Anda di halaman 1dari 29

LP 1

DEFINISI PENYAKIT

Fraktur adalah patahnya tulang, yang biasanya dialami hewan kecil akibat kecelakaan,
terjatuh dan luka (Bleby & Bishop, 2015).
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang
rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Sjamsuhidayat, 2014).

Fraktur adalah setiap retak atau patah pada tulang yang utuh. Kebanyakan fraktur
disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang, baik berupa
trauma langsung dan trauma tidak langsung (Sjamsuhidajat & Jong, 2014).
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang
rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, 2007).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, yang biasanya disertai dengan
luka sekitar jaringan lunak, kerusakan otot, rupture tendon, kerusakan pembuluh darah, dan
luka organ-organ tubuh dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadinya fraktur jika tulang
dikenai stress yang lebih besar dari yang besar dari yang dapat diabsorbsinya (Smeltzer,
2014).

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya
fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorpsinya.
Fraktur dapat disebabkan pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan punter mendadak, dan
bahkan kontraksi otot ekstrem (Bruner & Sudarth, 2012).
Fraktur adalah diskontiunitas jaringan tulang yang banyak disebabkan karena
kekerasan yang mendadak atau tidak atau kecelakaan.Suddarth (2012:2353)
Fraktur adalah terputusnya hubungan normal suatu tulang atau tulang rawan yang
disebabkan oleh kekerasan. Santoso Herman (2013:144)
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang
umumnya disebabkan oleh ruda paksa (Carpenito 2013:43)
Fraktur adalah patahnya kontinuitas tulang yang terjadi ketika tulang tidak mampu
lagi menahan tekanan yang diberikan kepadanya. (Doenges, 2013:625)

ETIOLOGI

Fraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang
yang biasanya di akibatkan secara langsung dan tidak langsung dan sering berhubungan
dengan olahraga, pekerjaan atau luka yang di sebabkan oleh kendaraan bermotor.
Penyebab patah tulang paling sering di sebabkan oleh trauma terutama pada anak-
anak, apabila tulang melemah atau tekanan ringan. (Doenges, 2013:627)

Menurut Carpenito (2013:47) adapun penyebab fraktur antara lain:

1) Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan. Fraktur
demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau miring.

2) Kekerasan tidak langsung


Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat
terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam jalur
hantaran vektor kekerasan.

3) Kekerasan akibat tarikan otot


Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa pemuntiran,
penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.

Menurut (Doenges, 2013:627) adapun penyebab fraktur antara lain:

1) Trauma Langsung
Yaitu fraktur terjadi di tempat dimana bagian tersebut mendapat ruda paksa misalnya
benturan atau pukulan pada anterbrachi yang mengakibatkan fraktur

2) Trauma Tak Langsung


Yaitu suatu trauma yang menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat kejadian
kekerasan.

3) Fraktur Patologik
Stuktur yang terjadi pada tulang yang abnormal(kongenital,peradangan, neuplastik dan
metabolik).

Menurut (aragon, 2000:627) adapun penyebab fraktur antara lain:

1) Trauma langsung/ direct trauma


Yaitu apabila fraktur terjadi di tempat dimana bagian tersebut mendapat ruda paksa (misalnya
benturan, pukulan yang mengakibatkan patah tulang).

2) Trauma yang tak langsung/ indirect trauma


Misalnya penderita jatuh dengan lengan dalam keadaan ekstensi dapat terjadi fraktur pada
pegelangan tangan

3) Trauma ringan pun dapat menyebabkan terjadinya fraktur bila tulang itu sendiri rapuh/
ada resiko terjadinya penyakit yang mendasari dan hal ini disebut dengan fraktur patologis.

4) Kekerasan akibat tarikan otot


Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi.Kekuatan dapat berupa pemuntir

KLASIFIKASI

Fraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang
yang biasanya di akibatkan secara langsung dan tidak langsung dan sering berhubungan
dengan olahraga, pekerjaan atau luka yang di sebabkan oleh kendaraan bermotor.
Penyebab patah tulang paling sering di sebabkan oleh trauma terutama pada anak-
anak, apabila tulang melemah atau tekanan ringan. (Doenges, 2013:627)
Menurut Carpenito (2014:47) adapun penyebab fraktur antara lain:
1) Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan. Fraktur
demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau miring.
2) Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat
terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam jalur
hantaran vektor kekerasan.

3) Kekerasan akibat tarikan otot


Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa pemuntiran,
penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.
Menurut (Doenges, 2000:627) adapun penyebab fraktur antara lain:
1) Trauma Langsung
Yaitu fraktur terjadi di tempat dimana bagian tersebut mendapat ruda paksa misalnya
benturan atau pukulan pada anterbrachi yang mengakibatkan fraktur

2) Trauma Tak Langsung


Yaitu suatu trauma yang menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat kejadian
kekerasan.

3) Fraktur Patologik
Stuktur yang terjadi pada tulang yang abnormal(kongenital,peradangan, neuplastik dan
metabolik).
Klasifikasi fraktur secara umum :
1) Berdasarkan tempat (Fraktur humerus, tibia, clavicula, ulna, radius dan cruris dst).
2) Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur:
a. Fraktur komplit (garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua korteks
tulang).
b. Fraktur tidak komplit (bila garis patah tidak melalui seluruh garis penampang tulang).
3) Berdasarkan bentuk dan jumlah garis patah :
a. Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.
b. Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan.
c. Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang yang
samaa

4) Berdasarkan posisi fragmen :


a. Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi kedua fragmen tidak
bergeser dan periosteum masih utuh.
b. Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga disebut lokasi
fragmen

5) Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).


a. Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia
luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur
tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma,
yaitu:

a) Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera jaringan lunak sekitarnya.
b) Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan.
c) Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam dan
pembengkakan.
d) Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata ddan ancaman sindroma
kompartement.
e) Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit.
Fraktur terbuka dibedakan menjadi beberapa grade yaitu :
i. Grade I : luka bersih, panjangnya kurang dari 1 cm.
ii. Grade II : luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang ekstensif.
iii. Grade III : sangat terkontaminasi, dan mengalami kerusakan jaringan lunak ekstensif.

6) Berdasar bentuk garis fraktur dan hubungan dengan mekanisme trauma :


a. Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan akibat
trauma angulasi atau langsung.
b. Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu tulang dan
meruakan akibat trauma angulasijuga.
c. Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang disebabkan trauma
rotasi.
d. Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong tulang ke
arah permukaan lain.
e. Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot pada
insersinya pada tulang.

7) Berdasarkan kedudukan tulangnya :


a. Tidak adanya dislokasi.
b. Adanya dislokasi
 At axim : membentuk sudut.
 At lotus : fragmen tulang berjauhan.
 At longitudinal : berjauhan memanjang.
 At lotus cum contractiosnum : berjauhan dan memendek.

8) Berdasarkan posisi frakur


Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian :
a. 1/3 proksimal
b. 1/3 medial
c. 1/3 distal
d. Fraktur Kelelahan : Fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
e. Fraktur Patologis : Fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang.

KOMPLIKASI
1. Komplikasi Awal
a. Kerusakan Artery
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT menurun,
cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan
oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan
pembedahan.

b. Kompartement Syndrom
Komplikasi ini terjadi saat peningkatan tekanan jaringan dalam ruang tertutup di otot,
yang sering berhubungan dengan akumulasi cairan sehingga menyebabkan hambatan aliran
darah yang berat dan berikutnya menyebabkan kerusakan pada otot. Gejala – gejalanya
mencakup rasa sakit karena ketidakseimbangan pada luka, rasa sakit yang berhubungan
dengan tekanan yang berlebihan pada kompartemen, rasa sakit dengan perenggangan pasif
pada otot yang terlibat, dan paresthesia. Komplikasi ini terjadi lebih sering pada fraktur
tulang kering (tibia) dan tulang hasta (radius atau ulna).

c. Fat Embolism Syndrom


Merupakan keadaan pulmonari akut dan dapat menyebabkan kondisi fatal. Hal ini
terjadi ketika gelembung – gelembung lemak terlepas dari sumsum tulang dan mengelilingi
jaringan yang rusak. Gelombang lemak ini akan melewati sirkulasi dan dapat menyebabkan
oklusi pada pembuluh – pembuluh darah pulmonary yang menyebabkan sukar bernafas.
Gejala dari sindrom emboli lemak mencakup dyspnea, perubahan dalam status mental
(gaduh, gelisah, marah, bingung, stupor), tachycardia, demam, ruam kulit ptechie.

d. Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi
dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur
terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.

e. Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang
bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia.
Nekrosis avaskular dapat terjadi saat suplai darah ke tulang kurang baik. Hal ini paling sering
mengenai fraktur intrascapular femur (yaitu kepala dan leher), saat kepala femur berputar
atau keluar dari sendi dan menghalangi suplai darah. Karena nekrosis avaskular mencakup
proses yang terjadi dalam periode waktu yang lama, pasien mungkin tidak akan merasakan
gejalanya sampai dia keluar dari rumah sakit. Oleh karena itu, edukasi pada pasien
merupakan hal yang penting. Perawat harus menyuruh pasien supaya melaporkan nyeri yang
bersifat intermiten atau nyeri yang menetap pada saat menahan beban

f. Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler yang
bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.

g. Osteomyelitis
Adalah infeksi dari jaringan tulang yang mencakup sumsum dan korteks tulang dapat berupa
exogenous (infeksi masuk dari luar tubuh) atau hematogenous (infeksi yang berasal dari
dalam tubuh). Patogen dapat masuk melalui luka fraktur terbuka, luka tembus, atau selama
operasi. Luka tembak, fraktur tulang panjang, fraktur terbuka yang terlihat tulangnya, luka
amputasi karena trauma dan fraktur – fraktur dengan sindrom kompartemen atau luka
vaskular memiliki risiko osteomyelitis yang lebih besar

2. Komplikasi Dalam Waktu Lama


a. Delayed Union (Penyatuan tertunda)
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang
dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena penurunan supai darah ke
tulang.

b. Non union (tak menyatu)


Penyatuan tulang tidak terjadi, cacat diisi oleh jaringan fibrosa. Kadang –kadang dapat
terbentuk sendi palsu pada tempat ini. Faktor – faktor yang dapat menyebabkan non union
adalah tidak adanya imobilisasi, interposisi jaringan lunak, pemisahan lebar dari fragmen
contohnya patella dan fraktur yang bersifat patologis..

c. Malunion
Kelainan penyatuan tulang karena penyerasian yang buruk menimbulkan deformitas, angulasi
atau pergeseran.

STADIUM PENYEMBUHAN FRAKTUR


Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur merangsang
tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan membentuk tulang baru diantara
ujung patahan tulang. Tulang baru dibentuk oleh aktivitas sel-sel tulang. Ada lima stadium
penyembuhan tulang, yaitu:
1. Stadium Satu-Pembentukan Hematoma
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah fraktur. Sel-sel darah
membentuk fibrin guna melindungi tulang yang rusak dan sebagai tempat tumbuhnya kapiler
baru dan fibroblast. Stadium ini berlangsung 24 – 48 jam dan perdarahan berhenti sama
sekali.

2. Stadium Dua-Proliferasi Seluler


Pada stadium ini terjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi fibro kartilago yang berasal
dari periosteum,`endosteum, dan bone marrow yang telah mengalami trauma. Sel-sel yang
mengalami proliferasi ini terus masuk ke dalam lapisan yang lebih dalam dan disanalah
osteoblast beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis. Dalam beberapa hari terbentuklah
tulang baru yg menggabungkan kedua fragmen tulang yang patah. Fase ini berlangsung
selama 8 jam setelah fraktur sampai selesai, tergantung frakturnya.

3. Stadium Tiga-Pembentukan Kallus


Sel–sel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan osteogenik, bila diberikan
keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan juga kartilago. Populasi sel ini
dipengaruhi oleh kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai berfungsi dengan mengabsorbsi
sel-sel tulang yang mati. Massa sel yang tebal dengan tulang yang imatur dan kartilago,
membentuk kallus atau bebat pada permukaan endosteal dan periosteal. Sementara tulang
yang imatur (anyaman tulang ) menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat fraktur
berkurang pada 4 minggu setelah fraktur menyatu.

4. Stadium Empat-Konsolidasi
Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah menjadi lamellar.
Sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan osteoclast menerobos melalui
reruntuhan pada garis fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoclast mengisi celah-celah yang
tersisa diantara fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan
mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang kuat untuk membawa beban yang normal.

5. Stadium Lima-Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa bulan atau
tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses resorbsi dan pembentukan tulang yang
terus-menerus. Lamellae yang lebih tebal diletidakkan pada tempat yang tekanannya lebih
tinggi, dinding yang tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya
dibentuk struktur yang mirip dengan normalnya.

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. X.Ray dilakukan untuk melihat bentuk patahan atau keadaan tulang yang cedera.
2. Bone scans, Tomogram, atau MRI Scans
3. Arteriogram : dilakukan bila ada kerusakan vaskuler.
4. CCT kalau banyak kerusakan otot.
5. Pemeriksaan Darah Lengkap
Lekosit turun/meningkat, Eritrosit dan Albumin turun, Hb, hematokrit sering rendah
akibat perdarahan, Laju Endap Darah (LED) meningkat bila kerusakan jaringan lunak sangat
luas, Pada masa penyembuhan Ca meningkat di dalam darah, traumaa otot meningkatkan
beban kreatinin untuk ginjal. Profil koagulasi: perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah,
transfusi multiple, atau cederah hati.

PENATALAKSANAAN MEDIS
Empat tujuan utama dari penanganan fraktur adalah :
1. Untuk menghilangkan rasa nyeri.
Nyeri yang timbul pada fraktur bukan karena frakturnya sendiri, namun karena terluka
jaringan disekitar tulang yang patah tersebut. Untuk mengurangi nyeri tersebut, dapat
diberikan obat penghilang rasa nyeri dan juga dengan tehnik imobilisasi (tidak menggerakkan
daerah yang fraktur). Tehnik imobilisasi dapat dicapai dengan cara pemasangan bidai atau
gips.

a. Pembidaian : benda keras yang ditempatkan di daerah sekeliling tulang


b. Pemasangan gips
Merupakan bahan kuat yang dibungkuskan di sekitar tulang yang patah. Gips yang ideal
adalah yang membungkus tubuh sesuai dengan bentuk tubuh. Indikasi dilakukan pemasangan
gips adalah :
 Immobilisasi dan penyangga fraktur
 Istirahatkan dan stabilisasi
 Koreksi deformitas
 Mengurangi aktifitas
 Membuat cetakan tubuh orthotik
 Sedangkan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemasangan gips adalah :
 Gips yang pas tidak akan menimbulkan perlukaan
 Gips patah tidak bisa digunakan
 Gips yang terlalu kecil atau terlalu longgar sangat membahayakan klien
 Jangan merusak / menekan gips
 Jangan pernah memasukkan benda asing ke dalam gips / menggaruk
 Jangan meletakkan gips lebih rendah dari tubuh terlalu lama

2. Untuk menghasilkan dan mempertahankan posisi yang ideal dari fraktur.
Bidai dan gips tidak dapat mempertahankan posisi dalam waktu yang lama. Untuk itu
diperlukan lagi tehnik yang lebih mantap seperti pemasangan traksi kontinyu, fiksasi
eksternal, atau fiksasi internal tergantung dari jenis frakturnya sendiri.

a. Penarikan (traksi) :
Secara umum traksi dilakukan dengan menempatkan beban dengan tali pada ekstermitas
pasien. Tempat tarikan disesuaikan sedemikian rupa sehingga arah tarikan segaris dengan
sumbu panjang tulang yang patah. Metode pemasangan traksi antara lain :
 Traksi manual
Tujuannya adalah perbaikan dislokasi, mengurangi fraktur, dan pada keadaan emergency
 Traksi mekanik, ada 2 macam :
o Traksi kulit (skin traction)
Dipasang pada dasar sistem skeletal untuk sturktur yang lain misal otot. Digunakan dalam
waktu 4 minggu dan beban < 5 kg.
o Traksi skeletal
Merupakan traksi definitif pada orang dewasa yang merupakan balanced traction. Dilakukan
untuk menyempurnakan luka operasi dengan kawat metal / penjepit melalui tulang / jaringan
metal.

Kegunaan pemasangan traksi, antara lain :


 Mengurangi nyeri akibat spasme otot
 Memperbaiki & mencegah deformitas
 Immobilisasi
 Difraksi penyakit (dengan penekanan untuk nyeri tulang sendi)
 Mengencangkan pada perlekatannya

Prinsip pemasangan traksi :


 Tali utama dipasang di pin rangka sehingga menimbulkan gaya tarik
 Berat ekstremitas dengan alat penyokong harus seimbang dengan pemberat agar reduksi dapat
dipertahankan
 Pada tulang-tulang yang menonjol sebaiknya diberi lapisan khusus
 Traksi dapat bergerak bebas dengan katrol
 Pemberat harus cukup tinggi di atas permukaan lantai
PEMBEDAHAN
PENGERTIAN ORIF
ORIF (Open Reduction Internal Fixation) adalah suatu bentuk pembedahan dengan
pemasangan internal fiksasi pada tulang yang mengalami fraktur.
Tujuan dari operasi ORIF untuk mempertahankan posisi fragmen tulang agar tetap
menyatu dan tidak mengalami pergeseran. Internal fiksasi ini berupa Intra Medullary Nail
biasanya digunakan untuk fraktur tulang panjang dengan tipe fraktur tranvers

PENGERTIAN OREF
OREF adalah reduksi terbuka dengan fiksasi internal di mana prinsipnya tulang
ditransfiksasikan di atas dan di bawah fraktur , sekrup atau kawat ditransfiksi di bagian
proksimal dan distal kemudian dihubungkan satu sama lain dengan suatu batang lain
Fiksasi eksternal digunakan untuk mengobati fraktur terbuka dengan kerusakan
jaringan lunak . Alat ini memberikan dukungan yang stabil untuk fraktur kominutif ( hancur
atau remuk ) . Pin yang telah terpasang dijaga agar tetap terjaga posisinya , kemudian
dikaitkan pada kerangkanya. Fiksasi ini memberikan rasa nyaman bagi pasien yang
mengalami kerusakan fragmen tulang.
Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada gambar berikut ini :
1. Indikasi
a) Fraktur terbuka grade II dan III
b) Fraktur terbuka yang disertai hilangnya jaringan atau tulang yang parah.
c) Fraktur yang sangat kominutif ( remuk ) dan tidak stabil.
d) Fraktur yang disertai dengan kerusakan pembuluh darah dan saraf.
e) Fraktur pelvis yang tidak bisa diatasi dengan cara lain.
f) Fraktur yang terinfeksi di mana fiksasi internal mungkin tidak cocok. Misal : infeksi
pseudoartrosis ( sendi palsu ).
g) Non union yang memerlukan kompresi dan perpanjangan.
h) Kadang – kadang pada fraktur tungkai bawah diabetes melitus.

2. Keuntungan dan Komplikasi Eksternal Fiksasi


Keuntungan eksternal fiksasi adalah :
Fiksator ini memberikan kenyamanan bagi pasien , mobilisasi awal da latihan awal untuk
sendi di sekitarnya sehingga komplikasi karena disuse dan imobilisasi dapat diminimalkan

Sedangkan komplikasinya adalah :.


a) Infeksi di tempat pen ( osteomyelitis ).
b) Kekakuan pembuluh darah dan saraf.
c) Kerusakan periostium yang parah sehingga terjadi delayed union atau non union .
d) Emboli lemak.
e) Overdistraksi fragmen.

PENGKAJIAN ASUHAN KEPERAWATAN


Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk
itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga dapat
memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat
bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:
1. Pengumpulan Data
a. Anamnesa
1) NIdentitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status perkawinan,
pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.

2) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut
atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap
tentang rasa nyeri klien digunakan:
a) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor presipitasi
nyeri.
b) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien. Apakah
seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
c) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau
menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
d) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa
berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi
kemampuan fungsinya.
e) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada malam hari atau
siang hari.

3) Riwayat Penyakit Sekarang


Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang nantinya
membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi
terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan
bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya
kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain

4) Riwayat Penyakit Dahulu


Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi petunjuk berapa
lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan
penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung.
Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis
akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang

5) Riwayat Penyakit Keluarga


Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu faktor
predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada
beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetic

6) Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran klien dalam
keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik
dalam keluarga ataupun dalam masyarakat

7) Pola-Pola Fungsi Kesehatan


a. Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus
menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu,
pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat
mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu
keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak

b. Pola Nutrisi dan Metabolisme


Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti
kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang.
Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah
muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama
kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi
masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat
degenerasi dan mobilitas klien

c. Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu
perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi
alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan
jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak. Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat
mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada
lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat
tidur.
d. Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien menjadi
berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu
dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk
pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang lain

e. Pola Hubungan dan Peran


Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien harus
menjalani rawat inap

f. Pola Persepsi dan Konsep Diri


Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan akibat
frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan
pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image)

g. Pola Sensori dan Kognitif


Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedang pada
indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami
gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur

h. Pola Reproduksi Seksual


Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual karena harus
menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu
juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya

i. Pola Penanggulangan Stress


Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan timbul
kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak
efektif.

j. Pola Tata Nilai dan Keyakinan


Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik terutama
frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien

Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk
mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat
melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi hanya
memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam.

1) Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti:

1.Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung pada keadaan
klien.
2.Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada kasus fraktur
biasanya akut.
3.Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk.

Secara sistemik dari kepala sampai kelamin


 Sistem Integumen
o Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan.
 Kepala
o Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri
kepala.
 Leher
o Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada.
 Muka
o Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada
lesi, simetris, tak oedema.
 Mata
o Terdapat gangguan seperti konjungtiva anemis (jika terjadi perdarahan)
 Telinga
o Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan.
 Hidung
o Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
 Mulut dan Faring
o Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
 Thoraks
o Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
 Paru
 Inspeksi
1. Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat penyakit klien yang
berhubungan dengan paru.
 Palpasi
2. Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
 Perkusi
3. Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
 Auskultasi
4. Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya seperti stridor dan
ronchi.
(11) Jantung
(a) Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
(b) Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
(c) Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.

(12) Abdomen
(a) Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
(b) Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
(c) Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
(d) Auskultasi
Peristaltik usus normal  20 kali/menit.
(13) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.
2) Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama mengenai status
neurovaskuler (untuk status neurovaskuler  5 P yaitu Pain, Palor, Parestesia, Pulse,
Pergerakan). Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah:
a) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
(1) Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas operasi).
(2) Cape au lait spot (birth mark).
(3) Fistulae.
(4) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
(5) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa (abnormal).
(6) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
(7) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
b) Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai dari posisi netral
(posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua
arah, baik pemeriksa maupun klien.
Yang perlu dicatat adalah:
(1) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit. Capillary refill
time  Normal > 3 detik
(2) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema terutama disekitar
persendian.
(3) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal, tengah, atau distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang terdapat di permukaan atau
melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan,
maka sifat benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap
dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.
c) Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan menggerakan ekstrimitas
dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini
perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat
dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam
ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau
tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.
NO DATA PENUJANG ANALISA DATA & PATOFLOW DIAGNOSA KEPERAWATAN

1 DS: Kecelakaan Nyeri


 Klien mengeluh nyeri
DS:
 Biasanya klien tampak
meringis
 Tanda-tanda vital tarauma langsung
menigkat
 Sekala nyeri menigkat
 Terdapat luka tekan tekanan padatulang

tidak mampu meredam energy

yang terlalu besar

fraktur

merusak jaringan sekitar

pelepasan mediator nyeri


(histamine, prostaglandin, bradi kinin,
serotonin)

Ditangkap resepator nyeri perifer

Inflak ke otak

Persepsi nyeri
nyeri

ANALISA KEPERAWATAN

NO DATA PENUJANG ANALISA DATA & PATOFLOW DIAGNOSA KEPERAWATAN


2 DS: - Kecelakaan Resiko infeksi

DS:
 Adanya luka post oprasi
 Luka masih basah
 Terjadi peningkatan tarauma langsung
leukosit
 Luas pembedahan
bertanbah tekanan padatulang
 Terdapat tanda-tanda
infeksi
 Luka menjadi bau
tidak mampu meredam energy

yang terlalu besar

fraktur

prosedur post oprasi

dilakukan tindakan pembedahan

terputusnya kontuinitas jaringan

luka masih bsah

tempat yang baik untuk


mikroorganisme

resiko infeksi
ANALISA KEPERAWATAN

NO DATA PENUJANG ANALISA DATA & PATOFLOW DIAGNOSA KEPERAWATAN


3 DS: Kecelakaan Cemas
 Biasanya klien
mengatakan ingin cpat
sembuh
DS:
 Gelisah tarauma langsung
 Insomnia
 Ketakutan
 Focus pada diri tekanan padatulang
 kekhawatiran

tidak mampu meredam energy

yang terlalu besar

fraktur

prosedur post oprasi

dilakukan tindakan pembedahan

kurang pengetahuan tentang


penyakitnya

tidak mengetahui prosedur


perawatan luka

cemas
ANALISA KEPERAWATAN

NCP (RENCANA KEPERAWATAN)


NO DIAGNOSA RENCANA KEPERAWATAN
KEPERAWATAN TUJUAN (NOC) INTERVENSI (NIC)

1 Nyeri berhubungan dengan NOC 1) Lakukan pengkajian secara


luka post oprasi di tandai o Pain level komprensif termasuk lokasi
dengan o Pain control karakteristik dan durasi
DS: o Compont level
 Laporan secara verbal Setelah dilakukan tindakan 2) Observasi TTV
tentang nyeri keperawatan
DO: selama…………..diharapkan
 Posisi untuk menahan 3) Kontrol lingkungan
masalah keperawatan dapat
nyeri mempengaruhi nyeri, seperti suhu
teratasi dengan criteria hasil:
ruangan, pencahayaan dan
 Tingkah laku berhati-hati  Mampu mengontrol nyeri
kebisingan
 Ganguan tidur  Melaporkan nyeri berkurang
 Terfokus pada diri sendiri  Sekala nyeri berkurang 4) Bantu klien dan keluarga untuk
 TTV Meningkat  TTV dalam rentang normal mencari menemukan dukungan
 Sekala nyeri meningkat  Tidak mengalami ganguan tidur
 Tampak luka tekan  Tidak terdapat luka tekan 5) Ajarkan tentang therapy non
farmakologi
 Teknik nafas dalam
 Distraksi
 Rileksasi
 Kompres hangat

6) Tingkatkan istirahat

7) Kolaborasi dengan dokter untuk


pemberian analgetik

8) Monitor vital sign sebelum dan


sesudah analgetik pertamakali

NCP (RENCANA KEPERAWATAN)


NO DIAGNOSA RENCANA KEPERAWATAN
KEPERAWATAN TUJUAN (NOC) INTERVENSI (NIC)
2 Resiko infeksi NOC 1) Pertahankan teknik asptik
berhubungan dengan o Immune status
terputusnya kontuinitas o Infection status 2) Batasi pengunjung
jaringan ditandai dengan o Risk kontrol
DS: - Setelah dilakukan tindakan 3) Cuci tangan setiap dan sesudah
keperawatan selama………….. tindakan keperawatan
DO: diharapkan masalah
 Adanya luka post oprasi keperawatan dapat teratasi
4) Tingkatkan TTV
 Mengobservasi apakah dengan criteria hasil:
luka masih basah 5) Monitor tanda dan gejala infeksi
 Klien bebas dari infeksi sistemik dan local
 Hasil LAB,Leukosit  Menunjukan kemampuan untuk
meningkat mencegah infeksi 6) Pertahankan teknik isolasi
 TTV meningkat terutama  Luka cepat sembuh
suhu  Jumlah leukosit dalam batas 7) Mengevaluasi suhu tubuh setiap
 Luas luka bertambah normal 4 jam
 Terdapat tanda-tanda  TTV Normal terutama suhu
infeksi  Tidak ada luka tekan 8) Lakukan perawatan luka steril
 Luka menjadi bau
9) Kolaborasi dengan dokter
pemberian antibiotic

10) Ajarkan klien dan keluarga tanda


dan gejala infeksi

NCP (RENCANA KEPERAWATAN)


NO DIAGNOSA RENCANA KEPERAWATAN
KEPERAWATAN TUJUAN (NOC) INTERVENSI (NIC)
3 Cemas berhubungan NOC 1) gunakan pendekatan yang
dengan kurang o control kecemasan tentang menyenangkan
pengetahuan tentang penyakit
penyakitnya Setelah dilakukan tindakan 2) jelaskan semua prosedur
DS: - keperawatan selama………….. keperawatan yang akan di
 Biasanya klien diharapkan masalah berikan
mengatakan ingin cepat keperawatan dapat teratasi
sembuh dengan criteria hasil: 3) temani kilen untuk memberikan
 Kelien mengatakan ingin  klien mampu mengidentivikasi keamanan dan mengurangi takut
cepat pulang dan mengatasi kecemasan
DO:  tidak gelisah 4) berikan informasi actual
 tidak cemas mengenai diagnosis, dan
 Gelisah
 tidak resah informasi penyakit
 Insomnia
 Resah  tidak insomnia
 Ketakutan  tidak ketakutan
5) libatkan keluarga untuk
 Focus pada diri sendiri  tidak khawatir
mendampingi klien
 khawatiran
6) dengarkan dengan penuh
harapan

7) melakukan penkes tentang


penyakitnya

8) intruksikan klien untuk


mengunakan teknik rileksasi

DAFTAR PUSTAKA

Brunner, Suddarth. 2015. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol.3. EGC. Jakarta
Carpenito, LJ. 2011. Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 6 . Jakarta: EGC
Doengoes, M.E., 2010, Rencana Asuhan Keperawatan, EGC, Jakarta.
Ircham Machfoedz, 2007. Pertolongan Pertama di Rumah, di Tempat Kerja, atau di
Perjalanan. Yogyakarta: Fitramaya
Johnson, M., et all. 2014. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition. New Jersey: Upper
Saddle River
Mansjoer, A dkk. 2013. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius
Mc Closkey, C.J., et all. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC) Second Edition. New Jersey:
Upper Saddle River
Santosa, Budi. 2013. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006. Jakarta: Prima Medika
Smeltzer, S.C., 2013, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, EGC, Jakarta.
Brunner dan Suddarth, 2002, Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 3, EGC, Jakarta
Carpenito (2013), Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktik Klinis, Ed. 6, EGC, Jakarta
Doenges at al (2015), Rencana Asuhan Keperawatan, Ed.3, EGC, Jakarta
Herman Santoso, dr., SpBO (2016), Diagnosis dan Terapi Kelainan Sistem Muskuloskeletal, Diktat
Kuliah PSIK, tidak dipublikasikan.

LP 2

Konsep Dasar Fraktur


1. Pengertian
Untuk memperkaya pemahaman akan konsep fraktur, berikut ini akan dibahas tentang pengertian, etiologi,
patofisiologi, klasifikasi, manifestasi klinis, komplikasi fraktur, pemeriksaan diagnostik dan penatalaksanaan
fraktur.
Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan, baik yang bersifat total maupun sebagian. (Muttaqin,
Arif. 2008 ; 69)
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. (Smeltzer, Suzanne C,
dkk. 2001 ; 2357).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh
rudapaksa. (Mansjoer, Arif, dkk. 2000 ; 346).
Fraktur adalah peristiwa patahnya atau distrupsi pada tulang. (Ignatavicius, Donna D. 1992 ; 232).
2. Etiologi
Sebagian besar patah tulang merupakan akibat dari cedera, seperti kecelakaan mobil, olah raga atau karena
jatuh. Patah tulang terjadi jika tenaga yang melawan tulang lebih besar dari pada kekuatan tulang. Jenis dan
beratnya patah tulang dipengaruhi oleh :
a. Arah, kecepatan dan kekuatan dari tenaga yang melawan tulang.
b. Usia penderita.
c. Kelenturan tulang dan jenis tulang.
3. Patofisiologi
Ketika patah tulang, terjadi kerusakan di korteks, pembuluh darah, sumsum tulang dan jaringan lunak. Akibat
dari hal tersebut terjadi perdarahan, kerusakan tulang dan jaringan sekitarnya. Keadaan ini menimbulkan
hematom pada kanal medul antara tepi tulang bawah periostrium dengan jaringan tulang yang mengatasi
fraktur. Terjadinya respon inflamasi akibat sirkulasi jaringan nekrotik ditandai dengan fase vasodilatasi dari
plasma dan leukosit, ketika terjadi kerusakan tulang, tubuh mulai melakukan proses penyembuhan untuk
memperbaiki cedera, tahap ini menunjukkan tahap awal penyembuhan tulang. Hematom yang terbentuk biasa
menyebabkan peningkatan tekanan dalam sumsum tulang yang kemudian merangsang pembebasan lemak dan
gumpalan lemak tersebut masuk kedalam pembuluh darah yang mensuplai organ-organ yang lain. Hematom
menyebabkan dilatasi kapiler di otot, sehingga meningkatkan tekanan kapiler di otot, sehingga meningkatkan
tekanan kapiler, kemudian menstimulasi histamin pada otot yang iskemik dan menyebabkan protein plasma
hilang dan masuk ke interstitial. Hal ini menyebabkan terjadinya edema. Edema yang terbentuk akan menekan
ujung syaraf, yang bila berlangsung lama bisa menyebabkan syndrom comportement (Sumber
: http://www.eradius.com diakses tanggal 4 Juli 2009)
Skema 2.1 : Patofisiologi Fraktur

4. Klasifikasi
a. Berdasarkan parahnya integritas kulit, lokasi, bentuk, patahan dan status kelurusan.
1) Fraktur tertutup, adalah fraktur yang tertutup karena integritas kulit masih utuh atau tetap tak berubah.
2) Fraktur terbuka, adalah fraktur karena integritas kulit robek atau terbuka dan ujung tulang menonjol sampai
menembus kulit.
3) Fraktur komplit, adalah fraktur yang luas dan melintang. Biasanya dengan perpindahan posisi tulang.
4) Fraktur tak komplit, adalah hanya sebagian dari tulang yang retak.
b. Tipe fraktur yang berat.
1) Greenstick, fraktur yang tidak sempurna dan biasanya sering terjadi pada anak-anak.
2) Transversal, fraktur luas yang melintang dari tulang.
3) Oblik, fraktur yang memiliki arah miring.
4) Spiral, fraktur luas yang mengelilingi tulang.
5) Comuminuted, fraktur ini terjadi mencakup beberapa fragmen.
6) Depresi, fraktur ini terjadi pada tulang pipih, khususnya tulang tengkorak dimana kekerasan langsung
mendorong bagian tulang masuk kedalam.
7) Kompresi, fraktur dimana tulang mengalami kompresi (terjadi pada tulang belakang).
8) Patologik, terjadi jika sebuah tumor (biasanya kanker) telah tumbuh kedalam tulang dan menyebabkan tulang
menjadi rapuh. Tulang yang rapuh bisa mengalami patah tulang meskipun dengan cedera ringan atau bahkan
tanpa cedera sama sekali.
9) Avulsi, disebabkan oleh kontraksi otot yang kuat, sehingga menarik bagian tulang tempat tendon tersebut
melekat. Paling sering terjadi pada bahu dan lutut, tetapi bisa juga terjadi pada tungkai dan tumit.

Gambar 2.3 : Jenis-jenis Fraktur

(Sumber : http://www.yayanakhyar.com Diakses pada tanggal 1 Juli 2009)


5. Manifestasi klinis
a. Nyeri tekan, rasa sakit akan bertambah dengan gerakan dan penekanan diatas fraktur.
b. Deformitas, disebabkan oleh otot-otot ekstremitas yang menarik patahan tulang.
c. Krepitasi, rasa gemeretek ketika ujung tulang bergeser.
d. Gangguan fungsi, ekstremitas tidak dapat digerakan.
e. Motilitas abnormal, tempat patah menjadi sendi palsu.
6. Komplikasi fraktur
a. Komplikasi awal
1) Sindrom emboli lemak
Sindrom emboli lemak merupakan keadaan pulmunori akut dan dapat menyebabkan kondisi fatal. Hal ini terjadi
ketika gelembung-gelembung lemak terlepas dari sum-sum tulang dan mengelilingi jaringan yang rusak.
2) Sindrom kompartemen
Komplikasi ini terjadi saat peningkatan tekanan jaringan dalam ruang tertutup diotot, yang sering berhubungan
dengan akumulasi cairan sehingga menyebabkan hambatan aliran darah yang berat dan berikutnya
menyebabkan kerusakan pada otot.
3) Osteomyelitis
Adalah infeksi dari jaringan tulang dapat berupa exogenous (infeksi masuk dari luar tubuh) atau hematogenous
(infeksi yang berasal dari dalam tubuh).
4) Gas ganggren
Gas ganggren berasal dari infeksi yang disebabkan oleh bakterium saprophstik gram positif anaerob yaitu antara
lain Clostridium welchi. Clostridium biasanya akan tumbuh pada luka dalam yang mengalami perubahan suplai
oksigen karena trauma.
b. Komplikasi lanjut
Menurut Rasjad, Chairuddin. 2003 ; 347.
1) Penyembuhan fraktur yang abnormal
Penyembuhan fraktur yang abnormal dapat terjadi karena :
• Malunion
• Delayed union
• Nonunion
2) Gangguan pertumbuhan oleh karena adanya trauma pada lempeng epifisis.
Gangguan lempeng epifisis karena trauma dapat mengenai sebagian lempeng epifisis dengan akibat
pertumbuhan yang lebih pada satu sisi dibanding dengan sisi lain berupa deformitas valgus atau varus pada
sendi yang terkena.
3) Atrofi sudeck
Komplikasi ini biasanya ditemukan akibat kegagalan penderita untuk mengembalikan fungsi normal tangan atau
kaki setelah penyembuhan trauma.
7. Pemeriksaan diagnostik
a. Sinar X, menampakan perubahan struktural atau fungsi fungsional tulang dan sendi.
b. Artroskopi, bila terjadi trauma pada lutut dan dengan pemeriksaan ini diagnosis yang akurat dapat dilakukan.
c. Myelographi, untuk mengevaluasi kerusakan jaringan chodaspinalis dan ujung-ujung syaraf.
d. Scan tulang, membantu mendeteksi adanya penyakit keganasan, trauma, masalah degeneratif dan
osteomyelitis.
e. Hitung darah lengkap, apakah ada peningkatan hematokrit dan leukosit.
8. Penatalaksanaan
a. Prinsip penanganan fraktur
1) Rekognisi
Prinsip utama adalah mengetahui dan menilai keadaan fraktur dengan anamnesis, pemeriksaan klinis, dan
radiologi. Pada awal pengobatan perlu diperhatikan lokasi fraktur, bentuk fraktur, menentukan tehnik yang
sesuai untuk pengobatan dan komplikasi yang mungkin terjadi selama dan sesudah pengobatan.
2) Reduksi
Reduksi fraktur adalah mengembalikan fungsi normal dan mencegah komplikasi seperti kekakuan, deformitas
serta perubahan osteoarthritis dikemudian hari.
3) Retensi
Adalah metode yang dilaksanakan untuk mempertahankan fragmen-fragmen tersebut selama masa
penyembuhan dengan cara imobilisasi.
4) Rehabilitasi
Adalah mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin.
b. Mempertahankan imobilisasi dalam fraktur
Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus di imobilisasi atau dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran
yang benar sampai terjadi penyatuan.
1) Open Reduction and Internal Fixation (ORIF) atau Reduksi terbuka dengan Fiksasi Internal.
ORIF akan mengimobilisasi fraktur dengan melakukan pembedahan untuk memasukan paku, sekrup atau pen
kedalam tempat fraktur untuk memfiksasi bagian-bagian tulang pada fraktur secara bersamaan. Fiksasi internal
sering digunakan untuk merawat fraktur pada tulang pinggul yang sering terjadi pada orang tua.

Gambar 2.4 : Tulang yang Terpasang Plated & Screw (ORIF)

(Sumber : http://www.nlm.nih.gov diakses pada tanggal 4 Juli 2009)


2) Open Reduction and External Fixation (OREF) atau Reduksi Terbuka dengan Fiksasi Eksternal
Tindakan ini merupakan pilihan bagi sebagian besar fraktur. Fiksasi eksternal dapat menggunakan
konselosascrew atau dengan metilmetakrilat (akrilik gigi) atau fiksasi eksterna dengan jenis-jenis lain seperti
gips.

Gambar 2.5 : Tulang yang Terpasang Plated & Screw (OREF)

(Sumber : http://www.nlm.nih.gov diakses pada tanggal 4 Juli 2009)


C. Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Fraktur
Pada asuhan keperawatan diuraikan mulai dari pengkajian, diagnosa, intervensi, implementasi dan evaluasi.
Adapun pengkajian sebagai berikut :
1. Pengkajian
Menurut Doenges, Marilynn. 2000 : 761 adalah data dasar pengkajian klien adalah sebagai berikut :
a. Aktivitas/Istirahat
Tanda : Keterbatasan atau kehilangan fungsi pada bagian yang terkena (mungkin segera, fraktur itu sendiri, atau
terjadi secara sekunder, dari pembengkakan jaringan, nyeri).
b. Sirkulasi
Tanda : Hipertensi (kadang-kadang terlihat sebagai respon terhadap nyeri atau ansietas) dan hipotensi.
Takikardia (respon stress, hipovolemia). Penurunan atau tak ada nadi pada bagian distal yang cedera, pengisian
kapiler lambat, pucat pada bagian yang terkena. Pembengkakan jaringan atau massa hematoma pada sisi
cedera.
c. Neurosensori
Gejala : Hilang gerakan atau sensasi, spasme otot. Kebas atau kesemutan (parestesis).
Tanda : Deformitas lokal; angulasi abnormal, pemendekan, rotasi, krepitasi, spasme otot, terlihat kelemahan
atau hilang fungsi. Agitasi (mungkin berhubungan dengan nyeri atau ansietas atau trauma lain).
d. Nyeri/kenyamanan
Gejala : Nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi pada area jaringan atau kerusakan tulang;
dapat berkurang pada imobilisasi); tak ada nyeri akibat kerusakan saraf. Spasme atau kram otot setelah
imobilisasi).
e. Keamanan
Tanda : Laserasi kulit, avulsi jaringan, perdarahan, perubahan warna. Pembengkakan lokal (dapat meningkat
secara bertahap atau tiba-tiba).
f. Penyuluhan/pembelajaran
Gejala : Lingkungan cedera. Memerlukan bantuan dengan transportasi, aktivitas perawatan diri, dan tugas
pemeliharaan atau perawatan rumah.
2. Diagnosa Keperawatan
Menurut Doenges, Marilynn dan Lynda juall, Carpenito diagnosa keperawatan yang dapat di tegakkan pada klien
dengan fraktur meliputi :
a. Resiko tinggi trauma berhubungan dengan kehilangan integritas tulang (fraktur).
b. Nyeri akut berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema dan cedera pada jaringan
lunak.
c. Resiko tinggi disfungsi neurovaskuler perifer, berhubungan dengan penurunan aliran darah ; cedera vaskuler
langsung, edema berlebihan, pembentukan trombus.
d. Resiko tinggi kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan aliran darah atau emboli lemak,
perubahan membran alveolar atau kapiler.
e. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi restriktik
(imobilisasi tungkai).
f. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan cedera tusuk, fraktur terbuka, bedah perbaikan,
pemasangan traksi, pen, kawat, sekrup.
g. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan primer; kerusakan kulit, trauma
jaringan, terpajan pada lingkungan.
h. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan)
berhubungan dengan tidak mengenal sumber informasi.
i. Defisit perawatan diri berhubungan dengan keterbatasan pergerakan sekunder akibat fraktur.
j. Kurang aktivitas pengalihan berhubungan dengan kejenuhan monoton sekunder akibat alat imobilisasi.
k. Resiko hambatan pemeliharaan rumah berhubungan dengan alat viksasi, hambatan mobilitas fisik, tidak
tersedianya sistem pendukung.
l. Gangguan proses keluarga berhubungan dengan kesulitan individu yang sakit dalam mengambil peran,
tanggung jawab sekunder akibat keterbatasan gerak.
m. Resiko ketidakefektifan penatalaksanaan program terapeutik berhubungan dengan ketidak cukupan
pengetahuan tentang kondisi, tanda dan gejala, komplikasi, keterbatasan aktifitas.
3. Perencanaan dan Implementasi
a. Resiko tinggi trauma berhubungan dengan kehilangan integritas tulang (fraktur).
Kriteria hasil :
1) Mempertahankan stabilisasi dan posisi fraktur
2) Menunjukkan mekanika tubuh yang meningkat stabilisasi pada sisi fraktur.
Intervensi :
1) Pertahankan tirah baring atau ekstremitas sesuai indikasi.
2) Letakan papan dibawah tempat tidur atau tempatkan pasien pada tempat tidur ortopedik.
3) Sokong fraktur dengan bantalan atau gulungan selimut.
b. Nyeri akut berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema dan cedera pada jaringan
lunak.
Kriteria hasil :
1) Menyatakan nyeri hilang
2) Menunjukkan tindakan santai, maupun beradaptasi dalam aktivitas hidup
Intervensi :
1) Pertahankan imobilisasi
2) Tinggikan dan dukung ekstremitas yang terkena
3) Berikan alternatif tindakan kenyamanan, contoh pijatan, pijatan punggung, perubahan posisi.
4) Selidiki adanya keluhan nyeri yang tak biasa atau tiba-tiba atau dalam, lokasi progesif atau buruk tidak hilang
dengan analgetik.
5) Lakukan kompres dingin atau es 24 – 48 jam pertama dan sesuai keperluan.
6) Berikan obat sesuai indikasi.
c. Resiko tinggi disfungsi neurovaskuler perifer berhubungan dengan penurunan aliran darah; cedera vaskuler
langsung, edema berlebihan, pembentukan trombus.
Kriteria hasil :
1) Mempertahankan perfusi jaringan dibuktikan oleh terabanya nadi, kulit, hangat atau kering, sensasi normal,
sensori biasa, tanda vital stabil dan haluaran urine adekuat untuk situasi individu.
Intervensi :
1) Lepaskan perhiasan dari ekstremitas yang sakit
2) Kaji aliran kapiler, warna kulit dan kehangatan distal pada fraktur.
3) Kaji jaringan sekitar gips untuk titik yang kasar atau tekanan. Selidiki keluhan “rasa terbakar“ dibawah gips.
4) Selidiki tanda iskemia
5) Awasi tanda vital
d. Resiko tinggi kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan aliran darah atau emboli lemak,
perubahan membran alveolar atau kapiler.
Kriteria hasil :
1) Mempertahankan fungsi pernafasan adekuat, dibuktikan oleh tidak adanya sianosis.
Intervensi :
1) Awasi frekuensi pernafasan
2) Instruksikan dan bantu dalam latihan nafas dalam dan batuk. Reposisi dengan sering.
3) Berikan tambahan O2 bila diindikasikan.
4) Perhatikan peningkatan kegelisahan, kacau, latergi, stupor.
e. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif
(imobilisasi tungkai).

Kriteria hasil :
1) Meningkatkan atau mempertahankan mobilitas pada tingkat paling tinggi yang mungkin.
2) Mempertahankan posisi fungsional.
3) Meningkatkan kekuatan atau fungsi yang sakit dan mengkompensasi bagian tubuh.
Intervensi :
1) Kaji derajat imobilitas
2) Dorong partisipasi pada aktivitas terapeutik atau rekreasi.
3) Dorong penggunaan latihan isometrik mulai dengan tungkai yang tak sakit.
4) Bantu atau dorong perawatan diri atau kebersihan.
5) Auskultasi bising usus.
f. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan cedera tusuk, fraktur terbuka, bedah perbaikan,
pemasangan traksi, pen, kawat, sekrup.
Kriteria hasil :
1) Menyatakan ketidaknyaman hilang
2) Menunjukkan perilaku atau teknik untuk mencegah kerusakan kulit atau memudahkan penyembuhan sesuai
indikasi.
3) Mencapai penyembuhan luka sesuai waktu atau penyembuhan lesi terjadi.

Intervensi :
1) Kaji kulit untuk luka terbuka.
2) Masase kulit dan penonjolan tulang.
3) Bersihkan kulit dengan menggunakan sabun dan air.
4) Ubah posisi dengan sering.
g. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan primer; kerusakan kulit; trauma
jaringan, terpajan pada lingkungan.
Kriteria hasil :
1) Mencapai penyembuhan luka sesuai waktu, bebas drainase purulen atau eritema dan demam.
Intervensi :
1) Inspeksi kulit adanya iritasi atau robekan kontinuitas.
2) Berikan perawatan steril sesuai protokol dan latihan mencuci tangan.
3) Instruksikan pasien untuk tidak menyebutkan sisi insersi.
4) Awasi pemeriksaan laboratorium.
5) Berikan obat sesuai indikasi seperti antibiotika.
h. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan) berhubungan
dengan tidak mengenal sumber informasi.
Kriteria hasil :
1) Menyatakan pemahaman kondisi, prognosis dan pengobatan.
2) Melakukan dengan benar prosedur yang diperlukan dan menjelaskan alasan tindakan.
Intervensi :
1) Kaji ulang patologi, prognosis dan harapan yang akan datang.
2) Beri penguatan metode mobilitas dan ambulasi sesuai instruksi dengan terapi fisik bila diindikasikan.
3) Dorong pasien untuk melanjutkan latihan aktif untuk sendi diatas dan dibawah fraktur.
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan, Edisi 10. Jakarta : EGC.
Doenges, Marilynn E. et.al. (2000) Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi 3. (Alih bahasa oleh : I Made Kariasa, dkk). Jakarta : EGC.
Hidayat, Aziz Alimus. 2004. Pengantar Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.
Ignatavicius, Donna D. 1992. Pocket Companion For Medical Surgical Nursing. United States Of Amerika : W.B.
Saunders Company.
Lindsay, David T. 1996. Functional Human Anatomy. United States of America : Mosby.
Mansjoer, Arif, et. al. (2000). Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3. Jakarta : Media Aesculapius.
Martini, Frederich H. (2001). Fundamentals of Anatomy and Physiology, Fourth Edition. New Jersey : Prentice
Hall.
Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Jakarta : EGC.
Pearce, Evelyn. 2006. Anatomi dan Fisiologi Untuk Para Medis. Jakarta : PT. Gramedia.
Price, Sylvia A, Wilson, Lorraine M. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta : EGC.
Rasjad, Chairuddin. 2003. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Makasar : Lintang Imumpasue.
Reeves, Charlene J, 2001. Keperawatan Medikal Bedah (Penerjemah Joko Setyono). Jakarta : Penerbit Salemba
Medica.
Smeltzer, Suzanne C. Bare Brenda G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal – Bedah Brunner & Suddarth, Edisi
8. Jakarta : EGC
Syaifuddin. 2006. Anatomi Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan, Edisi III. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai