Anda di halaman 1dari 30

BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT MAKALAH

FAKULTAS KEDOKTERAN JUNI 2023


UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

FRAKTUR FEMUR HAZARD ERGONOMI

OLEH:
Andi Herawati
111 2020 2104

Supervisor:
dr. H. Abbas Zavey Nurdin, Sp. OK, MKK

BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2023
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas

Rahmat dan Hidayah-Nya maka Referat ini dapat diselesaikan dengan baik.

Salam dan shalawat tercurah kepada baginda Rasulullah Muhammad SAW

beserta para keluarga, sahabat dan orang-orang yang mengikuti ajarannya

hingga akhir jaman.

Makalah ini dengan judul “Fraktur Femur Hazard Ergonomi” disusun

sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan Kepaniteraan Klinik di

Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat. Penulis mengucapkan banyak terima

kasih atas segala bantuan yang diberikan dalam penulisan Makalah ini.

Banyak terima kasih juga penulis sampaikan kepada dr. H. Abbas Zavey

Nurdin, Sp.OK., MKK sebagai pembimbing dalam penulisan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini terdapat

banyak kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,

penulis mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan makalah ini.

Terakhir penulis berharap makalah ini dapat memberikan manfaat dan

menambah wawasan pembaca

Makassar, Juni 2022

Penulis

ii
\
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Fraktur merupakan terputusnya kontinuitas tulang. Patah tulang dapat

terjadi karena jatuh, trauma, sebagai akibat pukulan langsung atau karena

kelemahan pada tulang itu sendiri. Beberapa fraktur juga disebabkan karena

proses penyakit seperti osteoporosis yang dapat menyebabkan fraktur-fraktur

patologis. (1)

Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI, 2013)

menyebutkan bahwa dari jumlah kecelakaan yang terjadi dengan presentasi

5,8% korban cedera atau sekitar 8 juta orang menderita fraktur dengan jenis

fraktur yang paling banyak terjadi yaitu fraktur pada bagian ekstremitas atas

sebesar 36,9% dan ekstremitas bawah sebesar 65,2%. Badan Kesehatan

Dunia (WHO) mencatat pada tahun 2011-2012 terdapat 5,6 juta orang

meninggal dunia dan 1,3 juta orang menderita fraktur akibat kecelakaan lalu

lintas. Menurut Depkes RI 2011, dari sekian banyak kasus fraktur di

Indonesia, fraktur pada ekstremitas 2 bawah akibat kecelakaan memiliki

prevalensi yang paling tinggi diantara fraktur lainnya yaitu sekitar 46,2%. Dari

45.987 orang dengan kasus fraktur ekstremitas bawah akibat kecelakaan,

19.629 orang mengalami fraktur pada tulang femur, 14.027 orang mengalami

fraktur cruris, 3.775 orang mengalami fraktur tibia, 970 orang mengalami

iii
fraktur pada tulang-tulang kecil di kaki dan 336 orang mengalami fraktur

fibula. (1)

Berdasarkan Data dan Informasi Profil Kesehatan Indonesia tahun

2016 kejadian bencana menurut jenis bencana kecelakaan transportasi tahun

2014 angka presentasi sebesar 47,7%, tahun 2015 sebesar 84% dan tahun

2016 sebesar 74% (Kemenkes RI, 2017). Berdasarkan data dari Departemen

Kesehatan RI tahun 2013 didapatkan sekitar 8 juta orang mengalami fraktur

dengan jenis fraktur yang berbeda dan penyebab yang berbeda. Dari hasil

survey tim Depkes RI didapatkan 25% penderita fraktur yang mengalami

kematian, 45% mengalami catat fisik, 15% mengalami stress psikologis

seperti cemas atau bahkan depresi, dan 10% mengalami kesembuhan

dengan baik (Depkes RI 2013). Sedangkan menurut World Hearth

Oraganization (WHO) tahun 2013 menyebutkan bahwa kecelakaan lalu lintas

mencapai 120.222 kali atau 72% dalam setahun. (1)

Fraktur femur proksimal merupakan masalah yang signifikan, terutama

populasi lanjut usia di dunia barat. Dimulai pada usia 65 tahun kejadian

fraktur femur meningkat secara eksponensial dan hampir dua kali lipat setiap

5 tahun. Konsekuensi fraktur femur proksimal memiliki dampak sosial

ekonomi yang signifikan karena angka kematian 1 tahun setelah kecelakaan

berkisar antara 14 dan 36%. (2)

iv
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 FRAKTUR

Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan

tulang dan/atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh tekanan yang

berlebihan. Trauma yang menyebabkan tulang patah dapat berupa trauma

langsung dan trauma tidak langsung. Trauma langsung menyebabkan

tekanan langsung pada tulang dan terjadi fraktur pada daerah tekanan.

Trauma tidak langsung, apabila trauma dihantarkan ke daerah yang lebih

jauh dari daerah fraktur. (3)

Fraktur secara klinis dibedakan atas fraktur tertutup dan fraktur

terbuka. Fraktur terbuka merupakan suatu fraktur dimana terjadi hubungan

dengan lingkungan luar melalui kulit sehingga terjadi kontaminasi bakteri

sehingga timbul komplikasi berupa infeksi. Luka pada kulit dapat berupa

tusukan tulang yang tajam keluar menembus kulit (from within) atau dari luar

oleh karena tertembus misalnya oleh peluru atau trauma langsung (from

without). (3)

Fraktur berdasarkan hubungan tulang dan jaringan sekitar dapat dibagi

menjadi :

v
1. Fraktur tertutup (closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen

tulang dengan dunia luar. (3)

2. Fraktur terbuka (open/compound), bila terdapat hubungan antara fragmen

tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan di kulit. Fraktur terbuka

terbagi atas tiga derajat (menurut R. Gustillo), yaitu (3) :

 Grade I : Luka kecil kurang dari 1cm panjangnya, biasanya karena

luka tusukan dari fragmen tulang yang menembus kulit. Terdapat

sedikit kerusakan jaringan dan tidak terdapat tanda-tanda trauma yang

hebat pada jaringan lunak. Fraktur yang terjadi biasanya bersifat

simple, transversal, oblik pendek atau sedikit komunitif. (3)

 Grade II : Laserasi kulit melebihi 1cm tetapi tidak ada kerusakan

jaringan yang hebat atau avulsi kulit. Terdapat kerusakan yang sedang

dari jaringan dengan sedikit kontaminasi fraktur. (3)

 Grade III : Terdapat kerusakan yang hebat dari jaringan lunak

termasuk otot, kulit dan struktur neurovaskuler dengan kontaminasi

yang hebat. Tipe ini biasanya di sebabkan oleh karena trauma dengan

kecepatan tinggi. Tipe 3 di bagi dalam 3 subtipe (3) :

o Tipe IIIA : Jaringan lunak cukup menutup tulang yang patah

walaupun terdapat laserasi yang hebat ataupun adanya flap.

Fraktur bersifat segmental atau komunitif yang hebat. (3)

vi
o Tipe IIIB: fraktur disertai dengan trauma yang hebat dengan

kerusakan dan kehilangan jaringan, terdapat pendorongan

periost, tulang terbuka, kontaminasi yang hebatserta fraktur

komunitif yang hebat. (3)

o Tipe IIIC: fraktur terbuka yang disertai dengan kerusakan arteri

yang memerlukan perbaikan tanpa memperhatikan tingkat

kerusakan jaringan lunak. (3)

Gambar 1. Klasifikasi Fraktur Terbuka Gustilo dan Anderson (3)

2.2 FRAKTUR FEMUR

Fraktur femoralis adalah cedera yang biasa terlihat di ruang gawat

darurat. Menurut studi kohort berbasis populasi selama 11 tahun di Taiwan,

vii
tingkat kejadian standar patah tulang pinggul yang disesuaikan adalah antara

5,01 dan 11,70 per juta orang. Sebagai tulang terpanjang dalam tubuh

manusia, tulang femur dibagi menjadi beberapa bagian yang berbeda

termasuk leher kepala, trokanter besar dan kecil, shaft, dan kondilus distal.

Fraktur dapat terjadi di salah satu area ini. Lokasi fraktur ditentukan oleh

gaya, titik tumbukan, dan bagaimana gaya ditransmisikan melalui tulang.

Selain itu, lokasi fraktur femur juga dapat ditentukan struktur dan kekuatan

tulang. (4)

Fraktur femur adalah diskontinuitas dari femoral shaft yang bisa terjadi

akibat trauma secara langsung (kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari

ketinggian), dan biasanya lebih banyak dialami laki laki dewasa. Apabila

seseorang mengalami fraktur pada bagian ini, pasien akan mengalami

perdarahan yang banyak dan dapat mengakibatkan penderita mengalami

syok. Fraktur femur dapat menyebabkan komplikasi, morbiditas yang lama

dan juga kecacatan apabila tidak mendapatkan penanganan yang baik. (5)

2.3 ANATOMI

Tulang femur adalah tulang terpanjang, terberat, dan terkuat di tubuh

manusia. Di ujung proksimal, leher berbentuk piramida menempelkan kepala

bulat di puncak dan poros silinder di pangkalan. Ada juga 2 tonjolan tulang

yang menonjol, trokanter mayor dan trokanter minor, yang menempel pada

otot yang menggerakkan pinggul dan lutut. Sudut antara leher dan poros,

viii
juga dikenal sebagai sudut kemiringan sekitar 128 derajat pada orang

dewasa rata-rata. Namun, sudut kemiringan berkurang seiring bertambahnya

usia. (6)

Pinggul adalah sendi ball-in-socket yang terdiri dari acetabulum

panggul yang meliputi kepala femoralis. Kepala menunjuk ke arah medial,

superior, dan sedikit anterior. Ligamentum teres femoris menghubungkan

acetabulum ke fovea capitis femoris, yaitu lubang di kepala. (6)

Shaft memiliki lengkungan anterior yang ringan. Pada femur distal,

poros melebar dengan cara berbentuk kerucut ke dasar kuboid yang terdiri

dari kondilus medial dan lateral. Kondilus medial dan lateral bergabung

dengan tulang paha ke tibia, membentuk sendi lutut. (6)

ix
Gambar 2. Anatomi Tulang Femur (6)

2.4 EPIDEMIOLOGI

Insiden fraktur femur di Indonesia merupakan yang paling sering yaitu

sebesar 39% diikuti fraktur humerus (15%), fraktur tibia dan fibula (11%),

dimana penyebab terbesar fraktur femur adalah kecelakaan lalu lintas yang

biasanya disebabkan oleh kecelakaan mobil, motor, atau kendaraan rekreasi

(62,6%) dan jatuh (37,3%) dan mayoritas adalah pria (63,8%). Puncak

distribusi usia pada fraktur femur adalah pada usia dewasa (15 - 34 tahun)

dan orang tua (diatas 70 tahun). (1)

x
Jenis fraktur femur mempunyai insiden yang tinggi diantara fraktur

tulang lain dan fraktur femur paling sering terjadi pada batang femur 1/3

tengah. Fraktur femur lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan

dengan umur dibawah 45 tahun dan sering berhubungan dengan olahraga,

pekerjaan atau kecelakaan. (7)

2.5 KLASIFIKASI

Lokasi fraktur femur dapat dikategorikan menurut klasifikasi

Arbeitsgemeinschaft für Osteosynthesefragen (AO) sebagai femoralis

proksimal (tipe A: trokanterika; tipe B: leher; dan tipe C: kepala), poros

femoralis, dan fraktur femoralis distal. (4)

Gambar 3. Klasifikasi Fraktur Femur (8)

xi
Gambar 4. Klasifikasi Fraktur Femur Proksimal (8)

2.6 ETIOLOGI

Etiologi fraktur yang dimaksud adalah peristiwa yang dapat

menyebabkan terjadinya fraktur diantaranya peristiwa trauma (kekerasan)

dan peristiwa patologis. (3)

Peristiwa Trauma (kekerasan)

 Trauma langsung.

Trauma langsung dapat menyebabkan tulang patah pada titik

terjadinya kekerasan itu, misalnya tulang kaki terbentur bumper mobil,

maka tulang akan patah tepat di tempat terjadinya benturan. Patah

tulang demikian sering bersifat terbuka, dengan garis patah melintang

atau miring. (3)

 Trauma tidak langsung

xii
Trauma tidak langsung menyebabkan patah tulang di tempat

yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya

adalah bagian yang paling lemah dalam hantaran vektor kekerasan.

Contoh patah tulang karena kekerasan tidak langsung adalah bila

seorang jatuh dari ketinggian dengan tumit kaki terlebih dahulu. Yang

patah selain tulang tumit, terjadi pula patah tulang pada tibia dan

kemungkinan pula patah tulang paha dan tulang belakang. Demikian

pula bila jatuh dengan telapak tangan sebagai penyangga, dapat

menyebabkan patah pada pergelangan tangan dan tulang lengan

bawah. (3)

 Kekerasan akibat tarikan otot

Kekerasan tarikan otot dapat menyebabkan dislokasi dan patah

tulang. Patah tulang akibat tarikan otot biasanya jarang terjadi. Contoh

patah tulang akibat tarikan otot adalah patah tulang patella dan

olekranon, karena otot triseps dan biseps mendadak berkontraksi. (3)

Peristiwa Patologis

 Kelelahan atau stres

Fraktur ini terjadi pada orang yang yang melakukan aktivitas

berulang – ulang pada suatu daerah tulang atau menambah tingkat

aktivitas yang lebih berat dari biasanya. Tulang akan mengalami

xiii
perubahan struktural akibat pengulangan tekanan pada tempat yang

sama, atau peningkatan beban secara tiba – tiba pada suatu daerah

tulang maka akan terjadi retak tulang. (3)

 Kelemahan Tulang dapat terjadi oleh tekanan yang normal karena

lemahnya suatu tulang akibat penyakit infeksi, penyakit metabolisme

tulang misalnya osteoporosis, dan tumor pada tulang. Sedikit saja

tekanan pada daerah tulang yang rapuh maka akan terjadi fraktur. (3)

Fraktur femur distal dewasa muncul dalam distribusi bimodal. Pasien

laki-laki yang lebih muda umumnya muncul sekunder akibat mekanisme

energi tinggi, seperti kecelakaan kendaraan bermotor. Pasien lanjut usia

hadir biasanya setelah mekanisme energi rendah, seperti jatuh dari

permukaan tanah. Pasien lanjut usia sering datang dengan penyakit penyerta

yang signifikan yang berdampak pada operabilitas, pemulihan, dan

kelangsungan hidup mereka. Pada populasi anak-anak, masalahnya dapat

melibatkan dampak jangka panjang dari patah tulang intra-artikular yang tidak

dirawat dengan benar dan kerusakan sendi dini. Seiring bertambahnya usia

populasi, pengobatan fraktur kompleks ini berkorelasi dengan hasil yang

buruk. (9)

Inti dasar Keselamatan dan Kesehatan Kerja K3 terdiri dari Identifikasi

Hazard, Pencegahan Penyakit, dan Pengendalian Hazard.(5)

xiv
1) Identifikasi Hazard

Hazard dibedakan menjadi Hazard Keselamatan yang berpotensi

menyebabkan Kecelakaan Akibat Kerja (KAK) dan Hazard Kesehatan yang

berpotensi menyebabkan Penyakit Akibat Kerja (PAK). Hazard Kesehatan

terdiri dari :

a) Hazard Fisik : adalah faktor yang dapat mempengaruhi aktivitas Tenaga

Kerja yang bersifat fisika, meliputi Kebisingan, Getaran, Pencahayaan, Iklim

Kerja, tekanan udara, radiasi gelombang mikro, Radiasi Ultra Ungu (Ultra

Violet), radiasi Medan Magnet Statis.

b) Hazard Kimia : adalah faktor yang dapat mempengaruhi aktivitas Tenaga

Kerja yang bersifat kimiawi, disebabkan oleh penggunaan bahan kimia dan

turunannya di Tempat Kerja yang dapat menyebabkan penyakit pada Tenaga

Kerja, meliputi kontaminan kimia di udara berupa gas, uap dan partikulat.

c) Hazard Biologi : adalah faktor yang dapat mempengaruhi aktivitas

Tenaga Kerja yang bersifat biologi, disebabkan oleh makhluk hidup meliputi

hewan, tumbuhan dan produknya serta mikroorganisme yang dapat

menyebabkan penyakit akibat kerja.

d) Hazard Ergonomi : adalah faktor yang dapat mempengaruhi aktivitas

Tenaga Kerja, disebabkan oleh ketidaksesuaian antara fasilitas kerja yang

meliputi cara kerja, posisi kerja, alat kerja, dan beban angkat terhadap

xv
Tenaga Kerja. Ketidaksesuaian ini dapat mengakibatkan

terjadinya fraktur femur.

e) Hazard Psikososial : adalah faktor yang mempengaruhi aktivitas Tenaga

Kerja, disebabkan oleh hubungan antar personal di Tempat Kerja, peran dan

tanggung jawab terhadap pekerjaan

2.7 MANIFESTASI KLINIK

 Deformitas karena adanya pergeseran fragmen pada fraktur

 Nyeri terus menerus dan bertambah berat terutama bila digerakan

  Pembengkakan, memar dan perubahan warna local pada kulit terjadi

sebagai akibat trauma dan perubahan yang mengikuti fraktur.

 Ketidakmampuan untuk menggunakan anggota gerak akibat

terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan/atau tulang rawan.

  Krepitasi yaitu derik tulang yang teraba akibat gesekan antara

fragmen satu dengan fragmen lainnya. (3)

2.8 DIAGNOSIS

Anamnesis

xvi
Biasanya penderita datang dengan suatu trauma , baik yang hebat

maupun trauma ringan dan diikuti dengan ketidakmampuan untuk

menggunakan anggota gerak. Anamnesis harus dilakukan dengan cermat,

karena fraktur tidak selamanya terjadi di daerah trauma dan mungkin fraktur

terjadi di daerah lain. Trauma dapat terjadi karena kecelakaan lalu lintas,

jatuh dari ketinggian atau jatuh dari kamar mandi, penganiayaan, tertimpa

benda berat, kecelakaan pada pekerja oleh karena mesin atau karena trauma

olah raga. (3)

Pemeriksaan Fisik

Perhatikan ABCs pada pasien. Lihat apakah terdapat gangguan pada

Airway, Breathing, Circulation, dan Cervical injury. Setelah memeriksa status

generalis, maka dilakukan pemeriksaan pada status lokalis. (3)

Pada pemeriksaan lokalis dilakukan pemeriksaan berupa inspeksi,

palpasi, dan movement.

-  Inspeksi (Look) pembengkakan, memar, dan deformitas mungkin dapat

terlihat namun, hal yang sangat penting adalah apakah kulit pada daerah

tersebut intak atau tidak. Apabila kulit tersebut tidak intak maka fraktur

tersebut memiliki hubungan dengan dunia luar yaitu fraktur terbuka

(compound fracture). (3)

xvii
-  Palpasi (Feel) Palpasi harus dilakukan pada seluruh ekstremitas dari

proksimal hingga distal termasuk sendi di proksimal maupun distal dari

cedera untuk menilai area rasa sakit, efusi, maupun krepitasi. Seringkali akan

ditemukan cedera lain yang terjadi bersaman dengan cedera utama. (3)

-  Pergerakan (Movement). Krepitus dan gerakan abnormal dapat ditemukan,

tetapi lebih penting untuk menanyakan apakah pasien dapat menggerakan

sendi – sendi di bagian distal cedera. Pergerakan dengan mengajak

penderita untuk menggerakkan secara aktif dan pasif sendi proksimal dan

distal dari daerah yang mengalami trauma. Pada penderita dengan fraktur,

setiap gerakan akan menyebabkan nyeri hebat sehingga uji pergerakan tidak

boleh dilakukan secara kasar, disamping itu juga dapat menyebabkan

kerusakan pada jaringan lunak seperti pembuluh darah dan saraf. (3)

2.9 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Dengan pemeriksaan klinik kita sudah dapat mencurigai adanya fraktur.

Walaupun demikian pemeriksaan radiologis diperlukan untuk membantu

menegakkan diagnosis. Untuk foto polos, terdapat prinsip rule of two yaitu :

- 2 posisi proyeksi (minimal AP dan lateral)

xviii
- 2 sendi pada anggota gerak dan tungkai harus difoto, dibawah dan

diatas sendi yang mengalami fraktur

- 2 anggota gerak

- 2 trauma, pada trauma hebat sering menyebabkan fraktur pada 2

daerah tulang. Misal: fraktur kalkaneus dan femur, maka perlu

dilakukan foto pada panggul dan tulang belakang

- 2 kali dilakukan foto. Pada fraktur tertentu misalnya tulang skafoid foto

pertama biasanya tidak jelas sehingga biasanya diperlukan foto

berikutnya 10-14 hari kemudian. (3)

2.10 TATALAKSANA

Ada empat konsep dasar dalam menangani fraktur :

Rekognisi

Rekognisi dilakukan dalam hal diagnosis dan penilaian fraktur.

Prinsipnya adalah mengetahui riwayat kecelakaan, derajat keparahannya,

jenis kekuatan yang berperan dan deskripsi tentang peristiwa yang terjadi

oleh penderita sendiri. (3)

Reduksi

Reduksi adalah usaha / tindakan manipulasi fragmen-fragmen seperti

letak asalnya. Tindakan ini sedapat mungkin mengembalikan fungsi normal

dan mencegah komplikasi serta kekakuan, deformitas serta perubahan

osteoarthritis di kemudian hari. (3)

xix
Retensi

Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi atau

dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi

penyatuan. Immobilisasi dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna.

Metode fiksasi eksterna : gips, bidai, traksi dan teknik fiksator eksterna. (3)

Rehabilitasi

Mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin.

Pengobatan fraktur bisa konservatif atau operatif.(3)

Terapi konservatif, terdiri dari:

- Proteksi saja, misalnya mitela untuk fraktur collum chirurgicum humeri

dengan kedudukan baik

- Imobilisasi saja tanpa reposisi, misalnya pemasangan gips pada

fraktur inkomplit dan fraktur dengan kedudukan baik

- Reposisi tertutup dan fiksasi dengan gips, misalnya pada fraktur

suprakondilus, fraktur Colles, fraktur Smith. Reposisi dapat dalam

anestesi umum atau lokal

- Traksi, untuk reposisi secara perlahan. Pada anak-anak dipakai traksi

kulit (traksi Hamilton Russel, traksi Bryant). Traksi kulit terbatas untuk

4 minggu dan beban < 5 kg. Untuk traksi dewasa/traksi definitif harus

traksi skeletal berupa balanced traction. (3)

xx
Terapi operatif, terdiri dari:

o Reposisi terbuka, fiksasi interna.

o Reposisi tertutup dengan kontrol radiologis diikuti fiksasi eksterna (3)

Terapi operatif dengan reposisi anatomis diikuti dengan fiksasi interna

(open reduction and internal fixation), artroplasti eksisional, ekssisi fragmen,

dan pemasangan endoprostesis. Reduksi tertutup diindikasikan untuk

keadaan sebagai berikut:

 Fraktur dengan tak ada pergeseran,

 Fraktur yang stabil setelah reposisi/ reduksi,

 Fraktur pada anak-anak,

 Cedera jaringan lunak minimal

 Trauma berenergi rendah. (3)

Reduksi terbuka diindikasikan untuk keadaan sebagai berikut :

 Kegagalan dalam penanganansecara reduksi tertutup,

 Fraktur yang tidak stabil,

 Fraktur intraartikuler yang mengalami pergeseran (3)

Sehubungan dengan fraktur femur proksimal, keputusan untuk

menjalani artroplasti versus fiksasi internal bergantung pada pola dan

xxi
karakteristik fraktur. Fraktur intrakapsular yang melibatkan leher femoralis

lebih cenderung mengganggu suplai darah dari cabang dalam arteri

sirkumfleksa femoralis medial daripada fraktur ekstrakapsular. Dengan

demikian, artroplasti dengan penggantian kaput femur lebih tepat untuk

menghindari risiko nekrosis avaskular jika ditangani dengan paku dan sekrup

intramedullary (IM). (6)

Fraktur leher femur dievaluasi dengan x-ray film biasa dan dapat

diklasifikasikan menggunakan klasifikasi Garden. Garden I adalah fraktur

leher femur inkomplit yang mengalami pergeseran minimal atau benturan

valgus. Garden II adalah fraktur lengkap dengan perpindahan minimal.

Garden III adalah rekahan lengkap dengan perpindahan kurang dari 50%.

Garden IV adalah fraktur lengkap dengan perpindahan lebih dari 50%.

Namun, sulit untuk mengklasifikasikan fraktur pada rontgen, begitu femoralis

fraktur leher sebagian besar diklasifikasikan sebagai displaced (Garden I dan

II) atau nondisplaced (Garden III dan IV). Fraktur nondisplaced diobati

dengan sekrup lag yang dapat dibatalkan atau sekrup pinggul geser. Kedua

teknik memiliki hasil dan komplikasi yang hampir sama. Sekrup lag yang

membatalkan dikaitkan dengan waktu operasi yang lebih singkat dan lebih

sedikit kehilangan darah. Namun, sekrup lag yang dibatalkan juga memiliki

tingkat revisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan sekrup pinggul geser

karena iritasi kepala sekrup lag yang menonjol pada jaringan lunak karena

leher femoralis secara alami memendek pasca operasi. (6)

xxii
Gambar 5. Klasifikasi Garden untuk Fraktur Leher Femur. (10)

Fraktur femur distal adalah cedera rumit yang harus dievaluasi dengan

CT scan karena lebih dari separuh fraktur femur distal adalah intra-artikular

dan jenis perawatan bedah tergantung pada apakah ada keterlibatan ruang

sendi. Fraktur ekstraartikular diobati dengan paku, pelat, pisau atau sekrup

anterograde atau retrograde intramedullary (IM). Retrograde IM nail memiliki

hasil yang lebih baik dan tingkat revisi dan infeksi yang lebih rendah

dibandingkan dengan fiksasi internal reduksi terbuka dengan pelat, pisau

atau sekrup. Paku IM anterograde memiliki hasil yang sebanding dengan

kuku IM retrograde. Beberapa fraktur intraartikular yang stabil dan

nondisplaced dapat diterapi dengan paku IM retrograde, tetapi sebagian

besar fraktur intraartikular harus ditangani sebagai artroplasti lutut total (TKA).

xxiii
Namun pasien lanjut usia yang menjalani TKA memiliki morbiditas dan

mortalitas yang tinggi, sehingga pemilihan pasien menjadi penting. Revisi

TKA memiliki hasil yang lebih buruk daripada TKA primer. (6)

2.11 KOMPLIKASI

Komplikasi dini

1. Lokal

 Vaskuler : sindrom kompartemen (Volkmann iskemia), trauma

vaskuler. Sindrom kompartemen terjadi bila pembengkakan akibat

fraktur atau tekanan dalam suatu ruang yang dibatasi oleh

kompartemen atau inflamasi yang mengakibatkan peningkatan dari

dalam. Gejala utama dari sindrom kompartemen adalah rasa sakit

yang bertambah parah terutama pada pergerakan pasif dan nyeri

tersebut tidak hilang oleh narkotik. Tanda lain adalah terjadinya

paralysis, dan berkurangnnya denyut nadi. (3)

2. Sistemik : emboli lemak. Perubahan tekanan pada fraktur

menyebabkan molekul lemak terdorong dari sumsum ke dalam

peredaran darah sistemik berakibat gangguan pada respiratori dan

sistem saraf pusat. Gejalanya : sakit dada, pucat, dyspnea, putus asa,

bingung, perdarahan petechie pada kulit dan konjungtiva. (3)

xxiv
Komplikasi lanjut

1. Delayed union

Proses penyembuhan lambat dari waktu yang dibutuhkan

secara normal. Pada pemeriksaan radiografi, tidak akan terlihat

bayangan sklerosis pada ujung- ujung fraktur. Terapi konservatif

selama 6 bulan bila gagal dilakukan Osteotomi. Lebih 20 minggu

dilakukan cancellus grafting (12-16 minggu) (3)

2. Nonunion

Dimana secara klinis dan radiologis tidak terjadi penyambungan

tulang.

 Tipe I (hypertrophic non union) tidak akan terjadi proses

penyembuhan fraktur dan diantara fragmen fraktur tumbuh jaringan

fibrus yang masih mempunyai potensi untuk union dengan melakukan

koreksi fiksasi dan bone grafting.

 Tipe II (atrophic non union) disebut juga sendi palsu (pseudoartrosis)

terdapat jaringan sinovial sebagai kapsul sendi beserta rongga sinovial

yang berisi cairan, prosesunion tidak akan dicapai walaupun dilakukan

imobilisasi lama. Beberapa faktor yang menimbulkan non union seperti

disrupsi periosteum yang luas, hilangnya vaskularisasi fragmen-

fragmen fraktur, waktu imobilisasi yang tidak memadai, implant atau

xxv
gips yang tidak memadai, distraksi interposisi, infeksi dan penyakit

tulang (fraktur patologis) (3)

3. Mal union

Penyambungan fraktur tidak normal sehingga menimbukan

deformitas. Tindakan refraktur atau osteotomi koreksi. (3)

4. Osteomielitis

Osteomielitis kronis dapat terjadi pada fraktur terbuka atau

tindakan operasi pada fraktur tertutup sehingga dapat menimbulkan

delayed union sampai non union (infected non union). Imobilisasi

anggota gerak yang mengalami osteomielitis mengakibatkan

terjadinya atropi tulang berupa osteoporosis dan atropi otot (3)

5. Kekakuan sendi

Kekakuan sendi baik sementara atau menetap dapat

diakibatkan imobilisasi lama, sehingga terjadi perlengketan peri

artikuler, perlengketan intraartikuler, perlengketan antara otot dan

tendon. Pencegahannya berupa memperpendek waktu imobilisasi dan

melakukan latihan aktif dan pasif pada sendi. Pembebasan

perlengketan secara pembedahan hanya dilakukan pada penderita

dengan kekakuan sendi menetap. (3)

6. Gangguan pertumbuhan (fraktur epifisis) (3)

xxvi
BAB III

KESIMPULAN

Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan

tulang dan/atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh tekanan yang

berlebihan.

Fraktur femur adalah diskontinuitas dari femoral shaft yang bisa terjadi

akibat trauma secara langsung (kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari

ketinggian), dan biasanya lebih banyak dialami laki laki dewasa.

Lokasi fraktur femur dapat dikategorikan menurut klasifikasi

Arbeitsgemeinschaft für Osteosynthesefragen (AO) sebagai femoralis

xxvii
proksimal, poros femoralis, dan fraktur femoralis distal.

Empat dasar prinsip penanganan fraktur : Rekognisi, Reduksi, Retensi

dan Rehabilitasi. Pengobatan bisa Konservatif maupun Operatif. Terapi

operatif dengan reposisi anatomis diikuti dengan fiksasi interna (open

reduction and internal fixation), artroplasti eksisional, ekssisi fragmen, dan

pemasangan endoprostesis.

DAFTAR PUSTAKA

1. Risnah R, HR R, Azhar MU, Irwan M. Terapi Non Farmakologi Dalam

Penanganan Diagnosis Nyeri Pada Fraktur :Systematic Review. J Islam

Nurs. 2019;4(2):77.

2. Jiménez-Sánchez A, Kazi A, Albarqouni S, Kirchhoff C, Biberthaler P,

Navab N, et al. Precise proximal femur fracture classification for

interactive training and surgical planning. Int J Comput Assist Radiol

Surg [Internet]. 2020;15(5):847–57. Available from:

https://doi.org/10.1007/s11548-020-02150-x

3. Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia. Buku Ajar

xxviii
Orthopedi dan Traumatologi FK UMI Edisi I. 2018;1:42–3.

4. Wu SC, Rau CS, Kuo SCH, Chien PC, Hsieh CH. The influence of

ageing on the incidence and site of trauma femoral fractures: a cross-

sectional analysis. BMC Musculoskelet Disord. 2019;20(1):413.

5. Desiartama A, Aryana W. Gambaran Karakteristik Pasien Fraktur

Femur Akibat Kecelakaan Lalu Lintas Pada Orang Dewasa Di Rumah

Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar Tahun 2013. E-Jurnal Med.

2017;6(5):1–4.

6. Chang A, Hubbard JB. Anatomy, Bony Pelvis and Lower Limb, Femur.

StatPearls [Internet]. 2018; Available from:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/30422577

7. Sagaran VC, Manjas M, Rasyid R. Distribusi Fraktur Femur Yang

Dirawat Di Rumah Sakit Dr.M.Djamil, Padang (2010-2012). J Kesehat

Andalas. 2018;6(3):586.

8. Foundation A. Femur. J Orthop Trauma. 2018;32(1):S33–44.

9. Berner A, Schütz M. Distal femur fractures. Bone Jt Inj Trauma Surg III.

2014;297–311.

10. Fischer H, Maleitzke T, Eder C, Ahmad S, Stöckle U, Braun KF.

Management of proximal femur fractures in the elderly: current

concepts and treatment options. Eur J Med Res [Internet].

2021;26(1):1–15. Available from: https://doi.org/10.1186/s40001-021-

00556-0

xxix
xxx

Anda mungkin juga menyukai