Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN

NEGLECTED FRACTURE TIBIA

DISUSUN OLEH :

MARTINA DWI KURNIASARI

P27220018024

PROGRAM STUDI D III KEPERAWATAN

POLTEKKES KEMENKES SURAKARTA

2020/2021
A. Definisi
1. Fraktur
Fraktur merupakan istilah dari terputusnya kontinuitas tulang
dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Fraktur terjadi jika tulang
dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorsinya (Smeltzer &
Bare, 2001). Sedangkan menurut Dosen Keperawatan Medikal-Bedah
Indonesia (2017) mengatakan bahwa fraktur merupakan terputusnya
kontuinitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa
atau tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap
oleh tulang.
2. Neglected fractures
Neglected fracturs adalah fraktur yang terlantar penanganannya,
karena tidak dilayani dengan baik (proper treatment) (Temyang, 2006).
Definisi lain mengatakan, bahwa neglected fractures (fraktur terlantar)
adalah fraktur yang penangannya lebih dari 72 jam. Menurut Ayu (2014)
dalam penelitiannya mengatakan bahwa femur merupakan tulang yang
paling banyak mengalami neglected fractures.
Tulang kering adalah tulang terbesar kedua yang terletak di
tungkai kaki, yang menghubungkan antara lutut dengan pergelangan
kaki. Tulang kering memiliki nama lain yaitu tibia yang berarti seruling.

B. Klasifikasi
1. Klasifikasi Fraktur
a. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan) menurut (Dosen
Keperawatan Medikal-Bedah Indonesia, 2017) terdiri dari:
1) Fraktur tertutup (closed)
Fraktur tertutup (fraktur simple) menurut (Smeltzer & Bare,
2001) tidak menyebabkan robeknya kulit
2) Fraktur terbuka (open/compound)
Fraktur terbuka (fraktur komplikata/kompleks) merupakan fraktur
dengan luka pada kulit atau membrane mukosa sampai ke patahan
tulang.
b. Berdasarkan komplet atau ketidakkompleten fraktur :
1) Fraktur komplet, jika garis patah melalui seluruh penampang
tulang atau melalui kedua korteks tulang. Menurut Smeltzer &
Bare (2001) merupakan patah pada seluruh garis tengah tulang
dan biasanya mengalami pergeseran (bergeser dari posisi normal)
2) Fraktur inkomplet, jika garis patah tidak melalui seluruh
penampang tulang atau patah hanya pada sebagian dari garis
tengah tulang.
c. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme
trauma :
1) Fraktur transversal : fraktur yang arah garis patahnya melintang
pada tulang dan terjadi akibat trauma angulasi atau langsung.
Fraktur transversal terjadi sepanjang garis tengah tulang.
2) Fraktur oblik : fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut
terhadap sumbu (garis tengah) tulang dan terjadi akibat trauma
angulasi juga (lebih tidak stabil disbanding trasversal).
3) Fraktur spiral : fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral
atau memuntir seputar batang tulang dan disebabkan oleh trauma
rotasi.
d. Berdasarkan jumlah garis patah :
1) Fraktur komunitif : garis patah lebih dari satu fragmen atau pecah
menjadi beberapa fragmen dan saling berhubungan
2) Fraktur segmental : garis patah lebih dari satu, tetapi tidak
berhubungan. Jika ada dua garis patah, disebut fraktur bifocal
3) Fraktur multiple : garis patah lebih dari satu, tetapi pada tulang
yang berlainan tempatnya, misalnya fraktur femur dan fraktur
tulang belakang
e. Berdasarkan bergeser atau tidak bergeser :
1) Fraktur undispaced (tidak bergeser), garis patah komplet, tetapi
kedua fragmen tidak bergeser, periosteumnya masih utuh
2) Fraktur displaced (bergeser), terjadi pergeseran fragmen fraktur
yang juga disebut lokasi fragmen.
2. Klasifikasi atau derajat neglected fracture
a. Derajat 1 : fraktur yang telah terjadi antara 3 hari sampai 3 minggu
b. Derajat 2 : fraktur yang telah terjadi antara 3 minggu sampai 3 bulan
c. Derajat 3 : fraktur yang telah terjadi antara 3 bulan sampai kurang
lebih 1 tahun
d. Derajat 4 : fraktur yang telah terjadi lebih dari 1 tahun

C. Etiologi
1. Fraktur
Fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari
yang dapat diabsosbsinya. Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan
langsung, gaya meremuk, gerakan punter mendadak, dan bahkan
kontraksi otot ekstrem (Smeltzer & Bare, 2001).Penyebab fraktur menurut
(Dosen Keperawatan Medikal-Bedah Indonesia, 2017)adalah sebagai
berikut :
a. Traumatik : cedera langsung, cedera tidak langsung, dan tarikan otot
b. Patologis : tumor tulang (jinak atau ganas), infeksi seperti
osteomyelitis, rakhitis
2. Neglected fractures
Neglected fractures atau fraktur yang terabaikan disebabkan
karena terlambat mendapatkan penanganan. Ayu (2014) dalam
penelitiannya mengatakan bahwa neglected fractures banyak dialami
pada femur dan telah mendapatkan perawatan oleh dukun patah (bone
setter) sebelum ke Rumah Sakit dan umumnya terjadi pada pendidikan
rendah dan sosial ekonomi rendah. Peneliti beranggapan bahwa hal ini
dipengaruhi oleh tingkat kesadaran masyarakat akan kesehatan masih
rendah, kepercayaan terhadap dukun masih tinggi daripada dokter,
ketakutan masyarakat akan tindakan pembedahan dan pengetahuan masih
rendah.

D. Manifestasi Klinik
Menurut Smeltzer & Bare (2001) tanda dan gejala fraktur antara lain:
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
dimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk
bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar
fragmen tulang
2. Hilangnya fungsi terjadi setelah fraktur, sehingga bagian-bagian tidak
dapat digunakan dan cenderung bergerak secara tidak alamiah (gerakan
luar biasa)
3. Deformitas terjadi akibat pergeseran fragmen pada fraktur. Ekstremitas
tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung
pada integritas tulang tempat melengketnya otot
4. Pemendekan ekstremitas terjadi pada fraktur panjang
5. Krepitus teraba saat palapasi akibat gesekan antara fragmen satu dengan
lainnya.
6. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi akibat
trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru
terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera

E. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada fraktur menurut Dosen Keperawatan
Medikal-Bedah Indonesia (2017)adalah :
1. Komplikasi awal, yaitu kerusakan arteri, sindrom kompartemen, fat
embolism syndrome, infeksi, syok, dan nekrosis avaskuler
2. Komplikasi dalam waktu lama :
a. Delayed union (kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu
yang dibutuhkan tulang untuk menyambung)
b. Nonunion (kegagalan fraktur berkonsolidasi dan memproduksi
sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan)
c. Malunion (penyembuhan tulang yang ditandai dengan peningkatan
kekuatan dan perubahan bentuk/deformitas). Malunion diperbaiki
dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik.
Pada neglected fracture terdapat beberapa komplikasi yang paling sering
terjadi yaitu malunion, delayed union, non union dan osteomyelitis kronik
(Maheswari, 2002; Solomon, Warwick, & Nayagam, 2010)

F. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis fraktur femur dapat ditegakkan dengan anamnesis yang
lengkap mengenai kejadian trauma meliputi waktu, tempat, dan mekanisme
trauma; pemeriksaan fisik yang lengkap dan menyeluruh, serta pemeriksaan
penunjang. Terdapat berbagai macam pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan untuk pemeriksaan fraktur menurut Smeltzer & Bare (2001) antara
lain:
1. Sinar-X menggambarkan lokasi fraktur, kepadatan tulang, tekstur, erosi
dan perubahan hubungan tulang. Dapat menunjukkan adanya pelebaran,
penyempitan, adanya cairan, iregulitas, dan perubahan struktur sendi.
2. CT scan (Computed tomografi) menunjukkan abnormalitas fraktur yang
kompleks. Dapat juga menunjukkan adanya tumor jaringan lunak atau
cedera ligament atau tendon, digunakan untuk mengidentifikasi lokasi
dan panjangnya patah tulang didaerah yang sulit dievaluasi (mis.
Asetabulum)
3. Magnetic resonance imaging (MRI), untuk memperlihatkan abnormalitas
(mis, tumor atau penyempitan jalur jaringan lunak melalui tulang)

G. Penatalaksanaan
Pada fraktur penting ditanyakan waktu terjadi kecelakaan, menurut
Dosen Keperawatan Medikal-Bedah Indonesia (2017) waktu emas atau
golden period pada fraktur adalah 1 sampai 6 jam sehingga perlu dengan
cepat mendapatkan penanganan. Apabila lebih dari 6 jam, komplikasi infeksi
semakin besar.Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik secara singkat,
cepat, dan lengkap, kemudian lakukan pemeriksaan foto radiologis.
Pada fraktur tertutup, penatalaksanaan dapat dilakukan dengan
konservatif atau operatif.Sedangkan pada fraktur terbuka harus secepat
mungkin untuk mencegah terjadinya komplikasi infeksi.Terdapat prinsip
penanganan fraktur menurut (Smeltzer & Bare, 2001) antara lain:
1. Reduksi fraktur
Reduksi fraktur atau setting fraktur yaitu mengembalikan fragmen tulang
pada kesejajarannya dan rotasi anatomis. Reduksi fraktur dapat dilakukan
dengan reduksi tertutup, traksi, dan reduksi terbuka. Reduksi dilakukan
untuk mencegah jaringan lunak kehilangan elastisistasnya akibat infiltrasi
karena edema dan perdarahan.
Sebelum direduksi dilakukan, harus mendapatkan izin pasien untuk
melakukan tindakan, pemberian analgesik sesuai ketentuan, ekstremitas
ditangani dengan lembut untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.
a. Reduksi tertutup
Dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang keposisinya
(ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan manipulasi dan traksi
manual. Ekstremitas dipertahankan dalam posisi yang diinginkan, dan
alat imobilisasi akan menjaga reduksi dan menstabilkan ekstremitas
untuk penyembuhan tulang. Sinar-x perl dilakukan untuk mengetahui
fragmen tulang dalam kesejajaran yang benar.
b. Traksi
Dilakukan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi. Beratnya
traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi. Akan terbentuk
kalus dan terlihat dalam pemeriksaan sinar-x ketika tulang sudah
sembuh dan dapat dipasang gips atau bidai untuk melanjutkan
imobilisasi.
c. Reduksi terbuka
Fragmen tulang direduksi melalui tindakan pembedahan dengan
menggunakan alat fiksasi interna seperti pin, kawat, sekrup, plat,
paku, atau batangan logam sehingga dapat mempertahankan fragmen
tulang dalam posisinya sampai penyembuhan tulang terjadi.
2. Imobilisasi fraktur
Dilakukan setelah fraktur direduksi untuk mempertahankan posisi dan
kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan.
3. Mempertahankan dan mengembalikan fungsi
Dilakukan untuk mengembalikan secara bertahap untuk memperbaiki
kemandirian fungsi dan harga diri.
Proses penyembuhan tulang menurut Dosen Keperawatan Medikal-
Bedah Indonesia (2017) terdiri atas lima stadium yaitu sebagai berikut:
1. Stadium 1
Pembentukan hematoma, yang berlangsung dalam 24 sampai 48 jam,
perdarahan pada fase ini berhenti sama sekali.
2. Stadium 2
Proliferasi seluler, yang berlangsung selama 8 jam setelah fraktur sampai
selesai, tergantung pada frakturnya
3. Stadium 3
Pembentukan kalus, berlangsung pada 4 minggu setelah fraktur menyatu
4. Stadium 4
Konsolidasi yang merupakan proses lambat dan mungkin perlu beberapa
bulan sebelum tulang kuat untuk membawa beban normal
5. Stadium 5
Remodelling terjadi selama beberapa bulanatau tahun dan akhirnya
membentuk struktur tulang yang mirip dengan normalnya.
Proses penyembuhan tulang menurut Smeltzer & Bare (2001) terdiri
dari inflamasi, proliferasi sel, fibroblast, pembentukan kallus, osifikasi, dan
remodeling. Proses penyembuhan tulang dapat dipantau dengan pemerikasaan
sinar-x.
1. Inflamasi
Terjadi perdarahan dalam jaringan yang cedera dan terjadi pembentukan
hematoma pada tempat patah tulang. Tempat cedera kemudian akan
diinvasi oleh makrofag (sel darah putih besar), yang akan
membersihakan daerah tersebut. Terjadi inflamasi, pembengkakan, dan
nyeri.
2. Proliferasi sel
Terbentuk benang-benang fibrin, hematoma akan mengalami organisasi
terjadi dalam 5 hari dan membentuk jaringan untuk revaskularisasi dan
invasi fibroblast dan osteoblast.
3. Fibroblast dan osteoblast
Terbentuk jaringan ikat fibrus dan tulang rawan yang berkembang dari
osteosit, sel endostel, dan sel periosteum. Kalus tulang rawan dirangsang
oleh gerakan mikro minimal pada tempat patah tulang.
4. Pembentukan kallus
Fragmen patahan tulang digabungkan dengan jaringan fibrus, dan perlu
waktu 3 sampai 4 minggu agar fragmen tulang bergabung dalam tulang
rawan atau jaringan fibrus.
5. Osifikasi
Proses penulangan endokondral dari pembentukan kalus dan terjadi
dalam 2 sampai 3 minggu. Mineral ditimbun secara terus menerus sampai
tulang benar-benar telah bersatu dengan keras. Pada patah tulang panjang
orang dewasa normal, proses penulangan memerlukan waktu 3 sampai 4
bulan.
6. Remodeling
Pengambilan jaringan mati dan reorganisasi tulang baru kesusunan
struktural sebelumnya dan memerlukan waktu berbulan-bulan bahkan
bertahun-tahun tergantung beratnya modifikasi tulang yang dibutuhkan,
fungsi tulang.
KONSEP KEPERAWATAN

A. Pengkajian Keperawatan
Meliputi dampak gangguan terhadap pasien, menjaga kesehatan pasien secara
umum, melaksanakan Activity Daily Living secara mandiri, penanganan
modalitas pengobatannya.Homeostatik sistemik dipastikan baik, asupan
nutrisi yang optimal, pencegahan komplikasi immobilitas.
1. Anamnesis
a. Keluhan Utama
1) Nyeri
Gejala paling sering ditemukan pada pasien dengan gangguan
muskuloskletal, dilakukan melalui metode PQRST :
a) Provoking Incident : pencetus atau penyebab nyeri
b) Quality of Pain : rasa nyeri atau gambaran nyeri yang dirasakan
c) Region : menentukan lokasi atau area nyeri dan penyebarannya
d) Severity (Scale) : seberapa sakit nyeri yang dirasakan
e) Time : kapan nyeri timbul
2) Deformitas
Kelainan bentuk tubuh, perlu ditanyakan apakah ada riwayat
trauma sebelumnya, penggunaan pengobatan alternative serta
persepsi pasien terhadap citra tubuh
3) Kekakuan sendi
Potensial mengakibatkan gangguan aktivitas sehari-hari
4) Pembengkakan/ benjolan
Pembengkakan menandakan ada bekas trauma baik pada jaringan
lunak, sendi atau tulang. Berapa lama pembengkakan terjadi
5) Kelemahan Otot
Waktu dan sifat kelemahan, apakah terjadi secara bertahap atau
tiba-tiba, lokasi tubuh yang mengalami kelemahan (seluruh tubuh
atau pada daerah tertentu), parestesia.

6) Gangguan sensibilitas
Gangguan muskuloskletal dapat melibatkan kerusakan saraf
upper/lower motor neuron baik local ataupun seluruhnya. Dan
dapat pula mengakibatkan gangguan sirkulasi darah (sianosis,
oedema)
b. Riwayat klinis
1) Riwayat penyakit sekarang
Keluhan saat masuk, kronologis terjadinya gangguan dan persepsi
pasien terhadap keluhan yang dirasakannya saat ini. Data yang
didapat secara subjektif dapat menentukan diagnose yang tepat
untuk penanganan masalah pasien, pertolongan apa yang di
dapatkan, apakah sudah berobat ke dukun patah tulang. Selain itu,
dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan, perawat
dapat mengetahui luka kecelakaan yang lainnya
2) Riwayat kesehatan dahulu
Apakah pasien pernah mengalami penyakit yang mungkin dapat
berhubungan dengan penyakit saat ini.Riwayat trauma yang pernah
dialami pasien dapat menentukan sejauh mana kecemasan yang
dirasakan pasien saat ini.Selain itu penggunaan obat-obatan dan
riwayat alergi.
Pada beberapa keadaan, klien yang pernah berobat ke dukun patah
tulang sebelumnya sering mengalami mal-union.Penyakit tertentu
seperti kanker tulang atau menyebabkan fraktur patologis sehingga
tulang sulit menyambung. Selain itu, klien diabetes dengan luka di
kaki sangat beresiko mengalami osteomielitis akut dan kronik serta
penyakit diabetes menghambat penyembuhan tulang.
3) Bio-psiko-sosio-spiritual
Meliputi dimensi yang memungkinkan didapatkannya data tentang
persepsi, status emosi, kognitif dan perilaku pasien. Pengkajian
dilakukan dengan memasukkan unsure penampilan, perilaku,afek,
suasana hati dan kognitif. Tingkat kesadaran, penggunaan bahasa,
memori dan tingkat pengetahuan pasien dan keluarga juga
merupakan hal yang harus dikaji.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan awal penderita, perlu diperhatikan adanya tanda-tanda
syok, anemia atau pendarahan, kerusakan pada organ-organ lain, misalnya
otak, sumsum tulang belakang atau organ-organ dalam rongga toraks,
panggul dan abdomen.Apabila kondisi jiwa pasien terancam, lakukan
resusitasi untuk menstabilkan kondisi pasien.
Setelah kondisi pasien stabil, perlu diperhatikan faktor predisposisi lain,
misalnya pada fraktur patologissebagai salah satu penyebab terjadinya
fraktur.
Pemeriksaan status lokalis dilakukan setelah pemeriksaan skrining awal
dilakukan. Berikut adalah langkah pemeriksaan status lokalis:
a. Inspeksi (Look)
1) Bandingkan dengan bagian yang sehat
2) Perhatikan posisi anggota gerak
3) Keadaan umum penderita secara keseluruhan
4) Ekspresi wajah karena nyeri
5) Lidah kering atau basah
6) Adanya tanda-tanda anemia karena pendarahan, Lakukan survei
pada seluruh tubuh apakah ada trauma pada organ-organ lain
7) Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak untuk
membedakan fraktur tertutup atau terbuka
8) Ekstravasasi darah subkutan dalam beberapa jam sampai
beberapa hari
9) Perhatikan adanya deformitas berupa angulasi, rotasi dan
kependekan
10) Perhatikan kondisi mental penderita
11) Keadaan vaskularisasi

b. Palpasi/Raba (Feel)
Palpasi dilakukan secara hati-hati oleh karena penderita biasanya
mengeluh sangat nyeri. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam
melakukan palpasi adalah sebagai berikut:
1) Temperatur setempat yang meningkat
2) Nyeri tekan; nyeri tekan yang bersifat superfisial biasanya
disebabkan oleh kerusakan jaringan lunak yang dalam akibat
fraktur pada tulang
3) Krepitasi; dapat diketahui dengan perabaan dan harus dilakukan
secara hati-hati
4) Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma berupa palpasi
arteri femoralis, arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior
sesuai dengan anggota gerak yang terkena Refilling (pengisian)
arteri pada kuku, warna kulit pada bagian distal daerah trauma,
temperatur kulit.
5) Pengukuran panjang tungkai untuk mengetahui adanya
perbedaan panjang tungkai
c. Pergerakan (Move)
Pergerakan dengan mengajak penderita untuk menggerakkan secara
aktif dan pasif sendi proksimal dan distal dari daerah yang
mengalami trauma. Pada penderita dengan fraktur, setiap gerakan
akan menyebabkan nyeri hebat sehingga uji pergerakan tidak boleh
dilakukan secara kasar, disamping itu juga dapat menyebabkan
kerusakan pada jaringan lunak seperti pembuluh darah dan saraf.
d. Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan neurologis berupa pemeriksaan saraf secara sensoris
dan motoris serta gradasi kelainan neurologis yaitu neuropraksia,
aksonotmesis atau neurotmesis. Kelainan saraf yang didapatkan
harus dicatat dengan baik karena dapat menimbulkan masalah
asuransi dan tuntutan (klaim) penderita serta merupakan patokan
untuk pengobatan selanjutnya
e. Pemeriksaan radiologi
Dengan pemeriksaan klinik kita sudah dapat kecurigaan akan adanya
fraktur sudah dapat ditegakkan. Walaupun demikian pemeriksaan
radiologis diperlukan sebagai konfirmasi adanya fraktur,
menentukan keadaan, lokasi serta ekstensi fraktur, untuk melihat
adakah kecurigaan keadaan patologis pada tulang, untuk melihat
benda asing—misalnya peluru, dan tentunya untuk menentukan
teknik pengobatan atau terapi yang tepat.
Pemeriksaan radiologis dilakukan dengan beberapa prinsip rule of
two, yaitu: dua posisi proyeksi, dilakukan sekurang-kurangnya yaitu
pada antero-posterior dan lateral; dua sendi pada anggota gerak dan
tungkai harus difoto, di atas dan di bawah sendi yang mengalami
fraktur; dua anggota gerak. Pada anak-anak sebaiknya dilakukan foto
pada ke dua anggota gerak terutama pada fraktur epifisis; dua kali
dilakukan foto, sebelum dan sesudah reposisi.

3. Pola kesehatan fungsional


a. Aktifitas/ Istirahat
Keterbatasan/kehilangan pada fungsi di bagian yang terkena
(mungkin segera, fraktur itu sendiri atau terjadi secara sekunder, dari
pembengkakan jaringan, nyeri)
1) Sirkulasi
(a) Hipertensi (kadang–kadang terlihat sebagai respon nyeri
atau ansietas) atau hipotensi (kehilangan darah)
(b) Takikardia (respon stresss, hipovolemi)
(c) Penurunan/tidak ada nadi pada bagian distal yang
cedera,pengisian kapiler lambat, pusat pada bagian yang
terkena.
(d) Pembengkakan jaringan atau masa hematoma pada sisi
cedera.

2) Neurosensori
(a) Hilangnya gerakan / sensasi, spasme otot
(b) Kebas/kesemutan (parestesia)
(c) Deformitas local: angulasi abnormal, pemendekan, rotasi,
krepitasi (bunyi berderit) Spasme otot, terlihat kelemahan/
hilang fungsi
(d) Angitasi (mungkin badan nyeri/ ansietas atau trauma lain)
3) Keamanan
(a) Laserasi kulit, avulse jaringan, pendarahan, perubahan
warna
(b) Pembengkakan local (dapat meningkat secara bertahap
atau tiba- tiba).
4) Pola hubungan dan peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam
masyarakat karena klien harus menjalani rawat inap.
5) Pola persepsi dan konsep diri
Dampak yang timbul dari klien fraktur adalah timbul ketakutan
dan kecacatan akibat fraktur yang dialaminya, rasa cemas, rasa
ketidak mampuan untuk melakukan aktifitasnya secara normal
dan pandangan terhadap dirinya yang salah.
6) Pola sensori dan kognitif
Daya raba pasien fraktur berkurang terutama pada bagian distal
fraktur, sedangkan indra yang lain dan kognitif tidak mengalami
gangguan. Selain itu juga timbul nyeri akibat fraktur.
7) Pola nilai dan keyakinan
Klien fraktur tidak dapat beribadah dengan baik, terutama
frekuensi dan konsentrasi dalam ibadah. Hal ini disebabkan oel
nyeri dan keterbatasan gerak yang di alami klien

B. Diagnosa Keperawatan
Adapun diagnosa keperawatan yang lazim dijumpai pada klien fraktur
adalah sebagai berikut:
a. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema,
cedera jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.
b. Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran darah
(cedera vaskuler, edema, pembentukan trombus)
c. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler,
nyeri, terapi restriktif (imobilisasi)
d. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi
(pen, kawat, sekrup)
e. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer
(kerusakan kulit, taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi
tulang)
f. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan
pengobatan b/d kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap
informasi, keterbatasan kognitif, kurang akurat/lengkapnya
informasi yang ada
(Doengoes, 2000)
C. Intervensi Keperawatan
a. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema,
cedera jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.
Tujuan: Klien mengataka nyeri berkurang atau hilang dengan
menunjukkan tindakan santai, mampu berpartisipasi
dalam beraktivitas, tidur, istirahat dengan tepat,
menunjukkan penggunaan keterampilan relaksasi dan
aktivitas trapeutik sesuai indikasi untuk situasi
individual

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

1. Pertahankan imobilasasi bagian 1. Mengurangi nyeri dan mencegah


yang sakit dengan tirah baring, malformasi.
gips, bebat dan atau traksi
2. Tinggikan posisi ekstremitas yang
2. Meningkatkan aliran balik vena,
terkena.
mengurangi edema/nyeri.

3. Lakukan dan awasi latihan gerak


3. Mempertahankan kekuatan otot
pasif/aktif.
dan meningkatkan sirkulasi
vaskuler.

4. Lakukan tindakan untuk


4. Meningkatkan sirkulasi umum,
meningkatkan kenyamanan
menurunakan area tekanan lokal
(masase, perubahan posisi)
dan kelelahan otot.

5. Ajarkan penggunaan teknik


5. Mengalihkan perhatian terhadap
manajemen nyeri (latihan napas
nyeri, meningkatkan kontrol
dalam, imajinasi visual, aktivitas
terhadap nyeri yang mungkin
dipersional)
berlangsung lama.
6. Lakukan kompres dingin selama 6. Menurunkan edema dan
fase akut (24-48 jam pertama) mengurangi rasa nyeri.
sesuai keperluan.
7. Menurunkan nyeri melalui
7. Kolaborasi pemberian analgetik
mekanisme penghambatan
sesuai indikasi.
rangsang nyeri baik secara sentral
maupun perifer.

b. Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran darah


(cedera vaskuler, edema, pembentukan trombus)
Tujuan : Klien akan menunjukkan fungsi neurovaskuler baik dengan
kriteria akral hangat, tidak pucat dan syanosis, bisa bergerak
secara aktif
INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

1. Dorong klien untuk secara rutin 1. Meningkatkan sirkulasi darah


melakukan latihan menggerakkan dan mencegah kekakuan sendi.
jari/sendi distal cedera.

2. Hindarkan restriksi sirkulasi 2. Mencegah stasis vena dan


akibat tekanan bebat/spalk yang sebagai petunjuk perlunya
terlalu ketat. penyesuaian keketatan
bebat/spalk.
3. Pertahankan letak tinggi 3.Meningkatkan drainase vena
ekstremitas yang cedera kecuali dan menurunkan edema kecuali
ada kontraindikasi adanya pada adanya keadaan hambatan
sindroma kompartemen. aliran arteri yang menyebabkan
penurunan perfusi.
4. Berikan obat antikoagulan 4. Mungkin diberikan sebagai
(warfarin) bila diperlukan. upaya profilaktik untuk
menurunkan trombus vena.

5. Pantau kualitas nadi perifer, 5. Mengevaluasi perkembangan


aliran kapiler, warna kulit dan masalah klien dan perlunya
kehangatan kulit distal cedera, intervensi sesuai keadaan
bandingkan dengan sisi yang klien.
normal.

c. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler,


nyeri, terapi restriktif (imobilisasi)
Tujuan : Klien dapat meningkatkan/mempertahankan mobilitas
pada tingkat paling tinggi yang mungkin dapat
mempertahankan posisi fungsional meningkatkan
kekuatan/fungsi yang sakit dan mengkompensasi
bagian tubuh menunjukkan tekhnik yang
memampukan melakukan aktivitas
INTERVENSI RASIONAL
KEPERAWATAN

1. Pertahankan pelaksanaan 1. Memfokuskan perhatian,


aktivitas rekreasi terapeutik meningkatakan rasa kontrol
(radio, koran, kunjungan diri/harga diri, membantu
teman/keluarga) sesuai keadaan menurunkan isolasi sosial.
klien.
2. Bantu latihan rentang gerak 2. Meningkatkan sirkulasi darah
pasif aktif pada ekstremitas muskuloskeletal, mempertahankan
yang sakit maupun yang sehat tonus otot, mempertahakan gerak
sesuai keadaan klien. sendi, mencegah kontraktur/atrofi
dan mencegah reabsorbsi kalsium
karena imobilisasi.
3. Mempertahankan posis
3. Berikan papan penyangga kaki,
fungsional ekstremitas.
gulungan trokanter/tangan
sesuai indikasi.
4. Bantu dan dorong perawatan 4. Meningkatkan kemandirian
diri (kebersihan/eliminasi) klien dalam perawatan diri sesuai
sesuai keadaan klien. kondisi keterbatasan klien.
5. Ubah posisi secara periodik 5. Menurunkan insiden
sesuai keadaan klien. komplikasi kulit dan pernapasan
(dekubitus, atelektasis, penumonia)
6. Dorong/pertahankan asupan
cairan 2000-3000 ml/hari. 6. Mempertahankan hidrasi
adekuat, mencegah komplikasi
7. Berikan diet TKTP
urinarius dan konstipasi.
8. Kolaborasi pelaksanaan
7. Kalori dan protein yang cukup
fisioterapi sesuai indikasi.
diperlukan untuk proses
9. Evaluasi kemampuan
penyembuhan dan
mobilisasi klien dan program
mempertahankan fungsi fisiologis
imobilisasi.
tubuh.

8. Kerjasama dengan fisioterapis


perlu untuk menyusun program
aktivitas fisik secara individual.

9. Menilai perkembangan masalah


klien.
d. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi
(pen, kawat, sekrup)
Tujuan : Klien menyatakan ketidaknyamanan hilang, menunjukkan
perilaku tekhnik untuk mencegah kerusakan
kulit/memudahkan penyembuhan sesuai indikasi, mencapai
penyembuhan luka sesuai waktu/penyembuhan lesi terjadi
INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

1. Pertahankan tempat tidur yang 1. Menurunkan risiko


nyaman dan aman (kering, kerusakan/abrasi kulit yang
bersih, alat tenun kencang, lebih luas.
bantalan bawah siku, tumit).

2. Masase kulit terutama daerah 2. Meningkatkan sirkulasi perifer


penonjolan tulang dan area distal dan meningkatkan kelemasan
bebat/gips. kulit dan otot terhadap tekanan
yang relatif konstan pada
3. Lindungi kulit dan gips pada
imobilisasi.
daerah perianal
3. Mencegah gangguan integritas
4. Observasi keadaan kulit,
kulit dan jaringan akibat
penekanan gips/bebat
kontaminasi fekal.
terhadap kulit, insersi pen/traksi.
4. Menilai perkembangan
masalah klien.

e. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan


kulit, taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang
Tujuan : Klien mencapai penyembuhan luka sesuai waktu, bebas
drainase purulen atau eritema dan demam
INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

1. Lakukan perawatan pen steril 1. Mencegah infeksi


dan perawatan luka sesuai sekunder dan mempercepat
protokol penyembuhan luka.
2. Meminimalkan kontaminasi.
2. Ajarkan klien untuk
mempertahankan sterilitas
insersi pen.
3. Antibiotika spektrum luas atau
3. Kolaborasi pemberian spesifik dapat digunakan secara
antibiotika dan toksoid tetanus profilaksis, mencegah atau
sesuai indikasi. mengatasi infeksi. Toksoid
tetanus untuk mencegah infeksi
tetanus.
4. Leukositosis biasanya terjadi
4. Analisa hasil pemeriksaan
pada proses infeksi, anemia dan
laboratorium (Hitung darah
peningkatan LED dapat
lengkap, LED, Kultur dan
terjadi pada osteomielitis.
sensitivitas luka/serum/tulang)
Kultur untuk mengidentifikasi
5. Observasi tanda-tanda vital organisme penyebab infeksi
dan tanda-tanda peradangan lokal 5. Mengevaluasi perkembangan
pada luka. masalah klien
D. Evaluasi Keperawatan

a. Nyeri berkurang atau hilang

b. Tidak terjadi disfungsi neurovaskuler perifer

c. Tidak terjadi kerusakan integritas kulit

d. Infeksi tidak terjadi

e. Meningkatnya pemahaman klien terhadap penyakit yang


dialami
DAFTAR PUSTAKA

Ayu, O. (2014). Karakteristik Penderita Neglected Fractures yang Dirawat di


RSUP H . Adam Malik Medan. The Journal of Medical School, 47(2), 68–
71.
Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., & Wagner, C. M. (2013).
Nursing interventions clasification (NIC). Singapore: Elsevier.
Dosen Keperawatan Medikal-Bedah Indonesia. (2017). Rencana asuhan
keperawatan medikal-bedah : Diagnosis NANDA-I Intervensi NIC Hasil
NOC. Jakarta: EGC.
Maheswari, J. (2002). Essential Orthopaedics (3rd ed.). New delhi: Mehta
Publisher.
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., & Swanson, E. (2013). Nursing
outcomes clasification (NOC). Singapore: Elsevier.
NANDA. (2015). Nursing diagnoses definitions and clasification. Jakarta: EGC.
Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (2001). Buku ajar keperawatan medikal-bedah
brunner & suddarth. Jakarta: EGC.
Solomon, L., Warwick, D., & Nayagam, S. (2010). Apley’s System of
Orthopaedics and Fractures (9th ed.). London: Hodder Arnorld.
Temyang, A. . (2006). Himpunan Makalah, Prof. dr. H. Soelarto Reksoprodjo,
SpB., SpOT. Jakarta: Pelangi warna kreasindo.

Anda mungkin juga menyukai