Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang semakin

meningkat selaras dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern

manusia tidak akan lepas dari fungsi normal sistem muskuloskeletal. Salah

satunya tulang yang merupakan alat gerak utama pada manusia. namun dari

kelainan ataupun ketidaksiplinan dari manusia itu sendiri (patah tulang)

fraktur adalah hilangnya kontinuitas jaringan tulang, tulang rawan sendi,

tulang rawan epifisis, baik ang bersifat total maupun parsial. Fraktur biasanya

terjadi pada cruris, karena cruris sangat kurang dilindungi oleh jaringan lunak,

sehingga mudah sekali mengalami kerusakan (Rasjad 1998).


Berbagai penelitian di Eropa, Amerika serikat, dan Australia menunjukan

bahwa resiko terjadinya patah tulang tidak hanya ditentukan oleh densitas

massa tulang melainkan juga oleh faktor-faktor lain yang berkaitan dengan

kerauhan fisik (Sudoyo, 2010). Kematian dan kesakitan yang terjadi akibat

patah tulang umumnya disebabkan oleh komplikasi akibat patah tulang dan

imobilisasi yang ditimbulkanya. Beberapa komplikasi tersebut diataranya

adalah timbulnya dekubitus akibat tirah baring berkepanjangan, perdarahan,

trombosis vena dalam dan paru, infeksi pnemonia dan infeksi saluran kemih

akibat tirah baring yang lama (Sudoyo, 2010). Walaupun dalam kasusnya tidak

sering terjadi kematian, namun bila tidak ditangani secara tepat atau cepat

dapat menimbulkan komplikasi yang akan memperburuk keadaan penderita.

1
Sehingga perawat perlu memperhatikan langkah-langkah yang harus

diperhatikan dalam menangani pasien dengan kasus kegawatdaruratan fraktur.


1.2 Rumusan masalah
Bagaimana konsep asuhan keperawatan kegawat daruratan pada pasien fraktur
1.3 Tujuan penulisan
1.3.1 Tujuan umum
Untuk mengetahui konsep keperawatan kegawatdaruratan pada pasien

fraktur
1.3.2 Tujuan khusus
A. Untuk mengetahui konsep fraktur
B. Untuk mengetahui konsep asuhan keperawatan kegawat daruratan pada

pasien fraktur
1.4 Manfaat penulisan

Mengetahui konsep dan asuhan keperawatan kegawat daruratan pada pasien

fraktur.

BAB II

KONEP DASAR

2.1 Pengertian

Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau

tenaga fisik (Price dan Wilson, 2006).

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan di tentukan sesuai

2
jenis dan luasnya, fraktur terjadi jika tulang di kenai stress yang lebih besar

dari yang dapat diabsorbsinya (Smeltzer dan Bare, 2002).

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, kebanyakan fraktur

akibat dari trauma, beberapa fraktur sekunder terhadap proses penyakit

seperti osteoporosis, yang menyebabkan fraktur yang patologis (Mansjoer,

2002).

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang di tandai oleh rasa

nyeri, pembengkakan, deformitas, gangguan fungsi, pemendekan , dan

krepitasi (Doenges, 2002).

Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa fraktur

adalah terputusnya kontinuitas tulang oleh karena adanya trauma atau tenaga

fisik yang di tentukan sesuai jenis dan luasnya.

2.2 Klasifikasi fraktur

1. Menurut Mansjoer (2002) ada tidaknya hubungan antara patahan tulang

dengan dunia luar di bagi menjadi 2 antara lain:

a. Fraktur tertutup (closed)

Dikatakan tertutup bila tidak terdapat hubungan antara fragmen

tulang dengan dunia luar, disebut dengan fraktur bersih (karena kulit

masih utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi

tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma,

yaitu:

1) Tingkat 0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan

3
lunak sekitarnya.

2) Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan

jaringan subkutan.

3) Tingkat 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak

bagian dalam dan pembengkakan.

4) Tingkat 3 : Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata

dan ancaman sindroma kompartement.

b. Fraktur terbuka (open/compound fraktur)

Dikatakan terbuka bila tulang yang patah menembus otot dan

kulit yang memungkinkan / potensial untuk terjadi infeksi dimana

kuman dari luar dapat masuk ke dalam luka sampai ke tulang yang

patah.

Derajat patah tulang terbuka :

1. Derajat I

Laserasi < 2 cm, fraktur sederhana, dislokasi fragmen minimal.

2. Derajat II

Laserasi > 2 cm, kontusio otot dan sekitarnya, dislokasi fragmen

jelas.

3. Derajat III

Luka lebar, rusak hebat, atau hilang jaringan sekitar.

2. Menurut Mansjoer (2002) derajat kerusakan tulang dibagi menjadi 2

yaitu:

4
a. Patah tulang lengkap (Complete fraktur)

Dikatakan lengkap bila patahan tulang terpisah satu dengan

yang lainya, atau garis fraktur melibatkan seluruh potongan menyilang

dari tulang dan fragmen tulang biasanya berubah tempat.

b. Patah tulang tidak lengkap ( Incomplete fraktur )

Bila antara patahan tulang masih ada hubungan sebagian.

Salah satu sisi patah yang lainya biasanya hanya bengkok yang

sering disebut green stick.

Menurut Price dan Wilson ( 2005) kekuatan dan sudut dari tenaga

fisik,keadaan tulang, dan jaringan lunak di sekitar tulang akan menentukan

apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap. Fraktur lengkap

terjadi apabila seluruh tulang patah, sedangkan pada fraktur tidak lengkap

tidak melibatkan seluruh ketebalan tulang.

3. Menurut Mansjoer (2002) bentuk garis patah dan hubungannya dengan

mekanisme trauma ada 5 yaitu:

a. Fraktur Transversal : fraktur yang arahnya malintang pada tulang dan

merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.

b. Fraktur Oblik : fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut

terhadap sumbu tulang dan merupakan akibat dari trauma angulasi

juga.

c. Fraktur Spiral : fraktur yang arah garis patahnya sepiral yang di

sebabkan oleh trauma rotasi.

5
d. Fraktur Kompresi : fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi

yang mendorong tulang kea rah permukaan lain.

e. Fraktur Afulsi : fraktur yang di akibatkan karena trauma tarikan atau

traksi otot pada insersinya pada tulang.

4. Menurut Smeltzer dan Bare (2001) jumlah garis patahan ada 3 antara lain:

a. Fraktur Komunitif : fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan

saling berhubungan.
b. Fraktur Segmental : fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi

tidak berhubungan.
c. Fraktur Multiple : fraktur diman garis patah lebih dari satu tapi tidak

pada tulang yang sama.

2.3 Etiologi

Etiologi dari fraktur menurut Price dan Wilson (2006) ada 3 yaitu:

a. Cidera atau benturan


b. Fraktur patologik

Fraktur patologik terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah menjadi

lemah oleh karena tumor, kanker dan osteoporosis.

c. Fraktur beban

Fraktur baban atau fraktur kelelahan terjadi pada orang- orang yang baru

saja menambah tingkat aktivitas mereka, seperti baru di terima dalam

angkatan bersenjata atau orang- orang yang baru mulai latihan lari.

2.4 Patofisiologis

Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup

bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar.

6
Sedangkan fraktur terbuka bila terdapat hubungan antara fragmen tulang

dengan dunia luar oleh karena perlukaan di kulit (Smelter dan Bare,2002).

Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah ke

dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya

mengalami kerusakan. Reaksi perdarahan biasanya timbul hebat setelah

fraktur. Sel- sel darah putih dan sel anast berakumulasi menyebabkan

peningkatan aliran darah ketempat tersebut. aktivitas osteoblast terangsang

dan terbentuk tulang baru imatur yang disebut callus. Bekuan fibrin

direabsorbsidan sel- sel tulang baru mengalami remodeling untuk membentuk

tulang sejati. Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut syaraf yang

berkaitan dengan pembengkakan yang tidak di tangani dapat menurunkan

asupan darah ke ekstrimitas dan mengakibatkan kerusakan syaraf perifer. Bila

tidak terkontrol pembengkakan akan mengakibatkan peningkatan tekanan

jaringan, oklusi darah total dan berakibat anoreksia mengakibatkan rusaknya

serabut syaraf maupun jaringan otot. Komplikasi ini di namakan sindrom

compartment (Brunner dan Suddarth, 2002 ).

Trauma pada tulang dapat menyebabkan keterbatasan gerak dan

ketidak seimbangan, fraktur terjadi dapat berupa fraktur terbuka dan fraktur

tertutup. Fraktur tertutup tidak disertai kerusakan jaringan lunak seperti

tendon, otot, ligament dan pembuluh darah ( Smeltzer dan Bare, 2001).

Pasien yang harus imobilisasi setelah patah tulang akan menderita komplikasi

antara lain : nyeri, iritasi kulit karena penekanan, hilangnya kekuatan otot.

Kurang perawatan diri dapat terjadi bila sebagian tubuh di imobilisasi,

7
mengakibatkan berkurangnyan kemampuan prawatan diri (Carpenito, 2007).

Reduksi terbuka dan fiksasi interna (ORIF) fragmen- fragmen tulang

di pertahankan dengan pen, sekrup, plat, paku. Namun pembedahan

meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi. Pembedahan itu sendiri

merupakan trauma pada jaringan lunak dan struktur yang seluruhnya tidak

mengalami cedera mungkin akan terpotong atau mengalami kerusakan

selama tindakan operasi (Price dan Wilson, 2006).

2.5 Manifestasi Klinik

Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas,

pemendekan ekstrimitas, krepitus, pembengkakan local, dan perubahan

warna.

1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang di

imobilisasi, spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai

alamiah yang di rancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen

tulang.

2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung

bergerak tidak alamiah bukan seperti normalnya, pergeseran fraktur

menyebabkan deformitas, ekstrimitas yang bias di ketahui dengan

membandingkan dengan ekstrimitas yang normal. Ekstrimitas tidak dapat

berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada

integritas tulang tempat melekatnya otot.

3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena

kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.

8
4. Saat ekstrimitas di periksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang

yang dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu

dengan yang lainya.

5. Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi sebagai

akibat dari trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini

biasanya baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera

(Smelzter dan Bare, 2002).

2.6 Penatalaksanaan

Menurut Mansjoer (2000) dan Muttaqin (2008) konsep dasar yang harus

dipertimbangkan pada waktu menangani fraktur yaitu : rekognisi, reduksi,

retensi, dan rehabilitasi.

1. Rekognisi (Pengenalan )

Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk menentukan

diagnosa dan tindakan selanjutnya. Contoh, pada tempat fraktur tungkai

akan terasa nyeri sekali dan bengkak. Kelainan bentuk yang nyata dapat

menentukan diskontinuitas integritas rangka.

2. Reduksi (manipulasi/ reposisi)

Reduksi adalah usaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen

fragmen tulang yang patah sedapat mungkin kembali lagi seperti letak

asalnya. Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali

seperti semula secara optimal. Reduksi fraktur dapat dilakukan dengan

reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka. Reduksi fraktur dilakukan

sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilangan

9
elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada

kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera

sudah mulai mengalami penyembuhan (Mansjoer, 2002).

3. Retensi (Immobilisasi)

Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali

seperti semula secara optimal. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang

harus diimobilisasi, atau di pertahankan dalam posisi kesejajaran yang

benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan

fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi

pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin, dan teknik gips, atau fiksator

eksterna. Implan logam dapat di gunakan untuk fiksasi intrerna yang

brperan sebagai bidai interna untuk

mengimobilisasifraktur. Fiksasi eksterna adalah alat yang diletakkan

diluar kulit untuk menstabilisasikan fragmen tulang dengan memasukkan

dua atau tiga pin metal perkutaneus menembus tulang pada bagian

proksimal dan distal dari tempat fraktur dan pin tersebut dihubungkan

satu sama lain dengan menggunakan eksternal bars. Teknik ini terutama

atau kebanyakan digunakan untuk fraktur pada tulang tibia, tetapi juga

dapat dilakukan pada tulang femur, humerus dan pelvis (Mansjoer, 2000).

10
Gambar 3 : Pemasangan OREF pada tibia dan fibula

Sumber : www.google.com

Prinsip dasar dari teknik ini adalah dengan menggunakan pin

yang diletakkan pada bagian proksimal dan distal terhadap daerah atau

zona trauma, kemudian pin-pin tersebut dihubungkan satu sama lain

dengan rangka luar atau eksternal frame atau rigid bars yang berfungsi

untuk menstabilisasikan fraktur. Alat ini dapat digunakan sebagai

temporary treatment untuk trauma muskuloskeletal atau sebagai

definitive treatment berdasarkan lokasi dan tipe trauma yang terjadi pada

tulang dan jaringan lunak (Muttaqin, 2008).

4. Rehabilitasi

Mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin untuk

menghindari atropi atau kontraktur. Bila keadaan mmeungkinkan, harus

segera dimulai melakukan latihan-latihan untuk mempertahankan

kekuatan anggota tubuh dan mobilisasi (Mansjoer, 2000).

2.7 Komplikasi

Komplikasi fraktur menurut Smeltzer dan Bare (2001) dan Price (2005)

antara lain:

11
1. Komplikasi awal fraktur antara lain: syok, sindrom emboli lemak,

sindrom kompartement, kerusakan arteri, infeksi, avaskuler nekrosis.

a. Syok

Syok hipovolemik atau traumatic, akibat perdarahan (banyak

kehilangan darah eksternal maupun yang tidak kelihatan yang bias

menyebabkan penurunan oksigenasi) dan kehilangan cairan ekstra sel

ke jaringan yang rusak, dapat terjadi pada fraktur ekstrimitas, thoraks,

pelvis dan vertebra.

b. Sindrom emboli lemak

Pada saat terjadi fraktur globula lemak dapat masuk kedalam

pembuluh darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari

tekanan kapiler atau karena katekolamin yang di lepaskan oleh reaksi

stress pasien akan memobilisasi asam lemak dan memudahkan

terjasinya globula lemak pada aliran darah.

c. Sindroma Kompartement

Merupakan masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot

kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Ini bisa

disebabkan karena penurunan ukuran kompartement otot karena fasia

yang membungkus otot terlalu ketat, penggunaan gibs atau balutan

yang menjerat ataupun peningkatan isi kompatement otot karena

edema atau perdarahan sehubungan dengan berbagai masalah

(misalnya : iskemi,dan cidera remuk).

d. Kerusakan Arteri

12
Pecahnya arteri karena trauma bias ditandai denagan tidak ada nadi,

CRT menurun, syanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan

dingin pada ekstrimitas yang disbabkan oleh tindakan emergensi

splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan

pembedahan.

e. Infeksi

Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada

trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk

ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bias

juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan

plat.

f. Avaskuler nekrosis

Avaskuler nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak

atau terganggu yang bias menyebabkan nekrosis tulang dan di awali

dengan adanya Volkman’s Ischemia (Smeltzer dan Bare, 2001).

2. Komplikasi dalam waktu lama atau lanjut fraktur antara lain: mal union,

delayed union, dan non union.

a. Malunion

Malunion dalam suatu keadaan dimana tulang yang patah telah

sembuh dalam posisi yang tidak seharusnya. Malunion merupaka

penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat kekuatan

dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan dengan

pembedahan dan reimobilisasi yang baik.

13
b. Delayed Union

Delayed union adalah proses penyembuhan yang terus berjalan

dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal. Delayed

union merupakankegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan

waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan

karena penurunan suplai darah ke tulang.

c. Nonunion

Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan

memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9

bulan. Nonunion di tandai dengan adanya pergerakan yang berlebih

pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseuardoarthrosis.

Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang (Price dan

Wilson, 2006).

14
15
BAB III

ASKEP KEGAWATDARURATAN

3.1 Pengkajian

1. Pengkajian primer

a. Airway

Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya penumpukan

sekret akibat kelemahan reflek batuk.

b. Breathing

Kelemahan menelan, batuk, melindungi jalan napas, timbulnya

pernapasan yang sulit dan atau tak teratur, suara nafas terdengar

ronchi,aspirasi.

c. Circulation

Tekanan darah dapat normal atau meningkat , hipotensi terjadi pada

tahap lanjut, takikardi, bunyi jantung normal pada tahap dini,

disritmia, kulit dan membran mukosa pucat, dingin, sianosis pada

tahap lanjut.

2. Pengkajian sekunder

a. Aktivitas/istirahat

Kehilangan fungsi pada bagian yang terkena dan keterbatasan

mobilitas

b. Sirkulasi

1) Hipertensi ( kadang terlihat sebagai respon nyeri/ansietas)

16
2) Hipotensi ( respon terhadap kehilangan darah)

3) Tachikardi

4) Penurunan nadi pada bagiian distal yang cidera

5) Cailary refil melambat

6) Pucat pada bagian yang terkena

7) Masa hematoma pada sisi cedera

c. Neurosensori

1) Kesemutan

2) Deformitas, krepitasi, pemendekan

3) kelemahan

d. Kenyamanan

1) nyeri tiba-tiba saat cidera

2) spasme/ kram otot

e. Keamanan

1) laserasi kulit

2) perdarahan

3) perubahan warna

4) pembengkakan local

3.2 Diagnosa Keperawatan dan Intervensi

DX.1 Nyeri berhubungan dengan spasme otot dan kerusakan sekunder

terhadap fraktur.

Tujuan : setelah dilakukan asuhan keperawatan, pasien dapat :

17
- Melaporkan gejala nyeri terkontrol

- Melaporkan kenyamanan fisik dan psikologis

- Mengenali factor yang menyebabkan nyeri

- Melaporkan nyeri terkontrol

- Tidak menunjukkan respon non verbal adanya nyeri

- Menggunakan terapi analgetik dan non analgetik

- Tanda vital dalam rentang yang diharapkan

Intervensi :

Manajemen nyeri

1) Kaji tingkat nyeri yang komprehensif : lokasi, durasi, karakteristik,

frekuensi, intensitas, factor pencetus, sesuai dengan usia dan tingkat

perkembangan.

2) Monitor skala nyeri dan observasi tanda non verbal dari

ketidaknyamanan

3) Gunakan tindakan pengendalian nyeri sebelum menjadi berat

4) Kelola nyeri pasca operasi dengan pemberian analgesik tiap 4 jam, dan

monitor keefektifan tindakan mengontrol nyeri

5) Kontrol faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon klien

terhadap ketidaknyamanan : suhu ruangan, cahaya, kegaduhan.

6) Ajarkan tehnik non farmakologis kepada klien dan keluarga : relaksasi,

distraksi, terapi musik, terapi bermain,terapi aktivitas, akupresur, kompres

panas/ dingin, masase. imajinasi terbimbing (guided imagery),hipnosis

( hipnoterapy ) dan pengaturan posisi.

18
7) Informasikan kepada klien tentang prosedur yang dapat meningkatkan

nyeri : misal klien cemas, kurang tidur, posisi tidak rileks.

8) Kolaborasi medis untuk pemberian analgetik, fisioterapis/ akupungturis.

DX.2 Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka

neuromuskuler.

Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan, klien dapat bergerak secara

normal dengan kriteria hasil :

- Mampu mandiri total

- Membutuhkan alat bantu

- Membutuhkan bantuan orang lain

- Membutuhkan bantuan orang lain dan alat

- Tergantung total

Dalam hal :

- Penampilan posisi tubuh yang benar

- Pergerakan sendi dan otot

- Melakukan perpindahan/ ambulasi : miring kanan-kiri, berjalan, kursi roda

intervensi :

1) Ajarkan dan berikan dorongan pada klien untuk melakukan program

latihan secara rutin

Latihan untuk ambulasi

2) Ajarkan teknik Ambulasi & perpindahan yang aman kepada klien dan

keluarga.

19
3) Sediakan alat bantu untuk klien seperti kruk, kursi roda, dan walker

4) Beri penguatan positif untuk berlatih mandiri dalam batasan yang aman.

Latihan mobilisasi dengan kursi roda

5) Ajarkan pada klien & keluarga tentang cara pemakaian kursi roda & cara

berpindah dari kursi roda ke tempat tidur atau sebaliknya.

6) Dorong klien melakukan latihan untuk memperkuat anggota tubuh

7) Ajarkan pada klien/ keluarga tentang cara penggunaan kursi roda

Latihan Keseimbangan

8) Ajarkan pada klien & keluarga untuk dapat mengatur posisi secara mandiri

dan menjaga keseimbangan selama latihan ataupun dalam aktivitas sehari

hari.

Perbaikan Posisi Tubuh yang Benar

9) Ajarkan pada klien/ keluarga untuk mem perhatikan postur tubuh yg benar

untuk menghindari kelelahan, keram & cedera.

10) Kolaborasi ke ahli terapi fisik untuk program latih.

DX.3 Defisit perawatan diri berhubungan dengan keterbatasan gerak sekunder

terhadap fraktur.

Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan klien mampu merawat diri

dengan baik dengan KH :

- Melakukan ADL mandiri : mandi, hygiene mulut ,kuku, penis/vulva, rambut,

berpakaian, toileting, makan-minum, ambulasi

- Mandi sendiri atau dengan bantuan tanpa kecemasan

20
- Terbebas dari bau badan dan mempertahankan kulit utuh

- Mempertahankan kebersihan area perineal dan anus

- Berpakaian dan melepaskan pakaian sendiri

- Melakukan keramas, bersisir, bercukur, membersihkan kuku, berdandan

- Makan dan minum sendiri, meminta bantuan bila perlu

- Mengosongkan kandung kemih dan bowel

Intervensi :

Bantuan Perawatan Diri: Mandi, higiene mulut, penil/vulva, rambut, kulit

1) Kaji kebersihan kulit, kuku, rambut, gigi, mulut, perineal, anus

2) Bantu klien untuk mandi, tawarkan pemakaian lotion, perawatan kuku,

rambut, gigi dan mulut, perineal dan anus, sesuai kondisi

3) Anjurkan klien dan keluarga untuk melakukan oral hygiene sesudah makan dan

bila perlu

4) Kolaborasi dgn Tim Medis / dokter gigi bila ada lesi, iritasi, kekeringan

mukosa mulut, dan gangguan integritas kulit.

Bantuan perawatan diri : berpakaian

5) Kaji dan dukung kemampuan klien untuk berpakaian sendiri

6) Ganti pakaian klien setelah personal hygiene, dan pakaikan pada ektremitas

yang sakit/ terbatas terlebih dahulu, Gunakan pakaian yang longgar

7) Berikan terapi untuk mengurangi nyeri sebelum melakukan aktivitas

berpakaian sesuai indikasi

Bantuan perawatan diri : Makan-minum

8) Kaji kemampuan klien untuk makan : mengunyah dan menelan makanan

21
9) Fasilitasi alat bantu yg mudah digunakan klien

10) Dampingi dan dorong keluarga untuk membantu klien saat makan

Bantuan Perawatan Diri: Toileting

11) Kaji kemampuan toileting: defisit sensorik (inkontinensia),kognitif(menahan

untuk toileting), fisik (kelemahan fungsi/ aktivitas)

12) Ciptakan lingkungan yang aman(tersedia pegangan dinding/ bel), nyaman

dan jaga privasi selama toileting

13) Sediakan alat bantu (pispot, urinal) di tempat yang mudah dijangkau

14) Ajarkan pada klien dan keluarga untuk melakukan toileting secara teratur

DX.4 Resiko tinggi kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan fraktur.

Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan, integritas kulit dapat teratasi

dengan kriteria hasil :

- Pertahanan perfusi jaringan dan mukosa baik (sensasi, elastisitas, temperature,

hidrasi)

- Tidak ada lesi, iritasi kulit / dekubitus

- Klien mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban kulit

- Proses penyembuhan luka baik

Intervensi keperawatan :

Perawatan Klien dengan tirah baring total

1) Pasang kasur dekubitus bila diperlukan

2) Hindari kerutan / lipatan alat tenun

3) Mobilisasi / ubah posisi tidur klien tiap 2 jam sesuai jadwal

22
Pencegahan Luka Karena Tekanan

4) Kaji factor resiko kerusakan integritas kulit

5) Jaga kebersihan kulit klien agar tetap bersih dan kering

6) Berikan / oleskan lotion pada daerah yang tertekan

7) Lakukan massage sesuai indikasi

8) Berikan cairan dan nutrisi yang adekuat sesuai kondisi

Pengawasan kulit

9) Monitor aktivitas, mobilisasi klien dan adanya kemerahan pada kulit

10) Libatkan keluarga dalam mobilisasi klien dan personal higiene

11) Ajarkan perubahan posisi kpd klien & keluarga

DX.5 Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan kerusakan kulit, trauma jaringan.

Tujuan : Selah dilakukan asuhan keperawatan, infeksi dapat tertangani dengan

kriteria hasil :

- Klien terbebas dari tanda dan gejala infeksi

- Klien mampu mendiskripsikan proses penularan penyakit, factor yang

mempengaruhi penularan serta penatalaksanaannya

- Klien mempunyai kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi

- Jumlah leukosit dalam batas normal(5.000 – 10.000) Pengetahuan :

pengendalian infeksi

1) Ajarkan pada klien & keluarga cara menjaga personal hygiene untuk

melindungi tubuh dari infeksi : cara mencuci tangan yang benar.

2) Anjurkan kepada keluarga/ pengunjung untuk mencuci tangan sewaktu masuk

23
dan meninggalkan ruang klien

3) Jelaskan kepada klien dan keluarga tanda dan gejala infeksi

4) Ajarkan metode aman cara penyediaan, pengelolaan dan

penyimpanan makanan / susu kpd klien & keluarga.

Pengendalian resiko infeksi

5) Pantau tanda dan gejala infeksi : peningkatan suhu tubuh, nadi, perubahan

kondisi luka, sekresi, penampilan urine, penurunan BB, keletihan dan malaise.

6) Pertahankan tehnik aseptik pada klien yang beresiko

7) Bersihkan alat / lingkungan dengan benar setelah dipergunakan klien

8) Anjurkan kepada klien minum obat antibiotika sesuai

9) Berikan penkes kepada klien dan keluarga tentang cara program

10) Dorong klien untuk mengkonsumsi nutrisi dan cairan yg adekuat.penularan

penyakit infeksi: transmisi secara seksual, oral, fekal, sekresi tubuh, kontak

langsung, dan trankutaneus

11) Kolaborasi dengan Tim Medis untuk pemberian therapi sesuai indikasi, dan

pemeriksaan laboratorium yang sesuai

(Wikinson: 2007)

24
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa fraktur

adalah terputusnya kontinuitas tulang oleh karena adanya trauma atau tenaga

fisik yang di tentukan sesuai jenis dan luasnya.

Secara umum fraktur dibedakan menjadi 2 yaitu terbuka dan tertutup.

Manifestasi klinis dari fraktur tu sendiri yaitu nyeri, hiangnya fugsi dan

deformitas, pemendekan ekstremitas, krepius, pembengkakan lkal dan

perubahan warna.

Penatalaksanaan fraktur terdiri dari 4R yaitu rekognisi, reduksi, retensi, dan

rehabilitasi

1. Nyeri berhubungan dengan spasme otot dan kerusakan sekunder terhadap

fraktur.

2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka

neuromuskuler.

3. Defisit perawatan diri berhubungan dengan keterbatasan gerak sekunder

terhadapfraktur.

4. Resiko tinggi kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan fraktur.

5. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan kerusakan kulit, trauma

jaringan.

Klien dengan fraktur diperlukan penanganan khusus dan berkesinambungan.

Klien juga perlu diberikan pendidikan kesehatan baik tentang proses penyakit

25
dan program pengobatan sehingga tidak timbul penyakit yang berulang.

4.2 Saran

Setelah membaca makalah ini penulis menyarankan agar pembaca

dapat memahami tentang gejala, bagaimana proses penyakit, penyebab

fraktur sehingga dapat membuat kita lebih hati-hati dalam bekerja atau

melakukan aktifitas sehari-hari. Selain itu juga dapat memberikan

penanganan asuhan keperawatan yang baik sehingga dapat membantu klien

dengan masalah fraktur.

26
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan medikal Bedah. Edisi 8 Vol

3. Jakarta: EGC

Editor, Aru W Sudoyo dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I edisi

V. Jakarta: Interna Publishing

Dongoes, Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta:

EGC

Price A S, Wilson. 2006. Patofisiologi. Konsep Klinis Proses-Proses penyakit

Edisi Vol. 2. Jakarta: EGC

Ramadhan. 2008. Konsep Fraktur (Patah Tulang.

http://forbetterhealth.wordpress.com/2008/12/22/konsep-fraktur-

patah-tulang/ diakses tanggal 11 maret 2016

Smeltzer Suzanne, C . 2001. Buku Ajar Medikal Bedah, Brunner & Suddart.

Jakarta: EGC

Tambayong, Jan. 2000 . Patofisiologi. Jakarta: EGC

NIC dan Ktriteria Hasil NOC. Jakarta: EGC

27

Anda mungkin juga menyukai