Anda di halaman 1dari 32

REFERAT

FRAKTUR EKSTREMITAS SUPERIOR-INFERIOR

Oleh:
Salsabilla Sahara 22004101052
Rahmadani Alfitra Santri 22004101053

Pembimbing:
dr. Fitri Purbasari, Sp.Rad

LABORATORIUM ILMU RADIOLOGI


KEPANITERAAN KLINIK MADYA
RSUD MARDI WALUYO KOTA BLITAR
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM MALANG
2021

1
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.


Puji dan syukur senantiasa kita panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala
nikmat dan karunia-Nya. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah
saw, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya. Atas kehendak Allah sajalah,
sehingga penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul “Fraktur Ekstremitas
Superior-Inferior”.
Tugas referat ini dibuat untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik Ilmu
Radiologi di RSUD Mardi Waluyo Kota Blitar, penulis menyadari bahwa dalam
makalah ini masih jauh dari sempurna. Kritik dan saran untuk penyempurnaan
semoga dapat berguna dan memberikan manfaat bagi kita semua. Amin.
Terimakasih.
Wassalamualaikum Wr. Wb.

Blitar, 14 Oktober 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................2


DAFTAR ISI ...........................................................................................................3
BAB I .......................................................................................................................4
PENDAHULUAN ...................................................................................................4
1.1 Latar Belakang ..........................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah .....................................................................................5
1.3 Tujuan Penulisan .......................................................................................5
1.4 Manfaat Penulisan .....................................................................................5
BAB II .....................................................................................................................6
TINJAUAN PUSTAKA .........................................................................................6
2.1 Fraktur .......................................................................................................6
2.2 Fraktur Ekstremitas Superior.....................................................................8
2.3 Fraktur Ekstremitas Inferior ....................................................................13
2.3.1 Fraktur Collum Femur ..................................................................................... 13
2.3.2 Fraktur Intertrochanter ..................................................................................... 16
2.3.3 Fraktur Subtrochanter ...................................................................................... 18
2.3.4 Fraktur Shaft Femur ......................................................................................... 20
2.3.5 Fraktur Patella .................................................................................................. 22
2.3.6 Fraktur Shaft Tibia dan Fibula ......................................................................... 24
2.3.7 Fraktur Metatarsal dan Phalanges .................................................................... 26
2.4 Penatalaksanaan Fraktur pada Ekstremitas .............................................28
BAB III ..................................................................................................................30
PENUTUP .............................................................................................................30
3.1 Kesimpulan ..............................................................................................30
3.2 Saran ........................................................................................................30
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................31

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Fraktur merupakan tipe kerusakan atau kelainan yang sering terjadi pada
tulang. Penggunaan istilah fraktur juga membawa maksud kontinuitas tulang yang
terputus dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya (Kumar et al, 2010). Tulang
merupakan salah satu dari komponen tubuh yang paling penting. Antara fungsi
tulang itu sendiri adalah sebagai tempat melekatnya otot, penopang tubuh manusia
supaya dapat bergerak maksimal, sebagai kerangka dan melindungi organ dalam
tubuh. Berlakunya fraktur atau diskontinuitas pada tulang secara langsung akan
mengganggu fungsinya yang vital (Djamal et al, 2015).
Pada tahun 2010, menurut data dari 2010 National Cedera Elektronik
Surveillance System (Neiss) database dan 2010 Sensus Amerika Serikat, patah
tulang lengan adalah jenis yang paling umum dari fraktur pada populasi pediatrik
(rentang usia, 0-19 tahun) dan menyumbang 17,8 % dari semua fraktur. Menurut
WHO (2007), di antara negara-negara se-Asia Tenggara, Indonesia ada diurutan
pertama, dengan 37.438 kematian atau sekitar 16,2 per 100.000 penduduk. Fraktur
atau patah tulang merupakan suatu kondisi yang banyak ditemui pada trauma
muskuloskeletal (Kumar et al, 2010).
Pemeriksaan Radiologi merupakan salah satu pemeriksaan di bidang medis
yang sangat penting untuk menegakan diagnosa suatu penyakit dan sebagai terapi
(Yueniwati, 2014). Radiologi sendiri adalah ilmu kedokteran yang menggunakan
radiasi untuk diagnosis dan pengobatan penyakit. Radiasi dimanfaatkan untuk
terapi atau studi pencitraan. Untuk tujuan diagnostik, radiasi menjadi sumber energi
untuk pencitraan. Radioologi diagnostik juga disebut sebagai radioskopi. Dengan
radiasi, dokter dapat melihat bagian dalam tubuh tanpa prosedur invasive
(Martadiani, 2017).
Berbagai kelainan dapat dilihat menggunakan pemeriksaan radiologi, salah
satunya adalah kelainan pada muskuloskeletal. Pada pemeriksaan radiologi untuk
kasus fraktur sering disarankan karena pada pemeriksaan radiologi bisa dianggap
membantu menentukan diagnosa fraktur, keterlibatan sendi dan penentuan porses

4
terapi berikutnya. Di Indonesia sendiri kelainan muskuloskeletal dapat
beranekaragam (Kemenkes, 2018). Oleh karena itu, referat ini diharapkan dapat
membantu memahami mengenai kelainan musculoskeletal terutama fraktur pada
radiologi.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana definisi, etiologi, klasifikasi dan gambaran radiologi fraktur
ekstremitas superior dan inferior?
1.3 Tujuan Penulisan
Mengetahui definisi, etiologi, klasifikasi dan gambaran radiologi fraktur
ekstremitas superior dan inferior?
1.4 Manfaat Penulisan
1. Menambah wawasan terhadap pemeriksaan radiologi khususnya pada
pemeriksaan radiologi fraktur ekstremitas superior dan inferior.
2. Sebagai proses pembelajaran untuk dokter muda yang mengikuti
kepaniteraan klinik bagian ilmu radiologi.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fraktur
2.1.1 Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang
rawan yang umumnya baik yang bersifat total maupun sebagian, biasanya
disebabkan trauma baik secara langsung maupun tidak langsung. Fraktur
digambarkan sebagai gangguan pada kontinuitas seluruh atau sebagian korteks
tulang. Jika melewati dua korteks, maka disebut fraktur complete. Jika hanya
sebagian korteks yang retak, maka disebut incomplete (Henderson,2012).
2.1.2 Klasifikasi
Secara umum, keadaan patah tulang secara klinis dapat diklasifikasikan
sebagai fraktur terbuka, fraktur tertutup dan fraktur dengan komplikasi. Fraktur
tertutup adalah fraktur dimana kulit tidak ditembus oleh fragmen tulang, sehingga
tempat fraktur tidak tercemar oleh lingkungan/dunia luar. Fraktur terbuka adalah
fraktur yang mempunyai hubungan dengan dunia luar melalui luka pada kulit dan
jaringan lunak, dapat terbentuk dari dalam maupun luar. Fraktur dengan komplikasi
adalah fraktur yang disertai dengan komplikasi seperti malunion, delayed union,
nounion dan infeksi tulang (Bucholz RW,2006). Menurut Apley Solomon fraktur
diklasifikasikan berdasarkan garis patah tulang dan berdasarkan bentuk patah
tulang (Solomon L, 2010).

Gambar 2.1 Complete fractures: (a) transversal; (b) segmental; (c) spiral.
Incomplete fractures: (d) fraktur buckle; (e, f) fraktur greenstick (Solomon et al.,
2010).

6
1. Complete
• Fraktur Transversal merupakan fraktur yang memotong lurus pada tulang
• Fraktur Segmental Adalah fraktur kominutif pada dimana sebagian poros
ada sebagai yang terisolasi fragmen
• Fraktur Spiral yaitu fraktur yang mengelilingi tungkai/lengan tulang.
• Fraktur Obliq yaitu fraktur yang garis patahnya miring membentuk sudut
melintasi tulang
• Fraktur Butterfly adalah fraktur kominutif dimana fragmen pusat memiliki
bentuk segitiga.
Berdasarkan radiologi, patahan fraktur dinilai bagi mengetahui tindakan
lanjut yang harus dilakukan setelah reduksi. Bagi fraktur transversal,fragmen tetap
pada tempatnya setelah direduksi, berbeda pula dengan spiral atau oblik, yang
memendek atau berlaku displacement walaupun tulang telah dibidai. Bagi fraktur
segmental pula, terlihat tulang terbahagi menjadi 3 bagian. Fragmen pada fraktur
impaksi pula terlihat tumpang tindih dan garis fraktur pula tidak jelas. Fraktur
kominutif pula menghasilkan lebih daripada dua fragmen, akibat permukaan fraktur
yang kurang menyatu sehingga menyebabkan kondisi tidak stabil (Solomon et al,
2010).
2. Incomplete
• Fraktur Bowing merupakan fraktur inkomplit tulang panjang tubular pada
pasien anak (terutama radius dan ulna) yang sering tidak memerlukan
intervensi dan sembuh dengan remodeling
• Fraktur Torus (Buckle) yaitu ketika tulang yang patah tidak sampai
memisahkan dua sisi tulang, pada kondisi ini sisi tulang yang retak akan
menonjol
• Fraktur Greenstick yaitu fraktur dimana satu sisi tulang retak dan sisi
lainnya bengkok, fraktur ini biasanya terjadi pada anak – anak hanya
melibatkan satu bagian daripada seluruh korteks.

7
2.2 Fraktur Ekstremitas Superior
2.2.1 Fraktur Humerus

Gambar 2.2 Fraktur supracondylar


Fraktur suprakondilaris humerus distal adalah fraktur umum pada anak-
anak, dan temuannya mungkin halus. Sebagian besar dari fraktur ini menghasilkan
perpindahan posterior dari capitellum humerus distal. Pada film lateral yang benar,
garis humerus anterior harus membagi dua bagian tengah capitellum. Ketika ada
fraktur supracondylar, garis ini akan melewati lebih anterior, seperti yang terjadi di
sini. Terdapat tanda lemak posterior positif hadir.

Gambar 2.3 Dislokasi posterior bahu


Dislokasi posterior bahu (tidak biasa). Kepala humerus tetap dalam rotasi
internal dan terlihat seperti bola lampu di semua pandangan bahu. Perhatikan aksila
atau Y-view untuk melihat apakah kepala masih terletak di dalam glenoid fossa.
Pada tampilan-Y (tampilan miring pada bahu), kepala akan terletak lateral ke
glenoid dalam dislokasi posterior.

8
Gambar 2.4 a.Displacement minimal b. Displacement moderat
Fraktur pada tulang humerus diklasifikasikan kepada 6 kelompok yaitu;
neck of humerus, greater tuberosity, shaft, supracondylar, condyle (usually lateral),
epicondyle (usuaaly medial).

Gambar 2.5 (a) fraktur spiral (trauma indirek) atau (b) fraktur transversal
(trauma direk)
Fraktur pada pertengahan humerus, dan menghasilkan (a) fraktur spiral
(trauma indirek) atau (b) fraktur transversal (trauma direk). Kerosakan pada saraf
radial bisa terjadi apabila displacement yang besar berlaku pada sesuatu fraktur.

9
2.2.2 Fraktur Antebrachii

Gambar 2.6 Fraktur colles, tampilan frontal (A) dan lateral (B).
Fraktur Colles adalah fraktur radius distal dengan angulasi dorsal, fragmen
fraktur radial distal yang disebabkan oleh jatuh pada tangan yang terulur Falls on
Outstretched Hand (kadang-kadang disingkat FOOSH). Terdapat fraktur radius
melintang pada sambungan kortikokanselosa, dan prosesus stiloideus ulnar sering
putus (Henderson,2012).

Gambar 2.7 Fraktur Smith


Fraktur Smith adalah fraktur radius distal dengan angulasi palmar dari
fragmen fraktur radial distal, kebalikan dari fraktur Colles. Ini disebabkan oleh
jatuh pada punggung tangan yang tertekuk. Penonjolan dorsal fragmen proksimal,
fragmen distal di sisi volar pergelangan, dan deviasi tangan ke radial (garden spade
devormity) (Mansjoer,2000). Terdapat fraktur pada metafisis radius distal; foto
lateral menunjukkan bahwa fragmen distal bergeser dan miring ke anterior-sangat
berlawanan dengan fraktur colles.

10
Gambar 2.8 AP/Latreal Fraktur Galeazzi
Fraktur melintang atau oblique yang pendek ditemukan pada sepertiga
bagian bawah radius, dengan angulasi atau tumpang-tindih. Sendi radioulnar
inferior bersubluksasi atau berdislokasi (Holmes & Misra,2004).

Gambar 2.9 AP/Latreal Fraktur Monteggia


Gambaran radiologis jelas memperlihatkan adanya fraktur ulna yang
disertai dislokasi sendi radio-humeral (Mansjoer,2000). Pada kasus biasa kaput
radius berdislokasi kedepan, dan terdapat fraktur pada sepertiga bagian atas ulna
dengan pelengkungan kedepan. Kadang-kadang dislokasi radius disertai dengan
fraktur olekranon. Kadang-kadang kaput radius berdislokasi ke posterior dan

11
fraktur ulna melengkung kebelakang. Pada fraktur ulna yang terisolasi, selalu
diperlukan pemeriksaan sinar X pada siku (Mansjoer,2000).

2.2.3 Fraktur Carpal dan Metacarpal

Gambar 2.10 Jones fraktur, basis 5 metatarsal


Fraktur Jones adalah fraktur transversal dari metatarsal ke-5 sekitar 1
sampai 2 cm dari dasarnya yang disebabkan oleh fleksi plantar kaki dan inversi
pergelangan kaki. Fraktur Jones mungkin membutuhkan waktu lebih lama untuk
pulih daripada fraktur avulsi yang lebih umum dari dasar metatarsal ke-5. Hal ini
disebabkan oleh fleksi plantar kaki dan inversi pergelangan kaki.

Gambar 2.11. Fraktur Boxer


Fraktur Boxer adalah fraktur leher metakarpal ke-5 (jari kelingking) dengan
angulasi palmar dari fraktur fraktur distal. Terkadang metacarpal ke-4 mungkin
terlibat. Ini paling sering merupakan hasil dari meninju seseorang atau dinding.

12
Terlepas dari namanya, itu bukan fraktur yang biasanya ditopang oleh petinju
profesional, yang metakarpal ke-2 dan ke-3 dan jari-jarinya menanggung beban
gaya.
2.3 Fraktur Ekstremitas Inferior
2.3.1 Fraktur Collum Femur
Fraktur collum femur merupakan fraktur yang terjadi di sebelah proksimal
linea intertrichanterica pada daerah intracapsular sendi panggul (Hoppenfeld dan
Murthy, 2011). Fraktur collum femur lebih banyak terjadi pada ras kaukasian,
wanita post menopause, dan penderita osteoporosis. Fraktur ini biasanya terjadi
akibat trauma. Pada penderita osteoporosis, kecelakaan yang ringan saja sudah bisa
menyebabkan fraktur. Pada orang usia muda fraktur biasanya terjadi akibat jatuh
dari ketinggian atau kecelakaan lalu lintas (Rockwood, 2015).
Klasifikasi menurut Garden berdasarkan pergeseran yang nampak dari hasil
X-Ray sebelum dilakukan reduksi (Apley, 2013).
• Garden Type I : fraktur inkomplit, termasuk fraktur abduksi dimana caput
femoris miring ke arah valgus yang berhubungan dengan collum femoris.
• Garden Type II : fraktur komplit, namun tidak terdapat pergeseran.
• Garden Type III: fraktur komplit disertai pergeseran parsial.
• Garden Type IV: fraktur komplit dengan pergeseran keseluruhan

Gambar 2.11 Klasifikasi Garden

13
Foto x-ray akan mengidentifikasi fraktur pada sebagian besar kasus dengan
posisi AP dan lateral. Pada sebagian besar kasus, diagnosisnya jelas dengan foto
AP. Namun, pencitraan menggunakan MRI digunakan dalam kasus yang tidak jelas
atau sulit dideteksi dengan manifestasi yang tampak sebagai garis T1 hipointens
tumpeng tindih pada area hyperintense edema yang lebih luas. MRI memungkinkan
evaluasi kemungkinan penyebab nyeri pinggul yang lebih luas (Sheehan, 2015)

Gambar 2.12 Radiografi anteroposterior (a) dan MRI (b)


Pada radiografi anteroposterior (a), fraktur tidak terlihat jelas. Tidak ada
bukti garis fraktur kortikal yang jelas dan tidak ada karakteristik overlap cortical,
seperti yang terlihat pada fraktur impaksi. Pada pemeriksaan MRI (b) yang
dilakukan menunjukkan garis fraktur hypointense (panah) yang tumpang tindih
pada area edema hypointense yang lebih luas (Sheehan, 2015).

Gambar 2.13 Fraktur inkomplit pada collum femur (garden tipe 1)

14
Gambar 2.14. Fraktur komplit collum femur (garden tipe 2)

Gambar 2.15. Fraktur komplit collum femur dengan


sedikit pergeseran (garden tipe 3)

Gambar 2.16. Fraktur komplit collum femur dengan pergeseran (garden 4)

15
2.3.2 Fraktur Intertrochanter
Fraktur intertrochanter merupakan fraktur antara trochanter mayor dan
trochanter minor yang termasuk dalam fraktur ekstrakapsular. Garis fraktur terjadi
mulai basis collum ekstrakapsular menuju region trochanter minor sampai sebelum
terbentuknya canalis medularis. Sering terjadi pada lanjut usia (Sjamsuhidajat &
Jong 2015).
Berdasarkan klasifikasi Kyle (1994), fraktur intertrochanter dapat dibagi
menjadi 4 tipe menurut kestabilan fragmen-fragmen tulangnya.

Gambar 41. Klasifikasi Kyle


Pemeriksaan Radiologi: Foto rontgen pelvis AP dan Lateral. Pemeriksaan
radiologis dapat menentukan jenis fraktur seberapa jauh pergeseran fraktur untuk
menentukan pengobatan yang tepat (Martadiyani, 2017).

Gambar 2.17 (panah merah) menunjukkan fraktur pada trokanter mayor, (panah
hijau) menunjukan gambaran fraktur trokanter minor, (panah putih) gambar
radiolusen yang ditunjukan pada panah putih, menggambarkan terjadi diantara
trokanter mayor dan minor

16
Gambar 2.18 Fraktur avulsi dari trokanter mayor

Gambar 2.19 Fraktur intertrochanteric dengan berbagai ciri morfologis pada


wanita antara usia 65 dan 80 tahun.
Radiografi anteroposterior pada gambar a menunjukkan fraktur tipe 1, yang
terlihat hanya sebagai garis patah nondisplaced yang membentang melalui korteks
lateral dan medial (panah). Radiografi anteroposterior pada gambar b diperoleh
pada pasien yang berbeda menunjukkan fraktur tipe 2 yang displaced namun tetap
mencerminkan cedera mekanis yang stabil (panah). Radiografi anteroposterior yang
diperoleh pada gambar ketiga menunjukkan fraktur tipe 4 yang lebih parah dengan
comminution pada korteks posteromedial (panah kecil) dan korteks posterolateral

17
(panah besar), temuan yang mengindikasikan adanya cedera yang sangat tidak
stabil (Sheehan, 2015).
2.3.3 Fraktur Subtrochanter
Fraktur dimana garis patahnya berada 5 cm distal dari trochanter minor dan
penyebabnya adalah trauma langsung (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian).
Dapat terjadi di semua umur (Sjamsuhidajat & Jong 2015).
Klasifikasi Russell dan Taylor yaitu :
• Tipe 1A : berada di dalam zona yang melibatkan fossa piriformis dan trochanter
minor
• Tipe IB: serupa dengan tipe IA, dengan terpisahnya fragmen fraktur trochanter
minor
• Tipe 2A: memiliki buttress medial stabil
• Tipe 2B: mirip dengan tipe 2A namun seperti tipe 1B, terdapat fragmen fraktur
trochanter minor yang terpisah

Gambar 2.20 Klasifikasi Russell-Taylor


Pada fraktur subtrokanter dapat ditemukan garis fraktur yang berada pada
atau dibawah trokanter minor yang bersifat melintang, oblik atau spiral, dan sering
komunitif. Fragmen bagian atas berfleksi dan tampak seakan-akan pendek, batang
beradduksi dan bergeser ke bagian proksimal (Apley, 2013).

18
Gambar 2.21 Fraktur subtrochanter tipe 1B pada wanita 84 tahun
Pada gambar (a) terlihat radiografi posisi anteroposterior yang
menunjukkan fraktur subtrochanteric comminuted dengan komponen fraktur spiral
yang mengganggu korteks femoralis lateral dan medial dan mengkompromikan
korteks femoral posteromedial dan trokanter mayor kecil (panah kecil) namun
mengecualikan fossa piriformis (panah besar). Fraktur diklasifikasikan sebagai tipe
1B. Sedangkan pada gambar (b) terlihat radiografi anteroposterior pasca fiksasi
dengan menggunakan intramedullary nail (Sheehan, 2015).

Gambar 2.22. Fraktur subtrokanter (tipe 1)

Gambar 2.23. Fraktur subtrokanter (tipe 2)

19
2.3.4 Fraktur Shaft Femur
Fraktur batang femur biasanya terjadi karena trauma langsung akibat
kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari ketinggian, patah pada daerah ini dapat
menimbulkan perdarahan yang cukup banyak dan mengakibatkan penderita jatuh
dalam kondisi syok.
Klasifikasi Winquist dan Hansen digunakan untuk memprediksi fraktur
mana yang berpotensi untuk menyebabkan terjadinya pemendekan (shortening)
yang kemudian memerlukan tindakan interlocked naling.

Gambar 2.24 Klasifikasi Winquist dan Hansen

Pemeriksaan Radiologi: Foto polos AP-lateral untuk menentukan lokasi dan


jenis fraktur (Martadiani, 2017).

20
Gambar 2.25. Fraktur shaft femur (transversal)

Gambar 2.26. Fraktur shaft femur (oblique)

Gambar 2.27. Fraktur shaft femur (spiral)

21
Gambar 2.28 Fraktur shaft femur (comminuted)
2.3.5 Fraktur Patella
Fraktur patella merupakan suatu gangguan integritas tulang yang ditandai
dengan rusaknya atau terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang ditandai dengan
rusaknya atau terputusnya kontinuitas jaringan tulang dikarenakan tekanan yang
berlebihan yang terjadi pada tempurug lutut (Mansjoer, 2000).
Fraktur patela umumnya diklasifikasikan menurut pola morfologi dan
derajat pergeserannya. Pendekatan yang berguna dari segi klinis dimulai dengan
mengklasifikasikan fraktur patela sebagai displaced atau nondisplaced. Fraktur
patela displaced didefinisikan sebagai pemisahan fragmen fraktur lebih dari 3 mm
atau inkongruitas artikular lebih dari 2 mm. Setelah fraktur diklasifikasikan sebagai
displaced dan nondisplaced, fraktur dapat dikategorikan lebih lanjut berdasarkan
konfigurasi geometris garis patah. Pola yang digambarkan meliputi transversal atau
horisontal, stellata atau kominutif,, vertikal atau longitudinal, apikal atau marginal
dan osteokondral (Scolaro, 2011).

Gambar 2.29. Klasifikasi fraktur patela

22
Foto X-ray posisi lateral untuk menentukan jenis fraktur serta disertai
robekan dari ekspansi ekstensor (Herring, 2016).

Gambar 2.30 Fraktur Transversal Patela. (a,d) gambar; (b,e) radiografi


anteroposterior (c,f) permukaan CT scan 3D. (a-c) Nondisplaced; (d-f) displaced
(Jarrayal, 2016).

Gambar 2.31 Fraktur patela kutub distal pada pria berusia 39 tahun. (a) gambar,
(b) radiograf anteroposterior, (c) radiograf lateral memperlihatkan fraktur
transverse pada kutub distal patella (Jarrayal, 2016).

Gambar 2.32 Fraktur stellata (multifragmen undisplaced) (a) gambar, (b)


radiograf anteroposterior, (c) sagital dan (d) koronal MRI menunjukkan fraktur
stellate nondisplaced pada pria usia 36 tahun (Jarrayal, 2016).

23
Gambar 2.33 Fraktur stellata (multifragmented displaced) (a) gambar, (b)
radiograf anteroposterior dan (c) sagital CT memperlihatkan frakturdisplaced
kominutif (Jarrayal, 2016).

Gambar 2.34 Fraktur vertikal pada patella kanan pria usia 34 tahun (a) gambar,
(b) anteroposterior dan (c) skyline view (Jarrayal, 2016).

Gambar 2.35 Fraktur osteokondral dari dislokasi patella lateral pada wanita usia
27 tahun (a) gambar, (b) MRI (Jarrayal, 2016).
2.3.6 Fraktur Shaft Tibia dan Fibula
Fraktur diafisis tibia dan fibula merupakan fraktur yang lebih sering
ditemukan bersama. Fraktur diafisis tibia biasanya terjadi pada 1/3 tengah dan 1/3
distal, sedangkan fraktur diafisis fibula biasanya terjadi pada 1/3 tengah dan 1/3
proksimal (Herring, 2016).
Klasifikasi dari fraktur diafisis tibia bermanfaat untuk kepentingan para
dokter yang menggunakannya untuk memperkirakan kemungkinan penyembuhan
dari fraktur dalam menjalankan penatalaksanaannya. Orthopaedic Trauma
Association (OTA) membagi fraktur diafisis tibia berdasarkan pemeriksaan
radiografi, terbagi 3 grup, yaitu: simple, wedge dan kompleks. Masing–masing grup
terbagi lagi menjadi 3 yaitu:

24
A. Tipe simple, terbagi 3: spiral, oblik, tranversal.
B. Tipe wedge, terbagi 3: spiral, bending, dan fragmen.
C. Tipe kompleks, terbagi 3: spiral, segmen, dan iregular.

Gambar 2.36 Klasifikasi fraktur menurut OTA

Gambar 2.37 Displaced fraktur spiral minimal pada distal tibia akibat twisting
pada cedera sepakbola. (a) radiograf AP dan (b) lateral menunjukkan gambaran
fraktur tibia (panah) tanpa asosiasi dengan tulang fibula.

25
Gambar 2.38 (a) radiografi AP dan (b) lateral tampak gambaran displaced
minimal fraktur transversal dari tibia dan fibula bagian tengah

Gambar 2.39 Radiograf AP menunjukkan gambaran fraktur wedge (butterfly


fragment) dari proksimal tiba dengan fraktur kominutif fibula
2.3.7 Fraktur Metatarsal dan Phalanges
Fraktur metatarsal dapat terjadi pada bagian basis metatarsal V, diafisis
metatarsal dan leher metatarsal. Fraktur metatarsal sering terjadi bila dorsum kaki
tertimpa benda berat atau terlindas roda kendaraan. Biasanya terjadi fraktur pada
beberapa tulang metatarsal sekaligus. Fraktur phalanges adalah terputusnya
hubungan tulang jari-jari kaki yang disebabkan oleh trauma langsung pada kaki.
Radiologi: Foto X-ray posisi AP, lateral, dan oblique untuk mengetahui
adanya pergeseran fragmen, komunitif atau fraktur sederhana (Rockwood, 2015).

26
Gambar 2.40 Fraktur metatarsal

Gambar 2.41 Gambaran radiologis fraktur kominutif pada metatarsal I. Sebelum


diterapi (A) dan saat diterapi (B).

Gambar 2.42 Gambaran radiologis fraktur displaced pada shaft metatarsal II, III,
dan IV. Sebelum diterapi (A) dan saat diterapi (B).

27
Gambar 2.43 Fraktur pada phalanges
2.4 Penatalaksanaan Fraktur pada Ekstremitas
Tujuan utama dalam penanganan awal fraktur adalah untuk mempertahankan
kehidupan pasien dan yang kedua adalah mempertahankan baik anatomi maupun
fungsi ekstrimitas seperti semula. Adapun beberapa hal yang harus diperhatikan
dalam penanganan fraktur yang tepat adalah (1) survey primer yang meliputi
Airway, Breathing, Circulation, (2) meminimalisir rasa nyeri (3) mencegah cedera
iskemia-reperfusi, (4) menghilangkan dan mencegah sumber- sumber potensial
kontaminasi. Ketika semua hal diatas telah tercapai maka fraktur dapat direduksi
dan reposisi sehingga dapat mengoptimalisasi kondisi tulang untuk proses
persambungan tulang dan meminimilisasi komplikasi lebih lanjut.
Imobilisasi fraktur adalah mengembalikan atau memperbaiki bagian tulang
yang patah kedalam bentuk yang mendekati semula (anatomis)nya, Cara-cara yang
dilakukan meliputi reduksi, traksi, dan imobilisasi. Reduksi terdiri dari dua jenis,
yaitu tertutup dan terbuka. Reduksi tertutup (Close reduction) adalah tindakan non
bedah atau manipulasi untuk mengembalikan posisi tulang yang patah, tindakan
tetap memerlukan lokal anestesi ataupun umum. Reduksi terbuka (Open reduction)
adalah tindakan pembedahan dengan tujuan perbaikan bentuk tulang. Sering
dilakukan dengan internal fiksasi yaitu dengan menggunakan kawat, screws, pins,
plate, intermedulari rods atau nail. Selanjutnya metode traksi dilakukan dengan cara
menarik tulang yang patah dengan tujuan meluruskan atau mereposisi bentuk dan
panjang tulang yang patah tersebut. Ada dua macam jenis traksi yaitu skin traksi
dan skeletal traksi (Asrizal,2014).

28
Skin traksi adalah menarik bagian tulang yang patah dengan menempelkan
pleter langsung pada kulit untuk mempertahankan bentuk, membentuk
menimbulkan spasme otot pada bagian yang cidera, dan biasanya digunakan untuk
jangka pendek. Skeletal Traksi adalah traksi yang digunakan untuk meluruskan
tulang yang cidera pada sendi panjang untuk mempertahankan bentuk dengan
memasukkan pins atau kawat ke dalam tulang. Imobilisasi, setelah dilakukan
reposisi secara reduksi atau traksi pada fragmen tulang yang patah, dilakukan
imobilisasi dan hendaknya anggota badan yang mengalami fraktur tersebut
diminimalisir gerakannya untuk mencegah tulang berubah posisi kembali
(Asrizal,2014).
Pada fraktur yang tidak berubah posisinya dilakukan pemasangan gips di atas
melebihi dua sendi. Pada fraktur yang posisinya berubah harus dilakukan reposisi
tertutup untuk kemudian dipasang gips. Reposisi terbuka juga lebih sering
diperlukan pada patah tulang yang disertai dislokasi sendi (Mansjoer,2000).

29
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pemeriksaan radiologi merupakan hal penting untuk mendiagnosis suatu
kelainan pada musculoskeletal terutama fraktur. Fraktur adalah istilah dari
hilangnya kontinuitas tulang, baik secara total atau pun sebagian. Fraktur biasanya
disebabkan oleh terauma, terjadinya fraktur total atau sebagian di tentukan dari
kekuatan trauma, sudut, kondisi tulang serta jaringan lunak yang berada disekitar
tulang. Pada pemeriksaan radiologi untuk kasus fraktur sering disarankan karena
pada pemeriksaan radiologi bisa dianggap membantu menentukan diagnosa fraktur,
keterlibatan sendi dan penentuan porses terapi berikutnya. Sehingga, penting bagi
kita untuk memahami bagaimana gambaran radiologi pada kelaian musculoskeletal
terutama fraktur.
3.2 Saran
Dalam penegakan diagnosa sebuah fraktur pada ekstermitas diperlukan
anamnesa dan pemeriksaan fisik yang lengkap, disertai pemeriksaan penunjang
yang tepat. Pemeriksaan radiologi merupakan salah satu pemeriksaan penunjangan
yang baik untuk mendeteksi suatu fraktur.

30
DAFTAR PUSTAKA

Appley, G.A & Solomon, Louis. 2013. Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley. Jakarta:
Widya Medika.
Bucholz RW, Heckman JD, Court-Brown CM. Rockwood & Green's Fractures in
Adults, 6th Edition. USA: Maryland Composition. 2006. p80-331
Djamal, R., Rompas, S., dan Bawotong, J. 2015. Pengaruh Terapi Music Terhadap
Skala Nyeri pada Pasien Fraktur di Irina A RSUP Prof. R.D. Kandou Manado.
e-Journal Keperawatan (eKp). Vol.3, No.2: 1-6.
Henderson. Kedokteran Emergensi. Jakarta: EGC; 2012. hal.257-259
Herring, William. 2016. Learning Radiology: Recognizing The Basics 3rd Ed.
Philadelphia: Elsevier.
Hoppenfeld Stanley dan Murthy Vasanhaal. 2008. Terapi dan Rehabilitasi Fraktur.
Jakarta: EKG.
Jarrayal, M, Diaz, LE, Arnd, WF, Roemer, FW, Germazi, A. Imaging of pattellar
fractures. Springer, 2016
Kemenkes. Hasil Utama Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan Republik Indonesia. 2018.
Kumar, V., Abbas, A. K., Fausto, N., & Aster, J. C. 2010. Robbins and Cotran
Pathologic Basis of Disease 8th Edition. Philadelphia: Saunders Elsevier.
Mansjoer, A., Suprohaita., Wardhani W. I., Setiowulan, W. Fraktur Antebrakial
Distal. Kapita Selekta. Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2000. hal. 351-352.
Martadiani, Elysanti Dwi. 2017. Buku Panduan Belajar Koas Radiologi. Udayana
University Press.
Rockwood and Green. 2015. Fractures in adults. 8thed. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins.
Scolaro J, Bernstein J, Ahn J. Patellar fractures. Clin Orthop Relat Res. 2011;
469:1213–1215.
Sheehan SE, Shyu JY, Weaver MJ, Sodickson AD, Khurana B. Proximal Femoral
Fractures: What the Orthopedic Surgeon Wants to Know. RadioGraphics
2015; 35:1563–1584. Accesed www.rsna.org/education/search/RG

31
Sjamsuhidayat R dan De Jong W. 2015. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC
Solomon L, Warwick D, Nayagam S. Apley’s System of Orthopaedics and
Fractures Ninth Edition. London: Hodder Education. 2010. p687-732

32

Anda mungkin juga menyukai