Oleh:
Nadilla Putriadi, S.Kep
NIM. 212311101032
2
BAB 1. TINJAUAN PUSTAKA
Fraktur femur merupakan salah satu trauma mayor karena tulang femur yang kuat
hanya bisa terpatah dengan adanya trauma yang besar. Fraktur femur juga merupakan
keadaan yang gawat dan harus segera ditangani terlebih ketika terjadi open fraktur. Tulang
femur yang besar dan kuat akan menyebabkan robekan yang luas pada kondisi open fraktur
dan dapat menyebabkan kehilangan darah sekitar 1000-1500 cc. Kehilangan darah yang
cukup banyak sangat berisiko fatal pada tubuh manusia apabila tidak ditangani secara
kompleks (Astuti dan Ilmi, 2019).
Femur terdiri atas 3 bagian yaitu ujung atas, corpus dan ujung bawah. Ujung atas pada
femur terdiri dari caput, collum dan trochanter. Caput adalah masa bulat yang mengarah ke
dalam dan ke atas, permukaannya licin dan tertutupi ole tulang rawan kecuali pada bagian
fovea, ada cekungan kecil yang merupakan tempat melekatnya ligamentum yang
menghubungkan caput pada daerah kasar pada acetabulum os coxae. Collum merupakan
bagian yang menghubungkan caput dengan corpus yang mengarah ke bawah dan lateral.
Trochanter terdapat 2 bagian yaitu trochante major di sebelah lateral dan trochante minor di
sebelah medial (Gibson, 2003).
3
Corpus merupakan tulang panjang dengan ukuran bagian tengahnnya lebih kecil.
Permukaan corpus sebagian besar licin dan memiliki otot yang melekat. Bagian posterior
terdapat linea aspera yang merupakan rigi tulang ganda yang brejalan ke arah bawah dari
trochanter di atas dan melebar pada bagian bawah mengapit bagian yang licin (Gibson,
2003).
Ujung bawah pada tulang femur terdiri dari condylus medialis dan lateralis yang
besar. Condylus memiliki permukaan sendi untuk tibia di bagian bawah dan patella di bagian
depan (Gibson, 2003).
4
kasus fraktur di Indonesia, fraktur pada ekstremitas bawah akibat kecelakaan memiliki
prevalensi yang paling tinggi di antara fraktur lainnya (46,2%) (Ramadhani dkk., 2019).
1. Nyeri yang sifatnya terus menerus setelah terjadi trauma dan terjadi spasme otot.
2. Terjadi pergerakan tidak selaras/ tidak terkontrol pada ekstremitas yang mengalami fraktur.
6. Teraba adanya derik tulang yang dinamakan krepitus atau krepitasi yang teraba akibat
gesekan antara fragmen satu dengan lainnya.
1.5 Klasifikasi
Klasifikasi fraktur didasarkan pada berbagai hal, menurut Suriya dan Zuriati, 2019
dalam bukunya menuliskan beberapa klasifikasi fraktur yaitu:
1. Fraktur komplit : garis patahan melalui seluruh penampang tulang atau melalui
keuda korteks tulang.
2. Fraktur tidak komplit : garis patah tidak melalui sleuruh garis penampang tulang.
1. Fraktur komunitif : ketika garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.
2. Fraktur Segmental : garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan.
3. Fraktur Multiple : garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang yang sama.
5
1. Fraktur Undisplaced (tidak bergeser) : garis patah lengkap tetapi kedua fragmen
tidak bergeser dan periosteum masih utuh.
2. Fraktur Displaced (bergeser) : terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga disebut
lokasi fragmen.
Fraktur tertutup adalah kondisi saat tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih tanpa komplikasi. Klasifikasi fraktur
tertutup berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
a) tingkat 0: frakur dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak di sekitarnya.
b) tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan.
c) tingkat 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam
dan pembengkakan.
d) tingkat 3 : cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan ancaman
sindroma kompartement.
Fraktur terbuka adalah kondisi ketika terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit.
a) Grade I: luka bersih kurang dari 1 cm, kerusakan jaringan lunak minimal. Biasanya
merupakan hasil dari fraktur simpletransverse dan fraktur obliq pendek.
b) Grade II: luka lebih dari 1 cm tanpa kerusakan jaringan lunak yang ekstensif dan
ada kontaminasi.
c) Grade III: luka sangat terkontaminasi dan mengalami kerusakan jaringan lunak
ekstensif pada otot, kulit dan struktur neurovascular. Grade III dibagi menjadi 3 kelas
lagi berdasarkan keparahan luka yang ditimbulkan.
6
Grade III B: jaringan lunak hilang dan tampak jaringan tulah sehingga
membutuhkan kulit untu penutup (skin graft).
Grade III C: terdapat kerusakan arteri yang harus segera diperbaiki dan
berisiko untuk dilakukannya amputasi.
1.6 Patofisiologi
Trauma pada femur yang menyebabkan patah tulang baik komplit maupun tidak
komplit berakibat pada kerusakan di jaringan korteks, pembuluh darah, sumsum tulang dan
jaringan lunak. Masalah lain yang timbul yaitu terjadinya perdarahan dan kerusakan jaringan
di sekitarnya. Kondisi ini memicu hematom pada kanal medul antara tepi tulang bawah
periostrium dengan jaringan tulang yang mengatasi fraktur (Suriya dan Zuriati, 2019).
Hematom merupakan salah satu dari respon inflami akibat adanya sirkulasi jaringan
nekrotik yang memicu vasodilatasi dari plasma dan leukosit. Respon ini merupakan
tanggapan alamiah tubuh untuk melakukan proses penyembuhan pada daerah cedera dengan
peningkatan suplai darah. Hematom yang menyebabkan dilatasi pembuluh darah dapat
meningkatkan tekanan kapiler pada otot sehingga menstimulasi histamin pada otot yang
iskemik dan menyebabkan protein plasma hilang dan masuk ke interstitial. Kondisi ini
menyebabkan terjadinya edema dan menekan ujung syaraf, dan apabila berlangsung lama
dapat berakibat pada terjadinya syndrom kompartement (Suriya dan Zuriati, 2019).
1.7 Komplikasi
a. Komplikasi awal :
Komplikasi awal yang mungkin terjadi setelah terjadinya fraktur yaitu syok terutama pada
open fraktur yang dapat menyebabkan perdarahan yang masif. Kondisi syok dapat
mengancam jiwa apabila tidak segera mendapatkan penangan yang tepat (Suriya dan Zuriati,
2019). Infeksi dan sepsis juga dapat menjadi ancaman pada fraktur terbuka dan merupakan
komplikasi tersering yang terjadi. Kemungkinan untuk terjadinya infeksi pada open fraktur
grade 1 sekitar 0-2% sedangkan pada open fraktur grade 3 sekitar 10-50% (Hidayati dkk.,
2017).
b. Komplikasi lambat :
7
Komplikasi lambat yang dapat terjadi pada fraktur adalah penyatuan tulang yang terlambat
atau bahkan tidak ada penyatuan. Kondisi ini terjadi ketika penyembuhan tulang tidak terjadi
pada waktu normal berdasarkan jenis dan fraktur tertentu. Penyatuan tulang yang terlambat
atau lebih lama dari perkiraan berhubungan dengan adanya proses infeksi sistemik dan
tarikan jauh pada fragmen tulang. Sedangkan tidak terjadinya penyatuan diakibatkan karena
kegagalan penyatuan pada ujung-ujung tulang yang mengalami patahan (Suriya dan Zuriati,
2019). Osteomyelitis kronis juga dapat diakibatkan dari kelanjutan infeksi akut yang terjadi
pada open fraktur, kemungkinan terjadinya sekitar 5%. Komplikasi lain yang dapat terjadi
pada open fraktur adalah nonunion yang dapat terjadi pada 48% dari kasus patah tulang
terbuka (Hidayati dkk., 2017).
b. Pemeriksaan Penunjang
3. Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk kliens ginjal (Suriya
dan Zuriati, 2019).
1.9 Penatalaksanaan
a. Triage
8
nyawa, TTV stabil, warna kuning merupakan pasien prioritas nomor 2 untuk diselamatkan.
Warna merah digunakan untuk pasien dengan TTV tidak stabil, ada gangguan airway,
breathing, circulation, dan merupakan pasien prioritas nomor 1 untuk diselamatkan. Warna
hitam digunakan pasien meninggal (Amri dkk., 2019).
b. Primary Survey
Pertama kali yang perlu dilakukan saat menolong korban adalah 3A (Aman diri, aman
lingkungan, aman pasien) selanjutnya cek respon klien dengan memanggil korban dengan
sebutan umum, apabila tidak ada respon cek dengan melakukan rangsang nyeri dibagian
sternum serta antara ibu jari dan jari telunjuk. Kondisi fraktur femur terutama fraktur femur
terbuka survei primer yang perlu dilakukan adalah evaluasi mengenai ABCDE (Airway,
Breathing, Circulation, Disability, Exposure) (Hidayati dkk., 2017).
1. Airway: Cek kepatenan jalan nafas, ciri-ciri adanya gangguan jalan nafas ketika suara
nafas terdengar
b. Snoring: lakukan pembebasan jalan nafas dengan teknik Head, Till, Chinlift, dan
jaw thrust. Pembebasan jalan nafas menggunakan alat dapat dilakukan dengan
oropharingeal dan nasopharingeal.
3. Circulation: Lakukan pengecekan CRT (normal<3 detik), apabila CRT tidak normal
ada kemungkinan terjadinya syok. Lakukan bebat bidai pada fraktur dan hentikan
perdarahan semaksimal mungkin. Berikan terapi cairan kristaloid 20-40 cc/kg dan
tranfusi darah apabila perlu.
4. Disability: Menjelang akhir survey primer maka dilakukan evaluasi singkat terhadap
keadaan neurologis. Penilaian yang dilakukan adalah penilaian tingkat kesadaran, ukuran
dan reaksi pupil, tanda-tanda lateralisasi dan tingkat cedera spinal apabila diperlukan.
9
5. Exposure: Pasien harus dibuka keseluruhan pakaiannya, seiring dengan cara
menggunting, guna memeriksa dan evaluasi pasien apakah terdapat luka lain. Irigasi luka
untuk membersihkan kotoran yang menempel pada luka penting untuk dilakukan.
c. Secondary Survery
Secondary survey merupakan pemeriksaan lanjutan dari kepala sampai kaki yang
dilakukan pada pasien dengan hemodinamik yang stabil. Pasien dengan trauma yang
mengancam nyawa dilakukan secondary survey setelah surgical resuscitation. Anamnesis
pada secondary survey meliputi riwayat Mode of Injury (MOI) dan AMPLE. MOI merupakan
anamnesa terhadap penyebab trauma seperti trauma tajam, tumpul, trauma thermal baik
karena suhu dingin maupun panas, dan bahan berbahaya seperti bahan kimia, toksin atau
radiasi. AMPLE meliputi alergy, medication, past illnes, last meal, event/environment.
Pemeriksaan fisik pada secondary survey dapat dijabarkan berdasarkan regio maupun sistem
organ (B1-B6) (Hidayati dkk., 2017).
Prinsip penatalaksanaan fraktur meliputi (Nurarif, 2015 dalam Suriya dan Zuriati, 2019) :
a. Reduksi
Reduksi fraktur berarti mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasi
anatomis. Reduksi tertutup, mengembalikan fragmen tulang ke posisinya (ujung-ujungnya
saling berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual. Alat-alat yang digunakan
biasanya traksi, bidai dan alat yang lainnya. Reduksi terbuka, dengan pendekatan bedah. Alat
fiksasi interna dalam bentuk pen, kawat, sekrup, plat dan paku.
b. Imobilisasi
Imobilisasi dapat dilakukan dengan metode eksterna dan interna. Mempertahankan dan
mengembalikan fungsi status neurovaskuler selalu dipantau meliputi peredaran darah, nyeri,
perabaan dan gerakan. Perkiraan waktu imobilisasi yang dibutuhkan untuk penyatuan tulang
yang mengalami fraktur adalah sekitar 3 bulan.
10
c. Cara Pembedahan yaitu pemasangan screw dan plate atau dikenal dengan pen merupakan
salah satu bentuk reduksi dan imobilisasi yang dikenal dengan Open Reduction and Internal
Fixation (ORIF).
11
1. 10 Pathway
Trauma
Tumpul maupun tajam
Fraktur femur
Perubahan jaringan
Deformitas Nyeri Akut
sekitar
Gangguan fungsi
Laserasi kulit Risiko Infeksi
muskuloskeletal
Putusnya pembuluh
Kerusakan integritas kulit Hambatan mobilitas fisik
darah vena/arteri
Penurunan
Syok Hipovolemik Perdarahan Gangguan pertukaran gas
oksihemoglobin
12
Perfusi jaringan perifer
Spasme otot Edema tidak efektif
BAB 2. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
2.2 Pengkajian
a. Primary Survey
1. Respon
2. Airway
Masalah airway dapat dilihat dengan memeriksa suara napas dengan metode
look, listen, and feel. Masalah yang mungkin timbul pada airway adalah:
– Obstruksi jalan napas karena benda asing, cairan, ataupun fraktur maksilofasial.
– Fraktur servikal harus selalu dicurigai terutama pada kondisi kesadaran menurun,
adanya jejas di atas clavicula, dan nyeri leher.
3. Breathing
Pengkajian pada breathing yang dapat dilakukan adalah dengan menghitung frekuensi
napas/Respiratory rate (RR), melihat gerakan dada simetris atau tidak, melakukan
perskusi dada apabila kondisi memungkinkan, mendengar napas apakah vesikuler,
13
meningkat atau menurun. Distres napas yang dapat terjadi antara lain dapat
disebabkan oleh pneumotoraks, flail chest dengan contusio pulmonum, hematotoraks,
atau fraktur costa.
Hal–hal yang dapat dilihat untuk mengidentifikasi masalah circulation secara cepat
adalah tingkat kesadaran, warna kulit dan CRT (normal<3 detik), nadi lemah atau
kuat, frekuensi nadi (normal 60-100x/menit). Perlu diperhatikan mengenai sumber
perdarahan baik internal bleeding yang paling banyak disebabkan oleh perdarahan
intraabdomen, hematotorakss masif, dan fraktur pelvis maupun eksternal bleeding
terutama pada ekstremitas.
5. Disability
6. Exposure
b. Secondary survey
Riwayat penyakit sekarang pada pasien dengan fraktur femur dapat dikaji
mengenai bagaimana fraktur terjadi dan penyebabnya apakah trauma tajam ataupun
trauma tumpul.
14
3. Pengkajian Head to toe
Keadaan umum
Pada pasien dengan fraktur femur terutama open fraktur biasanya frekuensi
nadi cepat diatas normal >100x/menit dikarenakan adanya periode kompensasi tubuh
terhadap kehilangan darah yang masif. Nyeri pada fraktur femur dapat mencapai
tingkat 10 karena biasanya dapat membuat pasien gelisah, berteriak hingga menangis
karena nyeri yang dirasakan.
a. Kepala
Periksa persebaran rambut, periksa adanya luka, benjolan dan nyeri tekan.
b. Leher
Periksa apakah ada luka di leher, dan kemungkinan adanya cedera leher.
Perhatikan warna kulit area leher, apakah ada indikasi terjadinya perdarahan.
c. Dada
1) Jantung
Periksa bunyi pada jantung, bunyi jantung normal yaitu S1 dan S2 yang teratur
60-100x.
2) Paru-Paru
Inspeksi : Lihat ada tidaknya pernapasan cuping hidung dan retraksi dinding
dada.
15
Palpasi : Lihat apakah terdapat nyeri tekan dan krepitasi.
d. Abdomen
I: Lihat apakah terdapat disetensi abdomen atau tidak, lihat apakah ada jejas atau
hematom yang mengindikasikan adanya perdarahan.
P: lakukan palpasi pada abdomen apakah ada benjolan atau masa, dan nyeri tekan.
P: bunyi normal abdomen adalah timpani.
A: bising usus normal 5-30x/menit.
e. Urogenital
Periksa adanya tanda-tanda ruptur uretra apabila ditemui adanya luka pada
daerah alat genitalia.
f. Ekstremitas
g. Punggung
h. Keadaan lokal
Keadaan lokal pada daerah cedera yaitu fraktur femur, apakah terdapat
perderahan yang masif, sindrom kompartemen dan tanda-tanda terjadinya syok
hemoragik.
i. Tindakan prehospital
Tindakan prehospital pada kasus fraktur femur yang perlu dilakukan adalah
memfiksasi atau mengimobilisasi bagian fraktur dengan bidai minimal melewati 2
sendi. Pada kasus open fraktur penekanan pada daerah luka dengan menggunakan
kain ataupun mitela jika ada penting dilakukan untuk meminimalisir hilangnya darah,
16
yang tentunya tetap dengan memperhatikan bagian tulang yang keluar untuk tetap
dilindungi.
j. Pemeriksaan penunjang
2. Nyeri Akut
5. Risiko Syok
7. Risiko Infeksi
17
2.4 Rencana Keperawatan
No Diagnosa Kriteria Hasil Intervensi
1. Gangguan Mobilitas Fisik Kriteria 1 2 3 4 5 Pembidaian (1.05180)
Observasi
hasil
1. Identifikasi kebutuhan dilakukan
Nyeri V pembidaian.
2. Monitor adanya perdarahan pada area
Kecemasan V cedera.
Terapeutik
Gerakan V
3. Tutup luka terbuka dengan balutan.
tidak 4. Atasi perdarahan sebelum bida terpasang.
5. Minimalkan pergerakan terutama pada
terkoordinasi
bagian yang cedera.
Mobilitas Fisik (L.05042) 6. Berikan bantalan pada bidai.
7. Imobilisasi sendi di atas dan di bawah
area cedera.
8. topang kaki menggunakan penyangga
kaki (footboard) jika ada.
9. Tempatkan ekstremitas dalam posisi
fungsional, jika memungkinkan.
KETERANGAN: 10. Gunakan kedua tangan untuk menopang
area cedera.
1= Meningkat 11. Gunakan kain gendongan (sling) secara
tepat.
2= Cukup Meningkat Edukasi
12. Jelaskan tanda dan gejala sindrom
3= Sedang kompartemen (5P: pulseless, parastesia,
paln, paralysis, palor)
4= Cukup Menurun
5= Menurun
18
2 Nyeri Akut Tingkat Nyeri (L.08066) Pemberian Analgesik (1.08243)
Observasi
1. Identifikasi karakteristik nyeri.
Kriteria 1 2 3 4 5 2. Identifikasi riwayat alergi obat.
hasil 3. Identifikasi kesesuaian jenis analgesik
(misal narkotika, non-narkotik, atau
Keluhan V NSAID)
Nyeri Terapeutik
4. Tetapkan target efektifitas analgesik
Meringis V untuk mengoptimalkan respons pasien.
Edukasi
Berfokus V
5. jelaskan efek terapi dan efek samping
pada diri obat.
Kolaborasi
sendiri
6. Kolaborasi pemberian dosis dan jenis
Sikap V analgesik.
protektif
KETERANGAN:
1= Meningkat
2= Cukup Meningkat
3= Sedang
19
4= Cukup Menurun
5= Menurun
3. Kerusakan Integritas Penyembuhan Luka (L.14130) Perawatan Luka (1.14565)
Kulit Kriteria 1 2 3 4 5 Observasi
1. Monitor kondisi luka
hasil Terapeutik
Penyatuan V 2. Gunakan teknik aseptik selama merawat
luka
tepi luka 3. Bersihkan luka dengan cairan steril (NaCl
Jaringan V 0.9%)
Edukasi
granulasi 4. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
Kolaborasi
5. Kolaborasi pemberian anti biotik
KETERANGAN:
1= Menurun
2= Cukup menurun
3= Sedang
4= Cukup meningkat
5= Meningkat
4. Perfusi perifer tidak Perfusi Perifer (L. 02011) Perawatan Neurovaskuler (1.06204)
efektif Observasi
1. Monitor perubahan warna kulit abnormal
(misal pucat, kebiruan, keunguan,
kehitaman)
2. Monitor perubahan sesnsasi ekstremitas
(misal penuh, parsial)
3. Monitor adanya pembengkakan
4. Monitor CRT
5. Monitor tanda-tana vital
6. Monitor adanya tanda-tand sindrom
20
KETERANGAN: kompartemen.
Kriteria 1 2 3 4 5 Terapeutik
7. Elevasikan ektremitas (tidak melebihi
hasil level jantung)
Warna 8. Pertahankan kesejajaran anatomis
Kriteriakulit V 5
1 2 3 4 ekstremitas.
pucat Edukasi
hasil
Edema V 9. Anjurkan melapor jika menemukan
Pengisian V perubahan abnormal pada pemantauan
perifer neurovaskular.
kapiler
Parastesia
1= Meningkat
2= Cukup Meningkat
3= Sedang
4= Cukup Menurun
5= Menurun
Keterangan:
1= Memburuk
2= Cukup memburuk
3= Sedang
4= Cukup membaik
5= Membaik
21
Observasi
1. Identifikasi penyebab perdarahan.
Kriteria 1 2 3 4 5 2. Monitor tekanan darah dan parameter
hasil hemodinamik (tekanan vena sentral dan
tekanan baji kapiler atau arteri pulmonal)
Hemoglobin V 3. Monitor intake dan output cairan.
Hematokrit V 4. Monitor deliveri oksigen jaringan (misal
SaO2)
Tekanan V Terapeutik
5. Istirahatkan area yang mengalami
darah
perdarahan.
Denyut nadi V 6. Lakukan penekanan atau balut tekan
8. Pertahankan akses IV.
apikal Edukasi
Suhu tubuh V 9. Anjurkan membatasi aktivitas
Kolaborasi
10. Kolaborasi pemberian cairan
11. Kolaborasi pemberian tranfusi darah
Keterangan:
1= Memburuk
2= Cukup memburuk
3= Sedang
4= Cukup membaik
5= Membaik
22
oksigen
5. Berikan ksigen tambahan
Kriteria 1 2 3 4 5 6. Gunakan perangkat oksigen yang sesuai
hasil dengan tingkat mobilitas pasien.
Kolaborasi
Dispnea V 7. Kolaborasi penentuan dosis oksigen.
Bunyi napas V
tambahan
Pusing V
Napas V
cuping
hidung
KETERANGAN:
1= Meningkat
2= Cukup Meningkat
3= Sedang
4= Cukup Menurun
5= Menurun
23
KETERANGAN: dengan pasien dan lingkungan pasien.
4. Pertahankan teknik aseptik pada pasien
Kriteria hasil 1 2 3 4 5 berisiko tinggi.
Demam V Edukasi
5. Jelaskan tandan dan gejala infeksi.
Kemerahan V 6. Ajarkan cara memeriksa kondisi luka atau
luka operasi.
Nyeri V
Bengkak V
Drainase purulen V
1= Meningkat
2= Cukup Meningkat
3= Sedang
4= Cukup Menurun
5= Menurun
24
DAFTAR PUSTAKA
Amri, A., M. Manjas, dan H. Hardisman. 2019. Analisis implementasi triage, ketepatan
diagnosa awal dengan lama waktu rawatan pasien di rsud prof. dr. ma hanafiah sm
batusangkar. Jurnal Kesehatan Andalas. 8(3):484.
Andri, J., H. Febriawati, Padila, Harsismanto, dan R. Susmita. 2020. Nyeri pada pasien post
op fraktur ekstremitas bawah dengan pelaksanaan mobilisasi dan ambulasi dini. Journal
of Telenursing (JOTING). 2(1):61–70.
Astuti, N. dan B. Ilmi. 2019. Pengelolaan ketidakefektifan perfusi jaringan perifer pada
pasien post orif hari ke-3 atas indikasi fraktur femur dextra 1/3 distal di rsud ungaran.
Indonesian Journal of Nursing Research (IJNR). 3(1):42–51.
Suriya, M. dan Zuriati. 2019. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Gangguan
Pada Sistem Muskuloskeletal Aplikasi Nanda NIC & NOC. Padang: Tim Kreatif
Penerbit.
25