Anda di halaman 1dari 21

ASUHAN KEPERAWATAN

PADA Ny.S DENGAN DIAGNOSA MEDIS FRAKTUR HUMERUS


DI INSTALASI BEDAH SENTRAL RSUD JOMBANG

Disusun Oleh :
(Kelompok 7)
1) Vivi Firizqy Amalia (7421001)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS PESANTREN TINGGI DARUL ‘ULUM
JOMBANG
2021
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan praktik klinik Karya Ilmiah Akhir Progam Studi Profesi Ners
Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Pesantren Tinggi Darul ‘Ulum di Ruang
Instalasi Bedah Sentral RSUD Jombang yang dilaksanakan pada tanggal 04-30
Juli 2022 telah dilaksanakan sebagai laporan praktik klinik atas nama:

1. Vivi Firizqy Amalia (7421001)

Jombang, 07 Juli 2022

Pembimbing Akademik Pembimbing Ruangan

( ) ( )

Mengetahui,
Kepala Ruangan Instalasi Bedah Sentral

( )
BAB I
LAPORAN PENDAHULUAN

I. KONSEP DASAR
A. Pengertian
1. Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau
tenaga fisik (Price dan Wilson, 2006).
2. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan di tentukan sesuai
jenis dan luasnya, fraktur terjadi jika tulang di kenai stress yang lebih
besar dari yang dapat diabsorbsinya (Smeltzer dan Bare, 2002).
3. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, kebanyakan fraktur
akibat dari trauma, beberapa fraktur sekunder terhadap proses penyakit
seperti osteoporosis, yang menyebabkan fraktur yang patologis
(Mansjoer, 2002).
4. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang di tandai oleh rasa
nyeri, pembengkakan, deformitas, gangguan fungsi, pemendekan , dan
krepitasi (Doenges, 2002).
B. Etiologi
Menurut Sachdeva (1996), penyebab fraktur dapat dibagi menjadi:
1. Cedera traumatik
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh :
a. Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga
tulang patah secara spontan. Pemukulan biasanya menyebabkan
fraktur melintang dan kerusakan pada kulit diatasnya.
b. Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari
lokasi benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan
menyebabkan fraktur klavikula.
c. Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot
yang kuat.
2. Fraktur Patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan
trauma minor dapat mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi pada
berbagai keadaan berikut :
a. Tumor tulang (jinak atau ganas) : pertumbuhan jaringan baru yang
tidak terkendali dan progresif.
b. Infeksi seperti osteomielitis : dapat terjadi sebagai akibat infeksi
akut atau dapat timbul sebagai salah satu proses yang progresif,
lambat dan sakit nyeri.
c. Rakhitis : suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi
Vitamin D yang mempengaruhi semua jaringan skelet lain,
biasanya disebabkan oleh defisiensi diet, tetapi kadang-kadang
dapat disebabkan kegagalan absorbsi Vitamin D atau oleh karena
asupan kalsium atau fosfat yang rendah.
3. Secara spontan : disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus
misalnya pada penyakit polio dan orang yang bertugas dikemiliteran.
4. Beban yang terlalu berat

C. Jenis
1. Menurut Mansjoer (2002) ada tidaknya hubungan antara patahan tulang
dengan dunia luar di bagi menjadi 2 antara lain:
a. Fraktur tertutup (closed)
Dikatakan tertutup bila tidak terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar, disebut dengan fraktur bersih (karena
kulit masih utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup ada
klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak
sekitar trauma, yaitu:
1) Tingkat 0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera
jaringan lunak sekitarnya
2) Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan
jaringan subkutan.
3) Tingkat 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan
lunak bagian dalam dan pembengkakan.
4) Tingkat 3 : Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang
nyata dan ancaman sindroma kompartement.
b. Fraktur terbuka (open/compound fraktur) Dikatakan terbuka bila
tulang yang patah menembus otot dan kulit yang memungkinkan /
potensial untuk terjadi infeksi dimana kuman dari luar dapat masuk
ke dalam luka sampai ke tulang yang patah. Derajat patah tulang
terbuka :
a. Derajat I
Laserasi < 2 cm, fraktur sederhana, dislokasi fragmen minimal.
b. Derajat II
Laserasi > 2 cm, kontusio otot dan sekitarnya, dislokasi
fragmen jelas.
c. Derajat III
Luka lebar, rusak hebat, atau hilang jaringan sekitar.
D. Manifestasi Klinis
Menurut Smeltzer&Bare (2002),manifestasi klinik dari fraktur adalah:
1. Nyeri terus-menerus
Nyeri pada fraktur bertambah berat sampai tulang diimobilisasi.
Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai almiah
yang di rancang utuk meminimalkan gerakan antar fregmen tulang
2. Deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah
Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tidak dapat di gunakan dan
cenderung bergerak secara alamiah (gerak luar biasa) bukanya tetap
rigid seperti normalnya. Pergeseran fragmen tulang pada fraktur
lengan dan tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba)
ekstermitas yang bisa diketahui membandingkan ekstermitas yang
normal dengan ekstermitas yang tidak dapat berfungsi dengan baik
karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat
melekatnya otot.
3. Pemendekan tulang pada fraktur panjang
Terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot
yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur. Fragmen sering
saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5-5 cm (1-2 inchi)
4. Krepitasi
Saat ekstermitas diperiksa dengan tangan teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitasi yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu
dengan lainnya (uji krepitus dapat mengaibatkan kerusakan jaringan
lunak yang lebih berat).
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal
Terjadi sebagai akibat trauma dari pendarahan yang mengikuti fraktur.
Tanda ini baru bisa terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah
cidera.
E. Penatalaksanaan
1. Prinsip-prinsip penatalaksanaan
Ada empat konsep dasar yang harus diperhatikan/pertimbangkan pada
waktu menangani fraktur:
a. Rekognisi: mengkaji, menyangkut diagnosa fraktur pada tempat
kejadian kecelakaan dan kemudian di rumah sakit.
b. Reduksi dan imobilisasi: Reduksi adalah reposisi fragmen fraktur
sedekat mungkin dengan letak normalnya. Setelah fraktur di
reduksi, fragmen tulang harus dimobilisasi untuk membantu
tulang pada posisi yang benar hingga menyambung kembali..
Reduksi terbagi menjadi dua yaitu:
1) Reduksi tertutup: untuk mensejajarkan tulang secara manual
dengan traksi atau gips
2) Reduksi terbuka: dengan metode insisi dibuat dan diluruskan
melalui pembedahan, biasanya melalui internal fiksasi dengan
alat misalnya; pin, plat yang langsung kedalam medula tulang.
c. Retensi: menyatakan metode-metode yang dilaksanakan untuk
mempertahankan fragmen-fragmen tersebut selama penyembuhan
(gips/traksi)
d. Rehabilitasi: langsung dimulai segera dan sudah dilaksanakan
bersamaan dengan pengobatan fraktur karena sering kali pengaruh
cidera dan program pengobatan hasilnya kurang sempurna (latihan
gerak dengan kruck).
2. Tindakan Pembedahan
a. Reduksi tertutup dengan fiksasi eksternal
Reduksi tertutup dengan fiksasi eksternal atau fiksasi perkutan
dengan K-Wire (kawat kirschner), misalnya pada fraktur jari.
b. ORIF (Open Reduction And Internal Fixation) :
ORIF adalah suatu tindakan untuk melihat fraktur langsung
dengan tehnik pembedahan yang mencakup di dalamnya
pemasangan pen, skrup, logam atau protesa untuk memobilisasi
fraktur selama penyembuhan (Depkes, 2005).
Menurut Apley (2005) terdapat 5 metode fiksasi internal yang
digunakan, antara lain:
1) Sekrup kompresi antar fragmen
2) Plat dan sekrup, paling sesuai untuk lengan bawah
3) Paku intermedula, untuk tulang panjang yang lebih besar
4) Paku pengikat sambungan dan sekrup, ideal untuk femur dan
tibia
5) Sekrup kompresi dinamis dan plat, ideal untuk ujung
proksimal dan distal femur
Prosedur singkat
1) Insisi dilakukan pada tempat yang mengalami cidera ddan
diteruskan sepanjang bidang anatomik menuju tempat yang
mengalami fraktur
2) Fraktur diperiksa dan diteliti
3) Fragmen yang telah mati dilakukan irigasi dari luka
4) Fraktur direposisi agar mendapatkan posisi yang normal
kembali
5) Sesudah reduksi, fragmen-fragmen tulang dipertahankan
dengan alat ortopedik berupa pin, sekrup, plate dan paku.
Indikasi ORIF :
1) Fraktur yang tak bisa sembuh atau bahaya avasculair nekrosis
tinggi, misalnya fraktur talus dan fraktur collum femur.
2) Fraktur yang tidak bisa direposisi tertutup. Misalnya fraktur
avulse dan fraktur dislokasi.
3) Fraktur yang dapat direposisi tetapi sulit dipertahankan.
Misalnya fraktur Monteggia, fraktur Galeazzi, fraktur
antebrachii, dan fraktur pergelangan kaki.
4) Fraktur yang berdasarkan pengalaman memberi hasil yang
lebih baik dengan operasi, misalnya : fraktur femur
Keuntungan:
1) Reduksi akurat
2) Stabilitas reduksi tinggi
3) Pemeriksaan struktu neurovaskuler
4) Berkurangnya kebutuhan alat imobilisasi eksternal
5) Penyatuan sendi yang berdekatan dengan tulang yang patah
menjadi lebih cepat
6) Rawat inap lebih singkat
7) Dapat lebih cepat kembali ke pola kehidupan normal
Kerugian
1) Kemungkinan terjadi infeksi
2) Osteomielitis
c. OREF (Open Reduction And Eksternal Fixation)
Tindakan ini merupakan pilihan bagi sebagian besar fraktur.
Fiksasi eksternal dapat menggunakan konselosascrew atau dengan
metilmetakrilat (akrilik gigi) atau fiksasi eksterna dengan jenis-
jenis lain seperti gips. Fiksasi eksternal digunakan untuk
mengobati fraktur terbuka dengan kerusakan jaringan lunak. Alat
ini memberikan dukungan yang stabil untuk fraktur kominutif
(hancur atau remuk OREF merupakan metode alternatif
manajemen fraktur dengan fiksasi eksternal, biasanya pada
ekstrimitas dan tidak untuk fraktur lama
Indikasi OREF :
1) Fraktur terbuka derajatI II
2) Fraktur dengan kerusakan jaringan lunak yang luas
3) Fraktur dengan gangguan neurovaskuler
4) Fraktur Kominutif
5) Fraktur Pelvis
Prosedur singkat
1) Post eksternal fiksasi, dianjurkan penggunaan gips.
2) Setelah reduksi, dilakukan insisi perkutan untuk implantasi
pen ke tulang
3) Lubang kecil dibuat dari pen metal melewati tulang dan
dikuatkan pennya.
4) Perawatan 1-2 kali sehari secara khusus, antara lain:
5) Observasi letak pen dan area
6) Observasi kemerahan, basah dan rembes
7) Observasi status neurovaskuler distal fraktur
Tindakan Pembedahan yang lain menurut Brunner & Suddarth (2002).
a. Reduksi terbuka: adalah melakukan reduksi dan membuat
kesejajaran tulang yang patah setelah terlebih dahulu dilakukan
deseksi dan pemajanan tulang yang patah.
b. Fiksasi interna: adalah stabilisasi tulang patah yang telah direduksi
dengan sekrup, plat, paku, dan pin logam.
c. Graft tulang: adalah penggantian jaringan tulang (graft autolog
maupun heterolog) untuk memperbaiki penyembuhan, untuk
menstabilisasi, atau mengganti tulang yang berpenyakit.
d. Amputasi: adalah penghilangan bagian tubuh.
e. Artroplasti: adalah memperbaiki masalah sendi dengan arthostop
(suatu alat yang memungkinkan ahli bedah mengoprasi dalamnya
sendi tanpa irisan yang besar) atau melalui pembedahan sendi
terbuka.
f. Menisektomi: adalah eksisi fibrokartilago sendi yang telah rusak.
g. Penggantian sendi: adalah penggantian permukaan sendi dengan
bahan logam atau sintetis.
h. Penggantian sendi total: penggantian permukaan artikuler dalam
sendi dengan bahan logam atau sintetis.
i. Transfer tendo: adalah pemindahan insersi untuk memperbaiki
fungsi.
j. Fasiotomi: adalah pemotongan fascia otot untuk menghilangkan
kontriksi otot atau mengurangi kontraktur fascia.
F. Test Diagnostik
1. X Ray: menentukan lokasi/luasnya fraktur/trauma
Hasil Rontgen Fraktur
a. fraktur di falangs proksimal jari kelingking
b. Fraktur di bagian distal tibia kanan
c. Fraktur pada radius dengan dislokasi sendi radioulnar distal
2. Scan tulang: menidentifikasi kerusakan jaringan lunak
3. Hitung darah lengkap:
Ht: mungkin meningkat (hemokonsentrasi), menurun (perdarahan
bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh dari trauma multiple)
Peningkatan leukosit : respon stres normal setelah trauma
4. Kreatinin: trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens
ginjal
5. Profil koagulasi: perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah atau
cedera hati

G. Komplikasi Fraktur
1. Komplikasi Pascaoperatif Bedah Ortopedi
a. Syok Hipovolemik: Kehilangan darah yang sangat banyak sebelum
atau sesudah pembedahan akan menyebabkan syok yang kemudian
diikuti perfusi jaringan dan organ yang tidak adekuat yang
akhirnya menyebabkan gangguan metaboli seluler.
b. Atelaktasis dan pnemonia: Pada pasien pre dan post bedah sering
mengalami gangguan pernafasan. Pengembangan paru yang penuh
dapat mencegah penimbunan sekresi pernafasan dan terjadinya
atelaktasis dan pnemonia.
c. Retensi urine: Haluaran urin harus dipantau setelah pembedahan
setiap 3 sampai 4 jam sekali untuk mencegah terjadinya retensi
urin karena biasanya pasien dengan bedah orthopedi mengalami
keterbatasan gerak sehingga akan mengganggu aktifitasnya
termasuk untuk berkemih. Pada klien yang tidak bisa berkemih
dapat dipasang kateter intermiten sampai klien mampu untuk
berkemih mandiri.
d. Infeksi: Infeksi merupakan resiko pada setiap pembedahan. Infeksi
merupakan perhatian khusus terutama pada pasien post operasi
orthopedi karena tingginya resiko ostheomilitis.
e. Trombosis Vena Profunda: Penyakit trombeobolik merupakan
salah satu dari semua komplikasi yang paling sering dan paling
berbahaya pada pasien pasca operasi orthopedic. Usia lanjut,
hemostasis, pembedahan orthopedik ekstermitas bawah dan
imobilisasi merupakan faktor resiko.

II. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


A. Pengkajian
1. Anamnesa
a. Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang
dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan
darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.
b. Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa
nyeri.Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya
serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa
nyeri klien digunakan:
1) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang
menjadi faktor presipitasi nyeri.
2) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau
menusuk.
3) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa
sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
4) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan
klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan
seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
5) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah
buruk pada malam hari atau siang hari.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari
fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan
terhadap klien.Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut
sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian
tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme
terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan
memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung.
Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s
yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk
menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt
beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga
diabetes menghambat proses penyembuhan tulang (Donna, 2005).
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang
merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti
diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan,
dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik
(Donna,2005).
f. Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya
dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau
pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga
ataupun dalam masyarakat (Donna, 2005).
2. Pemeriksaan Fisik
a. Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
1) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-
tanda, seperti:
a) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah,
komposmentis tergantung pada keadaan klien.
b) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang,
berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.
c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik
fungsi maupun bentuk.
2) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
a) Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat,
bengkak, oedema, nyeri tekan.
b) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada
penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
c) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek
menelan ada.
d) Wajah
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan
fungsi maupun bentuk.Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
e) Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena
tidak terjadi perdarahan)
f) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal.Tidak ada
lesi atau nyeri tekan.
g) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
h) Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan,
mukosa mulut tidak pucat.
i) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
j) Paru
1) Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung
pada riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan
paru.
2) Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
3) Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan
lainnya.
4) Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan
lainnya seperti stridor dan ronchi.
k) Jantung
1) Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
2) Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
3) Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
l) Abdomen
1) Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
2) Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
3) Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
4) Auskultasi
Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.
B. Diagnosa Keperawatan dan intervensi
1. Nyeri berhubungan dengan terputusnya jaringan tulang, gerakan fragmen
tulang, edema dan cedera pada jaringan, alat traksi/immobilisasi, stress,
ansietas.
a. Tujuan : Nyeri dapat berkurang atau hilang.
b. Kriteria Hasil :
1) Nyeri berkurang atau hilang
2) Klien tampak tenang.
c. Intervensi:
1) Lakukan pendekatan pada klien dan keluarga
Rasional: hubungan yang baik membuat klien dan keluarga
kooperatif
2) Kaji tingkat intensitas dan frekwensi nyeri
Rasional: tingkat intensitas nyeri dan frekwensi menunjukkan
skala nyeri
3) Jelaskan pada klien penyebab dari nyeri
Rasional: memberikan penjelasan akan menambah pengetahuan
klien tentang nyeri.
4) Observasi tanda-tanda vital.
Rasional: untuk mengetahui perkembangan klien
5) Lakukan kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian
analgesic
2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan, perubahan status
metabolik, kerusakan sirkulasi dan penurunan sensasi dibuktikan oleh
terdapat luka / ulserasi, kelemahan, penurunan berat badan, turgor kulit
buruk, terdapat jaringan nekrotik.
a. Tujuan : setelah di lakukan tindakan pemenuhan masalah kerusakan
kulit dapat teratasi, penyembuhan luka sesuai waktu
b. Kriteria hasil : tidak ada tanda- tanda infeksi seperti pus, kemerahan,
luka bersih tidak lembab dan tidak kotor, tanda- tanda vital dalam
batas normal atau dapat di toleransi.
c. Intervensi :
1) Kaji kulit dan identitas pada tahap perkembangan luka.
Rasional: mengetahui sejauh mana perkembangan luka
mempermudah dalam melakukan tindakan yang tepat.
2) Kaji lokasi, ukuran, warna, bau, serta jumlah dan tipe cairan luka.
3) Pantau peningkatan suhu tubuh.
4) Berikan perawatan luka dengan tehnik aseptic. Balut luka dengan
kasa kering dan steril, gunakan plester kertas.
5) Jika pemulihan tidak terjadi kolaborasi tindakan lanjutan, misalnya
debridement
6) Setelah debridement, ganti balutan sesuai kebutuhan.
7) Kolaborasi pemberian anti biotic sesuai indikasi. .
3. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri/ketidak nyamanan,
kerusakan muskuloskletal, terapi pembatasan aktivitas, dan penurunan
kekuatan/tahanan.
a. Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan, klien mampu
melakukan pergerakan dan perpindahan, mempertahankan mobilitas
optimal yang dapat ditoleransi dengan karakteristik
b. Kriteria hasil :
klien mampu melakukan pergerakan dan perpindahan,
mempertahankan mobilitas optimal yang dapat ditoleransi dengan
karakteristik :
0 = mandiri penuh
1 = memerlukan alat bantu
2 = memerlukan bantuan dari orang lain untuk bantuan pengawasan
dan pengajaran.
3 = membutuhkan bantuan dari orang lain dan alat bantu
4 = ketergantungan; tidak berpartisipasi dalam aktivitas.
c. Intervensi
1) Kaji kebutuhan akan pelayanan kesehatan dan kebutuhan akan
peralatan.
2) Tentukan tingkat motivasi pasien dalam melakukan aktivitas.
3) Ajarkan dan pantau pasien dalam hal penggunaan alat bantu.
4) Ajarkan dan dukkung pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif.
5) Kolaborasi dengan ahli terapi fisik atau okupasi.

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, L.J. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta :Penerbit Buku
Kedokteran EGC.

Chang, E. dkk.2010. Patofisiologi Aplikasi pada Praktik Keperawatan. Jakarta:


Penerbit Buku Kedokteran EGC
Dongoes M. 2005.Rencana Asuhan Keperawatan.Edisi 3.Jakarta :Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Engram, B. 2009. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah.
Jakarta :Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Graham, A.A dan Solomon L. 2005. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem
Apley. Jakarta: Widya Medika.

Mansjoer, A. 2002.Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius


FKUI.
21

Anda mungkin juga menyukai