Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Lanjut Usia


1. Definisi Lanjut Usia
Menurut UU No.23 Tahun 1992 tentang kesehatan, lanjut usia
adalah seseorang yang akibat usianya mengalami perubahan biologis,
fisik, kejiwaan dan sosial. Pengertian dan pengelolaan lanjut usia
menurut Undang-Undang Republik Indonesia No.13 Tahun 1998
tentang lanjut usia sebagai berikut :
a. Lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun
keatas.
b. Lanjut usia potensial adalah lanjut usia yang masih mampu
melakukan pekerjaan dan kegiatan yang dapat menghasilkan
barang atau jasa.
c. Lanjut usia tak potensial adalah lanjut usia yang sudah tidak
sanggup lagi untuk mencari nafkah sehingga hidupnya tergantung
pada bantuan orang lain.
2. Klasifikasi Lanjut Usia
Departemen Kesehatan Republik Indonesia dalam Aspiani (2014)
membagi batasan lanjut usia menjadi tiga, yaitu:

a. Masa virilitas atau kelompok menjelang usia lanjut adalah usia 4554 tahun.
b. Masa presenium atau kelompok usia lanjut adalah usia 55-64 tahun.
c. Masa senium atau kelompok-kelompok usia lanjut adalah usia > 65
tahun.
3. Batasan Lanjut Usia
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO (Mujahidullah,
2012) batasan lanjut usia dibagi menjadi empat, yaitu:
a. Middle age atau usia pertengahan yaitu 45-59 tahun.
b. Elderly atau lanjut usia yaitu 60-74 tahun.
c. Old atau lanjut usia tua yaitu 75-90 tahun.
d. Very old atau usia sangat tua yaitu diatas 90 tahun.
4. Teori Penuaan Lanjut Usia
Menurut Mujahidullah (2012), secara umum implikasi yang dapat
dikembangkan dalam proses menua dapat didasarkan pada teori
menua yang terdiri dari faktor biologis, psikologis, dan sosial.
a. Teori Biologis
Teori ini menjelaskan tentang proses fisik penuaan, perubahan
fungsi dan struktur pengembangan, lamanya usia dan kematian.
Teori biologis ini juga menjelaskan alasan mengapa seseorang
dapat mengalami proses penuaan dengan cara yang berbeda-beda
serta faktor yang mempengaruhi usia, perlawanan terhadap
organisme, perubahan seluler hingga kematian.
b. Teori Psikologis
Teori psikososial ini lebih menitikberatkan terhadap perubahan
sikap dan perilaku yang mengiringi penambahan usia pada lanjut
usia serta sebagai lawan dari implikasi biologis. Dalam teori
psikologis ini, terdapat beberapa teori perkembangan lanjutan
antara lain, teori tugas perkembangan, teori delapan tingkat
kehidupan, teori dan teori jung.
c. Teori Sosial

Pada teori sosial ini terdiri dari teori stratifikasi usia, teori
aktivitas, dan teori kontinuitas. Ketiga bagian dari teori sosial
tersebut

menitikberatkan

pada

peranan

lanjut

usia

dalam

masyarakat dan kelompok sosial serta kemampuan untuk


mempertahankan keaktifan dalam kehidupan sosial agar dapat
sukses di hari tua.
5. Perubahan Fisiologis Pada Lanjut Usia
Perubahan pada lanjut usia baik seluler maupun ekstraseluler
dapat menyebabkan penurunan dalam penampilan fisik. Pada lanjut
usia terjadi perubahan bentuk dan susunan tubuh yang dapat diukur
(Smeltzer & Bare, 2002). Perubahan fisiologis yang terjadi pada lanjut
usia dimulai dari perubahan sel sampai ke seluruh sistem tubuh
perubahan fisiologis antara lain, sebagai berikut:
a. Perubahan pada Sistem Integumen
Kulit mempunyai fungsi memproteksi, perubahan suhu,
sensasi dan ekskresi. Pertambahan usia dapat menjadikan fungsi
instrinsik

dan

ekstrinsik

yang

mempengaruhi

fungsi

dan

penampilan kulit (Smeltzer & Bare, 2002). Kehilangan jaringan


lemak dapat mengakibatkan kulit keriput, kering dan kurang elastis.
Ketika jaringan adiposa menghilang, kulit akan menjadi pucat serta
timbul bintik-bintik hitam dikarenakan aliran darah ke kulit
menurun. Sel yang memproduksi pigmen menurun, kuku pada jari
tangan dan kaki menjadi tebal dan mudah rapuh, jumlah dan fungsi
kelenjar keringat menurun, rambut menipis serta warna rambut
menjadi kelabu (Mubarak, 2012).
b. Perubahan Sistem Persyarafan

Pada lanjut usia akan terjadi perubahan pada sistem


persyarafan seperti mengecilnya saraf panca indra, menjadi kurang
sensitif terhadap sentuhan, lambat merespon dan waktu untuk
menanggapi, serta menurunnya hubungan saraf satu dengan saraf
lainnya (Mujahidullah, 2012).
c. Perubahan Sistem Respirasi
Kekuatan otot otot pernafasan mulai menghilang dan
menjadi kaku, aktivitas silia menurun, elastisitas paru menurun
sehingga kapasitas residu meningkat yang membuat lanjut usia saat
menarik nafas menjadi berat. Menurunnya kapasitas pernafasan
maksimum dan kedalaman bernafas juga menurun. Ukuran alveoli
manjadi lebar tetapi jumlahnya menurun dan oksigen di arteri
menurun menjadi 75 mmHg (Mujahidullah, 2012).
d. Perubahan pada Sistem Perkemihan
Kemampuan mengonsentrasi urin menurun karena ukuran
ginjal mengecil sehingga aliran darah ke ginjal menurun. Fungsi
tubulus dan penyaringan di glomerulus juga menurun. Otot-otot
bledder

melemah,

penurunan

kapasitas

dan

retensi

urin,

pembesaran prostat serta terjadinya atrofi vulva (Mujahidullah,


2012).
e. Perubahan pada Sistem Gastrointestinal
Penyakit periodontal mengakibatkan lanjut usia kehilangan
gigi serta mulut kering karena aliran saliva berkurang. Efisiensi
peristaltik esofagus berkurang, kegagalan relaksasi pada sfingter
gastroesofagus

mengakibatkan

pengosongan

pada

esofagus

terhambat sehingga terjadi perasaan penuh, nyeri ulu hati dan


gangguan pada pencernaan. Pengosongan isi lambung menjadi

lambat karena motalitas lambung menurun. Absorbsi besi, kalsium


dan vitamin B12

menurun karena sekresi asam dan pepsin

berkurang. Konstipasi adalah keluhan yang paling sering diserita


oleh lanjut usia, apabila konstipasi ringan lanjut usia hanya
mengalami flatulens dan perut yang tidak nyaman, namun pada
kondisi yang berat dapat terjadi impaksi feses, obstruksi dan
inkontinensia fekal. Konstipasi ini dikarenakan kurangnya serat,
kurang input cairan, pemakaian laksatif, sering menunda defekasi,
efek samping obat, kurang aktivitas serta makanan yang berlemak
(Smeltzer & Bare, 2002).
f. Perubahan Pada Sistem Penglihatan
Pada lanjut usia akan kehilangan elastisitas pembuluh darah
dan hilangnya respon terhadap cahaya. Perubahan akomodatif
dimulai ketika lansia memiliki masalah dalam membaca huruf yang
kecil, ini dikarenakan otot otot siliaris melemah dan kendur, lensa
kristalin menjadi sklerosis. Pupil menjadi miosis karena sfingter
pupil mengalami sklerosis sehingga lapang pandang lansia menjadi
sempit. Kekeruhan lensa meningkat dan menjadi kuning.
Sensitivitas terhadap warna juga menurun serta dapat menyebabkan
tekanan darah meningkat (Mujahidullah, 2012).
g. Perubahan pada Sistem Endokrin
Hampir seluruh produksi hormon menurun, fungsi hormon
paratiroid dan sekresinya tidak berubah. ACTH, TSH, FSH, LH
berkurang dan aktivitas tioid menurun akibatnya basal metabolisme
juga menurun. Produksi aldosteron menurun, penurunan sekresi
hormon progesteron, estrogen dan aldosteron. Insulin, norefinefrin,

parathormon dan vasopresin bertambah sedangkan tridotironin dan


psikomotor berkurang dan menjadi lambat (Mubarak, 2012).
h. Perubahan pada Sistem Reproduksi
Produksi testosteron dan sperma terjadi penurunan namun
tidak mencapai titik nadir. Lanjut usia laki-laki yang berusia 70
tahun masih bisa memiliki libido dan melakukan kopulasi. Jumlah
ovum dan folikel yang rendah pada wanita menyebabkan kadar
estrogen menurun setelah menopause. Dinding rahim menjadi tipis,
mulut rahim, selaput lendir dan saluran kemih menjadi kering
(Tamher, 2009).
i.Perubahan Pada Sistem Muskuloskeletal
Berkurangnya kecepatan dan kekuatan kontraksi otot, penurunan
serabut otot sehingga otot menjadi kecil atau atrofi. Berkurangnya
ukuran otot, kehilangan kekuatan, ketahanan dan fleksibilitas otot
dapat menyebabkan penurunan aktifitas pada lansia. Kehilangan
massa total tulang pada lanjut usia karena kecepatan formasi tulang
baru mengalami penurunan dan menjadi lambat (Stanley, 2006).
B. Konsep Diabetes Mellitus
1. Definisi Diabetes Mellitus Pada Lansia
Diabetes melitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang
ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia.
Pada diabetes melitus kemampuan tubuh untuk bereaksi terhdap insulin
dapat menurun atau pankreas dapat menghentikan sama sekali produksi
insulin (Brunner and Suddarth, 2001).
Diabetes Mellitus (DM) pada lanjut usia merupakan penyakit
degeneratif

yang

memiliki

sifat

multifaktoral

sehingga

dapat

mempengaruhi baik sekresi insulin maupun aksi insulin pada jaringan


yang akan dituju atau jaringan sasaran (Martono et al, 2007).
2. Klasifikasi Diabetes Mellitus

Menurut Smeltzer & Bare (2002), klasifikasi diabetes mellitus yang


utama antara lain :
a. Diabetes Mellitus tipe I
Diabetes mellitus tipe I dikenal sebagai insulin dependent
diabetes mellitus (IDDM), dimana sel beta di rusak oleh proses
autoimun. Diabetes mellitus tipe I ini berkaitan dengan kurangnya
nutrisi dan berbagai pencetus lain yang dapat mengakibatkan
kerusakan primer pada sel beta, sehingga untuk mempertahankan
hidup diperlukan insulin dari luar.
b. Diabetes Mellitus tipe II
Diabetes Mellitus tipe II dikenal sebagai non insulin dependent
diabetes mellitus (NIDDM), dimana masalah utamanya adalah
resistensi dan gangguan sekresi insulin.
c. Diabetes Mellitus Gestasional
DM gestasional terjadi pada wanita yang tidak mengalami
diabetes mellitus sebelum kehamilan tetapi terjadi kenaikan glukosa
darah pada masa kehamilannya. Faktor resiko yang dapat
menimbulkan DM gestasional ini antara lain usia, etnik, obesitas,
multiparitas, riwayat keluarga, dan riwayat diabetes gestasional
terdahulu. Kadar glukosa darah pada wanita yang mengalami DM
gestasional akan kembali normal setelah melahirkan.
d. Diabetes Mellitus Khusus Tipe Lain
DM tipe lain ini disebabkan oleh kelainan genetik dalam sel beta
pankreas, kelainan genetik pada kerja insulin, penyakit pada
eksokrin pankreas, penyakit endokrin, obat-obatan yang bersifat
toksik dan infeksi.
C. Konsep Diabetes Mellitus Tipe 2
1. Definisi Diabetes Mellitus Tipe 2
Diabetes Mellitus tipe 2 adalah diabetes mellitus yang dikenal
sebagai non insulin dependent (NIDDM), di mana masalah utamanya

adalah resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin (Smeltzer &


Bare, 2002).
Diabetes Mellitus tipe 2 merupakan penyakit kronis yang ditandai
dengan kenaikan kadar glukosa darah akibat dari adanya gangguan
sistem metabolisme di dalam tubuh, dimana organ pankreas mampu
memproduksi hormon sendiri akan tetapi insulin tidak dapat bekerja
secara optimal disebabkan oleh reseptor insulin pada sel berkurang
(ADA, 2010).
2. Patogenesis Diabetes Mellitus Tipe 2 Pada Lanjut Usia
Seiring dengan terjadinya proses penuaan, semakin banyak lanjut
usia yang berisiko menderita diabetes mellitus, sehingga pada saat ini
dikenal istilah prediabetes. Prediabetes merupakan kondisi tingginya
kadar glukosa darah puasa (gula darah puasa 100-125mg/ dL) atau
terganggunya toleransi glukosa (kadar glukosa darah 140-199mg/dL, 2
jam setelah pembebanan 75 g glukosa). Perkembangan prediabetes
menjadi diabetes mellitus dapat diperlambat dengan cara memodifikasi
gaya hidup seperti menjaga pola makan yang baik, olahraga dan
penurunan berat badan. Apabila kadar glukosa darah mencapai >200
mg/dL maka pasien ini sudah termasuk dalam kelas Diabetes Melitus
(Kurniawan, 2010).
Gangguan metabolisme karbohidrat pada lanjut usia meliputi tiga
hal yaitu resistensi insulin, hilangnya pelepasan insulin fase pertama
sehingga lonjakan awal insulin postprandial tidak terjadi pada lanjut
usia dengan diabetes mellitus, peningkatan kadar glukosa postprandial
dengan kadar glukosa puasa normal. Di antara ketiga gangguan
tersebut, yang paling memiliki peran adalah resistensi insulin. Hal ini

ditunjukkan dengan kadar insulin plasma yang cukup tinggi pada 2 jam
setelah mengkonsumsi glukosa 75 gram dengan kadar glukosa yang
juga tinggi.
Munculnya resistensi insulin pada lanjut usia dapat disebabkan oleh
3 faktor, antara lain:
a. Perubahan komposisi tubuh: massa otot lebih sedikit dan jaringan
lemak lebih banyak
b.

Menurunnya aktivitas fisik sehingga terjadi penurunan jumlah

reseptor insulin yang siap berikatan dengan insulin


c.

Perubahan pola makan lebih banyak mengkonsumsi karbohidrat

akibat berkurangnya jumlah gigi, sehingga terjadi perubahan pada


neurohormonal (terutama insulin-like growth factor-1 (IGF-1) dan
dehidroepiandosteron (DHEAS) plasma) sehingga terjadi penurunan
ambilan glukosa disebabkan karena menurunnya sensitivitas reseptor
insulin dan aksi insulin.
Selain gangguan metabolisme glukosa, pada pasien dengan
diabetes mellitus juga terjadi gangguan metabolisme lipid sehingga
dapat menyebabkan kenaikan bobot tubuh hingga obesitas, dan bahkan
dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah. Bila terjadi ketiga
faktor tersebut pada seorang pasien, maka pasien tersebut dapat
dikatakan mengalami sindrom metabolik (Kurniawan, 2010).
3. Etiologi Diabetes Mellitus tipe 2
Menurut Brunner & Sudart (2002), penyebab diabetes mellitus tipe
2 adalah kegagalan relatif sel beta dan resistensi insulin. Resistensi

insulin ialah penurunan kemampuan insulin untuk merangsang


pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk memperlambat
produksi glukosa oleh hati. Sel beta tidak mampu mengimbangi
resistensi insulin ini sepenuhnya, sehingga terjadilah defensiensi relatif
insulin. Ketidakmampuan ini dapat terlihat dari berkurangnya sekresi
insulin pada rangsangan glukosa, serta pada rangsangan glukosa
bersamaan dengan bahan perangsang sekresi insulin lain, hal ini berarti
telah terjadi desensitisasi terhadap glukosa.
4. Faktor Risiko Diabetes Mellitus Tipe 2
Menurut Fatimah (2015), terdapat faktor risiko yang dapat diubah
dan faktor risiko yang tidak dapat diubah berkaitan dengan terjadinya
diabetes mellitus tipe 2 ini. Faktor risiko yang tidak dapat diubah antara
lain;
a) Riwayat keluarga dengan diabetes mellitus (first degree relative)
b) Umur 45 tahun
c) Etnik
d) Riwayat melahirkan dengan berat badan lahir bayi lebih dari 4000
gram atau ada riwayat pernah menderita diabetes gestasional
e) Riwayat lahir dengan berat badan rendah (<2,5 kg)
Sedangkan faktor risiko yang dapat diubah antara lain ;
a) Obesitas
Berdasarkan IMT 80 cm pada wanita dan 90 cm pada laki-laki
b) Kurangnya aktivitas fisik
c) Hipertensi
d) Dislipidemia
e) Pola makan yang tidak sehat
5. Patofisiologi Diabetes Mellitus Tipe 2
Menurut Martono et al (2007), diabetes mellitus tipe 2 terjadi
apabila terjadi ketidaksetaraan antara kapasitas produksi insulin oleh sel
beta langerhans pankreas dan kebutuhan insulin yang bekerja pada
target insulin seperti hepar, jaringan lemak, dan otot skelet.

Berdasarkan pada faktor-faktor yang mempengaruhi proses menua,


yaitu faktor intrinsik yang terdiri dari faktor genetik dan biologik serta
faktor ekstrinsik seperti faktor gaya hidup, lingkungan, kultur, dan
sosial ekonomi, maka timbulnya DM pada lanjut usia bersifat
multifaktoral yang dapat mempengaruhi baik sekresi insulin maupun
aksi insulin pada jaringan sasaran seperti yang tampak pada tabel
dibawah ini:

Skema 2.1 Patofisiologi DM tipe 2


Lanjut Usia
Proses Penuaan
Penurunan aktifitas fisik
Peningkatan lemak
Efek penuaan pada kerja
insulin
Obat-obatan
Genetik
Penyakit lain yang ada

Resistensi
Insulin
Kerusakan
adaptasi
Penurunan
sekresi
insulin

Efek penuaan pada sel

Gangguan toleransi
glukosa dan diabetes
mellitus tipe 2

Gambar: Model hiperglikemia lanjut usia dengan berbagai faktor risiko pada DM
tipe-2 (Chang dkk, 2010).
6. Manifestasi Klinis Diabetes Mellitus Tipe 2

Gejala yang sering muncul pada lanjut usia penderita diabetes


mellitus tipe 2 ialah poliuria, polidipsi, polifagia, akan tetapi penurunan
berat badan tidak selalu tampak pada lanjut usia penderita diabetes
mellitus , hal ini disebabkan seiring dengan meningkatnya usia maka
terjadi kenaikan ambang batas ginjal untuk glukosa sehingga glukosa
baru dikeluarkan melalui urin apabila glukosa darah sudah cukup
tinggi. Selain itu, karena mekanisme haus terganggu seiring dengan
proses penuaan, maka polidipsi pun tidak terjadi, sehingga lanjut usia
penderita diabetes mellitus tipe 2 mudah mengalami dehidrasi
hiperosmolar akibat hiperglikemia berat (Kurniawan, 2010).
7. Komplikasi Diabetes Mellitus tipe 2
Price & Wilson (2005), Masjoer et al (2001), Smeltzer & Bare
(2001) menjelaskan bahwa komplikasi pada diabetes mellitus bisa
dibagi menjadi dua kategori yang terdiri dari komplikasi metabolik akut
dan komplikasi vaskular jangka panjang.
a. Komplikasi metabolik akut
1) Ketoasidosis diabetik
Ketoasidosis diabetik adalah komplikasi metabolik yang
paling mengancam pada diabetes mellitus tipe 1. Penurunan
jumlah insulin mengakibatkan hiperglikemia dan glukosuria berat,
penurunan lipogenesis, peningkatan lipolisis dan peningkatan
oksidasi asam lemak bebas yang diikuti dengan pembentukan
benda

keton.

Meningkatnya

keton

dalam

plasma

dapat

menyebabkan terjadinya ketosis karena bertambahnya beban ion


hidrogen dan asidosis metabolik. Glukosuria dan ketonuria bisa
mengakibatkan diuresis osmotik sehingga terjadi dehidrasi serta
kehilangan elektrolit. Klien DM dapat mengalami tekanan darah

rendah dan syok, sehingga terjadi penurunan penggunaan oksigen


otak selanjutnya menyebabkan koma sampai meninggal.
2) Hyperglycemic Hyperosmolar Non-Ketotic syndrome (HHNK)
HHNK merupakan komplikasi metabolik akut yang sering
terjadi pada pada DM tipe 2. HHNK didominasi oleh
hiperosmolaritas dan hiperglikemia yang disertai perubahan
tingkat kesadaran. Kelainan mendasar pada sindrom ini berupa
kekurangan insulin efektif. Hiperglikemia tanpa ketosis dapat
muncul pada klien DM dengan defisiensi insulin relatif.
Hiperglikemia berat dengan kadar glukosa serum lebih dari 600
mg/dl. Hiperglikemia menyebabkan hiperosmolalitas, diuresis
osmotik, dan dehidrasi berat.
3) Hipoglikemia
Hipoglikemia (syok insulin) merupakan komplikasi yang
terjadi akibat terapi insulin. Klien DM tipe 1 mungkin
mendapatkan insulin dalam jumlah berlebihan dari kebutuhan
normal untuk mempertahankan kadar glukosa darah sehingga
dapat mengalami hipoglikemia. Gejala yang timbul berupa
pelepasan epinefrin (berkeringat, gemetar, sakit kepala, dan
palpitasi) dan kekurangan glukosa dalam otak (tingkah laku yang
aneh, sensori yang tumpul, dan koma). Serangan hipoglikemia
dapat berbahaya apabila sering atau terjadi dalam jangka waktu
lama karena dapat menyebabkan kerusakan otak yang permanen
hingga kematian.
b. Komplikasi vaskuler jangka panjang
Komplikasi vaskuler jangka panjang pada diabetes mellitus
melibatkan pembuluh darah kecil (microangiopathic) dan pembuluh

darah besar (macroangiopathic). Komplikasi jangka panjang DM


dapat menyerang pada semua sistem organ dalam tubuh. Komplikasi
kronis diabetes mellitus dapat dikategorikan menjadi komplikasi
makrovaskuler, komplikasi mikrovaskuler, dan neuropati.
1) Komplikasi makrovaskuler
Perubahan aterosklerotik sering terjadi pada pasien DM.
Berbagai penyakit makrovaskuler dapat terjadi tergantung pada
lokasi lesi aterosklerotik. Penyakit tersebut meliputi penyakit
arteri koroner, serebrovaskuler, dan penyakit vaskuler perifer.
2) Komplikasi mikrovaskuler
Penyakit mikrovaskuler ditandai oleh penebalan membran
basalis pembuluh kapiler. Komplikasi mikrovaskuler yang sering
terjadi pada DM yaitu retinopati diabetik dan nefropati diabetik.
Penderita DM lanjut usia mempunyai risiko tinggi untuk timbul
atau berkembangnya komplikasi nefropati diabetika. Risiko
independen atas timbulnya proteinuria dan insufiensi ginjal
adalah derajat dan lamanya kontrol glisemia, hipertensi, lamanya
menderita DM, jenis kelamin laki-laki, dan kadar kolestrol yang
tinggi.
3) Neuropati diabetika
Neuropati yang terdiri atas neuropati fokal, neuropati perifer
dan neuropati otonom merupakan komplikasi yang dapat
menimbulkan tekanan pada penderita dan dapat menyebabkan
gangguan tidur, keterbatasan gerak, dan depresi. Pada penderita
diabetes mellitus lanjut usia, neuropati yang paling sering diderita

adalah polineuropati simetrik distal atau yang biasa dikenal


sebagai simtom sensorik.
8. Diagnosa Diabetes Mellitus Tipe 2
a. Diagnosa & Kriteria Diabetes Mellitus Tipe 2 (PERKENI, 2011)
Pada penderita diabetes mellitus akan ditemukan adanya gejalagejala khas seperti poliuria, polidipsia, polifagia, lemas, dan berat
badan mengalami penyusutan tanpa diketahui penyebab yang pasti.
Gejala-gejala khas seperti diatas dengan satu kali pemeriksaan bila di
dapatkan hasil GDP (Gula Darah Puasa) 126 mg/dl atau GDS (Gula
Darah Sewaktu) 200 mg/dl dapat dinyatakan positif menderita
diabetes mellitus tipe 2.
Selain gejala di atas, gejala lain yang kadang muncul juga
seperti: gringgingen (kesemutan), gatal-gatal, penglihatan kabur,
terjadi disfungsi ereksi pada pria serta pruritus vulvae (keputihan)
pada wanita. Gejala-gejala yang tidak khas tersebut apabila pada saat
dilakukan pemeriksaan sebanyak 2 kali dan menghasilkan GDP
(Gula Darah Puasa) 126 mg/dl atau GDS (Gula Darah Sewaktu)
200 mg/dl dinyatakan positif menderita diabetes mellitus tipe 2.
9. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus
Tujuan utama dari terapi diabetes adalah mengembalikan aktivitas
insulin dan kadar glukosa darah dalam batas normal agar dapat
mengurangi terjadinya komplikasi vaskuler dan neuropatik. Tujuan
terapeutik pada setiap tipe diabetes mellitus ialah mencapai kadar
glukosa darah normal tanpa terjadinya hipoglikemia serta gangguan
serius pada pola aktivitas pasien (Brunner & Suddart, 2002).
Komponen dalam penatalaksanaan diabetes mellitus antara lain :
a. Intervensi farmakologis

Intervensi farmakologi diberikan bersama dengan pengaturan


makan dan latihan jasmani (gaya hidup sehat). Intervensi
farmakologi berupa pemberian obat hipoglikemik oral (OHO) dan
atau suntikan insulin (PERKENI, 2011). OHO merupakan obat
penurun kadar glukosa darah yang sering digunakan pada DM tipe
2. Beberapa obat yang biasanya digunakan antara lain:
1) Sulfonil urea
Sulfonilurea dapat digunakan ketika ada keadaan yang
merupakan kontraindikasi untuk metformin, atau digunakan
sebagai dalam kombinasi dengan metformin jika gula darah
target belum tercapai. Sulfonilurea jenis apapun yang digunakan
tunggal menyebabkan penurunan HbA1C sebesar 1-2%. Obat
golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan produksi
insulin oleh sel-sel beta pankreas dan menjadi pilihan utama
pada pasien DM tipe 2 dengan berat badan berlebihan. Klien
yang berusia lanjut perlu menghindari pemberian obat golongan
sulfonil urea yang memiliki waktu kerja panjang untuk
meminimalkan resiko hipoglikemia. (Sustrani et al, 2006).
2) Biguanid/metformin
Obat golongan ini mempunyai efek utama mengurangi
produksi glukosa hati dan memperbaiki ambilan glukosa dari
jaringan (glukosa perifer). Biguanid dikontraindikasikan bagi
klien diabetes dengan gangguan fungsi hati dan ginjal dan klien
yang kecenderungan hipoksia jaringan. Efek sampingnya adalah

mual, dan untuk mengurangi keluhan tersebut digunakannya


bersamaan atau sesudah makan. Obat generiknya adalah
metformin-HCl (500 mg dan 850 mg/tablet), dengan merek
Bestab, Eraphage, Benofomin, Diabex, Formell, Glukophage,
Glucotika, Gludepatic, Glumin, Methpica, Neodipar, Tudiab,
dan Zumamet (Sustrani et al, 2006).
3) Inhibitor glukosidase alfa
Obat golongan ini mempunyai efek utama menghambat
penyerapan gula di saluran pencernaan, sehingga dapat
menurunkan kadar gula sesudah makan, terutama bermanfaat
untuk klien dengan kadar gula darah puasa yang masih normal.
Efek sampingnya adalah gangguan fungsi hati dan ginjal,
terutama pada klien yang pernah mengalami gangguan tersebut.
Oleh karena itu, untuk pemakaian jangka lama obat ini,
diperlukan pemantauan fungsi hati dan ginjal. Obat generik yang
beredar adalah Acarbose (50 mg dan 100 mg/tablet) dengan
merek Glucobay (Sustrani et al, 2006).
4) Meglitinida
Obat ini termasuk kelompok baru yang bekerja pada
pankreas seperti kelompok sulfonil urea, tetapi dengan cara
kerja yang berbeda. Obat generik yang beredar adalah
Repaglinid 0,5 mg, 1 mg dan 2 mg/tablet dengan merek
Novonorm (Sustrani et al, 2006).
b. Terapi gizi medis
Penatalaksanaan nutrisi pada penderita diabetes mellitus
diharapkan dapat mencapai target atau tujuan sebagai berikut:
1) Memberikan semua unsur makanan esensial seperti vitamin dan
mineral

2) Mencapai dan menjaga berat badan yang ideal


3) Memenuhi kebutuhan energi
4) Mencegah fluktuasi kadar glukosa darah setiap harinya dengan
mengusahakan agar kadar glukosa darah mendekati normal
dengan cara-cara yang aman dan mudah
5) Menurunkan kadar lemak darah meningkat
Bagi semua penderita diabetes, perencanaan makanan harus
mempertimbangkan juga makanan kesukaaan pasien, gaya hidup,
jadwal makan yang biasa diikutinya serta latar belakang budaya
dan etnik. Keberhasilan terapi nutrisi medis sangat bergantung pada
keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim seperti dokter, ahli
gizi, petugas kesehatan yang lain serta klien dan keluarganya
(Brunner & Suddart, 2002).
c. Pemantauan Glukosa dan Keton
Dengan melakukan pemantauan kadar glukosa darah secara
mandiri, penderita diabetes mellitus dapat mengatur sendiri terapi
yang diinginkan untuk mengendalikan kadar glukosa darah secara
optimal. Dengan menggunakan cara seperti ini, pencegahan
hipoglikemia serta hiperglikemia dapat di deteksi secara dini, dan
dapat berfungsi untuk menentukan kadar glukosa darah normal yang
diharapkan dapat mengurangi komplikasi diabetes jangka panjang
(Brunner & Suddart, 2002).
d. Edukasi
Pemberdayaan klien DM memerlukan partisipasi aktif klien,
keluarga, dan masyarakat serta tim kesehatan yang mendampingi
pasien dalam menuju perubahan perilaku yang sehat, untuk
mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang
komprehensif dan upaya peningkatan motivasi. Pengetahuan tentang

pemantauan glukosa darah mandiri, tanda, dan gejala hipoglikemia


serta cara mengatasi hipoglikemia sangat penting untuk diberikan
kepada klien (PERKENI, 2011).

Anda mungkin juga menyukai