Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN

DIABETES MELITUS PADA LANSIA

RIA ANUGRAH
PO.71.4.201.16.1.073

KEMENTERIAN KESEHATAN REPIBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MAKASSAR
JURUSAN KEPERAWATANMAKASSAR
PRODI D. IV KEPERAWATAN
MAKASSAR
2020
LAPORAN PENDAHULUAN DIABETES MELITUS (DM)

A. Definisi Diabetes Mellitus


Diabetes mellitus merupakan kelainan metabolisme yang kronis terjadi
defisiensi insulin atau retensi insulin, di tandai dengan tingginya keadaan glukosa
darah (hiperglikemia) dan glukosa dalam urine (glukosuria) atau merupakan
sindroma klinis yang ditandai dengan hiperglikemia kronik dan gangguan
metabolisme karbohidrat, lemak dan protein sehubungan dengan kurangnya sekresi
insulin secara absolut / relatif dan atau adanya gangguan fungsi insulin.
Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh
kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia (Mansjoer, 2000).
Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh
kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia. (Brunner dan Suddarth,
2002).
Diabetes mellitus merupakan penyakit sistemis, kronis, dan multifaktorial yang
dicirikan dengan hiperglikemia dan hipoglikemia. ( Mary, 2009).

B. Etiologi
Beberapa ahli berpendapat bahwa dengan bertambahnya umur, intoleransi
terhadap glukosa juga meningkat, jadi untuk golongan usia lanjut diperlukan batas
glukosa darah yang lebih tinggi daripada orang dewasa non usia lanjut.

Pada NIDDM, intoleransi glukosa pada lansia berkaitan dengan obesitas,


aktivitas fisik yang berkurang,kurangnya massa otot, penyakit penyerta,
penggunaaan obat-obatan, disamping karena pada lansia terjadi penurunan sekresi
insulin dan insulin resisten. Lebih dari 50% lansia diatas 60 tahun yang tanpa
keluhan, ditemukan hasil Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) yang abnormal.
Intoleransi glukosa ini masih belum dapat dikatakan sebagai diabetes. Pada usia
lanjut terjadi penurunan maupun kemampuan insulin terutama pada post reseptor.

Pada lansia cenderung terjadi peningkatan berat badan, bukan karena


mengkonsumsi kalori berlebih namun karena perubahan rasio lemak-otot dan
penurunan laju metabolisme basal. Hal ini dapat menjadi faktor predisposisi
terjadinya diabetes mellitus.

Penyebab diabetes mellitus pada lansia secara umum dapat digolongkan ke


dalam dua besar :

1. Proses menua/kemunduran (Penurunan sensitifitas indra pengecap, penurunan


fungsi pankreas, dan penurunan kualitas insulin sehingga insulin tidak berfungsi
dengan baik).
2. Gaya hidup (life style) yang jelek (banyak makan, jarang olahraga, minum
alkohol, dan lain-lain.)

Keberadaan penyakit lain, sering menderita stress juga dapat menjadi penyebab
terjadinya diabetes mellitus. Selain itu perubahan fungsi fisik yang menyebabkan
keletihan dapat menutupi tanda dan gejala diabetes dan menghalangi lansia untuk
mencari bantuan medis. Keletihan, perlu bangun pada malam hari untuk buang air
kecil, dan infeksi yang sering merupakan indikator diabetes yang mungkin tidak
diperhatikan oleh lansia dan anggota keluarganya karena mereka percaya bahwa hal
tersebut adalah bagian dari proses penuaan itu sendiri.

C. Klasifikasi
1. Diabetes melitus tipe I
Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut baik
melalui proses imunologik maupun idiopatik. Karakteristik Diabetes Melitus
tipe I:
a. Mudah terjadi ketoasidosis
b. Pengobatan harus dengan insulin
c. Onset akut
d. Biasanya kurus
e. Biasanya terjadi pada umur yang masih muda
f. Berhubungan dengan HLA-DR3 dan DR4
g. Didapatkan antibodi sel islet
h. 10%nya ada riwayat diabetes pada keluarga
2. Diabetes melitus tipe II :
Bervariasi mulai yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi
insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama
resistensi insulin. Karakteristik DM tipe II :
a. Sukar terjadi ketoasidosis
b. Pengobatan tidak harus dengan insulin
c. Onset lambat
d. Gemuk atau tidak gemuk
e. Biasanya terjadi pada umur > 45 tahun
f. Tidak berhubungan dengan HLA
g. Tidak ada antibodi sel islet
h. 30%nya ada riwayat diabetes pada keluarga
i. ± 100% kembar identik terkena

D. Patofisiologi
Dalam proses metabolisme, insulin memegang peranan penting yaitu
memasukkan glukosa ke dalam sel yang digunakan sebagai bahan bakar. Insulin
adalah suatu zat atau hormon yang dihasilkan oleh sel beta di pankreas. Bila insulin
tidak ada maka glukosa tidak dapat masuk sel dengan akibat glukosa akan tetap
berada di pembuluh darah yang artinya kadar glukosa di dalam darah meningkat.

Pada Diabetes melitus tipe 1 terjadi kelainan sekresi insulin oleh sel beta
pankreas. Pasien diabetes tipe ini mewarisi kerentanan genetik yang merupakan
predisposisi untuk kerusakan autoimun sel beta pankreas. Respon autoimun dipacu
oleh aktivitas limfosit, antibodi terhadap sel pulau langerhans dan terhadap insulin
itu sendiri.

Pada diabetes melitus tipe 2 yang sering terjadi pada lansia, jumlah insulin
normal tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel yang
kurang sehingga glukosa yang masuk ke dalam sel sedikit dan glukosa dalam darah
menjadi meningkat.
Pathaway

DM Tipe 1 DMTipe 2

Reaksi Autoimun Idiopatik, usia,


genetik, dll

Sel β pancreas Jumlah sel pancreas


hancur menurun

Defisiensi insulin

Hiperglikemia Katabolisme protein Liposis meningkat


meningkat

Penurunan BB
Pembatasan Diit

Fleksibilitas
darah merah
Intake tidak Resiko nutrisi kurang
adekuat dari kebutuhan

Pelepasan O2

Poliuria Kekurangan volume


cairan
Hipoksia
perifer Perfusi jaringan perifer
tidak efektif

Nyeri Akut
E. Manifestasi Klinis
Keluhan umum pasien DM seperti poliuria, polidipsia, polifagia pada lansia
umumnya tidak ada. Osmotik diuresis akibat glukosuria tertunda disebabkan
ambang ginjal yang tinggi, dan dapat muncul keluhan nokturia disertai gangguan
tidur, atau bahkan inkontinensia urin. Perasaan haus pada pasien DM lansia kurang
dirasakan, akibatnya mereka tidak bereaksi adekuat terhadap dehidrasi. Karena itu
tidak terjadi polidipsia atau baru terjadi pada stadium lanjut. Sebaliknya yang sering
mengganggu pasien adalah keluhan akibat komplikasi degeneratif kronik pada
pembuluh darah dan saraf.

Pada DM lansia terdapat perubahan patofisiologi akibat proses menua, sehingga


gambaran klinisnya bervariasi dari kasus tanpa gejala sampai kasus dengan
komplikasi yang luas. Keluhan yang sering muncul adalah adanya gangguan
penglihatan karena katarak, rasa kesemutan pada tungkai serta kelemahan otot
(neuropati perifer) dan luka pada tungkai yang sukar sembuh dengan pengobatan
lazim.

Menurut Supartondo, gejala-gejala akibat DM pada usia lanjut yang sering


ditemukan adalah :

1. Katarak
2. Glaukoma
3. Retinopati
4. Gatal seluruh badan
5. Pruritus Vulvae
6. Infeksi bakteri kulit
7. Infeksi jamur di kulit
8. Dermatopati
9. Neuropati perifer
10. Neuropati viseral
11. Amiotropi
12. Ulkus Neurotropik
13. Penyakit ginjal
14. Penyakit pembuluh darah perifer
15. Penyakit koroner
16. Penyakit pembuluh darah otak
17. Hipertensi

F. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dalam diabetes melitus terbagi menjadi 2, yakni : penatalaksanaan
secara medis dan penatalaksanaan secara keperawatan. Penatalaksanaan secara medis
adalah sebagai berikut:
1. Obat Hipoglikemik oral
a. Golongan Sulfonilurea / sulfonyl ureas
Obat ini paling banyak digunakan dan dapat dikombinasikan denagn obat
golongan lain, yaitu biguanid, inhibitor alfa glukosidase atau insulin. Obat
golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan produksi insulin oleh sel-
sel beta pankreas, karena itu menjadi pilihan utama para penderita DM tipe II
dengan berat badan yang berlebihan. Obat – obat yang beredar dari kelompok
ini adalah:
1) Glibenklamida (5mg/tablet).
2) Glibenklamida micronized (5 mg/tablet).
3) Glikasida (80 mg/tablet).
4) Glikuidon (30 mg/tablet).
b. Golongan Biguanid / Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi glukosa hati, memperbaiki
ambilan glukosa dari jaringan (glukosa perifer). Dianjurkan sebagai obat
tunggal pada pasien dengan kelebihan berat badan.
c. Golongan Inhibitor Alfa Glukosidase
Mempunyai efek utama menghambat penyerapan gula di saluran pencernaan,
sehingga dapat menurunkan kadar gula sesudah makan. Bermanfaat untuk
pasien dengan kadar gula puasa yang masih normal.
2. Insulin
a. Indikasi insulin
Pada DM tipe I yang tergantung pada insulin biasanya digunakan Human
Monocommponent Insulin (40 UI dan 100 UI/ml injeksi), yang beredar
adalah Actrapid. Injeksi insulin juga diberikan kepada penderita DM tipe II
yang kehilangan berat badan secara drastis. Yang tidak berhasil dengan
penggunaan obat – obatan anti DM dengan dosis maksimal, atau mengalami
kontraindikasi dengan obat – obatan tersebut, bila mengalami ketoasidosis,
hiperosmolar, dana sidosis laktat, stress berat karena infeksi sistemik, pasien
operasi berat, wanita hamil dengan gejala DM gestasional yang tidak dapat
dikontrol dengan pengendalian diet.
b. Jenis Insulin
1) Insulin kerja cepat Jenis – jenisnya adalah regular insulin, cristalin zink,
dan semilente.
2) Insulin kerja sedang Jenis – jenisnya adalah NPH (Netral Protamine
Hagerdon)
3) Insulin kerja lambat Jenis – jenisnya adalah PZI (Protamine Zinc Insulin)
4) Sedangkan untuk penatalaksanaan secara keperawatan adalah sebagai
berikut:
a) Diet
Salah satu pilar utama pengelolaan DM adalah perencanaan makan.
Walaupun telah mendapat tentang penyuluhan perencanaan
makanan, lebih dari 50 % pasien tidak melaksanakannya. Penderita
DM sebaiknya mempertahankan menu diet seimbang, dengan
komposisi idealnya sekitar 68 % karbohidrat, 20 % lemak dan 12 %
protein. Karena itu diet yang tepat untuk mengendalikan dan
mencegah agar berat badan tidak menjadi berlebihan dengan cara :
Kurangi kalori, kurangi lemak, konsumsi karbohidrat komplek,
hindari makanan yang manis, perbanyak konsumsi serat.
b) Olahraga
Olahraga selain dapat mengontrol kadar gula darah karena membuat
insulin bekerja lebih efektif. Olahraga juga membantu menurunkan
berat badan, memperkuat jantung, dan mengurangi stress. Bagi
pasien DM melakukan olahraga dengan teratur akan lebih baik,
tetapi jangan melakukan olahraga yang berat – berat.
G. Pemeriksaan Diagnostik
Glukosa darah sewaktu
1. Kadar glukosa darah puasa
2. Tes toleransi glukosa
Kriteria diagnostik WHO untuk diabetes mellitus pada sedikitnya 2 kali
pemeriksaan:
1. Glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl (11,1 mmol/L)
2. Glukosa plasma puasa >140 mg/dl (7,8 mmol/L)
3. Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian sesudah
mengkonsumsi 75 gr karbohidrat (2 jam post prandial (pp) > 200 mg/dl
H. Komplikasi

Komplikasi diabetes mellitus diklasifikasikan menjadi akut dan kronis. Yang


termasuk dalam komplikasi akut adalah hipoglikemia, diabetes ketoasidosis (DKA),
dan hyperglycemic hyperosmolar nonketocic coma (HHNC). Yang termasuk dalam
komplikasi kronis adalah retinopati diabetic, nefropati diabetic, neuropati,
dislipidemia, dan hipertensi.

1. Komplikasi akut
Diabetes ketoasidosis adalah akibat yang berat dari deficit insulin yang berat
pada jaringan adipose, otot skeletal, dan hepar. Jaringan tersebut termasuk
sangat sensitive terhadap kekurangan insulin. DKA dapat dicetuskan oleh
infeksi ( penyakit)
2. Komplikasi kronis:
a. Retinopati diabetic
Lesi paling awal yang timbul adalah mikroaneurism pada pembuluh
retina. Terdapat pula bagian iskemik, yaitu retina akibat berkurangnya aliran
darah retina. Respon terhadap iskemik retina ini adalah pembentukan
pembuluh darah baru, tetapi pembuluh darah tersebut sangat rapuh sehingga
mudah pecah dan dapat mengakibatkan perdarahan vitreous. Perdarahan ini
bisa mengakibatkan ablasio retina atau berulang yang mengakibatkan
kebutaan permanen.
b. Nefropati diabetic
Lesi renal yang khas dari nefropati diabetic adalah glomerulosklerosis
yang nodular yang tersebar dikedua ginjal yang disebut sindrom
Kommelstiel-Wilson. Glomeruloskleriosis nodular dikaitkan dengan
proteinuria, edema dan hipertensi. Lesi sindrom Kommelstiel-Wilson
ditemukan hanya pada DM.
c. Neuropati
Neuropati diabetic terjadi pada 60 – 70% individu DM. neuropati
diabetic yang paling sering ditemukan adalah neuropati perifer dan
autonomic.
d. Displidemia
Lima puluh persen individu dengan DM mengalami dislipidemia.
e. Hipertensi
Hipertensi pada pasien dengan DM tipe 1 menunjukkan penyakit
ginjal, mikroalbuminuria, atau proteinuria. Pada pasien dengan DM tipe 2,
hipertensi bisa menjadi hipertensi esensial. Hipertensi harus secepat
mungkin diketahuin dan ditangani karena bisa memperberat retinopati,
nepropati, dan penyakit makrovaskular.
f. Kaki diabetic
Ada tiga factor yang berperan dalam kaki diabetic yaitu neuropati,
iskemia, dan sepsis. Biasanya amputasi harus dilakukan. Hilanggnya sensori
pada kaki mengakibatkan trauma dan potensial untuk ulkus. Perubahan
mikrovaskuler dan makrovaskuler dapat mengakibatkan iskemia jaringan
dan sepsis. Neuropati, iskemia, dan sepsis bisa menyebabkan gangrene dan
amputasi.
g. Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah keadaan dengan kadar glukosa darah di bawah
60 mg/dl, yang merupakan komplikasi potensial terapi insulin atau obat
hipoglikemik oral. Penyebab hipoglikemia pada pasien sedang menerima
pengobatan insulin eksogen atau hipoglikemik oral.
Konsep Asuhan Keperawatan

A. Pengkajian
1. Data Subyektif
a. Identitas
DM pada pasien usia lanjut umumnya terjadi pada usia > 60 tahun dan
umumnya adalah DM tipe II ( non insulin dependen ) atau tipe DMTTI.
b. Keluhan utama
DM pada usia lanjut mungkin cukup sukar karena sering tidak khas dan
asimtomatik ( contohnya ; kelemahan, kelelahan, BB menurun, terjadi infeksi
minor, kebingungan akut, atau depresi ).
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Pada umumnya pasien datang ke RS dengan keluhan gangguan penglihatan
karena katarak, rasa kesemutan pada tungkai serta kelemahan otot ( neuropati
perifer ) dan luka pada tungkai yang sukar sembuh dengan pengobatan lazim.
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Adakah keluarga yang menderita penyakit seperti klien ?
e. Riwayat Kesehatan Pasien dan Pengobatan Sebelumnya
Berapa lama klien menderita DM, bagaimana penanganannya, mendapat
terapi insulin jenis apa, bagaimana cara minum obatnya apakah teratur atau
tidak, apa saja yang dilakukan klien untuk menanggulangi penyakitnya.
f. Pola pemenuhan kebutuhan sehari – hari
1) Aktivitas/ Istirahat :
Letih, Lemah, Sulit Bergerak / berjalan, kram otot, tonus otot menurun.
2) Sirkulasi
Adakah riwayat hipertensi,AMI, klaudikasi, kebas, kesemutan pada
ekstremitas, ulkus pada kaki yang penyembuhannya lama, takikardi,
perubahan tekanan darah
3) Integritas Ego
Stress, ansietas
4) Eliminasi
Perubahan pola berkemih ( poliuria, nokturia, anuria ), diare
5) Makanan / Cairan
Anoreksia, mual muntah, tidak mengikuti diet, penurunan berat badan,
haus, penggunaan diuretik.
6) Neurosensori
Pusing, sakit kepala, kesemutan, kebas kelemahan pada otot, parestesia,
gangguan penglihatan.
7) Nyeri / Kenyamanan
Abdomen tegang, nyeri (sedang / berat)
8) Pernapasan
Batuk dengan/tanpa sputum purulen (tergangung adanya infeksi / tidak)
9) Keamanan
Kulit kering, gatal, ulkus kulit.
2. Data obyektif
Pemeriksaan fisik pada Lansia
a. Sel ( perubahan sel )
Sel menjadi lebih sedikit, jumlah dan ukurannya menjadi lebih besar,
berkurangnya jumlah cairan tubuh dan berkurangnya cairan intrasel.
b. Sistem integumen
Kulit keriput akibat kehilangan jaringan lemak, kulit kering dan pucat dan
terdapat bintik – bintik hitam akibat menurunnya aliran darah kekulit dan
menurunnya sel – sel yang memproduksi pigmen, kuku pada jari tengah dan
kaki menjadi tebal dan rapuh. Pada orang berusia 60 tahun rambut wajah
meningkat, rambut menipis / botak dan warna rambut kelabu, kelenjar keringat
berkurang jumlah dan fungsinya.
c. Sistem Muskuler
Kecepatan dan kekuatan kontraksi otot skeletal berkurang pengecilan otot
karena menurunnya serabut otot. Pada otot polos tidak begitu berpengaruh.
d. Sistem pendengaran
Presbiakusis ( menurunnya pendengaran pada lansia ) membran timpani
menjadi altrofi menyebabkan austosklerosis, penumpukan serumen sehingga
mengeras karena meningkatnya keratin.
e. Sistem Penglihatan
Karena berbentuk speris, sfingter pupil timbul sklerosis dan hilangnya respon
terhadap sinar, lensa menjadi keruh, meningkatnya ambang penglihatan ( daya
adaptasi terhadap kegegelapan lebih lambat, susah melihat gelap ). Hilangnya
daya akomodasi, menurunnya lapang pandang karena berkurangnya luas
pandangan. Menurunnya daya membedakan warna hijau atau biru pada skala.
f. Sistem Pernafasan
Otot – otot penafasan kehilangan kekuatan dan menjadi kaku, menurunnya
aktivitas sillia, paru kurang elastis, alveoli kurang melebar biasanya dan jumlah
berkurang. Oksigen pada arteri menurun menjadi 75 mmHg. Karbon oksida
pada arteri tidak berganti – kemampuan batuk berkurang.
g. Sistem Kardiovaskuler
Katub jantung menebal dan menjadi kaku. Kemampuan jantung memompa
darah menurun 1 % pertahun. Kehilangan obstisitas pembuluh darah, tekanan
darah meningkat akibat meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer.
h. Sistem Gastointestinal
Kehilangan gigi, indra pengecap menurun, esofagus melebar, rasa lapar
menurun, asam lambung menurun waktu pengosongan lambung, peristaltik
lemah sehingga sering terjadi konstipasi, hati makin mengecil.
i. Sistem Perkemihan
Ginjal mengecil, nefron menjadi atrofi, aliran darah ke ginjal menurun sampai
50 %, laju filtrasi glumesulus menurun sampai 50 %, fungsi tubulus berkurang
sehingga kurang mampu memekatkan urine, Dj urin menurun, proteinuria
bertambah, ambang ginjal terhadap glukosa meningkat, kapasitas kandung
kemih menurun ( zoome ) karena otot – otot yang lemah, frekwensi berkemih
meningkat, kandung kemih sulit dikosongkan, pada orang terjadi peningkatan
retensi urin dan pembesaran prostat (75 % usia diatas 60 tahun).
j. Sistem Reproduksi
Selaput lendir vagina menurun / kering, menciutnya ovarium dan uterus, atrofi
payu darah testis masih dapat memproduksi meskipun adanya penurunan secara
berangsur – angsur, dorongan sek menetap sampai usia diatas 70 tahun asal
kondisi kesehatan baik.
k. Sistem Endokrin
Produksi semua hormon menurun, fungsi paratiroid dan sekresinya tidak
berubah, berkurangnya ACTH, TSH, FSH, dan LH, menurunnya aktivitas tiroid
sehingga laju metabolisme tubuh ( BMR ) menurun, menurunnya produk
aldusteran, menurunnya sekresi, hormon godad, progesteron, estrogen,
testosteron.
l. Sistem Sensori
Reaksi menjadi lambat kurang sensitif terhadap sentuhan (berat otak menurun
sekitar 10 – 20 % ).

B. Diagnosa Keperawatan
1. Defisit nutrisi berhubungan dengan peningkatan metabolisme protein, lemak.
2. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan osmotik diuresis ditandai
dengan tugor kulit menurun dan membran mukasa kering.
3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan perubahan status metabolik
(neuropati perifer) ditandai dengan gangren pada extremitas.
4. Keletihan berhubungan dengan kondisi fisik yang kurang.
5. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan glukosa darah yang tinggi.

C. Intervensi Keperawatan
Dx.1 Defisit nutrisi berhubungan dengan peningkatan metabolisme protein,
lemak.
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan kebutuhan nutrisi
pasien dapat terpenuhi.
Kriteria Hasil :
a. Pasien dapat mencerna jumlah kalori atau nutrien yang tepat
b. Berat badan stabil atau penambahan ke arah rentang biasanya
Intervensi :
1. Timbang berat badan sesuai indikasi.
R/ Mengkaji pemasukan makanan yang adekuat.
2. Tentukan program diet, pola makan, dan bandingkan dengan makanan yang
dapat dihabiskan klien.
R/ Mengidentifikasikan kekurangan dan penyimpangan dari kebutuhan
terapeutik.
3. Auskultrasi bising usus, catat nyeri abdomen atau perut kembung, mual,
muntah dan pertahankan keadaan puasa sesuai inndikasi.
R/ Hiperglikemi, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit menurunkan
motilitas atau fungsi lambung (distensi atau ileus paralitik).
4. Berikan makanan cair yang mengandung nutrisi dan elektrolit. Selanjutnya
memberikan makanan yang lebih padat.
R/ Pemberian makanan melalui oral lebih baik diberikan pada klien sadar dan
fungsi gastrointestinal baik.
5. Identifikasi makanan yang disukai.
R/ Kerja sama dalam perencanaan makanan.
6. Libatkan keluarga dalam perencanaan makan.
R/ Meningkatkan rasa keterlibatannya, memberi informasi pada keluarga
untuk memahami kebutuhan nutrisi klien.
7. Observasi tanda hipoglikemia (perubahan tingkat kesadaran, kulit lembap
atau dingin, denyut nadi cepat, lapar, peka rangsang, cemas, sakit kepala,
pusing).
R/ Pada metabolism kaborhidrat (gula darah akan berkurang dan sementara
tetap diberikan tetap diberikan insulin, maka terjadi hipoglikemia terjadi
tanpa memperlihatkan perubahan tingkat kesadaran.
8. Kolaborasi :
a. Lakukan pemeriksaan gula darah dengan finger stick
R/ Analisa di tempat tidur terhadap gula darah lebih akurat daripada
memantau gula dalam urine.
b. Pantau pemeriksaan laboratorium (glukosa darah, aseton, pH, HCO3)
R/ Gula darah menurun perlahan dengan penggunaan cairan dan terapi
insulin terkontrol sehingga glukosa dapat masuk ke dalam sel dan digunakan
untuk sumber kalori. Saat ini, kadaar aseton menurun dan asidosis dapat
dikoreksi.
c. Berikan pengobatan insulin secara teratur melalui iv
R/ Insulin regular memiliki awitan cepat dan dengan cepat pula membantu
memindahkan glukosa ke dalam sel. Pemberian melalui IV karena absorpsi
dari jaringan subkutan sangat lambat.
d. Berikan larutan glukosa ( destroksa, setengah salin normal).
R/ Larutan glukosa ditambahkan setelah insulin dan cairan membawa gula
darah sekitar 250 mg /dl. Dengan metabolism karbohidrat mendekati normal,
perawatan diberikan untuk menghindari hipoglikemia.
e. Konsultasi dengan ahli gizi
R/ Bermanfaat dalam penghitungan dan penyesuaian diet untuk memenuhi
kebutuhan nutrisi.

Dx.2 Kekurangan volume cairan berhubungan dengan osmotik diuresis


ditandai dengan tugor kulit menurun dan membran mukosa kering.
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan kebutuhan cairan atau
hidrasi pasien terpenuhi
Kriteria Hasil : Pasien menunjukkan hidrasi yang adekuat dibuktikan oleh tanda vital
stabil, nadi perifer dapat diraba, turgor kulit dan pengisian kapiler baik, haluaran urin
tepat secara individu dan kadar elektrolit dalam batas normal.
Intervensi :
1. Kaji riwayat klien sehubungan dengan lamanya atau intensitas dari gejala seperti
muntah dan pengeluaran urine yang berlebihan.
R/ Membantu memperkirakan kekurangan volume total. Adanya proses infeksi
mengakibatkan demam dan keadaan hipermetabolik yang meningkatkan
kehilangan air.
2. Pantau tanda – tanda vital, catat adanya perubahan tekanan darah ortostatik.
R/ Hipovolemi dimanifestasikan oleh hipotensi dan takikardia. Perkiraan berat
ringannya hipovolemi saat tekanan darah sistolik turun ≥ 10 mmHg dari posisi
berbaring ke duduk atau berdiri.
3. Pantau pola napas seperti adanya pernapasan Kussmaul atau pernapasan yang
berbau keton.
R/ Perlu mengeluarkan asam karbonat melalui pernapasan yang menghasilkan
kompensasi alkalosis respiratoris terhadap keadaan ketoasidosis. Napas bau
aseton disebabkan pemecahan asam asetoasetat dan harus berkurang bila ketosis
terkoreksi.
4. Pantau frekuensi dan kualitas pernapasan, penggunaan otot bantu napas, adanya
periode apnea dan sianosi.
R/ Hiperglikemia dan asidosis menyebabkan pola dan frekuensi pernapasan
normal. Akan tetapi peningkatan kerja pernapasan, pernapasan dangkal dan cepat
serta sianosis merupakan indikasi dari kelelahan pernapasan atau kehilangan
kemampuan melalui kompensasi pada asidosis
5. Pantau suhu, warna kulit, atau kelembapannya.
R/ Demam, menggigil, dan diaphoresis adalah hal umum terjadi pada proses
infeksi, demam dengan kulit kemerahan, kering merupakan tanda dehidrasi.
6. Kaji nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit, dan membrane mukosa.
R/ Merupakan indicator tingkat dehidrasi atau volume sirkulasi yang adekuat.
7. Pantau masukan dan pengeluaran
R/ Memperkirakan kebutuhan cairan pengganti, fungsi ginjal, dan keefektifan
terapi yang diberikan.
8. Ukur berat badan setiap hari.
R/ Memberikan hasil pengkajian terbaik dari status cairan yang sedang
berlangsung dan selanjutnya dalam memberikan cairan pengganti.
9. Pertahankan pemberian cairan minimal 2500 ml/hari
R/ Mempertahankan hidrasi atau volume sirkulasi.
10. Tingkatkan lingkungan yang menimbulkan rasa nyaman. Selimuti klien dengan
kain yang tipis.
R/ Menghindari pemanasan yang berlebihan terhadap klien lebih lanjut dapat
menimbulkan kehilangan cairan.
11. Kaji adanya perubahan mental atau sensori.
R/ Perubahan mental berhubungan dengan hiperglikemi atau hipoglikemi,
elektrolit abnormal, asidosis, penurunan perfusi serebral, dan hipoksia. Penyebab
yang tidak tertangani, gangguan kesadaran menjadi predisposisi aspirasi pada
klien.
12. Observasi mual, nyeri abdomen, muntah, dan distensi lambung.
R/ Kekurangan cairan dan elektrolit mengubah motilitas lambung sehinnga sering
menimbulkan muntah dan secara potensial menimbulkan kekurangan cairan dan
elektrolit.
13. Observasi adanya perasaan kelelahan yang meningkat, edema, peningkatan berat
badan, nadi tidak teratur, dan distensi vaskuler.
R/ Pemberian cairan untuk perbaikan yang cepat berpotensi menimbulkan
kelebihan cairan dan gagal jantung kronis.
14. Kolaborasi :
a. Berikan terapi cairan sesuai indikasi : Normal salin atau setengah normal salin
dengan atau tanpa dekstrosa.
R/ Tipe dan jumlah cairan tergantung pada derajat kekurangan cairan dan
respon klien secara individual.
b. Albumin, plasma, atau dekstran.
R/ Plasma ekspander (pengganti) dibutuhkan jika mengancam jiwa atau
tekanan darah sudah tidak dapat kembali normal dengan usaha rehidrasi yang
telah dilakukan.
c. Pasang kateter urine.
R/ Memberikan pengukuran yang tepat terhadap pengeluaran urine terutama
jika neuropati otonom menimbulkan retensi atau inkontinensia.
Dx.3 Gangguan integritas kulit berhubungan dengan perubahan status
metabolik (neuropati perifer) ditandai dengan gangren pada extremitas.
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan tidakterjadi komplikasi.
Kriteria Hasil :
a. Menunjukan peningkatan integritas kulit
b. Menghindari cidera kulit
Intervensi :
1. Inspeksi kulit terhadap perubahan warna,turgor,vaskuler,perhatikan kemerahan.
R/ Menandakan aliran sirkulasi buruk yang dapat menimbulkan infeksi
2. Ubah posisi setiap 2 jam beri bantalan pada tonjolan tulang
R/ Menurunkan tekanan pada edema dan menurunkan iskemia
3. Pertahankan alas kering dan bebas lipatan
R/ Menurunkan iritasi dermal
4. Beri perawatan kulit seperti penggunaan lotion
R/ Menghilangkan kekeringan pada kulit dan robekan pada kulit
5. Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptik
R/ Mencegah terjadinya infeksi
6. Anjurkan pasien untuk menjaga agar kuku tetap pendek
R/ Menurunkan resiko cedera pada kulit oleh karena garukan
7. Motivasi klien untuk makan makanan TKTP
R/ Makanan TKTP dapat membantu penyembuhan jaringan kulit yang rusak

Dx.4 Kelelahan berhubungan dengan kondisi fisik yang kurang.


Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan kelelahan dapat teratasi.
Kriteria hasil :
1. klien dapat mengidentifikasikan pola keletihan setiap hari.
2. klien dapat mengidentifikasi tanda dan gejala peningkatan aktivitas penyakit yang
mempengaruhi toleransi aktivitas.
3. klien dapat mengungkapkan peningkatan tingkat energi.
4. klien dapat menunjukkan perbaikan kemampuan untuk berpartisipasi dalam
aktivitas yang diinginkan.
Intervensi :
1. Diskusikan kebutuhan akan aktivitas. Buat jadwal perencanaan dan identifikasi
aktivitas yang menimbulkan kelelahan.
R/ Pendidikan dapat memberikan motivasi untuk meningkatkan tingkat aktivitas
meskipun klien sangat lemah.
2. Diskusikan penyebab keletihan seperti nyeri sendi, penurunan efisiensi tidur,
peningkatan upaya yang diperlukan untuk ADL.
R/ Dengan mengetahui penyebab keletihan, dapat menyusun jadwal aktivitas.
3. Bantu mengidentivikasi pola energi dan buat rentang keletihan. Skala 0-10 (0 =
tidak lelah, 10 = sangat kelelahan)
R/ Mengidentifikasi waktu puncak energi dan kelelahan membantu dalam
merencanakan akivitas untuk memaksimalkan konserfasi energi dan produktivitas.
4. Berikan aktivitas alternatif dengan periode istirahat yang cukup/ tanpa diganggu.
R/ Mencegah kelelahan yang berlebih.
5. Pantau nadi , frekuensi nafas, serta tekanan darah sebelum dan seudah melakukan
aktivitas.
R/ Mengindikasikan tingkat aktivitas yang dapat ditoleransi secara fisiologis.
6. Tingkatkan partisipasi klien dalam melakukan aktivitas sehari-hari sesuai
kebutuhan.
R/ Memungkinkan kepercayaan diri/ harga diri yang positif sesuai tingkat
aktivitas yang dapat ditoleransi.
7. Ajarkan untuk mengidentifikasi tanda dan gejala yang menunjukkan peningkatan
aktivitas penyakit dan mengurangi aktivitas, seperti demam, penurunan berat
badan, keletihan makin memburuk.
R/ Membantu dalam mengantisipasi terjadinya keletihan yang berlebihan.

Dx.5 Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan glukosa darah yang tinggi.
Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan tidak terjadi tanda-tanda
infeksi
Kriteria hasil :
a. Tidak ada rubor, kalor, dolor, tumor, fungsiolesia.
b. Terjadi perubahan gaya hidup untuk mencegah terjadinya infeksi.

Intervensi :
1. Observasi tanda-tanda infeksi dan peradangan sperti demam, kemerahan, adanya
pus pada luka, sputum purulen, urine warna keruh atau berkabut.
R/ Pasien mungkin masuk dengan infeksi yang biasanya telah mencetuskan
keadaan ketoasidosis atau dapat mengalami infeksi nosokomial.
2. Tingkatkan upaya pencegahan dengan melakukan cuci tangan yang baik pada
semua orang yang berhubungan dengan pasien termasuk pasiennya sendiri.
R/ Mencegah timbulnya infeksi nosokomial.
3. Pertahankan teknik aseptik pada prosedur invasif.
R/ Kadar glukosa yang tinggi dalam darah akan menjadi meddia terbaik dalam
pertumbuhan kuman.
4. Berikan perawatan kulit dengan teratur dan sungguh-sungguh, masase daerah
tulang yang tertekan, jaga kulit tetap kering, linen kering dan tetap kencang.
R/ Sirkulasi perifer bisa terganggu dan menempatkan pasien pada peningkatan
risiko terjadinya kerusakan pada kulit.
5. Berikan tisue dan tempat sputum pada tempat yang mudah dijangkau untuk
penampungan sputum atau secret yang lainnya.
R/ Mengurangi penyebaran infeksi.
6. Kolaborasi
a. Lakukan pemeriksaan kultur dan sensitifitas sesuai dengan indikasi.
R/ Untuk mengidentifikasi adanya organisme sehingga dapat memilih atau
memberikan terapi antibiotik yang terbaik.
b. Berikan obat antibiotik yang sesuai
R/ Penanganan awal dapat mambantu mencegah timbulnya sepsis.

Anda mungkin juga menyukai