Hirschsprung yang telah besar sehingga memungkinkan
dilakukan anastomosis.17
b. Tindakan Bedah Definitif
1. Prosedur Swenson
Orvar swenson dan Bill (1948) adalah yang mula-mula memperkenalkan
operasi tarik terobos (pull-through) sebagai tindakan bedah definitif pada
penyakit Hirschsprung. Pada dasarnya, operasi yang dilakukan adalah
rektosigmoidektomi dengan preservasi spinkter ani. Dengan meninggalkan 2-3
cm rektum distal dari linea dentata, sebenarnya adalah meninggalkan daerah
aganglionik, sehingga dalam pengamatan pasca operasi masih sering dijumpai
spasme rektum yang ditinggalkan. Oleh sebab itu Swenson memperbaiki metode
operasinya (tahun 1964) dengan melakukan spinkterektomi posterior, yaitu
dengan hanya menyisakan 2 cm rektum bagian anterior dan 0,5-1 cm rektum
posterior. 17
22

Gambar 2.9. Prosedur Swenson. 17


2. Prosedur Duhamel
Prosedur ini diperkenalkan Duhamel tahun 1956 untuk mengatasi kesulitan
diseksi pelvik pada prosedur Swenson. Prinsip dasar prosedur ini adalah menarik
kolon proksimal yang ganglionik ke arah anal melalui bagian posterior rektum
yang aganglionik, menyatukan dinding posterior rektum yang aganglionik
dengan dinding anterior kolon proksimal yang ganglionik sehingga membentuk
rongga baru dengan anastomose end to side. 17

3. Prosedur Soave
Prosedur ini sebenarnya pertama sekali diperkenalkan Rehbein tahun 1959
untuk tindakan bedah pada malformasi anorektal letak tinggi. Namun oleh Soave
tahun 1966 diperkenalkan untuk tindakan bedah definitive Penyakit
Hirschsprung. Tujuan utama dari prosedur Soave ini adalah membuang mukosa
rektum yang aganglionik, kemudian menarik terobos kolon proksimal yang
ganglionik masuk kedalam lumen rektum yang telah dikupas tersebut. 17
4. Prosedur Rehbein
23

Prosedur ini tidak lain berupa deep anterior resection, dimana dilakukan
anastomose end to end antara usus aganglionik dengan rektum pada level otot
levator ani (2-3 cm diatas anal verge), menggunakan jahitan 1 lapis yang
dikerjakan intra abdominal ekstraperitoneal. Pasca operasi, sangat penting
melakukan businasi secara rutin guna mencegah stenosis. 17

Gambar 2.10. Metode Operasi : a.Duhamel, b.Swenson, c.Soave.18

2.2.9. Komplikasi
Sebagian besar pasien dengan penyakit Hirschsprung yang telah ditangani
tidak mempunyai komplikasi. Akan tetapi, 10% diantaranya mungkin mempunyai
keluhan konstipasi dan kuran gdari 1 persen mempunyai fecal incontinence.
Enterocolitis dan ruptur kolon merupakan komplikasi yang paling serius terkait
keterlambatan diagnosis dan penanganan penyakit Hirschsprung dan merupakan
penyebab tingginya angka mortalitas. Enterokolitis terjadi pada 17 hingga 50%
persen bayi dengan penyakit Hirschsprung dan sebagian besar disebabkan oleh
karena adanya obstruksi intestinal setelah dilakukannya pembedahan definitif
karena infeksi telah dilaporkan terjadi 10 tahun setelah penanangan. Akan tetapi,
sebagian besar post operatif enterokolitis terjadi dalam waktu dua tahun pertama
setelah dilakukan anastomosis ileoanal pull through.12
Gejala awal dari enterokolitis (Tabel X) pada pasien dengan penyakit
Hirschsprung termasuk distensi abdomen, diare cair, foul-smelling, letargi, dan
buruknya pemberian makanan. Penanganan dengan irigeasi rektal berulang per hari
dan pemberian antibiotik biasanay memberikan efikasi yang tinggi. Pemberian
24

metronidazole oral dapat digunakan sebagai irigasi rektal pada pasien dengan
penyakit yang lebih ringan. Penyakit yang lebih serius seharusnya diterapi dengan
pemberian antibiotik spektrum luas secara intravena dan irigasi rektal. Rektal irigasi
dilakukan dengan memasukan salin normal ke dalam kolon melalui kateter karet
yang memungkinkan untuk keluarnya gas dan feses. Salin (10 sampai 15 mL per
kg) diberikan melalui kateter tersebut.12

Tabel 2.2. Gejala-Gejala Enterokolitis Akibat Komplikasi dari Penyakit


Hirschsprung.12
Gejala-Gejala Enterokolitis Terkait dengan Penyakit Hirschsprung
Gejala Awal Gejala Lanjut
Distensi abdomen Emesis
Foul-smelling, watery stool Demam
Letargi Hematokezia
Pemberian makanan yang buruk Syok atau kematian

2.2.10. Prognosis
Tingkat mortalitas dan morbiditas sangat kecil dengan diagnosis yang
akurat serta pembedahan. Tingkat mortalitas keseluruhan berkisar antara 0,2-0,8%
yang disebabkan oleh komplikasi penyakit dan akibat intervensi bedah. Pada anak,
angka ini berkisar antara 0,1-1%, sedangkan pada pasien di atas usia 70 tahun angka
ini meningkat di atas 20%, terutama akibat keterlambatan diagnosis dan terapi.19
25

BAB 3
STATUS PASIEN

Identitas Pasien
Nama : Josep Siregar
No RM : 72.41.55
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal Lahir : 21 Oktober 2017
Usia : 17 hari
Alamat : Siguri Guri Sitolu Bihal
Agama : Kristen Protestan
Suku : Batak
Status Pernikahan : Belum menikah
Panjang Badan : 50 cm
Berat Badan : 3460 gram
Lingkar Kepala : 34 cm
Lingkar Dada : 33 cm
Lingkar Perut : 39 cm
Tanggal Masuk RS : 30 Oktober 2017

Anamnesis
Keluhan Utama : Perut membesar
Telaah : Hal ini dialami OS sejak lahir, perut semakin lama semakin
membesar. Saat lahir OS tidak langsung BAB. Riwayat BAB
pertama saat OS berusia 3 hari dan setelah itu tidak BAB lagi
seterusnya. BAB yang pertama kali hanya sedikit, konsistensi
lunak. Riwayat BAB berdarah tidak dijumpai. Muntah (+)
berwarna kuning kehijauan sejak OS berusia 4 hari. BAK
dijumpai. Riwayat demam tidak dijumpai.
Riwayat kehamilan: OS lahir cukup bulan, usia ibu saat melahirkan OS 40 tahun.
OS merupakan anak ke 8. Riwayat penyakit hipertensi, DM,
26

ataupun konsumsi obat-obatan dan jamu-jamuan saat hamil


tidak dijumpai.
Riwayat kelahiran : OS lahir secara spontan pervaginam. OS lahir ditolong oleh
bidan melalui persalinan normal. OS lahir cukup bulan dengan
PB : 50 cm dan BB: 3500 gram, OS langsung menangis ketika
dilahirkan. Mekonium tidak dijumpai.
RPT : Tidak ada
RPO : Tidak ada

Keadaan Umum
Sensorium : Compos Mentis
Frekuensi Nadi : 120 x/menit
Frekuensi Nafas : 42 x/menit
Suhu : 36,7ºC

Status Lokalisata
Kepala
Mata : konjungtiva palp. inferior pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
refleks cahaya (+/+), pupil isokor Ø 3mm/3mm
Telinga : sekret (-), deformitas (-)
Hidung : sekret (-), deformitas (-)
Tenggorokan : dalam batas normal
Mulut : dalam batas normal
Leher : dalam batas normal
Thorax : Simetris, Suara pernafasan vesikuler (+/+), Suara tambahan
(-/-)
Abdomen : Inspeksi : Distensi, simetris, venektasi (+)
Palpasi : Soepel
Perkusi : Timpani, pekak beralih (-).
Auskultasi : Peristaltik (+) ↑
Ekstremitas : Atas: fraktur (-), edema (-), sianosis (-), CRT <3 detik
27

Bawah: fraktur (-), edema (-), sianosis (-), CRT <3 detik
DRE : Spinchter ani menjepit kuat, mukosa licin, ampula recti
kolaps , sarung tangan: feses (+), lendir (-), darah (-), feses
menyemprot (+)

Diagnosis
Susp. Hirschsprung disease

Penatalaksanaan di IGD RSUP HAM (30 Oktober 2017)


1. IVFD D5% NaCl 0,25% 20 gtt/I micro
2. Pasang OGT
3. Washout

Rencana
1. Foto baby gram
2. Periksa Darah Lengkap, KGD ad random, Elektrolit, Fungsi Ginjal
3. Rawat ruangan
28

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium IGD RSUP HAM (30 Oktober 2017)
Jenis Pemeriksaan Hasil Rujukan
HEMATOLOGI
Hemoglobin (HGB) 15,1 g/dL 10,3 – 17,9 g/dL
Eritrosit (RBC) 4,81 x 106/µL (3,2 - 5,6) x106/µL
Leukosit (WBC) 11.010/µL 5.000 - 19.500 /µL
Hematokrit 48% 31 – 59 %
Trombosit (PLT) 580 x103/µL 229 - 553 x103/µL
GINJAL
BUN 28 mg/dL 7-19 mg/dL
Ureum 60 mg/dL 15-40 mg/dL
Kreatinin 0,49 mg/dL 0,6 - 1,1 mg/dL
ELEKTROLIT
Natrium (Na) 141 mEq/L 135 - 155 mEq/L
Kalium (K) 3,6 mEq/L 3,6 - 5,5 mEq/L
Klorida (Cl) 106 mEq/L 96 - 106 mEq/L
METABOLISME KARBOHIDRAT
Glukosa Darah Sewaktu 64 mg/dL 40-60
29

Foto Baby Gram (30 Oktober 2017)

Uraian Hasil Pemeriksaan Babygram:


Tampak dilatasi usus halus hingga ke distal.
Tampak penebalan dinding usus.
Kesimpulan: Sesuai gambaran ileus obstruksi letak rendah.
30

BAB 4
FOLLOW UP

Tanggal Subjective Objective Assessment Plan


31/10/17 Perut Sensorium: CM Susp.  IVFD NaCl
membesar HR : 138 x/i Hirschsprung 0,225% 430 cc +
RR : 48 x/i Disease D40% 70cc + Ca
Temp : 36,4⁰C glukonas 10 cc +
KCl 10 mEq → 11
Abdomen : cc/jam
Distensi (+),  Dies ASI 11 cc/2
venektasi (+) jam/ OGT
Lingkar perut : 40  R/Barium enema,
cm Washout 2xsehari

01/11/17 Perut Sensorium: CM Susp.  IVFD NaCl


membesar HR : 130 x/i Hirschsprung 0,225% 430 cc +
RR : 40 x/i Disease D40% 70cc + Ca
Temp : 36,4⁰C glukonas 10 cc +
KCl 10 mEq → 11
Abdomen : cc/jam
Distensi (+),  Dies ASI 11 cc/2
venektasi (+) jam/ OGT
Lingkar perut : 40  Washout 2xsehari
cm

02/11/17 Perut Sensorium: CM Susp.  IVFD NaCl


membesar HR : 136 x/i Hirschsprung 0,225% 430 cc +
RR : 42 x/i Disease D40% 70cc + Ca
Temp : 36,6⁰C glukonas 10 cc +
31

KCl 10 mEq → 11
Abdomen : cc/jam
Distensi (+),  Dies ASI 11 cc/2
venektasi (+) jam/ OGT
Lingkar perut : 40  Washout 2xsehari
cm

03/11/17 Perut Sensorium: CM Susp.  IVFD NaCl


membesar HR : 130 x/i Hirschsprung 0,225% 430 cc +
RR : 40 x/i Disease D40% 70cc + Ca
Temp : 36,4⁰C glukonas 10 cc +
KCl 10 mEq → 11
Abdomen : cc/jam
Distensi (+),  Dies ASI 11 cc/2
venektasi (+) jam/ OGT
Lingkar perut : 40  Washout 2xsehari
cm

04/11/17 Perut Sensorium: CM Susp.  IVFD NaCl


membesar HR : 120 x/i Hirschsprung 0,225% 430 cc +
RR : 38 x/i Disease D40% 70cc + Ca
Temp : 36,7⁰C glukonas 10 cc +
KCl 10 mEq → 11
Abdomen : cc/jam
Distensi (+),  Dies ASI 11 cc/2
venektasi (+) jam/ OGT
Lingkar perut : 40  Washout 2xsehari
cm R/ Sigmoidektomi
tgl 6/11/17
32

05/11/17 Perut Sensorium: CM Susp.  IVFD NaCl


membesar HR : 130 x/i Hirschsprung 0,225% 430 cc +
RR : 40 x/i Disease D40% 70cc + Ca
Temp : 36,4⁰C glukonas 10 cc +
KCl 10 mEq → 11
Abdomen : cc/jam
Distensi (+),  Dies ASI 11 cc/2
venektasi (+) jam/ OGT
Lingkar perut : 40  Washout 2xsehari
cm R/ Sigmoidektomi
tgl 6/11/17
Konsul anastesi
untuk pre op
Persiapan pre op
1.Puasa 6-8 jam
sebelum operasi
2. pasang iv line
20 gtt/i
3. tidsk perlu
persiapan darah
4. Wash out
5. oral dan
personal higiene
6.berdoa
06/11/17 Perut Sensorium: CM Susp.  IVFD NaCl
membesar HR : 120 x/i Hirschsprung 0,225% 430 cc +
RR : 38 x/i Disease D40% 70cc + Ca
Temp : 36,7⁰C glukonas 10 cc +
KCl 10 mEq → 11
Abdomen : cc/jam
33

Distensi (+),  Dies ASI 11 cc/


venektasi (+) jam/ OGT
Lingkar perut : 40  Washout 2xsehari
cm R/ Sigmoidektomi
tgl 6/11/17
07/11/17 - Sensorium CM Post  Pantau stoma
HR : 140 x/i sigmoidostomy  Pantau vital sign
RR : 40 x/i d/t Susp  Terapi lain sesuai
Temp : 36,8⁰C Hirschsprung TS Anak
Stoma : lancar Disease

08/11/17 - Sensorium CM Post  Rawat stoma


Hemodinamik sigmoidostomy
stabil d/t Susp
Stoma : lancar Hirschsprung
Disease
34

Foto Colon in loop (31 Oktober 2017)

Uraian Hasil Pemeriksaan Colon In Loop:


Dilakukan pemeriksaan kolon inloop menggunakan kontras barium dengan hasil
sebagai berikut:
Melalui kateter dengan balon yang dikembangkan pada anus diinjeksikan kontras
barium. Tampak aliran kontras dengan lancer mengisi rectum, kolon sigmoid
dengan terlihat rendudensi kolon sigmoid. Kaliber rectum tampak kecil sampai ke
daerah sigmoid dengan zona transisi berbentuk cone (corong).
Rasio rektosigmoid lebih kecil dari satu dengan ruang presakral yang melebar. Tak
tampak filling defek maupun additional shadow. Tak tampak ekstravasasi kontras.
Kesimpulan: Sesuai gambaran Hirschsprung’s Disease long segment dengan zona
transisi berbentuk cone. Redunden colon sigmoid.
Saran: Barium retensi
35

Foto Barium Retensi (01 November 2017)

Uraian Hasil Pemeriksaan Barium Retensi:


Tampak distensi usus oleh udara.
Masih tampak sisa kontras di dalam sebagian usus.
Kesimpulan: Gambaran sesuai dengan Hirschsprung Disease.
36

BAB 5
DISKUSI KASUS

TEORI KASUS
Epidemiologi
Penyakit Hirschsprung Pasien seorang bayi laki-laki berusia 17 hari.
merupakan penyakit yang
melibatkan multifaktor dan
penyakit ini dapat berkembang
secara spontan dan familial.
Insidens diperikan 1 per 5000
kelahiran hidup dengan
perbandingan antara laki-laki:
perempuan sebesar 4:1.
Manifestasi Klinis
Pasien dengan kemungkinan Pada pasien ditemukan :
penyakit hirshsprung dapat 1. Saat lahir pasien tidak langsung BAB. BAB
menunjukan tanda dan gejala baru terjadi setelah 3 hari pasien dilahirkan.
berikut ini 8: 2. Perut membesar sejak lahir.
6. Gagal mengeluarkan 3. Riwayat muntah berwarna kuning kehijauan
mekonum dalam 24 sejak usia 4 hari.
jam pertama
kehidupan
(keterlambatan
evakuasi mekonium)
7. Tanda obstruksi
intenstinal
nonspesifik: distensi
abdomen, muntah
hijau,dan intoleransi
37

dalam pemberian
makan. Hal ini terjadi
karena tidak adanya
peristalsis yang
bersifat propulsif
pada segmen
aganglionik.
8. Enterokolitis yang
ditandai dengan
demam, distensi
abdomen, tinja
menyemprot bila
dilakukan colok
dubur, tinja berbau
busuk serta berdarah.
Enterokolitis
diperkirakan terjadi
karena stasis
obstruktif dan
pertumbuhan bakteri
yang berlebihan
(misalnya C. difficile
dan rotavirus)
9. Apabila sudah terjadi
komplikasi berupa
peritonitis ditemukan
edema, bercak
kemerahan di sekitar
umbilikus,
punggung, serta pada
daerah genitalia.
38

10. Pada anak yang lebih


dewasa: konstipasi
berulang, gagal
tumbuh, serta tampak
letargis.

Diagnosis

Anamnesis Anamnesis

Keluhan paling umum - OS datang dengan keluahan perut membesar yang


adalah konstipasi berat selama dialami sejak lahir.
periode neonatus. Gejala - BAB pertama saat OS berusia 3 hari
kardinalnya yaitu gagalnya - Muntah (+) berwarna hijau.
pasase mekonium pada 24 jam
pertama kehidupan, distensi
abdomen dan muntah. Beratnya
gejala ini dan derajat konstipasi
bervariasi antara pasien.
Beberapa mengalami
konstipasi menetap, mengalami
perubahan pada pola makan,
perubahan makan dari ASI
menjadi susu pengganti atau
makanan padat.
Pemeriksaan fisik Vital Sign dalam batas normal
Pada pemeriksaan colok Status Lokalisata : Kepala, mata, telinga, hidung,
dubur sphincter ani teraba tenggorokan, mulut, leher, thoraks dalam batas normal
hipertonus dan rektum biasanya Abdomen
kosong. Inspeksi : Distensi, simetris
Palpasi : Soepel
39

Perkusi : Timpani, pekak beralih (-).


Auskultasi : Peristaltik (+) ↑
Ekstremitas : Atas: fraktur (-), edema (-),
sianosis (-), CRT <3 detik
Bawah: fraktur (-), edema (-),
sianosis (-), CRT <3 detik
DRE : Spinchter ani menjepit kuat, mukosa
licin, ampula recti kolaps , sarung tangan: feses (+),
lendir (-), darah (-).
Histopatologi
Merupakan gold standard, Sudah dilakukam biopsi pada Senin 06 November 2017
menunjukan tidak adanya sel namun hasilnya belum keluar
ganglion pada pleksus
myeterikus dan submukosa,
adanya hipertrofi bundel saraf
serta pewarnaan yang menyangat
dengan asetilkolin.

Ronsen abdomen. Uraian Hasil Pemeriksaan Babygram:


Pemeriksaan ini bersifat Tampak dilatasi usus halus hingga ke distal.
nonspesifik. Hasil foto Tampak penebalan dinding usus.
menunjukan usus-usus yang Kesimpulan: Sesuai gambaran ileus obstruksi letak
terdistensi dan terisi udara. rendah.
Biasanya sulit membedakan usus
halus dan usus besar saat usia
neonatus.

Barium Enema Uraian Hasil Pemeriksaan Colon In Loop:


Dilakukan untuk menunjukan Dilakukan pemeriksaan kolon inloop menggunakan
lokasi zona transisi antara kontras barium dengan hasil sebagai berikut:
segmen kolon dengan ganglion Melalui kateter dengan balon yang dikembangkan pada
40

yang mengalami dilatasi dengan anus diinjeksikan kontras barium. Tampak aliran
segemen aganglionik yang kontras dengan lancer mengisi rectum, kolon sigmoid
mengalami konstriksi. dengan terlihat rendudensi kolon sigmoid. Kaliber
Terdapat tanda klasik radiografis rectum tampak kecil sampai ke daerah sigmoid dengan
penyakit hirschsprung, yakni8: zona transisi berbentuk cone (corong).
-Segmen sempit dari sfingter Rasio rektosigmoid lebih kecil dari satu dengan ruang
anal. presakral yang melebar. Tak tampak filling defek
-Zona transisi (daerah perubahan maupun additional shadow. Tak tampak ekstravasasi
dari segmen sempit ke segmen kontras.
dilatasi. Kesimpulan: Sesuai gambaran Hirschsprung’s Disease
-Segmen dilatasi long segment dengan zona transisi berbentuk cone.
-Pemeriksaan barium enema Redunden colon sigmoid.
sangat berguna untuk Saran: Barium retensi
menyingkirkan diagnsis banding
seperti atresia kolon, sumbatan Uraian Hasil Pemeriksaan Barium Retensi:
mekonium, atau small left colon Tampak distensi usus oleh udara.
syndrome. Masih tampak sisa kontras di dalam sebagian usus.
Kesimpulan: Gambaran sesuai dengan Hirschsprung
Disease.

Penatalaksanaan Penatalaksanaan yang dilalukan

Semua pasien dengan 1. IVFD D5% NaCl 0,25% 20 gtt/I micro

penyakit hirschsprung dirujuk ke 2. Pasang OGT

dokter spesialis bedah anak 3. Washout

unutk mendapatkan tata laksana


definitf. Namun tata laksana Operasi definitif dilakukan pada Senin, 06 November
awal dapat diberikan pada pasien 2017 berupa sigmoidostomy.
dengan distensi abdomen
(biasanya pada kasus
41

aganglionik total)
5. Dekompresi saluran cerna
dengan selang nasogastrik
(NGT).
6. Rehidrasi (diberikan
kebutuhan rumatan dan
rehidrasi). Hindari
pemberian cairan dengan
kecpeatan tinggi untuk
menghindari edema paru.
7. Pemasangan kateter urin
untuk memantau urine
output. Normalnya 1,5
cc/kgBB/jam.
8. Pemberian antibiotik
apabila terjadi
enterokolitis.

Tata laksana operatif


dilakukan dalam beberapa
tahap8:
1. Kolostomi dilakukan
pada periode neonatus
pasien anak dan dewasa
yang terlambat
terdiagnosis dan pasien
enterokolitis berat
dengan keadaan umum
yang buruk. Apabila
pasien tidak termasuk
42

kedalam tiga kelompok


ini, tindakan bedah
definitif dapat
dilaksanakan.
2. Pull through operation.
Prinsip operasi ini adalah
membuang segmen
aganglionik dan
membuat anastomis
segmen gangluon dengan
anus.
43

BAB 6
KESIMPULAN

Pasien JS, laki-laki, umur 17 hari datang ke IGD RSUP HAM dengan keluhan
utama perut membesar. Pasien di diagnosa dengan hirschsprung’s disease serta
diberi tatalaksana awal berupa:
1. IVFD D5% NaCl 0,25% 20 gtt/I micro
2. Pasang OGT
3. Washout

Pasien ditatalaksana operasi definitif pada Senin 06 November 2017 berupa


colonostomy dan dilakukan biopsi pada hari yang sama.
44

DAFTAR PUSTAKA

1. Kessmann J. 2006. Hirschsprung’s Disease : Diagnosis and Management. Am Fam


Physician. 2006 Oct 15;74(8):1319-22
2. Tanto C., Budianto IR. 2014. Penyakit Hisrschsprung. Dalam : Kapita Selekta
Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius.
3. Kartono, D., 2010. Penyakit Hirschsprung. Cetakan Kedua. Sagung Seto.
Jakarta.
4. A
5. Verawati S. 2013. Karakteristik Bayi yang Menderita Penyakit Hircshsprung di
RSUP H. Adam Malik Kota Medan Tahun 2010-2012. Universitas Sumatera
Utara.
6. Hansen, T.J., Koeppen, B.M. 2006. Chapter35 Digestive System in Netter’s Atlas
of Human’s Anatomy. McGraw-Hill. New York. Page 617-640.
7. Paulsen, F., Waschke J., 2011. Sobotta: Atlas of Human Anatomy Internal Organs
15 th Edition. Philadelphia: Elsevier-Saunders.
8. B
9. Warner B.W. 2004. Chapter 70 Pediatric Surgery in Townsend Sabiston Textbook
Of Surgery. 17th edition. Elsevier-Saunders. Philadelphia. Page 2113-2114.
10. Holschneider A., Ure B.M., 2000. Chapter 34 Hirschsprung’s Disease in: Ashcraft
Pediatric Surgery 3rd edition W.B. Saunders Company. Philadelphia. page 453-
468.
11. Lee,S,2012. Hirschprung disease. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/178493-overview. Hal 1-4.
12. C
13. Gulwani, H. 2016. Congenital Anomalies: Hirsprung; Disease. Availabe
from:http://www.pathologyoutlines.com/topic/colonhirschsprung.html
14. Holcomb G, Murphy JP. 2010. Ascraft’s Pediatric Surgery Fifth Edition .
Philadelphia: Elsevier.
15. Waldron DJ, Donell B. 2004. Swenson Procedure for Hirsprung Disease.
16. D
45

17. Leonidas J.C., Singh S.P., Slovis T.L. 2004. Chapter 4 Congenital Anomalies of
The Gastrointestinal Tract In: Caffey’s Pediatric Diagnostic Imaging 10th edition.
Elsevier-Mosby. Philadelphia. Page 148-153.
18. Brunicardi FC., Andersen DK., Billiar TR., Dunn DL., et al. 2015.
Schwartz’s Principles of Surgery Tenth Edition. New York : Mc Graw Hill.
19. E

Anda mungkin juga menyukai