Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

PREDIABETES

RIA ANUGRAH

PO714201161073

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN MAKASSAR

DIV KEPERAWATAN

2019/2020
A. Definisi
Menurut definisi dari the American Diabetes Association and US
Department of Health and Human Services, prediabetes adalah suatu
tahapan dimana kadar glukosa diatas normal tetapi masih di bawah kadar
glukosa darah untuk diagnosis diabetes. Kondisi ini mencakup toleransi
glukosa terganggu (TGT) dan / ataupun glukosa puasa terganggu (GPT).
American Diabetes Association (ADA) mendefinisikan prediabetes
sebagai GPT yaitu kadar glukosa puasa 100 mg/dl (5,6 mmol/L) – 125
mg/dl (7,0 mmol/L) atau bila kadar glukosa darah 2 jam setelah beban
glukosa 75 gram 140-199 mg/dl (7,8 – 11 mmol/L) yang sering disebut
dengan TGT.
Menurut consensus of Management and Prevention of Diabetes
Mellitus Type- 2 di Indonesia,yang dilakukan oleh Indonesian Society for
Endocrinologist, Penegakan TGT dan GPTditegakkan sesuai dengan
algoritma diagnostik standar. Untuk pasien dengan keluhan diabetes
klasik, jika setelah dua kali uji dari satu kali glukosa darah dan glukosa
darah puasa, kita mendapatkan hasil yang meragukan (di atas normal,
tetapi tidak sampai pada kriteria diabetes), pasien akan diminta untuk
melakukan tes beban OGTT (Uji Glukosa Toleransi Oral). Bila hasil darah
dua jam beban glukosa pasca glukosa 140 - 199 mg / dL , pasien akan
dimasukkan dalam kriteria toleransi glukosa terganggu.
Definisi diabetes dan prediabetes berdasarkan penilaian resiko
penyakit serta distribusi populasi plasma glukosa. Data menunjukkan
bahwa level glukosa plasma di atas nilai ambang batas memiliki insidensi
retinopati meningkat secara signifikan dan telah digunakan untuk
membantu mendefinisikan diabetes.
B. Etiologi
Penyebab pasti pradiabetes tidak diketahui, meskipun para peneliti
telah menemukan beberapa gen yang terkait dengan resistensi insulin.
Kelebihan lemak terutama lemak perut dan tidak beraktivitas juga
tampaknya menjadi faktor penting dalam perkembangan pradiabetes. Yang
jelas adalah bahwa orang yang memiliki pradiabetes, tubuhnya tidak bisa
megelolah gula (glukosa) dengan baik lagi. Hal ini menyebabkan gula
dalam aliran darah lebih banyak dari pada gula yang melakukan fungsi
yang normal yaitu memicu sel yang membentuk otot-otot dan jaringan
lain. Sebagian besar glukosa dalam tubuh berasal dari makanan yang kita
makan, khususnya makanan yang mengandung karbohidrat. Setiap
makanan yang mengandung karbohidrat dapat mempengaruhi kadar gula
darah, tidak hanya makanan manis.
Selama pencernaan, gula memasuki aliran darah dan dengan
bantuan insulin kemudian diserap ke dalam sel-sel tubuh untuk
menghasilkan energi. Insulin adalah hormon yang berasal dari pankreas.
Ketika kita makan, pankreas mengeluarkan insulin ke dalam aliran darah.
Insulin beredar merupakan seperti sebuah kunci yang membuka pintu
mikroskopis yang memungkinkan gula memasuki sel. Insulin menurunkan
jumlah gula dalam aliran darah. Apabila tingkat gula darah turun, maka
sekresi insulin dari pankreas juga akan berkurang. Bila menderita
pradiabetes, proses ini mulai bekerja tidak normal. Gula darah akan
meningkat dari pada melaksanakan fungsinya untuk membuka sel-sel. Hal
ini terjadi ketika pankreas tidak membuat cukup insulin atau sel-sel
menjadi resisten terhadap tindakan insulin atau keduanya.
Patofisiologi prediabetes umumnya didasari atas perubahan
sensitivitas insulin dan fungsi β-pancreas, biasanya karena peningkatan
adiposit. Sensitivitas insulin berbanding terbalik dengan kadar glikemik,
bahkan dalam rentang glukosa puasa normal. Peningkatan konsentrasi
glukosa plasma puasa dari 70 – 125 mg/dL (3,9 – 6,9 mmol/L) berkaitan
dengan suatu penurunan sensitivitas insulin > 3 kali. Individu dengan
isolated GPT menunjukkan penurunan sensitivitas insulin sekitar 25 %,
dan individu yang mengalami kombinasi GPT dan TGT menunjukkan
penurunan sensitivitas insulin sekitar 80 % dibandingan dengan individu
yang kadar glukosa puasanya berada dalam interval referensi.
C. Faktor Resiko
Faktor resiko terjadinya prediabetes sama dengan faktor resiko
terjadinya DM tipe 2. Faktor resiko tersebut dapat dibagi menjadi faktor
resiko yang dapat dirubah ( obesitas, aktivitas fisik, nutrisi) dan yang tidak
dapat dirubah ( genetik, usia, diabetes gestasional). Faktor yang dapat
dirubah yang penting adalah obesitas ( terutama perut) dan kurangnya
aktivitas fisik.2
a. Faktor genetik
Gen yang berhubungan dengan resiko terjadinya DM, sampai saat ini
belum bias diidentifikasikan secara pasti. Adanya perbedaan yang nyata
kejadian DM antara grup etnik yang berbeda meskipun hidup di
lingkungan yang sama menunjukkan adanya kontribusi gen yang
bermakna terjadinya DM. Meskipun tidak jelas sebabnya, orang-orang dari
ras tertentu termasuk Afrika-Amerika, Hispanik, Indian Amerika, Asia-
Amerika dan Kepulauan Pasifik lebih mungkin untuk menjad prediabetes.2
b. Usia
Prevalensi DM meningkat sesuai dengan bertambahnya usia. Dalam
dekade terakhir ini, usia terjadinya DM semakin muda. Resiko pradiabetes
meningkat seiring bertambahnya usia, terutama setelah usia 45 tahun. Ini
mungkin karena orang cenderung kurang berolahraga, kehilangan massa
otot dan menambah berat badan dengan bertambahnya usia mereka.
Namun, orang tua bukanlah satu-satunya beresiko prediabetes dan diabetes
tipe 2. Insiden gangguan ini juga meningkat di kelompok usia yang lebih
muda.2
c. Diabetes gestasional
Diabetes gestasional adalah diabetes yang timbul selama kehamilan. Ini
meliputi 2-5% dari seluruh diabetes. Jenis ini sangat penting diketahui
karena dampaknya pada janin kurang baik bila tidak ditangani dengan
benar.
Pada diabetes gestasional toleransi glukosa biasanya kembali
normal setelah melahirkan akan tetapi wanita tersebut memiliki resiko
menderita DM di kemudian hari. Bila pernah menderita diabetes
gestasional saat kehamilan, maka resiko menderita diabetes akan
meningkat. Apabila pernah melahirkan bayi dengan berat bada lebih dari 9
pound (4,1 Kg), maka ririko DM juga meningkat
d. Obesitas
Obesitas merupakan faktor resiko yang paling penting. Jaringan lemak
lebih banyak yang dimiliki terutama di dalam dan di antara otot dan kulit
di sekitar perut menyebabkan sel menjadi lebih tahan terhadap insulin.
Beberapa studi jangka panjang menunjukkan bahwa obesitas merupakan
prediktor yang kuat untuk timbulnya DM tipe 2. Lebih lanjut, intevensi
yang bertujuan mengurangi obesitas juga mengurangi insidensi DM tipe 2.
Beberapa studi jangka panjang juga menunjukkan bahwa lingkar pinggang
atau rasio pinggang pinggul yang menunjukkan keadaan lemak visceral
( abdominal), merupakan indikator yang lebih baik dibandingkan indeks
masa tubuh, sebagai faktor resiko prediabetes. Data tersebut memastikan
bahwa distribusi lemak lebih penting dibanding dengan jumlah total lemak
obesitas.
e. Aktivitas Fisik
Berkurangnya intensitas aktivitas fisik memberikan kontribusi yang besar
terhadap peningkatan obesitas. Berbagai studi menunjukan bahwa
kurangnya aktifitas fisik merupakan prediktor bebas terjadinya DM Tipe 2
pada pria maupun wanita. Semakin sedikit beraktivitas, semakin besar
resiko pradiabetes. Aktivitas fisik membantu mengontrol berat badan,
dengan beraktivitas maka glukosa digunakan sebagai energi dan membuat
sel-sel lebih sensitif terhadap insulin.2
f. Nutrisi
Kalori total yang tinggi, diit rendah serat, beban glikemik yang tinggi dan
rasio poly unsaturated fatty acid ( PUFA) dibanding lemak jenuh yang
rendah, merupakan faktor resiko terjadinya DM.2
D. Patogenesis
Regulasi glukosa post prandial tergantung pada stimulasi sekresi
insulin pada sel beta pancreas yang akan mensupresi glukoneogenesis
hepar dan menekan glikogenolisis. Insulin dilepaskan untuk
meningkatkan ambilan glukosa di otot dan jaringan perifer. Kadar
glukosa puasa tergantung pada produksi glukosa hepar (glikogenolisis
dan glukoneogenesis), kadar insulin puasa dan sensitivitas insulin. Dalam
keadaan normal insulin bekerja mempertahankan kadar glukosa plasma
supaya selalu dalam batas normal (normoglikemia) saat puasa ataupun
post prandial. Hipoglikemia tidak terjadi saat puasa karena hati
memproduksi glukosa melalui glikogenolisis dan glukoneogenesis,
sebaliknya sesudah makan glukosa plasma tidak terlalu meningkat karena
sel beta pankreas menghasilkan insulin yang meningkatkan asupan
glukosa pada otot dan jaringan adiposa. Perjalanan menjadi diabetes
melitus (pra diabetes) awalnya masih terjadi normoglikemia, pada tahap
lanjut akan terjadi kenaikan kadar glukosa plasma puasa dan post
prandial. Insulin yang disekresikan tidak efektif menghambat
glukoneogenesis hati dan kemampuannya meningkatkan ambilan glukosa
di otot dan adiposa berkurang. Selain itu juga ditandai dengan gangguan
respons terhadap fisiologi insulin terhadap metabolisme glukosa, lipid
dan protein serta pengaruh terhadap fungsi endotel. Glucose transporter
2/GLUT-2 merupakan transporter glukosa yang terdapat terutama di
hepar dan sel beta pancreas yang berespons cepat dalam menjaga kadar
glukosa dalam plasma. Glucose transporter 4/GLUT 4 terdapat pada otot
dan jaringan adiposa yang berperan dalam ambilan glukosa. Gangguan
transpor glukosa inilah yang tejadi pada pasien dengan resistensi
insulin.Peningkatan insulin plasma (hiperinsulinemia) yang terjadi untuk
mengompensasi resistensi insulin yang terjadi akan berefek pada sel beta
pankreas dan akhirnya kelelahan sehingga tidak mampu menormalkan
kadar glukosa menjadi normoglikemia lagi. Beberapa kepustakaan
menyebutkan pada tahap pra diabetes sebenarnya sudah mulai terjadi
defek sel beta pankreas hingga 70%. Pada saat itu kadar glukosa plasma
berkisar 100-125 mg/dL disebut sebagai glukosa darah puasa terganggu
(GDPT) dan kadar glukosa plasma setelah pembebanan 75 gram glukosa
140-199 mg/dL disebut sebagat toleransi glukosa terganggu(TGT).4
Peningkatan kadar glukosa plasma pada GDPT dan TGT
menduga terdapat mekanisme yang berbeda dalam patogenesisnya.
Glukosa darah puasa terganggu dan TGT berbeda pada tingkat dan lokasi
dominan terjadinya resistensi insulin. Individu dengan GDPT
predominan mempunyai resistensi insulin di hepar tetapi normal
sensitivitas insulin di otot.Sedangkan individu dengan TGT memiliki
sensitivitas insulin hepar yang normal atau sedikit menurun dan resistensi
insulin sedang sampai berat di otot. Pada subjek yang sekaligus
mengalami GDPT dan TGT sudah terjadi resistensi insulin baik pada otot
maupun hepar
Setelah puasa 8-10 jam di hati akan terjadi glikogenolisis untuk
mencegah hipoglikemia. Setelah itu insulin fase awal (3-5 menit)
pertama akan berespons mensupresi glikogenolisis supaya
mempertahankan darah dalam keadaan normoglikemia. Proses ini
terganggu pada individu yang mengalami GDPT. Hal ini dapat
menjelaskan bagaimana terjadinya peningkatan glukosa darah puasa pada
GDPT. Respons insulin fase lambat (50- 120 menit) setelah post prandial
normal pada GDPT, sehingga glukosa darah 2 jam setelah pembebanan
75 Gram glukosa oral normal. Respons sekresi insulin fase awal pada
TGT juga terganggu dan setelah 2 jam pemberian glukosa oral sudah
terjadi defek berat pada sekresi insulin fase lambat. Hal ini dapat
menerangkan peningkatan glukosa plasma setelah 2 jam pembebanan
glukosa oral tetapi peningkatannya belum bisa dikategorikan sebagai
DM.4
E. Gejala
Seringkali, pradiabetes tidak memiliki tanda-tanda atau gejala.
Adanya suatu area kulit yang gelap, suatu kondisi yang disebuta
canthosis nigricans, adalah salah satu dari beberapa tanda-tanda yang
menunjukkan risiko untuk diabetes. Daerah umum yang mungkin akan
terkena meliputi leher, ketiak, siku, lutut, dan buku-buku jari. Gejala
klasik diabetes tipe 2 yang harus dipantau meliputi: Peningkatan rasa
haus, sering buang air kecil, kelelahan dan penglihatan kabur.
F. Diagnosis
Sebuah komite internasional yang terdiri dari para ahli dari
American Diabetes Association, the European Association for the Study
of Diabetes dan the International Diabetes Federation merekomendasikan
bahwa test untuk menegakkan diagnosis pradiabetes meliputi:
1. Hemoglobin A1C atau hemoglobin glikosilasi. A1C adalah 
tes yang mengukur kadar glukosa darah rata-rata
seseorang selama 2 sampai 3 bulan terakhir
2. Tes gula darah puasa. Contoh darah akan diambil setelah
berpuasa selama sedikitnya delapan jam atau semalam. Dengan
tes ini, gula darah tingkat yang lebih rendah dari 100 mg / dL -
5,6 mmol / L adalah normal. Sebuah tingkat gula darah 100-125
mg / dL (5,6-6,9 mmol / L) dianggap pradiabetes. Hal ini kadang-
kadang disebut sebagai glukosa puasa terganggu (GPT). Apabila
kadar gula darah 126 mg / dL (7.0 mmol / L) atau lebih tinggi
dapat mengindikasikan diabetes mellitus
3. Uji FPG adalah tes pilihan untuk mendiagnosis diabetes karena
kenyamanan dan biaya rendah.
4. Tes toleransi glukosa oral (TTGO).. Tingkat gula darah kurang
dari 140 mg / dL (7,8 mmol / L) adalah normal. Tingkat gula
darah 140-199 mg / dL (7,8-11,0 mmol / L) dianggap pradiabetes.
Hal ini kadang-kadang disebut sebagai toleransi glukosa
terganggu (TGT). Apabila nilai gula darah 200 mg / dL (11,1
mmol / L) atau lebih tinggi dapat mengindikasikan diabetes
mellitus.
5. Gestational diabetes juga didiagnosis berdasarkan pada nilai-nilai
glukosa plasma diukur selama OGTT.
G. Pencegahan
Diperlukan langkah pencegahan yang segera untuk menurunkan
jumlah penderita prediabetes, DMT2 dan PKV yang terkait diabetes.2
Langkah-langkah pencegahan meliputi:
1. Intervensi gaya hidup
Gaya hidup merupakan pendekatan pengelolaan fundamental yang
dapat mencegah atau menunda berkembangnya prediabetes
menjadi diabetes, serta menurunkan resiko penyakit mikrovaskular
dan makrovaskular. Intervensi gaya hidup memperbaiki semua
faktor resiko diabetes dan komponen sindrom metabolik, obesitas,
hipertensi, dislipidemia dan hiperglikemia.
2. Intervensi Farmakologis
Intervensi farmakologis untuk pencegahan DM biasanya
direkomendasikan sebagai intervensi sekunder yang diberikan
setelah atau bersama-sama dengan intervensi modifikasi gaya
hidup.
KONSEP KEPERAWATAN

A. Pengkajian

1. Riwayat Kesehatan Keluarga


Adakah keluarga yang menderita penyakit seperti klien ?

2. Riwayat Kesehatan Pasien dan Pengobatan Sebelumnya


Berapa lama klien menderita DM, bagaimana penanganannya, mendapat
terapi insulin jenis apa, bagaimana cara minum obatnya apakah teratur
atau tidak, apa saja yang dilakukan klien untuk menanggulangi
penyakitnya.

3. Aktivitas/ Istirahat :
Letih, Lemah, Sulit Bergerak / berjalan, kram otot, tonus otot menurun.

4. Sirkulasi
Adakah riwayat hipertensi,AMI, klaudikasi, kebas, kesemutan pada
ekstremitas, ulkus pada kaki yang penyembuhannya lama, takikardi,
perubahan tekanan darah

5. Integritas Ego
Stress, ansietas

6. Eliminasi
Perubahan pola berkemih ( poliuria, nokturia, anuria ), diare

7. Makanan / Cairan
Anoreksia, mual muntah, tidak mengikuti diet, penurunan berat badan,
haus, penggunaan diuretik.

8. Neurosensori
Pusing, sakit kepala, kesemutan, kebas kelemahan pada otot,
parestesia,gangguan penglihatan
9. Nyeri / Kenyamanan
Abdomen tegang, nyeri (sedang / berat)

10. Pernapasan
Batuk dengan/tanpa sputum purulen (tergangung adanya infeksi / tidak)

11. Keamanan
Kulit kering, gatal, ulkus kulit. (Marilyn E. 2002)

B. Diagnosa Keperawatan.

1. Risiko ketidakstabilan kadar glukosa darah berhubungan dengan


kadar glukosa darah tidak terkontrol.
2. Kurang pengetahuan tentang proses penyakit, diet, perawatan, dan
pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi.
3. Gangguan pola tidur

C. Intervensi

DX 1 : Risiko ketidakstabilan kadar glukosa darah berhubungan dengan kadar


glukosa darah tidak terkontrol
Tujuan : Kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi
Kriteria hasil :
a. GDP/GDS dalam batas normal
b. Klien dapat merubah pola hidup Klien
c. Klien dan keluarga mengetahui tanda dan gejala hiperglikemia

Intervensi:

1. Identifikasi kemungkinan penyebab hiperglikemia

Rasinal: Mengetahui penyebab peningkatan gula darah yang dialami\


2. Monitor kadar glukosa darah

Rasional: mengetahui adanya peningkatan gula darah

3. Pendidikan kesehatan tentang tanda dan gejala hiperglikemia (mis.


Polyuria, polidipsi, polifagia, kelemahan, malaise, pandangan kabur, sakit
kepala)

Rasional: Klien dan keluarga mengetahui tanda dan gejala hiperglikemia

4. Anjurkan monitor kadar glukosa darah secara mandiri


Rasipnal: Klien dan keluarga dapat mengontrol kadar gula darahnya
sendiri di rumah

5. Anjurkan kepatuhan terhadap diet dan olahraga

Rasional: Diet dan olahraga membantu memanajemen ketidakstabilan gula


darah

6. Kolaborasi pemberian cairan IV, jika perlu

DX 2 : Gangguan pola tidur

Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan, diharapkan gangguan pola tidur


teratas
Intervensi:
1. Identifikasi pola aktivitas dan tidur klien

Rasional: Memantau pola tidur klien

2. Identifikasi faktor penggangu tidur

Rasional: Mengetahui dfaktor-faktor yang menyebabkan tidur klien


terganggu

3. Identifikasi makanan dan minuman yang mengganggu tidur.

Rasional: Lingkungan yang nyaman dapat membuat klien cepat untuk


beristirahat

4. Lakukan prosedur untuk meningkatkan kenyamanan


Rasional: Mempermudah klien tidur dan memenuhi kebutuhan tidur klien

5. Jelaskan pentingnya tidur cukup selama sakit

DX 2 : Kurang pengetahuan tentang proses penyakit, diet, perawatan, dan


pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi

Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan, diharapkan pengetahuan dapat


bertambah
Kriteia hasil :
a) Pengetahuan: manajemen diabetes mellitus.
b) Perilaku pola hidup yang sehat
c) Perilaku patuh: Aktivitas yang disarankan.
d) Perilaku patuh: Diet yang disarankan.
Intervensi:
1. Lakukan edukasi kepada klien mengenai proses penyakit, perawatan
penyakit penurunan berat badan
Rasional: Edukasi klien juga dapat bermanfaat dalam proses perawatan,
degan adanya informasi klien akan mampu mengidentifikasi masahlanya.
2. Berikan informasi yang tepat dan akurat dengan sesuai kebutuhan klien.
Rasionl: Infomasi yang didapat dari tenaga kesehatan akan membuat klien
memiliki sumber informasi yang terpercaya
3. Menginstruksikan kepada klien untuk bertanyan tetang hal yang
berhubungan dengan penyakit dan kesehatanya
Rasional: Kadang klieng merasa tidak berani untuk bertanya karena belum
terbina hubungan dekat dengan pelayan kesehataN.
4. Berikan informasi sesuai tingkat perkembangan pasien
Rasional: Informasi sangat membantu klien dalam mengetahui
penyakitnya

D. Pelaksanaan
Pelaksanaan adalah tahap pelaksananan terhadap rencana tindakan
keperawatan yang telah ditetapkan untuk perawat bersama pasien.
Implementasi dilaksanakan sesuai dengan rencana setelah dilakukan
validasi, disamping itu juga dibutuhkan ketrampilan interpersonal,
intelektual, teknikal yang dilakukan dengan cermat dan efisien pada
situasi yang tepat dengan selalu memperhatikan keamanan fisik dan
psikologis. Setelah selesai implementasi, dilakukan dokumentasi yang
meliputi intervensi yang sudah dilakukan dan bagaimana respon pasien.

E. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap terakhir dari proses keperawatan. Kegiatan
evaluasi ini adalah membandingkan hasil yang telah dicapai setelah
implementasi keperawatan dengan tujuan yang diharapkan dalam
perencanaan.
DAFTAR PUSTAKA

Nugroho H. Screening for IGT Clinical Practice. ( serial online ) 2011


(Diakses 2 Maret 2013); Diunduh dari URL: http://ipd. undip.
ac.id/publikasi/pustaka/13-endokrin-metabolik/108-screening-for-igt-clinical-
practice

Meddy Setiawan.. Prediabetes dan Peran HBA1C dalam Skrining dan Diagnosis
Awal Diabetes Mellitus. Vol 17. Staf pengajar fakultas kedokteran universitas
Muhammadiyah Malang. 2011

Tjokroprawiro A. Diabetes Mellitus-Capita Selecta In Daily Clinical Practice.


(serial online) 2011 (Diakses 2 Maret 2013 ); Diunduh dari URL:
http://penelitian.unair.ac.id/artikel_dosen_diabetes%20mellitus-capita%20selecta
%20in%20daily%20clinical%20practice_39_1716

Nasrul E, Sofitri. Hiperurisemia pada Pra Diabetes. Jurnal Kesehatan Andalas.


2012. Bagian Patologi Klinik FK Unand

National Diabetes Information Clearinghouse (NDIC). Diagnosis of Diabetes and


Prediabetes. (serial online) 2012 (Diakses 2 Maret 2013); Diunduh dari URl:
http://diabetes.niddk.nih.gov/dm/pubs/diagnosis/

Suyono Slamet. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi ke IV. Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.Jakarta: FKUI:2006 .Hal
1854

Anda mungkin juga menyukai