Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PENDAHULUAN PRAKTIK KLINIK

KEPERAWATAN GAWAT DARURAT


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
STIKES PMC

Nama : Fitria
Nim : 18010014
Tanggal : Juli 2021
Ruang Praktik : Keperawatan Gawat Darurat

I. Diagnosa medik
Fraktur

II. Defenisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa (Brunner&Suddarth: 2002).
Fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang (Doenges, 1999).
Fraktur adalah terputusnya keutuhan tulang, umumnya akibat trauma
(Tambayong:2000). Fraktur adalah patah tulang yang biasanya disebabkan oleh
trauma atau tenaga fisik (Price, 1995).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang
yang disebabkan trauma atau tenaga fisik dan menimbulkan nyeri serta gangguan
fungsi.

III. Etiologi
Etiologi dari fraktur menurut Price dan Wilson (1995) ada 3 yaitu:
1. Cidera atau benturan
2. Fraktur patologik
Fraktur patologik terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah menjadi lemah
oleh karena tumor, kanker dan osteoporosis.
3. Fraktur beban
Fraktur beban atau fraktur kelelahan teradi pada orang-orang yang baru saja
menambah tingkat aktifitas mereka, seperti baru diterima dalam angkatan
bersenjata atau orang-orang yang baru mulai latihan lari.
IV. Manifestasi Klinis
1. Nyeri
Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bidai alamiah yang
dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2. Hilangnya fungsi dan deformitas
Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung
bergerak secara tidak alamiah.Cruris tak dapat berfungsi dengan baik karena
fungsi normal otot berrgantung pada integritas tulang tempat melengketnya otot.
3. Pemendekan ekstremitas
Terjadinya pemendekan tulang yang sebenarnya karena konstraksi otot yang
melengket di atas dan bawah tempat fraktur.
4. Krepitus
Saat bagian tibia dan fibula diperiksa, teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainya.
5. Pembengkakan lokal dan Perubahan warna
Terjadi sebagai akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur.
Tanda ini baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cidera.

V. Patofisiologi
Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup bila tidak
terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Sedangkan fraktur
terbuka bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar oleh karena
perlukaan di kulit. Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat
patah ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya
mengalami kerusakan. Reaksi perdarahan biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel-
sel darah putih dan sel anast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah
ketempat tersebut aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru umatur
yang disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsidan sel-sel tulang baru mengalami
remodeling untuk membentuk tulang sejati. Insufisiensi pembuluh darah atau
penekanan serabut syaraf yang berkaitan dengan pembengkakan yang tidak di
tangani dapat menurunkan asupan darah ke ekstrimitas dan mengakibatkan
kerusakan syaraf perifer. Bila tidak terkontrol pembengkakan akan mengakibatkan
peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total dan berakibat anoreksia
mengakibatkan rusaknya serabut syaraf maupun jaringan otot. Komplikasi ini
dinamakan sindrom compartment (Brunner dan Suddarth, 2002). rauma pada tulang
dapat menyebabkan keterbatasan gerak dan ketidak seimbangan,
fraktur terjadi dapat berupa fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Fraktur tertutup
tidak disertai kerusakan jaringan lunak seperti tendon, otot, ligament dan pembuluh
darah ( Smeltzer dan Bare, 2001).
Pasien yang harus imobilisasi setelah patah tulang akan menderita komplikasi
antara lain : nyeri, iritasi kulit karena penekanan, hilangnya kekuatan otot. Kurang
perawatan diri dapat terjadi bila sebagian tubuh di imobilisasi, mengakibatkan
berkurangnyan kemampuan prawatan diri.
Reduksi terbuka dan fiksasi interna (ORIF) fragmen-fragmen tulang di
pertahankan dengan pen, sekrup, plat, paku. Namun pembedahan meningkatkan
kemungkinan terjadinya infeksi. Pembedahan itu sendiri merupakan trauma pada
jaringan lunak dan struktur yang seluruhnya tidak mengalami cedera mungkin akan
terpotong atau mengalami kerusakan selama tindakan operasi (Price dan Wilson:
1995).

Klasifikasi Fraktur

1. Menurut ada tidaknya hubungan antara patahan tulang dengan dunia luar di bagi
menjadi 2 antara lain:
a) Fraktur tertutup (closed)
Dikatakan tertutup bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan
dunia luar, disebut dengan fraktur bersih (karena kulit masi utuh) tanpa
komplikasi. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan
keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
i. Tingkat 0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak
sekitarnya.
ii. Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan
subkutan.
iii. Tingkat 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian
dalam dan pembengkakan.
iv. Tingkat 3 : Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan
ancaman sindroma kompartement.
b) Fraktur terbuka (opened)
Dikatakan terbuka bila tulang yang patah menembus otot dan kulit yang
memungkinkan / potensial untuk terjadi infeksi dimana kuman dari luar dapat
masuk ke dalam luka sampai ke tulang yang patah. Derajat patah tulang terbuka :
i. Derajat I Laserasi < 2 cm, fraktur sederhana, dislokasi fragmen minimal.
ii. Derajat II Laserasi > 2 cm, kontusio otot dan sekitarnya, dislokasi fragmen
jelas.
iii. Derajat III Luka lebar, rusak hebat, atau hilang jaringan sekitar.
2. Menurut derajat kerusakan tulang dibagi menjadi 2 yaitu:
a) Patah tulang lengkap (Complete fraktur)
Dikatakan lengkap bila patahan tulang terpisah satu dengan yang lainya, atau
garis fraktur melibatkan seluruh potongan menyilang dari tulang dan fragmen
tulang biasanya berubak tempat.
b) Patah tulang tidak lengkap ( Incomplete fraktur )
Bila antara oatahan tulang masih ada hubungan sebagian. Salah satu sisi patah
yang lainya biasanya hanya bengkok yang sering disebut green stick. Menurut
Price dan Wilson ( 2006) kekuatan dan sudut dari tenaga fisik,keadaan tulang, dan
jaringan lunak di sekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu
lengkap atau tidak lengkap. Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh tulang patah,
sedangkan pada fraktur tidak lengkap tidak melibatkan seluruh ketebalan tulang.

3. Menurut bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma ada 5
yaitu:
a) Fraktur Transversal : fraktur yang arahnya malintang pada tulang dan merupakan
akibat trauma angulasi atau langsung.
b) Fraktur Oblik : fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu
tulang dan merupakan akibat dari trauma angulasi juga.
c) Fraktur Spiral : fraktur yang arah garis patahnya sepiral yang di sebabkan oleh
trauma rotasi.
d) Fraktur Kompresi : fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang kea rah permukaan lain.
e) Fraktur Afulsi : fraktur yang di akibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot
pada insersinya pada tulang.

4. Menurut jumlah garis patahan ada 3 antara lain:


a) Fraktur Komunitif : fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan.
b) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu
tapi tidak berhubungan.
c) Fraktur Multiple : fraktur diman garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang
yang sama.(Mansjoer: 2000)
VI. Pemeriksaan ABCDE
1. A: Airway, dengan kontrol servikal. Yang pertama harus dinilai adalah
kelancaran jalan nafas, ini meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas oleh
adanya benda asing atau fraktus dibagian wajah. Usaha untuk membebaskan jalan
nafas harus memproteksi tulang cervikal, karena itu teknik jaw thrust dapat
digunakan. Pasien dengan gangguan kesadaran atau GCS kurang dari 8 biasanya
memerlukan pemasangan airway definitif.
2. B: Breathing, Setelah mengamankan airway maka selanjutnya kita harus
menjamin ventilasi yang baik. Ventilasi yang baik meliputi fungsi dari paru-paru
yang baik, dinding dada dan diafragma. Beberapa sumber mengatakan pasien
dengan fraktur ektrimitas bawah yang segnifikan sebaiknya diberi high flow
oxygen 15 1/m lewat non-rebreathing mask dengan reservoir bag.
3. C: Circulation, ketika mengevaluasi sirkulasi maka yang harus diperhatikan di
sini adalah volume darah, pendrahan, dan cardiac output. Pendarahan sering
menjadi permasalahan utama pada kasus patah tulang, terutama patahtulang
terbuka. patah tulang femur dapat menyebabkan kehilangan darah dalam paha 3-4
unit darah dan membuat syok kelas III. Menhentikan pendarahan yang terbaik
adalah menggunakan penekanan langsung dan meninggikan lokasi atau
ekstremitas yang mengalami pendarahan di atas level tubuh. Pemasangan bidai
yang baik dapat menurunkan pendarahan secara nyatadengan mengurangi gerakan
dan meningkatkan pengaruh tamponade otot sekitar patahan. Pada patah tulang
terbuka, penggunaan balut tekan steril umumnya dapat menghentikan pendarahan.
Penggantian cairan yang agresif merupakan hal penting disamping usaha
menghentikan pendarahan.
4. D: Disability, melakukan evaluasi singkat terhadap keadaan neurologis, yang
dinilai disini adalah tingkat cedera spinal.
5. E: Exposure, pasien harus dibuka keseluruhan pakaiannya, seiring dengan cara
menggunting, guna memeriksa dan evaluasi pasien. setelah pakaian dibuka,
penting bahwa pasien diselimuti agar pasien tidak hipotermia.
VII. Pemeriksaan Fisik
1. Look atau inspeksi : Memperhatikan penampakan dari cedera, apakah ada fratur
terbuka (tulang terlihat kontak dengan udara luar). Apakah terlihat deformitas dari
ekstremitas tubuh, hematoma, pembengkakan dan lain-lain.
2. feel atau palpasi : Kita harus mempalpasi seluruh ekstremitas dari proksimal
hingga distal termasuk sendi di proksimal maupun distal dari cedera untuk
menilai area rasa sakit, efusi, maupun krepitasi.
3. Move : Penilaian dilakukan untuk mengetahui ROM (range of motion) sering kali
pemeriksaan ROM tidak bisa dilakukan karena rasa sakit yang dirasakan oleh
pasien, tetapi ini harus tetap didokumentasikan.
4. Pemeriksaan ekstrimitas juga harus melingkupi vaskularitas dari ekstrimitas
termasuk warna, suhu, perfusi, perabaan denyut nadi, capillary return (normalnya
< 3 detik) dan pulse oximetry. pemeriksaan neurologi yang detail juga harus
mendokumentasikan fungsi sensoris dan motoris.

VIII. Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnostik Penunjang


a. Pemeriksaan laboratorium
1. Hb, Hct sedikit rendah, di sebabkan perdarahan.
2. LED meningkat bila kerusakan jaringan emak sangat luas.
3..Peningkatan jumlah leukosit adalah respon stress norma; setelah trauma.

b. Pemeriksaan penunjang
1. Sinar X untuk melihat gambaan fraktur deformitas
2. CT –Scan untuk mmperlihatkan fraktur atau mendeteksi struktur fraktur
3. Venogram untuk menggambarkan arus vaskularisasi
4. Radiograf, untuk menentukan integritas tulang
5. Antroskopi, untuk mendeteksi keterlibatan sendi
6. Angiografi, bila dikaitkan dengan cedera pembuluh darah
7. Konduksi saraf dan elektromiogram, untuk mendeteksi cedera saraf

IX. Komplikasi
Komplikasi fraktur menurut Smeltzer dan Bare (2001) antara lain:
1. Komplikasi awal fraktur antara lain: syok, sindrom emboli lemak, sindrom
kompartement, kerusakan arteri, infeksi, avaskuler nekrosis.

a. Syok hipovolemik atau traumatic, akibat perdarahan (banyak kehilangan


darah eksternal maupun yang tidak kelihatan yang biasa menyebabkan
penurunan oksigenasi) dan kehilangan cairan ekstra sel ke jaringan yang
rusak, dapat terjadi pada fraktur ekstrimitas, thoraks, pelvis dan vertebra.
b. Sindrom emboli lemak Pada saat terjadi fraktur globula lemak dapat masuk
kedalam pembuluh darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari
tekanan kapiler atau karena katekolamin yang di lepaskan oleh reaksi stress
pasien akan memobilisasi asam lemak dan memudahkan terjadinya globula
lemak pada aliran darah.
c. Sindroma Kompartemen ditandai oleh kerusakan atau destruksi saraf dan
pembuluh darah yang disebabkan oleh pembengkakan dan edema di daerah
fraktur. Dengan pembengkakan interstisial yang intens, tekanan pada
pembuluh darah yang menyuplai daerah tersebut dapat menyebabkan
pembuluh darah tersebut kolaps. Hal ini menimbulkan hipoksia jaringan dan
dapat menyebabkan kematian syaraf yang mempersyarafi daerah tersebut.
Biasanya timbul nyeri hebat. Individu mungkin tidak dapat menggerakkan jari
tangan atau kakinya. Sindrom kompartemen biasanya terjadi pada ekstremitas
yang memiliki restriksi volume yang ketat, seperti lengan.resiko terjadinya
sinrome kompartemen paling besar apabila terjadi trauma otot dengan patah
tulang karena pembengkakan yang terjadi akan hebat. Pemasangan gips pada
ekstremitas yang fraktur yang terlalu dini atau terlalu ketat dapat
menyebabkan peningkatan di kompartemen ekstremitas, dan hilangnya fungsi
secara permanen atau hilangnya ekstremitas dapat terjadi. (Corwin: 2009)
d. Kerusakan Arteri Pecahnya arteri karena trauma biasanya ditandai dengan
tidak ada nadi, CRT menurun, syanosis bagian distal, hematoma yang lebar,
dan dingin pada ekstrimitas yang disbabkan oleh tindakan emergensi
splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan
pembedahan.
e. Infeksi Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada
trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke
dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena
penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
f. Avaskuler nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau
terganggu yang bias menyebabkan nekrosis tulang dan di awali dengan
adanya Volkman’s Ischemia (Smeltzer dan Bare, 2001).

2. Komplikasi dalam waktu lama atau lanjut fraktur antara lain: mal union, delayed
union, dan non union.
a. Malunion
Malunion dalam suatu keadaan dimana tulang yang patah telah sembuh
dalam posisi yang tidak seharusnya, membentuk sudut, atau miring. Conyoh
yang khas adalah patah tulang paha yang dirawat dengan traksi, dan kemudian
diberi gips untuk imobilisasi dimana kemungkinan gerakan rotasi dari
fragmen-fragmen tulang yang patah kurang diperhatikan. Akibatnya sesudah
gibs dibung ternyata anggota tubuh bagian distal memutar ke dalam atau ke
luar, dan penderita tidak dapat mempertahankan tubuhnya untuk berada dalam
posisi netral. Komplikasi seperti ini dapat dicegah dengan melakukan analisis
yang cermat sewaktu melakukan reduksi, dan mempertahankan reduksi itu
sebaik mungkin terutama pada masa awal periode penyembuhan.Gibs yang
menjadi longgar harus diganti seperlunya. Fragmen-fragmen tulang yang
patah dn bergeser sesudah direduksi harus diketahui sedini mungkin dengan
melakukan pemeriksaan radiografi serial. Keadaan ini harus dipulihkan
kembali dengan reduksi berulang dan imobilisasi, atau mungkin juga dengan
tindakan operasi.
b. Delayed Union
Delayed union adalah proses penyembuhan yang terus berjalan dengan
kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal. Delayed union merupakan
kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang
untuk menyambung. Ini disebabkan karena penurunan suplai darah ke tulang.
c. Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan memproduksi
sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion di
tandai dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang
membentuk sendi palsu atau pseuardoarthrosis. Banyak keadaan yang
merupakan faktor predisposisi dari nonunion, diantaranya adalah reduksi yang
tidak benar akan menyebabkan bagian-bagian tulang yang patah tetap tidak
menyatu, imobilisasi yang kurang tepat baik dengan cara terbuka maupun
tertutup, adanya interposisi jaringan lunak (biasanya otot) diantara kedua
fragmen tulang yang patah, cedera jaringan lunak yang sangat berat, infeksi,
pola spesifik peredaran darah dimana tulang yang patah tersebut dapat
merusak suplai darah ke satu atau lebih fragmen tulang.

X. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan bedah ortopedi
Banyak pasien yang mengalami disfungsi muskuloskeletal harus menjalani
pembedahan untuk mengoreksi masalahnya. Masalah yang dapat dikoreksi
meliputi stabilisasi fraktur, deformitas, penyakit sendi, jaringan infeksi atau nek
rosis, gangguan peredaran darah (mis; sindrom komparteman), adanya tumor.
Prpsedur pembedahan yang sering dilakukan meliputi Reduksi Terbuka dengan
Fiksasi Interna atau disingkat ORIF (Open Reduction and Fixation). Berikut
dibawah ini jenis-jenis pembedahan ortoped dan indikasinya yang lazim
dilakukan :

• Reduksi terbuka : melakukan reduksi dan membuat kesejajaran tulang yang


patah setelah terlebih dahulu dilakukan diseksi dan pemajanan tulang yang patah
• Fiksasi interna : stabilisasi tulang patah yang telah direduksi dengan skrup, plat,
paku dan pin logam
• Graft tulang : penggantian jaringan tulang (graft autolog maupun heterolog)
untuk memperbaiki penyembuhan, untuk menstabilisasi atau mengganti tulang
yang berpenyakit.
• Amputasi : penghilangan bagian tubuh
• Artroplasti : memperbaiki masalah sendi dengan artroskop (suatu alat yang
memungkinkan ahli bedah mengoperasi dalamnya sendi tanpa irisan yang besar)
atau melalui pembedahan sendi terbuka
• Menisektomi : eksisi fibrokartilago sendi yang telah rusak
• Penggantian sendi : penggantian permukaan sendi dengan bahan logam atau
sintetis
• Penggantian sendi total : penggantian kedua permukaan artikuler dalam sendi
dengan logam atau sintetis
• Transfer tendo : pemindahan insersi tendo untuk memperbaiki fungsi
• Fasiotomi : pemotongan fasia otot untuk menghilangkan konstriksi otot atau
mengurangi kontraktur fasia.(Ramadhan: 2008)

2. Terapi Medis
Pengobatan dan Terapi Medis
a. Pemberian anti obat antiinflamasi seperti ibuprofen atau prednisone
b. Obat-obatan narkose mungkin diperlukan setelah fase akut
c. Obat-obat relaksan untuk mengatasi spasme otot
d. Bedrest, Fisioterapi (Ramadhan: 2008)

3. Prinsip 4 R pada Fraktur


Menurut Price (1995) konsep dasar yang harus dipertimbangkan pada waktu
menangani fraktur yaitu : rekognisi, reduksi, retensi, dan rehabilitasi.
1. Rekognisi (Pengenalan )
Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk menentukan
diagnosa dan tindakan selanjutnya. Contoh, pada tempat fraktur tungkai akan
terasa nyeri sekali dan bengkak. Kelainan bentuk yang nyata dapat menentukan
diskontinuitas integritas rangka. fraktur tungkai akan terasa nyeri sekali dan
bengkak.

2. Reduksi (manipulasi/ reposisi)


Reduksi adalah usaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen fragmen
tulang yang patah sedapat mungkin kembali lagi seperti letak asalnya. Upaya
untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara
optimal. Reduksi fraktur dapat dilakukan dengan reduksi tertutup, traksi, atau
reduksi terbuka. Reduksi fraktur dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah
jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan
perdarahan. Pada kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi semakin sulit bila
cedera sudah mulai mengalami penyembuhan (Mansjoer, 2002).

3. Retensi (Immobilisasi)
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimal. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus
diimobilisasi, atau di pertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai
terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau
interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi
kontinu, pin, dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat di
gunakan untuk fiksasi intrerna yang brperan sebagai bidai interna untuk
mengimobilisasi fraktur. Fiksasi eksterna adalah alat yang diletakkan diluar
kulit untuk menstabilisasikan fragmen tulang dengan memasukkan dua atau
tiga pin metal perkutaneus menembus tulang pada bagian proksimal dan distal
dari tempat fraktur dan pin tersebut dihubungkan satu sama lain dengan
menggunakan eksternal bars. Teknik ini terutama atau kebanyakan digunakan
untuk fraktur pada tulang tibia, tetapi juga dapat dilakukan pada tulang femur,
humerus dan pelvis (Mansjoer, 2000).
4. Rehabilitasi
Mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin untuk
menghindari atropi atau kontraktur. Bila keadaan mmeungkinkan, harus segera
dimulai melakukan latihan-latihan untuk mempertahankan kekuatan anggota
tubuh dan mobilisasi (Mansjoer, 2000).

XI. Diagnosa Keperawatan


1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik dibuktikan dengan pasien
mengeluh nyeri
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan Dibuktikan dengan pasien
mengeluh lelah
3. Kerusakan intergritas kulit berhubungan dengan trauma ditandai dengan
kecelakan
4. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi dibuktikan
dengan menanyakan masalah yang dihadapi

XII. Intervensi Keperawatan dan Rasional

Dignosa Intervensi Rasional


keperwata
n
Nyeri akut 1. Kaji tingkat nyeri secara 1. Memudahkan perawat
b.d agen komprehensif dan kaji menentukan intervensi
cedera fisik tanda-tanda vital selanjutnya
d.d pasien 2. Ajarkan tehnik non 2. Teknik non
mengeluh farmakologis (relaksasi, farmakologis
nyeri distraksi, dll) untuk membantu mengurangi
mengatsi nnyeri nyeri tanpa obat
3. Kontrol faktor lingkungan seperti napas dalam
yang mempengaruhi nyeri 3. Memberikan
seprti suhu ruangan, kenyamanan pada
pencahayaan, dan pasien
kebisingan 4. Dexketoprofen sebagai
4. Kelola dexketoprofen 25 analgetik membantu
mg/8jam untuk mengurangi nyeri
mengurangi nyeri. secara farmakologi.
Intoleransi 1. Rencanakan periode 1. Mengurangi aktivitas
aktivitas b.d istirahat yang cukup yang tidak diperlukan,
kelemahan 2. Berikan latihan secara dan energi terkumpul
d.d pasien bertahap dapat digunakan untuk
mengeluh 3. Bnatu pasien dalam aktivitas seperlunya
lelah memenuhi kebutuhan secara optimal.
seseuai kebeutuhan 2. Tahapan-tahapan yang
4. Setelah latihan dan diberikan membantu
aktivitas kaji respons proses aktivitas secara
pasien. perlahan dengan
menghemat tenaga
namun tujuan yang
tepat, mobilitas dini.
3. Mengurangi
pemakaian energi
sampai kekuatan
pasien pulih kembali
4. menjaga kemunkinan
adanya respons
abnormal dari tubuh
sebagai akibat dari
latihan.

Kerusakan 1. Kaji kulit dan 5. Mengetahui sejauh mana


integritas identifikasi pada tahap perkembangan luka
kulit perkembangan luka mempermudah dalam
berhubunga 2. Kaji lokasi, ukuran, melakukan tindakan yang
n dengan warna, bau, serta tepat
trauma jumlah dan tipe cairan 6. Mengidentifikasi tingkat
luka keparahan luka akan
3. Berikan perawatan mempermudah intervensi
luka dengan tehnik 7. Teknik aseptik membantu
aseptik. Balut luka mempercepat
dengan kasa kering dan penyembuhan luka dan
steril, gunakan plester mencegah terjadinya
kertas. infeksi
4. Pantau peningkatan 8. Suhu tubuh yang
suhu tubuh meningkat dapat
5. Jika pemulihan tidak diidentifikasikan sebagai
terjadi kolaborasi adanya proses peradangan
tindakan lanjutan, 9. Agar benda asing atau
misalnya debridement. jaringan yang terinfeksi
1. Kaji tingkat pengetahuan tidak menyebar luas pada
klien dan keluarga tentang area kulit normal lainnya.
penyakitnya
2. Berikan penjelasan pada
tentang penyakitnya dan 1. Mengetahui seberapa
kondisinya sekarang jauh pengalaman dan
3. Anjurkan klien dan pengetahuan klien dan
Defisit keluarga untuk keluarga tentang
pengetahua memperhatikan diet penyakitnya
n b.d makanannya 2. Dengan mengetahui
kurang 4. Minta klien dan keluarga penyakit dan
terpapar menulangi kembali tentang kondisiinya sekarang,
informasi materi yang telah klien dan keluarganya
d.d diberikan. akan merasa tenang
menanyaka dan mengurangi rasa
n masalah cemas
yang 3. Diet dan pola makan
dihadapi yang tepat membantu
proses penyembuhan
4. Mengetahui seberapa
jauh pemahaman klien
dan keluarga serta
menilai keberhasilan
dari tindakan yang
dilakukan.

XIII. Daftar Pustaka


Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan medikal Bedah. Edisi 8 Vol 3. Jakarta:
EGC
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi Ed, 3. Jakarta: EGC

Editor, Aru W Sudoyo dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I edisi V.Jakarta:
Interna Publishing.

Dongoes, Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC

Editor, R. Sjamsuhidajat. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah, Ed.2.Jakarta: EGC

Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran.Jakarta: Media Aesculapius

Perry, Potter. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Konsep, Proses dan Praktik
Edisi 4 Vol.1. Jakarta: EGC

Price, Silvia Anderson dan Lorraine M Wilson. 1995 Patofisiologi. Konsep Klinis Proses-
Proses penyakit Edisi Vol. 2. Jakarta: EGC

Price A S, Wilson. 2006. Patofisiologi. Konsep Klinis Proses-Proses penyakit Edisi Vol. 2.
Jakarta: EGC

Rasjad, Chairudin. 1998. Ilmu Bedah Orthopedi.Ujung Pandang : Bintang Lamupate.

Smeltzer Suzanne, C . 2001. Buku Ajar Medikal Bedah, Brunner & Suddart. Jakarta: EGC

Tambayong, Jan. 2000 . Patofisiologi. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai