Anda di halaman 1dari 34

’’LAPORAN PENDAHULUAN POST ORIF FEMUR’’

PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

DI RUANG BOUGENVILE RSUD dr. CHASBULLAH ABDULMADJID

KOTA BEKASI

Laporan ini disusun sebagai salah satu syarat :

Untuk melengkapi Praktik Klinik Keperawatan Medikal Bedah Profesi

NAMA : HELMALIA JULIANTO PUTRI


NIM : 220515021

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
ABDI NUSANTARA JAKARTA
TAHUN 2022
I. Konsep Teori
A. Pengertian
ORIF (Open Reduction Internal Fixation, Open Reduksi Internal Fiksasi)
merupakan jenis operasi yang digunakan untuk memperbaiki tulang yang patah.
Operasi ini terdiri dari dua bagian. Pertama, tulang yang patah direduksi atau
dikembalikan ke tempatnya. Selanjutnya, perangkat fiksasi internal
ditempatkan
 pada tulang. Perangkat fiksasi bisa dilakukan dengan sekrup, pelat, batang,
atau
 pin yang digunakan untuk menahan tulang yang patah (Winchester Hospital,
2018).
Intermountain Healhcare (2012) menjelaskan bahwa ORIF
merupakan prosedur pembedahan yang bertujuan untuk memperbaiki tulang yang
patah (fraktur). Reduksi terbuka (open reduction) adalah pembuatan sayatan
(insisi) yang dilakukan untuk menjangkau tulang yang fraktur dan
kemudian memindahkan tulang tersebut kembali ke posisi normal. Fiksasi
internal (internal fixation) adalah penempatan sekrup logam, pelat, jahitan,
atau batang (rods) di tulang agar tetap berada di tempatnya saat poses
penyembuhan terjadi.
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga
fisik (Norvell, 2017; Keany 2015). Fraktur femur yang digambarkan sesuai lokasi,
dapat dikelompokkan menjadi 3, meliputi proksimal atau ujung atas dekat
panggul, shaft/poros tulang, dan distal atau ujung bawah dekat lutut (Avruskin,
2013; Romeo, 2018).
Gambar 1. ORIF pada Fraktur Femur
B. Patofisiologi
Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup.Tertutup bila
tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Sedangkan
fraktur terbuka bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar
oleh karena perlukaan di kulit (Smeltzer & Bare, 2013). Sewaktu tulang
patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah ke dalam jaringan lunak
sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya mengalami kerusakan.
Reaksi perdarahan biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan
sel anast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat tersebut
aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru umatur yang disebut
callus. Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel- sel tulang baru mengalami remodeling
untuk membentuk tulang sejati. Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan
serabut syaraf yang berkaitan dengan pembengkakan yang tidak di tangani dapat
menurunkan asupan darah ke ekstrimitas dan mengakibatkan kerusakan
syaraf  perifer. Bila tidak terkontrol pembengkakan akan mengakibatkan
peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total dan berakibat anoreksia
mengakibatkan rusaknya serabut syaraf maupun jaringan otot. Komplikasi ini
di namakan sindrom compartment (Smeltzer & Bare, 2013).
Trauma pada tulang dapat menyebabkan keterbatasan gerak dan ketidak
seimbangan, fraktur terjadi dapat berupa fraktur terbuka dan fraktur
tertutup.Fraktur tertutup tidak disertai kerusakan jaringan lunak seperti tendon,
otot, ligament dan pembuluh darah (Smeltzer & Bare, 2013). Pasien yang harus
imobilisasi setelah patah tulang akan menderita komplikasi antara lain: nyeri,
iritasi kulit karena penekanan, hilangnya kekuatan otot. Kurang perawatan diri
dapat terjadi bila sebagian tubuh di imobilisasi, mengakibatkan berkurangnyan
kemampuan prawatan diri (Carpenito,2013). Reduksi terbuka dan fiksasi
interna
(ORIF) fragmen- fragmen tulang di pertahankan dengan pen, sekrup, plat,
paku.
 Namun pembedahan meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi. Pembedahan
itu sendiri merupakan trauma pada jaringan lunak dan struktur yang seluruhnya
tidak mengalami cedera mungkin akan terpotong atau mengalami kerusakan
selama tindakan operasi (Price & Wilson, 2016).

C. Etiologi
ORIF merupakan salah satu penatalaksanaan pada kasus fraktur, Nurafif
dan Kusuma (2015) menjelaskan bahwa etiologi fraktur adalah sebagai berikut:
a. Faktor traumatik
Kekuatan langsung mengenai tulang maka dapat teradi patah pada tempat
yang terkena, akan mengakibatkan kerusakan pada jaringan lunak
disekitarnya. Jika kekuatan tidak langsung mengenai tulang maka terjadi
fraktur pada tempat yang jauh dari tempat yang terkena dan kerusakan
jaringan lunak ditempat yang terkena dan kerusakan jaringan lunak
ditempat fraktur mungkin tidak ada. Fraktur karena trauma ada 2 yaitu:
1) Trauma langsung adalah benturan pada tulang yang berakibat
ditempat tersebut.
2) Trauma tidak langsung adalah titik tumpu benturan dengan terjadinya
fraktur yang berjauhan.
b. Fraktur patologik
Fraktur patologik terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah menjadi
lemah oleh karena tumor, kanker dan osteoporosis.
c. Fraktur beban
Fraktur baban atau fraktur kelelahan terjadi pada orang- orang yang
baru saja menambah tingkat aktivitas mereka, seperti baru di terima
dalam angkatan bersenjata atau orang- orang yang baru mulai latihan
lari.
d. Spontan
Terjadi tarikan otot yang sangat kuat seperti olah raga.

D. Klasifikasi
Nurafif dan Kusuma (2015) menjelaskan bahwa fraktur
diklasifikasikan secara klinis menjadi 3, yaitu:
a. Fraktur tertutup (closed )
Fraktur tertutup adalah fraktur yang bila tidak terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar, disebut dengan fraktur bersih
(karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup ada
klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar
trauma, yaitu:
1) Tingkat 0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan
lunak sekitarnya.
2) Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit
dan Jaringan subkutan
3) Tingkat 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan
lunak bagian dalam danpembengkakan.
4) Tingkat 3 : Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak
yang nyata dan ancaman compartment syndrome.
Gambar 2. Fraktur Tertutup

b. Fraktur terbuka (open/ compound fraktur )


Fraktur terbuka adalah fraktur yang bila tulang yang patah menembus otot
dan kulit yang memungkinkan/potensial untuk terjadi infeksi dimana
kuman dari luar dapat masuk ke dalam luka sampai ke tulang yang patah.
Derajat patah tulang terbuka dibagi menjadi 3, yaitu:
1) Derajat I apabila laserasi < 2 cm, fraktur sederhana,
dislokasi fragmen minimal.
2) Derajata II apabila laserasi > 2 cm, kontusio otot dan
sekitarnya, dislokasi fragmen jelas.
3) Derajat III apabila luka lebar, rusak hebat, atau hilang jaringan
sekitar.
a) Derajat IIIA: patah tulang terbuka dengan jaringan luas,
tetapi masih bisa menutupi patahan tulang saat dilakukan
perbaikan.
b) Derajat IIIB: patah tulang terbuka dengan kerusakan
jaringan lunak hebat atau hilang ( soft tissue loes)
sehingga tampak tulang (bone-exposs).
c) Derajat IIIC: patah tulang terbuka dengan kerusakan
pembuluh darah dan atau saraf yang hebat.

Gambar 3. Fraktur Terbuka


c. Fraktur dengan komplikasi, seperti halnya malunion, delayed, nonunion,
dan infeksi tulang.

F. Manifestasi Klinis
Belleza (2016) menjelaskan bahwa manifestasi klinis fraktur adalah
sebagai
 berikut:
a. Nyeri
 Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang di
imobilisasi, spasme otot yang menyertai fraktur merupakan
bentuk bidai alamiah yang di rancang untuk meminimalkan gerakan
antar fragmen tulang.
b. Kehilangan fungsi
Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung
bergerak tidak alamiah bukan seperti normalnya, pergeseran fraktur
menyebabkan deformitas, ekstrimitas yang bias di ketahui dengan
membandingkan dengan ekstrimitas yang normal. Ekstrimitas tidak
dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot
bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot.
c. Pemendekan ekstremitas
Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur. Saat
ekstrimitas di periksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang yang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu
dengan yang lainya.
d. Edema dan ecchymosis lokal
Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai
akibat dari trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda
ini biasanya baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.

G. Komplikasi
Secara umum komplikasi fraktur terdiri atas komplikasi awal dan
komplikasi lama (Zairin Noor, 2016).
1) Komplikasi Awal
a. Syok
Syok terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi.
Hal ini biasanya terjadi pada fraktur. Pada beberapa kondisi tertentu,
syok neurogenik sering terjadi pada fraktur femur karena rasa sakit
yang hebat pada pasien.
b. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai oleh : tidak adanya nadi :
CRT (Capillary Refill Time) menurun, sianosis bagian distal,
hematoma yang lebar, serta dingin pada ekstremitas yang disebabkan
oleh tindakan emergency pembidaian, perubahan posisi pada yang
sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
c. Sindrom Kompartemen
Sindrom kompartemen adalah suatu kondisi dimana terjadi terjebaknya
otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut akibat
suatu pembengkakan dari edema atau perdarahan yang menekan otot,
saraf, dan pembuluh darah.
d. Infeksi
Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada
trauma orthopaedic infeksi dimulai pada kulit (superfisial) dan masuk
ke dalam. Hal ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa
juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin
(OREF) atau plat.
e. Avaskular Nekrosis
Avaskular nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak
atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali
dengan adanya Volkman’s Ischemia.
f. Sindrom Emboli Lemak
Sindrom emboli lemak (flat embolism syndrom-FES) adalah
komplikasi serius yang sering terjadi pada kasus fraktur tulang
panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan sumsum
tulang kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen
dalam darah rendah yang ditandai dengan gangguan pernapasan,
takikardi, hipertensi, tachypnea, dan demam.

2) Komplikasi Lama
a. Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai
dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk sembuh atau tersambung
dengan baik. Ini disebabkan karena penurunan suplai darah ke tulang.
Delayed union adalah fraktur yang tidak sembuh setelah selang waktu
3-5 bulan (tiga bulan untuk anggota gerak atas dan lima bulan untuk
anggota gerak bawah).
b. Non-union
Disebut non-union apabila fraktur tidak sembuh dalam waktu antara 6-
8bulan dan tidak terjadi konsolidasi sehingga terdapat pseudoarthrosis
(sendi palsu). Pseudoarthrosis dapat terjadi tanpa infeksi tetapi dapat
juga terjadi bersama infeksi yang disebut sebagai infected
pseudoarthrosis.
c. Mal-union
Mal-union adalah keadaan dimana fraktur sembuh pada saatnya tetapi
terdapat deformitas yang berbentuk angulasi, varus/valgus, atau
menyilang misalnya pada fraktur radius-ulna.

H. Pemeriksaan Penunjang
Belleza (2016) menjelaskan bahwa pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan pada pasien dengan diagnosa fraktur femur adalah:
a. Pemeriksaan X ray, berfungsi untuk menentukan lokasi dan luas fraktur
b. Bone scans, tomograms, computed tomography  (CT) atau
Magnetig Resonance Imaging (MRI), bertujuan untuk
memfisualisasi fraktur, perdarahan, kerusakan jaringan, dan
membedakan antara ftaktur akibat trauma dengan neoplasma tulang
c. Arteriogram, yaitu pemeriksaan yang dapat dilakukan aabila dicurigai
terjadi kerusakan pembuluh darah okuli
d. Complete Blood Cound  (CBC). Jika hasil pemeriksaan hitung darah
lengkap menunjukkan bahwa hematokrit mengalami peningkatan
atau penurunan (hemokonsentrasi) menunjukkan adanya perdarahan pada
lokasi fraktur atau organ di sekitar lokasi trauma. Hasil pemeriksaan
hitung darah lengkap yang menunjukkan peningkatan sel darah putih
(WBC) merupakan tanda respon stres normal setelah trauma atau
terjadinya fraktur
e. Urine creatinine (Cr) clearance, untuk mengetahui trauma atau
Fraktur yang terjadi menyebabkan meningkatnya Cr pada ginjal
f. Coagulation profile, bertujuan untuk mengetahui perubahan akibat
kehilangan darah.

I. Pathway
J. Pentalaksanaan
Prinsip penanganan fraktur meliputi reduksi, imbobilisasi dan
pengembalian fungsi serta kekuatan normal dengan rehabilitasi. Reduksi fraktur
berarti mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis.
Metode untuk mencapai reduksi fraktur adalah dengan reduksi tertutup, traksi,
dan reduksi terbuka. Metode yang di pilih untuk reduksi fraktur bergantung pada
sifat frakturnya.
Pada kebanyakan kasus, reduksi tertutup dilakukan dengan
mengembalikan fragmen tulang ke posisinya (ujung-ujungnya saling
berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual. Selanjutnya, traksi dapat
dilakukan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi. Beratnya traksi
disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi. Pada fraktur tertentu memerlukan
reduksi terbuka, dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi
interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat, paku, atau batangan logam dapat
digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisi dan kesejajaran
yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi
interna dan fiksasi eksterna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips,
bidai, traksi kontin, pin, dan teknik gips. Sedangkan implant logam digunakan
untuk fiksasi interna.
Penatalaksanaan keperawatan menurut (Smeltzer, 2015) adalah sebagai
berikut:
a. Penatalaksanaan fraktur tertutup
1) Informasikan pasien mengenai metode pengontrolan edema dan nyeri
yang tepat (mis, meninggikan ekstremitas setinggi jantung,
menggunakan analgesik sesuai resep)
2) Ajarkan latihan latihan untuk mempertahankan kesehatan otot yang
tidak terganggu dan memperkuat otot yang diperlukan untuk
berpindah tempat dan untuk menggunakan alat bantu (mis, tongkat,
alat bantu berjalan atau walker)
3) Ajarkan pasien tentang cara menggunakan alat bantu dengan aman.
4) Alat bantu pasien memodifikasi lingkungan rumah mereka sesuai
kebutuhan dan mencari bantuan personal jika diperlukan
5) Berikan pendidikan kesehatan kepada pasien mengenai perawatan dir,
informasi, medikasi, pemantauan kemungkinan komplikasi, dan
perlunya supervisi layanan kesehatan yang berkelanjutan.
b. Penatalaksanan fraktur terbuka
1) Sasaran penatalaksanan adalah untuk mencegah infeksi luka, jaringan
lunak, dan tulang serta untuk meningkatkan pemulihan tulang dan
jaringan lunak. Pada kasus fraktur terbuka, terdapat resiko
osteomielitis, tetanus, dan gasgangren.
2) Berikan antibiotik IV dengan segera saat pasien tiba dirumah sakit
bersama dengan tetanus toksoid jika diperlukan
3) Lakukan irigasi luka dan debridemen
4) Tinggikan ekstremitas untuk meminimalkan edema
5) Kaji status neourovaskular dengan sering
6) Ukur suhu tubuh pasien dalam interval teratur, dan pantau tanda-tanda
infeksi.

K. Test Diagnostik
1. Pemeriksaan Rontgen : Menentukan lokasi/luasnya fraktur/luasnya
trauma, scan tulang, termogram, scan CI : Memperlihatkan fraktur juga
dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
2. Hitung darah lengkap : HB mungkin meningkat/menurun.
3. Peningkatan jumlah sop adalah respons stress normal setelah trauma
4. Kreatinin : Trauma otot meningkat beban kreatinin untuk ginjal.
5. Profil koagulasi : Perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi
multiple, atau cedera lain. (Alimul Hidayat, 2013)

II. Konsep Asuhan Keperawatan


Menurut (Wijaya dan mariza putri, 2013). Proses dalam keperawatan
adalah penerapan pemecahan masalah keperawatan secara ilmiah yang digunakan
untuk mengidentivikasi masalah, merencanakan secara sistematis, dan
melaksanakannya dengan cara mengevaluasi hasil tindakan keperawatan yang
telah dilaksanakan.
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses
keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang
masalah-masalah klien sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan
keperawatan. (wahid, 2013).
a. Pengumpulan data
1) Identitas Pasien
meliputi nama, jenis kelamin, usia, alamat, agama, bahasa yang digunakan,
status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah,
nomor register, tanggal dan jam masuk rumah sakit (MRS), dan diagnostik
medis (muttaqin, 2013).

2) Keluhan utama
pada umumnya keluhan utama pada fraktur femur adalah rasa nyeri. Nyeri
tersebut bisa akut bisa kronik tergantung lamanya serangan. Untuk
memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri pasien
digunakan:
a) provoking incident: apakah ada peristiwa yang menjadi faktor presipitasi
nyeri.
b) Quality of pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan
klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
c) Region: Radiation, relief, apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit
menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi
d) Severity (scale) of pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien,
bisa berdasarkan sakala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa
sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
e) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk
pada malam hari atau siang hari (wahid, 2013).

3) Riwayat kesehatan sekarang


Kaji kronologi terjadinya trauma, yang menyebabkan patah tulang paha,
pertolongan apa yang telah didapatkan, dan dan apakah sudah berobat ke
dukun patah. Dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan,
perawat dapat mengetahui luka yang lain (muttaqin, 2013).
4) Riwayat kesehatan dahulu
Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit kelainan
formasi tulang atau biasanya disebut paget dan ini mengganggu proses
daur ulang tulang yang normal di dalam tubuh sehingga menyebabkan
fraktur patologis sehingga tulang sulit menyambung. Selain itu, klien
diabetes dengan luka di kaki sangat beresiko mengalami osteomielitis akut
dan kronis dan penyakit diabetes menghambat proses penyembuhan tulang
(muttaqin, 2013).

5) Riwayat kesehatan keluarga


Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit yang tulang
merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti
diabetes, osteoporosis yang terjadi pada beberapa keturunan dan kanker
tulang yang cenderung diturunkan secara genetik (muttaqqin, 2008).

6) Pola fungsi kesehatan


Menurut (Wahid, 2013) sebagai berikut :
a) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Biasanya partisipan akan mengalami perubahan atau gangguan
pada personal hygine, misalnya kebiasaan mandi terganggu karena
geraknya terbatas, rasa tidak nyaman, ganti pakaian, BAB dan
BAK memerlukan bantuan oranglain, merasa takut akan
mengalami kecacatan dan merasa cemas dalam menjalani
penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan tulang
karena kurangnya pengetahuan.
b) Pada pasien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi
kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vitamin
C dan lainya untuk membantu proses penyembuhan tulang dan
biasanya pada partisipan yang mengalami fraktur bisa mengalami
penurunan nafsu makan bisa juga tidak ada perubahan.
c) Pola eliminasi
Untuk kasus fraktur femur biasanya tidak ada gangguan pada
eliminasi, tetapi walaupun begitu perlu juga kaji frekuensi,
konsitensi, warna serta bau fases pada pola eliminasi alvi.
Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi kepekatanya,
warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada
kesulitan atau tidak.
d) Pola istrahat dan tidur
Semua pasien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak,
sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur
pasien. Selain itu juga pengkajian dilaksanakan pada lamanya
tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta
penggunaan obat tidur.
e) Pola aktivitas
Biasanya pada pasien fraktur femur timbulnya nyeri, keterbatasan
gerak, maka semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan
kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain
yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan
klien. Karena ada bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya
fraktur dibanding pekerrjaan yang lain.
f) Pola hubungan dan peran
Pasien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam
masyarakat. Karna klien harus menjalani rawat inap.
g) Pola presepsi dan konsep diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakuatan
akan kecacatan akan frakturnya, rasa cemas, rasa ketidak mampuan
untuk melkukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap
dirinya yang salah.
h) Pola sensori dan kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian
distal fraktur, sedangkan pada indera yang lain tidak timbul
gangguan. Begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami
gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur.
i) Pola reproduksi seksual
Dampak pada pasien fraktur femur yaitu, pasien tidak bisa
melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap
dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain
itu juga, perlu perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah
anak, lama perkawinannya.
j) Pola penanggulangan stres
Pada pasien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya,
yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya.
Mekanisame koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif.
k) Pola tata nilai dan kepercayaan
Untuk pasien fraktur femur tidak dapat melaksanakan kebutuhan
beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini
bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien.

b. Pemeriksaan fisik
Menurut (wahid, 2013) pemeriksaan fisik dibagi menjadi dua, yaitu
pemeriksaan umum (status generalisata) untuk mendapatkan gambaran
umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat
melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi
hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam.

1) Gambaran umum
Perlu menyebutkan:
1. Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat
merupakan tanda-tanda, seperti:
1) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah,
komposmentis tergantung pada keadaan klien.
2) Kesakitan, keadaan penyakit : akut, kronik, ringan, sedang, berat
dan pada kasus fraktur biasanya akut.
3) Tanda-tanda vital tidak normal

Secara sistemik
1) Sistem integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak,
oedema, nyeri tekan.
2) Kepala
Biasanya diikuti atau tergantung pada gangguan kepala.
3) Leher
Biasanya tidak ada pembesaran kelenjar tiroid atau getah bening
4) Muka
Biasanya wajah tampak pucat, dan meringis
5) Mata
Biasanya konjungtiva anemis atau sklera tidak ikterik
6) Telinga
Biasanya simetris kiri dan kanan dan tidak ada masalah pada
pendengaran.
7) Hidung
Biasanya simetris kiri dan kanan dan tidak ada pernafasan cuping
hidung
8) Mulut
Biasanya mukosa bibir kering, pucat, sianosis
9) Thoraks
Inspeksi
Biasanya pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada
riwayat penyakit pasien yang berhubungan dengan paru.
Palpasi
Biasanya pergerakan sama atau simetris, fermitus terraba sama.
Perkusi
Biasanya suara ketok sonor, tak ada redup atau suara tambahan
lainya.
Auskultasi
Biasanya suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara
tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
10) Jantung
Inspeksi
Biasanya tidak tampak iktus kordis
Palpasi
Biasanya iktus kordis tidak teraba Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
11) Abdomen
Inspeksi
Biasanya bentuk datar, simetris tidak ada hernia.
Palpasi
Biasanya tugor baik, hepar tidak teraba
Perkusi
Biasanya suara thympani
Auskultasi
Biasanya bising usus normal ± 20 kali/menit
12) Ekstremitas atas
Biasanya akral teraba dingin, CRT < 2 detik, turgou kulit baik,
pergerakan baik
13) Ekstremitas bawah
Biasanya akral teraba dingin, CRT > 2 detik, turgor kulit jelek,
pergerakan tidak simteris, terdapat lesi dan edema.

2) Gambaran lokal
Harus diperhatikan keadaan proksimal serta bagian distal terutama
mengenai status neurovaskuler (untuk status neurovaskuler → 5 P yaitu
Pain, palor, parestesia, pulse, pergerakan). Pemeriksaan pada sistem
muskukuluskletal adalah:
a) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
1) Jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas
operasi
2) penampakan kurang lebih besar uang logam. Diameternya bisa
sampai 5cm yang di dalamnya berisi bintik-bintik hitam. Cape
au lait itu bisa berbentuk seperti oval dan di dalamnya bewarna
coklat. Ada juga berbentuk daun dan warna coklatnya lebih
coklat dari kulit, di dalamnya juga terbentuk bintik-bintik dan
warnanya jauh lebih coklat lagi. Tanda ini biasanya ditemukan
di badan, pantat, dan kaki.
3) Fistulae warna kemrahan atau kebiruan (livide) atau
hipergigmentasi.
4) Benjolan pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang
tidak biasa (abnormal).
5) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas).
6) Posisi jalan
b) Feel ( palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita
diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya
ini merupakan pemeriksaan memberikan informasi dua arah, baik
pemeriksa maupun klien.
Yang perlu dicatat adalah :
1) Perubahan suhu di sekitar trauma (hangat) kelembaban
kult. Capillary refill time → Normal ≤ 2 detik.
2) Apabila ada pembekakan, apakah terdapat fluktuasi atau
oedema terutama disekitar persendian.
3) Nyeri tekan( tendernes), krepitasi, catat letak kelainan
(1/3 proksimal, tengah, atau distal).
Otot : Tonus pada waktu relaksasi atau kontraksi, benjolan yang
terdapat dipermukaan atu melekat pada tulang. Selain itu juga
diperiksa status neurevaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat
benjolan perlu di deskripsikan permukaannya, konsistensinya,
pergerakan tehadap dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan
ukurannya.
c) Move ( pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel , kemudian diteruskan dengan
menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri
pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat
mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi di
catat dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari
titik O (posisi netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini
menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak.
Pergerakan yang di lihat adalah gerakan aktif dan pasif (Wahid,
2013).

c. Pemeriksaan diagnostik
1) Pemeriksaan radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan”
menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3
dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2
proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu
diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk
memperlihatkan patologi yang dicari karena adanya super posisi. Hal
yang harus dibaca pada X-ray:
a) bayangan jarinagan lunak
b) tips tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau
biomekanik atau juga rotasi.
c) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
d) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Selain foto polos X-ray (plane X-ray) mungkin perlu teknik khususnya
seperti:
a) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang
lain tertutup yang sulit difisualisasi. Pada kasusu ini ditemukan
kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja
tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
b) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan
pembuluh darah diruang tulang vetebrae yang mengalami kerusakan
akibat trauma.
c) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena
ruda paksa.
d) Computed Tomografi-schanning: menggambarkan potongan secara
transfersal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang
rusak (Wahid, 2013).

2) Pemeriksaan laboratorium
a) Kalsium serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahapan
penyembuhan tulang.
b) Alkalin fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan
kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
c) Enzim otot seperti kreatinin kinase, laktat dehidrogenase (LDH-5),
aspartat Amino transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada
tahap penyembuhan tulang (Wahid, 2013).

3) Pemeriksaan lain-lain
a) Pemeriksaan mikroorganisme kultur testsensitivitas: Didapatkan
mikroorganisme penyebab infeksi.
b) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan
pemeriksaan diatas tapi lebih di indikasikan bila terjdi infeksi.
c) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang
dikibatkan faktor.
d) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek
karena trauma yang berlebihan.
e) Indium imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya
infeksi pada tulang.
f) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur (wahid,
2013).
2. Diagnosa keperawatan
Adapun diagnosis keperawatan yang lazim dijumpai pada klien fraktur
femur adalah sebagai berikut (SDKI,2016-2017)
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik
2) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan
muskuloskeletal
3) Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi
4) Resiko infeksi ditandai dengan efek prosedur invasif/ketidakadekuatan
pertahanan tubuh primer

3. Luaran dan Intervensi Keperawatan


1. Luaran Keperawatan
a. Nyeri Akut
Luaran Utama Tingkat Nyeri
Luaran Tambahan Fungsi Gastrointestinal
Kontrol Nyeri
Mobilitas Fisik
Penyembuhan Luka
Perfusi Miokard
Perfusi Perifer
Pola Tidur
Status Kenyamanan
Tingkat Cedera

Tingkat Nyeri
Definisi
Pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan
kerusakan jaringan actual atau fungsional dengn onset mendadak
atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat dan konstan

Ekspektasi Menurun

Kriteria Hasil
Menurun Cukup Sedan Cukup Meningk
menurun g mening at
ka
Kemanpu 1 2 3 4 5
an
meuntask
an
aktivitas
Meningk Cukup Sedan Cukup Menuru
at meningk g menuru n
at n
Keluhan 1 2 3 4 5
nyeri
Meringis 1 2 3 4 5
Sikap 1 2 3 4 5
protektif
Gelisah 1 2 3 4 5
Kesulitan 1 2 3 4 5
tidur
Menarik 1 2 3 4 5
diri
Berfokus 1 2 3 4 5
pada diri
sendiri
Diaphores 1 2 3 4 5
is
Perasaan 1 2 3 4 5
depresi
Perasaan 1 2 3 4 5
takut
mengala
mi cedera
berulang
Anoreksia 1 2 3 4 5
Perenium 1 2 3 4 5
terasa
tertekan
Uterus 1 2 3 4 5
teraba
membulat
Ketegang 1 2 3 4 5
an otot
Pupil 1 2 3 4 5
dilatasi
Mual 1 2 3 4 5
Muntah 1 2 3 4 5
Membur Cukup Sedan Cukup Membai
uk membur g membai k
uk k
Prekuensi 1 2 3 4 5
nadi
Pola 1 2 3 4 5
napas
Tekanan 1 2 3 4 5
darah
Proses 1 2 3 4 5
berpikir
Focus 1 2 3 4 5
Fungsi 1 2 3 4 5
berkemin
Perilaku 1 2 3 4 5
Nafsu 1 2 3 4 5
makan
Pola tidur 1 2 3 4 5

b. Gangguan Mobilitas Fisik


Luaran Utama Mobilitas Fisik
Luaran Tambahan Berat Badan
Fungsi Sensori
Keseimbangan
Konservasi Energi
Koordinasi Pergerakan
Motivasi
Pergerakan Sendi
Status Neurologis
Status Nutrisi
Toleransi Aktivitas

Mobilitas Fisik
Definisi
Kemampuan dalam gerakan fisik dari satu atau lebih ekstermitas
secara mandiri

Ekspektasi Meningkat
Kriteria Hasil
Menurun Cukup Sedan Cukup Meningk
menuru g mening at
n ka
Pergerakan 1 2 3 4 5
Ekstermitas
Kekuatan 1 2 3 4 5
Otot
Rentang 1 2 3 4 5
Gerak
(ROM)
Meningk Cukup Sedan Cukup Menuru
at meningk g menuru n
at n
Nyeri 1 2 3 4 5
Kecemasan 1 2 3 4 5
Kaku Sendi 1 2 3 4 5
Gerakan 1 2 3 4 5
Tidak
Terkoordin
asi
Gerakan 1 2 3 4 5
Terbatas
Kelemahan 1 2 3 4 5
Fisik

c. Defisit Pengetahuan
Luaran Utama Tingkat Pengetahun
Luaran Tambahan Memori
Motivasi
Proses informasi
Tingkat agitasi
Tingkat kepatuhan

Tingkat Pengetahuan
Definisi
Kecukupan informasi kognitif yang berkaitan dengan topic tertentu

Ekspektasi Meningkat

Kriteria Hasil
Menurun Cukup Seda Cukup Mening
menuru ng mening kat
n ka
Perilaku 1 2 3 4 5
sesuai
anjuran
Verbalisasi 1 2 3 4 5
minat dalam
belajar
Kemampuan 1 2 3 4 5
menjelaskan
pengetahuan
tentang suatu
topik
Kemmpuan 1 2 3 4 5
menggambar
kan
pengalaman
sebelumnya
yang sesuai
dengan topik
Perilaku 1 2 3 4 5
sesuai
dengan
pengetahuan
Meningk Cukup Seda Cukup Menuru
at meningk ng menuru n
at n
Pertanyaan 1 2 3 4 5
tentang
masalah
yang
dihadapi
Persepsi 1 2 3 4 5
yang keliru
terhadap
masalah
Menjalani 1 2 3 4 5
pemeriksaan
yantg tidak
tepat
Membur Cukup Seda Cukup Membai
uk membur ng memba k
uk ik
Perilaku 1 2 3 4 5

d. Resiko Infeksi

Luaran Utama Tingkat infeksi


Luaran Tambahan Integritas kulit dan jaringan
Kontrol risiko
Status imun
Satus nutrisi

Tingkat Infeksi
Definisi
Drajat infeksi berdasarkan observasi atau sumber informasi

Ekspektasi Menurun

Kriteria Hasil
Menurun Cukup Sedan Cukup Meningk
menurun g mening at
ka
Kebersih 1 2 3 4 5
an tangan
Kebersih 1 2 3 4 5
an badan
Nafsu 1 2 3 4 5
makan
Meningka Cukup Sedan Cukup Menuru
t meningk g menuru n
at n
Demam 1 2 3 4 5
Kemerah 1 2 3 4 5
an
Nyeri 1 2 3 4 5
Bengkak 1 2 3 4 5
Vasikel 1 2 3 4 5
Cairan 1 2 3 4 5
berbau
busuk
Sputum 1 2 3 4 5
berwarna
hijau
Drainase 1 2 3 4 5
purulen
Piuna 1 2 3 4 5
Priode 1 2 3 4 5
malaise
Priode 1 2 3 4 5
mengigil
Lelargi 1 2 3 4 5
Ganggua 1 2 3 4 5
n kognitif
Memburu Cukup Sedan Cukup Membai
k membur g membai k
uk k
Kadar sel 1 2 3 4 5
darah
putih
Kultur 1 2 3 4 5
darah
Kultur 1 2 3 4 5
urin
Kultur 1 2 3 4 5
sputum
Kultur 1 2 3 4 5
area luka
Kultur 1 2 3 4 5
feses
Kadar sel 1 2 3 4 5
darah
putih

2. Intervensi Keperawatan

No. Diagnosa Intervensi Keperawatan


Keperawatan
1. Nyeri akut 1. Observasi
a. lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
Manajemen Nyeri kualitas, intensitas nyeri
b. Identifikasi skala nyeri
c. Identifikasi respon nyeri non verbal
d. Identifikasi faktor yang memperberat dan
memperingan nyeri
e. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan
tentang nyeri
f. Identifikasi pengaruh budaya terhadap
respon nyeri
g. Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas
hidup
h. Monitor keberhasilan terapi komplementer
yang sudah diberikan
i. Monitor efek samping penggunaan
analgetik
2. Terapeutik
a. Berikan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri (mis. TENS,
hypnosis, akupresur, terapi musik,
biofeedback, terapi pijat, aroma terapi,
teknik imajinasi terbimbing, kompres
hangat/dingin, terapi bermain
b. Control lingkungan yang memperberat rasa
nyeri (mis. Suhu ruangan, pencahayaan,
kebisingan)
c. Fasilitasi istirahat dan tidur
d. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri
dalam pemilihan strategi meredakan nyeri
3. Edukasi
a. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu
nyeri
b. Jelaskan strategi meredakan nyeri
c. Anjurkan memonitor nyri secara mandiri
d. Anjurkan menggunakan analgetik secara
tepat
e. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
4. Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
2. Gangguan 1. Observasi
Mobilitas Fisik a. Identifikasi adanya nyeri atau keluhan
fisik lainnya
Dukungan
b. Identifikasi toleransi fisik melalukan
Mobilisasi
pergerakan
c. Monitor frekuensi jantung dan tekanan
darah sebelum memulai mobilisasi
d. Monitor kondisi umum selama melakukan
mobilisasi
2. Terapeutik
a. Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat
bantu (mis. Pagar tempat tidur)
b. Fasilitasi melakukan pergerakan, jika perlu
c. Libatkan keluarga untuk membantu pasien
dalam meningkatkan pergerakan
3. Edukasi
a. Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi
b. Anjurkan melakukan mobilisasi
c. Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus
dilakukan (mis. Duduk ditempat tidur,
duduk disisi tempat tidur, pindah dari
tempat tidur ke kursi)
3. Defisit 1. Observasi
Pengetahuan a. Identifikasi kesiapan pasien dan
kemampuan menerima informasi
Edukasi Kesehatan
b. Identifikasi faktor-fakor yang dapat
meningkatkan dan menurunkan motivasi
perilaku hidup bersih dan sehat
2. Terapeutik
a. Sediakan materi dan media pendidikan
kesehatan
b. Jadwalkan pendidikan kesehatan sesuai
kesepakatan
c. Berikan kesempatan untuk bertanya
3. Edukasi
a. Jelaskan faktor risiko yang dapat
mempengaruhi kesehatan
b. Ajarkan perilaku hidup bersih dan sehat
c. Ajarkan strategi yang dapat digunakan
untuk meningkatkan perilaku hidup bersih
dan sehat
4. Resiko Infeksi 1. Observasi
a. Monitor tanda gejala infeksi lokal dan
Pencega sistemik
han 2. Terapeutik
infeksi a. Batasi jumlah pengunjung
b. Berikan perawatan kulit pada daerah edema
c. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak
dengan pasien dan lingkungan pasien
d. Pertahankan teknik aseptic pada pasien
beresiko tinggi
3. Edukasi
a. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
b. Ajarkan cara memeriksa luka
c. Anjurkan meningkatkan asupan cairan

4. Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah pelaksanaan rencana keperawatan oleh perawat dan
klien. Implementasi merupakan tahap ke empat dari proses keperawatan yang
dimulai setelah perawat menyusun rencana keperawatan (Dermawan, 2012).
Fokus utama dari komponen implementasi adalah pemberian asuhan
keperawatan yang aman dan individual dengan pendekatan multifokal.
Implementasi perencanaan berupa penyelesaian tindakan yang diperlukan untuk
memenuhi kriteria hasil seperti yang digambarkan dalam rencana tindakan
(Dermawan, 2012).
Dalam melaksanakan implementasi terdapat beberapa pedoman menurut
(Dermawan, 2012) diantaranya:
1. Tindakan yang dilakukan konsisten dengan rencana dan dilakukan
setelah memvalidasi rencana.
2. Keterampilan interpersonal, intelektual, dan teknis dilakukan dengan
kompeten dan efisien di lingkungan yang sesuai.
3. Keamanan fisik dan psikologis klien dilindungi.
4. Dokumentasi tindakan dan respon klien dicantumkan dalam catatan
perawatan kesehatan dan rencana asuhan.

5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi didefinisikan sebagai keputusan dari efektifitas asuhan
keperawatan antara dasar tujuan keperawatan klien yang telah ditetapkan dengan
respon perilaku klien yang tampil. Evaluasi keperawatan yaitu membandingkan
efek/hasil suatu tindakan keperawatan dengan norma atau kriteria tujuan yang
sudah dibuat.
Type pernyataan tahapan evaluasi dapat dilakukan secara formatif dan
sumatif. Evaluasi formatif adalah evaluasi yang dilakukan selama proses asuhan
keperawatan, sedangkan evaluasi sumatif adalah evaluasi akhir. Untuk
memudahkan perawat mengevaluasi atau memantau perkembangan klien,
digunakan komponen SOAP/SOAPIE/SOPIER (Dermawan, 2012).
DAFTAR PUSTAKA

Avruskin, Andra. 2013. Femur Fracture.


https://www.moveforwardpt.com/SymptomsConditionsDetail.aspx?
cid=f85bbe8f-685c-43bf-bb51-9bc43dd8fb01. [Diakses pada December
03, 2018].
Belleza, M. 2016. Fracture. https://nurseslabs.com/fracture/. [Diakses pada
December 03, 2018].
Carpenito, L.J. 2012. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Edisis 13. Jakarta:
EGC. Intermountain Healthcare. 2012.
Keany, E. James. 2015. Femur Fracture.
https://emedicine.medscape.com/article/90779-overview#a7. [Diakses
pada December 03, 2018].
Keiler, J., Sidel, R., Wree, A. 2018. The femoral vein diameter and its correlation
With sex, age and body mass index –An anatomical parameter with
clinical relevance. The Journal of Venous Desease. 0(0): 1-12.
MediAction. Romeo, M. Nicholas. 2018. Femur Injuries and Fracture.
https://emedicine.medscape.com/article/90779-overview#a7. [Diakses
pada December 03, 2018].
NISA, I. M. (2020). ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN POST
OPERASI ORIF FRAKTUR FEMUR DEXTRA DENGAN NYERI
AKUT DI RUANG MARJAN ATAS RUMAH SAKIT UMUM
DAERAH DR SLAMET GARUT.
Norvell, J. G. 2017. Tibia and Fibula Fracture in the ED.
https://emedicine.medscape.com/article/826304-overview#a6. [Diakses
pada December 03, 2018].
Nurafif, A. H. dan H. Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Bersarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC NOC. Yogyakarta:
Oper Reduction and Internal Fixation (ORIF).
https://intermountainhealthcare.org/ext/Dcmnt?ncid=521402750. [Diakses
pada December 03, 2018].
Smeltzer, S. C. dan B. G. Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-
Bedah Brunner Suddarth. Edisi 8 Volume 2. Jakarta: EGC.
Wahid,Abdul. 2013. Asuhan Keperawatan Dengan Gangguan
Sistem Muskuloskeletal. Jakarta : Trans Info Media.
Winchester Hospital. 2018. Open Reduction and Internal Fixation Surgery.
www.winchesterhospital.org/health-library/article?id=539804. [Diakses
pada December 03, 2018].

Anda mungkin juga menyukai