Anda di halaman 1dari 69

MAKALAH

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH 3


“Fraktur dan Dislokasi”

Fasilitator:

Iis Noventy, S.Kep., Ns., M.Kep

Nama Kelompok:

1. Auwaliyatun Tasmiyah (1130017099)


2. Andriawan (1130017100)
3. Mita Hani Fadilah (1130017165)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN

UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA

2019
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan


rahmat dan hidayah-Nya yang tiada terkira, sehingga penyusun dapat
menyelesaikan makalah dengan judul “Fraktur dan Dislokasi”. Selama pembuatan
makalah ini penulis memperoleh banyak bantuan dari berbagai sumber, untuk itu
kami mengucapkan terima kasih kepada ibu pembimbing yakni Ibu IIs Noventy,
S.Kep., Ns., M.Kep yang telah memberikan dukungan dan kepercayaan yang
begitu besar. Disanalah semua kesuksesan ini berawal, semoga semua ini bisa
memberikan sedikit kebahagiaan menuntun pada langkah yang lebih baik lagi.

Dalam penulisan ini penyusun menyadari bahwa masih banyak kekeliruhan


dan masih sangat sederhana, karena pengetahuan penyusun masih kurang. Untuk
itu dengan adanya kekurangan tersebut penyusun mohon maaf. Penyusun sangat
berharap saran dan kritik yang bersifat membangun dan bisa digunakan untuk
perbaikan dimasa mendatang.

Akhir kata kami berharap makalah ini menambah pengetahuan dan


pengalaman bagi para pembaca dan bagi para penyusun khususnya.

Surabaya, 19 September 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... ii

DAFTAR ISI .................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1

1.1 Latar Belakang ............................................................................. 1


1.2 Rumusan Masalah ........................................................................ 2
1.3 Tujuan ........................................................................................... 3

BAB II TINJAUAN TEORI ......................................................................... 4

2.1 Anatomi dan Fisiologi .................................................................. 4


2.2 Definisi Fraktur dan Dislokasi ..................................................... 17
2.3 Etiologi Fraktur dan Dislokasi ..................................................... 18
2.4 Manifestasi Fraktur dan Dislokasi ................................................ 19
2.5 Klasifikasi Fraktur dan Dislokasi ................................................. 21
2.6 Patofisiologi Fraktur dan Dislokasi .............................................. 23
2.7 WOC Fraktur dan Dislokasi ......................................................... 25
2.8 Pemeriksaan Penunjang Fraktur dan Dislokasi ............................ 27
2.9 Penatalaksanaan Fraktur dan Dislokasi ........................................ 30
2.10 Komplikasi Fraktur dan Dislokasi ................................................ 35

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN ........................................................ 38

3.1 Asuhan Keperawatan Teori .......................................................... 38


3.2 Asuhan Keperawatan Kasus ......................................................... 51

BAB IV PENUTUP ....................................................................................... 62

4.1 Kesimpulan ................................................................................... 62


4.2 Saran ............................................................................................. 63

MATRIKS JURNAL .................................................................................... 64

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 65

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sistem muskuloskeletal meliputi tulang, persendian, otot, tendon, dan
bursa. Masalah yang berhubungan dengan struktur ini sangat sering terjadi
dan mengenai semua kelompok usia. Masalah sistem muskuloskeletal
biasanya tidak mengancam jiwa, namun mempunyai dampak yang bermakna
terhadap aktivitas dan produktivitas penderita.Masalah tersebut dapat
dijumpai di segala bidang praktik keperawatan, serta dalam pengalaman
hidup sehari-hari dan salah satu permasalahan mengenai sistem
muskuloskeletal yang sering terjadi adalah fraktur.
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, lempeng epiphyseal atau
permukaan rawan sendi. Karena tulang dikelilingi oleh struktur jaringan
lunak, tekanan fisik menyebabkan terjadinya fraktur, dan tekanan fisik juga
menimbulkan pergeseran mendadak pada fragmen fraktur yang selalu
menghasilkan cedera jaringan lunak disekitarnya. Hal ini bisa disebabkan
karena trauma tunggal, trauma yang berulang-ulang, kelemahan pada tulang
atau fraktur patologik (Hardisman & Rizki, 2014).
Skeleta atau kerangka adalah rangkaian tulang yang mendukung dan
melindungi beberapa organ lunak, terutama dalam tengkorak dan panggul.
Kerangka juga berfungsi sebagai alat ungkit pada gerakan dan menyediakan
permukaan untuk kaitan otot-otot kerangka. Oleh karena itu fungsi tulang
yang sangat penting bagi tubuh kita, maka telah semestinya tulang harus
dijaga agar terhindar dari trauma atau benturan yang dapat mengakibatkan
terjadinya patah tulang atau dislokasi tulang. Bentuk kaku (rigid) dan kokoh
antara rangka yang membentuk tubuh dihubungkan oleh berbagai jenis sendi.
Adanya penghubung tersebut memungkinkan satu pergerakan antar tulang
yang demikian fleksibel dan hampir tanpa gesekan. Tulang dan sendi dipakai
untuk melindungi berbagai organ vital dibawahnya disamping fungsi
pergerakan atau perpindahan makhluk hidup, sendi merupakan suatu organ

1
yang kompleks dan tersusun atas berbagai komponen yang spesifik satu
dengan yang lainnya.
Dislokasi adalah terlepasnya kompresi jaringan tulang dari kesatuan
sendi. Dislokasi ini dapat hanya komponen tulangnya saja yang bergeser atau
terlepasnya seluruh komponen tulang dari tempat yang seharusnya (dari
mangkuk sendi). Seseorang yang tidak dapat mengatupkan mulutnya kembali
sehabis membuka mulutnya adalah sendi rahangnya terlepas dari tempatnya.
Dengan kata lain sendi rahangnya telah mengalami dislokasi. Dislokasi
berulang terjadi pada lebih dari 50% pasien yang berumur dibawah 25 tahun
dan pada sekitar 20% pasien yang lebih tua. Dislokasi terjadi saat ligament
memberikan jalan sedemikian rupa sehingga tulang berpindah dari posisinya
yang normal didalam sendi. Dislokasi dapat disebabkan oleh faktor penyakit
atau trauma karena dapatan atau karena sejak lahir atau kongenital (Brunner
& Suddarth, 2001).

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa definisi dari fraktur dan dislokasi?
2. Apa etiologi dari fraktur dan dislokasi?
3. Apa maniefestasi dari fraktur dan dislokasi?
4. Apa klasifikasi dari fraktur dan dislokasi?
5. Bagaimana patofisiologi dari fraktur dan dislokasi?
6. Bagaimana WOC dari fraktur dan dislokasi?
7. Apa pemeriksaan penunjang dari fraktur dan dislokasi?
8. Apa penatalaksanaan dari fraktur dan dislokasi?
9. Apa komplikasi dari fraktur dan dislokasi?
10. Bagaimana asuhan keperawatan dari fraktur?

2
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi dari fraktur dan dislokasi
2. Untuk mengetahui etiologi dari fraktur dan dislokasi
3. Untuk mengetahui maniefestasi dari fraktur dan dislokasi
4. Untuk mengetahui klasifikasi dari fraktur dan dislokasi
5. Untuk mengetahui patofisiologi dari fraktur dan dislokasi
6. Untuk mengetahui WOC dari fraktur dan dislokasi
7. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang dari fraktur dan dislokasi
8. Untuk mengetahui penatalaksanaan dari fraktur dan dislokasi
9. Untuk mengetahui komplikasi dari fraktur dan dislokasi
10. Untuk mengetahui asuhan keperawatan dari fraktur

3
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Anatomi dan Fisiologi


Skeleta atau kerangka adalah rangkaian tulang yang mendukung dan
melindungi beberapa organ lunak, terutama dalam tengkorak dan panggul.
Kerangka merupakan salah satu unsur sistem penegak dan penggerak tulang-
tulang manusia dihubungkan satu dengan yang lain melalui persendian
sehingga terbentuk sistem lokomotor pasif. Rangka manusia tersusun dari
206 tulang yang dipersambungkan oleh persendian yang terdiri dari:
1. Tengkorak otak (neurokranial) 8 buah
2. Tengkorak wajah (splanknokranial) 14 buah
3. Tulang telinga dalam 6 buah
4. Tulang lidah 1 buah
5. Tulang kerangka dada 25 buah
6. Tulang belakang dan gelang panggul 26 buah
7. Tulang anggota gerak atas 64 buah
8. Tulang anggota gerak bawah 62 buah

Struktur tulang dan jaringan ikat menyusun kurang lebih 25% berat
badan, dan otot menyusun kurang lebih 50%. Kesehatan dan baiknya fungsi
sistem musculoskeletal sangat bergantung pada sistem tubuh yang lain.
Struktur tulang memberi perlindungan terhadap organ vital, termasuk otak,
jantung, dan paru. Kerangka tulang merupakan kerangka yang kuat untuk
menyangga struktur tubuh. Otot yang melekat ke tulang memungkinkan
tubuh bergerak. Matriks tulang menyimpan kalsium, fosfor, magnesium dan
fluor. Lebih dari 99% kalsium tubuh total terdapat dalam tulang. Sumsum
tulang merah yang terletak dalam rongga tulang menghasilkan sel darah
merah dan putih dalam proses yang dinamakan hematopoiesis. Kontraksi otot
menghasilkan suatu usaha mekanik untuk gerakan maupun produksi panas
untuk mempertahankan temperatur tubuh.

4
2.1.1 Klasifikasi tulang

Tulang-tulang kerangka diklasifikasikan sesuai dengan bentuk


dan formasinya.

1. Tulang panjang atau tulang pipa


Tulang panjang disusun untuk menyangga berat badan atau
gerakan, terutama dijumpai dalam anggota gerak. Setiap tulang
panjang terdiri atas bagian batang dan dua bagian ujung. Di bagian
tengah tulang panjang terdapat diafise dan kedua ujungnya disebut
epifise.Ujung tulang dilapisi oleh tulang rawan yang memudahkan
gerakan. Sendi rawan ini disebut kartilago artikulasio (rawan sendi).
Permukaan luar tulang dibungkus oleh selaput tulang yang disebut
periosteum yang sifatnya menyerupai jaringan ikat. Jika tulang
dibelah secara memanjang, pada bagian diafise terdapat lubang yang
menyerupai pipa, dinding bagian dalam pipa dilapisi oleh substansia
yang rapat atau padat, dan bagian ujung tulang substansia makin
tipis. Pada bagian epifise tulang ini terdapat banyak lubang kecil
yang menyerupai bunga karang yang disebut spongeosa. Pada
lubang bagian dalam diafise terdapat ruang yang disebut kavum

5
medulla yang berisi sumsum tulang kuning (medulaosseum plava)
dan pada lubang substansia spongeosa terdapat sumsum merah
(medula osseum rubra) permukaan dalam substansia kompakta
diliputi oleh selaput tipis yang disebut endosteum.

2. Tulang pendek
Contoh yang baik dapat dilihat pada tulang-tulang karpalia di
tangan dan tarsalia di kaki. Terdiri dari tulang kanselus ditutupi
selapis tulang kompak. Tulang-tulang itu sebagian besar terbuat dari
jaringan tulang jarang karena memerlukan sifat yang ringan dan
kuat. Tulang-tulang ini diselubungi jaringan padat tipis. Kerana
kuatnya tulang pendek mampu mendukung seperti tampak pada
pergelangan tangan.

6
3. Tulang pipih
Merupakan tempat penting untuk hematopoiesis dan sering
memberikan perlindungan bagi organ vital, contoh sternum. Tulang
pipih tersusun dari tulang kenselus diantara dua tulang kompak dan
terdiri dari dua lapisan jaringan tulang keras dengan di tengahnya
lapisan tulang seperti spons. Tulang ini dijumpai di tempat yang
memerlukan perlindungan, sperti pada tulang tengkorak, tulang
inominata, tulang panggul atau koksa, iga-iga, dan skapula (tulang
belikat). Tulang pipih menyediakan permukaan luas untuk kaitan
otot-otot, misalnya skapula.

4. Tulang tak beraturan


Contoh tulang tidak beraturan adalah vertebra dan tulang
wajah. Tulang tak beraturan mempunyai bentuk yang unik sesuai
dengan fungsinya. Secara umum struktur tulang tak berarturan sama
dengan tulang pipih.

7
5. Tulang sesamoid
Tulang sesamoid termasuk dalam kelompok lain. tulang ini
berkembang dalam tendon otot-otot dan dijumpai di dekat sendi.
Patela adalah contoh tulang yang terbesar pada jenis ini.

2.1.2 Pembentukan Tulang


Perkembangan tulang berasal dari jenis perkembangan membran
dan perkembangan kartilago. Proses peletakkan jaringan tulang
(histogenesis) disebut osifikasi (penulangan). Jika hal ini terjadi dalam
bentuk model selaput, dinamakan penulangan intramembranosa dan
tulang yang dibentuk dinamakan tulang membrane atau tulang dermal
karena tulang ini berasal dari suatu membran.
Tulang-tulang endokondral (tulang kartilago) merupakan tulang
yang berkembang. Penulangan ini dinamakan penulangan
intrakartilaginosa (penulangan tidak langsung). Jenis-jenis penulangan
intramembranosa merupakan suatu proses yang mendesak, sedangkan
jenis penulangan intrakartilaginosa merupakan proses yang berjalan
perlahan.
Dalam proses pertumbuhan dan pembentukan tulang ada dua
macam proses:
1. Osifikasi endokondral: Setelah terbentuknya epifise yang masih
dalam keadaan tulang rawan, pertumbuhan tulang ini ditandai
dengan pertumbuhan tulang rawan dan degenerasi dalam epifise.
2. Osifikasi membrane: Proses integrasi seluler pembentukan tulang
baru di atas permukaan korteks yang telah dibentuk terlebih dahulu
pada saat terjadinya proses resorpsi tulang.

8
Kedua cara ini berlangsung secara stimulant. Proses pertama
terjadi resorpsi matriksnya dan proses kedua berlangsung pelarutan
hidroksiapatik diikuti terbebasnya garam kalsium fosfat. Faktor yang
paling berperan adalah osteoklas yang dikenal sebagai pembuang
tulang (sel perusak tulang) yang mempunyai kemampuan fagosit dan
dapat menyebabkan terjadinya depolimerisasi atau dibebaskannya
garam-garam dan asam fosforik pada tulang yang berakibat larutnya
atau dibebaskannya kalsium dalam tulang.

Zat lain yang mempunyai kaitan dengan metabolisme tulang


adalah asam sitrat. Kadar asam sitrat didapati lebih tinggi di area
korteks defiase dari tulang panjang. Bahan organik yang cukup penting
dalam pertumbuhan tulang adalah glikogen. Glikogen merupakan
bagian dari tulang rawan dan tulang yang sedang tumbuh. Bila dalam
suatu proses kalsifikasi glikogen ditiadakan atau keaktifannya dicegah
maka proses kalsifikasi akan terhenti.

Awal pembentukan tulang terjadi pada bagian tengah dari suatu


tulang disebut pusat penulangan primer. Selanjutnya terjadi penulangan
sekunder. Pusat primer timbul sangat dini pada kehidupan janin. Hal ini
terjadi akibat perangsangan genetik. Pusat penulangan sekunder tampak
pada ujung tulang panjang dan tulang besar selalu tampak setelah
kelahiran. Perangsangan pusat sekunder dilaksanakan oleh tekanan atau
tarikan ujung-ujung tulang.

Bila anak sudah mulai bergerak, tekanan pada sendi terjadi pada
ujung sendi yang menimbulkan tarikan tendon pada tempat terjadinya
tarikan. Hal ini paling banyak pada masa pubertas dan hanya sedikit
pada usia 20 tahun.

Epifise bersatu dengan diafise terjadi pada usia 18-20 tahun. Pusat
epifise (pusat penulangan sekunder) akan menyatu dengan diafise.
Pertumbuhan berjalan terus selama beberapa tahun setelah
pertumbuhan pada ujung tulang yang lain berhenti.

9
Pada bagian yang paling ujung dari epifise tersisa selapis tulang
rawan hialin yang tidak menjadi tulang keras tetapi selalu tampak
sebagai rawan persendian. Ini tidak dibungkus oleh selaput apapun, dan
merupakan suatu permukaan yang licin untuk pembentukan sendi-sendi
sinoval.

2.1.3 Faktor pertumbuhan tulang


Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tulang:
1. Herediter (genetik): Tinggi badan anak secara umum bergantung
pada orang tua. Anak-anak dari orang tua yang tinggi biasanya
mempunyai badan yang tinggi juga.
2. Faktor nutrisi: Suplai bahan makanan yang mengandung kalsium,
fosfat, protein, vitamin A, C dan D penting untuk regenerasi
pertumbuhan tulang serta untuk memelihara rangka yang sehat.
3. Faktor-faktor endokrin:
a. Hormon paratiroid (PTH): Kadar kalsium darah merangsang
terjadinya sekresi PTH.
b. Tirokalsitonin: Hormon yang dihasilkan oleh sel-sel parafolikuler
kelenjar tiroid, menghambat resorpsi tulang.
c. Growth hormone (hormon pertumbuhan) yang dihasilkan
hipofise anterior penting untuk poliferasi normal rawan
epifisealis sehingga memelihara tinggi badan normal seseorang.
d. Tiroksin: Bertanggung jawab untuk pertumbuhan tulang yang
layak, remodeling tulang, dan kematangan tulang.
4. Faktor persarafan, gangguan suplai persarafan mengakibatkan
penipisan tulang seperti yang terlihat pada kelainan poliomieletis.

10
5. Faktor mekanis, kekuatan dan arah dari tuberkula tulang ditentukan
oleh gaya-gaya mekanis yang bekerja padanya.
6. Penyakit-penyakit mempunyai pengaruh yang kurang baik terhadap
pertumbuhan tulang.
2.1.4 Fungsi Tulang
Fungsi tulang secara umum:
1. Formasi kerangka: tulang-tulang membentuk rangka tubuh untuk
menentukan bentuk dan ukuran tubuh. Tulang-tulang menyokong
struktur tubuh yang lain.
2. Formasi sendi: tulang-tulang membentuk persendian yang bergerak
dan tidak bergerak bergantung pada kebutuhan fungsional. Sendi
yang bergerak menghasilkan bermacam-macam pergerakan.

3. Perlekatan otot: tulang-tulang menyediakan permukaan untuk


tempat melekatnya otot, tendon dan ligamentum.
4. Sebagai pengungkit: untuk bermacam-macam aktivitas pergerakan.
5. Menyokong berat badan: memelihara sikap tegak tubuh manusia dan
menahan gaya tarikan dan gaya tekanan yang terjadi pada tulang
sehingga dapat menjadi kaku atau lentur.
6. Proteksi: tulang yang membentuk rongga yang mengandung dan
melindungi struktur-struktur yang halus seperti otak, medula
spinalis, jantung, paru, alat-alat dalam perut dan panggul.
7. Hemopoiesis: sumsum tulang tempat pembentukan sel-sel darah.
8. Fungsi imunologi: limfosit “B” dan makrofag-makrofag dibentuk
dalam sistem retikuloendotel sumsum tulang. Limfosit B diubah

11
menjadi sel-sel plasma membentuk antibody guna keperluan dan
kekebalan kimiawi, sedangkan makrofag merupakan fagositotik.
9. Penyimpanan kalsium: tulang mengandung 97% kalsium yang
terdapat dala tubuh baik baik dalam bentuk anorganik maupun
garam-garam terutama kalsium fosfat. Sebagian besar fosfor
disimpan dalam tulang dan kalsium dipelas dalam darah bila
dibutuhkan.
Fungsi tulang secara khusus:
1. Sinus-sinus paranasalis dapat menimbulkan nada khusus pada suara.
2. Email gigi di khususkan untuk memotong, menggigit, dan menggilas
makanan. Email merupakan struktur yang terkuat dari tubuh
manusia.
3. Tulang-tulang kecil telinga dalam mengonduksi gelombang suara
untuk fungsi pendengaran.
4. Panggul wanita dikhususkan untuk memudahkan proses kelahiran
bayi.
2.1.5 Penyembuhan Tulang
Kebanyakan patah tulang sembuh melalui osifikasi endokondral.
Ketika tulang mengalami cedera, fragmen tulang tidak hanya ditambal
dengan jaringan parut, namun tulang mengalami regenerasi sendiri.
Ada beberapa tahapan dalam penyembuhan tulang:
1. Inflamasi
Dengan adanya patah tulang, tubuh mengalami proses yang sama
dengan bila ada cedera di lain tempat tubuh. Terjadi perdarahan
dalam jaringan yang cedera dan terjadi pembentukan hematoma
pada tempat patah tulang. Ujung fragmen tulang mengalami
devitalisasi karena terputusnya pasokan darah tempat cedera
kemudian akan diinvasi oleh makrofag (sel darah putih besar), yang
akan membersihkan daerah tersebut. Terjadi inflamasi,
pembengkakan, dan nyeri. Tahap inflamasi berlangsung beberapa
hari dan hilang dengan berkurangnya pembengkakan dan nyeri.

12
2. Proliferasi sel
Dalam sekitar 5 hari, hematoma akan mengalami organisasi.
Terbentuk benang-benang fibrin dalam jendalan darah, membentuk
jaringan untuk revaskularisasi, dan invasi fibroblast dan osteoblast.
Fibroblast dan osteoblast (berkembang dari osteosit, sel endostel,
dan sel periosteum) akan menghasilkan kolagen dan proteoglikan
sebagai matriks kolagen pada patahan tulang. Terbentuk jaringan
ikat fibrus dan tulang rawan (osteoid). Dari periosteum, tampak
pertumbuhan melingkar. Kalus tulang rawan tersebut dirangsang
oleh gerakan mikro minimal pada tempat patah tulang. Tetapi,
gerakan yang berlebihan akan merusak struktur kalus. Tulang yang
sedang aktif tumbuh menunjukkan potensial elektronegatif.
3. Pembentukan kalus
Pertumbuhan jaringan berlanjut dan lingkaran tulang rawan tumbuh
mencapai sisi lain sampai celah sudah terhubungkan. Fragmen
patahan tulang digabungkan dengan jaringan fibrus, tulang rawan
dan tulang serat imatur. Bentuk kalus dan volume yang dibutuhkan
untuk menghubungkan defek secara langsung berhubungan dengan
jumlah kerusakan dan pergeseran tulang. Perlu waktu 3 sampai 4
minggu agar fragmen tulang tergabung dalam tulang rawan atau
jaringan fibrus. Secara klinis, fragmen tulang tak bisa lagi digerakan.
4. Penulangan kalus (Osifikasi)
Pembentukan kalus mulai mengalami penulangan dalam 2 sampai 3
minggu patah tulang melalui proses penulangan endokondral.
Mineral terus-menerus ditimbun sampai tulang benar-benar telah
bersatu dengan keras. Permukaan kalus tetap bersifat elektronegatif.
Pada patah tulang panjang orang dewasa normal, penulangan
membutuhkan waktu 3 sampai 4 bulan.
5. Remodeling
Tahap akhir perbaikan patah tulang meliputi pengambilan jaringan
mati dan reorganisasi tulang baru ke susunan struktural sebelumnya.
Remodeling membutuhkan waktu berbulan-bulan sampai bertahun-

13
tahun tergantung beratnya modifikasi tulang yang dibutuhkan,
fungsi tulang dan pada kasus yang melibatkan tulang kompak dan
kanselus stress fungsional pada tulang. Tulang kanselus mengalami
penyembuhan dan remodeling lebih cepat dari pada tulang kortikal
kompak, khususnya pada titik kontak langsung. Ketika remodeling
telah sempurna, muatan permukaan patah tulang tidak lagi negatif.

Proses penyembuhan tulang dapat dipantau dengan


pemeriksaan seri sinar-x. Imobilisasi harus memadai sampai tampak
tanda-tanda adanya kalus pada gambaran sinar-x. Kemajuan
pemograman terapi (dalam hal ini pemasangan gips pada pasien
yang mengalami patah tulang femur telah ditinggalkan dan
diimobilisasi dengan traksi skelet) ditentukan dengan adanya bukti
penyembuhan pada tulang.
2.1.6 Faktor Penyembuhan Fraktur
Terdapat beberapa faktor yang bisa menentukan lama
penyembuhan fraktur. Setiap faktor akan memberikan pengaruh
penting terhadap proses penyembuhan. Faktor yang bisa menurunkan
proses penyembuhan fraktur pada pasien harus dikenali sebagai
parameter dasar untuk pemberian intervensi selanjutnya yang lebih
komperhensif. Penyembuhan fraktur berkisar antara 3 minggu sampai
4 bulan. Walaupun penyembuhan pada anak secara kasar separuh waktu
penyembuhan dari pada dewasa. Berikut faktor-faktor penyembuhan
fraktur.

14
1. Umur penderita
Waktu penyembuhan tulang pada anak-anak jauh lebih cepat dari
pada orang dewasa. Hal ini terutama disebabkan karena aktivitas
proses osteogenesis pada periosteum dan endosteum, serta proses
remodeling tulang. Pada bayi proses penyembuhan sangat cepat
dan aktif, namun kemampuan ini makin berkurang apabila umur
bertambah.
2. Lokalisasi dan konfigurasi fraktur
Lokalisasi fraktur memegang peran penting. Fraktur metafisis
penyembuhannya lebih cepat dari pada diafisis. Disamping itu
konfigurasi fraktur seperti fraktur transversal lebih lambat
penyembuhannya dibandingan dengan fraktur oblik karena kontak
yang lebih banyak.
3. Pergeseran awal fraktur
Pada fraktur yang tidak bergeser dimana periosteum tidak bergeser,
maka penyembuhan dua kali lebih cepat dibandingkan pada fraktur
yang bergeser.
4. Vaskularisasi pada kedua fragmen
Apabila kedua frakmen mempunyai vaskularisasi yang baik, maka
penyembuhan biasanya tanpa komplikasi. Namun, apabilah salah
satu sisi fraktur vaskularisasinya buruk, maka akan menghambat
atau bahkan tidak terjadi tautan yang dikenal dengan non-union.
5. Reduksi serta imobilisasi
Reposisi fraktur akan memberikan kemungkinan untuk
vaskularisasi yang lebih baik dalam bentuk asalnya. Imobilisasi
yang sempurna akan mencegah pergerakan dan kerusakan
pembuluh darah yang akan mengganggu dalam penyembuhan
fraktur.
6. Waktu imobilisasi
Jika imobilisasi tidak dilakukan sesuai waktu penyembuhan
sebelumnya terjadi tautan (union), maka kemungkinan terjadi non-
union sangat besar.

15
7. Ruangan diantara kedua fragmen serta interposisi oleh jaringan
lunak
Jika ditemukan interposisi jaringan baik berupa periosteum
maupun otot atau jaringan fibrosa lainnya, maka akan menghambat
vaskularisasi kedua ujung fraktur.
8. Faktor adanya infeksi dan keganasan lokal
Infeksi dan keganasa akan memperpanjang proses inflamasi lokal
yang akan menghambat proses penyembuhan dari fraktur.
9. Cairan sinovia
Pada persendian, di mana terdapat cairan sinovia merupakan
hambatan dalam penyembuhan fraktur.
10. Gerakan aktif dan pasif anggota gerak
Gerakan aktif dan pasif pada anggota gerak akan meningkatkan
vaskularisasi daerah fraktur, tetapi gerakan yang dilakukan pada
daerah fraktur tanpa imobilisasi yang baik juga akan mengganggu
vaskularisasi.
11. Nutrisi
Asupan nutrisi yang optimal dapat memberikan suplai kebutuhan
protein untuk proses perbaikan. Pertumbuhan tulang menjadi lebih
dinamis bila ditunjang dengan supan nutrisi yang optimal.
12. Vitamin D
Vitamin D memengaruhi deposisi dan absorpsi tulang. Vitamin D
dalam jumlah besar dapat menyabbkan absorpsi tulang seperti yang
terlihat pada kadar hormon paratiroid yang tinggi. Vitamin D
dalam jumlah yang sedikit akan membantu klasifikasi tulang
(membantu kerja hormon paratiroid), antara lain dengan
meningkatkan absorpsi kalsium dan fosfat oleh usus halus
(Syaifuddin, 2014).

16
2.2 Definisi Fraktur dan Dislokasi
2.2.1 Definisi fraktur
Fraktur adalah gangguan komplet atau tak-komplet pada
kontinuitas struktur tulang dan difinisikan sesuai dengan jenis dan
keluasannya. Fraktur terjadi ketika tulang menjadi subek tekanan yang
lebih besar dari yang dapat diserapnya. Fraktur dapat disebabkan oleh
hantaman langsung, kekuatan yang meremukkan, gerakan memuntir
mendadak, atau bahkan karena kontraksi otot yang ekstrim. ketika
tulang patah, struktur disekitarnya juga terganggu, menyebabkan
edema jaringan lunak, hemoragi ke otot dank e sendi, dislokasi sendi,
rupture tendon, gangguan syaraf, dan kerusakan pembuluh darah.
Organ tubuh dapat terluka akibat gaya yang disebabkan oleh fraktur aau
oleh fragmen fraktur (suzanne & Brenda, 2015).
Fraktur adalah kerusakan kontinuitas tulang, yang dapat bersifat
komplet dan (in-komplet diseluruh tulang, dengan dua ujung tulang
terpisah) atau (patah sebagian atau pecah) (Hurst, 2016).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang
umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Zairin. 2012).
2.2.2 Definisi dislokasi
Dislokasi adalah perubahan dalam posisi sendi. Cedera ini
disebabkan oleh suatu gaya akut yang mengenali ligamen atau tendon
dari proses jatuh, tumbukan, atau kontraksi otot yang kuat. Setelah
terjadi dislokasi sering merasakan nyeri yang semakin berat saat
berusaha bergerak. Sangat mungkin ditemukan pembengkakan
disekitar atau dibawah sendi, bersama dengan kehilangan fungsi yang
komplet atau sebagian dan kemungkinan adanya deformitas yang dapat
mengubah panjang dari tungkai (Joyce & Jane, 2014).

17
2.3 Etiologi Fraktur dan Dislokasi
2.3.1 Etiologi fraktur
1. Cedera traumatic mendadak: pukulan, tekanan, pentiran langsung
yang mendadak.
2. Cedera stress atau penggunaan berlebihan, seperti yang terjadi pada
kaki pemain basket dan tulang kering pada pelari.
3. Patologi atau gangguan tulang yang melemahkan integritas tulang :
infeksi, kista, tumor, osteoporosis, penyakit paget, dan penggunaan
inhibitor, proton atau steroid (Hurst, 2016).
2.3.2 Etiologi dislokasi
1. Cedera olahraga
Olahraga yang biasa menyebabkan dislokasi adalah sepak bola dan
hoki serta olahraga yang beresiko jatuh, misalnya: terperosok akibat
bermain ski, senam, volley. Pemain basket dan pemain sepak bola
paling sering mengalami dislokasi pada tangan dan jari-jari karena
secara tidak sengaja menangkap bola dari pemain lain.
2. Trauma yang tidak berhubungan dengan olahraga
3. Benturan keras pada sendi saat kecelakaan motor biasanya
menyebabkan dislokasi.
4. Terjatuh
a. Terjatuh dari tangga.
b. Faktor predisposisi (pengaturan posisi).
c. Akibat kelainan pertumbuhan sejak lahir.
d. Trauma akibat kecelakaan.
e. Trauma akibat kecelakaan.
f. Terjadi infeksi di sekitar sendi (Wahid, 2013).

18
2.4 Maniefestasi Fraktur dan Dislokasi
2.4.1 Maniefestasi fraktur
Adapun tanda dan gejala klinis dari fraktur yaitu :
1. Deformitas
Pembengkakan dari perdarahan lokal dapat menyebabkan
deformitas pada lokasi fraktur. Spasme otot dapat menyebabkan
pemenddekan tungkai, deformitas rotasional, atau angulasi.
Dibandingkan sisi yang sehat, lokasi fraktur dapat memiliki
deformitas yang nyata.
2. Pembengkakan
Edema dapat muncul segera, sebagai akibat dari akumulasi cairan
serosa pada lokasi fraktur serta ekstravasasi darah ke jaringan
sekitar.
3. Memar (ekimosis)
Memar terjadi karena perdarahan subkutan pada lokasi fraktur.
4. Spasme otot
Sering mengiringi fraktur, spasme otot involuntar sebenarnya
berfungsi sebagai badai alami untuk mengurangi gerakan lebih lanjut
dari fragmen fraktur.
5. Nyeri
Jika secara neurologis masih baik, nyeri akan selalu mengiringi
fraktur, intensitas dan keparahan dari nyeri akan berbeda. Nyeri
biasanya terus-menerus, meningkat jika fraktur tidak diimobilisasi.
Hal ini terjadi karena spasme otot, fragmen fraktur yang bertindihan,
atau cedera pada struktur sekitarnya
6. Pemendekan ekstremitas
Spasme otot menarik tulang dari posisi kesejajarannya dan fragmen
tulang dapat menjadi dari sisi ke sisi, bukan sejajar ujung ke ujung.
7. Krepitus
Krepitus merupakan sensasi patahan atau suara yang berkaitan
dengan pergerakan fragmen tulang ketika saling bergesekan, yang

19
bahkan dapat menimbulkan trauma lebih besar pada jaringan,
pembuluh darah, dan syaraf.
8. Ketegangan
Ketegangan diatas lokasi fraktur disebabkan oleh cedera yang terjadi
9. Kehilangan fungsi
Hilangnya fungsi terjadi karena nyeri yang disebabkan fraktur atau
karena hilangnya fungsi pengungkit-lengan pada tungkai yang
terkena. Kelumpuhan juga dapat terjadi dari cedera syaraf.
10. Perubahan neurovaskular
Cedera neurovaskular terjadi akibat kerusakan syaraf perifer atau
struktur vaskular yang terkait. Dapat menimbulkan rasa kebas atau
kesemutan atau tidak teraba nadi pada daerah distal dari fraktur.
11. Syok
Fragmen tulang dapat merobek pembuluh darah. Perdarahan besar
atau tersembunyi dapat menyebabkan syok (Hurst, 2016) (Black &
Hawks, 2014).
2.4.2 Maniefestasi dislokasi
Nyeri terasa hebat. Pasien menyokong lengan itu dengan tangan
sebelahnya dan segan menerima pemeriksaan apa saja. Garis gambar
lateral bahu dapat rata dan kalau pasien tak terlalu berotot suatu
tonjolan dapat diraba tepat di bawah klavikula.
1. Nyeri
2. Perubahan kontur sendi
3. Perubahan panjang ekstremitas
4. Kehilangan mobilitas norma
5. Perubahan sumbu tulang yang mengalami dislokasi
6. Deformitas
7. Kekakuan (Wahid, 2013).

20
2.5 Klasifikasi Fraktur dan Dislokasi
2.5.1 Klasifikasi fraktur
1. Fraktur Komplet : patahb disekitar penampang tulang lintang, yang
sering kali tergeser
2. Fraktur in-komplet: disebut sebagai fraktur greenstick: patah terjadi
hanya pada sebagian dari penampang lintang tulang
3. Fraktur remuk (comminuted): patah dengan beberapa fragmen
tulang
4. Fraktur tertutup atau fraktur sederhana: tidak menyebabkan robekan
di kullit
5. Fraktur terbuka atau fraktur campuran/kompleks: patah dengan luka
pada kulit atau membrane mukosa meluas ke tulang yang fraktur.
Fraktur terbuka diberi peringkat sebagai berikut:
a. Derajat I: luka bersih sepanjang kurang dari 1 cm
b. Derajat II: luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang
luas
c. Derajat III: luka sangat terkontaminasi dan menyebabkan
kerusakan jaringan lunak yang luas (tipe paling berat)
6. Fraktur dapat juga dideskripsikan menurut penempatan fragmen
secara anatomik, terutama jika fraktur tergeser atau tidak tergeser
7. Fraktur intra-artikular meluas ke permukaan sendi tulang (Smeltzer,
2015).
2.5.2 Klasifikasi dislokasi
1. Klasifikasi dislokasi menurut penyebabnya (Smeltzer, 2015) di bagi
menjadi :
a. Dislokasi kongenital, terjadi sejak lahir akibat kesalahan
pertumbuhan, paling sering terlihat pada pinggul.
b. Dislokasi spontan atau patologi, akibat penyakit sebndi atau
jaringan sekitar sendi, mislnya tumor, infeksi atau osteoporosis
tulang. Ini disebabkan oleh kekuatan tulang yng berkurang.
c. Dislokasi traumatic, kedaruratan otropodi (pasokan darah,
susunan saraf rusak dan mengalami stres berat, kematian jaringan

21
akibat anoksia) akibat oedema (karena mengalami pengerasan).
Terjadi karena trauma yang kuat sehingga dapat mengeluarkan
tulang dari jaringan sekelilingnya dan mungkin juga merusak
struktur sendi, ligament, syaraf, dan sistem vaskular. Hal ini
kebanyakan terjadi pada orang dewasa.
2. Dislokasi berdasarkan kliniknya (Smeltzer, 2015) di bagi menjadi :
a. Dislokasi akut, umumnya terjadi pada shoulder, elbow, dan hip.
Disertai nyeri akut dan pembengkakan disekitar sendi.
b. Dislokasi berulang, jika suatu trauma dislokasi pada sendi iikuti
oleh frekuensi berulang. Umumnya terjadi pada shoulder jopint
dan patella femoral joint . dislokasi biasanya sering dikaitkan
dengan patah tulang / fraktur yang disebabkan oleh berpindahnya
ujung tulang yang patah oleh karena kuatnya trauma, tonus atau
kontraksi otot dan tarikan.
c. Dislokasi berdasarkan tempat terjadinya:
1) Dislokasi sendi rahang
Dislokasi sendi rahang dapat terjadi karena menguap atau
terlalu lebar da terkena pukulan keras ketika rahang sedang
terbuka, akibatnya penderita tidak dapat menutup mulutnya
kembali.
2) Dislokasi sendi bahu
Dislokasi ini di sebabkan karena danya pergeseran kaput
humerusdari sendi glenohumeral, berada di anterior dan
medial glenoid (dislokasi anterior) diposterior (dislokasi
posterior) dan di bawah glenoid (dislokasi inferior).
3) Dislokasi sendi siku
Cedera yang biasanya jatuh pada tangan yang dapat
menimbulkan dislokasi sendi siku ke arah posterior dengan
siku jelas berubah bentuk dengan kerusakan sambungan
tonjolan-tonjolan tulang siku.

22
4) Dislokasi sendi jari
Sendi jari mudah mengalami dislokasi dan apabila tidak segera
ditolong sendi tersebut akan menjadi kaku kelak. Sendi jari
dapat mengalami dislokasi ke arah telapak tangan atau
punggung tangan.
5) Dislokasi sendi metacarpophalangealdan interphalangeal
Merupakan dislokasi yang disebabkan oleh hiperekstensi –
ekstensi persendian.
6) Dislokasi panggul
Bergesernya caput femur dari sendi panggul, berada di
posterior dan atas acetabulum (dislokasi posterior), di anterior
acetabulum (dislokasi anterior) dan cput femurb menembus
acetabulum (dislokasi sentra).
7) Dislokasi patella
Paling sering terjadi e arah lateral, reduksi dicapai dengan
memberikan tekanan ke arah medial pada sisi lateral patella
sambil mengekstensikan lutut perlahan-lahan. Apabila
dislokasi dilakukan berulang-ulang di perlukan stabilisasi
secara bedah (Wahid, 2013).

2.6 Patofisiologi Fraktur dan Dislokasi


2.6.1 Patofisiologi fraktur
Keparahan dari fraktur bergantung pada gaya yang menyebabkan
fraktur. Jika ambang fraktur suatu tulang hanya sedikit terlewati, maka
tulang mungkin hanya retak saja dan bukan patah. Jika ganyanya sangat
ekstrem, seperti tabrakan mobil, maka tulang dapat pecah berkeping-
keping, saat terjadi fraktur, otot yang melekat pada ujung tulang dapat
terganggu. Otot dapat mengalami spasme dan menarik fragmen fraktur
keluar posisi. Kelompok otot yang besar dapat menciptakan spasme
yang kuat dan bahkan mampu menggeser tulang besar, seperti femur.
Walaupun bagian proksimal dari tulang patah tetap pada tempatnya,
namun bagian distal dapat bergeser karena gaya penyebab patah

23
maupun spasme pada otot-otot sekitar. Fragmen fraktur dapat bergeser
ke samping, pada suatu sudut (membentuk sudut), atau menimpa
segmen tulang lain. Fragmen juga dapat berotasi atau berputar.
Selain itu, periosteum dan pembuluh darah di korteks serta
sumsum dari tulang yang patah juga terganggu. Sering terjadi cedera
jaringan lunak. Perdarahan terjadi karena cidera jaringan lunak atau
cedera pada tulang itu sendiri. Pada saluran sumsum (medulla),
hematoma terjadi di antara fragmen-fragmen tulang dan di bawah
periosteum. Jaringan tulang disekitar lokasi fraktur akan mati dan
menciptakan respons peradangan yang hebat. Akan terjadi vasodilatasi,
edema, nyeri, kehilangan fungsi, eksudasi plasma dan leukosit, serta
infiltrasi sel darah putih. Respons patofisiologis ini juga merupakan
tahap awal dari penyembuhan tulang (Zairin. 2012).
2.6.2 Patofisiologi dislokasi
Dislokasi biasanya disebabkan oleh jatuh pada tangan .Humerus
terdorong kedepan ,merobek kapsul atau menyebabkan tepi glenoid
teravulsi.Kadang-kadang bagian posterolateral kaput hancur. Mesti
jarang prosesus akromium dapat mengungkit kaput ke bawah dan
menimbulkan luksasio erekta (dengan tangan mengarah, lengan ini
hampir selalu jatuh membawa kaput ke posisi dan bawah karakoid)
(Wahid, 2013).

24
2.7 WOC Fraktur dan Dislokasi
2.7.1 WOC Fraktur

Trauma
Fraktur

Perubahan Cedera sel Diskontuinitas Luka Reaksi


status frasgmen terbuka peradangan
kesehatan tulang

Degra Terapi Post Gang Edema


Lepasnya
Kurang nulasi restrict de’ guan
lipid pada
informasi sel if entri integ
sum-sum Penekanan
mast tulang kum ritas pada jaringan
an kulit vaskular
Kurang Gangg
Pelepa
pengetah uan
san Terabsorpsi Risiko
uan mobili
media masuk ke infeksi Penurunan
tas
tor aliran darah aliran darah
fisik
kimia
Oklusi
Emboli arteri paru Risiko
Nocice disfungsi
Korteks ptor
serebri
neurovaskular
Nekrosis
jaringan paru
Nyeri Medulla
spinalis
Luas permukaan
paru menurun

Gangguan
Penurunan
pertukaran
laju disfusi
gas

25
2.7.2 WOC Dislokasi

Cedera Olahraga Trauma Kecelakaan

Terlepasnya kompresi jaringan-jaringan tulang dari kesatuan sendi

Merusak struktur sendi, ligamen

Kompresi aringan tulang yang terdorong ke depan

Merobek kapsul/menyebabkan tepi glenoid teravulsi

ligament memberikan jalan

Tulang berpindah dari posisi yang normal

Dislokasi

Dislokasi Cedera jaringan Lunak Ekstermitas

Ketidakmampuan mengunyah Spasme Otot Hambatan Mobilitas Fisik

Ketidakseimbangan Nutrisi Nyeri akut

26
2.8 Pemeriksaan Penunjang Fraktur dan Dislokasi
2.8.1 Pemeriksaan penunjang fraktur
1. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik fraktur dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan
umum untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan lokal.
a. Gambaran umum
Pemeriksaan perlu memperhatikan pemeriksaan secara umum,
yang meliputi hal-hal sebagai beerikut :
1) Keadaan umum : baik atau buruknya yang dicatat adalah
tanda-tanda seperti berikut ini :
a) Kesadaran penderita : apatis, sopor, koma, gelisah,
komposmentis, tergantung pada keadaan pasien.
b) Kesakitan, keadaan penyakit : akut, kronik, ringan,
sedang, berat, dan pada kasus fraktur biasanya akut.
2) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik
fungsi maupun bentuk.
3) Pemeriksaan dari kepala ke ujung kaki atau tangan. Harus
diperhitungkan keadaan proksimal, serta bagian distal
terutama mengenai status neurovaskular.
b. Pemeriksaan lokal atau keadaan lokal
1) Look : perhatikan apa yang dapat dilihat, antara lain adanya
deformitas (seperti angulasi/membentuk sudut
rotasi/pemutaran, dan pemendekkan), jejas (tanda yang
menunjukkan bekas trauma), terlihat adanya tulang yang
keluar dari jaringan lunaknya, sikatrik (jaringan parut baik
yang alami maupun yang buatan seperti bekas operasi), warna
kulit, benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal
yang tidak biasa (abnormal), serta posisi dan bentuk dari
ekstremitas (deformitas). Adanya luka kulit, laserasi atau
abrasi dan perubahan warna dibagian distal luka
meningkatkan kecurigaan adanya fraktur terbuka. Pasien

27
diinstruksikan untuk menggerakkan bagian distal lesi,
bandingkan dengan sisi yang sehat.
2) Feel :pemeriksaan sangat penting memperhatikan respon
pasien pasien pada saat melakukan palpasi. Adanya respon
nyeri atau suatu ketidaknyamanan dari pasien menentukan
kedalaman dalam melakukan palpasi. Beberapa hal penting
diperiksa, meliputi suhu disekitar trauma, fluktuasi pada
pembengkakkan, nyeri tekan (tenderness), kreipitasi, catat
letak kelainan (1/3 proksimal, tengah, atau distal). Apabila
ada benjolan, maka sifat benjolan perlu dideskripsikan
permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atu
permukaannya nyeri atau tidak dan ukurannya.
Perhatian : jangan lakukan pemeriksaan yang sengaja untuk
mendapatkan bunyi krepitasi atau gerakan abnormal,
misalnya dengan meraba kuat sekali.
Status neurologis dan vaskular dibagian distalnya perlu
diperiksa. Lakukan palpasi pada daerah ekstremitas tempat
fraktur tersebut. Meliputi persendian diatas dan dibawah
cedera, daerah yang mengalami nyeri, efusi, dan krepitasi.
Neurovaskularisasi yang perlu diperhatikan pada bagian
distal fraktur, diantaranya : pulsasi arteri, warna kulit,
pengambilan cairan kapiler (Capillary refill test) dan
sensibilitas.
3) Move : pemeriksaan ini secara umum adalah untuk melihat
adanya gerakan abnormal ketika menggerakkan bagian yang
cedera, serta kemampuan gerak sendi (ROM). Pencatatan
lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan
sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan
ukuran derajat, dari tiapa arah pergerakan mulai dari titik 0
(posisi netral) ataua dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini
menentukkan apakah adanya gangguan gerak (mobilitas) atau
tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan pasif dan aktif.

28
2. Pemeriksaan diagnostik
a. Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan tes sensitifitas:
diakukan pada kondisi fraktur dengan komplikasi, pada kondisi
infeksi, maka biasanya didapatkan mikroorganisme penyebab
infeksi.
b. Biopsi tulang dan otot : pada intinya pemeriksaan ini sama
dengan pemeriksaan diatas, tetapi lebih diindikasikan bila terjadi
infeksi.
c. Elektromyografi : terdapat kerusakan konduksi saraf yang
diakibatkan fraktur.
d. Arthroscopy : didapatkan jaringan yang rusak atau sobek, trauma
yang berlebihan.
e. MRI : menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
f. Scan tulang, temogram, CT scan : memperlihatkan fraktur, juga
dapat digunakan untuk mengidentifikasi jaringan lunak (Zairin.
2012).
2.8.2 Pemeriksaan penunjang dislokasi
1. Sinar X (RONTGEN)
Pemeriksaan rontgen merupakan pemeriksaan diagnostic untuk
menegakkan diagnostic medis. Pada pasien dengan dislokasi sendi
ditemukan adanya pergeseran sendi dari mangkuk sendi dimana
tulang dan sendi berwarna putih.
2. CT scan
Pemeriksaan sinar X yang lebih canggih dengan bantuan computer,
sehingga memperoleh gambar yang lebih detail dan dapat dibuat
gambar secara 3 dimensi. Pada pasien dislokasi ditemukan gambar 3
dimensi dimana sendi tidak berada pada tempatnya.
3. MRI
MRI merupakan yang menggunakan gelombang magnet dan
frekuensi radio tanpa menggunakan sinar X atau bahan radio aktif,
sehingga dapat diperoleh gambaran tubuh (erutama jaringan lunak)
dengan lebih detail. Seperti halnya CT-Scan, pada pemeriksaan MRI

29
ditemukan adanya pergeseran sendi dari mangkuk sendi (Wahid,
2013).

2.9 Penatalaksanaan Fraktur dan Dislokasi


2.9.1 Penataksanaan fraktur
1. Penatalaksanaan fraktur tertutup
a. Informasikan pasien mengenai metode pengontrolan edema dan
nyeri yang tepat (misalnya: meninggikan ekstremitas setinggi
jantung, menggunakan analgesik sesuai resep)
b. Ajarkan latihan untuk mempertahankan kesehatan otot yang tidak
terganggu dan memperkuat otot yang diperlukan untuk berpindah
tempat dan untuk menggunakan alat bantu (misalnya: tongkat,
alat bantu berjalan atau walker)
c. Ajarkan pasien tentang cara menggunakan alat bantu dengan
aman
d. Bantu pasien memodifikasi lingkungan rumah merekasesuai
kebutuhan dan mencari bantuan personal jika diperlukan
e. Berikan pendidikan kesehatan kepada pasien mengenai
perawatan diri, informasi medikasi, pemantauan kemungkinan
komplikasi, dan perlunya supervisi layanan kesehatan yang
berkelanjutan
2. Penatalaksanaan fraktur terbuka
a. Sasaran penatalaksanaan adalah untuk mencegah infeksi luka,
jaringan lunak, dan tulang serta untuk meningkatkan pemulihan
tulang dan jaringan lunak. Pada kasus fraktur terbuka, terdapat
risiko osteomielitis, tetanus, dan gas gangrene
b. Berikan antibiotik IV dengan segera saat pasien tiba di rumah
sakit bersama dengan tetanus toksoid jika diperlukan
c. Lakukan irigasi luka dan debridemen
d. Tinggikan ekstremitas untuk meminimalkan edema
e. Kaji status neurovascular dengan sering

30
f. Ukur suhu tubuh pasien dalam interval teratur, dan pantau tanda-
tanda infeksi (Brunner & Suddarth, 2015).
3. Seluruh fraktur
a. Rekognisis/Pengenalan
Riwayat kejadian harus jelas untuk menentukan diagnosa dan
tindakan selanjutnya.
b. Reduksi
Adalah upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga
kembali seperti semula secara optimun. Selain itu, reduksi fraktur
(setting tulang) adalah mengembalikan fragmen tulang pada
kesejajaranya dan rotasi anatomis (Brunner,2001).
1. Reduksi Terutup / ORIF (Open Reduction Inernal Fixation)
Reduksi tertutup harus dilakukan segera setelah cedera untuk
meminimalkan risiko kehilangan fungsi, untuk mencegah atau
menghambat terjadinya artritis traumatik, dan meminimakan
efek deformitas dari cedera tersebut. Alat imobilisasi yang di
gunakan paling sering setelah suatu reduksi tertutup adalah
gips-suatu alat sementara yang terbuat dari bahan sintetik
seperti fiberglass, polimer plastic-thermal, atau plaster paris
(kalsium sulfat anhidrosa). Selain untuk imobilisasi, gips
digunakan untuk beberapa tujuan: pencegahan atau koreksi
deformitas, pemeliharaan, penyangga, dan pelindung dari
tulang yang diluruskan, dan mendorong penyembuhan yang
memungkinkan sedikit beban untuk latihan berjalan(Black &
Hawks 2014).
2. Reduksi Terbuka/OREF (Open Reduction Eksternal Fixation)
Beberapa fraktur memiliki terlalu banyak serpihan tulang,
memiliki cedea neurovaskular, atau tidak dapat lurus apat lurus
dengan baik hingga sembuh setelah reduksi tertutup. Reduksi
terbuka merupakan prosedur bedah dimana fragmen fraktur
disejajarkan. Reduksi terbuka sering kalu di kombinasikan
dengan fiksasi internal untuk fraktur femur dan sendi. Sekrup,

31
plat, pin, kawat, atau paku dapat digunakan untuk menjaga
kelurusan dari fragmen fraktur (Black & Hawks 2014).
c. Traksi
Traksi digunakan untuk menangani fraktur sejak masa pra-
sejarah, dan prinsip-prinsipnya telah diketahui dengan baik oleh
Hipokrates. Traksi adalah pemberian gaya tarik terhadap bagian
tupuh yang cedera atau kepada tungkai, sementara kontraksi akan
menarik ke arah yang berlawanan(Black & Hawks 2014).
4. Penatalaksanaan diet
Diet yang mendukung penyembuhan patah tulang, pada
pinsipnya adalah diet yang seimbang. Diet 4sehat 5 sempurna yang
terdiri dari nasi, lauk, sayur, buah dan susu yang di konsumsi secara
rutin dan dalam jumlah yang cukup, dalah baik untuk di lakukan. Diet
4 sehat 5 sempurna mengandung karbohidrat, lemak, protein, vitamin
dan mineral yang penting untuk menghasilkan tenaga dan
membangun kembali jaringan tubuh yang rusak.suplemen yang
mengandung kalsium dan vitamin D baik untuk tulang. Berikut jenis
makanan untuk penyembuhan patah tulang:
a. Perbanyak asupan kalori
Karena kita sangat membutuhkan banyak energi untuk
penyembuhan patah tulang, dan asupan yang di butuhkan oleh
orang dewasa sekitar 2.500 kalori perhari. Untuk masalah patah
tulang yang parah, akan membutuhkan lebih dari itu dan bisa
mencapai 6000 kalori.
b. Perbanyak asupan protein
Selain terdiri dari kalsium, kuranglebih sekitar 50% dari tulang
juga terbentuk karena adanya protein. Jadi, asupan protein yang
banyak dapat membuat penyembuhan secara cepat. Ketika fraktur
terjadi otomatis tubuh akan mengumpulkan protein di dalam
tubuh untuk membuat tulang baru.

32
c. Perbanyak asupan nutrisi a\nti-inflamasi
Ketika mngalami patah tulang, bukan hanya tulang saja yang
mengalami kerusakan, jaringan di sekitarnya seperti otot dan
daging yang memiliki pembuluh darah juga mengalami
kerusakan sehingga menimbulkan reaksi bengkak atau radang.
Makanan yang memiliki antioksidan tinggi, termasuk E dan C,
likopen dan alpha lipoic acid diketahui dapat meningkatkan
kecepatan penyembuhan patah tulang karena dapat mengurangi
efek negatif oksidatif dan menangkal radikal bebas. Makanan
tinggi vitamin C, bioflavonoid dan flanovol, asam lemak omega
3 enzim proteolitik secara alami akan menenangkan peradangan
dan mempercepat penyembuhan.
d. Perbanyak asupan mineral
Perlu diketahui bahwa 70% dari tulang adalah mineral, dan
tuntutan untuk konsumsi makanan tinggi mineral menjadi salah
satu keharusan jika ingin mempercepat pemulihan. Mineral
seperti seng, kalsium, fosfor, tembaga dan silikon adalah
beberapa yang harus dipenuhi.
e. Perbanyak asupan vitamin
Beberpa vitamin memiliki peran penting dalam proses
penyembuhan, seperti vitamin C,D, dan K serta vitamin B,
terutama B6, yang akan menghasilkan energi. Seperti hal nya
pada buah dan sayur serta kacang-kacangan.
5. Pencegahan
Penceghan fraktur dapat dengan 3 pendekatan :
a. Dengan membuat lingkungan lebih aman, langkah-langkahnya:
1) Adanya pegangan pada dinding dekat bak mandi(bathub)
2) Melengakapi kamar andi dengan pegangan.
3) Menjauhkan kesed dan kendala lain dari daeah yang dilalui
pasien locomotor.
4) Roda-roda kursi beroda harus di lengkapi rem.

33
b. Mengajarkan kepada masyarakat secara berkesinambungan
mengenai:
1) Bahaya minum sambil mengemudi.
2) Pemakaian sabuk pengaman .
3) Harus berhati-hati pada waktu mendaki tangga, melaksanakan
kegiatan dengan mengeluarkan tenaga atau alat berat.
4) Menggunakan pakaian pengaman untuk pekerjaan berbahaya
baik dirumah atau di tempat pekerjaan.
5) Menggunakan pakaian pelindung pada saat berolah raga.
c. Mengajarkan kepada para wanita mengenai masalah oteoporosis.
2.9.2 Penatalaksanaan dislokasi
1. Dislokasi reduksi: dikembalikan ketempat semula dengan
menggunakan anastesi jika dislokasi berat.
RICE
R : Rest (istirahat)
I : Ice (kompres dengan es)
C : Compression (kompresi / pemasangan balut tekan)
E : Elevasi (meninggikan bagian dislokasi)
2. Kaput tulang yang mengalami dislokasi dimanipulasi dan
dikembalikan ke rongga sendi.
3. Sendi kemudian dimobilisasi dengan pembalut, bidai, gips atau
traksi dan dijaga agar tetap dalam posisi stabil.
4. Beberapa hari sampai minggu setelah reduksi dilakukan mobilisasi
halus 3-4 kali sehari yang berguna untuk mengembalikan kisaran
sendi.
5. Memberikan kenyamanan dan melindungi sendi selama masa
penyembuhan (Wahid, 2013).

34
2.10 Komplikasi Fraktur dan Dislokasi
2.10.1 Komplikasi fraktur
1. Komplikasi awal:
a. Embolisme lemak
Komplikasi serius yang sering terjadi pada kasus fraktur tulang
panjang. Embolisme lemak terjadi karena sel-sel lemak yang
dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan
menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai
dengan gangguan pernapasan, takikardi, hipertensi, takipnea,
dan demam.
b. Sindrome kompartemen
Sindrome kompartemen merupakan komplikasi serius yang
terjadi karena terjebaknya otot, tulang, syaraf, dan pembuluh
darah dalam jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedema atau
perdarahan yang menekan otot, syaraf, dan pembuluh darah.
selain itu karena tekanan dari luar seperti gips yang terlalu kuat.
c. Tromboemboli vena (thrombosis vena dalam DVT, embolisme
pulmonal PE)
d. Infeksi
Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan.
Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial)
dan masuk kedalam. Ini biasanya terjadi pada fraktur terbuka,
tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan
seperti pin dan plat.
e. Fat embolism syndrome
Fat embolism syndrome (FES) adalah komplikasi serius yang
sering terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi
karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning
masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkan okseigen
kedalam darah rendah yang ditandai dengan gangguan
pernapasan, takikardi, hipertensi, takipnea, dan demam.

35
2. Komplikasi lanjutan:
a. Penyatuan (union) yang lambat
Kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang
dibutuhkan tulang untuk menyambung. ini disebabkan karena
penurunan suplai darah ke tulang.
b. Kesalahan penyatuan (malunion)
Penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat
kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion
dilakukan dengan pembedahan yang baik.
c. Tidak menyatu (nonunion)
Kegagalan fraktur berkonsolidasi dan memproduksi sambungan
yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion
ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi
fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini
juga disebabkan karena aliran darah yang kurang.
d. Nekrosis avaskular (AVN) tulang
Terjadi karena aliran darah ke tulang rusuk terganggu yang bisa
menyebabkan nekrosis tulang.
e. Reaksi terhadap alat fiksasi internal
f. Sindrome nyeri regional kompleks (complex regional pain
syndrome, CRPS, sebelumnya disebut refleks distrofi
simpatik/RSD)
g. Osifikasi heterotopik (Smeltzer, 2015)
2.10.2 Komplikasi dislokasi
1. Komplikasi dini
a. Cedera saraf : saraf aksila dapat cedera, pasien tidak dapat
mengkerutkan otot deltoid dan mungkin terdapat daerah kecil
yang mati rasa pada otot tersebut.
b. Cedera pembuluh darah : arteri aksilla dapat rusak
c. Fraktur dislokasi

36
2. Komplikasi lanjut
a. Kekakuan sendi bahu : immobilisasi yang lama dapat
mengakibatkan kekakuan sendi bahu, terutama pada pasien
yang berumur 40tahun. Terjadinya kehilangan rotasi lateral,
yang secara otomatis membatasi abduksi.
b. Dislokasi yang berulang : tgerjadi apabila labrum glenoid robek
atau
c. Kapsul terlepas dari bagian depan leher glenoid
d. Kelemahan otot (Wahid, 2013).

37
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Asuhan Keperawatan Teori


Didalam memberikan asuhan keperawatan digunakan sistem atau
metode proses keperawatan yang dalam pelaksanaanya dibagi menjadi lima
tahap, yaitu pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan,
dan evaluasi.
3.1.1 Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses
keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang
masalah-masalah klien sehingga memberikan arah terhada tindakan
perawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantung pada
tahap ini. Tahap ini terbagi atas:
1. Pengumpulan Data
1. Anamnesa
1) Identitas Klien
Nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa, status
perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah,
nomor register, tanggal MRS dan diagnosa medis.
2) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah nyeri.
Nyeri tersebut bisa akut atau kronis tergantung lamanya
serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang
rasa nyeri klien digunakan:
a) Provoking incident: Apakah ada peristiwa yang menjadi
faktor presipitasi nyeri.
b) Quality of pain: Seperti apa rasa nyeri yang dirasakan oleh
klien atau gambaran nyeri klien. Apakah seperti terbakar,
berdenyut, atau menusuk.
c) Region: Apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit
menjalar atu menyebar, dimana rasa sakit terjadi.

38
d) Severity atau scale : seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan
klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan
seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemmpuan
fungsinya.
e) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah
bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.
3) Riwayat Penyakit sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab ari
fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana
tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya
fraktur tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan
yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu,
dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa
diketahui luka kecelakaan yang lain (Ignatavicius, Donna D,
2006).
4) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditentukan kemungkinan penyebab fraktur
dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan
menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang
dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang
sering sulit untuk menyambung selain itu, penyakit diabetes
dengan luka dikaki sangat beresiko terjadinya osteomyelitis
akut maupun kronis dan juga diabetes menghambat proses
penyembuhan tulang
5) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubngan dengan penyakit tulang
merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur,
seperti diabetes, osteoporsis yang sering terjadi pada beberapa
keturunan, dan kanker tulang yang cenderung dturunkan secara
genetik.

39
6) Riwayat Psikososial
Merupakan respon emosi klien terhadap penyakit yang
dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat
serta respon atau pengaruhnya dalam .kehidupan sehari-hari
baik dalam keluarga maupun masyarakat.
7) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
a) Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakakutan akan
terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus menjalani
penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan
tulangnya. Selain itu, pengkajianjuga meliputi kebiasaan
hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat
mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian
alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya dan
apakah klien melakukan olahraga atau tidak.
b) Pola nutrisi dan metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi
kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein,
Vit C, dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan
tulang. Evaluuasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu
menentukkan penyebab masalah muskuloskeletal dan
mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat
terutama alsium atau protein dan terpapar ssinar mataahari
yaang kurang merupakan faktor predisposisi masalah
muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga
obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien
c) Pola eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan paada
pola eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji
frekuensi, konsistensi, warna serta bau feses pada pola
eliminasi alvi sedangkan pada pola eliminasi urine dikaji
frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada

40
kedua pola ini juga dikaji aada kesulitan atau tidak. Pola
tidur dan istirahat semua klien fraktur timbul rasa nyeri,
keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu pola
dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian
dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan,
kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur setrta penggunaan obat
tidur.
d) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua
bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan
klien perlu banyaak dibantu oleh orang lain. Hal ini yang
perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama
pekerjaan klien. Klien karena ada beberapa bentuk
pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding
pekerjaan yang lain.
e) Pola hubungan dan peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam
masyarakat. Karena klien harus menjalaani rawat inap.
f) Pola persepsi dan konsep diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul
ketidakautan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas,
rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara
optimal, dan paandangan teerhadap dirinya yaang salah
(gangguan gambaran tubuh).
g) Pola sensori dan kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada
bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak
timbul gangguan. Bergitu juga pada kognitifnya tidak
mengalami gangguan. Seain itu juga, timbul rasa nyeri
akibat fraktur.

41
h) Pola reproduksi seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak biasa
melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat
inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami
klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya
termasuk jumlah anak, lama perkawinannya.
i) Pola penanggulangan Stres
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan
dirinya, yaitu tidaa ketidakakutan timbul kecacatan pada
diri daan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang
ditempuh klien bisa tidak efekif.
j) Pola tata nilai dan keyakinan
Untuk klien frakur tidak dapat melaksanaan kebutuhan
beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi.
Hal ini bisa disebabkan kaarena nyeri dan keterbatasan
klien.
2. Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi 2 yaitu, pemeriksaan umum (Status
generalisata) untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan
setempat (lokalis). Hal ini perlu daapat melaksanakan total care
karena ada kecenderungan dimana spesialisasi hanya
memperlihatkan daerah yaang lebih sempit tetapi lebih mendalam.
a. Gambaran Umum
Perlu menyebutkan :
1) Keadaan Umum
Baik atau buruknya yang dicacat adalah tanda-tanda, seperti :
a) Kesadaran penderita : apatis, sopor, koma, gelisah,
komposmentis tergantung pada keadaan klien.
b) Kesakitan, keadaan penyakit : akut, kronis, ringan, sedang,
berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.
c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan bak
fungsi maupun bentuk.

42
2) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
a) Sistem integumen
Terdapat eritema, suhu sekitar daerah trauma meningkat,
bengkak, oedema, nyeri tekan.
b) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu normocephalik, simetris, tidak ada
penonjolan, tidak nyeri kepala.
c) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan,
refleks menelan ada.
d) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan
fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
e) Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva, tidak anemis (tidak
terjadi pendarahaan)
f) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam kadaan normal. Tidak ada
lesi atau nyeri tekan.
g) Hidung
Tidak ada deformitas, tidak ada pernafasan cuping hidung.
h) Mulut dan faring
Tidak ada pembesaran tongsil, gusi tidak terjadi perdarahan,
mukosa mulut tidak pucat.
i) Thoraks
Tak ada pergerakan otot interkosta, gerakan dada simetris.
j) Paru
1. Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung
pada riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan
pnyakit klien.

43
2. Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
3. Perkusi
Suara ketuk sonor, tak ada redup atau suara tambahan
lainnya.
4. Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada whezzing atau suara
tambahan lainnya seperti stridor dan Ronchi.
k) Abdomen
a. Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
b. Palpasi
Turgor baik, tidak defanmuskuler, hepar tidak teraba.
c. Perkusi
Suara timpani, ada pantulan gelombang cairan
d. Auskultasi
Peristaltik usus normal kurang lebih 20x/menit

b. Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta baagian
distaal terutama mengenai status neurovaskuler (untuk status
neurovaskuler -> 5P yaitu Pain, Palor, Parestesia, Pulse,
Pergerakan). Pemeriksaan padaa sistem muskuloskeletal adalah :
1) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain :
a) Cicatriks (jaringan parut baik yaang alami maupun buatan
seperti bekas operasi).
b) Cafe au lait spot (birth mark)
Cafe au lait adalah penampakan kurang lebih sebesar uang
logaam. Diameternya bisa sampai 5cm yang didalamnya
berisi bintik-bintik hitma. Cafe au lait itu bisa berbentuk
seperti oval dan didalamnya berwarna coklat. Ada juga

44
berbentuk daun dan warna coklatnya lebih dari kulit,
didalamnya juga berbentuk bintik-bintik dan warnanya jauh
lebih coklat lagi. Tanda ini biasanya ditemukan di badaan,
pantat, dan kaki.
c) Fistulae warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau
hiperpigmentasi
d) Benjolan, peembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal
yang tidak biasa (abnormal).
e) Posisi dan bentuk dari ekstremitas (deformitas)
f) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
2) Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi
penderita diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi).
Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memeberikan
informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien. Yang perlu
dicatat adalah :
a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban
kulit. Cappilary refill time -> normal kurang lebih 2 detik.
b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdaapat fluktuasi
atau oedema terutama sekitar persendian.
c) Nyeri tekan (tenderness), krepitsi, catat letak kelainan (1/3
proksilam, tengah atau distal).
Otot : tonus pada watku relaksasi atau kontraksi, benjolan
yang terdapat di permukaan atau melekat pada tulang.
Selaain itu juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada
benjolan perlu dideskripsikan permukaannya,
konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau
permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.
3) Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian
diteruskan dengan menggerakkan ekstremitas dan dicatat
apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan

45
lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan
sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran
derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi
netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan
apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan
yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif (Reksoprodjo,
Soelarto, 2006).
3. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah
“Pencitraan” menggunakan sinar rontgen (X-Ray). Untuk
mendapatkan gambaran tiga dimensi keadaan dan kedudukan
tulang yag sulit, maka diperlukan dua proyeksi yaitu AP atau PA
lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan
(khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang
dicari karena adanya superposisi perlu disadari bahwa permintaan
X-Ray harus atas dasar indikasi kegunaan pemeriksaan
penunjang dan hasilnya dibaca sesuai permintaan. Hal yang harus
dibaca pada X-Ray;
1) Bayangan jaringan lunak
2) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi terioteum atau
biomekanik atau juga rotasi
3) Ttobukulasi ada tidaknya Rare Fraction
4) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi
Selain foto polos X-Ray (Plane X-Ray) mungkin perlu teknik
khususnya seperti :
a) Tomografi :menggambarkan tidak satu struktur saja tapi
struktur yang lain tertutup yang sulit di visualisasi. Pada
kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks
dimana tidak ada satu struktur saja tapi pada struktur lain
juga mengalaminya.

46
b) Myelografi : menggambarkan cabang-cabang saraf spinal
dan pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang
mengalami kerusakan akibat trauma
c) Arthrografi : mengambarkan jaringan-jaringan ikat yang
rusak karna ruda paksa.
d) Computed tomografi-scanning : menggambarkan potongan
secara transvertal dari tulang dmna didapatkan suatu
struktur tulang yang rusak.
b. Pemeriksaan Laboraturium
a) Kalsium serum dan fosfor serum meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
b) Alkalin fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan
menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk
tulang.
c) Enzim otot seperti kreatenin kinase,laktat dehidrogenase
(LDH-5) asspartat amino transferase (AST) aldolase yang
meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
c. Pemeriksaan lain-lain
a) Pemeriksaan migrorganisme kultur dan test sensitivitas:
didapatkaan migrorganisme penyebab infeksi.
b) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama
dengan pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila
terjadi infeksi
c) Elektromyografi : terdapat kerusakan konduksi saraf yang
diakibatkan fraktur.
d) Artrhoscopy : didapatkan jaringan yang rusak atau sobek
karena trauma yg berlebihan.
e) Indium imaging : pada pemeriksaan ini didapatkan adanya
infeksi pada tulang.
f) Mri : menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.

47
3.1.2 Diagnosa
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik: patah tulang
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan
muskuluskeletal: patah tulang
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan faktor mekanik
imobilitas fisik: fraktur terbuka
4. Ansietas berhubungan dengan krisis situasional, akan menjalani
operasi, dan perubahan fungsi peran.

3.1.3 Intervensi
Rencana asuhan keperawatan berikut ini diuraikan meliputi
diagnosis keperawatan, tindakan keperawatan mandiri dan kolaborasi,
serta rasionalisasi dari masing-masing tindakan keperawatan.

DIAGNOSA
NO KEPERAWATAN(S SLKI SIKI
DKI)
1. Nyeri akut Tingkat nyeri Manajemen nyeri
berhubungan (L.08066) (I.08238)
dengan agen cedera Tujuan: Aktivitas:
fisik: patah tulang Setelah dilakukan a. Identifikasi
tindakan lokasi,
keperawatan karakteristik,
selama 1x24 jam durasi,
nyeri pasien dapat frekuensi, dan
berkurang, intensitas nyeri
dengan kriteria b. Identifikasi
hasil: faktor yang
a. Keluhan memperberat
nyeri dari dan
skala 2 ke memperingan
skala 3 nyeri
b. Meringis dari c. Berikan teknik
skala 2 ke non
skala 3 farmakologis
c. Gelisah dari untuk
skala 2 ke mengurangi
skala 3
rasa nyeri
(misal:

48
d. kesulitan tidur aromaterapi
dari skala 2 ke dan terapi
skala 3 panas dingin)
d. Monitor efek
1= sangat berat samping
2= berat penggunaan
analgetik
3= cukup
4= ringan
5= tidak ada
2. Hambatan mobilitas Koordinasi Dukungan
fisik berhubungan pergerakan mobilisasi
dengan gangguan (L.05041) (I.05173)
muskuluskeletal: patah Tujuan: Aktivitas:
tulang Setelah dilakukan a. Identifikasi
tindakan toleransi fisik
keperawatan melakukan
selama 2x24 jam, pergerakan
pasien dapat b. Monitor
melakukan kondisi umum
aktivitas sehari- selama
hari dengan melakukan
normal dengan mobilisasi
kriteria hasil: c. Fasilitasi
a. Kemantapan aktivitas
gerakan dari mobilisasi
skala 2 ke dengan alat
skala 4 bantu (mis:
b. Gerakan ke pagar tempat
arah yang di tidur)
inginkan dari d. Fasilitasi
skala 2 ke melakukan
skala 4 pergerakan ,
c. Bergerak
Jika perlu
dengan
mudah dari e. Libatkan
skala 2 ke keluarga untuk
skala 4 membantu
d. Gerakan pasien dalam
dengan waktu meningkatan
yang diinginkan pergerakan.
dari skala 2 ke
skala 4

49
1= sangat berat
2= berat
3= cukup
4= ringan
5= tidak ada
3. Kerusakan integritas Integritas kulit Perawatan luka
kulit berhubungan dan jaringan Aktivitas:
(L.14125)
dengan faktor mekanik a. Monitor
Tujuan: karakteristik
imobilitas fisik: fraktur Setelah dilakukan luka misal:
terbuka intervensi drainase.warn
keperawatan a dan bau
selama 1x24 jam b. Monitor tanda-
diharapkan tanda infeksi
integritas kulit c. Pasang balutan
bisa teratasi sesuai jenis
sebagai berikut. luka
a. Kerusakan d. Pertahankan
jaringan dari teknik steril
skala 2 ke saat
skala 3 melakukan
perawatan
b.Kerusakan
luka
lapisan kulit dari
e. Berikan
skala 2 ke skala 3
suplemen dan
c. Kemerahan dari vitamin sesuai
skala 2 ke skala 3 indikasi.
d.Pigmentasi
abnormal dari
skala 2 ke skala 3
4. Ansietas berhubungan Tingkat ansietas Terapi relaksasi
dengan situasional akan (L.09093) (L.09326)
mengalami operasi dan Tujuan: Aktivitas:
perubahan fungsi peran.
Setelah dilakukan a.Identifikasi
tindakan penurunan tingkat
keperawatan energi,
selama 1x24 jam ketidakmampuan
diharapkan berkonsentrasi,
ansietas dapat atau gejala lain
teratasi sebagai yang mengganggu
berikut: kemampuan
kognitif

50
a.Verbalisasi b.Identifikasi
khawatir akibat teknik relaksasi
kondisi dari skala yang pernah
2 ke skala 3 efektif digunakan
b.Perilaku gelisah c.Ciptakan
dari skala 2 ke lingkungan
skala 3 tenang dan tanpa
c.Perilaku tegang gangguan dengan
dari skala 2 ke pencahayaan dan
skala 3 suhu ruang
nyaman
d.Konsentrasi
pola tidur dari d.Gunakan nada
skala 2 ke skala 3. suara lembut
dengan irama
lambat dan
berirama

3.2 Asuhan Keperawatan Kasus

Tn. D umur 22 tahun adalah seorang pemain basket. Tn. D terjatuh saat
bermain basket dan mengenai bagian tangan yang atas, lalu Tn. D dibawa ke
rumah sakit cendekia dengan keluhan nyeri pada lengan bagian atas, tidak
bisa melakukan aktivitas sehari-hari dengan normal karena lengan atas terasa
kaku, terjadi pembengkakan, terdapat memar di bagian lengan, sulit untuk
melakukan gerakan fisik dengan sempurna, dan merasa cemas karena akan
segera dilakukan operasi. Dengan TD: 140/100 mmHg, N: 100 x/menit, RR: 24
x
/menit, S: 36,7oC, TB: 170 cm, dan BB: 80 kg. Dilakukan pemeriksaan CT
scan ditemukan patah tulang lengan tangan bagian atas.
Pengkajian
Identitas klien
Nama : Tn. D No. Reg : 1130014038
Umur : 22 tahun Tgl MRS : 19-09-2019
Jenis Kelamin : Laki-laki Diagnosa Medis : Fraktur
Suku/bangsa : Jawa/Indonesia
Agama : Islam

51
Pekerjaan : Mahasiswa
Alamat : Wonokromo

Identitas penanggung jawab


Nama : Tn. A
Umur : 45 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Suku/bangsa : Jawa/Indonesia
Agama : Islam
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Wonokromo

I. Riwayat Keperawatan
1.1 Riwayat sebelum sakit
1.1.1 Penyakit berat yang diderita:
Px mengatakan tidak pernah mengalami penyakit yang berat
1.1.2 Obat-obat yang biasa dikonsumsi
Px mengatakan tidak pernah mengkonsumsi obat apapun
1.1.3 Kebiasaan berobat
Px mengatakan sebelumnya tidak pernah berobat
1.1.4 Alergi
Px mengatakan tidak mempunyai alergi
1.1.5 Kebiasaan merokok atau alkohol
Px mengatakan tidak pernah merokok dan tidak pernah minum
alkohol
1.2 Riwayat penyakit sekarang
1.2.1 Keluhan utama
Tn. D datang ke rumah sakit dengan keluhan nyeri pada lengan
bagian atas, tidak bisa melakukan aktivitas sehari-hari dengan
normal karena lengan atas terasa kaku, terjadi pembengkakan,
terdapat memar di bagian lengan, dan sulit untuk melakukan
gerakan fisik dengan sempurna.

52
P: Px mengatakan nyeri pada daerah lengan bagian atas
Q: Px mengatakan nyeri seperti ditusuk-tusuk
R: Px mengatakan nyeri dirasakan di lengan bagian atas
S: Px mengatakan skala nyeri 6
T: Px mengatakan nyeri dirasakan hilang timbul
1.2.2 Upaya yang telah di lakukan
Ayah px sudah membawa ke rumah sakit
1.2.3 Terapi atau operasi yang pernah dilakukan
Ayah px mengatakan sebelumnya tidak pernah melakukan
terapi atau operasi
1.2.4 Riwayat penyakit keluarga
Ayah px mengatakan dalam keluarganya tidak pernah
mengalami patah tulang
1.2.5 Riwayat lingkungan
Ayah px mengtakan klien sering bersosialisasi dengan
masyarakat disekitarnya
II. Pemeriksaan fisik
2.1 Keadaan umum: composmentis
2.2 Tanda-tanda vital, tinggi badan, dan berat badan
TD: 140/100 mmHg, N: 100 x/menit, RR: 24 x/menit, dan S: 36,7oC
TB: 170 cm, BB: 80 kg (sebelum MRS)
2.3 Body system
2.3.1 Pernapasan (B1: Breathing)
2.3.1.1 Hidung: bentuk simetris, tidak ada cuping hidung,
dan tidak ada krepitasi
2.3.1.2 Trakea: tidak terdapat pergeseran trakea
2.3.1.3 Suara tambahan: tidak terdapat suara tambahan
2.3.1.4 Bentuk dada: simetris
2.3.2 Kardiovaskuler (B2: Bleeding)
2.3.2.1 Suara jantung: normal
2.3.2.2 Edema: tidak ada

53
2.3.3 Persyarafan (B3: Brain)
2.3.3.1 Mata: bentuk simetris, konjungtiva merah, sklera
putih, dan pupil isokor
2.3.3.2 Leher: tidak ada pembesaran kelenjar tiroid dan vena
jugularis
2.3.3.3 Pendengaran:
kanan: tidak ada kelainan
kiri: tidak ada kelainan
2.3.3.4 Penciuman: tidak ada kelainan
2.3.3.5 Pengecapan: ujung lidah manis, tepi lidah asin, dan
pangkal lidah pahit
2.3.3.6 Penglihatan:
kanan: tidak ada kelainan
kiri: tidak ada kelainan
2.3.3.7 Perabaan: panas
2.3.4 Perkemihan-eliminasi uri (B4: bladder)
2.3.4.1 Frekuensi: 5 x/hari
2.3.4.2 Warna: kuning jernih
2.3.4.3 Bau: khas
2.3.4.4 Genetalia: tidak terpasang kateter
2.3.5 Pencernaan-eliminasi alvi (B5: bowel)
2.3.5.1 Mulut dan tenggorokan: mukosa bibir kering dan
tidak ada stomatitis
2.3.5.2 Abdomen
2.3.5.2.1 Inspeksi: tidak terdapat pembesaran
abdomen
2.3.5.2.2 Auskultasi: bising usus 12 x/menit
2.3.5.2.3 Palpasi: tidak terdapat nyeri tekan
2.3.5.2.4 Perkusi: tidak terdapat suara kembung
2.3.5.3 Rectum: tidak ada hemoroid
2.3.5.4 BAB: 2 x/hari, konsistensi: lunak

54
2.3.6 Tulang-otot-integumen (B6: bone)
2.3.6.1 Ekstremitas:
atas: adanya fraktur pada lengan atas akan
mengganggu secara lokal, baik fungsi motorik,
sensorik, maupun peredaran darah
bawah: pergerakan sendi bebas
2.3.6.2 Tulang belakang: tidak ada kelainan
2.3.6.3 kulit
2.3.6.3.1 Warna kulit: kemerahan
2.3.6.3.2 Akral: panas
2.3.6.3.3 Turgor: cukup
2.3.7 Sistem endokrin
2.3.7.1 Terapi hormon: tidak ada terapi hormon
2.3.8 Sistem reproduksi
2.3.8.1 Kelamin laki-laki:
bentuk: normal
kebersihan: bersih
2.4 Keadaan lokal
a. Look (inspeksi)
1) Tidak terdapat jaringan parut disekitar lengan bagian atas
2) Pada lengan atas yang bengkak terdapat warna kebiruan dan
kemerahan
3) Mengalami kerusakan tulang lengan bagian atas
4) Suhu disekitar daerah trauma meningkat
b. Feel (palpasi)
1) Keadaan kulit hangat disekitar tulang yang mengalami patah
2) Terjadi pembengkakan diarea lengan atas
3) Saat dipegang lengan pasien terasa nyeri
c. Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Saat dilakukan pergerakan bagian lengan atas pasien
mengeluh nyeri dan sulit untuk melakukan aktivitas yang berat

55
III. Pola aktivitas
3.1 Makan
3.1.1 Frekuensi: 2 x/hari
3.1.2 Jenis menu: nasi, lauk, dan sayur
3.1.3 Pantangan: tidak ada
3.1.4 Alergi: tidak ada
3.2 Minum
3.2.1 Frekuensi: 6 x/hari
3.2.2 Jenis minum: air putih
3.2.3 Pantangan: alkohol dan minuman bersoda
3.2.4 Alergi: tidak ada
3.3 Kebersihan diri
3.3.1 Mandi: 2 x/hari
3.3.2 Keramas: 2 x/minggu
3.3.3 Sikat gigi: 3 x/hari
3.3.4 Memotong kuku: 1 x/minggu
3.3.5 Ganti pakaian: 2 x/hari
IV. Psikososial
4.1 Sosial/interaksi
4.1.1 Hubungan dengan klien: tidak kenal
4.1.2 Dukungan keluarga: aktif
4.1.3 Dukungan kelompok/teman/masyarakat: aktif
4.1.4 Reaksi saat interaksi: kooperatif
4.2 Spiritual
4.2.1 Konsep tentang penguasa kehidupan: Allah
4.2.2 Sumber kekuatan atau harapan saat sakit: Allah
4.2.3 Ritual agama yang bermakna diharapkan saat ini: sholat
4.2.4 Sarana yang diperlukan untuk melakukan ritual agama yang
diharapkan saat ini: melalui ibadah
4.2.5 Upaya kesehatan yang bertentangan dengan keyakinan agama:
tidak ada

56
4.2.6 Keyakinan bahwa Allah akan menolong dalam menghadapi
situasi sakit saat ini: Ya
4.2.7 Keyakinan bahwa penyakit dapat disembuhkan: Ya
4.2.8 Persepsi terhadap penyebab penyakit: cobaan atau peringatan
V. Pemeriksaan penunjang
CT scan: ditemukan patah tulang lengan tangan bagian atas.

Analisa data

NO DATA MASALAH ETIOLOGI


1. DS: Nyeri akut Agen
Pasien mengatakan nyeri pada cedera
lengan sebelah atas fisik:
fraktur
P: nyeri pada daerah lengan bagian
lengan
atas
atas
Q: nyeri seperti ditusuk-tusuk
R: nyeri dirasakan di lengan bagian
atas
S skala nyeri 6
T: nyeri dirasakan hilang timbul
DO:
1. K/U lemah
2. Wajah pucat
3. TD: 140/100 mmHg, N: 100
x
/menit, RR: 24 x/menit, dan
S:36,7oC
4. Terjadi pembengkakan dan
memar dilengan bagian atas
2. DS: Hambatan Gangguan
Pasien mengatakan dia tidak bisa mobilitas fisik muskuluskeletal
melakukan aktivitas sehari-hari : patah tulang
karena tulang lengan atas patah
DO:
1. K/U lemah
2. TD: 140/100 mmHg, N:
100 x/menit, RR: 24 x/menit,
dan S: 36,7oC
3. Pasien susah untuk
menggerakkan tangannya
4. Pergerakan tangan pasien
tampak lambat

57
Diagnosa keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera fisik: patah tulang
lengan atas
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan
muskuluskeletal: patah tulang.
Intervensi

NO DIAGNOSA
SLKI SIKI
KEPERAWATAN (SDKI)
1. Nyeri akut berhubungan Manajemen nyeri
dengan agen cedera fisik: (I.08238)
fraktur dada Aktivitas:
a. Identifikasi lokasi,
Tingkat nyeri (L.08066) karakteristik, durasi,
Tujuan: frekuensi, dan
Setelah dilakukan intensitas nyeri
tindakan keperawatan b. Identifikasi faktor
selama 1x24 jam nyeri yang memperberat
pasien dapat berkurang, dan memperingan
dengan kriteria hasil: nyeri
a. Keluhan nyeri dari c. Berikan teknik non
skala 2 ke skala 3 farmakologis untuk
b. Meringis dari skala mengurangi rasa nyeri
2 ke skala 3 (misal: aromaterapi
c. Gelisah dari skala 2 dan terapi panas
ke skala 3 dingin)
d. kesulitan tidur dari
d. Monitor efek samping
skala 2 ke skala 3
penggunaan analgetik
e. Berikan terapi musik
untuk mengurangi
1= sangat berat
nyeri
2= berat
f. Berikan distraksi
3= cukup pendengaran terhadap
4= ringan klien fraktur
5= tidak ada g. Berikan terapi Infra
red yang dapat
mengurangi nyeri
h. Berikan terapi Hold
relax yang dapat

58
menambah ruang lingkup
gerak sendi
2. Hambatan mobilitas fisik Koordinator pergerakan Dukungan mobilisasi
berhubungan dengan gangguan (L.05041) (I.05173)
muskuluskeletal: patah tulang Tujuan: Aktivitas:
Setelah dilakukan a. Identifikasi toleransi
tindakan keperawatan fisik melakukan
selama 2x24 jam, pasien pergerakan
dapat melakukan b. Monitor kondisi
aktivitas sehari-hari umum selama
dengan normal dengan melakukan mobilisasi
kriteria hasil: c. Fasilitasi aktivitas
a. Kemantapan mobilisasi dengan alat
gerakan dari skala 2 bantu (mis: pagar
ke skala 4 tempat tidur)
b. Gerakan ke arah d. Fasilitasi melakukan
yang di inginkan pergerakan , Jika
dari skala 2 ke skala perlu
4 e. Libatkan keluarga
c. Bergerak dengan untuk membantu
mudah dari skala 2 pasien dalam
ke skala 4 meningkatan
d. Gerakan dengan pergerakan.
waktu yang
diinginkan dari
skala 2 ke skala 4

1= sangat berat
2= berat
3= cukup
4= ringan
5= tidak ada

59
Implementasi

NO. IMPLEMENTASI PARAF


DX
a. 1. Kaji nyeri pasien.
b. Memonitor TTV (TD, nadi, RR, dan suhu)
c. Mengidentifikasi lokasi, karakteristik,
durasi, frekuensi, dan intensitas nyeri
d. Mengidentifikasi faktor yang
memperberat dan memperingan nyeri
e. Memberikan teknik non farmakologis
untuk mengurangi rasa nyeri ( misal:
aromaterapi dan terapi panas dingin).
f. Memonitor efek samping penggunaan
analgetik
2. a. Memonitor TTV (TD, nadi, RR, dan suhu)
b. Mengidentifikasi toleransi fisik melakukan
pergerakan
c. Memonitor kondisi umum selama
melakukan mobilisasi
d. Memfasilitasi aktivitas mobilisasi dengan
alat bantu (mis: pagar tempat tidur)
e. Memfasilitasi melakukan pergerakan , Jika
perlu
f. Melibatkan keluarga untuk membantu
pasien dalam meningkatan pergerakan.

60
Evaluasi

NO. TGL/JAM CATATAN PERKEMBANGAN PARAF


DX
1. 19-09-2019 S: Pasien mengatakan sudah tidak
09.00 merasa nyeri pada lengan bagian atas
O:
a. K/U cukup
b. TD: 120/80 mmHg, N: 80
x/menit, RR: 16 x/menit, dan S:
36,2oC
c. Bengkak dan memar pada lengan
bagian atas sudah hilang
A: Masalah teratasi sebagian
P: Intervensi nomor 1 dan 4 di lanjutkan
2. 20-09-2019 S: Pasien mengatakan sudah dapat
09.10 melakukan aktivitas sehari-hari dengan
baik
O:
a. K/U cukup
b. TD: 120/80 mmHg, N: 80
x/menit, RR: 16 x/menit, dan S:
36,2oC
c. Pasien sudah bisa menggerakkan
tangannya dengan baik
A: Masalah telah teratasi
P: Intervensi dihentikan

61
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
1. Fraktur adalah kerusakan kontinuitas tulang, yang dapat bersifat komplet
dan (in-komplet diseluruh tulang, dengan dua ujung tulang terpisah) atau
(patah sebagian atau pecah).
2. Penyebab dari fraktur adalah cedera traumatic mendadak (pukulan,
tekanan, pentiran langsung yang mendadak), cedera stress atau
penggunaan berlebihan (seperti yang terjadi pada kaki pemain basket dan
tulang kering pada pelari), dan patologi atau gangguan tulang yang
melemahkan integritas tulang (infeksi, kista, tumor, osteoporosis,
penyakit paget, dan penggunaan inhibitor, proton atau steroid).
3. Tanda dan gejala klinis dari fraktur yaitu deformitas, pembengkakan,
memar (ekimosis), spasme otot, nyeri, pemendekan ekstremitas, krepitus,
ketegangan, kehilangan fungsi, perubahan neurovascular, syok.
4. Klasifikasi dari fraktur yaitu fraktur komplet, fraktur in-komplet, fraktur
remuk (comminuted), fraktur tertutup atau fraktur sederhana, fraktur
terbuka atau fraktur campuran/kompleks, fraktur dapat juga
dideskripsikan menurut penempatan fragmen secara anatomik, terutama
jika fraktur tergeser atau tidak tergeser, fraktur intra-artikular meluas ke
permukaan sendi tulang.
5. Penatalaksanaan dari fraktur meliputi penatalaksanaan fraktur tertutup,
penatalaksanaan fraktur terbuka, seluruh fraktur, penatalaksanaan diet,
dan pencegahan.
6. Komplikasi dari fraktur adalah komplikasi awal (syok, embolisme lemak,
sindrome kompartemen, tromboemboli vena) dan komplikasi lanjutan
(penyatuan/union yang lambat, kesalahan penyatuan/malunion, tidak
menyatu/nonunion, nekrosis avaskular tulang, reaksi terhadap alat fiksasi
internal, sindrome nyeri regional kompleks, dan osifikasi heterotopik.
7. Dislokasi adalah perubahan dalam posisi sendi. Cedera ini disebabkan
oleh suatu gaya akut yang mengenali ligamen atau tendon dari proses
jatuh, tumbukan, atau kontraksi otot yang kuat.

62
8. Etiologi dari dislokasi adalah cedera olahraga ,trauma yang tidak
berhubungan dengan olahraga, benturan keras pada sendi saat kecelakaan
motor biasanya menyebabkan dislokasi, terjatuh.
9. Manifestasi dari dislokasi yaitu deformitas, pembengkakan, memar,
spasme otot, nyeri, pemendekan Eksermitas, krepitus, ketegangan,
kehilangan fungsi, perubahan Nerurovaskular, syock.
10. Klasifikasi dari dislokasi yaitu klasifikasi dislokasi menurut
penyebabnya: dislokasi kongenital, dislokasi spontan atau patologi,
dislokasi traumatic. Klasifikasi dislokasi berdasarkan kliniknya:dislokasi
akut,dislokasi berulang. Klasifikasi dislokasi berdasarkan tempat
terjadinya:dislokasi sendi rahang , dislokasi sendi Bahu, dislokasi sendi
siku, dislokasi sendi jari , dislokasi sendi metacarpophalangeal dan
interphalangeal, dislokasi panggul, dislokasi patella.
11. Pemeriksaan penunjang dari dislokasi adalah sinar X (RONTGEN), CT
scan, dan MRI.
12. Penatalaksanaan dislokasi adalah dislokasi reduksi, kaput tulang yang
mengalami dislokasi dimanipulasi dan dikembalikan ke rongga sendi,
sendi kemudian dimobilisasi dengan pembalut, bidai, gips atau traksi dan
dijaga agar tetap dalam posisi stabil, beberapa hari sampai minggu setelah
reduksi dilakukan mobilisasi halus 3-4 kali sehari yang berguna untuk
mengembalikan kisaran sendi, dan memberikan kenyamanan dan
melindungi sendi selama masa penyembuhan.
4.2 Saran
Berdasarkan pembahasan masalah pada makalah tentang fraktur dan
dislokasi, kami dapat mengemukakan beberapa saran yang mungkin dapat
menjadi masukan yang bersifat positif, antara lain: diharapkan agar
mahasiswa dan mahasiswi dapat memahami materi fraktur dan dislokasi,
diharapkan makalah ini dapat digunakan sebagai tambahan pembelajaran bagi
ilmu keperawatan, dan diharapkan dapat dijadikan referensi tambahan di
perpustakaan

63
MATRIKS JURNAL

Jurnal
Patient Intervention Comparison Outcome
Ke-
1. Pasien Terapi Musik Terapi musik untuk mengurangi Dengan dilakukannya, terapi musik ini, nyeri
Fraktur nyeri fraktur pada pasien fraktur dapat berkurang

2. Pasien Distraksi Distraksi pendengaran terhadap Adanya pengaruh distraksi pendengaran


Fraktur Pendengaran intensitas nyeri pada klien fraktur terhadap intensitas nyeri pada klien fraktur

3. Pasien Fisioterapi Fisioterapi untuk mengurangi Setelah dilakukan tindakan fisioterapi sebanyak
Fraktur 1/3 nyeri dan meningkatkan lingkup empat kali dengan modalitas infra red, dan
Radius gerak sendi wrist pasca terapi latihan berupa hold relax terdapat hasil
Distal pemasangan plate and screw pada sebagai berikut:
Dextra kasus fraktur 1/3 radius distal 1. Infra red dapat mengurangi nyeri
dextra 2. Hold relax dapat menambah ruang lingkup
gerak sendi

64
DAFTAR PUSTAKA

Black, Joyce M, dkk. 2014. Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen Klinis Untuk
Hasil Yang Diharapkan. Salemba Medika
Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah. Edisi 8. EGC:
Jakarta
Brunner, dkk. 2015. Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta: EGC
Hurst, Marlene. 2016. Belajar Mudah Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta: EGC
Noor Helmi, Zairin. 2012. Buku Ajar Gangguan Muakuloskeletal. Jakarta:
Saalemba Medika.
Smeltzer, Suzanne C, dkk. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta:
EGC
Syaifuddin, 2014.Anatomi Fisiologi Untuk Keperawatan dan Kebidanan Edisi
4.EGC: Jakarta.
Tim pokja SLKI DPP PPNI. 2018. Standar luaran keperawatan indonesia. Jakarta
selatan: DPP PPNI
Tim pokja SDKI DPP PPNI 2016. Standar diagnosis keperawatan indonesia.
Jakarta selatan: DPP PPNI
Tim pokja SIKI DPP PPNI 2018. Standar intervensi keperawatan indonesia.
Jakarta selatan:DPP PPNI
Wahid, A. 2013. Asuhan Keperawatan Dengan Gangguan Sistem Muskuluskeletal.
Jakarta: agung Seto

65
LAMPIRAN LEMBAR KONSULTASI

No Tanggal Keterangan TTD

Anda mungkin juga menyukai