Anda di halaman 1dari 42

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN BURST


FRAKTUR DI RUANG SERUNI RUMAH SAKIT DAERAH dr.
SOEBANDI JEMBER

STASE KEPERAWATAN BEDAH

Oleh
Melaniara Anggista, S.Kep.
NIM 222311101057

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta
hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan pendahuluan dengan
judul “Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Burst Fraktur di Ruang Seruni
Rumah Sakit Daerah dr. Soebandi Jember” dengan tepat waktu. Tak lupa penulis
mengucapkan terimakasih kepada dosen pembimbing akademik, dosen
pembimbing klinik, serta perawat-perawat di ruang Seruni yang dengan tulus
membimbing dan mengajarkan segala sesuatu. Penulis menyadari bahwa
laporan pendahuluan yang dibuat ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, penulis menerima dengan tangan terbuka baik kritik dan saran yang
membangun demi kesempurnaan laporan pendahuluan ini. Semoga laporan
pendahuluan ini bermanfaat bagi kita semua.

Jember, 8 Januari 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN SAMPUL .................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................... iii
BAB 1. KONSEP PENYAKIT ....................................................................... 1
1.1 Anatomi Fisiologi................................................................................ 1
1.2 Definisi ................................................................................................. 5
1.3 Epidemiologi ....................................................................................... 6
1.4 Etiologi................................................................................................. 6
1.5 Patofisiologi ......................................................................................... 7
1.6 Manifestasi klinik................................................................................7
1.7 Klasifkasi..............................................................................................8
1.8 Komplikasi............................................................................................9
1.9 Pemeriksaan Penunjang .................................................................... 11
1.10 Penatalaksanaan Farmakologi dan Non Farmakologi ................... 12
1.11 Pathway ................................................................................................ 14
BAB 2. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN .......................................... 16
2.1 Pengkajian Keperawatan.................................................................... 16
2.2 Diagnosa Keperawatan ....................................................................... 22
2.3 Intervensi Keperawatan...................................................................... 24
2.4 Implementasi Keperawatan................................................................ 36
2.5 Evaluasi Keperawatan ........................................................................ 36
2.6 Discharge Planning.............................................................................. 37
BAB III PENUTUP..........................................................................................38
3.1 Kesimpulan............................................................................................38
3.2 Saran......................................................................................................38

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 39

iii
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Fraktur merupakan masalah kesehatan baik di dunia maupun di


Indonesia. Fraktur atau patah tulang merupakan suatu kondisi terputusnya
kontinuitas jaringan tulang dan tulang rawan yang disebabkan oleh trauma atau
keadaan patologis. Pada seseorang dengan keadaan fraktur, jaringan
disekitarnya juga akan terganggu seperti edema pada jaringan lunak, ruptur
tendon, kerusakan pembuluh darah, dislokasi sendi, hemoragi otot dan sendi,
serta kerusakan sel syaraf.
Trauma medula spinalis terjadi pada 30.000 pasien setiap tahun di
Amerika Serikat. Insidensi pada negera berkembang berkisar antara 11,5 hingga
53,4 kasus dalam 1.000.000 populasi. Umumnya terjadi pada remaja dan
dewasa muda (Evans, 1996). Penyebab tersering adalah kecelakaan lalu lintas
(50%), jatuh (25%) dan cedera yang berhubungan dengan olahraga (10%).
Sisanya akibat kekerasan dan kecelakaan kerja. Kejadian fraktur lebih sering
terjadi pada pria dibandingkan wanita. Negara Jepang menempati urutan
pertama kasus fraktur tulang belakang yang banyak terjadi pada usia 65-74
tahun. Presentasinya sekitar 37,6 % pada laki-laki dan 28,7 % pada perempuan.
Sementara pada usia lanjut, angka kejadian fraktur cenderung lebih banyak
terjadi pada wanita dengan usia diatas 75 tahun (Hariyanto and Sulistyowati
2015).
Pada kondisi fraktur, gejala yang sering dijumpai yaitu nyeri. Sebanyak
85% pasien mengeluhkan nyeri pada bagian fraktur. Nyeri terbagi menjadi dua
yaitu nyeri akut dan nyeri kronis. Nyeri akut yaitu nyeri yang timbul secara tiba-
tiba dan dalam waktu yang singkat serta dapat hilang dengan sendirinya.
Sedangakan nyeri kronis yaitu nyeri yang berulang, lambat, dan berakhirnya
tidak dapat diprediksi. Kasus fraktur juga memiliki risiko yang tinggi apabila
tidak dilakukan tata laksana adekuat. Melihat permasalahan diatas, diperlukan
adanya laporan pendahuluan yang digunakan sebagai dasar dalam memberikan
asuhan keperawatan yang profesional.

1
1.2. Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada laporan pendahuluan sebagai berikut:

a. Bagaimana konsep penyakit dari Burst Fraktur?

b. Bagaimana konsep asuhan keperawatan dari Burst Fraktur?

1.3. Tujuan

a. Tujuan Umum

Tujuan umum pada laporan pendahuluan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui konsep penyakit Burst Fraktur.

2. Untuk mengetahui konsep asuhan keperawatan Burst Fraktur.


b. Tujuan Khusus

Tujuan khusus pada laporan pendahuluan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui anatomi fisiologi, definisi, etiologi, patofisiologi,


pathway, manifestasi klinis, klasifikasi, komplikasi, penatalaksanaan
medis, pemeriksaan penunjang, diagnosa yang muncul pada pasien
dengan Burst Fraktur.
2. Untuk mengetahui pengkajian, diagnosa keperawatan, dan intervensi
keperawatan pada pasien dengan Burst Fraktur.

2
BAB 1. KONSEP PENYAKIT

1.1 Anatomi Fisiologi


Kolumna vertebralis atau rangkaian tulang belakang adalah rangkaian
struktur lentur tulang yang disebut vertebra atau ruas tulang belakang. Setiap dua
ruas tulang pada tulang belakang terdapat discus intervertebralis yang terdiri dari
tulang rawan fibrose. Discus ini membentuk sendi yang elastis dan kuat sehingga
memungkinkan kolumna vertebralis untuk bergeser ke berbagai arah. Kolumna
vertebralis terdiri dari rangkaian tulang vertebrae (26 buah pada orang dewasa dan
33 buah pada bayi) (Marwan, 2008). Menurut Mancapara (2018) vertebra
diklasifikasikan dan dinamai berdasarkan daerah yang ditempati yaitu sebagai
berikut :
a. 7 vertebrae cervikalis atau ruas tulang leher membentuk daerah tengkuk (C1-
C7)
b. 12 vertebrae thoracalis atau ruas tulang punggung membentuk bagian
belakang toraks atau dada (Th 1-Th 12)
c. 5 vertebrae lumbalis atau ruas tulang pinggang membentuk daerah lumbal
atau pinggang (L1-L5)
d. 5 vertebrae sacralis atau ruas tulang kelangkang membentuk sacrum atau
tulang kelangkang
e. 4 vertebrae koksigeus atau ruas tulang ekor membentuk tulang koksigeus atau
tulang kaudalis)
Dalam kolumna vertebralis terdapat medulla spinalis bagian dari susunan
sistem saraf pusat. Dilihat dari samping kolumna vertebralis membentuk 4
lekukan, yaitu lekukan cervix, lekukan thorax, lekukan lumbar dan lekukan sacral.
Adapun fungsi dari kolumna vertebrae adalah sebagai berikut :
a. Menegakkan tubuh dari pengaruh berat kepala dan rongga thorax serta
anggota atas
b. Melindungi sumsum tulang belakang dalam canalis vertebralis
c. Tempat bertambatnya sejumlah otot-otot penegak badan.

3
Gambar 1.1.1 Kolumna Vertebralis

Kolumna vertebralis dapat menunjukkan bahwa :


a. Region cervicalis, melengkung ke depan
b. Region thoracalis, melengkung ke belakang
c. Region lumbalis, melengkung ke depan
d. Region sacralis dan coccygeal, melengkung ke belakang di atas dan ke
depan di bawah.

1.2 Definisi

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai


jenis dan luasnya. Ketika tulang patah, struktur yang berdekatan juga
terpengaruh, menghasilkan edema jaringan lunak, pendarahan ke otot dan
persendian, dislokasi sendi, tendon pecah, saraf putus, dan pembuluh
darah rusak (Smeltzer et al. 2010).
Menurut Samsuhidayat, (2005) fraktur (Burst fractures) adalah Fraktur
yang terjadi ketika ada penekanan copus vertebralis secra langsung, dan
tulang menjadi hancur. Fragmen tulang berpotensi masuk ke kanalis
4
spinalis, burst fraktur ialah jenis fraktur kompresi yang berhubungan
dengan trauma tulang belakang pemuatan aksial berenergi tinggi yang
mengakibatkan gangguan pelat ujung tubuh vertebral dan korteks tubuh
vertebral posterior. Fraktur ini paling sering terjadi pada L1 dengan
mayoritas (~90%) terjadi dari T9-L5

Gambar 1.2.1 Burst Fraktur

1.3 Epidemiologi
Insiden fraktur tulang belakang di dunia mencapai 0,019-0,088% per tahun.
Fraktur tulang belakang terjadi pada 1,5 juta orang setiap tahun, dengan rincian
10,57% terjadi pada laki-laki dan 5,7% terjadi pada perempuan per 1000 orang.
Laki-laki memiliki risiko lebih besar terhadap fraktur tulang belakang yaitu 1,9
kali. Burst Frakturmemiliki insidensi tertinggi dibanding dengan fraktur vertebra
lokasi yang lain (cervikalis, thoracalis, sacralis) yaitu 47,81% (Susilo &
Priambodo, 2020). Menurut (Widhiyanto dkk, 2019) Burst Frakturmerupakan
kasus fraktur vertebra yang paling banyak dijumpai yaitu sebesar 34,6%
dibandingkan dengan fraktur vertebra yang lain (cervikalis, thoracalis, sacralis).
Pada studi epidemiologinya di Rumah Sakit Dr. Soetomo pada tahun 2013-2017
disebutkan bahwa pasien yang paling banyak mengalami Burst Frakturadalah
berjenis kelamin laki-laki, yaitu sebesar 114 pasien dari total 153 pasien (75%).
Sedangkan berdasarkan kelompok usia, pasien yang banyak mengalami Burst
Frakturadalah berada pada rentang usia 50-60 tahun, yaitu sebesar 21,6% (33
pasien). Berdasarkan penyebabnya, Burst Frakturpaling banyak disebabkan oleh
kecelakaan lalu lintas, yaitu sebanyak 71 pasien (46%). Sedangkan jatuh dari
ketinggian (36%) dan tertimpa beban (18%). Berdasarkan subtipe fraktur, jenis
fraktur yang sering terjadi yaitu akibat kompresi atau burst (tipe A) yaitu sebesar

5
140 pasien. Persentase jumlah pasien lumbal sebanyak 34,6% dari seluruh pasien
fraktur vertebra.

1.4 Etiologi
Burst Fraktur disebabkan oleh adanya trauma akibat luka tajam, tertimpa
beban, kecelakaan lalu lintas, dan jatuh dari ketinggian (Widhiyanto dkk, 2019).
Selain itu Burst Fraktur juga dapat disebabkan oleh adanya patologis seperti
osteoporosis, infeksi, tumor tulang atau penyakit lain. Burst Fraktur juga dapat
disebabkan oleh adanya stress secara kontinu atau berulang, biasanya terjadi pada
atlet dan individu pemula dalam melakukan aktivitas fisik. Pada kondisi tersebut
tahanan kekuatan otot meningkat lebih cepat daripada kekuatan individu seperti
biasanya, sehingga terdapat ketidakmampuan tulang untuk menopang
beban.Sedangkan menurut (Susilo & Priambodo, 2020) faktor risiko yang dapat
meningkatkan kejadian Burst Fraktur adalah sebagai berikut :
a. Jenis kelamin
Individu dengan jenis kelamin laki-laki memiliki risiko lebih besar terhadap
Burst Fraktur yaitu 61,1%, sedangkan perempuan 38,9%. Hal ini
dikarenakan laki-laki memiliki kemungkinan lebih besar mengalami trauma
tulang belakang terkait dengan pekerjaan. Insiden terbesar diakibatkan oleh
kecelakaan lalu lintas dan jatuh dari ketinggian. Laki-laki juga memiliki
risiko sebesar tiga kali lebih besar daripada perempuan
b. Usia
Individu dengan usia >50 tahun memiliki risiko lebih besar terhadap Burst
Frakturyaitu 41,6%, hal ini dikarenakan proses penuaan yang
mengakibatkan terjadi pengeroposan tulang (osteoporosis). Pada kelompok
usia ini, perempuan berisiko tinggi karena adanya postmeno osteoporosis.

1.5 Patofisiologi
Burst Fraktur disebabkan oleh trauma langsung dan trauma tidak langsung.
Burst Fraktur biasanya diakibatkan oleh luka tajam, tertimpa beban, kecelakaan
lalu lintas, dan jatuh dari ketinggian. Burst Fraktur juga dapat terjadi karena
adanya patologis seperti osteoporosis, infeksi dan tumor pada vertebra.
Mekanisme fraktur dapat terjadi karena mekanisme sebagai berikut :

6
a. Fleksi
vertebrae mengalami tekanan sehingga menjadi burst (remuk) dan memicu
kerusakan ligamen posterior. Ligamen yang rusak menyebabkan fraktur
tidak stabil dan subluksasi
b. Fleksi dan rotasi
Pada mekanisme ini terjadi dislokasi vertebra diatasnya atau pergerakan
vertebra ke segala arah.
c. Kompresi vertikal
Pada mekanisme ini terjadi trauma secara langsung terhadap lumbal.
Sehingga menyebbakan nukleus pulposus memecahkan badan vertebra
secara vertikal. Pada fraktur ini elemen posterior masih utuh.
d. Fleksi lateral
Pada trauma ini terjadi kompresi atau distraksi sehingga menyebabkan fleksi
lateral pada pedikel, foramen vertebra dan sendi faset.

Fraktur remuk (burst fractures) fraktur yang terjadi ketika ada penekanan
corpus vertebralis secara langsung, dan tulang menjadi hancur frakmen
tulang berpotensi masuk ke kanalis spinalis. Terminologi fraktur ini adalah
menyebarnya tepi korpus vertebralis ke arah luar yang disebabkan adanya
kecelakaan yang lebih berat dibanding fraktur kompresi. Tepi tulang yang
menyebar atau melebar itu akan memudahkan medulla spinalis untuk cidera
dan ada fragmen tulang yang mengarah ke medulla spinalis dan dapat
menekan medulla spinalis dan menyebabkan paralisi atau gangguan syarat
parasial. Tipe burst fractures sering terjadi pada thoraco lumbar juction dan
terjadi paralysis pada kaki dan gangguan defekasi ataupun miksi (Apley,
2009).

1.6 Manifestasi Klinik


Menurut Brunner & Suddart (2017) tanda dan gejala dari Burst Fraktur
adalah nyeri akut akibat spasme otot, kehilangan fungsi, deformitas, krepitasi,
edema lokal dan ekimosis (ekstravasasi darah di dalaam jaringan subkutan).
Sedangkan secara spesifik manifestasi Burst Fraktur adalah sebagai berikut :
a. Gangguan Motorik
Gangguan motorik yang terjadi yaitu terjadi spinal shock yang ditandai

7
hilangnya refleks dan flacid paralisis. Trauma pada lumbal menyebabkan
otot ekstremitas bawah mengalami flacid paralisis.
b. Gangguan Sensorik
Gangguan sensorik yang terjadi yaitu paraplegic pain atau nyeri sistem
saraf pusat. Selain itu kulit di sekitar trauma mengalami anastesi akibat
terputusnya serabut saraf sensorik
c. Gangguan Bladder dan Bowel
Terjadi gangguan defekasi yang tidak terkontrol akibat inkontinensia.
Kondisi ini terjadi akibat kerusakan saraf parasimpatetik yang menyebabkan
kontraksi otot polos sigmoid dan rectum menurun.
d. Gangguan Fungsi Seksual
Trauma pada lumbal 4 memicu gangguan fungsi seksual. Hla ini
dikarenakan seluruh bagian fungsi seksual mengalami spinal shock.

1.7 Klasifikasi
Menurut Widhiyanto dkk (2019) Fraktur vertebra berdasarkan subtipenya
diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Tipe A (Kompresi atau Burst)
Burst Frakturtipe A (kompresi dan burst) adalah jenis fraktur yang paling
banyak terjadi pada regio lumbal yaitu sebesar 91,5%. Burst Frakturtipe A
akibat kompresi terjadi karena adanya kompresi bagian depan corpus
vertebralis sehingga terbentuk patahan irisan. Fraktur ini dapat terjadi
karena kecelakaan, jatuh dari ketinggian dengan posisi terduduk,
osteoporosis, metastase kanker dari bagian lain ke vertebra sehingga
menyebabkan kelemahan vertebra dan memicu terjadinya fraktur kompresi.
Vertebra lumbalis menjadi lebih pendek akibat terjadi kompresi. Sedangkan
Burst Fraktur yang disebabkan oleh adanya burst (remuk) terjadi karena
adanya penekanan corpus vertebralis secara langsung, sehingga vertebra
lumbalis hancur. Burst Fraktur akibat burst biasanya disebabkan trauma
yang lebih berat dibandingkan kompresi. Burst Fraktur burst paling sering
terjadi pada bagian atas yaitu antara thoracalis dan lumbalis.

b. Tipe B (Distraksi)
Burst Frakturtipe B hanya memiliki presentase sebesar 3,3%. Pada fraktur

8
ini terjadi distraksi pada columna media dan posterior serta kompresi
columna anterior. Insiden fraktur jenis ini sering terjadi pada penggunaan
seat belt. Pada saat terjadi kecelakaan mobil dengan kekuatan tinggi
menyebabkan refleks mengerem mendadak, sehingga terjadi mekanisme
fleksi distraksi. Mekanisme fleksi distraksi memicu vertebra lumbal
membentuk pisau lipat dengan tupuan kolumna anterior vertebralis. Ketika
mengerem mendadak, tubuh terdorong ke depan melawan tahanan seat belt
sehingga vertebra lumbal dapat mengalami trauma.
c. Tipe C (Dislokasi dan Rotasi)
Burst Frakturtipe C memiliki insidensi 5,2%. Fraktur tipe ini terjadi karena
adanya perpindahan segmen akibat kompresi atau rotasi. Pada fraktur tipe ini
terjadi kombinasi kompresi, tekanan, rotasi dan pengelupasan. Pengelupasan
terjadi dari posterior ke anterior sehingga terjadi kerusakan pada
ligamentum posterior, lamina, sendi facet dan korpus vertebra anterior.
Pengelupasan juga dapat terjadi dari anterior ke posterior. Apabila terjadi
rotasi maka menyebabkan fraktur processus transversus dan bagian bawah
costa. Fraktur dislokasi dan rotasi dapat memicu keluarnya serabut saraf.

2.1.6 Komplikasi

1. Syok hipovolemik akibat perdarahan dan kehilangan cairan ekstrasel ke


jaringan yang rusak sehingga terjadi kehilangan darah dalam jumlah besar
akibat trauma.
2. Mal union, gerakan ujung patahan akibat imobilisasi yang jelek menyebabkan
mal union, sebab-sebab lainnya adalah infeksi dari jaringan lunak yang
terjepit diantara fragmen tulang, akhirnya ujung patahan dapat saling
beradaptasi dan membentuk sendi palsu dengan sedikit gerakan (non union).
3. Non union adalah jika tulang tidak menyambung dalam waktu 20 minggu.
Hal ini diakibatkan oleh reduksi yang kurang memadai.
4. Delayed union adalah penyembuhan fraktur yang terus berlangsung dalam
waktu lama dari proses penyembuhan fraktur.
5. Tromboemboli, infeksi, kaogulopati intravaskuler diseminata (KID). Infeksi
terjadi karena adanya kontaminasi kuman pada fraktur terbuka atau pada saat
pembedahan dan mungkin pula disebabkan oleh pemasangan alat seperti
9
plate, paku pada fraktur.
6. Emboli lemak. Saat fraktur, globula lemak masuk ke dalam darah karena
tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler. Globula lemak akan
bergabung dengan trombosit dan membentuk emboli yang kemudian
menyumbat pembuluh darah kecil, yang memasok ke otak, paru, ginjal, dan
organ lain.
7. Sindrom Kompartemen, masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot
kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Berakibat kehilangan
fungsi ekstermitas permanen jika tidak ditangani segera (Mansjoer, Arif, et al.
2000).

1.8 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang yaang dapat digunakan pada Burst Fraktur adalah
sebagai berikut :
1. Pemeriksaan X-Ray (Rontgen)
Pemeriksaan ini digunakan untuk menentukan luas dan lokasi fraktur
2. Pemeriksaan MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Pemeriksaan ini digunakan untuk mengetahui adanya kerusakan jaringan
lunak di ligamen dan diskus intervertebralis serta menilai cedera medulla
spinalis
3. Pemeriksaan Roentgenography
Pemeriksaan ini digunakan untuk mengetahui kondisi fraktur dan dislokasi
tulang vertebra
4. Pemeriksaan CT-Scan
Pemeriksaan ini digunakan untuk mengetahui adanya kelainan densitas
tulang dan kondisi fraktur. Selain itu juga dapat digunakan untuk
menggambarkan komposisi spesifik vertebra dan penyempitan kanalis
spinal.
5. Pemeriksaaan Scintigraphy
Pemeriksaan ini digunakan untuk mengetahui kondisi jaringan atau organ
serta memprediksi hasil pembedahan
6. Pemeriksaan SPECT (Single Photon Emission Computed Tomography)
Pemeriksaan ini digunakan untuk menggambarakan densitas tulang

10
sehingga dapat diketahui adanya osteoporosis dan fraktur
7. Pemeriksaan Elektomiografi dan Hantaran Saraf
Pemeriksaan ini digunaakan untuk mengetahui denerasi ekstremitas bawah.
Sedangkan pemeriksaan otot paraspinal digunakan untuk membedakan lesi
medulla spinalis atau cauda equina dengan lesi sacral atau pleksus lumbal
8. Foto Polos
Foto polos digunakan untuk menggambarkan AP lateral dan oblique view.
Pada pemeriksaan ini dilihatkesegarisan AP dan lateral dengan cara
mengidentifikasi jarak interspinosus, artikulasi sendi facet, tepi korpus
vertebrae dan garis spinolamina. Sedangkan posisi oblique
untukmenggambarkan sublukasi facet dan fraktur interartikularis

9. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium digunakan untuk mengetahui komplikasi yang
mungkin terjadi akibat fraktur lumbal

1.9 Penatalaksanaan Farmakologi dan Non Farmakologi


1.9.1 Penatalaksanaan Farmakologi
Penatalaksanaan farmakologi pada Burst Fraktur dapat dilakukan
sebagai berikut :
a. Penggunaan analgesik opioid seperti morfin, metadon, meperidin
(petidin), fentanyl, buprenorfin, dezosin, butorfanol, nalbufin, nalorfin
dan pentasozin. Opioid dapat memberikan efek penekanan nyeri endogen
pada sistem saraf pusat. Opioid digunakan untuk mengatasi nyeri sedang
hingga berat.
b. Penggunaan analgesik non opioid seperti aspirin, asaminofen,
ibuprofen, ketorolac, dan parasetamol. Analgesik non opioid digunakan
pada nyeri ringan hingga sedang.
c. Metil prednisolon untuk manajemen inflamasi/ peradangan
d. Mecobalamin untuk membentuk sel darah merah, mengatasi neuropati
perifer dan memperbaiki metabolisme tubuh
e. Braches dan orthotics digunakan untuk stabilisasi pada bagian fraktur
f. Teknik fusi dan penyatuan alat yang dilakukan melalui proses
pembedahan

11
g. Manajemen pasien dengan tanda dan gejala paralisis melalui pemberian
laxantia setaip 2 hari untuk manajemen saluran pencernaan, fisioterapi
untuk mencegah kontraktur, pemberian cairan, katerisasi dan evakuasi
kandung kemih dalam 2 minggu sebagai manajemen kandung kemih,
pemberian nutrisi dengan diet tinggi melalui intravena, serta melakukan
pencegahan dekubitus

Prinsip penatalaksanaan fraktur dapat dilakukan dengan menerapkan


prinsip 4R yaitu :
a. Rekognisi, yaitu terkait diagnosis fraktur pada tempat kejadian dan di
rumah sakit
b. Reduksi, yaitu tindakan memanipulasi fragmen tulang yang patah sedapat
mungkin untuk mengembalikan ke letak asal
c. Retensi, yaitu aturan pemasangan gips yaitu dalam mempertahankan
reduksi harus melewati sendi diatas dan sendi dibawah fraktur
d. Rehabilitasi, yaitu pengobatan dan penyembuhan fraktur

1.9.2 Penatalaksanaan Non Farmakologi


Penatalaksanaan non farmakologi pada Burst Fraktur dapat
dilakukan dengan memposisikan pasien tidur terlentang dengan alas yang
keras dan menghindari aktivitas fisik berat. Selain itu juga dilakukan teknik
manajemen nyeri melalui stimulasi kutaneus, pijat, kompres panas dan
dingin, Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS), akupuntur,
akupresur, teknik nafas dalam, terapi musik, guide imagery (imajinasi
terbimbing), dan distraksi.
Selain itu terapi non farmakolgis yang dapat dilakukan yaitu
memberikan dukungan positif atau motivasi serta pemberian pendidikan
kesehatan terkait burst fraktur, pilihan pengobatan, dan kemungkinan
komplikasi kepada pasien dan keluarga (Brunner & Suddart, 2017).

12
1.10 Pathway

Trauma langsung (tertimpa Trauma tidak langsung Kondisi patologis


beban, kecelakaan lalu (jatuh) (osteoporosis, kanker,
lintas, luka tajam) infeksi)

Burst Fraktur

Burst Fraktur

Diskontinuitas lumbal Pergeseran Mengeblok Informasi tidak


fragmen saraf simpatis adekuat
Laserasi kulit Spasme otot lumbal
Reaksi Kerusakan jaringan
inflamasi pembuluh darah Kelumpuhan Defisit Pengetahuan
Gangguan Peningkatan otot nafas (D0011)
Integritas Kulit/ tekanan Deformitas
Syok spinal Vasodilatasi Jaringan (D. kapiler
0129) Kerusakan Iskemia dan Gangguan Ansietas
saraf hipoksia pola napas (D.0142)
Nyeri Akut Aliran darah ke area
Pelepasan
(D.0077) cedera/ lokal Risiko Infeksi histamin
meningkat (D.0142) Paralisis dan Gangguan Hipoventilasi
Protein paraplegia Mobilitas
Risiko Syok Kehilangan volume plasma Fisik
(D.0039) cairan (D.0054) Pola Napas
hilang
Tidak Efektif
(D.0005)

13
Edema Gangguan Ketidakmampuan
fungsi tubuh melakukan
perawatan
Penekanan
pembuluh darah Gangguan
fungsi rektum Defisit
dan kandung Perawatan Diri
Penurunan
kemih (D.0109)
perfusi jaringan

Gangguan Penyempitan
Perfusi Perifer Eliminasi Urin kanalis vertebra
Tidak Efektif (D.0040)
(D.0009)
Medulla
spinalis terjepit

Risiko Defisit Gangguan


Nutrisi (D.0032)) pencernaan

Inkontinensia
Fekal (D.0041))

14
BAB 2. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

2.1 Pengkajian Keperawatan


1. Identitas Pasien
Identitas pasien meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama,
pendidikan, pekerjaan, status marital, tanggal masuk, tanggal
pengkajian, ruang rawat, nomor rekam medis, diagnosa medis dan
alamat. Identitas penanggung jawab terdiri dari nama, umur, jenis
kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat dan hubungan dengan
pasien
2. Keluhan Utama
Klien dengan Burst Frakturbiasanya datang dengan keluhan nyeri pad
bagian pinggang bawah, kelemahan dan kelumpuhan otot ekstremitas,
inkontinensia urine dan alvi, hiperertesia tepat diatas daerah trauma,
dan deformitas pada daerah trauma, dan nyeri tekan otot
3. Riwayat Kesehatan
a) Riwayat Penyakit Sekarang
Informasi sejak timbulnya keluhan sampai dirawat dirumah sakit.
Berkaitan dengan keluhan utama yang dijabarkan dengan PQRST
yang meliputi hal-hal yang meringankan dan memberatkan. Kualitas
dan kuantitas dari keluhan, penyebaran serta tingkat kegawatan atau
skala dan waktu. Mengidentifikasi kondisi fraktur, laserasi kulit,
edema, perdarahan, dan risiko terjadinya infeksi
b) Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian terkait riwayat penyakit degeneratif pada tulang belakang
yang memungkinkan terjadinya Burst Frakturseperti osteoporosis.
Selain itu juga mengkaji terkait penyakit lain seperti riwayat cedera
tulang belakang, hipertensi, diabetes ellitus serta penggunaan obat
seperti antikoagulan, aspirin, vasodilator, dan obat-obat adiktif.
c) Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit keluarga terkait cedera tulang belakang dan
penyakit seperti osteoporosis dan osteoarthritis

15
4. Pola aktivitas sehari-hari
a. Pola manajemen kesehatan
Identifikasi terkait obat-obatan yang dikonsumsi pasien dan perilaku
terhadap kontrol kesehatan utamanya dalam menjaga kesehatan
tulang
b. Pola nutrisi dan metabolik
Pengkajian terkait adanya mual, muntah, anoreksia, intake cairan
inadekuat, penurunan berat badan, asupan makanan yang biasa
dikonsumsi
c. Pola eliminasi
Pengkajian terkait inkontinensia urine dan inkontinensia fekal akibat
penyempitan kanalis vertebra yang disebabkan oleh fraktur lumbal
d. Pola aktivitas dan latihan
Pengkajian terkait aktivitas sehari-hari, kebiasaan membawa barang
berat dan latihan fisik berat (misal pada atlet) yang dapat
meningkatkan risiko terjadinya peningkatan strain otot
e. Pola istirahat tidur
Pengkajian terkait gangguan tidur (insomnia/gelisah atau somnolen)
akibat nyeri trauma lumbal
f. Pola persepsi kognitif
Pengkajian terkait perubahan tingkah laku, kedutan otot, perubahan
tingkat kesadaran, nyeri pinggang bawah, nyeri ekstremitas bawah,
perilaku berhati-hati/distraksi, gelisah, kelemahan khususnya
ekstremitas bawah seperti flacid paralisis dan paraplegia
g. Pola persepsi dan konsep diri
Pengkajian terkait perasaan tidak berdaya, tidak ada harapan, tidak
ada kekuatan, menolak, ansietas, takut, marah, mudah terangsang,
perubahan kepribadian, kesulitan menentukan kondisi
h. Pola hubungan peran
Pengkajian terkait peran individu dalam keluarga dan lingkungan
i. Pola reproduksi dan seksualitas
Penurunan libido, amenorea, infertilitas, impotensi dan atropi

16
testikuler
j. Pola manajemen stress
Pengkajian terkait mekanisme koping individu dalam beradaptasi
dengan kondisi kesehatannya
k. Pola keyakinan atau kepercayaan
Keyakinan individu terhadap tingkat kesembuhan serta hubungannya
dengan Tuhan
5. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum : Pada pasien dengan Burst Frakturbiasanya terjadi
penurunan kesadaran, mengeluh nyeri pada pinggang bawah
b. Tingkat kesadaran letargi sampai koma.
c. Pengukuran antropometri : berat badan dan lingkar lengan atas
umumnya normal
d. Tanda vital : tanda-tanda vital mengalami perubahan seperti
bradikardia, hipotensi, dan tanda-tanda syok neurogenic
e. Pemeriksaan Fisik
1) Sistem Kardiovaskuler
Pada sistem kardiovaskuler pada pasien Burst Frakturmengalami
syok hipovolemik dengan intensitas sedang hingga berat. Hasil
pemeriksaan pada sistem kardiovaskuler pada pasien dengan
Burst Frakturdiperoleh hasil bahwa hipotensi (perubahan perfusi
jaringan dan tanda awal syok hipovolemik), bradikardia
(perubahan perfusi jaringan serebral), berdebar- debar, pusing
saat melakukan perubahan posisi, ekstremitas dingin atau pucat
(kadar hemoglobin turun)
2) Sistem Pernapasan
Pada sistem pernapasan terjadi perubahan yang berkorelasi
dengan gradasi blok saraf parasimpatis (pasien mengalami
kelumpuhan otot-otot pernafasan) dan perubahan karena adanya
kerusakan jalur simpatik desenden akibat Burst Fraktursehingga
kontinuitas jaringan saraf di medulla spinalis terputus.

17
3) Sistem Neuromuskuler
Pemeriksaan sistem neuromuskular menjadi hal penting dalam
menilai kewaspadaan komplikasi fraktur lumbal. Pada keadaan
lanjut, kesadaran pasien Burst Frakturmenurun, biasanya letargi,
stupor, semikoma sampai koma.
4) Sistem Perkemihan
Trauma pada ekuina menyebabkan hilangnya refleks kandung
kemih yang bersifat sementara dan memicu inkontinensia urine.
Pada sistem perkemihan perlu dikaji terkait warna, jumlah, dan
karakteristik urin, termasuk berat jenis urin. Penurunan jumlah
urin dan peningkatan retensi cairan dapat terjadi akibat
menurunya perfusi pada ginjal
5) Sistem Integumen
Pada sistem integumen perlu dikaji terkait perubahan warna
kulit, abrasi, memar pada punggung. Pada pasien yang telah lama
dirawat di rumah sering ditemukan adanya dekubitus pada pantat
pada bokong.
6) Sistem Musculoskeletal
Pada sistem muskuloskeletal dikaji terkait paralisis dan
paraplegia
7) Sistem Pencernaan
Burst Frakturmemicu terjadinya spinal syok, neuropraksia, ileus
paralitik, sehingga menurunkan fungsi pencernaan. Bowel sound
turun, kembung, dan terjadi gangguan defekasi (inkontinensia
alvi). Kondisi ini menjadi gejala awal syok spinal yang
berlangsung dalam rentang hari hingga minggu. Adanya
gangguan pada sistem pencernaan menyebabkan terjadinya
defisit nutrisi
8) Fungsi Serebral
Pemeriksaan dilakukan dengan mengobservasi penampilan,
tingkah laku, gaya bicara, ekspresi wajah, dan aktivitas motorik

18
pasien. Pasien yang telah lama mengalami Burst Frakturbiasanya
mengalami perubahan status mental
9) Pemeriksaan Tulang Belakang
Pada penderita dengan keluhan nyeri pinggang dan berisiko
tinggi mengalami iritasi pada radik saraf, maka perlu dilakukan
pemeriksaan fisik khusus pinggang, yaitu tes straight leg
raising test, pemeriksaan refleks, kekuatan otot, dan
pemeriksaan sensasi. Pemeriksaan straight leg raising test,
dilakukan saat pasien berbaring. Pemeriksaan dilakukan dengan
fleksi kaki pada daerah sendi panggul dengan sendi lutut ekstensi
dan ukur sudut fleksi pada saat pasien mengeluh nyeri yang
menjalar ke inferior dari bawah sendi lutut, posisi fleksi 30-70°.
Nyeri yang menjalar dari bawah lutut merupakan tanda khas
adanya iritasi dari radik saraf lumbal 1. pada tulang belakang.
Pada penderita straight leg raising positive, dapat dilakukan
pemeriksaan cross straight leg raising test, dengan melakukan
ekstensi fleksi kaki pada sendi panggul yang kontralateral dari
kaki simtomatik. Tes positive menunjukkan adanya iritasi radik
saraf. Pemeriksaan kekuatan otot kaki pada pasien dengan Burst
Frakturdilakukan dengan pemeriksaan inversi kaki dan fleksi
dorsal dari pergelangan kaki yang menunjukkan iritasi saraf
lumbal 1. Sedangkan gangguan fleksi dorsal dari ibu jari kaki
menunjukkan adanya kelainan pada saraf lumbal 5, gangguan
sensoris pada bagian medial dan pergelangan kaki menunjukkan
kelainan pada saraf lubal 4, kelainan sensasi pada dorsum kaki
menunjukkan kelainan pada saraf lumbal 5. Kelainan saraf
pada L3-L4 menyebabkan sensori lateral tungkai berkurang,
kelemahan otot ekstensor lutut dan penurunan tes refleks patella.

19
Pemeriksaan refleks untuk menilai saraf lumbal 4 dilakukan
dengan cara :
a) Pemeriksaan refleks dalam
Reflex achilles menghilang dan refleks patella melemah
karena kelemahan pada otot hamstring
b) Pemeriksaan refleks patologis
Pada fase akut refleks fisiologis menghilang. Setelah
beberapa hari refleks fisiologis akan muncul kembali
didahului dengan refleks patologis
c) Pemeriksaan refleks bulbocavernosus
Refleks bulbocavernosus positif menunjukkan adanya syok
spinal
d) Pemeriksaan sensorik
Apabila pasien mengalami trauma pada cauda equina,
sensibilitas pantat, perineum, dan anus menghilang.
Pemeriksaan sensorik superfisial dapat memberikan petunjuk
mengenai lokasi cedera akibat trauma di regio vertebra.
f. Pemeriksaan Penunjang
a) Foto Rontgen/ X-ray Spinal
Pada pemeriksaan ini menunjukkan adanya perubahan
degeneratif pada tulang belakang, atau tulang intervetebralis
b) Pemeriksaan CT-Scan
Pada pemeriksaan ini menunjukkan kanal spinal mengecil dan
ditemukan protrusi discus intervetebralis
c) Pemeriksaan MRI
Pada pemeriksaan ini menunjukkan adanya perubahan tulang dan
jaringan lunak
d) Elektromiografi
Pada pemeriksaan ini menunjukkan lesi pada tingkat akar syaraf
spinal utama yang terkena.

20
2.2 Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang sering muncul dalam kasus Burst Frakturadalah
sebagai berikut :
1. Pola nafas tidak efektif (D.0005) b.d hambtan upaya napas (mis. nyeri saat
bernapas, kelemahan otot pernapasan) d.d dispnea, penggunaan otot bantu
pernapasan, pola napas abnormal (mis.takipnea, bradipnea, hiperventilasi),
ortopnea
2. Nyeri akut (D.0077) b.d agen pencedera fisik (trauma) d.d mengeluh nyeri,
tampak meringis, bersikap protektif (mis. waspada, posisi menghindari nyeri),
gelisah, frekuensi nadi meningkat, sulit tidur
3. Perfusi perifer tidak efektif (D.0009) b.d penurunan aliran arteri dan/atau
vena d.d pengisian kapiler >3 detik, nadi perifer menurun atau tidak teraba,
akral teraba dingin, warna kulit pucat, turgor kulit turun, parastesia, nyeri
ekstremitas, edema
4. Gangguan eliminasi urin (D.0040) b.d kelemahan otot pelvis d.d desakan
berkemih (urgensi), urin menetes (dribbling), enuresis, distensi kandung
kemih
5. Inkontinensia fekal (D.0041) b.d kehilangan fungsi pengendalian sfingter
rektum d.d tidak mampu mengontrol pengeluaran feses, tidak mampu
menunda defekasi
6. Gangguan mobilitas fisik (D.0054) b.d kerusakan integritas struktur tulang
d.d mengeluh sulit menggerakkan ekstremitas, kekuatan otot menurun, nyeri
saat bergerak, merasa cemas saat bergerak
7. Gangguan integritas kulit/ jaringan (D.0129) b.d faktor mekanis (penekanan,
gesekan) d.d kerusakan jaringan, nyeri, kemerahan
8. Defisit perawatan diri (D.0109) b.d gangguan muskuloskeletal d.d tidak
mampu mandi/ mengenakan pakaian/ makan/ ke toilet/ berhiias secara
mandiri
9. Ansietas (D.0080) b.d krisis situasional, kurang terpapar informasi d.d merasa
khawatir dengan akibat dari kondisi yang dihadapi, tampak gelisah, tampak
tegang, sulit tidur
10. Risiko syok (D.0039) b.d kekurangan volume cairan, hipotensi

21
11. Risiko defisit nutrisi (D.0032) b.d ketidakmampuan mengabsorpsi nutrien
12. Risiko infeksi (D.0142) b.d kerusakan integritas kulit, efek prosedur invasif

22
2.3 Intervensi Keperawatan
No. Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Nama
&
Keperawatan Paraf
1. Nyeri akut (D.0077) b.d Tujuan : Manajemen Nyeri (I.08238)
agen pencedera fisik Setelah dilakukan tindakan asuhan Observasi
M
(trauma) d.d mengeluh keperawatan selama 3x24 jam 1. Identifikai lokasi, karkteristik, durasi, frekuensi,
nyeri, tampak meringis, diharapkan nyeri akut dapat diatasi kualitas, intensitas nyeri
bersikap protektif (mis. dengan kriteria hasil : 2. Identifikasi skala nyeri
waspada, posisi Tingkat Nyeri (L.08066) 3. Identifikasi respon nyeri non verbal
menghindari nyeri), Indikator Skor Skor 4. Identifikasi faktor yang memperlambat dan
gelisah, frekuensi nadi awal yang memperingan nyeri
ingin
meningkat, sulit tidur 5. Identifikasi pengetahuan dan keyai\kinan
dicapai
Keluhan 2 4 tentang nyeri
nyeri 6. Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon
Meringis 2 4 nyeri
Sikap 2 4 7. Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
protektif 8. Monitor keberhasilan terapi komplementer yang

Gelisah 2 4 sudah diberikan


9. Monitor efek samping penggunaan analgetik

23
Kesulitan 2 4 Terapeutik
tidur 1. Berikan teknik non farmakologis untuk
Keterangan : mengurangi rasa nyeri (mis. TENS, hipnosis,
1 = meningkat akupresur, terapi musik, biofeedback, terapi
2 = cukup meningkat pijat, aromaterapi, teknik imajinasi terbimbing,
3 = sedang kompres hangat/ dingin, terapi bermain)
4 = cukup menurun 2. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa
5 = menurun nyeri (mis. suhu ruangan, pencahayaan,
Indikator Skor Skor kebisingan)
awal yang 3. Fasilitasi istirahat dan tidur
ingin
4. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dala
dicapai
Frekuensi 3 5 pemilihan strategi meredakan nyeri
nadi Edukasi

Pola 3 5 1. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri

napas 2. Jelaskan strategi meredakan nyeri

Keterangan : 3. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri

1 = memburuk 4. Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat

2 = cukup memburuk 5. Ajarkan teknik nonfarmakolgis untuk

3 = sedang mengurangi rasa nyeri

24
4 = cukup membaik Kolaborasi
5 = membaik 1. Kolaborasi pemberian analgetik

Pemberian Analgesik (I.08243)


Observasi
1. Identifikasi karakteristik nyeri (mis. pencetus,
pereda, kualitas, intensitas, frekuensi, durasi)
2. Identifikasi riwayat alergi obat
3. Identifikasi kesesuaian jenis analgesik (mis.
narkotika, non-narkotik, atau NSAID) dengan
tingkat keparahan nyeri
4. Monitor tanda-tanda vital sebelum dan sesudah
pemberian analgesik
5. Monitor efektivitas analgesik
Terapeutik
1. Diskusikan jenis analgesik yang disukai untuk
mencapai analgesia optimal
2. Pertimbangkan penggunaan infus kontinu, atau
bius opioid untuk mempertahankan kadar dalam

25
serum
3. Tetapkan target efektivitas analgesik untuk
mengoptimalkan respons pasien
4. Dokumentasian respons terhadap efek analgesik
dan efek yang tidak diinginkan
Edukasi
1. Jelaskan efek terapi dan efek samping obat
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian dosis dan jenis analgesik
2. Perfusi perifer tidak Tujuan : Perawatan Sirkulasi (I.02079)
efektif (D.0009) b.d Setelah dilakukan tindakan asuhan Observasi
M
penurunan aliran arteri keperawatan selama 3x24 jam 1. Periksa sirkulasi perifer (mis. nadi perifer,
dan/atau vena d.d diharapkan masalah perfusi perifer edema, pengisian kapiler, warna, suhu, ankle
pengisian kapiler >3 tidak efektif dapat diatasi dengan brachial index)
detik, nadi perifer kriteria hasil : 2. Identifikasi faktor risiko gangguan sirkulasi
menurun atau tidak (mis. diabetes, perokok, orang tua dan kadar
teraba, akral teraba kolesterol tinggi)
dingin, warna kulit 3. Monitor panas, nyeri, kemerahan, atau bengkak
pucat, turgor kulit turun, pada ekstremitas

26
parastesia, nyeri Perfusi Perifer (L.02011) Terapeutik
ekstremitas, edema Indikator Skor Skor 1. Hindari pemasangan infus atau pengambilan
awal yang darah di area keterbatasan perfusi
ingin
2. Hindari pengukuran tekanan darah pada
dicapai
Denyut nadi 3 5 ekstremitas dengan keterbatasan perfusi
perifer 3. Hindari penekanan dan pemasangan torniquet
Sensasi 3 5 pada area cedera
Keterangan : 4. Lakukan pencegahan infeksi
1 = menurun 5. Lakukan perawatan kaki dan kuku

2 = cukup menurun 6. Lakukan hidrasi

3 = sedang Edukasi

4 = cukup meningkat 1. Anjurkan minu obat pengontrol tekanan darah

5 = meningkat secara teratur

Indikator Skor Skor 2. Anjurkan melakukan perawatan kulit yang tepat


awal yang 3. Anjurkan program rehabilitasi vaskular
ingin 4. Anjurkan program diet untuk memperbaiki
dicapai
Pengisian 3 5 sirkulasi

kapiler 5. Informasikan tanda dan gejala darurat yang


harus dialporkan (mis. rasa sakit yang tidak

27
Akral 3 5 hilang saat istirahat, luka tidak sembuh,
Turgor kulit 3 5 hilangnya rasa)
Keterangan :
1 = memburuk Manajemen Sensasi Perifer (I.06195)
2 = cukup memburuk Observasi
3 = sedang 1. Identifikasi penyebab perubahan sensasi
4 = cukup membaik 2. Identifikasi penggunaan alat pengikat, prosyesis,
5 = membaik sepatu dan pakaian
3. Periksa perbedaan sensasi panas atau dingin
4. Periksa kemampuan mengidentifiaksi lokasi dan
tekstur benda
5. Monitor terjadinya parastesia
6. Monitor perubahan kulit
7. Monitor adanya tromboflebitis dan
tromboemboli vena
Terapeutik
1. Hindari pemakaian benda-benda yang
berlebihan suhunya (terlalu panas atau dingin)

28
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian analgesik
2. Kolaborasi pemberian kortikosteroid
3. Gangguan eliminasi Tujuan : Dukungan Perawatan Diri : BAK (I.11349)
urin (D.0040) b.d Setelah dilakukan tindakan asuhan Observasi
M
kelemahan otot pelvis keperawatan selama 3x24 jam 1. Identifikasi kebiasaan BAK sesuai usia
d.d desakan berkemih diharapkan masalah gangguan 2. Monitor integritas kulit
(urgensi), urin menetes eliminasi urin dapat diatasi dengan Terapeutik
(dribbling), enuresis, kriteria hasil : 1. Jaga privasi selama eliminasi
distensi kandung kemih Eliminasi Urine (L.04034) 2. Bersihkan alat bantu BAK setelah digunakan
Indikator Skor Skor 3. Sediakan alat bantu (mis. kateter eksternal,
awal yang urinal)
ingin
dicapai
Desakan 3 5 Manajemen Eliminasi Urin (I.04152)
berkemih Observasi
(urgensi) 1. Identifikasi tanda dan gejala retensi dan
Distensi 3 5 inkontinensia urine

kandung 2. Identifikasi faktor yang menyebabkan retensi


atau inkontinensia urine

29
kemih 3. Monitor eliminasi urine (mis. frekuensi,
Urine 3 5 konsistensi, aroma, volume, dan warna)
menetes Terapeutik
(dribbling) 1. Catat waktu-waktu dan haluaran berkemih
Enuresis 3 5 2. Batasi asupan cairan
Berkemih 3 5 3. Ambil sampel urine tengah (midstream) atau
tidak tuntas kultur
Keterangan : Edukasi
1 = meningkat 1. Ajarkan tanda dan gejala infeksi saluran kemih
2 = cukup meningkat 2. Anjurkan mengukur asupan cairan dan haluaran
3 = sedang urine
4 = cukup menurun 3. Ajarkan mengenali tanda berkemih dan waktu
5 = menurun yang tepat untuk berkemih
4. Ajarkan terapi modalitas penguatan otot-otot
panggul/perkemihan
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian obat supositoria uretra

30
4. Gangguan mobilitas Tujuan : Dukungan Mobilisasi (I.05173)
fisik (D.0054) b.d Setelah dilakukan tindakan asuhan Observasi
M
kerusakan integritas keperawatan selama 3x24 jam 1. Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik
struktur tulang d.d diharapkan gangguan mobilitas fisik lainnya
mengeluh sulit dapat teratasi dengan kriteria hasil : 2. Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan
menggerakkan Mobilitas Fisik (L.05042) 3. Monitor frekuensi jantung dan tekanna darah
ekstremitas, kekuatan Indikator Skor Skor sebelum memulai mobilisasi
otot menurun, nyeri saat awal yang 4. Monitor kondisi umum selama melakukan
ingin
bergerak, merasa cemas mobilisasi
dicapai
saat bergerak Pergerakan 2 5 Terapeutik
ekstremitas 1. Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu
Kekuatan 2 5 2. Fasilitasi melakukan pergerakan
otot 3. Libatkan keluarga untuk membantu pasien

Rentang 2 5 dalam meningkatkan pergerakan

gerak Edukasi
(ROM) 1. Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi

Keterangan : 2. Anjurkan melakukan mobilisasi dini

1 = menurun 3. Anjurkan mobilisasi sederhana yang harus


dilakukan (mis. duduk di tempat tidur, duduk di

31
2 = cukup menurun sisi tempat tidur, pindah dari tempat tidur ke
3 = sedang kursi)
4 = cukup meningkat
5 = meningkat
Indikator Skor Skor
awal yang
ingin
dicapai
Nyeri 2 5
Kecemasan 2 5
Gerakan 2 5
terbatas
Keterangan :
1 = meningkat
2 = cukup meningkat
3 = sedang
4 = cukup menurun
5 = menurun

32
5. Risiko syok (D.0039) Tujuan : Pencegahan Syok (I.02068)
b.d kekurangan volume Setelah dilakukan tindakan asuhan Observasi
cairan, hipotensi keperawatan selama 2x24 jam 1. Identifikasi status kardiopulmonal (frekuensi dan M
diharapkan risiko syok dapat teratasi kekuatan nadi, frekuensi napas, TD, MAP)
dengan kriteria hasil : 2. Monitor status oksigenasi (oksimetri nadi, AGD)
Tingkat Syok (L.03032) 3. Monitor status cairan (masukan dan haluaran,
Indikator Skor Skor turgor kulit, CRT)
awal yang 4. Monitor tingkat kesadaran dan respon pupil
ingin 5. Periksa riwayat alergi
dicapai Terapeutik
Kekuatan 3 5 1. Berikan oksigen untuk mempertahankan
nadi saturaasi oksigen >94%
Tingkat 3 5 2. Persiapkan intubasi dan ventilasi mekanis
kesadaran 3. Pasang jalur IV
4. Pasang kateter urine untuk menilai produksi
Keterangan : urine
1 = menurun 5. Lakukan skin test untuk mencegah reaksi alergi
2 = cukup menurun Edukasi
3 = sedang 1. Jelaskan penyebab/ faktor risiko syok

33
4 = cukup meningkat 2. Jelaskan tanda dan gejala awal syok
5 = meningkat 3. Anjurkan melapor jika menemukan/ merasakan
Indikator Skor Skor tanda dan gejala awal syok
awal yang 4. Anjurkan memperbanyak asupan caiarn oral
ingin 5. Anjurkan menghinadri alergen
dicapai Kolaborasi
Akral dingin 3 5 1. Kolaborasi pemberian IV
Pucat 3 5 2. Kolaborasi pemberian transfusi darah
Keterangan : 3. Kolaborasi pemberian antiinflamasi
1 = meningkat
2 = cukup meningkat
3 = sedang
4 = cukup menurun
5 = menurun

34
1.4 Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah tahap ketika perawat mengimplementasikan intervensi
keperawatan yang telah disusun. Berdasarkan Standar Asuhan Keperawatan
Indonesia (SIKI) implementasi keperawatan terdiri dari melakukan tindakan dan
dokumentasi tindakan. Perawat melaksanakan atau mendelegasikan tindakan
keperawatan dan mengakhiri tahap implementasi dengan mencatat tindakan
keperawatan dan respons klien terhadap tindakan tersebut (Hutagol, 2017).

1.5 Evaluasi Keperawatan


Evaluasi adalah aspek penting dalam proses keperawatan terkait kesimpulan
hasil intervensi, sebagai evaluasi guna menentukan apakah intervensi keperawatan
harus diakhiri, dilanjutkan, atau diubah (Hutagol, 2017). Evaluasi pada pasien
Burst Frakturdilakukan dengan memonitor hasil pemeriksaan secara fisik,
radiologi dan laboratorium, serta memantau respon pasien selama tindakan.
Evaluasi keperawatan ditulis dengan format SOAPIE.
1. S (Subjective) merupakan data yang didapatkan dari pasien, berupa respon
pasien setelah dilakukan tindakan keperawatan.
2. O (Objective) merupakan data yang dapat diobservasi dan diukur oleh
perawat
3. A (Analysis) merupakan evaluasi hasil masalah keperawatan pasien setelah
diberikan tindakan asuhan keperawatan, yaitu apakah masalah sudah teratasi,
teratasi sebagian, belum teratasi, atau timbul masalah keperawatan baru
4. P (Planning) merupakan intervensi yang akan diberikan kepada pasien sesuai
dengan kondisi perkembangan kesehatannya, apakah intervensi sebelumnya
dihentikan, dilanjutkan, ditambah, atau dimodifikasi.
5. I (Implementation) merupakan tindakan keperawatan yang dilakuakan sesuai
dengan rencana yang telah disusun pada intervensi.
6. E (Evaluation) merupakan respon klien setelah dilakukan tindakan
implementasi

35
1.6 Discharge Planning
Discharge planning merupakan sebuah layanan guna mempersiapkan pasien
untuk mendapatkan kontinuitas perawatan, baik dalam proses penyembuhan
maupun dalam upaya mempertahankan derajat kesehatan sampai pasien siap
kembali ke lingkungan. Discharge planning penting dilakukan pada pasien gagal
ginjal kronik untuk meningkatkan kepatuhan pasien terkait dengan pengobatan
gagal ginjal kronik. Beberapa proses pelaksanaan discharge planning yang harus
dilakukan adalah pengkajian tentang kebutuhan pelayanan kesehatan, pengkajian
kebutuhan pendidikan kesehatan untuk pasien dan keluarga, dan pengkajian
faktor-faktor lingkungan di rumah yang dapat mengganggu perawatan diri.
Discharge planning post operasi Burst Frakturdapat membantu kondisi pasien
sejak di rumah sakit sampai dengan pasien kembali pulang ke rumah sehingga
kondisi respondenpun terpantau (Rahayu dkk, 2018). Pada discharge planning
post operasi Burst Fraktur perawat perlu memberikan informasi terkait hak-hal
sebagai berikut :
b. Manajemen nutrisi yang baik seperti konsumsi makanan yang tinggi protein,
tinggi kalsium dan vitamin D. Kebutuhan nutrisi pasien sangat dibutuhkan
karena dapat memperbaiki kondisi pada tulang dan mampu mempercepat
masa penyembuhan luka
c. Menganjurkan kepatuhan terhadap konsumsi obat
d. Pentingnya melakukan mobilisasi dini sesuai kemampuan dan melakukan
latihan range of motion (ROM)
e. Menganjurkan untuk melakukan perawatan luka untuk mencegah terjadinya
infeksi
f. Melakukan manajemen nyeri melalui teknik relaksasi, misalnya terapi musik
dan teknik napas dalam
g. Penggunaan alat bantu mobilisasi dalam aktivitas sehari-hari
h. Menghindari aktivitas berat dan mengangkat beban berat
i. Melakukan kontrol kesehatan untuk memantau perkembangan kondisi pasien

36
Sedangkan untuk merawat gips pada fraktur dapat dilakukan dengan
mencegah gips basah, menghindari memotong gips, menjauhkan gips dari benda
asing seperti koin, memposisikan gips lebih tinggi dari dada untuk mengurangi
edema, enghindari tahanan beban berat pada gips. Setelah gips dilepas pasien
harus melakukan latihan gerak secara bertahap, menjaga kebersihan kulit dan
mengindari menggaruk kulit, menggosok kulit. Jika terdapat cairan maka dapat
dikeringkan dengan kertas hisap.

37
BAB III. PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Burst fraktur adalah jenis cedera tulang belakang traumatis di mana tulang
belakang patah karena beban aksial berenergi tinggi (misalnya, tabrakan lalu lintas
atau jatuh dari ketinggian atau kecepatan tinggi, dan beberapa jenis kejang),
dengan pecahan tulang belakang menembus sekitarnya. jaringan dan terkadang
kanal tulang belakang Fraktur pecah dikategorikan oleh keparahan kelainan
bentuk, tingkat keparahan kompromi kanal (tulang belakang), tingkat hilangnya
tinggi badan vertebra, dan tingkat defisit neurologis burst fraktur dianggap lebih
parah daripada kompresi patah tulang karena kerusakan saraf jangka panjang

3.2 Saran
a. Bagi Rumah Sakit
Di harapkan dari pihak Rumah Sakit memberikan pendidikan dan pelatihan
secara berkala, khususnya mengenai metode pelayanan terkini pada pasien
dengan kasus-kasus keperawatan gawat darurat, untuk meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan dari tenaga keperawatan.
b. Bagi Bidang Akademik
Penyediaan kualitas tenaga dosen yang professional serta fasilitas belajar
mengajar perlu untuk ditingkatkan agar menghasilkan lulusan yang
berkualitas.
c. Pasien dan keluarga
Pasien dan keluarga dapat bersikap lebih kooperatif dan mampu bekerjasama
dengan tim kesehatan dalam penanganan dan proses.
d. Bagi penulis selanjutnya
Diharapkan dimasa yang akan datang dapat digunakan sebagai salah satu
sumber data untuk penulisan laporan pendahuluan tentang fraktur kompresi
lumbal.

38
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddart. (2017). Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddart,


Ed.12. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Hutagaol, E. F. (2017). Peningkatan Kualitas Hidup pada Penderita Gagal Ginjal
Kronik yang Menjalani Terapi Hemodialisa Melalui Psychological
Intervention di Unit Hemodialisa RS Royal Prima Medan Tahun 2016.
Jumantik (Jurnal Ilmiah Penelitian Kesehatan), 2(1), 42-59.
Khoiriyah, Z. (2018). Aplikasi CSWD pada Tn. P dengan Masalah Kerusakan
Integritas Kulit akibat Ulkus Dekubitus (Doctoral Dissertation, Skripsi,
Universitas Muhammadiyah Magelang).
Mancapara, I. G. P. M. (2020). Peranan Asana dalam Anatomi Sistematik. Jurnal
Yoga dan Kesehatan, 1(1), 55-64.
Marwan, I. (2008). Anatomi Manusia. Hasil Reviewer, 1-121.
Rahayu, U., & Aditya, B. (2019). Kebutuhan Discharge Planning Pascaoperasi
Pada Pasien Fraktur Ekstremitras Bawah. Jurnal Keperawatan'Aisyiyah,
6(1), 57-65.
Rifa'i, Ridwan. (2020). Asuhan Keperawatan pada Klien Burst Frakturdengan
Nyedri Akut di Ruang Marjan Atas RSUD Dr. Slamet Garut
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia
(1st ed. Cetakan III). Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat
Nasional Indonesia.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia(Ist
ed. Cetakan II). Jakarta. Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia:
Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan (1st ed. Cetakan II). Jakarta:
Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

39

Anda mungkin juga menyukai