Anda di halaman 1dari 25

CASE BASED DISCUSSION

FRAKTUR TERTUTUP PROKSIMAL METHATHARSAL V


SINISTRA

OLEH
Rachmat Mustaqim
(018.06.0049)

PEMBIMBING
dr. Ketut Pasek Budiana, Sp. OT

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN / SMF BEDAH RSUD BANGLI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR
2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat rahmat-Nya lah laporan Case Based Discussion ini dapat diselesaikan.
Laporan ini dibuat dalam rangka mengikuti Kepaniteraan Klinik di Bagian Bedah,
Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar, di Rumah Sakit Umum Daerah
Bangli.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. dr. Ketut Pasek Budiana, Sp. OT selaku pembimbing dalam Case Based
Discussion ini,
2. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian laporan ini
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa laporan ini masih jauh dari kata
sempurna, karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan yang penulis miliki.
Untuk itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari
para pembaca.

Bangli, 7 Februari 2024

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i


KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang............................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 2
2.1 Definisi .......................................................................................................... 2
2.2 Etiologi .......................................................................................................... 2
2.3 Klasifikasi ...................................................................................................... 3
2.4 Epidemiologi ……………………………………………………………………….4

2.5 Patofisiologi ………………………………………………………………...5


2.4 Manifestasi Klinis ...........................................................................................5
2.5 Diagnosis ....................................................................................................... 7
2.6 Tatalaksana .................................................................................................... 8
2.7 Komplikasi .................................................................................................. 13
BAB III LAPORAN KASUS .............................................................................. 14
3.1 Identitas Pasien ............................................................................................ 14
3.2 Anamnesis ................................................................................................... 14
3.3 Pemeriksaan Fisik.........................................................................................15
3.4 Pemeriksaan Penunjang ................................................................................17
3.5 Diagnosis ......................................................................................................18
3.6 Tatalaksana ...................................................................................................18
3.7 Prognosis …………………………………………………………..……...18
3.8 Pembahasan Kasus .......................................................................................19
BAB IV PENUTUP …………………………………………………………….20
4.1 Kesimpulan ……………………………………………………………….20
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 21

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Fraktur merupakan terputusnya kontinuitas tulang, tulang sendi, tulang
rawan epifisis, yang bersifat total maupun parsial. Fraktur atau patah tulang
adalah terputusnya kontinuitas tulang kebanyakan fraktur terjadi akibat trauma,
beberapa fraktur terjadi secara sekunder akibat proses penyakit seperti
osteoporosis yang menyebabkan fraktur-fraktur yang patologis. Saat ini
penyakit muskuloskeletal menjadi masalah yang banyak dijumpai di pusat-
pusat pelayanan kesehatan di seluruh dunia (Asrizal, 2014).
Kelompok usia yang paling rentan mengalami fraktur adalah kelompok
usia anak-anak dan lanjut usia. (Sudharma & Gede, 2019). Fraktur pada
ekstremitas atas dan bawah dapat menyebabkan perubahan pada pemenuhan
aktivitas. Perubahan yang timbul diantaranya adalah terbatasnya aktivitas,
karena rasa nyeri akibat tergeseknya saraf motorik dan sensorik, pada luka
fraktur (Andri dkk., 2020).
Fraktur dibagi berdasarkan dengan kontak dunia luar, yaitu meliputi
fraktur tertutup dan terbuka. Fraktur tertutup adalah fraktur tanpa adanya
komplikasi, kulit masih utuh, tulang tidak keluar melalui kulit. Fraktur terbuka
adalah fraktur yang merusak jaringan kulit, karena adanya hubungan dengan
lingkungan luar, maka fraktur terbuka sangat berpotensi menjadi infeksi (Andri
dkk., 2020).
Fraktur dapat menyebabkan komplikasi, morbiditas yang lama dan juga
kecacatan apabila tidak mendapatkan penanganan yang baik. Komplikasi yang
timbul akibat fraktur antara lain perdarahan, cedera organ dalam, infeksi luka,
emboli lemak dan sindroma pernafasan (Andri dkk., 2020).

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya
disebabkan oleh rudapaksa, dapat terjadi pada tulang, epiphyseal plate,
permukaan sendi tulang rawan. Fraktur berarti deformasi atau diskontinuitas
tulang oleh tenaga yang melebihi kekuatan tulang yang dapat mencederai
jaringan lunak di sekitarnya. Sebagian besar fraktur terjadi akibat trauma yang
disebabkan oleh kegagalan tulang menahan tekanan membengkok, memutar
dan tarikan. Fraktur radius distal adalah salah satu dari macam fraktur yang
biasa terjadi pada pergelangan tangan (Karna, 2018).

2.2 Etiologi

Fraktur disebabkan oleh: (1) Trauma atau cedera; (2) Stres berulang; atau
(3) merapuhnya tulang secara abnormal (fraktur patologis) (Solomon dkk.,
2010).
1.) Trauma atau cidera
Trauma dengan kekuatan yang berlebihan dan secara tiba-tiba
dapat terjadi secara langsung dan tidak langsung. Fraktur tulang radius
dan ulna biasanya terjadi karena trauma langsung pada lengan bawah,
seperti kecelakaan lalu lintas, atau jatuh dengan lengan teregang yang
merupakan akibat trauma hebat. Trauma langsung biasanya
menyebabkan fraktur transversa pada tinggi yang sama, biasanya di
sepertiga tengah tulang.
Mekanisme trauma fraktur distal radius pada dewasa muda yaitu
jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas, maupun cedera pada
olahraga. Pada dewasa tua, fraktur distal radius dapat terjadi dari

2
mekanisme dengan tenaga yang kecil seperti terjatuh saat sedang
berdiri atau berjalan (fragile fracture) (Egol, 2015).
2.) Stres berulang
Fraktur ini terjadi pada tulang normal yang mengalami
penekanan berat berulang, biasanya pada atlet, penari atau personil
militer yang memiliki program latihan yang berat dan intens (Solomon
dkk., 2010).
3.) Fraktur patologis
Fraktur dapat terjadi dengan tekanan normal jika tulang telah
melemah atau mengalami perapuhan oleh perubahan strukturnya.
Misalnya pada pasien dengan osteoporosis, osteogenesis imperfecta
atau penyakit Paget (Solomon dkk., 2010).

2.3 Klasifikasi
Secara klinis fraktur dibagi berdasarkan ada atau tidaknya hubungan
patahan tulang dengan dunia luar, yaitu fraktur tertutup dan fraktur terbuka.
Fraktur terbuka memungkinkan masuknya kuman dari luar kedalam luka.
Fraktur terbuka terdapat 3 derajat yaitu (Sjamsuhidajat, 2017):
Tabel 1. Derajat fraktur terbuka
Derajat Luka Fraktur
I Laserasi <1 cm. Sederhana, dislokasi
Kerusakan jarinan tidak berarti, relatif fragmen minimal.
bersih
II Laserasi >1 cm. Dislokasi fragmen
Tidak ada kerusakan jaringan yang jelas.
hebat atau avulsi, ada kontaminasi
III Luka lebar dan rusak hebat, atau Kominutif,
hilangnya jaringan disekitarnya, segmental, fragmen
kontaminasi hebat tulang ada yang
hilang.

3
Derajat fraktur tertutup berdasarkan Tscherne (Solomon dkk., 2010):
• Derajat 0 : Fraktur sederhana tanpa/disertai dengan sedikit
kerusakan jaringan lunak.
• Derajat 1: Fraktur disertai dengan abrasi superfisial atau luka
memar pada kulit dan jaringan subkutan.
• Derajat 2: Fraktur yang lebih berat dari derajat 1 yang disertai
dengan kontusio dan pembengkakan jaringan lunak.
• Derajat 3: Fraktur berat yang disertai dengan kerusakan jaringan
lunak yang nyata dan terdapat ancaman terjadinya sindrom
kompartemen.

2.4 Epidemiologi

Angka kejadian fraktur distal radius yang dilaporkan di Amerika Serikat


yaitu 650.000 kasus setiap tahunnya. Insiden terjadinya fraktur distal radius
pada orang tua seringkali berhubungan dengan osteopenia, dan semakin
bertambah seiring dengan meningkatnya usia. Pada laki laki yang berusia lebih
dari 35 tahun, didapatkan angka kejadian 90 per 100.000 populasi setiap
tahunnya, pada wanita yang berusia kurang dari 40 tahun didapatkan angka
kejadian 368 per 100.000 populasi setiap tahun, sedangkan pada wanita yang
berusia lebih dari 40 tahun didapatkan angka kejadian 1150 per 100.000
populasi setiap tahun. (Egol, 2015)

.Fraktur radius distal adalah salah satu jenis fraktur yang paling sering
terjadi dan terbukti telah meningkat selama bertahun-tahun. Fraktur radius
distal terjadi sekitar 15% dari semua jenis fraktur pada kelompok usia dewasa.
Secara keseluruhan terhitung sekitar 25% terjadi pada populasi anak-anak dan
mencapai 18% dari semua jenis fraktur pada kelompok usia lanjut (Sudharma
& Gede, 2019).

4
2.5 Patofisiologi
Tulang memiliki sifat rapuh namun masih cukup mempunyai kekuatan
dan gaya pegas untuk menahannya, Jika tekanan eksternal atau trauma lebih
besar dari yang dapat dipertahankan tulang maka akan menyebabkan rusaknya
atau terputusnya kontinuitas tulang.
Saat terjadinya fraktur otot yang melekat pada ujung tulang dapat
terganggu sehingga mengalami spasme dan menarik fragmen fraktur keluar
posisi anatomisnya. Kelompok otot yang besar dapat menciptakan spasme
yang kuat bahkan mampu menggeser tulang besar, seperti femur. Fragmen
fraktur dapat bergeser ke samping, pada suatu sudut (membentuk sudut),
menimpa segmen tulang lain, dapat berotasi atau berpindah. Pergeseran antar
fragmen tulang dapat menghasilkan bunyi pada tulang tersebut atau krepitasi.
Selain itu, periosteum dan pembuluh darah di korteks serta sumsum dari
tulang yang patah juga terganggu sehingga dapat menyebabkan sering terjadi
cedera jaringan lunak. Perdarahan terjadi karena cedera jaringan lunak atau
cedera pada tulang itu sendiri. Pada saluran sumsum (medula), hematoma
terjadi diantara fragmen-fragmen tulang dan dibawah periosteum. Jaringan
tulang disekitar lokasi fraktur akan mati dan menciptakan respon peradangan
yang hebat sehingga akan terjadi vasodilatasi, edema, nyeri, kehilangan
fungsi.(Black & Hawks, 2014).

2.6 Manifestasi Klinis


Gejala klasik fraktur adalah adanya riwayat trauma, rasa nyeri dan
bengkak, di bagian tulang yang patah, deformitas (angulasi, rotasi,
diskrepansi), nyeri tekan, krepitasi, gangguan fungsi musculoskeletal akibat
nyeri, putusnya kontinuitas tulang, dan gangguan neurovascular. Apabila
gejala klasik tersebut ada, secara klinis diagnosis fraktur dapat ditegakkan
walapun jenis konfigurasi frakturnya belum dapat ditentukan (Sjamsuhidajat,
2017).

5
Secara umum gejala dari fraktur meliputi tanda pasti dan tidak pasti,
berupa (Karna, 2018):
1.) Tanda pasti fraktur

a. Gerakan abnormal, adanya gerakan yang pada keadaan normal


tidak terjadi.

b. Deformitas, umumnya pemendekan tulang karena kontraksi otot


yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
c. Tulang ekspose karena sobekan kulit dan otot akibat
diskontinuitas kulit.
d. Krepitasi, terabanya derik tulang pada saat diperiksa dengan
tangan. Krepitasi teraba karena gesekan antar fragmen satu
dengan lainnya.
2.) Tanda tidak pasti fraktur
a. Nyeri yang terjadi terus menerus dan bertambah berat. Nyeri
berkurang jika fragmen tulang di imobilisasi. Spasme otot yang
menyertai fraktur merupakan bentuk bidai fisiologis yang
dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
b. Hilangnya fungsi seperti tidak mampu melakukan gerakan akibat
rasa nyeri.
c. Deformitas, dapat disebabkan oleh pergeseran fragmen dapat
diketahui dengan membandingkan dengan bagian yang normal.
d. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit yang cidera.

Pada pemeriksaan juga diperhatikan keadaan nervus radialis, nevus


ulnaris, nervus medianus, arteri brakhialis, arteri radialis dan arteri ulnaris
dengan cara apakah dapat melakukan dorsofleksi pergelangan tangan atau
ekstensi dan fleksi jari-jari tangan.

6
2.7 Diagnosis
Fraktur dapat didiagnosis dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis didapatkan adanya riwayat trauma,
jika tidak ditemukannya riwayat trauma dapat dipikirkan terjadinya fraktur
patologis. Secara klinis fraktur sudah dapat didiagnosis dengan gejala-gejala
klasik apabila gejala klasik itu ada pada pasien (Sjamsuhidajat, 2010). Dapat
dilihat juga dari tanda pasti dan tanda tidak pasti dari fraktur tersebut.
Pada pemeriksaan fisik selain dilakukan pemeriksaan menyeluruh,
dilakukan pemerikasaan status lokalis dengan look, feel, move. Pada look
memeriksa dengan melihat apakah terdapat perubahan warna disekitar cedera,
keadaan luka (jenis luka tertutup/terbuka, luka terkontainasi/tidak), adanya
deformitas (angulasi, rotasi, diskrepansi), pembengkakan, ada atau tidak
perdarahan ekstrenal aktif. Pada pemeriksaan feel/palpasi dinilai adanya nyeri
tekan, suhu di lokasi cedera, sensibilitas, dan krepitasi (tidak dianjurkan
dilakukan palpasi untuk menilai krepitasi, namun dapat dinilai saat
pemasangan bidai). Pada pemeriksaan move pasien diminta untuk
menggerakan sendi disekitar cedera, selain itu juga dilakukan pemeriksaan
pergerakan pasien oleh pemeriksa. Pada fraktur pergerakan sendinya terbatas
karena nyeri.
Untuk memastikan lebih lanjut dan menentukan jenis serta kedudukan
fragmen fraktur dapat dilakukan pemeriksaan radiologi. Pemeriksaan radiologi
yang dapat dilakukan yaitu X-Ray. Pada pemeriksaan X-Ray dilakukan dengan
Rule of Two:
a. Two views: foto harus mencakup 2 view yaitu anteroposterior (AP) dan
lateral.
b. Two joints: Foto harus mencakup 2 sendi yang berada diatas dan
dibawah daerah cedera.
c. Two limbs: pada anak-anak gambaran dari lempeng epifisis
menyerupai garis fraktur sehingga untuk membandingkan atau
membedkana dilakukan pengambilan foto di ekstremitas yang
normal.

7
d. Two injuries: dikarenakan cedera tidak hanya menimbulkan 1 fraktur,
maka diperlukan foto regio tulang lainnya yang berdekatan dengan
lokasi cedara
e. Two occasions: terdapat beberapa fraktur yang tidak dapat dinilai
setelah terjadinya trauma, sehingga diperlukan pemeriksaan setelah 2
atau 3 minggu setelahnya.
Pemeriksaan khusus seperti CT-Scan atau MRI kadang diperlukan untuk
kasus misalnya pada fraktur vertebra yang disertai dengan gejala neurologis
(Sjamsuhidajat, 2017).

2.8 Tatalaksana
Pada trauma muskuloskeletal yang pertama dilakukan adalah primary
survey dan secondary survey. Pada primary survey ada tambahan yaitu
imobilisasi fraktur.
Airway dilakukan untuk memastikan jalan nafas pasien bebas. Pada
breathing, kita memastikan bahwa pasien bernafas dengan adekuat dan
memberikan oksigen yang cukup. Circulation dimana kita menilai perfusi
oksigen ke jaringan dan mencegah syok. Pada penilaian disability kita menilai
kesadaran pasien dengan cepat. Exposure, dimana seluruh pakaian pasien
ditanggalkan untuk menilai cedera pada seluruh bagian tubuh (Queensland
Ambulance Service, 2015).
Terakhhir yaitu imobilisasi fraktur, tujuan imobilisasi fraktur adalah
untuk meluruskan ekstremitas yang cedera dalam posisi seanatomis mungkin
dan mencegah gerakan yang berlebihan pada daerah fraktur. Pemakaian bidai
yang benar dapat membantu menghentikan perdarahan, mengurangi rasa nyeri,
dan mencegah keruskaan jaringan lebih lanjut. Pada fraktur terbuka, tulang
yang keluar tidak perlu dimasukkan kembali ke dalam luka karena patah tulang
terbuka akan dilakukan debidremen secara operatif. (ATLS, 2014).

Prinsip imobilisasi ekstremitas:

8
a. Dilakuakan ABCDE dan tangani keadaan yang mengancam
nyawa terlebih dahulu.

b. Buka pakaian seluruhnya dan lepaskan aksesoris.

c. Periksa keadaan neurovascular sebelum memasang bidai. Periksa


pulsasi, perdarahan ekstrenal yang harus dihentikan, periksa
sensorik dan motorik ekstremitas.

d. Tutup luka dengan balutan steril.

e. Pilih jenis dan ukuran bidai yang sesuai dengan ekstremitas yang
cedera. Pemasangan bidai harus mencakup sendi diatas dan
dibawah ekstremitas yang mengalami cedera.

f. Pasang bantalan diatas tonjolan tulang.

g. Bidai dipasang pada ekstremitas yang telah lurus , bila belum


lurus dilakukan perlurusan. Jangan dilakukan dengan paksa.

h. Catat status neurovascular sebelum dan seduah pemasangan


bidai.

i. Berikan profilaksis tetanus.

j. Konsulkan ke ahli ortopedi.

Secondary survey adalah pemeriksaan yang dilakukan dari kepala hingga


kaki (head-to-toe examination). Secondary survey dilakukan setelah primary
survey selesai, resusitasi sudah dilakukan, dan ABC pasien dipastikan
membaik.

9
Prinsip Penanganan Fraktur (Solomon dkk., 2010):

1. Recognize (mengenali)
Mengenali kerusakan apa saja yang terjadi baik pada jaringan lunak
maupun tulang serta mengetahui mekanisme trauma dengan cara
anmanesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan status lokalis. Pemeriksaan
status lokalis dengan cara look, feel/palpasi, dan movement.
a. Look:
• Warna dan perfusi ekstremitss
• Keadaan luka → jenis luka tertutup atau terbuka, luka
terkontaminasi atau tidak.
• Deformitas
• Pembengkakan
• Perdarahan ekstrenal yang aktif

b. Feel/ palpasi:

• Suhu
• Nyeri tekan
• Sensiibilitas baik atau tidak
• Pulsasi arterii dan capillary Refill Time
• Pengukuran Panjang tungkai.

c. Movement: menilai Range of Movement, gerakan aktif dan pasif


dari sendi untuk melihat ada atau tidaknya keterbatasan
pergerakan. Pada kasus fraktur pasien akan mengalami
keterbatasan pergerakan karena nyeri.

• Pergerakan aktif → meminta pasien untuk bergerak tanpa


dibantu. Menilai kemampuan pergerakan sendi dan ada
rasa nyeri atau tidak serta menilai kekuatan otot.
• Pergerakan pasit → Menggerakan sendi pasien yang
dilakukan oleh pemeriksa.

10
• Range of Movement: Penilaian area pergerakan dari sendi
dengan pengukuran dinyatakan dalam derajat.

2. Reduction (mengembalikan)

Reduksi bertujuan untuk memberikan aposisi yang adekuat dan


alignment yang normal dari fragmen tulang. Terdapat situasi yang tidak
perlu dilakukannya reduksi yaitu:

• Bila pergeseran sedikit atau tidak ada


• Bila pergeseran tidak berarti
• Bila reduksi tanpak tidak akan berhasil

Terdapat dua metode reduksi yaitu tertutup dan terbuka.

a. Reduksi tertutup → secara umum dilakukan pada:

• Fraktur dengan pergesaran fragmen minimal


• Kebanyakan fraktur pada anak
• Fraktur yang stabil setelah reduksi dan diretensi dengan
splint & cast.

b. Reduksi terbuka → secara umum dilakukan pada:

• Ketika reposisi tertutup gagal, kegagalan ini dapat


disebabkan oleh kesulitan dalam mengontrol fragmen tulang
atau karena adanya jaringa lunak yang terselip diantaranya.
• Dilakuakn jika terdapat kerusakan neurovascular
• Dilakukan pada fraktur sendi

3. Retention

a. Continuous Traction (Traksi terus menerus) : diaplikasikan pada


ektremitas distal dari fraktur sehingga menimbulkan tarikan terus
menerus pada tulang sesuai sumbu panjang tulang. Traksi ini
dilakukan selama beberapa minggu kemudian diikuti denga
imobilisasi. Ini biasanya dilakukan pada fraktur tulang yang

11
dikelilingi otot yang kuat seperti fraktur femur. Terdapat beberapa
jenis dari traksi ini yaitu : 1) Traksi dengan gravitasi (dilakukan di
ekstremitas atas, misalnya fraktur humerus); 2) Skin traction; 3)
Skeletal traction.

b. Cast/Gips : kapur bercampur bahan kimia yang dicampurkan denga


air sehingga dapat dibentuk kemudia dalam beberapa waktu akan
mengeras dan merupakan imobilitator yang baik.

c. Functional Bracing : Prinsip penggunaan ini untuk memungkinkan


mobilisasi dini. Penggunaan biasanya dimulai setelah fraktur
menyatu yaitu 3-6 minggu setelah pemakaian cast atau traksi.

d. Fiksasi Internal : fiksasi ini dimana fragmen tulang yang fraktur


difiksasi dengan menggunakan metode wire, screw, plate and screw,
atau intramedullary nail.

e. Fiksasi Eksternal : fiksasi ini diindikasikan pada fraktur dengan


keruskaan jaringan lunak yang berat, fraktur disertai infeksi, fraktur
didaerah persendian, fraktur multipel berat terutama fraktur os femus
bilateral dan fraktur pelvis disertai perdarahan masif.

4. Rehabilitation

Rehabilitasi bertujuan untuk :

• Mengurangi pembengkakan pada cedera dengan cara elevasi


ekstremitas dan memulai pergerakan aktif . pergerakan aktif
dapat mengurangi pembengkakan, menstimulasi sirkulasi,
mencegah perlengketan jaringan lunak.
• Memelihara gerak sendi
• Melatih kekuatan otot

12
2.9 Komplikasi
Komplikasi patah tulang dibagi menjadi komplikasi segera, komplikasi
dini, dan komplikasi lambat. Masing masing komplikasi ini terdiri dari lokal
dan umum. Komplikasi segera adalah komplikasi yang terjadi segera setelah
terjadinya patah tulang. Komplikasi dini terjadi dalam beberapa hari setelah
kejadian. Komplikasi lambat terjadi lama setelah patah tulang (Sjamsuhidajat,
2017).
Komplikasi Lokal Umum/Sistemik
1. Segera • Kulit dan otot: berbagai vulnus, • Trauma
kontusio, avulsi. multiple
• Vaskular: terputus, kontusio, • Syok
perdarahan.
• Organ dalam: jantung, paru-paru,
hepar, limpa (pada fraktur costa),
buli-buli (pada fraktur pelvis).
• Neurologis: otak, medulla
spinalis, kerusakan saraf perifer.
2. Dini • Nekrosis kulit-otot • ARDS
• Sindrom kompartemen • Emboli paru
• Thrombosis • Tetanus
• Infeksi sendi
• Osteomyelitis
3. Lambat • Tulang: malunion, nonunion, • Batu ginjal
delayed union. Osteomyelitis, (akibat lama
gangguan pertumbuhan, patah ditempat tidur
tulang rekuren. dan
• Sendi: ankilosis, penyakit hiperkalsemia)
degeneratif pascatrauma. • Neurosis
• Miositis refleks pasca trauma
• Kerusakan saraf

13
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : IWT
Umur : 83 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Hindu
Pekerjaan : Petani
Alamat : Br. Bayung Gede
Masuk Rumah Sakit : 30 Januari 2024
Tanggal periksa : 30 Januari 2024

3.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Bengkak pada kaki kiri

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien laki-laki usia 83 tahun datang ke IGD RSUD Bangli. Pasien
datang di antar oleh keluarganya dalam keadaan sadar mengeluhkan bengkak
pada area kelingking kaki kiri. Keluhan terjadi karena pasien terjatuh di lubang
area kebunnya dengan ketinggian sekitar 20 cm pada hari sabtu 27/1/2024
SMRS, karena bengkak tidak kunjung sembuh kemudia dibawa ke RSU
Bangli. Pasien mengeluhkan sakit saat digerakkan, Keluhan lain seperti nyeri
pada area kaki kiri bawah (+) kesemutan (+), mual (-), demam (-), muntah (-).
BAB dan BAK masih dalam batas normal.

14
Riwayat Penyakit Dahulu
• Riwayat penyakit seperti saat ini : disangkal
• Asma : disangkal
• Hipertensi : Ada
• Diabetes millitus : disangkal
• Alergi: disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga
• Keluarga tidak pernah mengalami kondisi seperti ini
• Asma: disangkal
• Hipertensi: Ada
• Diabetes melitus: disangkal
• Alergi: disangkal
Riwayat Sosial
Riwayat memiliki kebiasaan merokok dan minum alkohol disangkal

3.3 Pemeriksaan fisik


Primary Survey
1. Airway: clear
2. Breathing: bentuk dan gerak dada simetris, suara vesicular simetris kanan
kiri, ronchi dan whezzing negatif, RR 16x/menit, SpO2 :99%
3. Circulation : Tekanan darah : 135/75 mmHg, nadi 75x/menit, capillary
refill time <2 detik
4. Disability: GCS 15, pupil bulat isokor, refleks cahaya (+/+)
5. Exposure: Jejas ditempat lain (-)

Secondary Survey
- Kepala : Normocepali.
- Mata : anemis (+/+), ikterik (-/-)
- THT : kesan tenang
- Leher : pembesaran kelenjar getah bening (-), pembesaran
kelenjar tiroid (-)

15
- Thoraks : simetris, tidak ditemukan luka
Jantung
- Inspeksi : iktus cordis (-)
- Palpasi : ictus cordis teraba, kuat angkat (-)
- Perkusi : Batas jantung tidak melebar
- Auskultasi : S1 dan S2 regular, murmur (-), gallop (-)
Paru
- Inspeksi : Simetris saat inspirasi-ekspirasi
- Palpasi : Taktil fremitus kedua lapang paru simetris
- Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
- Auskultasi : Suara nafas vesikular, Rhonki: -/-, Wheezing: -/-
- Abdomen
• Inspeksi : Simetris, sikatrik (-), distensi (-)
• Auskultasi : Bising usus (+) normal
• Perkusi : Timpani seluruh lapang abdomen
• Palpasi : Nyeri tekan (-)
- Ekstremitas
• Akral hangat: + +
+ +

• Edema : - -

- -

Status Lokalis → Regio Proximal Methatharsal V Sinistra

• Look : edema (+), deformitas (+), luka terbuka (-)


• Feel : Nyeri (+), krepitasi (+), hangat (+)
• Move : Range Of Movement (ROM) terbatas karena nyeri.

16
3.4 Pemeriksaan Penunjang
❖ Radiologi
- Foto X-Ray Regio Proximal Methatharsal V Sinistra posisi anteroposterior
(AP) dan lateral
(Pre Reposisi)

Gambar 1. Foto X-Ray Regio Proximal Methatharsal V Sinistra posisi


anteroposterior (AP) dan lateral.

Interpretasi: Tampak gambaran fraktur non displaced pada head os


metatarsal v pedis sinistra dengan jaringan lunak disekitarnya sedikit
swelling disekitarnya.
- Foto X-Ray Regio Proximal Methatharsal V Sinistra posisi anteroposterior
(AP) dan lateral
(Post Reposisi)

17
Interpretasi: Tampak garis fraktur transversal di 1/3 distal radius, tidak
tampak lagi arcuasi fragmen.
❖ Darah Lengkap :
- MON (L) : 2,7 %
3.5 Diagnosis.
Fraktur tertutup Regio Proximal Methatharsal V Sinistra Contusio
Musculorium hemithorax
3.6 Tatalaksana
- IVFD NaCl 20 tpm
- Paracetamol 3x500 mg
- Pemasangan bidai
- Konsul bedah → Reposisi dan pemasangan gips
- Konsul Anastesi → Puasa 8 jam sebelum reposisi dan pemasangan gips
- KIE: mengenai kondisi, rencana tindakan, dan rencana dilakukan
elevasi ekstremitas dan memulai pergerakan aktif secara perlahan
setelah tindakan.

3.7 Prognosis

18
1. Ad vitam : Dubia ad bonam
2. Ad fungsionam : Dubia ad bonam
3. Ad sanationam : Dubia ad bonam

3.8 Pembahasan Kasus

Pada kasus ini pasien datang dengan keluhan bengkak pada kaki kirinya
serta dirasakan nyeri, pasien sulit untuk menggerakan pergelangan kakinya. Ini
terjadi setelah pasien terjatuh di kebun rumahnya. Pada pasien yang datang ke
IGD dengan ada riwayat trauma musculoskeletal penanganan pertama yang
dilakukan yaitu primary survey dan secondary survey pada kasus ini tidak ada
masalah. Pada pemeriksaan status lokalis didapatkan dari pemeriksaan look
adanya edema, deformitas. Pemeriksaan feel didapatkan adanya nyeri tekan,
teraba hangat, dan adanya krepitasi. Pemeriksaan move dimana ROM terbatas
karena bengkak dan nyeri. Ini merupakan gejala klasik dari frakur, diagnosis
fraktur dapat ditegakkan dengan gejala klasik ini walapun jenis konfigurasi
frakturnya belum dapat ditentukan.
Untuk menentukan jenis dan lokasi fraktur dilakukan pemeriksaan X-
Ray dengan Rule of Two. Pada kasus ini dilakukan pemeriksaan X-Ray
proxsimal metatarsal v sinistra posisi anteroposterior (AP) dan lateral, dan
didapatkan tampak garis fraktur transversal os metatarsal v pedis sinistra.
Berdasarkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
pada kasus ini pasien mengalami fraktur tertutup trasversal metatarsal v pedis
sinistra.
Pada kasus ini diberikan cairan NaCl 20 tpm untuk menjaga
keseimbangan cairan dalam tubuh dan paracetamol 3x500 mg untuk megurangi
rasa nyeri. Setelah mengenali bahwa telah terjadi fraktur selanjutnya dilakukan
pengembalian posisi tulang dengan reposisi tertutup, kemudian dilakukan
imobilisasi dengan pemasangan gips. Selanjutnya setelah dilakukan
pemasangan gips dilakukan rehabilitasi untuk mengurangi pembengkakan
pada cedera dengan cara elevasi ekstremitas dan memulai pergerakan aktif
secara perlahan.

19
20
BAB IV
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasakan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksan penunjang
pasien didiagnosis fraktur tertutup transversal 1/3 distal os radius sinistra.
Fraktur radius distal adalah deformasi atau diskontinuitas tulang oleh tenaga
yang melebihi kekuatan tulang yang dapat mencederai jaringan lunak di
sekitarnya yang terjadi pada pergelangan tangan. Pasien diberikan terapi cairan
ringer lactat 14 tpm, paracetamol 3x500mg. pada pasien dilakuian reposisi dan
di pasang gips. Prognosis fraktur tertutup pada kasus ini yaituu dubia ad
bonam.

21
DAFTAR PUSTAKA

Solomon, L. & Apley, A. G. 2017. System of Orthopaedics and Trauma: Principles


of Fractures. Edisi 10. Florida: CRS press.
Andri, Juli dkk, 2020. Nyeri Pada Pasien Post OP Fraktur Ekstremitas Bawah
Dengan Pelaksanaan Mobilisasi dan Ambulasi Dini. Journal of Telenursing
(JOTING), vol 2, no. 1
Asrizal, Rinaldi Aditya, 2014. Close Fracture 1/3 Middle Femur Dextra. Jurnal
Medula. vol 2, no. 3.
Black, J & Hawks, 2014. Keperawaan Medikal Bedah: Manajemen Klinis Untuk
Hasil yang Diharapkan. Salemba Emban Patria : Jakarta.
Egol, KA, 2015. Handbook of Fractures 5th Edition. Wolters Kluwer Health : New
York.
Karna, Made Bramantya , 2018. Klasifikasi, Diagnosis, dan Terapi Fraktru Distal
Radius. Universitas Udayana : Denpasar.

Sudharma, Ngkakan Gde Agung Panji Khirna & Gede Eka Wiratnaya, 2019.
Prevalensi Fraktur Radius Distal Pada Lansia di RSUP Sanglah Denpasar
Tahun 2013-2014. Jurnal Medika Udayana, vol. 8, no. 10.

Sjamsuhidajat, R. 2017. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC. Jakarta. Indonesia.

Queensland Ambulance Service. 2015. Primary and Secondary Survey. Clinical


Practice Procedures: Assesment/Primary and Secondary Survey.

22

Anda mungkin juga menyukai