Disusun Oleh :
EFI KHORI’AH
NIM : 72020040032
PROFESI NERS
D. PATHOFISIOLOGI
Terjadinya DM tipe 2 utamanya disebabkan oleh resistensi insulin
(Raju dan Raju, 2010 dalam Ozougwu et al., 2013). Selain itu, terjadinya DM
tipe 2 bisa terjadi karena resistensi insulin dan defisiensi insulin (Holt, 2004
dalam Ozougwu et al., 2013). Umumnya patofisiologi DM tipe 2 dipengaruhi
oleh beberapa keadaan yaitu: Resistensi insulin dikarenakan obesitas dan
penuaan (Lemos et al., 2011 dalam Fatimah, 2015).
Disfungsi sel β pankreas sehingga menyebabkan defisiensi insulin
yang terjadi melalui 3 jalur yaitu (Hakim et al., 2010 dalam Fatimah, 2015) :
a) Pengaruh luar yang menyebabkan rusaknya sel β pankreas seperti
virus dan zat kimia.
b) Penurunan reseptor glukosa pada kelenjar pankreas.
c) Kerusakan reseptor insulin di jaringan perifer.
Terjadinya peningkatan glukosa hepatik yang tidak disertai kerusakan
sel β pankreas. Resistensi insulin dan defisiensi insulin merupakan penyebab
utama DM tipe 2. Terjadinya lipolisis dan peningkatan glukosa hepatik
merupakan karakteristik dari resistensi insulin (Dipiro et al., 2015).
Pada diabetes tipe II terdapat dua masalah utama yang
berhubungan dengan insulin yaitu resistensi insulin dan gangguan
sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus
pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan resptor
tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa di
dalam sel. Resistensi insulin pada diabetes tipe II disertai dengan
penurunan reaksi intrasel ini. Dengan demikian insulin menjadi tidak
efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan. Untuk
mengatasi resistensi insulin dan untuk mencegah terbentuknya glukosa
dalam darah, harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang
disekresikan. Pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini
terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan
dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun
demikian, jika sel-sel beta tidak mampu mengimbangi peningkatan
kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi
diabetes tipe II. Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang
merupakan ciri khas DM tipe II, namun masih terdapat insulin dengan
jumlah yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi
badan keton yang menyertainya. Karena itu ketoasidosis diabetik tidak
terjadi pada diabetes tipe II. Meskipun demikian, diabetes tipe II yang
tidak terkontrol dapat menimbulkan masalah akut lainnya yang
dinamakan sindrom hiperglikemik hiperosmoler nonketoik (HHNK).
Diabetes tipe II paling sering terjadi pada penderita diabetes yang
berusia lebih dari 30 tahun dan obesitas. Akibat intoleransi glukosa
yang berlangsung lambat (selama bertahun-tahun) dan progresif, maka
awitan diabetes tipe II dapat berjalan tanpa terdeteksi. Jika gejalanya
dialami pasien, gejala tersebut sering bersifat ringan dan dapat
mencakup kelelahan, iritabilitas, poliuria, polidipsi, luka pada kulit yang
lama sembuh-sembuh, infeksi vagina atau pandangan yang kabur (jika
kadra glukosanya sangat tinggi).
E. PATHWAY
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Smelzer dan Bare (2013), adapun pemeriksaan penunjang untuk
penderita diabetes melitus antara lain :
a. Pemeriksaan fisik
1) Inspeksi : melihat pada daerah kaki bagaimana produksi keringatnya (menurun
atau tidak), kemudian bulu pada jempol kaki berkurang (-).
2) Palpasi : akral teraba dingin, kulit pecah - -pecah , pucat, kering yang tidak
normal, pada ulkus terbentuk kalus yang tebal atau bisa juga terapa lembek. 3)
Pemeriksaan pada neuropatik sangat penting untuk mencegah terjadinya ulkus
b. Pemeriksaan Vaskuler
1) Pemeriksaan Radiologi yang meliputi : gas subkutan, adanya benda asing,
osteomelietus.
2) Pemeriksaan Laboratorium a) Pemeriksaan darah yang meliputi : GDS (Gula
Darah Sewaktu), GDP (Gula Darah Puasa).
c. Pemeriksaan urine
Dimana urine diperiksa ada atau tidaknya kandungan glukosa pada urine tersebut.
Biasanya pemeriksaan dilakukan menggunakan cara Benedict (reduksi). Setelah
pemeriksaan selesai hasil dapat dilihat dari perubahan warna yang ada : hijau (+),
kuning (++), merah (+++), dan merah bata (++++).
d. Pemeriksaan kultur pus Bertujuan untuk mengetahui jenis kuman yang terdapat
pada luka dan untuk observasi dilakukan rencana tindakan selanjutnya.
e. Pemeriksaan Jantung meliputi EKG sebelum dilakukan tindakan pembedahan
G. PENATALAKNANAAN MEDIS
Menurut Perkumpulan Endokrinologi Indonesia atau Perkeni tahun
2011, terdapat 4 pilar dalam penatalaksanaan DM tipe 2 yaitu edukasi, terapi
gizi medis, latihan jasmani, dan intervensi farmakologis.
Pada segi edukasi seperti memberikan pengetahuan pemantauan
glukosa mandiri. Pada segi terapi gizi medis seperti pengaturan makan yang
benar dan tepat baik dalam hal jadwal, jenis serta jumlah makanan. Pada segi
latihan jasmani, melakukan latihan sekitar 3-4 kali dalam seminggu dengan
durasi kurang lebih 30 menit. Intervensi farmakologis dilakukan apabila
sasaran glukosa darah belum tercapai dengan pengaturan makan dan latihan
jasmani selama 2 – 4 minggu. Intervensi farmakologis yang diberikan dapat
berbentuk oral maupun suntikan.
a. Obat Hipoglikemik Oral (OHO) Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi
menjadi lima golongan, yaitu:
1) Pemicu sekresi insulin
a) Sulfonilurea Mekanisme aksi sulfonilurea adalah meningkatkan
sekresi insulin endogen dengan cara berikatan dengan reseptor
sulfonilurea spesifik pada sel β pankreas. Sulfonilurea yaitu
mampu menurunkan kadar A1C sekitar 0,8 %. Contoh obat
golongan sulfonilurea yaitu glibenklamid, klorpropamid,
glimepirid, dan gliburid. Efek samping golongan sulfonilurea
adalah hipoglikemia, ruam, diare, muntah. Penggunaan
glibenklamid dan glimepirid pada pasien yang berusia tua dan
pasien dengan komplikasi neuropati atau nefropati memiliki risiko
besar mengalami hipoglikemia (Audehm et al., 2014 dan Harper,
2013).
b) Glinid Glinid memiliki mekanisme aksi yang sama dengan
golongan sulfonilurea yaitu meningkatkan sekresi insulin. Glinid
mampu menurunkan nilai A1C sekitar 0,7 %. Contoh obat
golongan ini adalah repaglinid dan nateglinid. Efek samping
hipoglikemia golongan glinid lebih ringan daripada sulfonilurea
karena durasinya pendek (Audehm et al., 2014 dan Harper, 2013).
2) Meningkatkan sensitivitas terhadap reseptor insulin
a) Tiazolidindion Mekanisme aksi golongan tiazolidindion adalah
meningkatkan sensivitas reseptor insulin di jaringan dan hati
dengan berikatan pada peroxisome proliferative activated receptor
gamma (PPAR-ᵧ). Tiazolidindion mampu menurunkan nilai A1C
sekitar 0,8 %. Contoh obat golongan ini adalah pioglitazon. Efek
samping umum golongan tiazolidindion yaitu gagal jantung, patah
tulang, dan retensi cairan (Audehm et al., 2014 dan Harper, 2013).
3) Menghambat gluconeogenesis
a) Biguanid Mekanisme aksi golongan biguanid adalah mengurangi
produksi glukosa hati atau disebut glukoneogenesis. Contoh obat
golongan ini yaitu metformin. Golongan obat ini
dikontraindikasikan pada pasien DM tipe 2 yang mengalami
gangguan ginjal dengan nilai GFR < 30 mL/menit dan gangguan
hati. Metformin biasanya diresepkan untuk pasien DM tipe 2 yang
mengalami obesitas. Metformin mampu menurunkan nilai A1C
sekitar 1,0-1,5%. Efek samping metformin adalah gangguan
gastrointestinal seperti diare dan kram perut. Selain itu, metformin
juga menyebabkan mual sehingga diberikan pada saat makan atau
sesudah makan (Harper et al., 2013 dan Nathan et al., 2009).
4) Penghambat absorbsi glukosa: penghambatan alfa glukosidase
Mekanisme aksi golongan ini adalah mengurangi absorpsi glukosa di
usus halus. Contoh obatnya yaitu akarbose. Akarbose mampu
menurunkan nilai A1C sebesar 0,6 %. Efek samping yang sering
terjadi adalah kembung dan flatulens (Perkeni, 2011).
5) DPP-IV inhibitor Sel L di mukosa usus menghasilkan hormon peptida
GLP-1, perangsang kuat pelepasan insulin dan menghambat sekresi
glukagon (Perkeni, 2011). Mekanisme aksi golongan obat ini adalah
menghambat enzim DPP-IV sehingga meningkatkan GIP dan GLP-1
dalam bentuk aktif dalam sirkulasi darah yang pada akhirnya akan
memperbaiki sekresi insulin. Contoh obat golongan ini adalah
linagliptin dan sitagliptin. Obat tersebut mampu menurunkan nilai
A1C sebesar 0,7 %. Meningkatkan kontrol postprandial dan jarang
terjadi pankreatitis. Apabila pasien memiliki gangguan ginjal dengan
nilai GFR < 60 ml/min/1,73 m2 maka dosis sitagliptin harus dikurangi,
kecuali linagliptin (Audehm et al., 2014 dan Harper et al., 2013).
b. Suntikan, seperti insulin dan agonis GLP-1
1) Insulin Terapi dengan menggunakan insulin diperlukan dalam
keadaan berikut ini (Perkeni, 2011):
a) Penurunan berat badan yang cepat.
b) Ketoasidosis diabetik.
c) Hiperglikemia berat yang disertai ketosis.
d) Hiperglikemia dengan asidosis laktat.
e) Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik.
f) Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal.
g) Stress berat seperti infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke.
h) Kehamilan dengan diabetes melitus (diabetes melitus gestasional)
yang tidak terkendali dengan pengaturan makan.
i) Gangguan ginjal atau hati yang berat.
j) Kontraindikasi atau pasien mengalami alergi ketika menggunakan
OHO.
Berdasarkan jenis dan lama kerja insulin, maka insulin tersebut dibagi
ke dalam beberapa jenis, yaitu (Dipiro et al., 2015 dan Perkeni, 2011):
a) Insulin aksi cepat (rapid acting insulin) adalah insulin yang memiliki
durasi aksi yang pendek dan diserap dengan cepat. Insulin tipe ini
diberikan saat 10 menit pasien sedang makan karena insulin memiliki
efikasi yang baik dalam menurunkan kadar glukosa postprandial serta
meminimalkan efek hipoglikemia. Insulin lisipro, insulin gluisine, dan
insulin aspart merupakan contoh rapid acting insulin.
b) Insulin aksi pendek (short acting insulin) adalah insulin yang onsetnya
pendek, diberikan secara subkutan dan digunakan 30 menit sebelum
makan untuk mencapai target glukosa darah postprandial yang optimal
dan untuk mencegah terjadinya hipoglikemia. Insulin reguler merupakan
contoh short acting insulin.
c) Insulin aksi menengah (intermediate acting insulin) memiliki onset 2-4
jam dan durasi aksi 8-12 jam. NPH (neutral protamine hagedorn)
merupakan contoh intermediate acting insulin. NPH yang diberikan pada
jam tidur dapat menimbulkan hipoglikemia nokturnal.
d) Insulin aksi panjang (long acting insulin) memiliki puncak aksi yang
relatif rendah. Insulin glargine dan insulin detemir merupakan contoh
long acting insulin. Efek hipoglikemia nokturnalnya lebih ringan. Agonis
reseptor GLP-1 (glucagon-like peptide-1) Mekanisme aksi golongan obat
ini yaitu berikatan dengan reseptor GLP-1 sehingga meningkatkan sekresi
insulin. Contoh obat golongan ini adalah liraglutid. Agonis reseptor GLP-
1 mampu menurunkan nilai A1C sebesar 1,0 %. Efek samping yang
mungkin terjadi adalah kehilangan berat badan, mual dan muntah
(Audehm et al., 2014 dan Harper et al., 2013).
H. PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN
1. FOKUS PENGKAJIAN
Pengkajian Menurut NANDA (2013), fase pengkajian merupakan sebuah
komponen utama untuk mengumpulkan informasi, data, menvalidasi data,
mengorganisasikan data, dan mendokumentasikan data. Pengumpulan data antara
lain meliputi :
a. Biodata
1) Identitas Pasien (nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan,
pekerjaan, agama, suku, alamat,status, tanggal masuk, tanggal
pengkajian, diagnose medis)
2) Identitas penanggung jawab (nama,umur,pekerjaan, alamat, hubungan
dengan pasien)
b. Riwayat kesehatan
1) Keluhan utama , biasanya keluhan utama yang dirasakan pasien saat
dilakukan pengkajian. Pada pasien post debridement ulkus kaki diabetik
yaitu nyeri 5 – 6 (skala 0 - 10)
2) Riwayat kesehatan sekarangData diambil saat pengkajian berisi tentang
perjalanan penyakit pasien dari sebelum dibawa ke IGD sampai dengan
mendapatkan perawatan di bangsal.
3) Riwayat kesehatan dahulu Adakah riwayat penyakit terdahulu yang
pernah diderita oleh pasien tersebut, seperti pernah menjalani operasi
berapa kali, dan dirawat di RS berapa kali.
4) Riwayat kesehatan keluarga Riwayat penyakit keluarga , adakah anggota
keluarga dari pasien yang menderita penyakit Diabetes Mellitus karena
DM ini termasuk penyakit yang menurun.
c. Pola Fungsional Gordon
1) Pola persepsi kesehatan: adakah riwayat infeksi sebelumnya,persepsi
pasien dan keluarga mengenai pentingnya kesehatan bagi anggota
keluarganya.
2) Pola nutrisi dan cairan : pola makan dan minum sehari – hari, jumlah
makanan dan minuman yang dikonsumsi, jeni makanan dan minuman,
waktu berapa kali sehari, nafsu makan menurun / tidak, jenis makanan
yang disukai, penurunan berat badan.
3) Pola eliminasi : mengkaji pola BAB dan BAK sebelum dan selama
sakit , mencatat konsistensi,warna, bau, dan berapa kali sehari,
konstipasi, beser.
4) Pola aktivitas dan latihan : reaksi setelah beraktivitas (muncul keringat
dingin, kelelahat/ keletihan), perubahan pola nafas setelah aktifitas,
kemampuan pasien dalam aktivitas secara mandiri.
5) Pola tidur dan istirahat : berapa jam sehari, terbiasa tidur siang,
gangguan selama tidur (sering terbangun), nyenyak, nyaman.
6) Pola persepsi kognitif : konsentrasi, daya ingat, dan kemampuan
mengetahui tentang penyakitnya.
7) Pola persepsi dan konsep diri : adakah perasaan terisolasi diri atau
perasaan tidak percaya diri karena sakitnya.
8) Pola reproduksi dan seksual.
9) Pola mekanisme dan koping : emosi, ketakutan terhadap penyakitnya,
kecemasan yang muncul tanpa alasan yang jelas.
10) Pola hubungan : hubungan antar keluarga harmonis, interaksi ,
komunikasi, car berkomunikasi
11) Pola keyakinan dan spiritual : agama pasien, gangguan beribadah selama
sakit, ketaatan dalam berdo’a dan beribadah.
d. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum Penderita post debridement ulkus dm biasanya timbul
nyeri akibat pembedahanskala nyeri (0 - 10), luka kemungkinan rembes
pada balutan. Tanda-tanda vital pasien (peningkatan suhu, takikardi),
kelemahan akibat sisa reaksi obat anestesi.
2) Sistem pernapasan Ada gangguan dalam pola napas pasien, biasanya
pada pasien post pembedahan pola pernafasannya sedikit terganggu
akibat pengaruh obat anesthesia yang diberikan di ruang bedah dan
pasien diposisikan semi fowler untuk mengurangi atau menghilangkan
sesak napas.
3) Sistem kardiovaskuler Denyut jantung, pemeriksaan meliputi inspeksi,
palpasi, perkusi dan auskultasi pada permukaan jantung, tekanan darah
dan nadi meningkat. Sistem pencernaan Pada penderita post pembedahan
biasanya ada rasa mual akibat sisa bius, setelahnya normal dan dilakukan
pengkajian tentang nafsu makan, bising usus, berat badan.
4) Sistem musculoskeletal Pada penderita ulkus diabetic biasanya ada
masalah pada sistem ini karena pada bagian kaki biasannya jika sudah
mencapai stadium 3 – 4 dapat menyerang sampai otot. Dan adanya
penurunan aktivitas pada bagian kaki yang terkena ulkus karena nyeri
post pembedahan.
5) Sistem intregumen Turgor kulit biasanya normal atau menurun akibat
input dan output yang tidak seimbang. Pada luka post debridement kulit
dikelupas untuk membuka jaringan mati yang tersembunyi di bawah
kulit tersebut.
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan adanya gangren pada
ekstermitas
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan asupan diet kurang
3. Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera fisik
4. Resiko infeksi berhubungan dengan gangguan integritas kulit)
5. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan asupan cairan kurang
6. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan menurunnya
aliran darah ke daerah gangren akibat adanya obstruksi pembuluh darah
7. Resiko cedera berhubungan dengan gangguan mekanisme pertahanan primer
8. INTERVENSI KEPERAWATAN
membaik E:
- Berikan dukungan
emosional kepada pasien
dan keluarga
C:
- Kolaborasi dengan tim
kesehatan lain dalam
pemberian vasodilator,
pemeriksaan gula darah
secara rutin dan terapi
oksigen
7 Resiko cedera Setelah dilakukan tindakan Manajemen Lingkungan :
berhubungan dengan keperawatan diharapkan Keselamatan
gangguan mekanisme cedera teratasi dengan kriteria O:
pertahanan primer hasil : - Monitor lingkungan
(Domain 11, kelas 2, Mengenali perubahan terhadap terjadinya
kode 00035) status kesehatan perubahan status
Memonitor faktor keselamatan
risiko lingkungan N:
Menghindari paparan - Bantu pasien saat
ancaman kesehatan melakukan perpindahan
ke lingkungan yang lebih
aman
E:
- Edukasi individu dan
kelompok yang berisiko
tinggi terhadap bahan
berbahaya yang ada di
lingkungan
C:
- Kolaborasi dengan
lembaga lain untuk
meningkatkan keselamtan
lingkungan
DAFTAR PUSTAKA
Audehm, R., Arthur, I., Barlow, J., Kennedy, M., Kilov, G., Leow, S.,
et al, 2014, General Practice Management of Type 2 Diabetes, The Royal
Australian College of General Practitioners and Diabetes Australian,47-
51.
Dipiro J.T., Talbert R.L., Yee G.C., Matzke G.R., Wells B.G. and
Posey L.M., 2011, Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, 8th
ed., Mc Graw Hill, United State of America.
Kerner, W. and Brückel, J. (2014). Definition, Classification and
Diagnosis of Diabetes Mellitus. Exp Clin Endocrinol Diabetes, 122(07),
pp.384-386.
NANDA. (2015).buku diagnosa keperawatan definisi dan klasifikasi
2015-2017. Jakarta: EGC
Nurarif & Hardhi. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & Nanda Nic-Noc Panduan penyusunan Asuhan
Keperawatan Profesional. Yogyakarta : Mediaction Jogja.
Smelzher &Bare (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal bedah
Bruner &Suddart: Edisi 8. Jakarta: EGC