Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN DENGAN GANGGUAN

SISTEM MUSKULOSKELETAL

DISUSUN OLEH:

DESI ADAYANI
NIM.211133046

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PONTIANAK
JURUSAN KEPERAWATAN PONTIANAK PRODI PROFESI
NERS
TAHUN 2020/2021

1
HALAMAN PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHULUAN
GANGGUAN SISTEM MUSKULOSKELETAL
DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH (RSUD) SOEDARSO KOTA
PONTIANAK

Mata Kuliah : Keperawatan Medikal Bedah


Semester : 1 (Ganjil)
Institusi : Poltekkes Kemenkes Pontianak
Prodi : Profesi Ners

Pontianak,18 Oktober 2021


Mahasiswa

Desi Adayani
NIM. 211133046

Mengetahui,

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik/CI

Ns. Azhari Baedlawi, M.Kep Suma, N S.Kep. Ners


NIP . 198111012008032001

2
BAB I
KONSEP DASAR

A. Konsep Dasar
1. Definisi
Fraktur adalah setiap retak atau patah tulang yang disebabkan oleh trauma,
tenaga fisik, kekuatan, sudut, keadaan tulang dan jaringan lunak disekitar
tulang yang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi disebut lengkap
atau tidak lengkap. Gangguan kesehatan yang banyak dijumpai dan
menjadi salah satu masalah dipusat-pusat pelayanan kesehatan di seluruh
dunia salah satunya adalah fraktur (Airlangga, 2018). Fraktur adalah setiap
retak atau patah pada tulang yang utuh. Kebanyakan fraktur disebabkan
oleh trauma dimana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang, baik
berupa trauma langsung dan trauma tidak langsung (Sjamsuhidajat &
Jong, 2014).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, yang biasanya
disertai dengan luka sekitar jaringan lunak, kerusakan otot, rupture tendon,
kerusakan pembuluh darah, dan luka organ-organ tubuh dan ditentukan
sesuai jenis dan luasnya, terjadinya fraktur jika tulang dikenai stress yang
lebih besar dari yang besar dari yang dapat diabsorbsinya (Smeltzer,
2016). Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai
jenis dan luasnya fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar
dari yang dapat diabsorpsinya. Fraktur dapat disebabkan pukulan
langsung, gaya meremuk, gerakan punter mendadak, dan bahkan kontraksi
otot ekstrem (Bruner & Sudarth, 2015).
2. Etiologi
Fraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang berlebihan
pada tulang yang biasanya di akibatkan secara langsung dan tidak
langsung dan sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan atau luka
yang di sebabkan oleh kendaraan bermotor.
Penyebab patah tulang paling sering di sebabkan oleh trauma terutama
pada anak-anak, apabila tulang melemah atau tekanan ringan. (Doenges,
2013:627)
Menurut Carpenito (2013:47) adapun penyebab fraktur antara lain:
a) Kekerasan langsung

3
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya
kekerasan. Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka
dengan garis patah melintang atau miring.
b) Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang
jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah
bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
c) Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat
berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi
dari ketiganya, dan penarikan.
Menurut (Doenges, 2013:627) adapun penyebab fraktur antara lain:
a) Trauma Langsung
Yaitu fraktur terjadi di tempat dimana bagian tersebut mendapat ruda
paksa misalnya benturan atau pukulan pada anterbrachi yang
mengakibatkan fraktur
b) Trauma Tak Langsung
Yaitu suatu trauma yang menyebabkan patah tulang ditempat yang
jauh dari tempat kejadian kekerasan.
c) Fraktur Patologik
Stuktur yang terjadi pada tulang yang abnormal .
(kongenital,peradangan, neuplastik dan metabolik).
3. Klasifikasi
a. Berdasarkan tempat (Fraktur humerus, tibia, clavicula, ulna, radius
dan cruris dst).
b. Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur:

1) Fraktur komplit (garis patah melalui seluruh penampang tulang


atau melalui kedua korteks tulang).
2) Fraktur tidak komplit (bila garis patah tidak melalui seluruh
garis penampang tulang).
c. Berdasarkan bentuk dan jumlah garis patah :
1) Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu
dan saling berhubungan.
2) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu
tapi tidak berhubungan.

4
3) Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak pada tulang yang samaa
d. Berdasarkan posisi fragmen :
1) Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi
kedua fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh.
2) Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang
yang juga disebut lokasi fragmen
e. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).
1) Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih
(karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup
ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan
lunak sekitar trauma, yaitu:
a) Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera
jaringan lunak sekitarnya.
b) Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit
dan jaringan subkutan.
c) Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan
lunak bagian dalam dan pembengkakan.
d) Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak
yang nyata ddan ancaman sindroma kompartement.
2) Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan
antara hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena
adanya perlukaan kulit. Fraktur terbuka dibedakan menjadi
beberapa grade yaitu :
a) Grade I : luka bersih, panjangnya kurang dari 1 cm.
b) Grade II : luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak
yang ekstensif.
c) Grade III : sangat terkontaminasi, dan mengalami kerusakan
jaringan lunak ekstensif.
f. Berdasar bentuk garis fraktur dan hubungan dengan mekanisme
trauma :
1) Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang
dan merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.

5
2) Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk
sudut terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma
angulasijuga.
3) Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral
yang disebabkan trauma rotasi.
4) Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial
fleksi yang mendorong tulang ke arah permukaan lain.
5) Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan
atau traksi otot pada insersinya pada tulang.
g. Berdasarkan kedudukan tulangnya :
1) Tidak adanya dislokasi.
2) Adanya dislokasi
a) At axim : membentuk sudut.
b) At lotus : fragmen tulang berjauhan.
c) At longitudinal : berjauhan memanjang.
d) At lotus cum contractiosnum : berjauhan dan memendek.
h. Berdasarkan posisi frakur
Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian :

a. 1/3 proksimal
b. 1/3 medial
c. 1/3 distal
d. Fraktur Kelelahan : Fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
e. Fraktur Patologis : Fraktur yang diakibatkan karena proses
patologis tulang.

4. Tanda dan Gejala


Manifestasi klinis menurut UT Southwestern Medical Center(2016) adalah
nyeri, hilangnya fungsi, deformitas/perubahan bentuk, pemendekan
ekstermitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan perubahan warna.
a) Nyeri terus menerus akan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk
bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan fragmen
tulang.
b) Setelah terjadi fraktur bagian yang tidak dapat digunakan cenderung
bergerak secara alamiah (gerakan luar biasa) membukanya tetap rigid
seperti normalnya. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau

6
tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ekstermitas
dapat diketahui dengan membandingkan ekstermitas normal.
Ekstermitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal
otot tergantung pada integritas tempat melengketnya otot.
c) Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya
karena kontraksi otot yang melekat pada atas dan bawah tempat
fraktur. Fragmen sering saling melengkapi satu sama lain sampai 2,5
sama 5 cm (1 sampai 2 inchi).
d) Saat ekstermitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang
yang dinamakan krepitusakibat gesekan antara fragmen 1 dengan yang
lainnya (uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lunak
yang lebih berat).
e) Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit dapat terjadi
sebagai akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda
ini baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah terjadi cidera.

5. Komplikasi
. Komplikasi Awal

1) Kerusakan Artery
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya
nadi, CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar,
dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan
emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan
reduksi, dan pembedahan.
2) Kompartement Syndrom
Komplikasi ini terjadi saat peningkatan tekanan jaringan dalam
ruang tertutup di otot, yang sering berhubungan dengan akumulasi
cairan sehingga menyebabkan hambatan aliran darah yang berat
dan berikutnya menyebabkan kerusakan pada otot. Gejala –
gejalanya mencakup rasa sakit karena ketidakseimbangan pada
luka, rasa sakit yang berhubungan dengan tekanan yang berlebihan
pada kompartemen, rasa sakit dengan perenggangan pasif pada
otot yang terlibat, dan paresthesia. Komplikasi ini terjadi lebih
sering pada fraktur tulang kering (tibia) dan tulang hasta (radius
atau ulna).
3) Fat Embolism Syndrom

7
Merupakan keadaan pulmonari akut dan dapat menyebabkan
kondisi fatal. Hal ini terjadi ketika gelembung – gelembung lemak
terlepas dari sumsum tulang dan mengelilingi jaringan yang rusak.
Gelombang lemak ini akan melewati sirkulasi dan dapat
menyebabkan oklusi pada pembuluh – pembuluh darah pulmonary
yang menyebabkan sukar bernafas. Gejala dari sindrom emboli
lemak mencakup dyspnea, perubahan dalam status mental (gaduh,
gelisah, marah, bingung, stupor), tachycardia, demam, ruam kulit
ptechie.
4) Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada
trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan
masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka,
tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan
seperti pin dan plat.
5) Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang
rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan
diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia. Nekrosis avaskular
dapat terjadi saat suplai darah ke tulang kurang baik. Hal ini paling
sering mengenai fraktur intrascapular femur (yaitu kepala dan
leher), saat kepala femur berputar atau keluar dari sendi dan
menghalangi suplai darah. Karena nekrosis avaskular mencakup
proses yang terjadi dalam periode waktu yang lama, pasien
mungkin tidak akan merasakan gejalanya sampai dia keluar dari
rumah sakit. Oleh karena itu, edukasi pada pasien merupakan hal
yang penting. Perawat harus menyuruh pasien supaya melaporkan
nyeri yang bersifat intermiten atau nyeri yang menetap pada saat
menahan beban
6) Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya
oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.
7) Osteomyelitis
Adalah infeksi dari jaringan tulang yang mencakup sumsum dan
korteks tulang dapat berupa exogenous (infeksi masuk dari luar

8
tubuh) atau hematogenous (infeksi yang berasal dari dalam tubuh).
Patogen dapat masuk melalui luka fraktur terbuka, luka tembus,
atau selama operasi. Luka tembak, fraktur tulang panjang, fraktur
terbuka yang terlihat tulangnya, luka amputasi karena trauma dan
fraktur – fraktur dengan sindrom kompartemen atau luka vaskular
memiliki risiko osteomyelitis yang lebih besar
b. Komplikasi Dalam Waktu Lama
a. Delayed Union (Penyatuan tertunda)
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai
dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini
disebabkan karena penurunan supai darah ke tulang.
b. Non union (tak menyatu)
Penyatuan tulang tidak terjadi, cacat diisi oleh jaringan fibrosa.
Kadang –kadang dapat terbentuk sendi palsu pada tempat ini.
Faktor – faktor yang dapat menyebabkan non union adalah tidak
adanya imobilisasi, interposisi jaringan lunak, pemisahan lebar dari
fragmen contohnya patella dan fraktur yang bersifat patologis..
c. Malunion
Kelainan penyatuan tulang karena penyerasian yang buruk
menimbulkan deformitas, angulasi atau pergeseran.

6. Pemeriksaan penunjang
a X.Ray dilakukan untuk melihat bentuk patahan atau keadaan tulang
yang cedera.
b Bone scans, Tomogram, atau MRI Scans
c Arteriogram : dilakukan bila ada kerusakan vaskuler.
d CCT kalau banyak kerusakan otot.
e Pemeriksaan Darah Lengkap
Lekosit turun/meningkat, Eritrosit dan Albumin turun, Hb, hematokrit
sering rendah akibat perdarahan, Laju Endap Darah (LED) meningkat
bila kerusakan jaringan lunak sangat luas, Pada masa penyembuhan
Ca meningkat di dalam darah, traumaa otot meningkatkan beban
kreatinin untuk ginjal. Profil koagulasi: perubahan dapat terjadi pada
kehilangan darah, transfusi multiple, atau cederah hati

9
7. Penatalaksanaan Medis
Prinsip penanganan fraktur adalah mengembalikan posisi patahan
tulang ke posisi semula(reposisi) dan mempertahankan posisi itu selama
masa penyembuhan patah tulang atau imobilisasi (Sjamsuhidayat & Jong,
2015).
Empat tujuan utama dari penanganan fraktur adalah :
a. Untuk menghilangkan rasa nyeri.
Nyeri yang timbul pada fraktur bukan karena frakturnya sendiri,
namun karena terluka jaringan disekitar tulang yang patah tersebut.
Untuk mengurangi nyeri tersebut, dapat diberikan obat penghilang rasa
nyeri dan juga dengan tehnik imobilisasi (tidak menggerakkan daerah
yang fraktur). Tehnik imobilisasi dapat dicapai dengan cara
pemasangan bidai atau gips.
1) Pembidaian : benda keras yang ditempatkan di daerah sekeliling
tulang
2) Pemasangan gips
Merupakan bahan kuat yang dibungkuskan di sekitar tulang yang
patah. Gips yang ideal adalah yang membungkus tubuh sesuai
dengan bentuk tubuh. Indikasi dilakukan pemasangan gips adalah :
a) Immobilisasi dan penyangga fraktur
b) Istirahatkan dan stabilisasi
c) Koreksi deformitas
d) Mengurangi aktifitas
e) Membuat cetakan tubuh orthotik
Sedangkan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemasangan
gips adalah :
1. Gips yang pas tidak akan menimbulkan perlukaan
2. Gips patah tidak bisa digunakan
3. Gips yang terlalu kecil atau terlalu longgar sangat
membahayakan klien
4. Jangan merusak / menekan gips
5. Jangan pernah memasukkan benda asing ke dalam gips /
menggaruk
6. Jangan meletakkan gips lebih rendah dari tubuh terlalu lama
b. Untuk menghasilkan dan mempertahankan posisi yang ideal dari
fraktur.

10
Bidai dan gips tidak dapat mempertahankan posisi dalam waktu yang
lama. Untuk itu diperlukan lagi tehnik yang lebih mantap seperti
pemasangan traksi kontinyu, fiksasi eksternal, atau fiksasi internal
tergantung dari jenis frakturnya sendiri.
1) Penarikan (traksi) :
Secara umum traksi dilakukan dengan menempatkan beban dengan
tali pada ekstermitas pasien. Tempat tarikan disesuaikan
sedemikian rupa sehingga arah tarikan segaris dengan sumbu
panjang tulang yang patah. Metode pemasangan traksi antara lain :
a) Traksi manual
Tujuannya adalah perbaikan dislokasi, mengurangi fraktur, dan
pada keadaan emergency
b) Traksi mekanik, ada 2 macam :
1. Traksi kulit (skin traction)
Dipasang pada dasar sistem skeletal untuk sturktur yang
lain misal otot. Digunakan dalam waktu 4 minggu dan
beban < 5 kg.
2. Traksi skeletal
Merupakan traksi definitif pada orang dewasa yang
merupakan balanced traction. Dilakukan untuk
menyempurnakan luka operasi dengan kawat metal /
penjepit melalui tulang / jaringan metal.

11
BAB II
WEB OF CAUSATION (WOC)
A. Web Of Causation

Trauma Langsung Trauma Tidak Langsung Kondisi Patologis

Fraktur

Dekontiunitas Tulang Pergeseran Fragmen Tulang Nyeri

Perubahan Jaringan Sekitar Laserasi Kulit Kerusakan Integritas Kulit

Pergeseran Fragmen Tulang Putus Vena Arteri Spasme Otot

Deformitas Perdarahan Peningkatan Tekanan Kapiler

Gangguan Fungsi KehilanganVolume Pelepasan Histamin


Cairan Protein Plasma Hilang

Gangguan Mobilitas
Fisik Syok Hipovolemik Edema

Penekanan Pembuluh Darah

Penurunan Perfusi Jaringan

Gangguan Perfusi Jaringan

(Sumber : Hariyanto Dan Sulistyowati, 2015)

BAB III

12
PROSES KEPERAWATAN

A. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan,
untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien
sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Tahap pengkajian
terbagi atas :
a. Identitas penderita
Meliputi nama, unsur, jenis kelamin, agama, pendidikan, perkerjaan, alamat, status
perkawinan, suhu bangsa, nomor register, tanggal masuk rumah sakit.
b. Pengkajian primer
1) Airway (jalan nafas)
Penilaian kelanaran airway pada klien yang mengalami fraktur meliputi,
pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang disebabkan benda asing,
fraktur wajah, fraktur mandibular atau maksila, fraktur laring atau trakea.
Usaha untuk membebaskan jalan nafas harus melindungi vertebral servikal
karena kemungkinan parahnya tulang servikal harus selalu diperhitungkan.
Dalam hal ini dapat dilakukan chin lift, tetapi tidak boleh melibatkan
hiperektensi leher.
2) Breathing (pernafasan)
Setelah melakuakn airway kita harus menjamin ventilasi yang baik. Ventilasi
yang baik meliputi fungsi yang baik dari paru, dinding dada dan diafragma.
Dada klien harus dibuka untuk melihat pernafasan yang baik.
3) Circulation (sirkulasi)
Kontrol pendarahan vena dengan menekan langsung sisi area perdarahan
bersamaan dengan tekanan jari pada arteri paling dekat dengan perdarahan.
Curiga hemoragi internal pada kejadian syok lanjut dan adanya cidera pada
dada dan abdomen. Atasi syok dimana klien dengan fraktur biasanya
mengalami kehilangan darah. Kaji tanda-tanda syok yaitu penurunan tekanan
darah, kulit dingin, lembab dan nadi halus.

13
14

4) Disability (kesadaran)
Kaji keadaan neurologis secara cepat yang dinilai adalah kesadaran (GCS),
ukuran dan reaksi pupil. Penurunan kesadaran dapat disebabkan penurunan
oksigen dan penurunan perpusi keotak atau disebabkan perlukan pada otak.
Perubahan kesadaran menuntut dilakukannya pemeriksaan terhadap keadaan
ventilasi, perfusi dan oksigenasi.
5) Exposure
Jika exposure dilakukan di Rumah Sakit, tetapi jika perlu dapat membuka
pakaian, misalnya membuka baju untuk melakukan pemeriksaan fisik thoraks.
Dirumah sakit klien harus dibuka seluruh pakaiannya, untuk evaluasi klien.
c. Pengkajian sekunder
Bagian dari pengkajian sekunder pada klien cidera musculoskeletal adalah
anamnesis dan pemeriksaan fisik. Tujuann dari survey sekunder adalah mencari
cider-cidera lain yang mungkin terjadi pada klien sehingga tidak satupun
terlewatkan dan tidak terobati
d. Riayat kesehatan dahulu
Adanya riwayat sesak nafas, takipnea debu, dingin dan panas
e. Riwayat penyakit keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu
faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering
terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan
secara genetic
f. Anamnesa AMPLE
A (Alergies): adanya alergi obat atau makanan
M (medikasi): obat yang dikonsumsi sebelumnya
P (paint): nyeri yang dirasakan
L (last meal): diit terakhir yang dimakan
E (event of injury): ada tidaknya luka atau trauma
2. Pemeriksaan fisik :
Pada pemeriksaan fisik klien, beberapa hal yang peting untuk di evaluasi adalah, kulit
melindungi klien dari kehilangan cairan dan infeksi, integritas ligamentum dan tulang.
Cara pemeriksaannya dilakukan dengan loo, fell, move.
15

a. Gambaran Umum
1) Keadaan umum : baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti:
a) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis
tergantung pada keadaan klien
b) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada
kasus fraktur biasanya akut
c)
d) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun
bentuk.
b. Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
1) Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak, oedema,
nyeri tekan
2) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan,
tidak ada nyeri kepala
3) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada
4) )Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun
bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
5) Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak terjadi
perdarahan)
6) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri
tekan
7) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
8) Mulut dan Faring
Tidak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut
tidak pucat
16

9) Thoraks
Tidak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
10) Paru
a) Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat
penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
b) Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama
c) Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya
d) Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya
seperti stridor dan ronchi
11) Jantung
a) Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung
b) Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba
c) Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur
12) Abdomen
a) Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia
b) Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba
c) Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
d) Auskultasi
Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.
13) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.
17

B. Diagnosa keperawatan
Berikut Menurut SDKI (2018), berikut adalah masalah keperawatan
yang mungkin muncul pada kasus dengan fraktur.

1. Nyeri akut b/d agen pencedera fisiologis (inflamasi, iskemia, neoplasma),


atau agen pencederea kimiawi (terbakar, terkena bahan kimia iritan), atau
agen pencedera fisik (abses, amputasi, terbakar, terpotong, mengangkat
berat, prosedur operasi, trauma, Latihan fisik berlebihan).
2. Gangguan integritas kulit/jaringan b/d perubahan sirkulasi, perubahan
status nutrisi (kelebihan atau kekurangan), kekurangan/kelebihan volume
cairan, penurunan mobilitas, bahan kimia iritatif, suhu lingkungan yang
ekstrem, faktor mekanis (penekanan pada tonjolan tulang, gesekan) atau
faktor elektris (elektrodiatermi, energi lisrik bertegangan tinggi), efek
sampng terapi radiasi, kelembaban, proses penuaan, neuropati perifer,
perubahan pigmentasi, perubahan hormonal, serta kurang terpapar
informasi tentang upaya mempertahankan/melindungi integritas jaringan.
3. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan integritas struktur tulang,
perubahan metabolisme, ketidakbugaran fisik, penurunan kendali otot,
penurunan massa otot, penurunan kekuatan otot, keterlambatan
perkembangan, kekakuan sendi, kontraktur, malnutrisi, gangguan
musculoskeletal, gangguan neuromuscular, indeks massa tubuh diatas
persentil ke-75 sesuai usia, efek agen farmakologis, program pembatasan
gerak, nyeri, kurang terpapar informasi tentang aktivitas fisik, kecemasan,
gangguan kognitif, keengganan melakukan pergerakan, dan gangguan
sensoripersepsi.
4. Risiko infeksi d/d penyakit kronis (dm), efek prosedur invasive, malnutrisi,
peningkatan paparan organisme pathogen lingkungan, ketidakadekuatan
pertahanan tubuh primer dan ketidakadekuatan pertahanan tubuh sekunder.
5. Risiko perdarahan d/d aneurisma, gangguan gastrointestinal, gangguan
fungsi hati, komplikasi kehamilan, komplikasi pasca partum, gangguan
koagulasi, efek agen farmakologis, Tindakan pembedahan, trauma, kurang
terpapar informasi tentang pencegahan perdarahan, dan proses keganasan.
18

C. Perencanaan (Luaran keperawatan yang diharapkan pada kasus) Berikut


ini adalah beberapa luaran eperawatan yang mungkin muncul pada klien dengan
close fraktur femur (SLKI 2017)
1. L.08066 – Tingkat Nyeri
Diharapkan tingkat nyeri menurun kriteria hasil:
a. Kemampuan menuntaskan aktifvitas meningkat
b. Keluhan nyeri menurun
c. Meringis menurun
d. Sikap protektif menurun
e. Gelisah menurun
f. Kesulitan tidur menurun
g. Menarik diri menurun
h. Berfokus pada diri sendiri menurun
i. Diaforesis menurun
j. Perasaan takut mengalami cedera berulang menurun
k. Anoreksi menurun

2. L.05042 – Mobilitas Fisik


Diharapkan mobilitas fisik meningkat dengan kriteria hasil :
a. Pergerakan ekstremitas meningkat
b. Kekuatan otot meningkat
c. Nyeri menurun
d. Gerakan terbatas menurun
e. Kelemahan fisik menurun

3. L.02011- Perfusi Perfier


Diharapkan perfusi perifer meningkat dengan kriteria hasil :
a. Kekuatan nadi perifer meningkat
b. Warna kulit pucat menurun
c. Nyeri ekstremitas menurun
d. Pengisian kapiler membaik
19

D. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
1 D.0077-Nyeri Akut L.08066-Tingkat Nyeri I.08238-Manajemen Nyeri
Setelah dilakukan tindakan keperawatan Observasi
selama 1x24 jam diharapkan kontrol 1. Identifikasi karakteristik nyeri (PQRST)
nyeri meningkat dengan kriteria hasil: 2. Identifikasi respon nyeri non verbal
1. Melaporkan nyeri terkontrol 3. Identifikasi faktor yang memperberat dan
meningkat memperingan nyeri
2. Kemampuan mengenali onset nyeri 4. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan
meningkat tentang nyeri
3. Kemampuan mengenali penyebab 5. Identifikasi pengaruh respon budaya
nyeri meningkat terhadap nyeri
4. Kemampuan menggunakan teknik 6. Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas
non-farmakologis meningkat hidup
5. Dukungan orang terdekat 7. Monitor keberhasilan terapi komplementer
meningkat yang sudah diberikan
6. Keluhan nyeri menurun 8. Monitor penggunaan efek samping
7. Penggunaan analgesik menurun analgetik
Terapeutik
9. Berikan terapi non-farmakologis untuk
mengurangi nyeri
10. Kontrol lingkungan yang memperberat
nyeri
11. Fasilitasi istirahat dan tidur
12. Pertimbangan jenis dan sumber nyeri
dalam memberikan pemilihan strategi
meredakan nyeri
Edukasi
20

13. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu


nyeri
14. Jelaskan strategi meredakan nyeri
15. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
16. Anjurkan menggunakan analgetik secara
tepat
17. Ajarkan teknik non farmakologis untuk
meredakan nyeri
Kolaborasi
18. Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
2 D.0054 - Gangguan L.05042 – Mobilitas Fisik I.05180-Pembidaian
Mobilitas Fisik Setelah dilakukan tindakan keperawatan Monitoring
selama 1x24 jam diharapkan mobilitas 1. Monitor bagian distal area cidera
fisik meningkat dengan kriteria hasil:
2. Monitor adanya perdarahan pada area cidera
1. Pergerakan ekstermitas meningkat
3. Identifikasi material bidai yang sesuai
2. Kkuatan otot meningkat Terapeutik
3. Rentang gerak (ROM) meningkat 1. Atasi perdarahan sebelum bidai dipasang
2. Minimalkan pergerakan terutama pada
4. Nyeri menurun
bagian yang cidera
5. Kecemasan menurun 3. Berikan bantalan (padding) pada bidai
6. Kaku sendi menurun 4. Imobilisasi sendi diatas dan dibawah cidera
7. Gerakan tidak terkoordinasi menurun 5. Tempatkan ekstremitas pada posisi
fungsional jika memungkinkan
8. Gerakan terbatas menurun 6. Gunakan kain gendongan (sling) secara tepat
9. Kelemahan fisik menurun Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan langkah langkah
prosedur sebelum pemasangan bidai
2. Anjurkan mengatasi gerak pada area cidera

3 D.0016-Resiko perfusi L.02011-Perfusi Perifer I.02074-Perawatan Emboli Perifer


21

perifer tidak efektif Setelah dilakukan tindakan keperawatan Monitoring


selama 1x24 jam diharapkan perfusi perifer 1. Periksa sirkulasi perifer secara menyeluruh
meningkat dengan kriteria hasil : 2. Monitor nyeri pada area yang terkena
a. Kekuatan nadi perifer 3. Monitor tanda tanda penurunan sirkulasi
meningkat vena
b. Warna kulit pucat Terapeutik
menurun 1. Tinggikan daerah yang cidera 20 derajat
c. Nyeri ekstremitas menurun diatas jantung
d. Pengisian kapiler membaik 2. Ubah posisi setiap 2 jam
3. Hindari akses intravena antekubiti
4. Hindari memijat atau mengompres otot
yang cidera
Edukasi
1. Ajarkan pentingnya antikoagulan selama 3
bulan
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian antikagulan
22

E. Aplikasi Pemikiran Kritis


Penggunaan EXOS® Belat Termoplastik dalam Perawatan Fraktur
Pergelangan Tangan: Studi Penggunaan Retrospektif - Pengalaman Medis
Silverdale
1. Definisi
Fraktur pergelangan tangan adalah cedera umum yang dicatat pada anak-anak
dan orang dewasa dan sering terlihat di Klinik Perawatan Mendesak dan
Departemen Darurat di Selandia Baru dan diseluruh dunia. Fraktur
pergelangan tangan secara tradisional disebabkan oleh jatuh dari lengan yang
terentang.
2. Alasan penggunaan
EXOS®Splint TP disediakan dan diterapkan pada setiap pasien oleh terapis
tangan terdaftar, tersedia berdekatan dengan pusat medis atas permintaan
dokter Perawatan Mendesak yang merawat pasien. Belat dipasang dan
pemeriksaan lanjutan dengan terapis tangan dilakukan pada akhir periode
tindak lanjut untuk memulai rentang gerakan aktif dan latihan penguatan
sebagai bagian dari rehabilitasi pasien. Rata-rata waktu perawatan di bidai
adalah 36 hari dengan rentang dari 16 hari untuk pasien dengan fraktur skafoid
klinis hingga 52 hari untuk pasien dengan fraktur radius distal yang tidak
tergeser. Sedangkan waktu yang dihabiskan di belat secara klinis tergantung
pada usia pasien dengan pasien yang lebih muda menghabiskan lebih sedikit
waktu di belat (rata-rata 34 hari) sementara pasien dewasa dengan fraktur
radius distal yang tidak tergeser menghabiskan lebih banyak waktu di belat
(39-52 hari). Durasi pengobatan rata-rata adalah 5,27 minggu untuk semua
pasien.
3. Mekanisme
Pasien memiliki protokol tindak lanjut rutin tinjauan klinik awal pada 2
minggu dimana radiografi tindak lanjut diperoleh untuk menilai setiap
perubahan keselarasan dan bukti penyembuhan tulang dalam bentuk reaksi
periosteal atau sklerosis tulang. Pada tindak lanjut itu, pasien dinilai untuk
setiap masalah kulit dari menggunakan belat. Tindak lanjut sekunder dan
terakhir setelah 3-4 minggu juga dilakukan untuk menilai nyeri tekan tulang di
23

lokasi fraktur, masalah kulit dan komplikasi lain yang mungkin timbul. Setiap
masalah dengan pemasangan belat juga dirujuk kembali ke terapis tangan
untuk penyesuaian yang tepat dengan pembentukan kembali belat. Belat
dilepas tetapi pasien diharapkan untuk tetap memakainya selama periode
peninjauan dengan pelepasan intermiten untuk perawatan kulit.
4. Dampak
Tidak ada komplikasi penyembuhan patah tulang yang signifikan. Keluhan
utama terkait iritasi dan kekeringan kulit yang dilaporkan oleh 9 pasien.
Secara keseluruhan kepuasan pasien dan orang tua dari belat adalah 97%
benar-benar puas dan 3% puas. Pasien lebih menyukai fakta bahwa bidai
yang ringan dan tahan air memungkinkan mereka untuk melakukan sebagian
besar aktivitas sehari-hari tanpa hambatan. Namun, hasil dari rangkaian kasus
ini menunjukkan potensi perubahan dalam cara pasien dirawat. Belat dengan
EXOS® bidai, pada fraktur radius distal spesifik telah terbukti memiliki hasil
yang baik dan kembali ke fungsi penuh tanpa gejala sisa yang merugikan.
Kemampuan EXOS® splint menjadi mouldable memiliki keuntungan
tambahan untuk digunakan dalam fraktur tipe greenstick dengan sedikit
angulasi dibandingkan dengan versi splint non mouldable generik yang
tersedia di pasaran saat ini. Keterbatasan seri ini termasuk jumlah kecil dan
fakta bahwa itu adalah tinjauan retrospektif kasus. Namun, mengingat bukti
yang sudah tersedia terutama untuk fraktur torus pada subkelompok pediatrik
dan remaja, cakupan penggunaan splint tersebut harus dipertimbangkan.
Penyelidikan lebih lanjut dalam bentuk studi acak prospektif pada kelompok
usia lain dapat dipertimbangkan untuk melihat kemanjuran penggunaan bidai
lepasan dalam pengobatan patah tulang pergelangan tangan di masa depan.

Sumber referensi :

Ben-Yakov M, Boutis K (2016) Fraktur gesper radius distal pada anak-


anak.CMAJ188: 527.

Boutis K, Howard A, Constantine E, Cuomo A, Somji Z, dkk. (2015) Bukti dalam


praktik: Ahli bedah ortopedi anak menggunakan bidai yang dapat dilepas
untuk fraktur pediatrik umum. J Pediatr Orthop B 35:18-23.

Koay I (2019) Penggunaan EXOS® Belat Termoplastik dalam Perawatan Fraktur


24

Pergelangan Tangan: Studi Penggunaan Retrospektif – The Silverdale


Pengalaman Medis. J Trauma Treat 8: 440. doi:10.4172/2167-1222.1000440

Williams BA, Alvarado CA, Montoya-Williams DC, Matthias RC, Blakemore LC


(2018). Membungkuk pada fraktur torus: apakah bukti yang berkembang
memengaruhi praktik?. J Orthop Anak 12: 123-128.
25

DAFTAR PUSTAKA
Aminanto, S., & Ruhyana, R. (2015). Efektivitas Gel Aloe Vera Sebagai Primary
Dressing pada Luka Diabetes Melitus di Praktik Perawatan Luka Indaryati
Sleman Yogyakarta (Doctoral dissertation, STIKES'Aisyiyah Yogyakarta).

Bałan, B. J., Niemcewicz, M., Kocik, J., Jung, L., Skopińska-Różewska, E., &
Skopiński, P. (2015). Experimental immunology Oral administration of Aloe
vera gel, anti-microbial and anti-inflammatory herbal remedy, stimulates cell-
mediated immunity and antibody production in a mouse model. Central
European Journal of Immunology, 39(2), 125-130.

Novyana, R. M., & Susianti, S. (2016). Lidah Buaya (Aloe vera) untuk
Penyembuhan Luka. Jurnal Majority, 5(4), 149-153.

Nugraha, A. (2015). Pengaruh Pemberian Aloe Vera Pada Pasien Luka Bakar.
Jurnal Medika Cendikia, 2(02), 72-81.Gail W. Stuart, B. A. (2016). Prinsip
dan Praktik Keperawatan Kesehatan Jiwa Stuart. Jakarta: Buku Kedokteran
EGC.
Indriana, 2014; Lela & Reza, 2018; Maiti & Bidinger, 1981; Nurdin et al., 2013;
Ruang et al., 2021)Airlangga, I. U. (2018). adalah fraktur pada. 1–6.
Indriana, B. R. (2014). Teknik Relaksasi Otot Progresif Untuk Megurangi Nyeri.
02(01), 1–20.
Lela, A., & Reza, R. (2018). Pengaruh Teknik Relaksasi Nafas Dalam terhadap
Penurunan Nyeri pada Pasien Fraktur. Jurnal Kesehatan, 9(2), 262–266.

Maiti, & Bidinger. (1981). 済 無 No Title No Title. Journal of Chemical


Information and Modeling, 53(9), 1689–1699.
Nurdin, S., Kiling, M., & Rottie, J. (2013). PENGARUH TEKNIK RELAKSASI
TERHADAP INTENSITAS NYERI PADA PASIEN POST OPERASI
FRAKTUR DI RUANG IRINA A BLU RSUP PROF Dr. R.D KANDOU
MANADO. Jurnal Keperawatan UNSRAT, 1(1), 106506.
Ruang, D. I., Fajr, A. L., & Kustati, R. (2021). Laporan pendahuluan asuhan
keperawatan pada pasien dengan gangguan mobilitas fisik di ruang al fajr
rsui kustati surakarta

Anda mungkin juga menyukai