Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN KASUS GADAR

LAPORAN PENDAHULUAN
FRAKTUR DIGITI PEDIS

OLEH:

NI KETUT SITIARI, S.Kep


NPM : 1490102131

SEKOLH TINGGI ILMU KESEHATAN INDONESIA JAYA


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS
TAHUN 2022
LAPORAN PENDAHULUAN
FRAKTUR DIGITI PEDIS

A. Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi, tulang rawan
epifisis, baik yang bersifat total maupun yang parsial. (Rasjad, Chairuddin. 2007)
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya
fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorpsinya.
Fraktur dapat disebabkan pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan punter mendadak, dan
bahkan kontraksi otot ekstrem (Bruner & Sudarth, 2002).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, yang biasanya disertai dengan
luka sekitar jaringan lunak, kerusakan otot, rupture tendon, kerusakan pembuluh darah, dan
luka organ-organ tubuh dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadinya fraktur jika tulang
dikenai stress yang lebih besar dari yang besar dari yang dapat diabsorbsinya (Smeltzer,
2001).

B. Etiologi
a. Cedera traumatik
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh :
1) Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang pata
secara spontan. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang.
2) Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi benturan.
3) Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot yang kuat.
b. Fraktur Patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan trauma minor
dapat mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi pada berbagai keadaan seperti: Tumor
tulang (jinak atau ganas), Infeksi seperti osteomyelitis, dan Rakhitis.
c. Secara spontan : disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus misalnya pada
penyakit polio dan orang yang bertugas dikemiliteran.
C. Anatomi fisiologi
Ossa Pedis terdiri atas 26 tulang, yaitu : 14 phalanges, 5 os metatarsal dan 7 os Tarsi. Os
tarsi terdiri atas os calcaneus, os talus, os navicular, 3 os cuneiform, dan os cuboid. Berdasarkan
fungsinya dibedakan menjadi 3 yaitu : 
1) Forefoot (metatarsal dan toes), 
2) Midfoot (cuneiform, navicular, dan cuboid), 
3) Hindfoot  (talus/astragalus, dan calcaneus (os calcis).
Tulang kaki dibentuk dan bersatu untuk membentuk kesatuan longitudinal dan arcus transversal.
Bagian permukaan anterior (superior) kaki disebut dengan dorsum atau permukaan Dorsal, dan
inferior (posterior) aspek dari kaki disebut permukaan plantar. Karena ketebalan yang beragam
pada anatomi kaki, maka harus kita perhatikan pemberian faktor eksposi untuk dapat
menunjukkan densitas keseluruhan bagian tulang kaki.
Anatomi phalanges terdapat 14 tulang pada jari-jari kaki, dua pada jari kaki terbesar atau
digiti 1 dan masing-masing tiga buah di empat jari-jari lainnya. Tulang pada jari terbesar terdiri
atas tulang proksimal dan distal. Setiap tulang terdiri dari sebuah body atau shaft dan dua buah
bagian articulus, masing-masing di bagian distal head dan proximal base.
D. Patofisiologi

Ketika tulang patah, sel tulang mati. Perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah
dan ke dalam jaringan lunak di sekitar tulang tersebut. jaringan lunak biasanya mengalami
kerusakan akibat cedera. Reaksi inflamasi yang intens terjadi setelah patah tulang. Sel darah
putih dan sel mast terakumulasi sehingga menyebabkan peningkatan aliran darah ke area
tersebut. fagositosis dan pembersihan sel dan jaringan mati dimulai.
Bekuan fibrin (hematoma fraktur) terbentuk di tempat patah dan berfungsi sebagai jala
untuk melekatnya sel-sel baru. Aktivitas osteoblas akan segera terstimulasi dan terbentuk
tulang baru imatur, disebut kalus. Bekuan fibrin segera direabsorpsi dan sel tulang baru
secara perlahan mengalami remodeling untuk membentuk tulang sejati. Tulang sejati
menggantikan kalus dan secara perlahan mengalami kalsifikasi. Penyembuhan memerlukan
waktu beberapa minggu sampai beberapa bulan (fraktur pada anak sembuh lebih cepat).
Penyembuhan dapat terganggu atau terhambat apabila hematoma fraktur atau kalus rusak
sebelum tulang sejati terbentuk, atau apabila sel tulang baru rusak selama kalsifikasi dan
pengerasan.(Elizabeth J. Corwin, 2009; 337)
Pathway
E. Klasifikasi

 Klasifikasi fraktur dibagi menjadi beberapa yaitu :


a. Berdasarkan komplet atau ketidakklomplitan fraktur :
1) Fraktur komplet : patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami
pergeseran.
2) Fraktur inkomplet : patah hanya terjadi pada sebagian dari garis tengah tulang.
b. Berdasarkan sifat fraktur :
Fraktur simple/tertutup : tidak menyebabkan robeknya kulit.
Fraktur kompleks/terbuka : merupakan fraktur dengan luka pada kulit atau membrane
mukosa sampai ke patahan tulang.
Fraktur terbuka digradasi menjadi :
a) Grade I dengan luka bersih, panjangnya ≤ 1 cm.
b) Grade II luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak.
c) Grade III yang sangat terkontaminasi dan mengalami kerusakan jaringan yang
paling berat.
c. Berdasarkan bentuk garis patah :
1) Fraktur Greenstick : fraktur salah satu sisi tulang patah sedang sisi lainnya
membengkok.
2) Fraktur Tranversal : fraktur sepanjang garis tengah tulang.
3) Fraktur Oblik : fraktur membentuk sudut dengan garis tengah tulang.
4) Fraktur Spiral : fraktur memuntir seputar batang tulang.

F. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan


ektremitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan perubahan warna yang dijelaskan secara rinci
sebagai berikut:
1. Nyeri
Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi.
Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang
untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2. Deformitas
Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot
yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen sering saling melengkapi satu
sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm (1 sampai 2 inci).
3. Krepitasi
Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang dinamakan krepitasi
yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya. Uji krepitasi dapat
mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih berat.
4. Pembengkakan dan perubahan warna
Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan
perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasa terjadi setelah beberapa jam atau hari
setelah cedera.
5. Fals Moment
Merupakan pergerakan/ bentuk yang salah dari tulang (bengkok)

G. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan radiologis (rontgen), pada daerah yang dicurigai fraktur, harus mengikuti
aturan role of two, yang terdiri dari :
 Mencakup dua gambaran yaitu anteroposterior (AP) dan lateral.
 Memuat dua sendi antara fraktur yaitu bagian proximal dan distal.
 Memuat dua extremitas (terutama pada anak-anak) baik yang cidera maupun yang
tidak terkena cidera (untuk membandingkan dengan yang normal)
 Dilakukan dua kali, yaitu sebelum tindakan dan sesudah tindakan.
2) Pemeriksaan laboratorium, meliputi:
 Darah rutin,
 Faktor pembekuan darah,
 Golongan darah (terutama jika akan dilakukan tindakan operasi),
 Urinalisa,
 Kreatinin (trauma otot dapat meningkatkan beban kreatinin untuk kliren ginjal).
3) Pemeriksaan arteriografi dilakukan jika dicurigai telah terjadi kerusakan vaskuler akibat
fraktur tersebut.
H. Penatalaksanaan

Prinsip terapi fraktur


1) Reduksi
Adalah pemulihan keselarasan anatomi bagi tulang fraktur. Reposisi memerlukan
pemulihan panjang serta koreksi deformitas angular dan rotasional. Reposisi
mannipulatif biasanya dapat dilakukan pada fraktura ekstremitas distal (tangan,
pergelangan tangan. kaki, tungkai), dimana spasme otot tidak berlebihan. Traksi
bisa diberikan dengan plester felt melekat diatas kulit atau dengan memasang pin
tranversa melalui tulang, distal terhadap ftaktur. Reduksi terbuka biasanya disertai
oleh sejumlah bentuk fiksasi interna dengan plat & pin, batang atau sekrup.
Ada dua jenis reposisi, yaitu reposisi tertutup dan reposisi terbuka. Reposisi tertutup
dilakukan pada fraktur dengan pemendekan, angulasi atau displaced. Biasanya
dilakukan dengan anestesi lokal dan pemberian analgesik. Selanjutnya
diimobilisasi dengan gips. Bila gagal maka lakukan reposisi terbuka dikamar
operasi dengan anestesi umum. Kontra indikasi reposisi tertutup:
 Jika dilakukan reposisi namun tidak dapat dievaluasi
 Jika reposisi sangat tidak mungkin dilakukan
 Jika fraktur terjadi karena kekuatan traksi, misalnya displaced patellar fracture.
2) Imobilisasi.
Bila reposisi telah dicapai, maka diperlukan imobilisasi tempat fraktur sampai timbul
penyembuhan yang mencukupi. Kebanyakan fraktur ekstremitas dapat
diimobilisasi dengan dengan gips fiberglas atau dengan brace yang tersedia secara
komersial. Pemasangan gips yang tidak tepat bisa menimbulkan tekanan kuIit,
vascular, atau saraf. Semua pasien fraktur diperiksa hari berikutnya untuk menilai
neurology dan vascular.
Bila traksi digunakan untuk reduksi, maka traksi juga bertindak sebagai imobilisasi
dengan ektremitas disokong di atas ranjang atau di atas bidai sampai reduksi
tercapai. Kemudian traksi diteruskan sampai ada penyembuhan yang mencukupi,
sehingga pasien dapat dipindahkan memakai gips/brace.
3) Rehabilitasi
Bila penyatuan tulang padat terjadi, maka rehabilitasi terutama merupakan masalah
pemulihan jaringan lunak. Kapsula sendi, otot dan ligamentum berkontraksi
membatasi gerakan sendi sewaktu gips/bidai dilepaskan. Dianjurkan terapi fisik
untuk mgerakan aktif dan pasif serta penguatan otot.

I. Komplikasi
1) Komplikasi Awal
a. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT menurun,
cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang
disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit,
tindakan reduksi, dan pembedahan.
b. Kompartement Syndrom
Komplikasi ini terjadi saat peningkatan tekanan jaringan dalam ruang tertutup di otot,
yang sering berhubungan dengan akumulasi cairan sehingga menyebabkan hambatan
aliran darah yang berat dan berikutnya menyebabkan kerusakan pada otot. Gejala –
gejalanya mencakup rasa sakit karena ketidakseimbangan pada luka, rasa sakit yang
berhubungan dengan tekanan yang berlebihan pada kompartemen, rasa sakit dengan
perenggangan pasif pada otot yang terlibat, dan paresthesia. Komplikasi ini terjadi
lebih sering pada fraktur tulang kering (tibia) dan tulang hasta (radius atau ulna).
c. Fat Embolism Syndrom
Merupakan keadaan pulmonari akut dan dapat menyebabkan kondisi fatal. Hal ini terjadi
ketika gelembung – gelembung lemak terlepas dari sumsum tulang dan mengelilingi
jaringan yang rusak. Gelombang lemak ini akan melewati sirkulasi dan dapat
menyebabkan oklusi pada pembuluh – pembuluh darah pulmonary yang
menyebabkan sukar bernafas. Gejala dari sindrom emboli lemak mencakup dyspnea,
perubahan dalam status mental (gaduh, gelisah, marah, bingung, stupor), tachycardia,
demam, ruam kulit ptechie.
d. Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic
infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada
kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam
pembedahan seperti pin dan plat.
e. Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu
yang bisa menyebabkan  nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkman’s
Ischemia. Nekrosis avaskular dapat terjadi saat suplai darah ke tulang kurang baik.
Hal ini paling sering mengenai fraktur intrascapular femur (yaitu kepala dan leher),
saat kepala femur berputar atau keluar dari sendi dan menghalangi suplai darah.
Karena nekrosis avaskular mencakup proses yang terjadi dalam periode waktu yang
lama, pasien mungkin tidak akan merasakan gejalanya sampai dia keluar dari rumah
sakit. Oleh karena itu, edukasi pada pasien merupakan hal yang penting. Perawat
harus menyuruh pasien supaya melaporkan nyeri yang bersifat intermiten atau nyeri
yang menetap pada saat menahan beban
f. Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler
yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.
g. Osteomyelitis
Adalah infeksi dari jaringan tulang yang mencakup sumsum dan korteks tulang dapat
berupa exogenous (infeksi masuk dari luar tubuh) atau hematogenous (infeksi yang
berasal dari dalam tubuh). Patogen dapat masuk melalui luka fraktur terbuka, luka
tembus, atau selama operasi. Luka tembak, fraktur tulang panjang, fraktur terbuka
yang terlihat tulangnya, luka amputasi karena trauma dan fraktur – fraktur dengan
sindrom kompartemen atau luka vaskular memiliki risiko osteomyelitis yang lebih
besar
2) Komplikasi Dalam Waktu Lama
a. Delayed Union (Penyatuan tertunda)
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang
dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena penurunan supai darah
ke tulang.
b. Non union (tak menyatu)
Penyatuan tulang tidak terjadi,  cacat diisi  oleh  jaringan  fibrosa. Kadang-kadang dapat
terbentuk sendi palsu pada tempat ini. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan non
union adalah tidak adanya imobilisasi, interposisi jaringan lunak, pemisahan lebar
dari fragmen contohnya patella dan fraktur yang bersifat patologis.
c. Malunion
Kelainan penyatuan tulang karena penyerasian yang buruk menimbulkan deformitas,
angulasi atau pergeseran.

ASUHAN KEPERAWATAN TEORI


FRAKTUR DIGITI MANUS

I. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk itu
diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga dapat
memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat
bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:
1. Data Subjektif
a. Anamnesa
1) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status
perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal
MRS, diagnosa medis.
2) Keluhan Utama
Biasanya klien dengan fraktur akan mengalami nyeri  saat beraktivitas / mobilisasi pada
daerah fraktur tersebut
3) Riwayat Penyakit Sekarang
Pada klien fraktur / patah tulang dapat disebabkan oleh trauma / kecelakaan, degeneratif
dan pathologis yang didahului dengan perdarahan, kerusakan jaringan sekitar yang
mengakibatkan nyeri, bengkak, kebiruan, pucat / perubahan warna kulit dan
kesemutan.
4) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada klien fraktur pernah mengalami kejadian patah tulang atau tidak sebelumnya dan
ada / tidaknya klien mengalami pembedahan perbaikan dan pernah menderita
osteoporosis sebelumnya
5) Riwayat Penyakit Keluarga
Pada keluarga klien ada / tidak yang menderita osteoporosis, arthritis dan tuberkolosis
atau penyakit lain yang sifatnya menurun dan menular

b. Pola-pola Fungsi Kesehatan


1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketakutan akan terjadinya kecacatan pada dirinya
dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan
tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti
penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium,
pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah
klien melakukan olahraga atau tidak
2) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya
seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses
penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu
menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi
dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar
matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal
terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan
mobilitas klien.
3) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu
perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi
alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna,
bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak.
4) Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat
mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian
dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan
kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur.
5) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien
menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain.
6) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien
harus menjalani rawat inap
7) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan
akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas
secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image)
8) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur,
sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga pada kognitifnya
tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur

9) Pola Reproduksi Seksual


Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual
karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang
dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah
anak, lama perkawinannya
10) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan
timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang
ditempuh klien bisa tidak efektif.
11) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik
terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan
keterbatasan gerak klien.
2. Data obyektif
a. keadaan Umum: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung pada
keadaan klien.
b. Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk.
c. pemeriksaan fisik :
1) Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak, oedema,
nyeri tekan.
2) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan, tidak ada
nyeri kepala.
3) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada.
4) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun
bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
5) Mata
Terdapat gangguan seperti konjungtiva anemis (jika terjadi perdarahan)
6) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan.
7) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
8) Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
9) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
10) Paru
a) Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat penyakit
klien yang berhubungan dengan paru.
b) Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
c) Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
d) Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya seperti
stridor dan ronchi.
11) Jantung
a) Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
b) Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
c) Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
12) Abdomen
a) Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
b) Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
b. Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
c. Auskultasi
Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.
13) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.

Diagnosa dan Intervensi Keperawatan.


1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera mekanik
2. Kerusakan integritas Kulit berhubungan dengan factor mekanik
3. Resiko Infeksi berhubungan dengan faktor resiko prosedur invasif
A. Rencana dan Intervensi Keperawatan
No Dx. Keperawatan Noc Nic
1. Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Manajemen nyeri
dengan agen cedera mekanik …x24 jam nyeri terkontrol :
No Kriteria Score 1. Kaji secara komphrehensif tentang nyeri, meliputi:
1 Mengenal faktor penyebab 5 skala nyeri, lokasi, karakteristik dan onset, durasi,
nyeri frekuensi, kualitas, intensitas/beratnya nyeri, dan
2 Mengenali tanda dan gejala faktor-faktor presipitasi.
nyeri 2. Observasi isyarat-isyarat non verbal dari
ketidaknyamanan
3 Mengetahui onset nyeri 5
3. Berikan analgetik sesuai dengan anjuran sebelum
4 Menggunakan langkah- 5 memulai aktivitas
langkah pencegahan nyeri 4. Gunakan komunkiasi terapeutik agar klien dapat
5 Menggunakan teknik 5 mengekspresikan nyeri
relaksasi 5. Kaji latar belakang budaya klien
6 Menggunakan analgesic 5 6. Evaluasi tentang keefektifan dari tindakan
yang tepat mengontrol nyeri yang telah digunakan
7 Melaporkan nyeri terkontrol 5 7. Berikan dukungan terhadap klien dan keluarga
8. Berikan informasi tentang nyeri, seperti: penyebab,
Keterangan : berapa lama terjadi, dan tindakan pencegahan
1. Tidak pernah menunjukkan 9. Motivasi klien untuk memonitor sendiri nyeri
2. Jarang menunjukkan 10. Ajarkan penggunaan teknik relaksasi nafas dalam
3. Kadang-kadang menunjukkan 11. Evaluasi keefektifan dari tindakan mengontrol nyeri
4. Sering menunjukkan 12. Tingkatkan tidur/istirahat yang cukup
5. Selalu menunjukkan 13. Beritahu dokter jika tindakan tidak berhasil atau
terjadi keluhan.

2 Kerusakan integritas Kulit No Kriteria Score Nursing Intervention Clasification (NIC) :pengobatan
berhubungan dengan factor 1 Temperature : 5 pada kulit
mekanik (36,5 – 37,5 °c) 1. Lakukan prosedur 5 benar dalam pemberian obat
2 sensasi dalam batas 5 2. catat adanya alergi pasien
normal 3. kaji pengetahuan pasien tentang cara pengobatan
3 elastisitas dalam batas 5 4. kaji kondisi sekitar kulit sebelum dilakukan
normal pengobatan
4 pigmentasi dalam batas 5 5. berikan pengobatan dengan jumlah yang benar sesuai
normal dengan standar
5 perspiration dalam batas 5 6. monitor efek dari pengobatan.
normal
6 warna kulit dalam batas 5
normal
7 teksture dalam batas 5
normal
8 perfusi jaringan baik 5
9 pertumbuhan rambut di 5
kulit baik.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan sesuai
dengan kondisi pasien …x24jam integritas
jaringan : kulit dan membran mukosa baik
dengan kriteria hasil :

Keterangan :
1. Ekstrim
2. Berat
3. Sedang
4. Ringan
5. Tidak

3 Resiko Infeksi berhubungan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Kontrol infeksi


dengan faktor resiko prosedur selama ...x24 jam risiko terkontrol dengan 1. Bersihkan ruangan sebelum digunakan tindakan
invasif kriteria hasil : klien bebas dari tanda dan gejala pada pasien
infeksi : 2. Ganti peralatan untuk tindakan pada pasien
3. Batasi jumlah pengunjung
No Kriteria Score 4. Ajarkan pada pasien untuk melakuakn cuci
1 Tidak terdapat rubor 5 tangan dengan benar
5. Instruksikan pada pengunjung untuk melakukan
2 Tidak terdapat kalor 5 cuci tangan sebelum ke pasien
6. Gunakan sabun antimikroba untuk cuci tangan
3 Tidak terdapat dolor 5
7. Bersihkan tangan sebelum dan setelah
4 Tidak terdapat tumor 5 melakukan tindakan pada pasien
8. Gunakan universal precaution
5 Tidak terdapat fungsiolesa 5 9. Gunakan sarung tangan sesuai standar universal
Keterangan : precaution
1. Ekstrim 10. Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai dengan
2. Berat kondisi pasien
3. Sedang 11. Ajarkan pada pasien dan keluarga untuk
4. Ringan mengenali tanda dan gejala infeksi serta
5. Tidak melaporkan pada tenaga kesehatan ketika
terdapat tanda dan gejala infeksi.
DAFTAR PUSTAKA

Black, Joyce M. 1993. Medical Surgical Nursing. W.B Sainders Company : Philadelpia
Boedihartono, 1994, Proses Keperawatan di Rumah Sakit. EGC : Jakarta.
Brooker, Christine. 2001. Kamus Saku Keperawatan. EGC : Jakarta.
Brunner dan Suddarth, 2002, Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 3, EGC, Jakarta
E. Oerswari 1989, Bedah dan Perawatannya, PT Gramedia. Jakarta
Nasrul, Effendi. 1995. Pengantar Proses Keperawatan. EGC. Jakarta.
Sjamsuhidajat, R. dan Wim de Jong. 1998. Buku Ajar Imu Bedah, Edisi revisi. EGC : Jakarta
Wilkinson, Judith M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan, edisi 7. EGC : Jakarta.
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah dari Brunner & Suddarth,
Edisi 8. EGC : Jakarta.
FKUI. 1995. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Binarupa Aksara : Jakarta

Anda mungkin juga menyukai