Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN DIABETES MELITUS

Oleh :
Dyah Nur Madani
520029

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


STIKES TELOGOREJO SEMARANG
2021
BAB I
KONSEP DASAR

A. DEFINISI
Dibetes Melitus adalah penyakit yang terjadi karena sekumpulan gejala dalam tubuh
manusia yang disebabkan oleh peningkatan kadar gula darah/glukosa darah akibat
penurunan sekresi insulin secara bertahap yang disebabkan oleh resistensi insulin
(Soegondo et al., 2015). Sedangkan menurut American Diabetes Association (2010
dalam Ernawati, 2013) Diabetes Melitus merupakan salah satu penyakit metabolik
yang ditandai dengan hiperglikemia yang disebabkan oleh sekresi insulin yang
abnormal, kerja insulin yang tidak normal, atau keduanya.

B. ETIOLOGI
Etiologi diabetes mellitus menurut Rendy & Margareth (2019), yaitu:
1. Diabetes mellitus tergantung insulin (DM tipe I)
a. Faktor genetik
Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri tetapi mewarisi
suatu predisposisi atau kecenderungan genetik ke arah terjadinya diabetes tipe
I. Kecenderungan genetik ini ditentukan pada individu yang memiliki tipe
antigen HLA (Human Leucocyte Antigen) tertentu. HLA merupakan
kumpulan gen yang bertanggung jawab atas antigen transplantasi oleh proses
imun lainnya.
b. Faktor imunologi
Pada diabetes tipe I terdapat bukti adanya suatu respon autoimun. Ini
merupakan respon abnormal dimana antibody terarah pada jaringan normal
tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya
seolah-olah sebagai jaringan asing.
c. Faktor lingkungan
Faktor eksternal yang dapat memicu destruksi sel beta pankreas sebagai
contoh hasil penyelidikan menyatakan bahwa virus atau toksin tertentu dapat
memicu proses autoimun yang dapat menimbulkan destruksi sel beta pankreas.
Faktor lingkungan diyakini memicu perkembangan DM tipe I. Pemicu tersebut
dapat berupa infeksi virus (campak, rubela, atau koksakievirus B4) atau
bahkan kimia beracun, misalnya yang dijumpai di daging asap dan awetan.
Akibat pajanan terhadap virus atau bahan kimia, respon autoimun tidak normal
terjadi ketika antibody merespon sel beta islet normal seakan-akan zat asing
sehingga akan menghancurkannya (LeMone, et al, 2016).
2. Diabetes mellitus tidak tergantung insulin (DM tipe II)
Secara pasti penyebab dari DM tipe II ini belum diketahui, faktor genetik
diperkirakan memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin.
Resistensi ini ditingkatkan oleh kegemukan, tidak beraktivitas, penyakit, obat-
obatan dan pertambahan usia. Pada kegemukan, insulin mengalami penurunan
kemampuan untuk mempengaruhi absorpsi dan metabolisme glukosa oleh hati,
otot rangka, dan jaringan adiposa. DM tipe II yang baru didiagnosis sudah
mengalami komplikasi.
Menurut LeMone, et al (2016), adapun faktor-faktor resiko DM tipe II yaitu:
a. Riwayat DM pada orang tua dan saudara kandung. Meski tidak ada kaitan
HLA yang terindentifikasi, anak dari penyandang DM tipe II memiliki
peningkatan resiko dua hingga empat kali menyandang DM tipe II dan 30%
resiko mengalami, intoleransi aktivitas (ketidakmampuan memetabolisme
karbihodrat secara normal).
b. Kegemukan, didefinisikan kelebihan berat badan minimal 20% lebih dari berat
badan yang diharapkan atau memiliki indeks massa tubuh (IMT) minimal 27
kg/m. Kegemukan, khususnya viseral (lemak abdomen ) dikaitkan dengan
peningkatan resistensi insulin.
c. Tidak ada aktivitas fisik.
d. Ras/etnis.
e. Pada wanita, riwayat DM gestasional, sindrom ovarium polikistik atau
melahirkan bayi dengan berat lebih dari 4,5 kg.
f. Hipertensi (≥ 130/85 pada dewasa), kolesterol HDL ≥ 35 mg/dl dan atau kadar
trigliserida ≥ 250 mg/dl.

C. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi diabetes mellitus (Brunner &Suddarth, 2013)
1. DM tipe I
Pada diabetes tipe I terdapat ketidakmampuan pankreas menghasilkan insulin
karena hancurnya sel-sel beta pankreas telah dihancurkan dengan proses
autoimun. Hiperglikemia puasa terjadi akibat produksi glukosa yang tidak terukur
oleh hati. Disamping itu, glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan
dalam hati meskipun tetap berada dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia
postprandial (sesudah makan).
Jika konsenterasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat menyerap
kembali semua glukosa yang tersaring keluar, akibatnya glukosa tersebut muncul
dalam urin (glukosaria). Ketika glukosa yang berlebihan diekskresikan dalam
urin, ekskresi ini akan disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan.
Keadaan ini dinamakan diuresis osmotik. Sebagai akibat dari kehilangan cairan
yang berlebihan, klien akan mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria)
dan rasa haus (polidipsia).
Defisiensi insulin juga menganggu metabolisme protein dan lemak yang
menyebabkan penurunan berat badan. Klien dapat mengalami peningkatan selera
makan (polifagia) akibat menurunnya simpanan kalori. Gejala lainnya mencakup
kelemahan dan kelelahan.
Dalam keadaan normal insulin mengendalikan glikogenelisis (pemecahan glukosa
yang disimpan) dan glukosaneogenesis (pembentukan glukosa baru dari asam-
asam amino serta substansi lain), namun pada penderita defisiensi insulin, proses
ini akan terjadi tanpa hambatan dan lebih lanjut turut menimbulkan
hiperglikemia. Di samping itu akan terjadi pemecahan lemak yang
mengakibatkan peningkatan produksi badan keton yang merupakan produksi
samping pemecahan lemak.
2. DM tipe II
Pada diabetes tipe II terdapat dua masalah utama yang berhubungan dengan
insulin, yaitu: resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin
akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat
terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam
metabolisme glukosa di dalam sel. Resistensi insulin pada diabetes tipe II disertai
dengan penurunan reaksi intrasel ini. Dengan demikian insulin menjadi tidak
efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan.
Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam
darah, harus terdapat peningkatan insulin yang disekresikan. Pada penderita
toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang
berlebihan, dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau
sedikit meningkat. Namun demikian, jika sel-sel beta tidak mampu mengimbangi
peningkatan kebutuhan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi
diabetes tipe II.
Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas diabetes tipe
II, namun masih terdapat insulin yang mencegah pemecahan lemak dan produksi
badan keton yang menyertainya. Karena itu, ketoasidosis diabetik tidak terjadi
pada diabetes tipe II.

D. KLASIFIKASI
Klasifikasi diabetes mellitus menurut LeMone, et al, (2016), sebagai berikut:
1. Diabetes Melitus tipe 1
Diabetes mellitus tipe 1 disebabkan karena destruksi autoimun sel ß pankreas
mengakibatkan defisiensi insulin secara absolut.
2. Diabetes Melitus tipe 2
Diabetes mellitus tipe 2 dikarenakan berkurangnya sel ß pankreas secara progresif
yang dilatar belakangi dengan retsitensi insulin.
3. Diabetes melitus gestasional (diabetes melitus pada kehamilan)
Diabetes mellitus gestasional diabetes yang muncul di trisemester kedua atau
ketiga kehamilan yang tidak ada diabetes sebelum kehamilan
4. Diabetes spesifik yang disebabkan di luat ketiga klasifikasi di atas
Jenis diabetes spesifik karena penyebab lain, misalnya, sindrom diabetes
monogenik (seperti diabetes neonatal dan onset matang pada usia muda
(Maturity-Onset of Diabetes of the Young/MODY), penyakit pada pankreas
eksokrin (seperti cystic fibriosis), dan obat atau diabetes yang diinduksi bahan
kimia (seperti penggunaan glukokortikoid, dalam pengobatan HIV/AIDS, atau
setelah transplantasi organ).

E. MANIFESTASI KLINIK
Manisfestasi klinis yang sering dirasakan oleh penyandang diabetes menurut Tandra
(2018), sebagai berikut :
1. Poliuri
Ginjal tidak dapat menyerap terlalu banyak glukosa. Glukosa ini menarik air
keluar dari jaringan, menyebabkan sering buang air kecil atau biasa disebut
poliuri, sehingga pasien sering merasa dehidrasi atau kekurangan air.
2. Polidipsi
Tubuh penyandang yang mengalami dehidrasi membuatnya menjadi sering
merasa haus dan banyak minum atau biasa disebut polidipsi.
3. Polifagia
Pada penyakit Diabetes Melitus, akibat masalah insulin, asupan gula pada sel
tubuh berkurang dan energi yang terbentuk berkurang, sehingga tubuh menjadi
lemah, kemudian tubuh akan berusaha meningkatkan energi dengan cara
membuatnya merasa lapar sehinga nafsu makan menjadi meningkat.
4. Berat badan menurun
Sebagai kompensasi dari dehidrasi, pasien akan minum dan makan yang banyak,
hal tersebut akan menambah berat badannya, namun seiring berjalannya waktu,
otot tidak cukup glukosa untuk tumbuh dan memperoleh energi. Oleh karena itu,
jaringan otot dan lemak harus dipecah untuk memenuhi kebutuhan energi, yang
menyebabkan berat badan akan terus menurut walaupun asupan makanan banyak.
5. Rasa seperti flu dan lemah
Pada penyandang Diabetes Melitus, gula tidak lagi menjadi sumber energi,
sehingga gejala yang muncul dapat berupa flu, kelelahan, lemas, dan nafsu makan
menurun.
6. Mata kabur
Gula darah tinggi juga dapat menarik cairan mata, maka lensa akan menipis dan
mata mulai sulit fokus dan menjadi kabur.
7. Luka sulit sembuh
Penyebab luka sulit disembuhkan adalah karena adanya infeksi. Kuman dan
jamur yang menyebabkan infeksi ini dapat dengan mudah tumbuh di bawah
kondisi gula darah tinggi, sehingga merusak dinding pembuluh darah, membuat
aliran darah tidak lancar dan menghambat penyembuhan luka.
8. Kesemutan
Gula darah yang tinggi dapat merusak dinding pembuluh darah, serta dapat
mengganggu nutrisi saraf, terutama saraf sensorik sehingga menimbulkan
kesemutan atau bahkan sampai mati rasa.
9. Gusi merah dan bengkak
Kemampuan mulut melemah untuk melawan infeksi, menyebabkan gusi
membengkak dan memerah, yang dapat menyebabkan infeksi dan gigi terlihat
tidak rata dan tanggal.
F. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh penyakit Diabetes Melitus menurut
PERKENI (2019) yaitu, sebagai berikut :
1. Komplikasi akut
a. Krisis Hiperglikemia
1) Ketoasidosis Diabetik (KAD)
Hal ini terjadi karena kadar gula darah meningkat (300-600 mg/dL), yang
ditandai dengan asidosis dan plasma keton (+) kuat, meningkatnya
osmolaritas plasma (200-320m0s/mL) dan anion gap.
2) Status Hiperglikemia Hiperosmolar (SHH)
Pada kondisi ini kadar gula darah meningkat tinggi (600-1200mg/dL),
osmolaritas plasma meningkat tinggi (330-380m0s/mL), plasma keton (+/-),
untuk anion gap dapat menunjukan normal ataupun sedikit meningkat.
Keadaan seperti ini tidak disertai dengan adanya tanda asidosis.
b. Hipoglikemia
Hipoglikemia ditandai dengan kadar gula darah dibawah 70mg/dL.
Hipoglikemi ini mengacu pada turunnya konsentrasi glukosa serum dengan
adanya gejala sistem saraf otonom, seperti “whipple’s triad” (gejala
hipoglikemia, kadar gula darah rendah, gejala akan berkurang dengan
pengobatan). Adanya penurunan kesadaran pada penyandang Diabetes Melitus
cenderung disebabkan oleh hipoglikemi, meskipun tidak semua penyandang
Diabetes Melitus mengalami gejala hipoglikemia bila hasil kadar gula
darahnya rendah.
2. Komplikasi kronik
a. Makroangiopati
Kejadian makroangiopati ini terjadi pada pembuluh darah jantung, pembuluh
darah tepi, dan pembuluh darah otak. Terjadinya gangguan pada pembuluh
darah tepi atau arteri perifer merupakan penyakit yang sering muncul pada
penyandang Diabetes Melitus, biasanya ditandai dengan gejala nyeri saat
aktivitas yang akan berkurang bila istirahat, bisa juga muncul tanpa gejala.
Selain itu kejadian ulkus iskemik juga merupakan kelainan yang dapat terjadi
pada penyandang Diabetes Melitus.
b. Mikroangiopati
1) Retinopati Diabetik
Kondisi ini dapat dikendalikan dengan mengontrol kadar gula darah dan
juga tekanan darah.
2) Nefropati Diabetik
Mengontrol glukosa dan tekanan darah dapat menurunkan resiko
komplikasi ini. Pada penyandang penyakit ginjal diabetik tidak disarankan
untuk mengurangi asupan protein <0,8g/kgBB/hari, karena tidak
memberikan dampak yang signifikan terhadap perbaikan resiko
kerdiovaskuler serta menurunkan kadar GFR ginjal.
3) Neuropati
Pada kondisi ini, biasanya terjadi penurunan sensai distal berupa kaki terasa
seperti terbakar dan bergetar, yang dapat meningkatkan resiko ulkus kaki,
bahkan sampai amputasi. Pada penyandang Diabetes Melitus, seharusnya
perlu dilakukan skrining setiap tahun terkait deteksi polineuropati distal.
Bila terjadi polineuropati distal, penyandang perlu diberikan edukasi terkait
perawatan kaki untuk mencegah terjadinya ulkus.
4) Kardiomiopati
Pada penyandang Diabetes Melitus mempunya resiko lebih tinggi terjadi
gagal jantung dari pada penyakit lainnya. Bila terdapat penyandang dengan
komplikasi seperti ini terapi yang dianjurkan yaitu golongan penghambat
SGLT – 2 ataupun agonis reseptor GLP – 1.

G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan gula darah terkait diabetes melitus menurut Black & Jane (2014) adalah
sebagai berikut:
1. Kadar Glukosa Darah Puasa
Sampel kadar glukosa darah puasa diambil saat klien tidak makan makanan selain
minum air paling tidak 8 jam. Sampel darah ini secara umum mencerminkan
kadar glukosa dari produksi hati. Jika klien mendapatkan cairan dektrosa
intravena (IV), hasil pemeriksaan darah harus di analisis dengan hati-hati. Pada
klien yang diketahui memiliki DM Tipe II, makanan dan insulin tidak diberikan
sampai sampel diperoleh. Nilai normal antara 110-125 mg/d1 mengindikasikan
intoleransi glukosa puasa, pengukuran kadar glukosa darah puasa memberikan
indikasi paling baik dari keseluruhan homoestatis glukosa dan metode terpilih.
2. Kadar Glukosa Darah Sewaktu
Klien mungkin juga juga didiagnosis DM Tipe II berdasarkan manifestasi klinis
dan kadar glukosa darah sewaktu >200mg/d1. Sampel glukosa darah sewaktu-
waktu tanpa puasa, peningkatan kadar glukosa darah mungkin terjadi setelah
makan, situasi penuh stress, dan dalam sampel yang diambil dari lokasi IV atau
dalam kasus DM.
3. Kadar Glukosa Darah Setelah Puasa
Kadar glukosa darah setelah makan dapat juga diambil dan digunakan untuk
mendiagnosis DM Tipe II. Kadar glukosa darah setelah makan diambil setelah 2
jam makan standar dan mencerminkan efisiensi glukosa yang diperantarai insulin
oleh jaringan perifer. Secara normal, kadar glukosa darah seharusnya kembali ke
kadar puasa setelah 2 jam. Kadar glukosa darah 2 jam setelah makan >200mg/d1
selama tes toleransi glukosa oral (OGTT) memperkuat diagnosis DM.
4. Kadar Hemoglobin Glikosilase
Glukosa secara normal melekat dengan sendirinya pada molekul hemoglobin
dalam sel darah merah. Sekali melekat, glukosa ini tidak dapat dipisahkan, oleh
karena itu lebih tinggi kadar glukosa darah, kadar hemoglobin glikosilase juga
lebih tinggi rendah palsu. Kadar Albumin Glikosilase.
Glukosa juga melekat pada protein, albumin seraca primer. Konsentrasi albumin
glikosilase (fruktosamin) mencerminkan kadar glukosa darah rata-rata lebih dari
7-10 hari sebelumnya. Pengukuran ini bermanfaat ketika penentuan glukosa darah
rata-rata jangka pendek diperlukan.
a. Kadar Connecting Peptide (C-Peptide)
Ketika proinsulin diproduksi oleh sel beta pankreas sebagian dipecah oleh
enzim, 2 produk terbentuk, insulin dan C-peptide. Oleh karena itu C-peptide
dan insulin dibentuk dalam jumlah yang sama, pemerikaan ini
mengindentifikasikan jumlah produksi insulin endogen. Klien dengan DM tipe
1 biasanya memiliki konsentrasi C-peptide rendah atau tidak ada, klien dengan
DM tipe 2 cenderaung memiliki kadar normal atau peningkatan C-peptide.
b. Ketonuria
Kadar keton urine dapat dites dengan tablet atau dipstrip oleh klien. Adanya
keton dalam urine disebut ketonuria. Mengidentifikasi bahwa tubuh memakai
lemak sebagai cadangan utama energi, yang mungkin menyebabkan
ketoasidosis. Hasil pemeriksaan yang menunjukkan perubahan warna,
mengindikasi adanya keton. Semua klien dengan DM seharusnya
memeriksakan keton selama sakit atau stress, ketika kadar glukosa darah naik
>20mg/d1, dan ketika hamil atau memiliki bukti ketoasidosis misalnya mual,
muntah, atau nyeri perut.
c. Proteinuria
Mikroalbuminuria mengukur jumlah protein di dalam urine (proteinuria)
secara mikroskopis. Adanya protein (mikroalbuminuria) dalam urine adalah
gejala awal dari penyakit ginjal. Pemeriksaan urine untuk albuminuria
menunjukkan nefropati awal, lama sebelum hal ini akan terbukti pada
pemeriksaan urine rutin.
d. Pemeriksaan Gula Darah Sendiri (PGDS)
Kunci manajemen DM adalah menjaga kadar glukosa darah sedekat mungkin
ke normal atau dengan jarak target yang disepakati oleh klien dan penyedia
pelayanan kesehatan. Pemantauan glukosa darah sendiri memberikan umpan
balik segera dan data pada kadar glukosa darah. PGDS direkomendasikan
untuk semua klien DM, tanpa memperhatikan apakah klien dengan DM tipe 1,
tipe 2, dan DM gestasional. PGDS sebuah cara untuk mengetahui bagaimana
tubuh berespon terhadap makanan, insulin, aktivitas, dan stress. Bagi
kebanyakan DM tipe 1 dan perempuan hamil yang mendapat insulin, PGDS
direkomendasikan >3 hari sekali. Tes seharusnya dilakukan sebelum tidur dan
sebelum makan dan mungkin pada pertengahan malam (jam 3 pagi). Bagi DM
tipe 2, fekuensi dan waktu PGDS disepakati bersama antara klien dan
penyedia pelayanan kesehatan. Jika klien dengan DM tipe 2 mendapat obat-
obatan oral, PGDS tidak dimonitor sesering klien DM tipe 1 yang mendapat
insulin. Waktu ekstra untuk PGDS seharusnya ketika memulai obat baru atau
insulin, ketika memulai obat yang mempengaruhi kadar glukosa darah
(steroid), ketika sakit atau dibawah stress/tekanan, ketika menduga bahwa
kadar glukosa terlalu tinggi/sebaliknya, ketika kehilangan atau penambahan
berat badan, ketika ada perubahan dosis obat, rencana diet, rencana aktivitas
fisik.
H. PENATALAKSANAAN MEDIS DAN KEPERAWATAN
1. Penatalaksanaan Medis
a. Obat Hipoglikemik oral
1) Golongan Sulfonilurea / sulfonyl ureas
Obat ini paling banyak digunakan dan dapat dikombinasikan denagn obat
golongan lain, yaitu biguanid, inhibitor alfa glukosidase atau insulin. Obat
golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan produksi insulin oleh
sel- sel beta pankreas, karena itu menjadi pilihan utama para penderita DM
tipe II dengan berat badan yang berlebihan.
Obat – obat yang beredar dari kelompok ini adalah ;
a) Glibenklamida (5mg/tablet).
b) Glibenklamida micronized (5 mg/tablet).
c) Glikasida (80 mg/tablet).
d) Glikuidon (30 mg/tablet)
2) Golongan Biguanid / Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi glukosa hati, memperbaiki
ambilan glukosa dari jaringan ( glukosa perifer ). Dianjurkan sebagai obat
tunggal pada pasien dengan kelebihan berat badan.
3) Golongan Inhibitor Alfa Glukosidase
Mempunyai efek utama menghambat penyerapan gula di saluran pencernaan,
sehingga dapat menurunkan kadar gula sesudah makan. Bermanfaat untuk
pasien dengan kadar gula puasa yang masih normal.
b. Insulin
1) Indikasi insulin
Pada DM tipe I yang tergantung pada insulin biasanya digunakan Human
Monocommponent Insulin ( 40 UI dan 100 UI/ml injeksi ), yang beredar
adalah Actrapid.
Injeksi insulin juga diberikan kepada penderita DM tipe II yang kehilangan
berat badan secara drastis. Yang tidak berhasil dengan penggunaan obat –
obatan anti DM dengan dosis maksimal, atau mengalami kontraindikasi
dengan obat – obatan tersebut, bila mengalami ketoasidosis, hiperosmolar,
dana sidosis laktat, stress berat karena infeksi sistemik, pasien operasi berat,
wanita hamil dengan gejala DM gestasional yang tidak dapat dikontrol dengan
pengendalian diet.
2) Jenis Insulin
a) Insulin kerja cepat
Jenis – jenisnya adalah regular insulin, cristalin zink, dan semilente.
b) Insulin kerja sedang
Jenis – jenisnya adalah NPH (Netral Protamine Hagerdon)
c) Insulin kerja lambat
Jenis – jenisnya adalah PZI (Protamine Zinc Insulin)
(Muttaqin, 2015)
2. Penatalaksanaan Keperawatan
Penatalaksanaan Diabetes Melitus dalam Manurung (2018), dijelaskan dalam 4
pilar penatalaksanaan DM, sebagai berikut :
a. Edukasi
Dalam keadaan normal, Diabetes Melitus dipengaruhi oleh perilaku serta gaya
hidup, untuk berhasil mengelola penyakit tersebut secara mandiri diperlukan
partisipasi aktif pasien, keluarga, dan tim medis. Untuk mencapai keberhasilan
perilaku, diperlukan edukasi yang komprehensif. Edukasi ini meliputi
pemahaman berikut :
1) Penyakit Diabetes Melitus
2) Perlunya pengendalian dan pemantauan penyakit Diabetes Melitus
3) Komplikasi Diabetes Melitus
4) Intervensi fakmakologi serta non-farmakologi
5) Hipoglikemia
6) Terjadi masalah khusus
7) Perawatan kaki diabetik / bagaimana membangun sistem pendukung
8) Bagaimana menggunakan fasilitas kesehatan yang ada.
b. Perencanaan makanan/terapi nutrisi
Perencana makan adalah salah satu pilar dalam penatalaksanaan Diabetes
Melitus, rencana makan harus disesuaikan dengan masing-masing orang.
Standar yang dianjurkan adalah komposisi makanan: 45-65% karbohidrat, 10-
20% protein dan 20-25% lemak. Jumlah kalori harus sesuai dengan status gizi,
umur dan kesehatan fisik.
c. Latihan fisik
Latihan fisik/aktivitas fisik merupakan salah satu pilar penatalaksanaan
Diabetes Melitus, karena kegiatan fisik dapat menurunkan berat badan dan
meningkatkan sensitivitas insulin sehingga memperbaiki kadar gula darah.
Oleh karena itu prinsip senam jasmani yang harus dilakukan adalah:
1) Continuous, latihan fisik harus dilakukan terus – menerus dan dilakukan
tanpa berhenti, seperti jogging selama 30 menit.
2) Rhytmical, latihan fisik dilakukan secara berirama agar otot – otot
berkontraksi serta berrelaksasi teratur, seperti berenang, lari, ataupun jalan
kaki.
3) Interval, latihan dilakukan berselang – seling dengan cepat dan lambat.
4) Progresive, latihan fisik dilakukan dengan bertahap sesuai dengan
kemampuan perorangan.
5) Endurance, latihan ketahanan untuk meningkatkan fungsi kardiorespirasi.
d. Terapi farmakologis
Terapi faramakologis (obat) dipadukan dengan pengaturan pola makan dan
olahraga. Penanganannya meliputi terapi oral dan bentuk injeksi. Pemberian
obat hipoglikemik oral (OHO) diberikan sesuai dengan prinsip kerjanya, OHO
dibagi menjadi lima kelompok yaitu, sebagai berikut :
1) Sulfonylurea dan glind : memicu skresi insulin
2) Peningkat sensitifitas insulin
3) Penghambat gluconeogenesis
4) Penghambat penyerapan glukosa
5) Penghambat glucosidase alfa, DPP-IV Iinhibitor.
I. PATHWAYS

Hipovolemia

resiko komplikasi

Defisit Nutrisi

Resiko Jatuh

Sumber : Padila, (2019)


BAB II
KONSEP KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
Menurut NANDA, (2015) fase pengkajian merupakan sebuah komponen utama untuk
mengumpulkan informasi, data, memvalidasi data, mengorganisasikan data, dan
mendokumentasikan data. Pengumpulan data antara lain meliputi:
1. Identitas Penderita
a. Identitas pasien (nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan,
agama, suku, alamat, status, tanggal masuk, tanggal pengkajian, diagnosa
medis).
b. Identitas penanggung jawab (nama, umur, pekerjaan, alamat, hubungan
dengan pasien).
2. Riwayat kesehatan pasien
a. Keluhan/ Alasan masuk Rumah Sakit
Cemas, lelah, anoreksia, mual, muntah, nyeri abdomen, nafas pasien mungkin
berbau aseton, pernapasan kussmaul, gangguan pola tidur, poliuri, polidipsi,
penglihatan yang kabur, kelemahan, dan sakit kepala.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Berisi tentang kapan terjadinya penyakit, penyebab terjadinya penyakit serta
upaya yang telah dilakukan oleh penderita untuk mengatasinya.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Adanya riwayat penyakit diabetes mellitus atau penyakitpenyakit lain yang ada
kaitannya dengan defisiensi insulin misalnya penyakit pankreas. Adanya
riwayat penyakit jantung, obesitas, maupun arterosklerosis, tindakan medis
yang pernah didapat maupun obat-obatan yang biasa digunakan oleh penderita.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat atau adanya faktor resiko, riwayat keluarga tentang penyakit,
obesitas, riwayat pankreatitis kronik, riwayat melahirkan anak lebih dari 4 kg,
riwayat glukosuria selama stres (kehamilan, pembedahan, trauma, infeksi,
penyakit) atau terapi obat (glukokortikosteroid, diuretik tiasid, kontrasepsi
oral).
3. Pola aktivitas sehari-hari
Menggambarkan pola latihan, aktivitas, fungsi pernapasan dan sirkulasi.
Pentingnya latihan/gerak dalam keadaan sehat dan sakit, gerak tubuh dan
kesehatan berhubungan satu sama lain.
4. Pola eliminasi
Menjelaskan pola fungsi eksresi, kandung kemih dan sulit kebiasaan defekasi, ada
tidaknya masalah defekasi, masalah miksi (oliguri, disuri, dan lain-lain),
penggunaan kateter, frekuensi defekasi dan miksi, karakteristik urin dan feses,
pola input cairan, infeksi saluran kemih, masalah bau badan, perspirasi berlebih.
5. Pola makan
Menggambarkan masukan nutrisi, balance cairan dan elektrolit, nafsu makan,
pola makan, diet, fluktuasi BB dalam 6 bulan terakhir, kesulitan menelan,
mual/muntah, kebutuhan jumlah zat gizi, masalah/penyembuhan kulit, makanan
kesukaan.
6. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum
Meliputi keadaan penderita tampak lemah atau pucat. Tingkat kesadaran
apakah sadar, koma, disorientasi.
b. Tanda-tanda vital
Tekanan darah tinggi jika disertai hipertensi. Pernapasan reguler ataukah
ireguler, adanya bunyi napas tambahan, Respiration Rate (RR) normal16-20
kali/menit, pernapasan dalam atau dangkal. Denyut nadi reguler atau ireguler,
adanya takikardia, denyutan kuat atau lemah. Suhu tubuh meningkat apabila
terjadi infeksi.
c. Pemeriksaan Kepala dan Leher
1) Kepala : normal, kepala tegak lurus, tulang kepala umumnya bulat dengan
tonjolan frontal di bagian anterior dan oksipital dibagian posterior
2) Rambut : biasanya tersebar merata, tidak terlalu kering, tidak terlalu
berminyak.
3) Mata : simetris mata, refleks pupil terhadap cahaya, terdapat gangguan
penglihatan apabila sudah mengalami retinopati diabetik.
4) Telinga : fungsi pendengaran mungkin menurun
5) Hidung : adanya sekret, pernapasan cuping hidung, ketajaman saraf hidung
menurun.
6) Mulut : mukosa bibir kering
7) Leher : tidak terjadi pembesaran kelenjar getah bening.
d. Pemeriksaan Dada
Pernapasan : sesak nafas, batuk dengan tanpa sputum purulent dan tergantung
ada/tidaknya infeksi, panastesia/paralise ototpernapasan (jika kadar kalium
menurun tajam), RR >24x/menit, nafas berbau aseton. 2. Kardiovaskuler :
takikardia/nadi menurun, perubahan TD postural, hipertensi disritmia dan
krekel.
e. Pemeriksaan Abdomen
Adanya nyeri tekan pada bagian pankreas, distensi abdomen, suara bising usus
yang meningkat.
f. Pemeriksaan Reproduksi
Rabbas vagina (jika terjadi infeksi), keputihan impotensi pada pria, dan sulit
orgasme pada wanita.
g. Pemeriksaan Integumen
Biasanya terdapat lesi atau luka pada kulit yang lama sembuh. Kulit kering,
adanya ulkus di kulit, luka yang tidak kunjung sembuh. Adanya akral dingi,
capilarry refill kurang dari 3 detik, adanya pitting edema.
h. Pemeriksaan Ekstremitas
Kekuatan otot dan tonus otot melemah. Adanya luka pada kaki atau kaki
diabetik.
i. Pemeriksaan Status Mental
Biasanya penderita akan mengalami stres, menolak kenyataan, dan
keputusasaan.

B. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Menurut Purwanto (2016), pemeriksaan penunjang diabetes mellitus adalah :
a. Gula darah meningkat >200 ml/dL
b. Aseton plasma (aseton) positif secara mencolok
c. Osmolaritas serum : meningkat tapi biasanya

C. DIAGNOSA KEPERAWATAN (SDKI,2016)


1. Ketidaksetabilan kadar glukosa darah
2. Hipovolemia
3. Defisit nutrisi
4. Nyeri akut
5. Kerusakan intergritas kulit
6. Resiko jatuh

D. RENCANA KEPERAWATAN
DIAGNOSA TUJUAN DAN KRITERIA INTERVENSI (SIKI,2018)
KEPERAWATAN HASIL (SLKI,2018)
(D.0027) Ketidakstabilan Tujuan : setelah dilakukan Manajemen hiperglikemia
kadar glukosa darah b/d tindakan keperawatan diharapkan (I.03115)
hiperglikemia kestabilan kadar glukosa darah 1. Identifikasi kemungkinan
meningkat penyebab hiperglikemia
Kriteria Hasil : Kestabilan kadar 2. Monitor kadar glukosa
glukosa darah (L.05022) darah
1. Mengantuk sedang (3) 3. Berikan asupan cairan oral
menjadi menurun (5) 4. Konsultasi dengan medis
2. Lelah/lesu sedang (3) menjadi jika tanda dan gejala
menurun (5) hiperglikemia tetap ada
3. Berkeringat sedang (3) atau memburuk
menjadi menurun (5) 5. Anjurkan kepatuhan
4. Kadar glukosa darah sedang terhadap diet dan olahraga
(3) menjadi menurun (5) 6. Kolaborasi pemberian
insulin
7. Kolaborasi pemberian
airan iv
(D.0023) Hipovolemia Tujuan : setelah dilakukan Manajemen hipovolemia
b/d kehilangan cairan tindakan keperawatan diharapkan (I.03116)
aktif status cairan membaik 1. Priksa tanda dan gejala
Kriteria Hasil : Status Cairan hypovolemia
(L03028) 2. Monitor intake dan output
1. Output urine sedang (3) cairan
menjadi menurun (1) 3. Hitung kebutuhan cairan
2. Dipsnea sedang (3) menjadi 4. Berikan asupan cairan oral
menurun (5) 5. Anjurkan memperbanyak
3. Edema sedang (3) menjadi asupan cairan oral
menurun (5) 6. Kolaborasi pemberian
4. Perasaan lemah sedang (3) cairan isotonis
menjadi menurun (5) 7. Kolaborasi pemberian
5. Konsentrasi urine sedang (3) cairan iv hipotonis
menjadi menurun (5)
6. Keluhan haus sedang (3)
menjadi menurun (5)
7. Frekuensi nadi sedang (3)
menjadi membaik (5)
8. Tekanan darah sedang (3)
menjadi menurun (5)
(D.0019) Defisit nutrisi Tujuan : setelah dilakukan Manajemen nutrisi (I.03119)
b/d ketidakmampuan tindakan keperawatan diharapkan 1. Identifikasi status nutrisi
mencerna makanan status nutrisi membaik 2. Identifikasi kebutuhan
Kriteria Hasil : Status Nutrisi kalori dan jenis nutrien
(L.03030) 3. Monitor asupan makanan
1. Porsi makan yang dihabiskan 4. Monitor pemeriksaan
sedang (3) menjadi menurun laoboratorium
(5) 5. Sajikan makanan secara
2. Perasaan cepat kenyang menarik dan suhu yang
sedang (3) menjadi menurun sesuai
(5) 6. Anjurkan posisi duduk
3. Frekuensi makan sedang (3) 7. Kolaborasi pemberian
menjadi membaik (5) medikasi sebelum makan
4. Nafsu makan sedang (3)
menjadi membaik (5)

(D.0077) Nyeri akut b/d Tujuan : setelah dilakukan Manajemen nyeri (I.08238)
agen pencedera fisiologis tindakan keperawatan diharapkan 1. Identifikasi lokasi,
tingkat nyeri menurun karakteristik nyeri, durasi,
Kriteria Hasil : Tingkat nyeri frekuensi, intensitas nyeri
(L.08066) 2. Identifikasi skala nyeri
1. Keluhan nyeri sedang (3) 3. Identifikasi faktor yang
menjadi menurun (5) memperberat dan
2. Meringis sedang (3) menjadi memperingan nyeri
menurun (5) 4. Berikan terapi non
3. Sikap protektif sedang (3) farmakologis untuk
menjadi menurun (5) mengurangi rasa nyeri
4. Gelisah sedang (3) menjadi 5. Kontrol lingkungan yang
menurun (5) memperberat rasa nyeri
5. Muntah sedang (3) menjadi (mis: suhu ruangan,
menurun (5) pencahayaan,kebisinga)
6. Mual sedang (3) menjadi 6. Anjurkan memonitor nyeri
menurun (5) secara mandiri
7. Frekuensi nadi sedang (3) 7. Ajarkan teknik non
menjadi membaik (5) farmakologis untuk
8. Tekanan darah sedang (3) mengurangi nyeri
menjadi membaik (5) 8. Kolaboraasi pemberian
9. Nafsu makan sedang (3) analgetik, jika perlu
menjadi membaik (5)
(D.0129) Gangguan Tujuan : setelah dilakukan Perawatan luka (I.14564)
integritas kulit b/d tindakan keperawatan diharapkan 1. Monitor karakteristik luka
neuropati perifer integritas kulit dan jaringan 2. Monitor tanda infeksi
meningkat 3. Lepaskan balutan dan
Kriteria Hasil : Integritas kulit plester secara perlahan
dan jaringan (L.14125) 4. Bersihkan dengan cairan
1. Kerusakan jaringan sedang (3) NaCl
menjadi menurun (5) 5. Bersihkan jaringan
2. Kerusakan lapisan kulit nekrotik
sedang (3) menjadi menurun 6. Pasang balutan sesuai jenis
(5) luka
3. Nyeri sedang (3) menjadi 7. Pertahankan teknik steril
menurun (5) saat membersihkan luka
4. Tekstur sedang (3) menjadi 8. Jadwalkan perubahan
membaik (5) posisi setiap 2 jam atau
sesuai kondisi pasien
9. Jelaskan tanda dan gejala
infeksi
10. Kolaborasi prosedur
debridemen
11. Kolaborasi pemberian
antibiotik
(D.0143) Resiko jatuh Tujuan : setelah dilakukan Pencegahan jatuh (I.14540)
d/d gangguan tindakan keperawatan diharapkan 1. Identifikasi faktor resiko
penglihatan tingkat jatuh menurun jatuh
Kriteria Hasil : Tingkat jatuh 2. Identifikasi faktor
(L.14138) lingkungan yang
1. Jatuh saat berdiri sedang (3) meningkatkan resiko jatuh
menjadi menurun (1) 3. Hitung resiko jatuh
2. Jatuh saat jalan sedang (3) menggunakan skala (Fall
menjadi menurun (1) morse scale)
4. Pasang handrail tempat
tidur
5. Anjurkan menggunakan
alas kaki yang tidak licin
6. Anjurkan memanggil
perawat jika membutuhkan
bantuan untuk berpindah
DAFTAR PUSTAKA

Black joyce. M & Jane Hokanse Hawks. (2014). Medical Surgical Nursing vol 2.


Jakarta: Salemba Medika

Brunner & Sudarth. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Vol 2 Edisi 8.
Jakarta: EGC

Ernawati. (2013). Penatalaksanaan Keperawatan Diabates Melitus Terpadu dengan


Penerapan Teori Keperawatan Self Care Orem. Jakarta: Mitra Wacana Media

Lemone, Priscilla. Burke, Karen M. 2016. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.
Jakarta: EGC

Manurung, N. (2018). Keperawatan Medikal Bedah. Jilid 1. Jakarta: Trans Infro Media

Padila. 2019. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Nuha Medika

PPNI, Tim Pokja SDKI DPP. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. DPP
PPNI. Jakarta Selatan

PPNI, Tim Pokja SIKI DPP . (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. DPP
PPNI. Jakarta Selatan

PPNI, Tim Pokja SLKI DPP. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia. DPP
PPNI. Jakarta Selata

Purwanto, Hadi. (2016). Keperawatan Medikal Bedah II. Jakarta : Kemenkes

Rendy, & Margareth. (2019). Asuhan Keperawatan Medikal Bedah dan Penyakit
Dalam. Yogyakarta: Nuha Medika

Soegondo, S., Soewondo, Pradana, & Subekti, I. (2015). Penatalaksanaan Diabetes


Terpadu. Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FK UI

Soelistijo, S. A., et al. (2019). Pedoman pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus
tipe 2 dewasa di Indonesia 2019. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 1–117.
https://pbperkeni.or.id/ diperoleh tanggal 30 November 2020

Tandra, Hans. (2018). Segala Sesuatu Yang Harus Anda Ketahui Tentang Diabetes.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Anda mungkin juga menyukai