Oleh:
Salsabilla Sahara 22004101052
Rahmadani Alfitra Santri 22004101053
Pembimbing:
dr. Fitri Purbasari, Sp.Rad
1
KATA PENGANTAR
Penulis
2
DAFTAR ISI
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
terapi berikutnya. Di Indonesia sendiri kelainan muskuloskeletal dapat
beranekaragam (Kemenkes, 2018). Oleh karena itu, referat ini diharapkan dapat
membantu memahami mengenai kelainan musculoskeletal terutama fraktur pada
radiologi.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana definisi, etiologi, klasifikasi dan gambaran radiologi fraktur
ekstremitas superior dan inferior?
1.3 Tujuan Penulisan
Mengetahui definisi, etiologi, klasifikasi dan gambaran radiologi fraktur
ekstremitas superior dan inferior?
1.4 Manfaat Penulisan
1. Menambah wawasan terhadap pemeriksaan radiologi khususnya pada
pemeriksaan radiologi fraktur ekstremitas superior dan inferior.
2. Sebagai proses pembelajaran untuk dokter muda yang mengikuti
kepaniteraan klinik bagian ilmu radiologi.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Fraktur
2.1.1 Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang
rawan yang umumnya baik yang bersifat total maupun sebagian, biasanya
disebabkan trauma baik secara langsung maupun tidak langsung. Fraktur
digambarkan sebagai gangguan pada kontinuitas seluruh atau sebagian korteks
tulang. Jika melewati dua korteks, maka disebut fraktur complete. Jika hanya
sebagian korteks yang retak, maka disebut incomplete (Henderson,2012).
2.1.2 Klasifikasi
Secara umum, keadaan patah tulang secara klinis dapat diklasifikasikan
sebagai fraktur terbuka, fraktur tertutup dan fraktur dengan komplikasi. Fraktur
tertutup adalah fraktur dimana kulit tidak ditembus oleh fragmen tulang, sehingga
tempat fraktur tidak tercemar oleh lingkungan/dunia luar. Fraktur terbuka adalah
fraktur yang mempunyai hubungan dengan dunia luar melalui luka pada kulit dan
jaringan lunak, dapat terbentuk dari dalam maupun luar. Fraktur dengan komplikasi
adalah fraktur yang disertai dengan komplikasi seperti malunion, delayed union,
nounion dan infeksi tulang (Bucholz RW,2006). Menurut Apley Solomon fraktur
diklasifikasikan berdasarkan garis patah tulang dan berdasarkan bentuk patah
tulang (Solomon L, 2010).
Gambar 2.1 Complete fractures: (a) transversal; (b) segmental; (c) spiral.
Incomplete fractures: (d) fraktur buckle; (e, f) fraktur greenstick (Solomon et al.,
2010).
6
1. Complete
• Fraktur Transversal merupakan fraktur yang memotong lurus pada tulang
• Fraktur Segmental Adalah fraktur kominutif pada dimana sebagian poros
ada sebagai yang terisolasi fragmen
• Fraktur Spiral yaitu fraktur yang mengelilingi tungkai/lengan tulang.
• Fraktur Obliq yaitu fraktur yang garis patahnya miring membentuk sudut
melintasi tulang
• Fraktur Butterfly adalah fraktur kominutif dimana fragmen pusat memiliki
bentuk segitiga.
Berdasarkan radiologi, patahan fraktur dinilai bagi mengetahui tindakan
lanjut yang harus dilakukan setelah reduksi. Bagi fraktur transversal,fragmen tetap
pada tempatnya setelah direduksi, berbeda pula dengan spiral atau oblik, yang
memendek atau berlaku displacement walaupun tulang telah dibidai. Bagi fraktur
segmental pula, terlihat tulang terbahagi menjadi 3 bagian. Fragmen pada fraktur
impaksi pula terlihat tumpang tindih dan garis fraktur pula tidak jelas. Fraktur
kominutif pula menghasilkan lebih daripada dua fragmen, akibat permukaan fraktur
yang kurang menyatu sehingga menyebabkan kondisi tidak stabil (Solomon et al,
2010).
2. Incomplete
• Fraktur Bowing merupakan fraktur inkomplit tulang panjang tubular pada
pasien anak (terutama radius dan ulna) yang sering tidak memerlukan
intervensi dan sembuh dengan remodeling
• Fraktur Torus (Buckle) yaitu ketika tulang yang patah tidak sampai
memisahkan dua sisi tulang, pada kondisi ini sisi tulang yang retak akan
menonjol
• Fraktur Greenstick yaitu fraktur dimana satu sisi tulang retak dan sisi
lainnya bengkok, fraktur ini biasanya terjadi pada anak – anak hanya
melibatkan satu bagian daripada seluruh korteks.
7
2.2 Fraktur Ekstremitas Superior
2.2.1 Fraktur Humerus
8
Gambar 2.4 a.Displacement minimal b. Displacement moderat
Fraktur pada tulang humerus diklasifikasikan kepada 6 kelompok yaitu;
neck of humerus, greater tuberosity, shaft, supracondylar, condyle (usually lateral),
epicondyle (usuaaly medial).
Gambar 2.5 (a) fraktur spiral (trauma indirek) atau (b) fraktur transversal
(trauma direk)
Fraktur pada pertengahan humerus, dan menghasilkan (a) fraktur spiral
(trauma indirek) atau (b) fraktur transversal (trauma direk). Kerosakan pada saraf
radial bisa terjadi apabila displacement yang besar berlaku pada sesuatu fraktur.
9
2.2.2 Fraktur Antebrachii
Gambar 2.6 Fraktur colles, tampilan frontal (A) dan lateral (B).
Fraktur Colles adalah fraktur radius distal dengan angulasi dorsal, fragmen
fraktur radial distal yang disebabkan oleh jatuh pada tangan yang terulur Falls on
Outstretched Hand (kadang-kadang disingkat FOOSH). Terdapat fraktur radius
melintang pada sambungan kortikokanselosa, dan prosesus stiloideus ulnar sering
putus (Henderson,2012).
10
Gambar 2.8 AP/Latreal Fraktur Galeazzi
Fraktur melintang atau oblique yang pendek ditemukan pada sepertiga
bagian bawah radius, dengan angulasi atau tumpang-tindih. Sendi radioulnar
inferior bersubluksasi atau berdislokasi (Holmes & Misra,2004).
11
fraktur ulna melengkung kebelakang. Pada fraktur ulna yang terisolasi, selalu
diperlukan pemeriksaan sinar X pada siku (Mansjoer,2000).
12
Terlepas dari namanya, itu bukan fraktur yang biasanya ditopang oleh petinju
profesional, yang metakarpal ke-2 dan ke-3 dan jari-jarinya menanggung beban
gaya.
2.3 Fraktur Ekstremitas Inferior
2.3.1 Fraktur Collum Femur
Fraktur collum femur merupakan fraktur yang terjadi di sebelah proksimal
linea intertrichanterica pada daerah intracapsular sendi panggul (Hoppenfeld dan
Murthy, 2011). Fraktur collum femur lebih banyak terjadi pada ras kaukasian,
wanita post menopause, dan penderita osteoporosis. Fraktur ini biasanya terjadi
akibat trauma. Pada penderita osteoporosis, kecelakaan yang ringan saja sudah bisa
menyebabkan fraktur. Pada orang usia muda fraktur biasanya terjadi akibat jatuh
dari ketinggian atau kecelakaan lalu lintas (Rockwood, 2015).
Klasifikasi menurut Garden berdasarkan pergeseran yang nampak dari hasil
X-Ray sebelum dilakukan reduksi (Apley, 2013).
• Garden Type I : fraktur inkomplit, termasuk fraktur abduksi dimana caput
femoris miring ke arah valgus yang berhubungan dengan collum femoris.
• Garden Type II : fraktur komplit, namun tidak terdapat pergeseran.
• Garden Type III: fraktur komplit disertai pergeseran parsial.
• Garden Type IV: fraktur komplit dengan pergeseran keseluruhan
13
Foto x-ray akan mengidentifikasi fraktur pada sebagian besar kasus dengan
posisi AP dan lateral. Pada sebagian besar kasus, diagnosisnya jelas dengan foto
AP. Namun, pencitraan menggunakan MRI digunakan dalam kasus yang tidak jelas
atau sulit dideteksi dengan manifestasi yang tampak sebagai garis T1 hipointens
tumpeng tindih pada area hyperintense edema yang lebih luas. MRI memungkinkan
evaluasi kemungkinan penyebab nyeri pinggul yang lebih luas (Sheehan, 2015)
14
Gambar 2.14. Fraktur komplit collum femur (garden tipe 2)
15
2.3.2 Fraktur Intertrochanter
Fraktur intertrochanter merupakan fraktur antara trochanter mayor dan
trochanter minor yang termasuk dalam fraktur ekstrakapsular. Garis fraktur terjadi
mulai basis collum ekstrakapsular menuju region trochanter minor sampai sebelum
terbentuknya canalis medularis. Sering terjadi pada lanjut usia (Sjamsuhidajat &
Jong 2015).
Berdasarkan klasifikasi Kyle (1994), fraktur intertrochanter dapat dibagi
menjadi 4 tipe menurut kestabilan fragmen-fragmen tulangnya.
Gambar 2.17 (panah merah) menunjukkan fraktur pada trokanter mayor, (panah
hijau) menunjukan gambaran fraktur trokanter minor, (panah putih) gambar
radiolusen yang ditunjukan pada panah putih, menggambarkan terjadi diantara
trokanter mayor dan minor
16
Gambar 2.18 Fraktur avulsi dari trokanter mayor
17
(panah besar), temuan yang mengindikasikan adanya cedera yang sangat tidak
stabil (Sheehan, 2015).
2.3.3 Fraktur Subtrochanter
Fraktur dimana garis patahnya berada 5 cm distal dari trochanter minor dan
penyebabnya adalah trauma langsung (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian).
Dapat terjadi di semua umur (Sjamsuhidajat & Jong 2015).
Klasifikasi Russell dan Taylor yaitu :
• Tipe 1A : berada di dalam zona yang melibatkan fossa piriformis dan trochanter
minor
• Tipe IB: serupa dengan tipe IA, dengan terpisahnya fragmen fraktur trochanter
minor
• Tipe 2A: memiliki buttress medial stabil
• Tipe 2B: mirip dengan tipe 2A namun seperti tipe 1B, terdapat fragmen fraktur
trochanter minor yang terpisah
18
Gambar 2.21 Fraktur subtrochanter tipe 1B pada wanita 84 tahun
Pada gambar (a) terlihat radiografi posisi anteroposterior yang
menunjukkan fraktur subtrochanteric comminuted dengan komponen fraktur spiral
yang mengganggu korteks femoralis lateral dan medial dan mengkompromikan
korteks femoral posteromedial dan trokanter mayor kecil (panah kecil) namun
mengecualikan fossa piriformis (panah besar). Fraktur diklasifikasikan sebagai tipe
1B. Sedangkan pada gambar (b) terlihat radiografi anteroposterior pasca fiksasi
dengan menggunakan intramedullary nail (Sheehan, 2015).
19
2.3.4 Fraktur Shaft Femur
Fraktur batang femur biasanya terjadi karena trauma langsung akibat
kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari ketinggian, patah pada daerah ini dapat
menimbulkan perdarahan yang cukup banyak dan mengakibatkan penderita jatuh
dalam kondisi syok.
Klasifikasi Winquist dan Hansen digunakan untuk memprediksi fraktur
mana yang berpotensi untuk menyebabkan terjadinya pemendekan (shortening)
yang kemudian memerlukan tindakan interlocked naling.
20
Gambar 2.25. Fraktur shaft femur (transversal)
21
Gambar 2.28 Fraktur shaft femur (comminuted)
2.3.5 Fraktur Patella
Fraktur patella merupakan suatu gangguan integritas tulang yang ditandai
dengan rusaknya atau terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang ditandai dengan
rusaknya atau terputusnya kontinuitas jaringan tulang dikarenakan tekanan yang
berlebihan yang terjadi pada tempurug lutut (Mansjoer, 2000).
Fraktur patela umumnya diklasifikasikan menurut pola morfologi dan
derajat pergeserannya. Pendekatan yang berguna dari segi klinis dimulai dengan
mengklasifikasikan fraktur patela sebagai displaced atau nondisplaced. Fraktur
patela displaced didefinisikan sebagai pemisahan fragmen fraktur lebih dari 3 mm
atau inkongruitas artikular lebih dari 2 mm. Setelah fraktur diklasifikasikan sebagai
displaced dan nondisplaced, fraktur dapat dikategorikan lebih lanjut berdasarkan
konfigurasi geometris garis patah. Pola yang digambarkan meliputi transversal atau
horisontal, stellata atau kominutif,, vertikal atau longitudinal, apikal atau marginal
dan osteokondral (Scolaro, 2011).
22
Foto X-ray posisi lateral untuk menentukan jenis fraktur serta disertai
robekan dari ekspansi ekstensor (Herring, 2016).
Gambar 2.31 Fraktur patela kutub distal pada pria berusia 39 tahun. (a) gambar,
(b) radiograf anteroposterior, (c) radiograf lateral memperlihatkan fraktur
transverse pada kutub distal patella (Jarrayal, 2016).
23
Gambar 2.33 Fraktur stellata (multifragmented displaced) (a) gambar, (b)
radiograf anteroposterior dan (c) sagital CT memperlihatkan frakturdisplaced
kominutif (Jarrayal, 2016).
Gambar 2.34 Fraktur vertikal pada patella kanan pria usia 34 tahun (a) gambar,
(b) anteroposterior dan (c) skyline view (Jarrayal, 2016).
Gambar 2.35 Fraktur osteokondral dari dislokasi patella lateral pada wanita usia
27 tahun (a) gambar, (b) MRI (Jarrayal, 2016).
2.3.6 Fraktur Shaft Tibia dan Fibula
Fraktur diafisis tibia dan fibula merupakan fraktur yang lebih sering
ditemukan bersama. Fraktur diafisis tibia biasanya terjadi pada 1/3 tengah dan 1/3
distal, sedangkan fraktur diafisis fibula biasanya terjadi pada 1/3 tengah dan 1/3
proksimal (Herring, 2016).
Klasifikasi dari fraktur diafisis tibia bermanfaat untuk kepentingan para
dokter yang menggunakannya untuk memperkirakan kemungkinan penyembuhan
dari fraktur dalam menjalankan penatalaksanaannya. Orthopaedic Trauma
Association (OTA) membagi fraktur diafisis tibia berdasarkan pemeriksaan
radiografi, terbagi 3 grup, yaitu: simple, wedge dan kompleks. Masing–masing grup
terbagi lagi menjadi 3 yaitu:
24
A. Tipe simple, terbagi 3: spiral, oblik, tranversal.
B. Tipe wedge, terbagi 3: spiral, bending, dan fragmen.
C. Tipe kompleks, terbagi 3: spiral, segmen, dan iregular.
Gambar 2.37 Displaced fraktur spiral minimal pada distal tibia akibat twisting
pada cedera sepakbola. (a) radiograf AP dan (b) lateral menunjukkan gambaran
fraktur tibia (panah) tanpa asosiasi dengan tulang fibula.
25
Gambar 2.38 (a) radiografi AP dan (b) lateral tampak gambaran displaced
minimal fraktur transversal dari tibia dan fibula bagian tengah
26
Gambar 2.40 Fraktur metatarsal
Gambar 2.42 Gambaran radiologis fraktur displaced pada shaft metatarsal II, III,
dan IV. Sebelum diterapi (A) dan saat diterapi (B).
27
Gambar 2.43 Fraktur pada phalanges
2.4 Penatalaksanaan Fraktur pada Ekstremitas
Tujuan utama dalam penanganan awal fraktur adalah untuk mempertahankan
kehidupan pasien dan yang kedua adalah mempertahankan baik anatomi maupun
fungsi ekstrimitas seperti semula. Adapun beberapa hal yang harus diperhatikan
dalam penanganan fraktur yang tepat adalah (1) survey primer yang meliputi
Airway, Breathing, Circulation, (2) meminimalisir rasa nyeri (3) mencegah cedera
iskemia-reperfusi, (4) menghilangkan dan mencegah sumber- sumber potensial
kontaminasi. Ketika semua hal diatas telah tercapai maka fraktur dapat direduksi
dan reposisi sehingga dapat mengoptimalisasi kondisi tulang untuk proses
persambungan tulang dan meminimilisasi komplikasi lebih lanjut.
Imobilisasi fraktur adalah mengembalikan atau memperbaiki bagian tulang
yang patah kedalam bentuk yang mendekati semula (anatomis)nya, Cara-cara yang
dilakukan meliputi reduksi, traksi, dan imobilisasi. Reduksi terdiri dari dua jenis,
yaitu tertutup dan terbuka. Reduksi tertutup (Close reduction) adalah tindakan non
bedah atau manipulasi untuk mengembalikan posisi tulang yang patah, tindakan
tetap memerlukan lokal anestesi ataupun umum. Reduksi terbuka (Open reduction)
adalah tindakan pembedahan dengan tujuan perbaikan bentuk tulang. Sering
dilakukan dengan internal fiksasi yaitu dengan menggunakan kawat, screws, pins,
plate, intermedulari rods atau nail. Selanjutnya metode traksi dilakukan dengan cara
menarik tulang yang patah dengan tujuan meluruskan atau mereposisi bentuk dan
panjang tulang yang patah tersebut. Ada dua macam jenis traksi yaitu skin traksi
dan skeletal traksi (Asrizal,2014).
28
Skin traksi adalah menarik bagian tulang yang patah dengan menempelkan
pleter langsung pada kulit untuk mempertahankan bentuk, membentuk
menimbulkan spasme otot pada bagian yang cidera, dan biasanya digunakan untuk
jangka pendek. Skeletal Traksi adalah traksi yang digunakan untuk meluruskan
tulang yang cidera pada sendi panjang untuk mempertahankan bentuk dengan
memasukkan pins atau kawat ke dalam tulang. Imobilisasi, setelah dilakukan
reposisi secara reduksi atau traksi pada fragmen tulang yang patah, dilakukan
imobilisasi dan hendaknya anggota badan yang mengalami fraktur tersebut
diminimalisir gerakannya untuk mencegah tulang berubah posisi kembali
(Asrizal,2014).
Pada fraktur yang tidak berubah posisinya dilakukan pemasangan gips di atas
melebihi dua sendi. Pada fraktur yang posisinya berubah harus dilakukan reposisi
tertutup untuk kemudian dipasang gips. Reposisi terbuka juga lebih sering
diperlukan pada patah tulang yang disertai dislokasi sendi (Mansjoer,2000).
29
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pemeriksaan radiologi merupakan hal penting untuk mendiagnosis suatu
kelainan pada musculoskeletal terutama fraktur. Fraktur adalah istilah dari
hilangnya kontinuitas tulang, baik secara total atau pun sebagian. Fraktur biasanya
disebabkan oleh terauma, terjadinya fraktur total atau sebagian di tentukan dari
kekuatan trauma, sudut, kondisi tulang serta jaringan lunak yang berada disekitar
tulang. Pada pemeriksaan radiologi untuk kasus fraktur sering disarankan karena
pada pemeriksaan radiologi bisa dianggap membantu menentukan diagnosa fraktur,
keterlibatan sendi dan penentuan porses terapi berikutnya. Sehingga, penting bagi
kita untuk memahami bagaimana gambaran radiologi pada kelaian musculoskeletal
terutama fraktur.
3.2 Saran
Dalam penegakan diagnosa sebuah fraktur pada ekstermitas diperlukan
anamnesa dan pemeriksaan fisik yang lengkap, disertai pemeriksaan penunjang
yang tepat. Pemeriksaan radiologi merupakan salah satu pemeriksaan penunjangan
yang baik untuk mendeteksi suatu fraktur.
30
DAFTAR PUSTAKA
Appley, G.A & Solomon, Louis. 2013. Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley. Jakarta:
Widya Medika.
Bucholz RW, Heckman JD, Court-Brown CM. Rockwood & Green's Fractures in
Adults, 6th Edition. USA: Maryland Composition. 2006. p80-331
Djamal, R., Rompas, S., dan Bawotong, J. 2015. Pengaruh Terapi Music Terhadap
Skala Nyeri pada Pasien Fraktur di Irina A RSUP Prof. R.D. Kandou Manado.
e-Journal Keperawatan (eKp). Vol.3, No.2: 1-6.
Henderson. Kedokteran Emergensi. Jakarta: EGC; 2012. hal.257-259
Herring, William. 2016. Learning Radiology: Recognizing The Basics 3rd Ed.
Philadelphia: Elsevier.
Hoppenfeld Stanley dan Murthy Vasanhaal. 2008. Terapi dan Rehabilitasi Fraktur.
Jakarta: EKG.
Jarrayal, M, Diaz, LE, Arnd, WF, Roemer, FW, Germazi, A. Imaging of pattellar
fractures. Springer, 2016
Kemenkes. Hasil Utama Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan Republik Indonesia. 2018.
Kumar, V., Abbas, A. K., Fausto, N., & Aster, J. C. 2010. Robbins and Cotran
Pathologic Basis of Disease 8th Edition. Philadelphia: Saunders Elsevier.
Mansjoer, A., Suprohaita., Wardhani W. I., Setiowulan, W. Fraktur Antebrakial
Distal. Kapita Selekta. Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2000. hal. 351-352.
Martadiani, Elysanti Dwi. 2017. Buku Panduan Belajar Koas Radiologi. Udayana
University Press.
Rockwood and Green. 2015. Fractures in adults. 8thed. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins.
Scolaro J, Bernstein J, Ahn J. Patellar fractures. Clin Orthop Relat Res. 2011;
469:1213–1215.
Sheehan SE, Shyu JY, Weaver MJ, Sodickson AD, Khurana B. Proximal Femoral
Fractures: What the Orthopedic Surgeon Wants to Know. RadioGraphics
2015; 35:1563–1584. Accesed www.rsna.org/education/search/RG
31
Sjamsuhidayat R dan De Jong W. 2015. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC
Solomon L, Warwick D, Nayagam S. Apley’s System of Orthopaedics and
Fractures Ninth Edition. London: Hodder Education. 2010. p687-732
32