Anda di halaman 1dari 42

PAPER

FRAKTUR PELVIS

Disusun Oleh:
William Jonathan 140100131
Asdar Raya 140100010
Clare Anthony 140100261

Pembimbing:
dr. Heru Rahmadhany, SpOT (K) Spine

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN ILMU BEDAH ORTHOPAEDI DAN TRAUMATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019
i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat, rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Fraktur
Pelvis”. Penulisan makalah ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen Ilmu
Bedah, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr. Heru
Rahmadhany Sp.OT (K) Spine selaku pembimbing yang telah memberikan arahan
dalam penyelesaian makalah ini. Dengan demikian diharapkan makalah ini dapat
memberikan kontribusi positif dalam sistem pelayanan kesehatan secara optimal.

Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari


kesempurnaan. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi
perbaikan dalam penulisan makalah selanjutnya.

Medan, November 2019

Penulis
ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Tujuan 2
1.3 Manfaat 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3


2.1 Anatomi Pelvis 3
2.2 Fraktur Pelvis 13
2.2.1 Definisi 13
2.2.2 Epidemiologi 13
2.2.3 Etiologi dan Klasifikasi 14
2.2.4 Patofisiologi 20
2.2.5 Gambaran Klinis 21
2.2.6 Diagnosis ............................................................................ 21
2.2.7 Tatalaksana......................................................................... 25
2.2.8 Komplikasi ………………………………………………. 32
2.2.8 Prognosis ............................................................................ 35

BAB III KESIMPULAN 36


DAFTAR PUSTAKA 38
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Fraktur pelvis merupakan cedera yang dapat terjadi dengan intensitas
rendah berupa gejala nyeri sampai cedera intensitas tinggi berupa kematian
sebelum tiba di rumah sakit. Insidens fraktur rongga pelvis mencapai 23 kasus per
100.000 orang dengan insidens 10 kasus per 100.000 orang untuk masing-masing
cedera dengan intensitas rendah maupun tinggi pada populasi warga Australia.
Fraktur pelvis dengan intensitas cedera yang tinggi umumnya menyebabkan
disrupsi rongga pelvis dan harus dipertimbangkan sebagai suatu kasus
politrauma.1
Fraktur pada pelvis hanya mencakup kurang dari 5% keseluruhan cedera
pada tulang, tapi fraktur ini penting karena tingginya angka insidensi keterkaitan
dengan jaringan lunak dan risiko kehilangan darah yang parah, syok, sepsis, dan
adult respiratoy distress syndrome (ARDS). Seperti cedera serius lainnya, trauma
pelvis membutuhkan penanganan secara komprehensif dari berbagai ahli di
bidangnya. Sekitar 2 per 3 dari keseluruhan fraktur pelvis terjadi pada jalan raya
melibatkan pejalan kaki; lebih dari 10% dari pasien fraktur pelvis akan
mempunyai cedera organ viseral, dan pada kelompok ini angka mortalitasnya
melebihi 10%.2
Menurut Tile, fraktur pelvis yang tidak stabil ataupun fraktur pelvis
terbuka mempunyai tingkat mortalitas yang mencapai 10%-20%.3 Menurut
Schmal et al berdasarkan penelitian di Universitas Freiburg, cedera neurovaskular
pada fraktur pelvis ditemukan pada 4,3 % pasien dengan fraktur pelvis. Menurut
Tile pada fraktur pelvis terbuka tingkat mortalitas dapat mencapai 50 %. Sesuai
dengan penelitian Rothenberg et al yang meneliti 31 pasien dengan fraktur pelvis
terbuka, dimana tingkat mortalitas mencapai 42 %. Sedangkan menurut Peter di
Davis Medical Center tingkat mortalitas mencapai 30 %.4
Fraktur pelvis kompleks merupakan fraktur pada lingkar pelvis yang
disertaidengan cedera jaringan lunak pada regio pelvis dan dapat disertai dengan

1
gangguan hemodinamik. Fraktur ini terdapat pada 10% fraktur pelvis. Tingkat
mortalitas pada fraktur pelvis kompleks ini mencapai 33%. Fraktur pelvis
kompleks ditandai dengan adanya cedera pada pelvis yang berhubungan dengan
sistem urogenital, rektum, sigmoid, pleksus lumbosakral, struktur pembuluh darah
retroperitoneal. Fraktur ini merupakan suatu cedera kompleks dengan efek yang
signifikan terhadap status fungsional dan kualitas hidup.3

1.2 Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk menyampaikan teori
mengenai Fraktur Pelvis. Penyusunan makalah ini sekaligus untuk memenuhi
persyaratan kegiatan Program Profesi Dokter (P3D) di Departemen Ilmu Bedah
Orthopaedi dan Traumatologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

1.3 Manfaat
Makalah ini diharapkan dapat meningkatkan dan mengembangkan
kemampuan penulis maupun pembaca khususnya peserta P3D untuk
mengintegrasikan teori yang telah ada dengan aplikasi pada kasus yang akan
dijumpai di lapangan.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Pelvis


Cincin panggul dibentuk oleh 2 tulang inominata yang berhubungan
dengan sakrum di bagian belakang dan membentuk sendi sacroilliaca, di bagian
membentuk persendian sebagai satu simfisis pubis. Stabilitas cincin panggul
terutama ditentukan oleh rigiditas tulang yang membentuk serta ligamen-ligamen
yang mengikatnya. Dalam rongga panggul ditemukan beberapa organ antara lain
kandung kemih, prostat, rektum serta uretra pada laki-laki, vagina serta uterus dan
adneksa nya pada wanita. Juga ditemukan pembuluh-pembuluh darah besar
cabang dari arteri iliaka komunis, vena serta pleksus saraf. 5
Panggul berfungsi untuk mentransmisi berat badan melalui sendi sakro-
iliaka ke ilium, acetabulum dan dilanjutkan ke femur. Selain itu panggul berfungsi
melindungi struktur-struktur yang berada pada rongga panggul.4
Tulang inominata bergabung dengan sacrum di posterior pada 2 sacroiliac
(SI) joint. Pada daerah anterior bergabung pada simfisis pubis. Tanpa adanya
ligamentum pada struktur ini, cincin pelvis tidak akan mencapai stabilitasnya.
Aspek posterior pelvis distabilisasi oleh ligamentum yang sangat kuat.7 Ligamen
pengikat yang terpenting dan terkuat adalah ligamen sakroiliak dan iliolumbal.
Ligamen ini juga ikut disokong oleh ligamen tuberosakral dan spinosakral serta
ligamen simfisis pubis. Selama cincin bony dan ligamen tetap intak, jumlah beban
yang ditanggung tidak akan terganggu.2
Ligamentum ini menghubungkan sacrum dengan tulang inominata.
Stabilitas yang diberikan SI ligamen posterior harus dapat menahan kekuatan
weight-bearing yang ditransmisikan melalui SI ligamen ke ekstremitas bawah.
Simfisis berfungsi sebagai penopang saat weight-bearing untuk mempertahankan
struktur cincin pelvis. Ligamentum posterior SI dibagi menjadi komponen yang
pendek dan panjang. Komponen pendek berjalan oblique dari posterior sacrum ke
spina iliaca posterior superior dan posterior inferior. Komponen panjang berjalan

3
longitudinal dari aspek lateral sacrum ke spina iliaca posterior superior dan
bergabung dengan ligamentum sacrotuberous.
Pada sisi anterior, SI joint dilingkupi oleh struktur ligamen lemah yang pipih
dan tipis (Fig 1B) yang berjalan dari ilium ke sacrum. Struktur ini memberikan
stabilitas yang minimal, yang berfungsi sebagai kapsul yang melingkupi SI joint
dan memisahkannya dari isi cavum pelvis. Hampir semua struktur yang ada pada
SI joint adalah struktur yang kuat. Pada posisi tegak, berat dari bagian atas tubuh
mendorong sacrum ke bawah antara iliac wings dan menyebabkan ± 58 0 rotasi
dorsoventral.
Tulang inominata bergerak ke belakang dan ke bawah dimana pada saat yang
bersamaan rami pubis bergerak ke atas. Reduksi yang tepat dan pengembalian
morfologi dari SI joint tidaklah terlalu penting karena kontak erat antara
permukaan artikular tidak terjadi pada keadaan normal.
Simfisis pubis terdiri dari 2 permukaan kartilago hialin yang saling
berhadapan. Permukaan ini dilingkupi dan dikelilingi oleh jaringan fibrosa yang
cukup tebal. Simfisis didorong inferior oleh otot yang berinsersi pada ligamentum
arcuatum. Posisi yang paling tebal adalah pada sisi superior dan anterior.
Beberapa ligamen berjalan dari spine ke pelvis. Ligamentum iliolumbaris
mengamankan pelvis ke vertebra lumbalis. Ligamentum ini berasal dari processus
transversus L4 dan L5 dan berinsersi pada posterior dari crista iliaca. Ligamentum
lumbosacral berjalan dari processus L5 ke ala sacrum. Ligamentum ini
membentuk pegangan yang kuat dan menempel pada akar N.spinalis L5

4
Gambar 1. Ligamentum iliosakrum.6

5
Gambar 2. Anatomi Os. Pelvis6

Os coxae/tulang innominata terdiri dari tiga komponen: ilium, iscium,


pubis. Kesemuanya bertemu membentuk acetabulum.
a. Ilium
Terdiri dari:
1.Fossa iliaka : bagian anterior yang berbentuk cekung dan halus
2.Tuberositas iliaka/iliac crest : bagian posterior, tempat menempelnya fossa
iliaka, otot abdomen, dan fasia lata
3.Spina anterior superior dan inferior : spina superior menjadi tempat fiksasi
ligamentum inguinal
4.Spina posterior superior dan inferior : spina superior menjadi tempat fiksasi
ligamentum sakrotuberosa dan sakroiliaka posterior
5.Linea arcuata : merupakan bagian pinggir pelvis, terletak diantara dua
segmen pertama sakrum
6.Linea terminalis/iliopectineal eminence : garis yang menghubungkan ilium
dan pubis
b. Ischium
Terdiri dari:

6
1.Spina ischiadika : perpanjangan bagian tengah posterior tiap tulang ischium,
jarak antara keduanya menggambarkan diameter terpendek ruang pelvis
2.Ramus ischiadika : bergabung dengan os pubis membentuk foramen
obturatoar 3.Tuberositas ischiadika : tonjolan tulang yang menunjang tubuh
saat posisi duduk
c. Pubis
Terdiri dari:
1.Badan : dibentuk dari garis tengah penyatuan rami pubis superior dan
inferior 2.Simfisis pubis : sendi fibrokartílago tempat badan pubis bertemu
3.Tuberkulus pubis : proyeksi lateral dari ramus superior, tempat melekatnya
ligamentum inguinal dan rectus abdominis
4.Rami pubis superior dan inferior : bergabung dengan rami ischiadika
melingkari foramen obturatoar, tempat melekatnya lapisan inferiordiafragma
urogenital. Rami inferior desendens menyatu dengan membentuk sudut 90-
1000.

7
Gambar 3. Anatomi Os. Illiaka, Ilium, dan Pubis6

Pelvis dibagi menjadi dua bagian besar: pelvis mayor (pelvis bagian atas
/false pelvis), yang berada di atas linea terminalis termasuk 2 fossa iliaka, dan
pelvis minor (pelvis bagian bawah/true pelvis), yaitu area dibawahnya yang
bagian depannya dibatasi dengan os pubis, bagian posterior dengan sacrum dan
coccygeus, bagian lateral dengan iscium dan sedikit bagian ilium.

8
Gambar 4. Anatomi Os. Sacrum6

Pelvis yang intak membentuk 2 area anatomis mayor. False pelvis dan true
pelvis dipisahkan oleh pinggir pelvis, atau garis iliopectineal yang berjalan dari
promontorium sacralis sepanjang perbatasan antara ilium dan ischium ke ramus
pubis. Tidak ada struktur mayor yang melewati pinggiran ini. Diatasnya false
pelvis (greater pelvis) berisi ala sacral dan iliac wings, membentuk bagian dari
rongga abdomen. Bagian dalam false pelvis dilingkupi oleh otot iliopsoas. True
pelvis (lesser pelvis) terletak dibawah pinggir pelvis. Dinding lateralnya terdiri
dari pubis, ischium dan sebuah segitiga kecil dari ilium. Termasuk didalamnya
foramen obturatorium, yang ditutupi oleh otot dan membran, dan terbuka di
bagian superior dan medial untuk jalan dari nervus obturator dan pembuluh darah.
Obturator internus berasal dari membran dan melingkari lesser sciatic notch dan

9
menempel pada ujung proximal femur. Tendon obturator internus adalah struktur
yang penting karena berfungsi sebagai penanda untuk akses ke columna
posterior.7
Otot piriformis berorigin dari aspek lateral dari sacrum dan adalah
penanda untuk menemukan nervus sciaticus. Biasanya, nervus sciatic
meninggalkan pelvis diatas otot piriformis dan memasuki greater sciatic notch.
Kadang-kadang sisi peroneal berjalan diatas dan melewati piriformis. Dasar dari
true pelvis terdiri dari coccyx, otot coccygeal dan levator ani, urethra, genitalia
dan rectum. Semuanya melewati struktur ini.7

Gambar 5. Otot-Otot Panggul6

Plexus lumbosacralcoccygeus dibentuk oleh rami anterior T12 s/d S4,


yang paling penting adalah L4 s/d S1. Saraf lumbalis L4 dan L5 memasuki true
pelvis dari false pelvis, dimana nervus sacral adalah bagian dari true pelvis. Syaraf
L4 berjalan antara L5 dan SI joint dan bergabung dengan L5 untuk membentuk

10
truncus lumbosacralis pada promontorium sacralis (12 mm dari garis joint). Saraf
L5 berjarak 2 cm dari SI joint dan keluar dari foramen intervertebralis. Syaraf
sacralis melewati foramen sacralis dan bergabung dengan pleksusnya. Beberapa
cabang menuju otot mayor dalam pelvis. Nervus glutealis superior dan inferior
berjalan ventral ke piriformis dan memasuki pelvis melalui greater sciatic notch.
Nervus pudendalis (S2,3 dan 4) mempersarafi otot sfingter pelvis dan dapat
terkena pada fraktur pelvis khususnya yang posterior7

Gambar 6. Plexus Lumbosakral6

Percabangan mayor berasal dari arteri iliaka komunis didalam pelvis


diantara dan selevel sacroiliac joint dan greater sciatic notch. Dengan vena
pasangannya mereka sangan rentan terkena cedera jika ada fracture posterior dari
cincin pelvis. Arteri yang berasal dari hipogastric, awalnya berjalan bersama-sama
sampai ke lengkungan posterior pelvis dan saling beranastomosis, membentuk
hubungan kolateral. A glutealis superior adalah cabang terbesar. Karena berasal

11
dari lengkungan kanan dari a hipogastrica dan mempunyai proteksi otot yang
sedikit, maka arteri ini mudah sekali terkena pada fraktur dari lengkungan pelvis
posterior. Cabang obturator dan pudendal interna paling sering terkena pada
fraktur ramus pubis.7

Gambar 7. Pembuluh Darah pada Panggul6

Kandung kemih terletak di belakang dari simfisis pubis. Trigonum tetap


berada pada posisi disebalah ligamentum lateral vesica urinaria dan pada laki-laki
disebelah prostat. Prostat berada di antara kandung kemih dan lantai pelvis.
Prostat ditahan secara lateral disebelah serat medial dari otot levator ani, yang
dimana menempel secara ketat dengan tulang pubis di depannya oleh ligamentum
puboprostat sebagai pengikatnnya.2
Pada wanita trigonum ini juga menempel pada servik dan fornix anterior
vagiina. urethra ditahan oleh lantai pelvis dan ligamentum pubourethral.
Konsekuensinua pada wanita urethra lebih mobile dan lebih sulit terkana cedera.
Pada cedera pelvis yang parah membran urethra akan cedera saat prostat dipaksa
tertarik ke belakang saat urethra tetap statis pada posisinya. Saat ligamen
puboprostatis robek, prostat dan basis kandung kemih akan dislokasi dari
membran uretra. Kolon pelvis dan mesentriumnya, adalah struktut mobile dan
tidak akan cedera. Sayangnya, rektum dan kanalis anal lebih dekat dengan struktut

12
urogeniral dan lantai otot dari pelvis sehingga lebih mudah terkan cedera saat ada
fraktur pelvis.2

2.2 Fraktur Pelvis


2.2.1 Definisi
Fraktur pelvis adalah putusnya kontinuitas tulang, tulang rawan epifisis
atau tulang rawan sendi dan gangguan struktur tulang dari pelvis. Fraktur pelvis
dapat mengenai orang muda dan tua. Biasanya, pasien yang lebih muda dapat
mengalami fraktur pelvis sebagai akibat dari trauma yang signifikan, sedangkan
pasien lansia dapat mengalami fraktur pelvis akibat trauma ringan.7

2.2.2 Epidemiologi
Fraktur pada pelvis hanya mencakup kurang dari 5% keseluruhan cedera
pada tulang, tapi fraktur ini penting karena tingginya angka insidensi keterkaitan
dengan jaringan lunak dan risiko kehilangan darah yang parah, syok, sepsis, dan
adult respiratoy distress syndrome (ARDS). Seperti cedera serius lainnya, trauma
pelvis membutuhkan penanganan secara komprehensif dari berbagai ahli di
bidangnya. Sekitar 2 per 3 dari keseluruhan fraktur pelvis terjadi pada jalan raya
melibatkan pejalan kaki; lebih dari 10% dari pasien fraktur pelvis akan
mempunyai cedera organ viseral, dan pada kelompok ini angka mortalitasnya
melebihi 10%.2
Menurut Tile, fraktur pelvis yang tidak stabil ataupun fraktur pelvis
terbuka mempunyai tingkat mortalitas yang mencapai 10%-20%.3 Menurut
Schmal et al berdasarkan penelitian di Universitas Freiburg, cedera neurovaskular
pada fraktur pelvis ditemukan pada 4,3 % pasien dengan fraktur pelvis. Menurut
Tile pada fraktur pelvis terbuka tingkat mortalitas dapat mencapai 50 %. Sesuai
dengan penelitian Rothenberg et al yang meneliti 31 pasien dengan fraktur pelvis
terbuka, dimana tingkat mortalitas mencapai 42 %. Sedangkan menurut Peter di
Davis Medical Center tingkat mortalitas mencapai 30 %.

13
High-Energy Fractures

Fraktur pelvis dengan taruma berat jarang terjadi.8 2/3 pasien juga
(18)
memiliki cedera muskuloskeletal lain, dan lebih dari 1/2 pasien memiliki
cedera pada multisistem.9 pada 75% kasus disertai dengan perdarahan,10 12%
cedera urogenital, dan 8% cedera pleksus lumbosakral. Dalam sebuah penelitian
didapatkan 55% merupakan kasus fraktur cincin pelvis stabil, 25% fraktur pelvis
tidak stabil di rotasi, 21% tidak stabil pada tranlasi, 16% merupakan fraktur pelvis
yang disertai fraktur acetabulum.10

Low-Energy Fractures

Fraktur pelvis dan acetabulum dengan trauma ringan lebih sering terjadi
daripada dengan trauma berat. Wanita lebih sering terkena, dan kebanyakan pasien
tidak mengalami cedera lainnya. Dalam sebuah penelitian pada pasien usia 60
tahun dan lebih, didapatkan cedera cincin pelvis stabil pada 45 dari 48 pasien;
87% pasien adalah wanita. Dalam 3/4 kasus disebabkan oleh jatuh dengan
kekuatan ringan. Fraktur pelvis disertai dengan fraktur acetabulum terjadi pada
25% kasus.11,12

2.2.3 Klasifikasi

1. Menurut Tile (1988)

a. Tipe A ; stabil :

i. A1 ; fraktur panggul tidak mengenai cincin

ii. A2 ; stabil, terdapat pergeseran cincin yang minimal dari fraktur

Tipe A termasuk fraktur avulsi atau fraktur yang mengenai cincin panggul
tetapi tanpa atau sedikit sekali pergeseran cincin.

b. Tipe B ; tidak stabil secara rotasional, stabil secara vertikal :

i. B1 ; open book

ii. B2 ; kompresi lateral : ipsilateral

iii. B3 ; kompresi lateral : kontralateral (bucket handle)

14
Tipe B mengalami rotasi eksterna yang mengenai satu sisi panggul (open
book) atau rotasi interna atau kompresi lateral yang dapat menyebabkan
fraktur pada ramus isio-pubis pada satu atau kedua sisi disertai trauma
pada bagian posterior tetapi simfisis tidak terbuka (closed book).

iv. Tipe C ; tidak stabil secara rotasi dan vertikal :

i. C1 ; unilateral

ii. C2 ; bilateral

iii. C3 ; disertai fraktur asetabulum

Terdapat disrupsi ligamen posterior pada satu atau kedua sisi disertai
pergeseran dari salah satu sisi panggul secara vertikal, mungkin juga
disertai fraktur asetabulum.

15
Classification of pelvic fracture disruption. (A) Type B represents
rotationally unstable but vertically stable fractures; type B1 injuries are
external rotation or open-book injuries. (B) Type B2.1 injuries represent
internal rotation of lateral compression injuries on the ipsilateral side. (C)
Type B2.2 injuries represent lateral compression injuries with contralateral
fracturing of the pubic rami and posterior structures. (D) Type C fractures
are rotationally and vertically unstable and are represented here as a
unilateral, unstable, vertically disrupted pelvis.(16)

2. Menurut Key dan Conwell

a. Fraktur pada salah satu tulang tanpa adanya disrupsi cincin

i. Fraktut avulsi

1. Spina iliaka anterior superior

2. Spina iliaka anterior inferior

3. Tuberositas isium

ii. Fraktur pubis dan isium

iii. Fraktur sayap ilium (Duverney)

16
iv. Fraktur sakrum

v. Fraktur dan dislokasi tulang koksigeus

b. Keretakan tunggal pada cincin panggul

i. Fraktur pada kedua ramus ipsilateral

ii. Fraktur dekat atau subluksasi simfisis pubis

iii. Fraktur dekat atau subluksasi sendi sakro-iliaka

c. Fraktur bilateral cincin panggul

i. Fraktur vertikal ganda dan atau dislokasi pubis

ii. Fraktur ganda dan atau dislokasi (Malgaigne)

iii. Fraktur multipel yang hebat

d. Fraktur asetabulum

i. Tanpa pergeseran

ii. Dengan pergeseran

3. Klasifikasi Young-Burgess 1990 (6)

Angka kematian : Lateral compression - 7%; Antero posterior - 20%;


Vetikal shears- 0% (cause of death is usually MOF & ARDS).

17
18
4. Klasifikasi lain

a. Fraktur isolasi dan fraktur tulang isium dan tulang pubis tanpa
gangguan pada cincin

i. Fraktur ramus isiopubis superior

ii. Fraktur ramus isiopubis inferior

iii. Fraktur yang melewati asetabulum

iv. Fraktur sayap ilium

v. Avulsi spina iliaka antero-inferior

b. Fraktur disertai robekan cicncin

5. Klasifikasi berdasarkan stabilitas dan komplikasi

a. Fraktur avulsi

b. Fraktur stabil

c. Fraktur tidak stabil

d. Fraktur dengan komplikasi

19
Dengan menilai klasifikasi maka yang paling penting adalah stabilitas
panggul apakah bersifat stabil atau tidak stabil, karena hal ini penting dalam
penanggulangan serta prognosis.

2.2.4 Patofisiologi

Trauma biasanya terjadi secara langsung pada panggul karena tekanan yang
besar atau karena jatuh dari ketinggian. Pada orang tua dengan osteoporosis atau
osteomalasia dapat terjadi fraktur stress pada ramus pubis. Oleh karena rigiditas
panggul maka keretakan pada salah satu bagian cincin akan disertai robekan pada
titik lain, kecuali pada trauma langsung. Sering titik kedua tidak terlihat dengan
jelas atau mungkin terjadi robekan sebagian atau terjadi reduksi spontan pada
sendi sakro-iliaka.

Mekanisme trauma pada cincin panggul terdiri atas :

 Kompresi anteroposterior

Hal ini biasanya terjadi akibat tabrakan antara seorang pejalan kaki dengan
kendaraan. Ramus pubis mengalami fraktur, tulang inominata terbelah, dan
mengalami rotasi eksterna disertai robekan simfisis. Keadaan ini disebut
sebagai open book injury. Bagian posterior ligamen sakro-iliaka mengalami
robekan parsial atau dapat disertai fraktur bagian belakang ilium.

 Kompresi lateral

Kompresi dari samping akan menyebabkan cincin mengalami keretakan.


Hal ini terjadi apabila ada trauma samping karena kecelakaan lalu lintas atau
jatuh dari ketinggian. Pada keadaan ini ramus pubis bagian depan pada kedua
sisinya mengalami fraktur dan bagian belakang terdapat strain dari sendi
sakri-iliaka atau fraktur ilium atau dapat pula fraktur ramus pubis pada sisi
yang sama.

20
 Trauma vertikal

Tulang inominata pada satu sisi mengalami pergerakan secara vertikal


disertai fraktur ramus pubis dan disrupsi sendi sakro-iliaka pada sisi yang
sama. Hal ini terjadi apabila seseorang jatuh dari ketinggian pada satu
tungkai.

Trauma kombinasi

Pada trauma yang lebih hebat dapat terjadi kombinasi kelainan di atas

2.2.5 Gambaran Klinis

Fraktur panggul sering merupakan bagian dari salah satu trauma multipel
yang dapat mengenai organ-organ lain dalam panggul. Keluhan berupa gejala
pembengkakan, deformitas serta perdarahan subkutan sekitar panggul. Penderita
datang dalam keadaan anemi dan syok karena perdarahan yang hebat. Terdapat
gangguan fungsi anggota gerak bawah.(4)

Pada cedera tipe A pasien tidak mengalami syok berat tetapi merasa nyeri
bila berusaha berjalan. Terdapat nyeri tekan lokal tetapi jarang terdapat kerusakan
pada visera pelvis. Sinar-X polos dapat memperlihatkan fraktur.(5)

Pada tipe cedera B dan C pasien mengalami syok berat, sangat nyeri dan
tak dapat berdiri; dia mungkin juga tidak dapat kencing. Mungkin terdapat darah
di meatus eksternus. Nyeri tekan dapat bersifat lokal tetapi sering meluas, dan
usaha menggerakkan satu atau kedua ala osis ilii akan sangat nyeri. Salah satu
kaki mungkin mengalami anestetik sebagian karena cedera saraf skiatika dan
penarikan atau pendorongan dapat mengungkapkan ketidakstabilan vertikal
(meskipun ini mungkin terlalu nyeri). Cedera ini sangat hebat, sehingga membawa
risiko tinggi terjadinya kerusakan viseral, perdarahan di dalam perut dan
retroperitoneal, syok, sepsis, dan ARDS; angka kematiannya cukup tinggi.(5)

21
2.2.6 Diagnosis

Penilaian Klinik (5,13)

Fraktur pelvis harus dicurigai pada setiap pasien dengan cedera perut atau
tungkai bawah yang berbahaya. Mungkin terdapat riwayat kecelakaan lalu lintas
atau jatuh dari ketinggian atau cedera benturan. Pasien sering mengeluh nyeri
hebat dan merasa seolah-olah dia telah terpisah-pisah, dan mungkin terdapat
pembengkakan atau memar pada perut bawah, paha, perineum, skrotum atau
vulva. Semua daerah ini harus diperiksa dengan cepat, untuk mencari bukti
ekstravasasi urine. Tetapi prioritas utama adalah selalu menilai keadaan umum
pasien dan mencari tanda-tanda kehilangan darah. Resusitasi dapat dimulai
sebelum pemeriksaan selesai.

Perut harus dipalpasi dengan hati-hati. Tanda-tand iritasi menunjukkan


kemungkinan perdarahan intraperitoneal. Cincin pelvis dapat ditekan dengan
pelan-pelan dari sisi ke sisi dan kembali ke depan. Nyeri tekan pada daerah sakro-
iliaka sangat penting dan dapat menandakan adanya gangguan pada jembatan
posterior.

Pemeriksaan rektum kemudian dilakukan pada semua kasus. Koksigis dan


sakrum dapat diraba dan diuji untuk mencari ada tidaknya nyeri tekan. Kalau
prostat dapat diraba, yang sering sukar dilakukan akibat nyeri dan pembengkakan,
posisinya yang abnormal dapat menunjukkan cedera uretra.

Tanyakan kapan pasien membuang urine terakhir kali dan cari perdarahan
di meatus eksterna. Ketidakmampuan untuk kencing dan adanya darah di meatus
eksterna adalah tanda klasik ruptur uretra. Tetapi, tiadanya darah di meatus tidak
menyingkirkan cedera uretra, karena sfingter luar mungkin mengalami spasme,
sehingga menghentikan aliran darah dari tempat cedera. Karena itu setiap pasien
yang mengalami fraktur pelvis harus dianggap menghadapi risiko cedera uretra.

Pasien dapat dianjurkan untuk kencing; kalau dia dapat melakukannya,


uretra itu utuh atau hanya terdapat sedikit kerusakan yang tidak akan diperburuk
oleh aliran urine. Jangan mencoba untuk memasukkan kateter; karena ini dapat

22
mengubah robekan uretra sebagian menjadi robekan uretra lengkap. Kalau
cedera uretra dicurigai, ini dapat didiagnosis dengan lebih tepat dan lebih aman
dengan uretrografi retrograd.

Ruptur kandung kemih harus dicurigai pada pasien yang tidak dapat
kencing atau pada pasien yang kandung kemihnya tidak teraba setelah diberi
penggantian cairan yang memadai. Palpasi sering sukar dilakukan karena terdapat
hematoma dinding perut. Gambaran fisik pada awalnya dapat sedikit sekali,
dengan bising usus yang normal, karena ekstravasasi urine yang steril tak banyak
menimbulkan iritasi peritoneum. Hanya sebagian kecil pasien dengan ruptur
kandung kemih yang mengalami hipotensi; jadi kalau pasien itu hipotensif, harus
dicari penyebab lainnya.

Pemeriksaan neurologik sangat diperlukan; mungkin terdapat kerusakan


pada pleksus lumbalis atau sakralis.

Kalau pasien tak sadar, prosedur rutin yang sama diikuti. Tetapi,
pemeriksaan sinar-X dini penting pada kasus ini.

Pemeriksaan Radiologis (4)

Setiap penderita trauma panggul harus dilakukan pemeriksaan radiologis


dengan prioritas pemeriksaan foto rontgen posisi AP. Pemeriksaan rontgen posisi
lain yaitu oblik, rotasi interna dan eksterna apabila keadaan umum
memungkinkan.

Sinar-X Pada Pelvis (5,13)

Sinar-X dapat memperlihatkan fraktur pada rami pubis, fraktur ipsilateral


atau kontralateral pada elemen posterior, pemisahan simfisis, kerusakan pada
sendi sakro-iliaka atau kombinasi dari cedera-cedera itu. Foto sering sulit
dimengerti dan CT Scan merupakan cara yang terbaik untuk memperlihatkan sifat
cedera terutama kalau tersedia CT 3 dimensi.

Segera setelah keadaan pasien memungkinkan, foto polos AP pelvis harus


diambil. Pada umumnya foto ini akan memberi informasi yang cukup untuk
membuat diagnosis pendahuluan pada fraktur pelvis. Sifat cedera yang tepat dapat

23
diperjelas dengan radiografi secara lebih rinci bila telah dipastikan bahwa pasien
dapat tahan terhadap lamanya waktu yang diperlukan untuk penentuan posisi dan
reposisi di meja sinar-X. Diperlukan 5 foto : anteroposterior, pandangan inlet
(kamera sefalad terhadap pelvis dan dimiringkan 30 derajat ke bawah), foto outlet
(kamera kaudal terhadap pelvis dan dimiringkan 40 derajat ke ata), dan foto oblik
kanan dan kiri.

Kalau dicurigai adanya cedera apa saja yang berbahaya, CT Scan pada
tingkat yang tepat sangat bermanfaat ( beberapa ahli mengatakan harus
dilakukan). Ini terutama berlaku untuk kerusakan cincin pelvis posterior dan untuk
fraktur asetabulum yang kompleks, yang tidak dapat dievaluasi secara tepat
dengan sinar-X biasa.

Reformasi CT 3 dimensi terhadap foto pelvis memberi gambaran cedera


secara paling tepat, ini adalah metode pilihan bila fasilitas itu tersedia.

24
2.2.7 Tatalaksana

PENANGANAN DINI (4,5)

Terapi tidak boleh menunggu diagnosis yang lengkap dan rinci. Prioritas
perlu ditentukan dan bertindak berdasrkan setiap informasi yang sudah tersedia
sementara beralih ke pemeriksaan diagnostik berikutnya. Tata laksana dalam
konteks ini adalah kombinasi penilaian dan terapi.

6 pertanyaan harus ditanyakan dan jawabannya ditangani satu demi satu :

1. Apakah saluran nafas bersih ?

2. Apakah paru-paru cukup membuat ventilasi ?

3. Apakah pasien kehilangan darah ?

4. Apakah terdapat cedera di dalam perut ?

5. Apakah terdapat cedera kandung kemih dan uretra ?

6. Stabil atau tidakkah fraktur pelvis ini ?

Pada setiap pasien yang mengalami cedera berat, langkah yang pertama
adalah memastikan bahwa saluran nafas bersih dan ventilasi tak terhalang.
Resusitasi harus dimulai segera dan perdarahan aktif dikendalikan. Pasien dengan
cepat diperikas untuk mencari ada tidaknya cedera ganda dan, kalau perlu, fraktur
yang nyeri dibebat. 1 foto sinar-X AP pada pelvis harus diambil.

Kemudian dilakukan pemeriksaan yang lebih cermat, dengan


memperhatikan pelvis, perut, perineum, dan rektum. Liang meatus uretra
diperiksa untuk mencari tanda-tanda perdarahan. Tungkai bawah juga diperiksa
untuk mencari tanda-tanda cedera saraf.

Kalau keadaan umum pasien stabil, pemeriksaan dengan sinar-X


selanjutnya dapat dilakukan. Kalau dicurigai adanya robekan uretra, dapat
dilakukan uretrogram secara pelan-pelan. Hasil penemuan sampai tahap ini dapat
menentukan perlu tidaknya urogram intravena.

25
Sampai saat ini dokter yang memeriksa sudah mendapat gambaran yang
baik mengenai keadaan umum pasien, tingkat cedera pelvis, ada tidaknya cedera
viseral dak kemungkinan berlanjutnya perdarahan di dalam perut atau
retroperitoneal. Idealnya, tim ahli masing-masing menangani tiap masalah atau
melakukan penyelidikan lebih jauh.

Pengobatan harus dilakukan sesegera mungkin berdasarkan prioritas


penanggulangan trauma yang terjadi (ABC), yaitu:

1. Resusitasi awal

a. Perhatikan saluran nafas dan perbaiki hipoksia

b. Kontrol perdarahan dengan pemberian cairan Ringer dan transfusi darah

2. Anamnesis

a. Keadaan dan waktu trauma

b. Miksi terakhir

c. Waktu dan jumlah makan dan minum yang terakhir

d. Bila penderita wanita apakah sedang hamil atau menstruasi

e. Trauma lainnya seperti trauma pada kepala

3. Pemeriksaan klinik

a. Keadaan umum

i. Catat secara teratur denyut nadi, tekanan darah dan respirasi

ii. Secara cepat lakukan survey tentang kemungkinan trauma lainnya

b. Lokal

i. Inspeksi perineum untuk mengetahui adanya perdarahan,


pembengkakan dan deformitas

ii. Tentukan derajat ketidak-stabilan cincin panggul dengan palpasi pada


ramus dan simfisis pubis

iii. Adakan pemeriksaan colok dubur

26
4. Pemeriksaan tambahan

a. Foto polos panggul, toraks serta daerah lain yang dicurigai mengalami
trauma

b. Foto polos panggul dalam keadaan rotasi interna dan eksterna serta
pemeriksaan foto panggul lainnya

c. Pemeriksaan urologis dan lainnya :

i. Kateterisasi

ii. Ureterogram

iii. Sistogram retrograd dan postvoiding

iv. Pielogram intravena

v. Aspirasi diagnostik dengan lavase peritoneal

5. Pengobatan

a. Tindakan operatif bila ditemukan kerusakan alat-alat dalam rongga


panggul

b. Stabilisasi fraktur panggul, misalnya traksi skeletal, pelvic sling, spika


panggul

Penanganan Perdarahan Yang Hebat (5,13)

Upaya lain yang dapat diperlukan untuk menangani perdarahan masif


mencakup penggunaan pakaian antisyok pneumatik dan pemasangan segera
fiksator luar.

Diagnosis perdarahan yang terus berlanjut sering sukar dilakukan, dan


sekalipun tampak jelas bahwa berlanjutnya syok adalah akibat perdarahan,
tidaklah mudah untuk menentukan sumber perdarahan itu. Pasien dengan tanda-
tanda abdomen yang mencurigakan harus diselidiki lebih jauh dengan aspirasi
peritoneum atau pembilasan. Kalau terdapat aspirasi diagnostik positif, perut
harus dieksplorai untuk menemukan dan mengangani sumber perdarahan. Tetapi,
kalau terdapat hematoma retroperitoneal yang besar, ini tidak boleh dievakuasi

27
karena hal ini dapat melepaskan efek tamponade dan mengakibatkan perdarahan
yang tak terkendali.

Penanganan Uretra Dan Kandung Kemih (5)

Cedera urologi terjadi pada sekitar 10% pasien dengan fraktur cincin
pelvis. Karena pasien sering sakit berat akibat cedera yang lain, mungkin
dibutuhkan kateter urine untuk memantau keluaran urine, sehingga ahli urologi
terpaksa membuat diagnosis kerusakan uretra dengan cepat.

Tidak boleh memasukkan kateter diagnostik karena kemungkinan besar ini


akan mengubah robekan sebagian menjadi robekan lengkap. Untuk robekan yang
tek lengkap, pemasukan kateter suprapubik sebagai prosedur resmi saja yang
dibutuhkan. Sekitar setengah dari semua robekan tak lengkap akan sembuh dan
tak banyak membutuhkan penanganan jangka panjang.

Terapi robekan uretra lengkap masih kontroversial. Penjajaran ulang


(realignment) primer pada uretra dapat dicapai dengan melakukan sistostomi
suprapubik, mengevakuasi hematoma pelvis dan kemudian memasukkan kateter
melewati cedera untuk mendrainase kandung kemih. Kalau kandung kemih
mengambang tinggi, ini harus direposisi dan diikat dengan penjahitan melalui
bagian anterior bawah kapsul prostat, melalui perineum pada kedua sisi uretra
bulbar dan difiksasi pada paha dengan plester elastis. Suatu pendekatan alternatif
– yang jauh lebih sederhana – adalah melakukan sistostomi secepat mungkin,
tidak berusaha mendrainase pelvis atau membedah uretra, dan mengangani
striktur yang diakibatkan 4-6 bulan kemudian. Metode yang belakangan ini
dikontraindikasikan kalau terdapat dislokasi prostat yang hebat atau robekan hebat
pada rektum atau leher kandung kemih. Pada kedua metode itu terdapat cukup
banyak insidensi pembentukan striktur, inkontinensia dan impotensi di belakang
hari.

Terapi Fraktur (5,13)

Untuk pasien dengan cedera yang sangat hebat, fiksasi luar dini adalah
salah satu cara yang paling efektif untuk mengurangi perdarahan dan melawan

28
syok. Kalau tidak ada komplikasi yang membahayakan jiwa, terapi pastinya
adalah sebagai berikut.

Fraktur tipe A, Fraktur yang sedikit sekali bergeser dan fraktur pelvis
yang terisolasi hanya membutuhkan istirahat di tempat tidur, barangkali
dikombinasi dengan traksi tungkai bawah. Dalam 4-6 minggu pasien biasanya
nyaman sehingga dapat diperbolehkan menggunakan penopang.

Fraktur tipe B, Asalkan dapat dipastikan bahwa pergeseran posterior tidak


terjadi, cedera buku terbuka dengan celah kurang dari 2,5 cm biasanya dapat
diterapi secara memuaskan dengan beristirahat di tempat tidur; kain gendongan
posterior atau korset elastis yang bermanfaat untuk “menutup buku”. Celah yang
lebih dari 2,5 cm sering dapat ditutup dengan membaringkan pasien secara miring
dan menekan ala osis ilii. Cara yang paling efisien untuk mempertahankan reduksi
adalah fiksasi luar dengan pen pada kedua ala osis ilii yang dihubungkan oleh
batang anterior; “penutupan buku” juga dapat mengurangi jumlah perdarahan.
Penempatan pen lebih mudah dilakukan kalau 2 pen sementara mula-mula
dimasukkan sehingga merengkuh permukaan medial dan lateral tiap ala osis ilii
dan kemudian mengarahkan pen-pen pengikat itu diantara keduanya. Fiksasi
internal dengan pemasangan plat pada simfisis harus dilakukan : (1) selama
beberapa hari pertama setelah cedera, hanya jika pasien memerlukan laparotomi
dan (2) di belakang hari jika celah itu tidak dapat ditutup dengan metode yang
tidak begitu radikal.

Pada cedera buku tertutup penggunaan kain gendongan atau korset tidak
tepat. Beristirahat di tempat tidur selama sekitar 6 minggu tanpa fiksasi apapun
biasanya memadai, tetapi, kalau perbedaan panjang kaki melebihi 1,5 cm atau
terdapat deformitas pelvis yang nyata, reduksi dengan pen pada satu krista iliaka
dapat dicoba dan, kalau berhasil, dipertahankan dengan menghubungkan pen-pen
itu dengan pen pada sisi yang lain sehingga membentuk fiksator luar. Kerangka
fiksasi biasanya diperlukan selama 6-8 minggu tetapi pada stadium yang
belakangan, kalau telah nyaman pasien diperbolehkan bangun dan berjalan.

29
Fraktur tipe C, Cedera ini adalah yang paling berbahaya dan paling sulit
diterapi. Kemungkinan beberapa atau semua pergeseran vertikal dapat direduksi
dengan traksi kerangka yang dikombinasi dengan fiksator luar; meskipun
demikian, pasien perlu tinggal di tempat tidur sekurang-kurangnya 10 minggu.
Kalau reduksi belum dicapai, fraktur dislokasi dapat direduksi secara terbuka dan
mengikatnya dengan satu plat kompresi dinamis atau lebih. Operasi berbahaya
bila dilakukan (bahayanya mencakup perdarahan masif dan infeksi) dan harus
dilakukan hanya oleh ahli bedah yang berpengalaman dalam bidang ini.
Pemakaian traksi kerangka dan fiksasi luar mungkin lebih aman, meskipun
malposisi mungkin akan meninggalkan nyeri di bagian posterior. Perlu ditekankan
bahwa > 60% fraktur pelvis tidak memerlukan fiksasi.

30
31
Fraktur pelvis terbuka ditangani dengan fiksasi luar. Kolostomi diversi
mungkin diperlukan.

2.2.8 KOMPLIKASI (4,5,13)

Nyeri sakro-iliaka menetap cukup sering ditemukan setelah fraktur pelvis


yang tak stabil dan kadang-kadang mengaharuskan dilakukannya artrodesis pada
sendi sakro-iliaka. Cedera saraf skiatika biasanya sembuh tetapi kadang-kadang
ternyata memerlukan eksplorasi. Cedera uretra yang berat dapat mengakibatkan
striktur uretra, inkontinensia,atau impotensi. (5,13)

32
Komplikasi dibagi dalam :

1. Komplikasi segera

a. Trombosis vena ilio-femoral

Komplikasi ini sering ditemukan dan sangat berbahaya. Apabila ada


keraguan sebaiknya diberikan antikoagulan secara rutin untuk profilaktik.

b. Robekan kandung kemih

Robekan dapat terjadi apabila ada disrupsi simfisis pubis atau tusukan dari
bagian tulang panggul yang tajam.

c. Robekan uretra

Robekan uretra terjadi karena adanya disrupsi simfisis pubis pada daerah
uretra pars membranosa

Ruptur uretra posterior paling sering disebabkan oleh fraktur tulang


pelvis. Frakttur yang mengenai ramus atau simfisis pubis dan
menimbulkan kerusakan pada cincin pelvis dapat menyebabkan robekan
uretra pars prostate-membranacea. Fraktur pelvis dan robekan pembuluh
darah yang berada di kavum pelvis menyebabkan hematom yang luas di
kavum retzius sehingga jika ligamentum pubo-prostatikum ikut robek,
prostat beserta buli-buli akan terangkat ke cranial.(13)

Ruptur uretra anterior , cidera dari luar yang sering menyebabkan


kerusakan uretra anterior adalah straddle injury (cidera selangkangan)
yaitu uretra terjepit diantara tulang pelvis dan benda tumpul. Jenis
kerusakan uretra yang terjadi berupa kontusio dinding uretra, rupture
parsial, atau rupture total dinding uretra. Pada kontusio uretra pasien
mengeluh adanya perdarahan per-uretram atau hematuria. Jika terdapat
robekan pada korpus spongiosum, terlihat adanya hematom pada penis
atau butterfly hematom. Pada keadaan ini seringkali pasien tidak dapat
miksi. (13)

33
d. Trauma rektum dan vagina

e. Trauma pembuluh darah besar yang akan menyebabkan perdarahan


masif sampai syok

f. Trauma pada saraf

i. Lesi saraf skiatik

Lesi saraf skiatik dapat terjadi pada saat trauma atau pada saat
operasi. Apabila dalam jangka waktu 6 minggu tidak ada perbaikan,
maka sebaiknya dilakukan eksplorasi.

ii. Lesi pleksus lumbosakralis

Biasanya terjadi pada fraktur sakrum yang bersifat vertikal disertai


pergeseran. Dapat pula terjadi gangguan fungsi seksual apabila
mengenai pusat saraf.

2. Komplikasi lanjut

a. Pembentukan tulang heterotrofik

Pembentukan tulang heterotrofik biasanya terjadi setelah suatu trauma


jaringan lunak yang hebat atau setelah suatu diseksi operasi. Dapat
diberikan indometasin untuk profilaktik.

b. Nekrosis avaskuler

Nekrosis avaskuler dapat terjadi pada kaput femur beberapa waktu setelah
trauma.

c. Gangguan pergerakan sendi serta osteoartritis sekunder

Apabila terjadi fraktur pada daerah asetabulum dan tidak dilakukan


reduksi yang akurat, sedangkan sendi ini menopang berat badan, maka
akan terjadi ketidak-sesuaian sendi yang akan memberikan gangguan
pergerakan serta osteoartritis di kemudian hari.

d. Skoliosis kompensatoar

34
2.2.9 Prognosis
Dari analisis yang didapat lebih dari 63.000 pasien trauma
menunjukkan bahwa fraktur pelvic dikaitkan meningkatkan risiko
kematian dibandingkan dengan pasien trauma tanpa fraktur pelvic.

35
BAB III

KESIMPULAN

Pelvis adalah salah satu bagian dari tubuh manusia yang berfungsi penting,
yaitu menahan berat badan tubuh melalui sendi sakro iliaka ke ilium ,asetabulum
dan dilanjutkan ke femur . Selain itu panggul berfungsi melindungi struktur-
struktur yang berada didalam rongga panggul.

Fraktur pelvis dapat terjadi pada semua usia, baik dengan trauma berat
atau trauma ringan atau trauma yang berulang; trauma langsung maupun tak
langsung. Tetapi pada orang muda yang paling sering adalah fraktur dengan
trauma berat, sedangkan pada orang tua, fraktur biasanya disebabkan dengan
trauma ringan.

Mekanisme trauma pelvis terdiri dari :

 Kompresi anteroposterior

 Kompresi lateral

 Trauma vertikal

 Trauma kombinasi

Klasifikasi fraktur pelvis menurut Tile 1988, secara garis besar terdiri dari :

a. Tipe A: stabil.

b. Tipe B : tidak stabil secara rotasional, stabil secara vertikal.

c. Tipe C : tidak stabil secara rotasi dan vertikal.

Gejala yang muncul pada fraktur pelvis adalah : pembengkakan,


deformitas, serta perdarahan subkutan sekitar panggul. Penderita datang dalam
keadaan anemi dan syok karena perdarahan yang hebat. Terdapat gangguan fungsi
anggota gerak bawah.

Diagnosis fraktur pelvis ditegakkan melalui pemeriksaan fisik,


pemeriksaan radiologis, dan sinar-x.

36
Fraktur pelvis menyebabkan angka mortalitas dan morbiditas yang tinggi,
sehingga dibutuhkan penanganan tim yang baik untuk mencegah komplikasi yang
diakibatkannya. Untuk memperbaiki kualitas hidup pasien, harus dilakukan
intervensi sedini mungkin.

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Pohlemann T. Pelvic Ring Injuries: Assessment and Concepts of Surgical


Management. In: Colton C, Dell'Oca A, Holz U, Kellam J, Ochsner P,
editors. AO Principles of Fracture Management. New York: AO Publishing;
2000. p. 391 - 414.
2. Solomon L, Warcwick D, Nayagam S, Apley A. Apley’s system of
orthopaedics and fractures. 9th ed. London: Hodder Education; 2010
3. Tile M. Acute Pelvic Fractures: I. Causation and Classification. J Am
AcadOrthop Surg. 1996 May;4(3):143-51
4. Schmal H, Markmiller M, Mehlhorn AT, Sudkamp NP. Epidemiology
andoutcome of complex pelvic injury. Acta Orthop Belg. 2005 Feb;71(1):41-
7
5. Rasjad, C., 2003. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Bintang Lamumpatue
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar, hal 424-429
6. Cleland J, Koppenhaver S. Netter’s orthopaedic clinical examination.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2010.
7. Schwartz, AK et. al. Pelvic trauma in Trauma, Volume 1: Emergency
Resuscitation, Perioperative, Anesthesia, Surgical Management and Trauma,
William C Wilson et. al, Chapter 28, Page 533-550, Informa,
HEALTHCARE, USA, 2007
8. Pohlemann T, Tscherne H, Baumgartel F, et al. [Pelvic fractures:
epidemiology, therapy and long-term outcome. Overview of the multicenter
study of the Pelvis Study Group.] [Article in German.] Unfallchirurg 1996;
99:160–7.

9. Gansslen A, Pohlemann T, Paul C, et al. Epidemiology of pelvic ring injuries.


Injury 1996;27 Suppl 1:S-A13–20.

10. McMurtry R, Walton D, Dickinson D, et al. Pelvic disruption in the


polytraumatized patient: a management protocol. Clin Orthop
1980;(151):22–30.

38
11. Hill RM, Robinson CM, Keating JF. Fractures of the pelvic rami.
Epidemiology and five-year survival. J Bone Joint Surg Br 2001;83:1141–4
12. Leung WY, Ban CM, Lam JJ, et al. Prognosis of acute pelvic fractures in
elderly patients: retrospective study. Hong Kong Med J 2001;7:139–45.

39

Anda mungkin juga menyukai