Oleh
Melaniara Anggista, S.Kep.
NIM 222311101057
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta
hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan pendahuluan dengan
judul “Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Burst Fraktur di Ruang Seruni
Rumah Sakit Daerah dr. Soebandi Jember” dengan tepat waktu. Tak lupa penulis
mengucapkan terimakasih kepada dosen pembimbing akademik, dosen
pembimbing klinik, serta perawat-perawat di ruang Seruni yang dengan tulus
membimbing dan mengajarkan segala sesuatu. Penulis menyadari bahwa
laporan pendahuluan yang dibuat ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, penulis menerima dengan tangan terbuka baik kritik dan saran yang
membangun demi kesempurnaan laporan pendahuluan ini. Semoga laporan
pendahuluan ini bermanfaat bagi kita semua.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL .................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................... iii
BAB 1. KONSEP PENYAKIT ....................................................................... 1
1.1 Anatomi Fisiologi................................................................................ 1
1.2 Definisi ................................................................................................. 5
1.3 Epidemiologi ....................................................................................... 6
1.4 Etiologi................................................................................................. 6
1.5 Patofisiologi ......................................................................................... 7
1.6 Manifestasi klinik................................................................................7
1.7 Klasifkasi..............................................................................................8
1.8 Komplikasi............................................................................................9
1.9 Pemeriksaan Penunjang .................................................................... 11
1.10 Penatalaksanaan Farmakologi dan Non Farmakologi ................... 12
1.11 Pathway ................................................................................................ 14
BAB 2. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN .......................................... 16
2.1 Pengkajian Keperawatan.................................................................... 16
2.2 Diagnosa Keperawatan ....................................................................... 22
2.3 Intervensi Keperawatan...................................................................... 24
2.4 Implementasi Keperawatan................................................................ 36
2.5 Evaluasi Keperawatan ........................................................................ 36
2.6 Discharge Planning.............................................................................. 37
BAB III PENUTUP..........................................................................................38
3.1 Kesimpulan............................................................................................38
3.2 Saran......................................................................................................38
iii
BAB 1. PENDAHULUAN
1
1.2. Rumusan Masalah
1.3. Tujuan
a. Tujuan Umum
2
BAB 1. KONSEP PENYAKIT
3
Gambar 1.1.1 Kolumna Vertebralis
1.2 Definisi
1.3 Epidemiologi
Insiden fraktur tulang belakang di dunia mencapai 0,019-0,088% per tahun.
Fraktur tulang belakang terjadi pada 1,5 juta orang setiap tahun, dengan rincian
10,57% terjadi pada laki-laki dan 5,7% terjadi pada perempuan per 1000 orang.
Laki-laki memiliki risiko lebih besar terhadap fraktur tulang belakang yaitu 1,9
kali. Burst Frakturmemiliki insidensi tertinggi dibanding dengan fraktur vertebra
lokasi yang lain (cervikalis, thoracalis, sacralis) yaitu 47,81% (Susilo &
Priambodo, 2020). Menurut (Widhiyanto dkk, 2019) Burst Frakturmerupakan
kasus fraktur vertebra yang paling banyak dijumpai yaitu sebesar 34,6%
dibandingkan dengan fraktur vertebra yang lain (cervikalis, thoracalis, sacralis).
Pada studi epidemiologinya di Rumah Sakit Dr. Soetomo pada tahun 2013-2017
disebutkan bahwa pasien yang paling banyak mengalami Burst Frakturadalah
berjenis kelamin laki-laki, yaitu sebesar 114 pasien dari total 153 pasien (75%).
Sedangkan berdasarkan kelompok usia, pasien yang banyak mengalami Burst
Frakturadalah berada pada rentang usia 50-60 tahun, yaitu sebesar 21,6% (33
pasien). Berdasarkan penyebabnya, Burst Frakturpaling banyak disebabkan oleh
kecelakaan lalu lintas, yaitu sebanyak 71 pasien (46%). Sedangkan jatuh dari
ketinggian (36%) dan tertimpa beban (18%). Berdasarkan subtipe fraktur, jenis
fraktur yang sering terjadi yaitu akibat kompresi atau burst (tipe A) yaitu sebesar
5
140 pasien. Persentase jumlah pasien lumbal sebanyak 34,6% dari seluruh pasien
fraktur vertebra.
1.4 Etiologi
Burst Fraktur disebabkan oleh adanya trauma akibat luka tajam, tertimpa
beban, kecelakaan lalu lintas, dan jatuh dari ketinggian (Widhiyanto dkk, 2019).
Selain itu Burst Fraktur juga dapat disebabkan oleh adanya patologis seperti
osteoporosis, infeksi, tumor tulang atau penyakit lain. Burst Fraktur juga dapat
disebabkan oleh adanya stress secara kontinu atau berulang, biasanya terjadi pada
atlet dan individu pemula dalam melakukan aktivitas fisik. Pada kondisi tersebut
tahanan kekuatan otot meningkat lebih cepat daripada kekuatan individu seperti
biasanya, sehingga terdapat ketidakmampuan tulang untuk menopang
beban.Sedangkan menurut (Susilo & Priambodo, 2020) faktor risiko yang dapat
meningkatkan kejadian Burst Fraktur adalah sebagai berikut :
a. Jenis kelamin
Individu dengan jenis kelamin laki-laki memiliki risiko lebih besar terhadap
Burst Fraktur yaitu 61,1%, sedangkan perempuan 38,9%. Hal ini
dikarenakan laki-laki memiliki kemungkinan lebih besar mengalami trauma
tulang belakang terkait dengan pekerjaan. Insiden terbesar diakibatkan oleh
kecelakaan lalu lintas dan jatuh dari ketinggian. Laki-laki juga memiliki
risiko sebesar tiga kali lebih besar daripada perempuan
b. Usia
Individu dengan usia >50 tahun memiliki risiko lebih besar terhadap Burst
Frakturyaitu 41,6%, hal ini dikarenakan proses penuaan yang
mengakibatkan terjadi pengeroposan tulang (osteoporosis). Pada kelompok
usia ini, perempuan berisiko tinggi karena adanya postmeno osteoporosis.
1.5 Patofisiologi
Burst Fraktur disebabkan oleh trauma langsung dan trauma tidak langsung.
Burst Fraktur biasanya diakibatkan oleh luka tajam, tertimpa beban, kecelakaan
lalu lintas, dan jatuh dari ketinggian. Burst Fraktur juga dapat terjadi karena
adanya patologis seperti osteoporosis, infeksi dan tumor pada vertebra.
Mekanisme fraktur dapat terjadi karena mekanisme sebagai berikut :
6
a. Fleksi
vertebrae mengalami tekanan sehingga menjadi burst (remuk) dan memicu
kerusakan ligamen posterior. Ligamen yang rusak menyebabkan fraktur
tidak stabil dan subluksasi
b. Fleksi dan rotasi
Pada mekanisme ini terjadi dislokasi vertebra diatasnya atau pergerakan
vertebra ke segala arah.
c. Kompresi vertikal
Pada mekanisme ini terjadi trauma secara langsung terhadap lumbal.
Sehingga menyebbakan nukleus pulposus memecahkan badan vertebra
secara vertikal. Pada fraktur ini elemen posterior masih utuh.
d. Fleksi lateral
Pada trauma ini terjadi kompresi atau distraksi sehingga menyebabkan fleksi
lateral pada pedikel, foramen vertebra dan sendi faset.
Fraktur remuk (burst fractures) fraktur yang terjadi ketika ada penekanan
corpus vertebralis secara langsung, dan tulang menjadi hancur frakmen
tulang berpotensi masuk ke kanalis spinalis. Terminologi fraktur ini adalah
menyebarnya tepi korpus vertebralis ke arah luar yang disebabkan adanya
kecelakaan yang lebih berat dibanding fraktur kompresi. Tepi tulang yang
menyebar atau melebar itu akan memudahkan medulla spinalis untuk cidera
dan ada fragmen tulang yang mengarah ke medulla spinalis dan dapat
menekan medulla spinalis dan menyebabkan paralisi atau gangguan syarat
parasial. Tipe burst fractures sering terjadi pada thoraco lumbar juction dan
terjadi paralysis pada kaki dan gangguan defekasi ataupun miksi (Apley,
2009).
7
hilangnya refleks dan flacid paralisis. Trauma pada lumbal menyebabkan
otot ekstremitas bawah mengalami flacid paralisis.
b. Gangguan Sensorik
Gangguan sensorik yang terjadi yaitu paraplegic pain atau nyeri sistem
saraf pusat. Selain itu kulit di sekitar trauma mengalami anastesi akibat
terputusnya serabut saraf sensorik
c. Gangguan Bladder dan Bowel
Terjadi gangguan defekasi yang tidak terkontrol akibat inkontinensia.
Kondisi ini terjadi akibat kerusakan saraf parasimpatetik yang menyebabkan
kontraksi otot polos sigmoid dan rectum menurun.
d. Gangguan Fungsi Seksual
Trauma pada lumbal 4 memicu gangguan fungsi seksual. Hla ini
dikarenakan seluruh bagian fungsi seksual mengalami spinal shock.
1.7 Klasifikasi
Menurut Widhiyanto dkk (2019) Fraktur vertebra berdasarkan subtipenya
diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Tipe A (Kompresi atau Burst)
Burst Frakturtipe A (kompresi dan burst) adalah jenis fraktur yang paling
banyak terjadi pada regio lumbal yaitu sebesar 91,5%. Burst Frakturtipe A
akibat kompresi terjadi karena adanya kompresi bagian depan corpus
vertebralis sehingga terbentuk patahan irisan. Fraktur ini dapat terjadi
karena kecelakaan, jatuh dari ketinggian dengan posisi terduduk,
osteoporosis, metastase kanker dari bagian lain ke vertebra sehingga
menyebabkan kelemahan vertebra dan memicu terjadinya fraktur kompresi.
Vertebra lumbalis menjadi lebih pendek akibat terjadi kompresi. Sedangkan
Burst Fraktur yang disebabkan oleh adanya burst (remuk) terjadi karena
adanya penekanan corpus vertebralis secara langsung, sehingga vertebra
lumbalis hancur. Burst Fraktur akibat burst biasanya disebabkan trauma
yang lebih berat dibandingkan kompresi. Burst Fraktur burst paling sering
terjadi pada bagian atas yaitu antara thoracalis dan lumbalis.
b. Tipe B (Distraksi)
Burst Frakturtipe B hanya memiliki presentase sebesar 3,3%. Pada fraktur
8
ini terjadi distraksi pada columna media dan posterior serta kompresi
columna anterior. Insiden fraktur jenis ini sering terjadi pada penggunaan
seat belt. Pada saat terjadi kecelakaan mobil dengan kekuatan tinggi
menyebabkan refleks mengerem mendadak, sehingga terjadi mekanisme
fleksi distraksi. Mekanisme fleksi distraksi memicu vertebra lumbal
membentuk pisau lipat dengan tupuan kolumna anterior vertebralis. Ketika
mengerem mendadak, tubuh terdorong ke depan melawan tahanan seat belt
sehingga vertebra lumbal dapat mengalami trauma.
c. Tipe C (Dislokasi dan Rotasi)
Burst Frakturtipe C memiliki insidensi 5,2%. Fraktur tipe ini terjadi karena
adanya perpindahan segmen akibat kompresi atau rotasi. Pada fraktur tipe ini
terjadi kombinasi kompresi, tekanan, rotasi dan pengelupasan. Pengelupasan
terjadi dari posterior ke anterior sehingga terjadi kerusakan pada
ligamentum posterior, lamina, sendi facet dan korpus vertebra anterior.
Pengelupasan juga dapat terjadi dari anterior ke posterior. Apabila terjadi
rotasi maka menyebabkan fraktur processus transversus dan bagian bawah
costa. Fraktur dislokasi dan rotasi dapat memicu keluarnya serabut saraf.
2.1.6 Komplikasi
10
sehingga dapat diketahui adanya osteoporosis dan fraktur
7. Pemeriksaan Elektomiografi dan Hantaran Saraf
Pemeriksaan ini digunaakan untuk mengetahui denerasi ekstremitas bawah.
Sedangkan pemeriksaan otot paraspinal digunakan untuk membedakan lesi
medulla spinalis atau cauda equina dengan lesi sacral atau pleksus lumbal
8. Foto Polos
Foto polos digunakan untuk menggambarkan AP lateral dan oblique view.
Pada pemeriksaan ini dilihatkesegarisan AP dan lateral dengan cara
mengidentifikasi jarak interspinosus, artikulasi sendi facet, tepi korpus
vertebrae dan garis spinolamina. Sedangkan posisi oblique
untukmenggambarkan sublukasi facet dan fraktur interartikularis
9. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium digunakan untuk mengetahui komplikasi yang
mungkin terjadi akibat fraktur lumbal
11
g. Manajemen pasien dengan tanda dan gejala paralisis melalui pemberian
laxantia setaip 2 hari untuk manajemen saluran pencernaan, fisioterapi
untuk mencegah kontraktur, pemberian cairan, katerisasi dan evakuasi
kandung kemih dalam 2 minggu sebagai manajemen kandung kemih,
pemberian nutrisi dengan diet tinggi melalui intravena, serta melakukan
pencegahan dekubitus
12
1.10 Pathway
Burst Fraktur
Burst Fraktur
13
Edema Gangguan Ketidakmampuan
fungsi tubuh melakukan
perawatan
Penekanan
pembuluh darah Gangguan
fungsi rektum Defisit
dan kandung Perawatan Diri
Penurunan
kemih (D.0109)
perfusi jaringan
Gangguan Penyempitan
Perfusi Perifer Eliminasi Urin kanalis vertebra
Tidak Efektif (D.0040)
(D.0009)
Medulla
spinalis terjepit
Inkontinensia
Fekal (D.0041))
14
BAB 2. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
15
4. Pola aktivitas sehari-hari
a. Pola manajemen kesehatan
Identifikasi terkait obat-obatan yang dikonsumsi pasien dan perilaku
terhadap kontrol kesehatan utamanya dalam menjaga kesehatan
tulang
b. Pola nutrisi dan metabolik
Pengkajian terkait adanya mual, muntah, anoreksia, intake cairan
inadekuat, penurunan berat badan, asupan makanan yang biasa
dikonsumsi
c. Pola eliminasi
Pengkajian terkait inkontinensia urine dan inkontinensia fekal akibat
penyempitan kanalis vertebra yang disebabkan oleh fraktur lumbal
d. Pola aktivitas dan latihan
Pengkajian terkait aktivitas sehari-hari, kebiasaan membawa barang
berat dan latihan fisik berat (misal pada atlet) yang dapat
meningkatkan risiko terjadinya peningkatan strain otot
e. Pola istirahat tidur
Pengkajian terkait gangguan tidur (insomnia/gelisah atau somnolen)
akibat nyeri trauma lumbal
f. Pola persepsi kognitif
Pengkajian terkait perubahan tingkah laku, kedutan otot, perubahan
tingkat kesadaran, nyeri pinggang bawah, nyeri ekstremitas bawah,
perilaku berhati-hati/distraksi, gelisah, kelemahan khususnya
ekstremitas bawah seperti flacid paralisis dan paraplegia
g. Pola persepsi dan konsep diri
Pengkajian terkait perasaan tidak berdaya, tidak ada harapan, tidak
ada kekuatan, menolak, ansietas, takut, marah, mudah terangsang,
perubahan kepribadian, kesulitan menentukan kondisi
h. Pola hubungan peran
Pengkajian terkait peran individu dalam keluarga dan lingkungan
i. Pola reproduksi dan seksualitas
Penurunan libido, amenorea, infertilitas, impotensi dan atropi
16
testikuler
j. Pola manajemen stress
Pengkajian terkait mekanisme koping individu dalam beradaptasi
dengan kondisi kesehatannya
k. Pola keyakinan atau kepercayaan
Keyakinan individu terhadap tingkat kesembuhan serta hubungannya
dengan Tuhan
5. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum : Pada pasien dengan Burst Frakturbiasanya terjadi
penurunan kesadaran, mengeluh nyeri pada pinggang bawah
b. Tingkat kesadaran letargi sampai koma.
c. Pengukuran antropometri : berat badan dan lingkar lengan atas
umumnya normal
d. Tanda vital : tanda-tanda vital mengalami perubahan seperti
bradikardia, hipotensi, dan tanda-tanda syok neurogenic
e. Pemeriksaan Fisik
1) Sistem Kardiovaskuler
Pada sistem kardiovaskuler pada pasien Burst Frakturmengalami
syok hipovolemik dengan intensitas sedang hingga berat. Hasil
pemeriksaan pada sistem kardiovaskuler pada pasien dengan
Burst Frakturdiperoleh hasil bahwa hipotensi (perubahan perfusi
jaringan dan tanda awal syok hipovolemik), bradikardia
(perubahan perfusi jaringan serebral), berdebar- debar, pusing
saat melakukan perubahan posisi, ekstremitas dingin atau pucat
(kadar hemoglobin turun)
2) Sistem Pernapasan
Pada sistem pernapasan terjadi perubahan yang berkorelasi
dengan gradasi blok saraf parasimpatis (pasien mengalami
kelumpuhan otot-otot pernafasan) dan perubahan karena adanya
kerusakan jalur simpatik desenden akibat Burst Fraktursehingga
kontinuitas jaringan saraf di medulla spinalis terputus.
17
3) Sistem Neuromuskuler
Pemeriksaan sistem neuromuskular menjadi hal penting dalam
menilai kewaspadaan komplikasi fraktur lumbal. Pada keadaan
lanjut, kesadaran pasien Burst Frakturmenurun, biasanya letargi,
stupor, semikoma sampai koma.
4) Sistem Perkemihan
Trauma pada ekuina menyebabkan hilangnya refleks kandung
kemih yang bersifat sementara dan memicu inkontinensia urine.
Pada sistem perkemihan perlu dikaji terkait warna, jumlah, dan
karakteristik urin, termasuk berat jenis urin. Penurunan jumlah
urin dan peningkatan retensi cairan dapat terjadi akibat
menurunya perfusi pada ginjal
5) Sistem Integumen
Pada sistem integumen perlu dikaji terkait perubahan warna
kulit, abrasi, memar pada punggung. Pada pasien yang telah lama
dirawat di rumah sering ditemukan adanya dekubitus pada pantat
pada bokong.
6) Sistem Musculoskeletal
Pada sistem muskuloskeletal dikaji terkait paralisis dan
paraplegia
7) Sistem Pencernaan
Burst Frakturmemicu terjadinya spinal syok, neuropraksia, ileus
paralitik, sehingga menurunkan fungsi pencernaan. Bowel sound
turun, kembung, dan terjadi gangguan defekasi (inkontinensia
alvi). Kondisi ini menjadi gejala awal syok spinal yang
berlangsung dalam rentang hari hingga minggu. Adanya
gangguan pada sistem pencernaan menyebabkan terjadinya
defisit nutrisi
8) Fungsi Serebral
Pemeriksaan dilakukan dengan mengobservasi penampilan,
tingkah laku, gaya bicara, ekspresi wajah, dan aktivitas motorik
18
pasien. Pasien yang telah lama mengalami Burst Frakturbiasanya
mengalami perubahan status mental
9) Pemeriksaan Tulang Belakang
Pada penderita dengan keluhan nyeri pinggang dan berisiko
tinggi mengalami iritasi pada radik saraf, maka perlu dilakukan
pemeriksaan fisik khusus pinggang, yaitu tes straight leg
raising test, pemeriksaan refleks, kekuatan otot, dan
pemeriksaan sensasi. Pemeriksaan straight leg raising test,
dilakukan saat pasien berbaring. Pemeriksaan dilakukan dengan
fleksi kaki pada daerah sendi panggul dengan sendi lutut ekstensi
dan ukur sudut fleksi pada saat pasien mengeluh nyeri yang
menjalar ke inferior dari bawah sendi lutut, posisi fleksi 30-70°.
Nyeri yang menjalar dari bawah lutut merupakan tanda khas
adanya iritasi dari radik saraf lumbal 1. pada tulang belakang.
Pada penderita straight leg raising positive, dapat dilakukan
pemeriksaan cross straight leg raising test, dengan melakukan
ekstensi fleksi kaki pada sendi panggul yang kontralateral dari
kaki simtomatik. Tes positive menunjukkan adanya iritasi radik
saraf. Pemeriksaan kekuatan otot kaki pada pasien dengan Burst
Frakturdilakukan dengan pemeriksaan inversi kaki dan fleksi
dorsal dari pergelangan kaki yang menunjukkan iritasi saraf
lumbal 1. Sedangkan gangguan fleksi dorsal dari ibu jari kaki
menunjukkan adanya kelainan pada saraf lumbal 5, gangguan
sensoris pada bagian medial dan pergelangan kaki menunjukkan
kelainan pada saraf lubal 4, kelainan sensasi pada dorsum kaki
menunjukkan kelainan pada saraf lumbal 5. Kelainan saraf
pada L3-L4 menyebabkan sensori lateral tungkai berkurang,
kelemahan otot ekstensor lutut dan penurunan tes refleks patella.
19
Pemeriksaan refleks untuk menilai saraf lumbal 4 dilakukan
dengan cara :
a) Pemeriksaan refleks dalam
Reflex achilles menghilang dan refleks patella melemah
karena kelemahan pada otot hamstring
b) Pemeriksaan refleks patologis
Pada fase akut refleks fisiologis menghilang. Setelah
beberapa hari refleks fisiologis akan muncul kembali
didahului dengan refleks patologis
c) Pemeriksaan refleks bulbocavernosus
Refleks bulbocavernosus positif menunjukkan adanya syok
spinal
d) Pemeriksaan sensorik
Apabila pasien mengalami trauma pada cauda equina,
sensibilitas pantat, perineum, dan anus menghilang.
Pemeriksaan sensorik superfisial dapat memberikan petunjuk
mengenai lokasi cedera akibat trauma di regio vertebra.
f. Pemeriksaan Penunjang
a) Foto Rontgen/ X-ray Spinal
Pada pemeriksaan ini menunjukkan adanya perubahan
degeneratif pada tulang belakang, atau tulang intervetebralis
b) Pemeriksaan CT-Scan
Pada pemeriksaan ini menunjukkan kanal spinal mengecil dan
ditemukan protrusi discus intervetebralis
c) Pemeriksaan MRI
Pada pemeriksaan ini menunjukkan adanya perubahan tulang dan
jaringan lunak
d) Elektromiografi
Pada pemeriksaan ini menunjukkan lesi pada tingkat akar syaraf
spinal utama yang terkena.
20
2.2 Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang sering muncul dalam kasus Burst Frakturadalah
sebagai berikut :
1. Pola nafas tidak efektif (D.0005) b.d hambtan upaya napas (mis. nyeri saat
bernapas, kelemahan otot pernapasan) d.d dispnea, penggunaan otot bantu
pernapasan, pola napas abnormal (mis.takipnea, bradipnea, hiperventilasi),
ortopnea
2. Nyeri akut (D.0077) b.d agen pencedera fisik (trauma) d.d mengeluh nyeri,
tampak meringis, bersikap protektif (mis. waspada, posisi menghindari nyeri),
gelisah, frekuensi nadi meningkat, sulit tidur
3. Perfusi perifer tidak efektif (D.0009) b.d penurunan aliran arteri dan/atau
vena d.d pengisian kapiler >3 detik, nadi perifer menurun atau tidak teraba,
akral teraba dingin, warna kulit pucat, turgor kulit turun, parastesia, nyeri
ekstremitas, edema
4. Gangguan eliminasi urin (D.0040) b.d kelemahan otot pelvis d.d desakan
berkemih (urgensi), urin menetes (dribbling), enuresis, distensi kandung
kemih
5. Inkontinensia fekal (D.0041) b.d kehilangan fungsi pengendalian sfingter
rektum d.d tidak mampu mengontrol pengeluaran feses, tidak mampu
menunda defekasi
6. Gangguan mobilitas fisik (D.0054) b.d kerusakan integritas struktur tulang
d.d mengeluh sulit menggerakkan ekstremitas, kekuatan otot menurun, nyeri
saat bergerak, merasa cemas saat bergerak
7. Gangguan integritas kulit/ jaringan (D.0129) b.d faktor mekanis (penekanan,
gesekan) d.d kerusakan jaringan, nyeri, kemerahan
8. Defisit perawatan diri (D.0109) b.d gangguan muskuloskeletal d.d tidak
mampu mandi/ mengenakan pakaian/ makan/ ke toilet/ berhiias secara
mandiri
9. Ansietas (D.0080) b.d krisis situasional, kurang terpapar informasi d.d merasa
khawatir dengan akibat dari kondisi yang dihadapi, tampak gelisah, tampak
tegang, sulit tidur
10. Risiko syok (D.0039) b.d kekurangan volume cairan, hipotensi
21
11. Risiko defisit nutrisi (D.0032) b.d ketidakmampuan mengabsorpsi nutrien
12. Risiko infeksi (D.0142) b.d kerusakan integritas kulit, efek prosedur invasif
22
2.3 Intervensi Keperawatan
No. Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Nama
&
Keperawatan Paraf
1. Nyeri akut (D.0077) b.d Tujuan : Manajemen Nyeri (I.08238)
agen pencedera fisik Setelah dilakukan tindakan asuhan Observasi
M
(trauma) d.d mengeluh keperawatan selama 3x24 jam 1. Identifikai lokasi, karkteristik, durasi, frekuensi,
nyeri, tampak meringis, diharapkan nyeri akut dapat diatasi kualitas, intensitas nyeri
bersikap protektif (mis. dengan kriteria hasil : 2. Identifikasi skala nyeri
waspada, posisi Tingkat Nyeri (L.08066) 3. Identifikasi respon nyeri non verbal
menghindari nyeri), Indikator Skor Skor 4. Identifikasi faktor yang memperlambat dan
gelisah, frekuensi nadi awal yang memperingan nyeri
ingin
meningkat, sulit tidur 5. Identifikasi pengetahuan dan keyai\kinan
dicapai
Keluhan 2 4 tentang nyeri
nyeri 6. Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon
Meringis 2 4 nyeri
Sikap 2 4 7. Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
protektif 8. Monitor keberhasilan terapi komplementer yang
23
Kesulitan 2 4 Terapeutik
tidur 1. Berikan teknik non farmakologis untuk
Keterangan : mengurangi rasa nyeri (mis. TENS, hipnosis,
1 = meningkat akupresur, terapi musik, biofeedback, terapi
2 = cukup meningkat pijat, aromaterapi, teknik imajinasi terbimbing,
3 = sedang kompres hangat/ dingin, terapi bermain)
4 = cukup menurun 2. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa
5 = menurun nyeri (mis. suhu ruangan, pencahayaan,
Indikator Skor Skor kebisingan)
awal yang 3. Fasilitasi istirahat dan tidur
ingin
4. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dala
dicapai
Frekuensi 3 5 pemilihan strategi meredakan nyeri
nadi Edukasi
24
4 = cukup membaik Kolaborasi
5 = membaik 1. Kolaborasi pemberian analgetik
25
serum
3. Tetapkan target efektivitas analgesik untuk
mengoptimalkan respons pasien
4. Dokumentasian respons terhadap efek analgesik
dan efek yang tidak diinginkan
Edukasi
1. Jelaskan efek terapi dan efek samping obat
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian dosis dan jenis analgesik
2. Perfusi perifer tidak Tujuan : Perawatan Sirkulasi (I.02079)
efektif (D.0009) b.d Setelah dilakukan tindakan asuhan Observasi
M
penurunan aliran arteri keperawatan selama 3x24 jam 1. Periksa sirkulasi perifer (mis. nadi perifer,
dan/atau vena d.d diharapkan masalah perfusi perifer edema, pengisian kapiler, warna, suhu, ankle
pengisian kapiler >3 tidak efektif dapat diatasi dengan brachial index)
detik, nadi perifer kriteria hasil : 2. Identifikasi faktor risiko gangguan sirkulasi
menurun atau tidak (mis. diabetes, perokok, orang tua dan kadar
teraba, akral teraba kolesterol tinggi)
dingin, warna kulit 3. Monitor panas, nyeri, kemerahan, atau bengkak
pucat, turgor kulit turun, pada ekstremitas
26
parastesia, nyeri Perfusi Perifer (L.02011) Terapeutik
ekstremitas, edema Indikator Skor Skor 1. Hindari pemasangan infus atau pengambilan
awal yang darah di area keterbatasan perfusi
ingin
2. Hindari pengukuran tekanan darah pada
dicapai
Denyut nadi 3 5 ekstremitas dengan keterbatasan perfusi
perifer 3. Hindari penekanan dan pemasangan torniquet
Sensasi 3 5 pada area cedera
Keterangan : 4. Lakukan pencegahan infeksi
1 = menurun 5. Lakukan perawatan kaki dan kuku
3 = sedang Edukasi
27
Akral 3 5 hilang saat istirahat, luka tidak sembuh,
Turgor kulit 3 5 hilangnya rasa)
Keterangan :
1 = memburuk Manajemen Sensasi Perifer (I.06195)
2 = cukup memburuk Observasi
3 = sedang 1. Identifikasi penyebab perubahan sensasi
4 = cukup membaik 2. Identifikasi penggunaan alat pengikat, prosyesis,
5 = membaik sepatu dan pakaian
3. Periksa perbedaan sensasi panas atau dingin
4. Periksa kemampuan mengidentifiaksi lokasi dan
tekstur benda
5. Monitor terjadinya parastesia
6. Monitor perubahan kulit
7. Monitor adanya tromboflebitis dan
tromboemboli vena
Terapeutik
1. Hindari pemakaian benda-benda yang
berlebihan suhunya (terlalu panas atau dingin)
28
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian analgesik
2. Kolaborasi pemberian kortikosteroid
3. Gangguan eliminasi Tujuan : Dukungan Perawatan Diri : BAK (I.11349)
urin (D.0040) b.d Setelah dilakukan tindakan asuhan Observasi
M
kelemahan otot pelvis keperawatan selama 3x24 jam 1. Identifikasi kebiasaan BAK sesuai usia
d.d desakan berkemih diharapkan masalah gangguan 2. Monitor integritas kulit
(urgensi), urin menetes eliminasi urin dapat diatasi dengan Terapeutik
(dribbling), enuresis, kriteria hasil : 1. Jaga privasi selama eliminasi
distensi kandung kemih Eliminasi Urine (L.04034) 2. Bersihkan alat bantu BAK setelah digunakan
Indikator Skor Skor 3. Sediakan alat bantu (mis. kateter eksternal,
awal yang urinal)
ingin
dicapai
Desakan 3 5 Manajemen Eliminasi Urin (I.04152)
berkemih Observasi
(urgensi) 1. Identifikasi tanda dan gejala retensi dan
Distensi 3 5 inkontinensia urine
29
kemih 3. Monitor eliminasi urine (mis. frekuensi,
Urine 3 5 konsistensi, aroma, volume, dan warna)
menetes Terapeutik
(dribbling) 1. Catat waktu-waktu dan haluaran berkemih
Enuresis 3 5 2. Batasi asupan cairan
Berkemih 3 5 3. Ambil sampel urine tengah (midstream) atau
tidak tuntas kultur
Keterangan : Edukasi
1 = meningkat 1. Ajarkan tanda dan gejala infeksi saluran kemih
2 = cukup meningkat 2. Anjurkan mengukur asupan cairan dan haluaran
3 = sedang urine
4 = cukup menurun 3. Ajarkan mengenali tanda berkemih dan waktu
5 = menurun yang tepat untuk berkemih
4. Ajarkan terapi modalitas penguatan otot-otot
panggul/perkemihan
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian obat supositoria uretra
30
4. Gangguan mobilitas Tujuan : Dukungan Mobilisasi (I.05173)
fisik (D.0054) b.d Setelah dilakukan tindakan asuhan Observasi
M
kerusakan integritas keperawatan selama 3x24 jam 1. Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik
struktur tulang d.d diharapkan gangguan mobilitas fisik lainnya
mengeluh sulit dapat teratasi dengan kriteria hasil : 2. Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan
menggerakkan Mobilitas Fisik (L.05042) 3. Monitor frekuensi jantung dan tekanna darah
ekstremitas, kekuatan Indikator Skor Skor sebelum memulai mobilisasi
otot menurun, nyeri saat awal yang 4. Monitor kondisi umum selama melakukan
ingin
bergerak, merasa cemas mobilisasi
dicapai
saat bergerak Pergerakan 2 5 Terapeutik
ekstremitas 1. Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu
Kekuatan 2 5 2. Fasilitasi melakukan pergerakan
otot 3. Libatkan keluarga untuk membantu pasien
gerak Edukasi
(ROM) 1. Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi
31
2 = cukup menurun sisi tempat tidur, pindah dari tempat tidur ke
3 = sedang kursi)
4 = cukup meningkat
5 = meningkat
Indikator Skor Skor
awal yang
ingin
dicapai
Nyeri 2 5
Kecemasan 2 5
Gerakan 2 5
terbatas
Keterangan :
1 = meningkat
2 = cukup meningkat
3 = sedang
4 = cukup menurun
5 = menurun
32
5. Risiko syok (D.0039) Tujuan : Pencegahan Syok (I.02068)
b.d kekurangan volume Setelah dilakukan tindakan asuhan Observasi
cairan, hipotensi keperawatan selama 2x24 jam 1. Identifikasi status kardiopulmonal (frekuensi dan M
diharapkan risiko syok dapat teratasi kekuatan nadi, frekuensi napas, TD, MAP)
dengan kriteria hasil : 2. Monitor status oksigenasi (oksimetri nadi, AGD)
Tingkat Syok (L.03032) 3. Monitor status cairan (masukan dan haluaran,
Indikator Skor Skor turgor kulit, CRT)
awal yang 4. Monitor tingkat kesadaran dan respon pupil
ingin 5. Periksa riwayat alergi
dicapai Terapeutik
Kekuatan 3 5 1. Berikan oksigen untuk mempertahankan
nadi saturaasi oksigen >94%
Tingkat 3 5 2. Persiapkan intubasi dan ventilasi mekanis
kesadaran 3. Pasang jalur IV
4. Pasang kateter urine untuk menilai produksi
Keterangan : urine
1 = menurun 5. Lakukan skin test untuk mencegah reaksi alergi
2 = cukup menurun Edukasi
3 = sedang 1. Jelaskan penyebab/ faktor risiko syok
33
4 = cukup meningkat 2. Jelaskan tanda dan gejala awal syok
5 = meningkat 3. Anjurkan melapor jika menemukan/ merasakan
Indikator Skor Skor tanda dan gejala awal syok
awal yang 4. Anjurkan memperbanyak asupan caiarn oral
ingin 5. Anjurkan menghinadri alergen
dicapai Kolaborasi
Akral dingin 3 5 1. Kolaborasi pemberian IV
Pucat 3 5 2. Kolaborasi pemberian transfusi darah
Keterangan : 3. Kolaborasi pemberian antiinflamasi
1 = meningkat
2 = cukup meningkat
3 = sedang
4 = cukup menurun
5 = menurun
34
1.4 Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah tahap ketika perawat mengimplementasikan intervensi
keperawatan yang telah disusun. Berdasarkan Standar Asuhan Keperawatan
Indonesia (SIKI) implementasi keperawatan terdiri dari melakukan tindakan dan
dokumentasi tindakan. Perawat melaksanakan atau mendelegasikan tindakan
keperawatan dan mengakhiri tahap implementasi dengan mencatat tindakan
keperawatan dan respons klien terhadap tindakan tersebut (Hutagol, 2017).
35
1.6 Discharge Planning
Discharge planning merupakan sebuah layanan guna mempersiapkan pasien
untuk mendapatkan kontinuitas perawatan, baik dalam proses penyembuhan
maupun dalam upaya mempertahankan derajat kesehatan sampai pasien siap
kembali ke lingkungan. Discharge planning penting dilakukan pada pasien gagal
ginjal kronik untuk meningkatkan kepatuhan pasien terkait dengan pengobatan
gagal ginjal kronik. Beberapa proses pelaksanaan discharge planning yang harus
dilakukan adalah pengkajian tentang kebutuhan pelayanan kesehatan, pengkajian
kebutuhan pendidikan kesehatan untuk pasien dan keluarga, dan pengkajian
faktor-faktor lingkungan di rumah yang dapat mengganggu perawatan diri.
Discharge planning post operasi Burst Frakturdapat membantu kondisi pasien
sejak di rumah sakit sampai dengan pasien kembali pulang ke rumah sehingga
kondisi respondenpun terpantau (Rahayu dkk, 2018). Pada discharge planning
post operasi Burst Fraktur perawat perlu memberikan informasi terkait hak-hal
sebagai berikut :
b. Manajemen nutrisi yang baik seperti konsumsi makanan yang tinggi protein,
tinggi kalsium dan vitamin D. Kebutuhan nutrisi pasien sangat dibutuhkan
karena dapat memperbaiki kondisi pada tulang dan mampu mempercepat
masa penyembuhan luka
c. Menganjurkan kepatuhan terhadap konsumsi obat
d. Pentingnya melakukan mobilisasi dini sesuai kemampuan dan melakukan
latihan range of motion (ROM)
e. Menganjurkan untuk melakukan perawatan luka untuk mencegah terjadinya
infeksi
f. Melakukan manajemen nyeri melalui teknik relaksasi, misalnya terapi musik
dan teknik napas dalam
g. Penggunaan alat bantu mobilisasi dalam aktivitas sehari-hari
h. Menghindari aktivitas berat dan mengangkat beban berat
i. Melakukan kontrol kesehatan untuk memantau perkembangan kondisi pasien
36
Sedangkan untuk merawat gips pada fraktur dapat dilakukan dengan
mencegah gips basah, menghindari memotong gips, menjauhkan gips dari benda
asing seperti koin, memposisikan gips lebih tinggi dari dada untuk mengurangi
edema, enghindari tahanan beban berat pada gips. Setelah gips dilepas pasien
harus melakukan latihan gerak secara bertahap, menjaga kebersihan kulit dan
mengindari menggaruk kulit, menggosok kulit. Jika terdapat cairan maka dapat
dikeringkan dengan kertas hisap.
37
BAB III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Burst fraktur adalah jenis cedera tulang belakang traumatis di mana tulang
belakang patah karena beban aksial berenergi tinggi (misalnya, tabrakan lalu lintas
atau jatuh dari ketinggian atau kecepatan tinggi, dan beberapa jenis kejang),
dengan pecahan tulang belakang menembus sekitarnya. jaringan dan terkadang
kanal tulang belakang Fraktur pecah dikategorikan oleh keparahan kelainan
bentuk, tingkat keparahan kompromi kanal (tulang belakang), tingkat hilangnya
tinggi badan vertebra, dan tingkat defisit neurologis burst fraktur dianggap lebih
parah daripada kompresi patah tulang karena kerusakan saraf jangka panjang
3.2 Saran
a. Bagi Rumah Sakit
Di harapkan dari pihak Rumah Sakit memberikan pendidikan dan pelatihan
secara berkala, khususnya mengenai metode pelayanan terkini pada pasien
dengan kasus-kasus keperawatan gawat darurat, untuk meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan dari tenaga keperawatan.
b. Bagi Bidang Akademik
Penyediaan kualitas tenaga dosen yang professional serta fasilitas belajar
mengajar perlu untuk ditingkatkan agar menghasilkan lulusan yang
berkualitas.
c. Pasien dan keluarga
Pasien dan keluarga dapat bersikap lebih kooperatif dan mampu bekerjasama
dengan tim kesehatan dalam penanganan dan proses.
d. Bagi penulis selanjutnya
Diharapkan dimasa yang akan datang dapat digunakan sebagai salah satu
sumber data untuk penulisan laporan pendahuluan tentang fraktur kompresi
lumbal.
38
DAFTAR PUSTAKA
39