Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN PADA NY.

Z
DENGAN DIAGNOSA DIABETES MELITUS TIPE II
DI RUANGAN MELON RSUD MADANI PALU

DI SUSUN OLEH
Santika Pebriani Lakita
PO7120423067

Preceptor Ruangan Preceptor Institusi

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PALU
JURUSAN KEPERAWATAN
PRODI PROFESI NERS
2023/2024
A. Konsep Dasar Penyakit
1. Pengertian
Diabetes Melitus adalah hambatan yang terjadi pada metabolisme
secara genetik serta secara klinis tercantum heterogen dengan indikasi
adanya kehilangan toleransi karbohidrat. Diabetes Melitus merupakan
gangguan metabolik yang terjadi akibat adanya ketidakmampuan
dalam mengoksidasi karbohidrat, adanya hambatan pada mekanisme
insulin, dan ditandai dengan hiperglikemia, glikosuria, poliuria,
polipdisi, polifagia, asidosis yang sering menimbulkan sesak napas,
lipemia, ketonuria serta berakhir hingga koma (Sya’diyah et al., 2020).
Diabetes melitus merupakan suatu kelainan genetik atau sindroma
yang dapat diketahui dengan adanya hiperglikemia kronik serta
gangguan pada proses metabolisme karbohidrat, lemak serta protein
yang saling berkaitan dengan defisiensi insulin absolut ataupun relatif
sehingga mempengaruhi kinerja sekresi insulin serta aksi insulin
(Nugroho, 2015).
Diabetes Melitus merupakan penyakit kronis yang menahun yang
disebabkan oleh adanya disfungsi pankreas yang tidak mampu
menghasilkan insulin dalam batas normal, ataupun pada saat tubuh
tidak bisa secara efisien memanfaatkan insulin yang dihasilkan.
Hiperglikemia, ataupun glukosa dalam darah yang meningkat,
merupakan dampak universal dari diabetes yang tidak terkendali serta
pada periode tertentu yang ccukup lama akan menimbulkan kerusakan
yang serius pada beberapa sistem tubuh, kterutama pada saraf serta
pembuluh darah (Setyaningrum & Sugiyanto, 2015).
Diabetes Melitus adalah sekumpulan gejala dari hambatan
metabolik yang dapat diketahui secara spesifikasi adanya kadar gula
darah di atas normal sehingga dapat mempengaruhi metabolisme pada
karbohidrat, lemak serta protein yang dipengaruhi oleh banyak faktor.
Diabetes Melitus adalah salah satu permasalahan penyakit yang serius
di seluruh dunia sebab penyakit diabetes melirus cenderung
mengalami kenaikan kasusnya seiring berjalannya waktu (Nurayati &
Adriani, 2017).
2. Etiologi
Menurut (PB PERKENI, 2015) berlandaskan pada asal mula yang
mendasari kemunculannya, Diabetes Melitus terbagi menjadi beberapa
kategori, yakni:
a. DM Tipe 1
Salah satu faktor pemicu Diabetes Melitus Tipe 1 ialah destruksi
sel beta dan defisiensi insulin absolut seperti penyakit auto-imun
(tidak berfungsinya sistem imunitas tubuh) dan idiopatik
(penyebab yang tidak diketahui) yang mengganggu proses sekresi
insulin terutama sel β pada pankreas yang terjadi secara
menyeluruh. Oleh sebab itu, pankreas akan kehilangan
kemampuannya dalam memproduksi serta melepaskan insulin
yang dibutuhkan oleh tubuh.
b. DM Tipe 2
Diabetes Melitus tipe 2 diakibatkan oleh campuran, seperti
resistensi insulin dan disertai defisiensi insulin relatif. DM tipe 2
umumnya disebut dengan diabetes life style sebab tidak hanya
aspek genetik saja yang bisa mempengaruhi namun bisa juga
diakibatkan oleh pola gaya hidup yang tidak sehat.
c. Tipe lain
Diabetes tipe lain diakibatkan oleh kondisi ketika glukosa dalam
darah di atas normal yang faktor pencetusnya meliputi sindrom
genetik, endokrinopati, insiufisiensi eksokrin pankreas, induksi
obat ataupun zat kimia, akibat imunologi yang kurang, infeksi dan
lain sebagainya.
d. Diabetes Gestasional/Diabetes Kehamilan
Diabetes gestasional merupakan diabetes yang terjadi ketika baru
mengalami kehamilan yang pertama atau diabetes yang
kemungkinan muncul pada saat masa kehamilan. Umumnya
diabetes ini dapat diketahui pada minggu ke-24 (bulan keenam).
Diabetes ini biasanya akan menghilang setelah melahirkan.

3. Patofisiologi
Dalam proses patofisiologi diabetes melitus tipe 2 ada sebagian
kondisi yang turut serta berperan yaitu : resistensi insulin dan
disfungsi sel β pankreas. Diabetes melitus tipe 2 tidak diakibatkan
oleh terbatasnya sekresi insulin, akan tetapi akibat sel sel target insulin
gagal atau ketidakmampuan dalam merespon insulin secara normal.
Kondisi ini umum disebut sebagai “resistensi insulin”. Resistensi
insulin sebagian besar terjadi akibat dari obesitas dan minimnya
aktivitas fisik serta proses dari penuaan. Pada penderita diabetes
melitus tipe 2 bisa saja terjadi produksi glukosa hepatik yang mungkin
berlebihan tetapi tidak terjadi kerusakan pada sel-sel β langerhans
secara autoimun seperti diabetes melitus tipe 2. Defisiensi fungsi
insulin khususnya pada penderita diabetes melitus tipe 2 hanya
bersifat relatif serta tidak absolut.
Berawal pada perkembangan diabetes melitus tipe 2, sel B
menandakan adanya gangguan pada sekresi insulin fase awal, dalam
artian sekresi insulin gagal dalam mengkompensasi resistensi insulin.
Jika tidak ditanggulangi dengan baik, pada perkembangan berikutnya
dapat terjadi kerusakan sel B pankreas. Kerusakan sel B pankreas
seiring berjalannya waktu dapat menyebabkan penuruna produksi
insulin, maka dari itu penderita diabetes melitus memerlukan insulin
eksogen. Penderita diabetes melitus tipe 2 pada umumnya sering
diakitkan dengan dua faktor yang menyertainya, yaitu resistensi
insulin dan defisiensi insulin (Fatimah, 2015).
Kondisi awal dari diabetes tipe 2 ialah terbentuknya resistensi
insulin serta hiperinsulinemia. Tetapi dengan berjalannya waktu,
mekanisme kompensasi ini tidak lagi bisa menahan progresifitas
penyakit ini, sehingga timbul diabetes tipe 2. Tetapi pada kebanyakan
pengidap diabetes tipe 2 terbentuknya suatu kondisi yang kompleks
antara sekresi insulin serta resistensi insulin dan besarnya menyerupai
derajat hiperglikemia. Apabila sel B pankreas tidak bisa memproduksi
sekresi insulin dengan kapasitas yang memadai sepadan sesuai dengan
resistensi insulin maka dapat menimbulkan hiperglikemia. Pada
sebagian penyandang diabetes tipe 2, timbulnya kerusakan pada sel B
dapat dimanifestasikan sebagai bagian dari permulaan terganggunya
sekresi insulin. Resistensi insulin terbentuk akibat dari gangguan pada
sekresi insulin. Namun, pada kebanyakan penyandang diabetes tipe 2,
kendala sensitivitas insulin serta sekresi insulin secara bersamaan
menimbulkan intoleransi glukosa yang terjadi secara berkala
(Tjandrawinata, 2016).
Diabetes melitus tipe 2 ditandai dengan defisiensi insulin sebagai
akibat dari resistensi insulin, kurangnnya produksi insulin, dan terjadi
kerusakan sel beta pankreas. Hal ini dapat menimbulkan penurunan
konsentrasi dalam pelepasan glukosa ke hati, sel otot, serta sel lemak.
Kemungkinan lain terjadi peningkatan proses pemecahan lemak dan
terjadilah hiperglikemia. Ketidak berfungsinya sel alfa yang terjadi
akibat gangguan dari kerusakan toleransi glukosa dalam darah dikenal
sebagai proses fisiologis yang mengakibatkan penyakit diabetes
melitus (B. Olokoba et al., 2012).

4. Manifestasi Klinik
Menurut (Nugroho, 2015) secara umum ada beberapa manifestasi
klinik yang terdapat pada penderita diabetes melitus, yaitu :
a. kadar glukosa dalam darah tinggi ( Hiperglikemia).
Glukosa dalam darah yang tinggi pada penderita diabetes melitus
biasanya diatas 200 mg/dL.
b. Poliuria (sering buang air kecil)
Poliuria akan terjadi bila ginjal memproduksi air kemih dalam
jumlah yang melampaui batas normal atau berlebihan, sehingga
penderita diabetes melitus merasakan keinginan berkemih dalam
frekuensi yang berlebih.
c. Polidipsi (sering haus)
polidipsi biasanya ditandai dengan mulut kering yang diakibatkan
oleh adanya poliuri, sebab penderita diabetes melitus sering
merasakan haus yang berlebihan sehingga penderita akan banyak
minum.
d. Polifagia (makan berlebihan)
Polifagia biasanya dapat disebabkan oleh beberapa faktor salah
satunya terjadi karena sejumlah besar kalori yang terserap ke
dalam air urine, sehingga penderita diabetes melitus akan
mengalami degradasi berat badan, maka dari itu penderita
biasanya merasakan lapar yang berlebih sehingga banyak makan.
Bermacam keluhan lain bisa ditemui pada penderita diabetes
melitus. Kecurigaan terhadap adanya diabetes melitus perlu
diwaspadai apabila ada keluhan lain yang berupa : kelemahan tubuh,
kesemutan, gatal, pandangan mata kabur, penurunan berat badan yang
tidak bisa dipaparkan sebabnya dan disfungsi ereksi pada laki-laki,
serta pruritus vulvae pada perempuan (PERKENI, 2011).

5. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut (Soelistijo et al., 2015) dalam menentukan diagnosis
diabetes melitus harus dilakukan pemeriksaan dasar yaitu kadar
glukosa darah. Pemeriksaan glukosa darah yang disarankan
merupakan pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan
plasma darah vena. Hasil peninjauan dari pengobatan yang dapat
dilakukan dengan
memanfaatkan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer.
Diagnosis tidak boleh ditegakkan hanya berdasarkan adanya
glukosuria saja.
Hasil pemeriksaan yang belum termasuk dalam kriteria normal
atau kriteria diabetes melitus dapat dikategorikan ke dalam kelompok
risiko tinggi yang meliputi : toleransi glukosa terganggu (TGT)
antara 140-
199 mg/dL dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT) 100-125
mg/dL.
Dalam pemeriksaan untuk memastikan diagnosis diabetes melitus
dapat dilakukan dengan beberapa pemeriksaan yaitu :
a. Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT) : Hasil pemeriksaan
glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL.
b. Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) : Hasil pemeriksaan
glukosa plasma 2 jam setelah TTGO ≥ 200 mg/dL.
c. Diagnosis diabetes melitus dapat juga ditegakkan berdasarkan
hasil pemeriksaan HbA1c yang menunjukkan angka ≥ 6,5 %.
Tabel 1 Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis diabetes
(PB PERKENI, 2015).

Glukosa Plasma 2
Glukosa Darah
HbA1c (%) jam setelah TTGO
Puasa (mg/dL)
(mg/dL)
Diabetes ≥ 6,5 ≥ 126 ≥ 200
Risiko
5,7 – 6,4 100 – 125 140 – 199
tinggi
Normal < 5,7 < 100 < 140

Pemeriksaan Penyaring juga ditempuh dalam menetapkan


diagnosis Diabetes Melitus Tipe 2 dan pada kelompok risiko tinggi
yang tidak menunjukkan indikasi dari diabetes melitus yaitu kategori
kelompok dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) ≥ 23 kg/m2 yang
berpotensi akan menimbulkan satu ataupun lebih faktor resiko dan usia
> 45 tahun tanpa faktor risiko.
Pada kondisi yang tidak memungkinkan ataupun tidak
tersedianya sarana dalam pemeriksaan TTGO. Maka pemeriksaan
penyaring dilakukan dengan mengunakan pemeriksaan glukosa darah
kapiler, pemeriksaan ini diperbolehkan untuk menentukan diagnosis
diabetes melitus. Dalam hal ini maka perlu diperhatikan adanya
perbedaan dari hasil pemeriksaan glukosa darah plasma vena dan
glukosa darah kapiler, seperti pada tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2 Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa (PB PERKENI, 2015).

Bukan DM Belum pasti DM DM


Kadar Plasma
< 100 100 - 199 ≥ 200
glukosa vena
darah
Darah
sewaktu < 90 90 - 199 ≥ 200
kapiler
(mg/dL)
Kadar Plasma
< 100 100 - 125 ≥ 126
glukosa vena
darah puasa Darah
< 90 90 - 99 ≥ 100
(mg/dL) kapiler

Menurut (Rahmasari & Wahyuni, 2019) uji diagnostik diabetes


melitus dilakukan pada sesorang yang menandakan adanya gejala dan
tanda diabetes melitus, sebaliknya pemeriksaan penyaring dilakukan
untuk mengidentifikasi yang tidak bergejala, yang memiliki resiko
diabetes melitus. Serangkaian uji diagnostik dilakukan untuk
mengidentifikasi hasil pemeriksaan penyaring yang positif dalam
memastikan diagnosis definitif. Pemeriksaan penyaring biasa
dilakukan menggunakan pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu
atau kadar glukosa darah puasa, selanjutnya bisa dilakukan Tes
Toleransi Glukosa Oral (TTGO).
6. Komplikasi
Penyakit diabetes yang tidak ditanggulangi secara baik bisa
menimbulkan hiperglikemia yang pada waktu-waktu tertentu bisa
menyebabkan komplikasi berupa kerusakan pada sistem tubuh terutama
pada sistem saraf dan pembuluh darah. Penyakit diabetes melitus adalah
salah satu faktor resiko yang mengakibatkan timbulnya penyakit lain
seperti jantung, stroke, neuropati, retinopati, dan gagal ginjal.
Seseorang yang menderita diabetes melitus cenderung beresiko
mengalami kematian dua kali lebih cepat dibandingkan dengan
seseorang yang bukan menderita penyakit diabetes melitus (Israfil,
2020).
Komplikasi akut dari diabetes melitus meliputi hipoglkemia,
hiperglikemia dan ketoasidosis sedangkan untuk komplikasi kronis dari
diabetes melitus secara luas dikelompokan menjadi mikrovaskular dan
makrovaskular, Komplikasi mikrovaskuler meliputi neuropati,
nefropati, dan retinopati, sedangkan komplikasi makrovaskuler terdiri
dari penyakit kardiovaskular, stroke, dan penyakit arteri perifer (PAD).
Kemudian ada komplikasi lain dari diabetes yang tidak dapat
dimasukkan ke dalam dua kategori yang disebutkan di atas seperti
penyakit gigi, penurunan resistensi terhadap infeksi, dan komplikasi
kelahiran pada wanita dengan diabetes gestasional (Papatheodorou et
al., 2018).
Kaki diabetik disertai ulkus meurpakan salah satu komplikasi yang
sering terjadi pada penyandang diabetes. Ulkus kaki diabetik ialah luka
kronik yang terjadi pada bagian ekstermitas bawah (kaki) yang dapat
meningkatkan mordibitas serta mortalitas dan dapat mempengaruhi
kualitas hidup penderita diabetes. Ulkus kaki diabetik disebabkan oleh
kerusakan saraf (neuropati perifer) yang menghambat peredaran aliran
darah atau akibat dari penyempitan pembuluh darah yang biasa disebut
arteri perifer, bahkan ulkus kaki diabetik bisa disebabkan oleh
kombinasi dari diatas (PB PERKENI, 2015).
Menurut (Lotfy et al., 2016) ada beberapa ringkasan terkait
komplikasi diabetes dengan menyebutkan indikasi akibat hiperglikemia
pada berbagai jenis sel di tubuh sebagai berikut :
a. Sistem saraf pusat dan perifer
Meliputi : Stroke otak, Neuropati otonom, Neuropati perifer
(Disfungsi motorik & sensorik)
b. Mata
Meliputi : Retinopati, Katarak, Kebutaan
c. Sistem kardiovaskular
Meliputi : Kardiomiopati, Infark miokard, Aterosklerosis,
Hipertensi, Disfungsi sel endotel
d. Rongga mulut
Meliputi : Penyakit mulut (Karies, gingivitis, kelainan periodontal,
infeksi)
e. Sistem ginjal
Meliputi : Nefropati, Proteinuria, Glukosuria, Gagal ginjal
f. Sistem pencernaan
Meliputi : Pengosongan lambung yang tertunda, Diare, Sembelit,
Dispepsia, Insufisiensi kelenjar eksokrin
g. Sistem kelamin
Meliputi : Impotensi, Disfungsi seksual, Disfungsi urogenital
h. Kulit dan jaringan lunak
Meliputi : Gangguan penyembuhan luka, Infeksi kulit
i. Tulang
Meliputi : Osteopenia, patah tulang
j. Kaki
Meliputi : Ulserasi kaki, amputasi kaki

7. Penatalaksanaan
Menurut (Soelistijo et al., 2015) penatalaksanaan baik secara medis
maupun keperawatan dilakukan untuk meningkatkan derajat kualitas
hidup penderita diabetes melitus, dalam proses penatalaksanaan secara
umum mempunyai tujuan jangka pendek dan jangka panjang. Tujuan
jangka pendek yaitu utnuk memperbaiki kualitas hidup, meminimalisir
risiko terjadinya komplikasi dan mengurangi keluhan diabetes melitus,
sedangkan tujuan jangka panjang yaitu untuk mencegah dan
menghambat progesivitas kerusakan pada pembuluh darah, serta
bertujuan untuk mengurangi angka morbiditas dan mortalitas diabetes
melitus.
Dalam penatalaksanaan terhadap pasien diabetes melitus sering di
kenal dengan istilah 4 pilar sebagai acuan untuk mencegah ataupun
untuk mengontrol proses perjalanan penyakit dan terjadinya komplikasi,
4 pilar tersebut meliputi edukasi, terapi nutrisi, aktivitas fisik dan terapi
farmakologis. Selain itu, untuk mengukur sejauh mana keberhasilan
dalam proses penatalaksanaannya maka perlu dilakukan pengontrolan
kadar glukosa darah atau kadar hemoglobin yang terglikosilasi (HbA1c)
sebagai indikator penilaiannya (Putra, I. W. A., & Berawi, 2015).
Empat pilar dalam penatalaksanaan penyakit diabetes melitus
menurut (Hartanti et al., 2013) meliputi :
a. Edukasi
Penyakit diabetes melitus tipe 2 biasanya sering terjadi pada orang-
orang dewasa hingga lansia, dimana dalam waktu-waktu tertentu
akan membentuk perubahan pada perilaku atau pola gaya hidup.
Pengelolaan secara mandiri sangat diperlukan bagi penderita
diabetes terutama dalam mengoptimalisasi dan berkontribusi secara
aktif untuk mengubah perilaku yang tidak sehat. Peran tenaga
kesehatan sangat berpengaruh dalam mengubah perilaku tersebut
dalam mencapai keberhasilan maka diperlukan edukasi atau
pengetahuan, pengembangan ketrampilan (skill), perubahan
perilaku dan motivasi bagi penderita diabetes.
b. Terapi nutrisi
Terapi nutrisi atau manajemen dalam perencanaan pemberian
makanan sangat berpengaruh pada penyandang diabetes, dalam
pemberian makan perlu diperhatikan proporsi sesuai dengan
keadaan individu yang mengalami diabetes. Ketentuan yang harus
diberikan dalam pemberian makanan harus diperhatikan terkait
keseimbangan komposisi dalam makanan yang meliputi
karbohidrat, protein, lemak dan lain-lain untuk mencukupi status
gizi yang baik.
c. Aktifitas fisik
Aktifitas fisik sangat berpengaruh dalam proses penatalaksanaan
diabetes melitus yang berguna untuk memperbaiki sensivitas
kinerja insulin. Aktifitas fisik sederhana yang bisa dilakukan
misalnya jalan kaki, bersepeda dan lain-lain, dalam melakukan
aktifitas fisik perlu disesuaikan dengan kondisi masing-masing
individu yang dapat disesuaikan dengan umur, kondisi ekonomi,
sosial dan budaya serta kondisi fisik.
d. Terapi famakologis
Setelah menerapkan pola nutrisi dan aktifitas fisik namun kadar
glukosa dalam darah belum mencapai target yang ditentukan maka
diperlukan penggunaan obat-obatan sesusai dengan indikasi dan
dosis yang sudah direncanakan atau ditentukan oleh tenaga ahli
kesehatan.

B. Konsep Dasar Keperawatan


1. Pengkajian keperawatan
Pengkajian keperawatan dilakukan secara komprehensif meliputi
pengumpulan data, pola fungsional kesehatan menurut gordon dan
pemeriksaan fisik (Kartikasari et al., 2020).
a. Identitas pasien dan penanggung jawab
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, agama,
pekerjaan, alamat, suku/bangsa, diagnosa medis dan lain
sebagainya.
b. Keluhan utama
Biasanya keluhan yang sering di alami adanya nyeri pada luka
atau pesendian, badan lemas, luka yang tak kunjung sembuh, bau
luka khas diabetes, hambatan dalam aktivitas fisik.
c. Status kesehatan saat ini
Terkait kondisi yang sedang dialami karena penyakitnya seperti
luka, rasa nyeri, nafsu makan berkurang, dan infeksi pada tulang
(osteomielitis) di area luka.
d. Riwayat kesehatan lalu
Adanya riwayat penyakit terdahulu yang menyertainya yang
terkait dengan diabetes melitus seperti hipertensi dan lain
sebagainya yang mempengaruhi defisiensi insulin serta riwayat
penggunaan obat- obatan yang biasa di konsumsi penderita.
e. Riwayat kesehatan keluarga
Berdasarkan riwayat keluarga penderita diabetes melitus biasanya
mempunyai faktor genetik dari salah satu keluarganya yang
mempengaruhi defiensi insulin seperti hipertensi.
f. Pola fungsional kesehatan
Pola fungsional kesehatan berdasarkan data fokus meliputi :
1) Pola persepsi dan manajemen kesehatan
Terkait kondisi pasien dalam menyikapi kesehatannya
berdasarkan tingkat pengetahuan, perubahan persepsi, tingkat
kepatuhan dalam menjalani pengobatan dan pola mekanisme
koping terhadap penyakitnya.
2) Pola nutrisi dan metabolisme
Efek dari defisiensi insulin akan menyebabkan beberapa
kemungkinan seperti polidipsi, polifagia, poliuria maka
dalam memenuhi kebutuhan nutrisi serta dalam proses
metabolisme akan mengalami beberapa perubahan.
3) Pola eliminasi
Kadar gula yang terlalu tinggi menyebabkan penderita
diabetes melitus sering buang air kecil dengan jumlah urine
yang melebihi batas normal.
4) Pola istirahat dan tidur
Pada penderita penyakit diabetes melitus biasanya mengalami
ketidaknyamanan dalam pola istirahat dan tidurnya karena
diakibatkan adanya tanda dan gejala dari penyakitnya
sehingga harus beradaptasi terkait dengan penyakitnya.
5) Pola aktivitas dan latihan
Akibat nyeri dan adanya luka pada kaki penderita diabetes
melitus menyebabkan adanya hambatan dalam melakukan
aktivitas sehari-hari dan penderita cenderung mempunyai
keterbatasan dalam mobilitas fisiknya di karenakan
kelemahan atau ketidakberdayaan akibat penyakitnya.
6) Pola Kognitif-Perseptual sensori
Pada penderita diabetes melitus cenderung mengalami
beberapa komplikasi pada penyakitnya yang mengakibatkan
adanya perubahan dalam persepsi dan mekanisme kopingnya.
7) Pola persepsi diri dan konsep diri
Penyakit diabetes melitus akan mengakibatkan perubahan
pada fungsional tubuh yang akan mempengaruhi gambaran
diri atau citra diri pada individu yang menderita diabetes.
8) Pola mekanisme koping
Akibat penyakit diabetes melitus yang menahun
menyebabkan penyakit ini akan menimbulkan permasalahan
baru pada penderitanya termasuk pada pola pemikiran dari
adaptif akan menuju ke maladatif sehingga secara otomatis
akan mempengaruhi mekanisme koping.
9) Pola Seksual-Reproduksi
Penyakit diabetes yang menahun dapat menimbulkan
kelainan pada organ reproduksi, penurunan rangsangan dan
gairah pada penderitanya.
10) Pola peran berhubungan dengan orang lain
Penderita diabetes yang mengalami luka yang tak kunjung
sembuh akan menyebabkan dirinya merasa minder atau
merasa malu dan cenderung akan menarik diri.
11) Pola nilai dan kepercayaan
Akibat dari penyakit diabetes melitus dapat mempengaruhi
fungsional struktur tubuh sehingga dapat menyebabkan
perubahan status kesehatan pada penderita diabetes dan akan
mempengaruhi perubahan dalam pelaksanaan kegiatan dalam
beribadah.
g. Pemeriksaan fisik Head to Toe
Suatu tindakan dalam memeriksa keseluruhan tubuh pasien dari
ujung kepala sampai dengan ujung kaki dengan menggunakan
metode pemeriksaan fisik yaitu inspeksi, palpasi, perkusi, dan
auskultasi yang bertujuan untuk menentukan status kesehatan
pasien.
2. Diagnosa Keperawatan dan Fokus Intervensi
a. Diagnosa keperawatan bardasarkan SDKI menurut (PPNI, 2016) :
1) Nyeri akut
2) Gangguan integritas kulit/jaringan
3) Ketidakstabilan kadar glukosa darah
4) Risiko infeksi
5) Gangguan mobilitas fisik
b. Fokus intervensi berdasarkan SLKI menurut (PPNI, 2018) :
1) Nyeri akut
Tujuan & kriteria hasil
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan masalah
nyeri dapat teratasi dengan kriteria hasil :
a) Keluhan nyeri berkurang
b) Kemampuan mengontrol nyeri meningkat
Intervensi :
a) Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
kualitas, dan intensitas nyeri
b) Identifikasi skala nyeri
c) Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
d) Fasilitasi istirahat dan tidur
e) Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi nyeri
f) Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi nyeri
g) Kolaborasi pemberian analgetik
2) Gangguan integritas kulit/jaringan
Tujuan & kriteria hasil
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan masalah
gangguan intregitas kulit dapat teratasi dengan kriteria hasil :
a) Integritas kulit/jaringan memabaik
b) Mampu mempertahankan dan melindungi kelembaban
kulit
c) Tidak ada tambahan luka/lesi dan perdarahan
Intervensi :
a) Indentifikasi penyebab gangguan integritas kulit
b) Monitor karakteristik luka
c) Monitor tanda-tanda infeksi
d) Pertahankan teknik steril saat melakukan perawatan luka
e) Ganti balutan sesuai jumlah eksudat
f) Kolaborasi pemberian antibiotik
3) Ketidakstabilan kadar glukosa darah
Tujuan & kriteria hasil :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kadar
glukosa darah stabil dengan kriteria hasil :
a) Kadar glukosa darah membaik
b) Koordinasi meningkat
c) Tingkat kesadaran meningkat
Intervensi :
a) Monitor kadar glukosa darah
b) Monitor tanda dan gejala hiperglikemia
c) Ajarkan pengelolaan diabetes
d) Kolaborasi pemberian insulin
4) Risiko infeksi
Tujuan & kriteria hasil
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan masalah
terjadinya risiko infeksi bisa teratasi dengan kriteria hasil :
a) Keluhan nyeri berkurang
b) Masalah kemerahan pada kulit membaik
c) Keluhan bengkak membaik
Intervensi :
a) Monitor tanda gejala infeksi lokal dan sistemik
b) Batasi jumlah pengunjung
c) Berikan perawatan kulit pada area edema
d) Jelaskan tanda dan gejala infeksi
e) Ajarkan cara memeriksa luka
f) Anjurkan meningkatkan asupan cairan
5) Gangguan mobilitas fisik
Tujuan & kriteria hasil :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharpakan masalah
gangguan mobilitas fisik dapat teratasi dengan kriteria hasil :
a) Pergerakan ekstermitas menignkat
b) Kekuatan otot meningkat
c) Kelemahan fisik menurun
Intervensi :
a) Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
b) Identifikasi toleransi fisik dalam melakukan pergerakan
c) Fasilitasi dalam melakukan pergerakan
d) Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam
meningkatkan pergerakan
e) Anjurkan melakukan mobilisasi dini
f) Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus dilakukan misal
duduk di atas tempat tidur
C. Pathways

Usia, gaya hidup

Penurunan
fungsi
pankreas

Sel beta
pankreas
terganggu

Defisiensi insulin

Hiperglikemia glukosa tidak


masuk ke sel
Ketidakstabilan kadar
Glukosa darah
Fleksibilitas Kerusakan
darah merah vaskuler

Hipoksia perifer

Gangguan Nyeri akut Neuoropati perifer


mobilitas fisik

Ulkus
diabetik

Proses penyembuhan Gangguan


luka terhambat integritas kulit

Peningkatan leukosit Risiko infeksi

Gambar 1 pathways diabetes melitus


Sumber : (Wulandari, 2018)

Anda mungkin juga menyukai