Anda di halaman 1dari 41

KEPERAWATAN GERONTIK

ASUHAN KEPERAWATAN SISTEM ENDOKRIN PADA


LANSIA

KELOMPOK 3

DESKA PARINDA 04021181320024

UMIARTI MEILINA 04021181320035

RENNY NOVIANTI 04021181320038

LILIA TIARA LESTARI 04021181320043

AULIA HERIKA PUTRI 04021181320049

RIRIN AGUSTINA 04021281320014

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SRIWIJAYA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Proses penuaan pasti terjadi baik perempuan maupun laki-laki, juga pada semua
makhluk hidup. hingga kini belum ditemukannya cara untuk mencegah proses
penuaan. Penyebab penuaan adalah mulai berkurangnya proses pertumbuhan,
pembelahan sel dan berkurangnya proses metabolisme tubuh. Akibatnya,
terjadigangguan terhadap kulit, selaput lendir, tulang, sistem pembuluh darah, aliran
darah,metabolisme vitamin dan fungsi otak.

Masalah kesehatan yang berhubungan dengan gangguan sistem endokrin terjadi


sepanjang siklus kehidupan. Sistem endokrin penting untuk mempertahankan dan
mengatur fungsi vital tubuh, misalnya stress, tumbuh kembang, homeostasis,
reproduksi, dan metabolisme energi. Salah satu penyakit yang terdapat pada system
endokrin yaitu diabetes militus. Diabetes melitus (DM) merupakan keadaan yang
sering kali dikaitkan dengan meningkatnya risiko kesakitan dan kematian. Lanjut
usia(lansia) yang menderita DM seringkali juga mengalami penyakit lainnya,
ketidakmampuan fisik, gangguan psikososial dan fungsi kognisi, serta meningkatnya
pelayanan kedokteran. Pada akhirnya, komplikasi yang terjadi akan mempengaruhi
kualitas hidup lansia.

Prevalensi DM sebesar 15,8% didapatkan pada kelompok usia 60-70 tahun dan
lansia wanita memiliki prevalensi lebih tinggi dari lansia pria. Rata-rata skor domain
kondisi lingkungan lebih tinggi pada lansia yang tidak menderita DM dan rata-rata
skor kesehatan fisik lebih tinggi pada lansia yang menderita obesitas. Semakin besar
indeks massa tubuh maka skor domain kesehatan fisik akan semakin meningkat secara
drastis.

Ketertarikan kami mengangkat judul makalah ini khususnya pada diabetes militus
yaitu karena kebanyakan di rumah sakit ditemui orang yang menderita DM adalah
lansia dan kita sebagai perawat dapat melakukan tindakan keperawatan dalam
mengatasi penyakit DM pada lansia dan juga mengetahui komplikasi DM pada lansia.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja konsep dari lanjut usia?
2. Apa yang dimaksud dengan diabetes melitus?
3. Apa saja klasifikasi diabetes melitus?
4. Apa saja etiologi diabetes melitus?
5. Apa saja diagnosis klinis diabetes melitus?
6. Apa saja komplikasi yang terjadi pada penderita diabetes melitus?
7. Apa saja konsep pada diabetes melitis tipe 2?
8. Bagaimana asuhan keperawatan sistem endokrin pada lansia terutama penyakit
diabetes melitus?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui konsep dari lanjut usia
2. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan diabetes melitus
3. Untuk mengetahui klasifikasi diabetes melitus
4. Untuk mengetahui etiologi diabetes melitus
5. Untuk mengetahui diagnosis klinis diabetes melitus
6. Untuk mengetahui komplikasi yang terjadi pada penderita diabetes melitus
7. Untuk mengetahui konsep pada diabetes melitis tipe 2
8. Untuk mengetahui asuhan keperawatan sistem endokrin pada lansia terutama
penyakit diabetes melitus
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Konsep Lanjut Usia
1. Definisi Lanjut Usia
Lanjut usia atau lansia merupakan bagian dari proses tumbuh kembang dan dapat
dikatakan sebagai masa transisi akhir kehidupan manusia. Di Indonesia batasan umur
lanjut usia yakni 60 tahun ke atas (Saragih, 2012). UU no 4 tahun 1965 menyatakan
bahwa lansia (lanjut usia) adalah seseorang yang mencapai usia 55 tahun dengan
keadaan tidak berdaya mencari nafkah sendiri untuk keperluan hidupnya sehari-hari
dan menerima nafkah dari orang lain (Wahyudi, 2000 dalam Sutarti,2014).
Undang-Undang RI No. 13 dalam Bab 1 Pasal 1 ayat (2) Tahun 1998 tentang
kesehatan mengatakan bahwa lanjut usia adalah sesorang yang telah mencapai usia
≥60 tahun (Efendi & Makhfudli, 2009). Pada umumnya, lansia yang berusia ≥60
tahun memiliki tanda-tanda penurunan fungsi, baik fungsi biologis, psikologis, sosial
dan ekonomi (BKKBN, 1995 dalam Mubarak, 2012).
2. Klasifikasi lanjut usia
Klasifikasi pada lanjut usia menurut Depkes RI (2003) dalam Maryam,et al.
(2012) dibagi menjadi lima yaitu sebagai berikut :
a. Pralansia (prasenilis) merupakan seseorang yang berusia 45-59 tahun.
b. Lansia yakni jika individu berusia ≥60 tahun.
c. Lansia resiko tinggi adalah individu yang memiliki masalah kesehatan dan berusia
≥70 tahun atau ≥60tahun.
d. Lansia potensial yaitu lansia yang masih dapat melakukan pekerjaan atau kegiatan
yang menghasilkan barang atau jasa.
e. Lansia tidak potensial adalah lansia yang tidak berdaya untuk mencari nafkah
sendiri, sehingga bergantung pada bantuan orang lain.
3. Batasan lanjut usia
a. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO (Mujahidullah, 2012) batasan
lanjut usia dibagi menjadi empat, yaitu:
1) Middle age atau usia pertengahan yaitu 45-59 tahun.
2) Elderly atau lanjut usia yaitu 60-74 tahun.
3) Old atau lanjut usia tua yaitu 75-90 tahun.
4) Very old atau usia sangat tua yaitu diatas 90 tahun.
b. Burnside (1979) dalam Nugroho (2009) tahapan lanjut usia digolongkan menjadi
empat, meliputi:
1) Young old yaitu usia 60-69 tahun.
2) Middle old yaitu usia 70-79 tahun.
3) Old – old yaitu usia 80-89 tahun.
4) Very old-old yaitu berusia ≥90 tahun.

4. Teori penuaan lanjut usia


Stanley (2006) membagi teori penuaan menjadi dua, yaitu:
a. Teori Biologis
Teori ini menjelaskan tentang proses fisik penuaan, perubahan fungsi dan
struktur pengembangan, lama usia dan kematian. Teori biologis ini juga
menjelaskan mengapa seseorang mengalami proses penuaan dengan cara yang
berbeda-beda serta faktor yang mempengaruhi usia, perlawanan terhadap
organisme, perubahan seluler hingga kematian.
b. Teori Psikososiologis
Teori psikososial fokus pada perubahan sikap dan perilaku yang mengiringi
penambahan usia pada lansia serta sebagai lawan dari implikasi biologis pada
kerusakan anatomis.

5. Perubahan fisiologis lanjut usia (Sistem Endokrin)


Perubahan pada lansia baik seluler maupun ekstraseluler dapat
mengakibatkan penurunan penampilan fisik. Terjadi perubahan bentuk dan
susunan tubuh yang dapat diukur (Smeltzer & Bare, 2002). Perubahan fisiologis
yang terjadi pada lansia dimulai dari perubahan sel sampai ke seluruh sistem
tubuh perubahan fisiologis salah satunya ialah perubahan system endokrin.

Hampir seluruh produksi hormon menurun, fungsi hormon paratiroid dan


sekresinya tidak berubah. ACTH, TSH, FSH, LH berkurang dan aktivitas tioid
menurun akibatnya basal metabolisme juga menurun. Produksi aldosteron
menurun, penurunan sekresi hormon progesteron, estrogen dan aldosteron.
Insulin, norefinefrin, parathormon dan vasopresin bertambah sedangkan
tridotironin dan psikomotor berkurang dan menjadi lambat (Mubarak, 2012).
B. Konsep Diabates Melitus
1. Definisi Diabates Melitus
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2010, Diabetes Melitus
merupakan sekelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang
terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Diabetes
melitus adalah penyakit yang ditandai dengan terjadinya hiperglikemia dan gangguan
metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang dihubungan dengan kekurangan
secara absolut atau relatif dari kerja atau sekresi insulin. Gejala yang dikeluhkan
penderita meliputi polidipsia, poliuria, polifagia, penurunan berat badan, dan
kesemutan (Fatimah, 2015). WHO dan American Diabetes Association (ADA)
mendefinisikan bahwa diabetes terjadi bila nilai cut-off (nilai batas) dari konsentrasi
glukosa plasma saat puasa sebesar 7 mmol/L (Bilous dan Donelly, 2014).
2. Klasifikasi Diabates Melitus
Klaisifikasi diabetes melitus berdasarkan etiologi oenyakit menurut American
Diabetes Association dikategorikan menjadi empat jenis, yaitu :
a. Diabates Melitus Tipe I atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus/ IDDM
Diabates tipe 1 terjadi karena adanya destruksi sel β pankreas yang disebabkan
oleh autoimun. Pada tipe ini insulin sangat sedikit bahkan tidak disekresi sama
sekali. Manifestasi utama yang terjadi yakni terjadinya ketoasidosis (Ndraha,
2014)
b. Diabates Melitus Tipe II atau Insulin Non-dependent Diabetes Mellitus/ NIDDM
Penderita diabates mellitus tipe 2 terjadi hiperinsulinemia namun tidak masuk ke
dalam jaringan karena resistensi insulin (Ndraha,2014).
c. Diabates Melitus Tipe Lain
Diabates mellitus tipe ini terjadi karena penyebab lain seperti, defek genetik
fungsi sel β, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, penyakin
endokrin lain, dan sebagainya (Ndraha, 2014)
d. Diabates Melitus Gestasional
Diabetes gestasional merupakan tipe diabates yang terjadi selama masa kehamilan
dan kembali normal setelah persalinan (Bustan, 2015).
Tabel 2.1. Klasifikasi DM menurut ADA (2010)

Klasifikasi Etiologi Diabates Melitus


I Diabates tipe 1 (Destruksi sel, umumnya mengarah kepada defisiensi
insulin absolut)
a. Immune Mediated
b. Idiopathik
II Diabetes tipe 2 (Diabates dari predominan resistensi insulin dengan
defisiensi insulin relatif hingga predominan defek sekresi dengan resistensi
insulin)
III Tipe lain
a. Defek genetik dari fungsi sel beta
b. Defek genetik kerja insulin
c. Penyakit eksokrin pankreas
d. Endokrinopati
e. Imbas obat atau zat kimia
f. Infeksi
g. Jenis tidak umum dari diabates yang diperantarai imun
h. Sindrom genetik lainnya yang kadang berhubungan dengan DM
IV Diabates Melitus Gestasional

3. Etiologi Diabates Melitus


Diabates mellitus umumnya disebabkan oleh rusaknya sebagaian kecil atau besar
dari sel-sel betha dari pulau langerhans di pankreas yang berfungsi sebagai penghasil
insulin, akibatnya terjadilah kekurangan insulin (H.R. Hasdianah, 2012). Selain itu,
pada mayuritas penderita diabetes mellitus determinan genetik biasanya memegang
peranan penting (Mujahidullah, 2012). Tetapi faktor genetik saja tidak cukup, masih
diperlukan faktor lain yang disebut dengan faktor resiko atau faktor pencetus
terjadinya diabates mellitus seperti, obesitas, pola makan yang salah, minum obat-
obatan yang memicu peningkatan kadar glukosa darah, proses menua, dan stress
(Suyono, 2015). Beberapa faktor seperti usia, jenis kelamin, dan penyakit penyerta
memperngaruhi terjadinya peningkatan kadar glukosa darah (Mashudi, 2011).
4. Diagnosis Diabates Melitus
Lansia pada usia 75 tahun diperkirakan 20% mengalamai diabates melitus, dan
kurang lebih setengah dari mereka tidak menyadari hal tersebut. Oleh karena itu
American Diabetes Association (ADA) menganjurkan untuk dilakukan skrinning
dengan inteval tiga tahun sekali pada usia 45 tahun ke atas. Namun interval ini dapat
lebih pendek individu yang beresiko tinggi terutama dengan hipertensi dan
dislipidemia (Kurniawan, 2010).
Diagnosis klinis diabates melitus dapat ditegakkan jika ada gejala khas yang
terjadi berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan terjadi penurunan berat bedan yang
tidak dapat dijelaskan penyebabnya (Ndraha, 2014). Jika terdapat keluhan dan gejala
yang khas ditambah dengan dua kali hasil pemeriksaan kadar gula darah abnormal
(kadar gula darah puasa ≥126mg/dL dan kadar gula darah sewaktu ≥200mg/dL) atau
tes toleransi glukosa oral (TTGO) abnormal, maka diagnosis diabates melitus dapat
ditegakkan.

Tabel 2.2. Kriteria diagnosis diabetes melitus menurut American Diabetes Association
(ADA) 2010 dalam Kurniawan (2010)

Kriteria Diagnosis DM
1 HbA1C ≥6,5%
.
2 Kadar gula darah puasa ≥126mg/dL
.
3 Kadar gula darah 2 jam pp ≥200mg/dL pada tes toleransi gukosa oral yang
. dilakukan dengan 75g glukosa standar WHO
4 Pasien dengan gejala klasik hiperglikemia atau krsis hiperglikemia dengan kadar
. gula sewaktu ≥200mg/dL
Tabel 2.3. Kriteria diagnosis DM menurut Konsensus PERKENI 2006 dalam
Djokomoeljanto (2014)

Kadar Glukosa Darah Diagnosis Plasma Vena Darah Kapiler


Kadar glukosa darah Bukan DM <100 <90
sewaktu (mg/dL) Belum pasti 100-199 90-199
DM
DM ≥200 ≥200
Kadar glukosa darah Bukan DM <100 <90
puasa (mg/dL) Belum pasti 100-125 ≥126
DM
DM 90-99 ≥100

Uji diagnostik diabetes mellitus berbeda dengan pemeriksaan penyaring. Pada uji
diagnostik dilakukan pada klien yang merasakan gejala diabates mellitus, sedangkan
pada pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi klien yang tidak
merasakan gejala namun memiliki resiko terhadap diabates mellitus seperti usia,
riwayat keluarga, obesitas. Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan dengan cara
pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau puasa, kelmudian diikuti dengan tes
toleransi glukosa oral standar (Fatimah, 2015).

5. Komplikasi Diabates Melitus


Menurut Chandrasoma & Taylor (2006) Komplikasi yang dapat terjadi dibagi
menjadi dua macam yakni komplikasi akut dan komplikasi kronik.
a. Komplikasi akut
1) Ketoasidosis Diabetik
Ketoasidosis biasanya terjadi pada diabates mellitus yang berat dengan
kadar insulin yang sangan berkurang sedangkan kadar glukagon meningkat.
Biasnya terjadi pada diabetes mellitus tipe 1 namun tidak diobati dan jarang
terjadi pada diabetes mellitus tipe 2 yang secara fungsional kadar insulin tidak
adekuat, tetapi masih cukup untuk mencegah pembentukan badan keton.
2) Koma Hiperosmolar Bukan Ketotik
Koma Hiperosmolar biasa terjadi pada lansia dengan diabates yang tidak
terkontrol. Gangguan ini desebabkan oleh kadar glukosa serum sangat tinggi
sehingga menyebabkan diuresis osmotik dan kehilangan cairan, yang
menambah osmolaritas plasma. komplikasi ini mengakibatkan mortalitas yang
tinggi dan dapat diterapi dengan pemberian cairan agresif dan insulin.
3) Koma Hipoglikemik
Koma hipoglikemik bukan komplikasi langsung diabates namun
komplikasi akibat pengobatan. Keseimbangan dosis insulin dan dosis asupan
karbohidrat sangat penting dalam pengobatan diabetes. Penurunan kadar
glukosa darah mungkin terjadi setelah overdosis insulin, tetapi sering terjadi
karena satu atau lebih jadwal makan yang terlewat atau disebabkan karena
muntah.
b. Komplikasi Kronik
1) Mikroangiopati Diabatek (Penyakit Pembuluh Darah Kecil)
Mikroangiopati merupakan salah satu perubahan yang khas terjadi pada
penderita diabates yang ditandai dengan penebalan difus membran basal
kapiler di seluruh tubuh. Ginjal, retina, kulit dan otot rangka biasnya terkena.
Perubahan serupa terjadi juga pada membran basal tubulus renalis, plasenta,
dan saraf perifer.
2) Penyakit Pembuluh Darah Besar
Diabates mellitus merupakan faktor utama terjadinya aterosklerotik,
infark miokard, dan oklusi arteri serebral. Peningkatan insiden hiperlipidemia
pada diabetes berperan dalam timbulnya aterosklerosis.
3) Neuropati dan katarak
Neorupati dan katarak yang terjadi karena akibat dari akumulasi sorbitol
di dalam jaringan saraf atau lensa mata. Enzim aldosa reduktase penghasil
sorbitol di dalam jaringan tersebut bila kadar glukosa darah tinggi dan
penumpukan sorbitol yang secara osmatik aktif dan tidak bisa larut,
menyebabkan pembengkakan atau kematian seluler.
4) Komplikasi Lain
Komplikasi lain yang dapat terjadi seperti rentan terhadap infeksi, dan
gangguan penyembuhan luka. Ulkus kaki kronis merupakan kasus yang sering
terjadi dan sulit diobati.
C. Konsep Diabetes Mellitus Tipe 2
1. Definisi Diabetes Mellitus Tipe 2
Diabates mellitus tipe 2 adalah penyakit gangguan metabolik yang ditandai
dengan hiperglikemi akibat dari penurunan sekresi insulin oleh sel β pankreas
resistensi insulin (Fatimah, 2015). Kadar insulin pada diaates meliitus tipe 2 hanya
sedikit menurun atau masih dalam batas normal karena insulin masih tetap dihasilkan
oleh sel-sel β pankreas sehingga disebut sebagai non insulin dependent diabetes
mellitus (Fatimah, 2015).
Diabates mellitus tipe 2 merupakan jenis diabates sering terjadi yang lanjut usia.
Seiring bertambahnya usia berhubungan dengan terjadinya resistensi insulin yang
mendominasi yang disebabkan oleh beberapa faktor. Timbulnya resistensi insulin
yang terjadi pada lansia disebabkan oleh perubahan komposisi tubuh yang terdiri dari
empat faktor yakni jaringan lemak lebih banyak daripada jaringan otot, aktivitas fisik
menurun sehingga menyebabkan penurunan jumlah reseptor insulin yang siap
berikatan dengan insulin, perubahan pola makan yang lebih banyak mengkonsumsi
karbohidrat karena berkurangnya jumlah gigi, dan perubahan neurohormonal terutama
pada insulin-like growth factor-1 (IGF-1) dan dehidroepiandosteron (DHEAS)
plasma, sehingga terjadi penurunan ambilan glukosa karena menurunnya sensitivitas
reseptor insulin dan aksi insulin (Kurniawan, 2010).
2. Gambaran Klinis Diabates Mellitus Tipe 2
Gambaran klinis menurut Bilous & Donelly, 2014 yang terjadi pada penderita
diabetes mellitus meliputi beberapa hal sebagai berikut :
a. Awitan biasanya tersembunyi dari kelelahan, poliuria, haus, dan nokturia.
b. Ketoasidosis tidak ditemukan dan biasanya terjadi pada pasien yang obesitas
c. Seringkali gejala yang dirasa terabaikan dan menunjukkan gambaran lain sindrom
metabolik seperti, hipertensi.
d. Rantai peptida tidak dapat dideteksi
3. Faktor Resiko Diabetes Mellitus Tipe 2
a. Faktor resiko Mayor
Menurut ADA dalam Hadisaputro & Setyawan, 2007 faktor resiko mayor
diabates mellitus yaitu :
1) Riwayat keluarga yang mengalami diabates mellitus (orang tua atau saudara
sekandung)
2) Obesitas dengan berat >20% berat badan ideal atau BMI>27kg/m2)
3) Ras/etnik
4) Tidak melakukan aktivitas fisik seperti olahraga
5) Mengalami hipertensi >140/90 mmHg pada dewasa
6) Kolestrol HDL <35mg/dL
7) Mempunyai riwayat diabates selama kehamilan
b. Faktor resiko lain yang terjadi meliputi :
1) Faktor genetik
Penelitian Famili didapatkan bahwa 25-50% penderita diabates
mempunyai riwayat keluarga yang juga terkena diabetes, sedangkan pada
masyarakat umum hanya dijumpai <15%. (Hadisaputro & Setyawan, 2007).
Resiko emperis terjadinya diabates mellitus tipe 2 akan meningkat 2-6 kali
lipat jika orang tua atau saudara mengalami hal serupa (Fatimah,2015). Hal ini
membuktikan adanya peranan genetik yang relatif kuat mempengaruhi
terjadinya diabates mellitus tipe 2.
2) Usia
Penderita diabetes mellitus tipe 2 biasanya terjadi pada usia >30 tahun dan
seiring bertambahnya usia berhubungan dengan terjadinya resistensi insulin
karena penurunan fungsi hormonal pada sistem endokrin. Hal ini menjadi
pemicu terjadinya diabates mellitus tipe 2.
3) Faktor lingkungan
Menurut WHO (1994) faktor lingkungan yang berperan dalam terjadinya
diabates mellitus tipe 2 yakni aktivitas fisik, berat badan dan distribusi lemak,
nutrisi, dan faktor lain seperti stress, dan penggunaan obat dalam jangka waktu
yang lama (Hadisaputro & Setyawan, 2007).
4) Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik yang dilakukan secara teratur dapat meningkatkan
sensitivitas insulin dan meningkatkan toleransi glukosa. Selain itu, aktivitas
fisik mempunyai efek tehadap lemak, tekanan darah, dan berat badan sehingga
mencegah penyakit kardiovaskuler (Hadisaputro & Setyawan, 2007).
5) Berat Badan
Penelitian survei komunitas yang dilakukan di Bahrain menyatakan
bahwa kegemukan merupakan satu-satunya faktor yang berhubungan dengan
diabetes (Hadisaputro & Setyawan, 2007).
6) Konsumsi Alkohol dan Merokok
Alkohol mengganggu metabolisme kadar gula darah khususnya pada
penderita diabates mellitus, sehingga mempersulit regulasi gula darah
meningkatkan tekanan darah. Kebiasaan merokok juga meningkatkan resiko
terjadinya diabetes mellitus (Fatimah,2015)
7) Faktor Stress
Stress merupakan reaksi non spesifik yang dialami manusia terhadap
rangsangan atau tekanan atau stressor (Mashudi, 2011). Suatu penelitia kasus-
kontrol menyatakan adanya hubungan individu dengan kepribadian mudah
stess berisiko 2,59x terkena diabates mellitus dibandingkan individu yang
tidak mudah stress (Hadisaputro & Setyawan, 2007). Selama stress
berlangsung terjadi peningkatan hormon yang mengarah pada peningkatan
kadar glukosa darah seperti ACTH, epineprin, glukokortikoid, dan kortisol
(Mashudi, 2011).

4. Patofisiologi Diabates Melitus 2 pada Lanjut Usia


Diabates mellitus merupakan gangguan metabolik yang melibatkan berbagai
sistem fisiologis, yang paling kritis yakni melibatkan metabolisme glukosa. Pada
penderita diabates mellitus fungsi dari vaskular, renal neurologis, dan penglihatan
dapat terganggu, walaupun perubahan ini terjadi pada jaringan yang tidak
memerlukan insulin untuk menjalankan fungsinya (Stanley & Beare, 2006)
Pada lanjut usia menderita jenis diabetes mellitus tipe 2 berkaitan erat dengan
proses menua. Seiring dengan bertambahnya usia, lansia semakin rentan terhadap
kejadian DM. Patofisiologi diabates mellitus tipe 2 ditandai dengan empat macam
gangguan metabolik yaitu, hiperglikemia kronik, resistensi insulin, reduksi respons
insulin, dan peningkatan sekresi glukosa hepar (Bustan, 2015). Namun pada lansia
resistensi insulin memiliki peranan paling dominan terjadinya diabates mellitus pada
lansia (Kurniawan, 2010). Resistensi terjadi akibat dari proses penuaan, berkurangnya
aktivitas fisik, dan obesitas (Fatimah, 2015). Proses menua yang terjadi
mengakibatkan fungsi dari sistem tubuh menurun khususnya pada sistem endokrin
dan metabolik.
Kelenjar endokrin adalah kelenjar buntu yang memproduksi hormon seperti
kelenjar pankreas sebagai penghasil insulin dan berperan dalam pengaturan gula
darah, kelenjar tiroid atau gondok yang ikut berperan dalam metabolisme tubuh,
kelenjar adrenal/anak ginjal yang memproduksi adrenalin yang merupakan stres
hormon yang berfungsi dalam mengatasi stress, dan kelenjar yang berkenaan dengan
hormon laki-laki dan perempuan.
Pada lanjut usia terjadi penurunan dari hormon tersebut salah satunya penurunan
fungsi kelenjar pankreas mengakibatkan hemoistasis glukosa darah terganggu. Insulin
normalnya terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel, akibat ikatan tersebut
terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa di dalam sel. Resistensi
insulin pada DMT2 disertai dengan penurunan reaksi intrasel, dengan demikian
insulin tidak efektif dalam menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan. Untuk
mengatasi pembentukan glukosa dalam darah maka sekresi insulin juga harus
meningkat. Namun jika sel β tidak mampu mengimbangi, maka kadar glukosa akan
meningkat dan terjadi diabates mellitus tipe 2 (Smelter & Bare, 2002). Selain itu,
penurunan fungsi dari kelenjar adrenal juga memberikan peranan. Hal ini dikarenakan
dari penurunan kelenjar adrenal, lansia menjadi rentan terhadap stress, sedangkan
stress memiliki hubungan sebab akibat terjadinya diabates mellitus. Stress yang
terjadi pada lansia dapat mengakibatkan ketegangan otot dan peningkatan hormon
yang mengarah pada peningkatan kadar glukosa darah. Akibatnya lansia menderita
diabates mellitus. Diabates mellitus yang terjadi pada lansia akan mengalami
komplikasi baik akut maupun kronik. Komplikasi yang terjadi maka akan menjadi
stressor bagi lansia sehingga lansia menjadi stress baik secara fisik maupun
emosional. Hal ini jelas akan memperburuk kesehatan lansia dan juga stress yang
memliki hubungan sebab akibat terhadap kejadian diabates mellitus dapat
memperburuk diabates yang diderita lansia.
Skema.2.1 Patofisiologi Diabetes Mellitus Tipe 2 pada Lansia

Proses Penuaan

Perubahan Sistem Endokrin

Penurunan fungsi Penurunan fungsi


kelenjar pankreas kelenjar adrenal

Hemoistasis glukosa darah terganggu Produksi adrenalin


& produksi insulin berkurang menurun

Resistensi Insulin Lansia rentan


terhadap stress

Stimulasi pengambilan glukosa oleh


jaringan tidak efektif Stress pada lansia

Meningkatkan hormon epineprin,


Sel β tidak mampu glukagon, ACTH, glukokortikoid
mengimbangi peningkatan
kebutuhan insulin

Meningkatkan kadar
glukosa darah

Diabetes mellitus tipe 2


pada lansia

Azizah, 2011; Smeltzer & Bare, 2002; Mashudi, 2011;


5. Manifestasi Klinis Diabates Melitus
a. Gejala Akut
Menurut Price & Wilson (2012) gejala akut pada penderita diabates mellitus
dikenal dengan triase DM, yaitu :
1) Poliuria
Keadaan dimana seseorang banyak mengerluarkan urin karena terjadinya
hiperglikemia berat dan melebihi ambang batas ginjal, maka menimbulkan
glikosuria sehingga mengakibatkan diuresis osmotik yang akan meningkatkan
pengeluaran urin.
2) Polidipsi
Gejala ini berhubungan dengan poliuri. Intensitas berkemih yang
meningkat sehingga meningkatkan rasa haus dan bisa mengakibatkan tubuh
mengalami dehidrasi. Maka dari itu timbul rangsangan pada susunan saraf
pusat pada penderita diabates mellitus untuk merasa haus dan menjadi banyak
minum.
3) Polifagia
Gejala yang timbul akibat banyaknya kalori yang hilang karena
berkurangnya kadar glukosa darah yang keluar bersama dengan urin. Hal ini
mengakibatkan penderita mengalami keseimbangan kalori negatif dan
berkurangnya berat badan, sehingga penderita merasa lapar yang meningkat.
b. Gejala Kronik
Gejala kronik yang dapat terjadi pada diabates mellitus berupa kesemutan,
kulit terasa panas atau merasakan seperti tertusuk jarum, kulit terasa kebas,
kelelahan, mudah mengantuk, pendangan kabur, gigi mudah goyah, kemampuan
seksual menurun, keguguran bahkan kematian janin (Fatimah, 2015).

6. Penalatalaksanaan Diabetes Mellitus Tipe 2


Tujuan utama dalam penatalaksanaan diabates mellitus adalah untuk
menormalkan aktivitas insulin dan kadar glukosa darah dalam upaya untuk
mengurangi terjadinya komplikasi vaskuler serta neuropatik. Tujuan teurapeutik pada
setiap tipe diabates adalah mencapai kadar glukosa normal tanpa terjadinya
hipoglikemia dan gangguan pada pola aktivitas pasien (Smeltzer & Bare, 2002). Pada
prinsipnya penalaksanaan diabates mellitus dibagi menjadi 2 yakni penatalaksanaan
fakmakologi dan non farmakologi. Selain penatalaksanaan fakmakologi dan
nonfarmakologi. Menurut konsensus pengelolaan dan pencegahan DM tipe 2 di
Indonesia 2011, penatalaksanaan dan pengelolahan DM dititik beratkan pada 5 pilar
penatalaksanaan DM meliputi : edukasi, terapi gizi medis atau perencanaan makan
(diit), latihan jasmani, intervensi farmakologis berupa obat berkhasiat hipoglikemik,
dan pemantauan kadar glukosa darah secara mandiri (home monitoring) (Subekti,
2009; Batubara, 2009). Salah satu intervensi yang dapat diberikan perawat dalam
penatalaksanaan diabetes mellitus yakni dengan memberikan terapi komplementer.
Menurut Dunning (2003) dalam Hasaini (2015) menyatakan bahwa terapi
komplementer dapat memberikan manfaat pada penderita diabetes mellitus dalam
meningkatkan penerimaan atas kondisi DM yang diderita, menurunkan kecemasan,
stress dan depresi, mencegah stress berkelanjutan dan mengembangkan strategi
penanganan stress, dan meningkatkan keterlibatan pasien dalam upaya proses
penyembuhan.
a. Penatalaksanaan Farmakologi
Menurut Waspadji (2015) dalam penatalaksanaan farmakologi diabetes mellitus
dapat berupa obat hipoglikemik Oral dan terapi insulin.
1) Obat Hipoglikemik Oral
a) Pemicu sekresi insulin
1. Sulfonilurea
Sulfonilurea bekerja merangsang sekresi insulin yang tersimpan
dengan menstimulasi sel β pankreas, menurunkan ambang sekresi
insulin, dan meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat dari
rangsangan glukosa yang menimbulkan efek samping paling serius
berupa hipoglikemia terutama pada pasien lansia dan gagal ginjal serta
dapat mengakibatkan penambahan berat badan (Bilous & Donelly,
2014; Waspadji, 2015).
2. Glinid
Glinid terdiri dari repaglinid dan nateglinid yang berfungsi untuk
mengatasi hiperglikemis postprandial (Ndraha,2014). Cara kerja sama
seperti sulfonilurea namun lebih menekankan pada peningkatan sekresi
insulin fase pertama (Waspadji, 2015).
b) Peningkatan sensitivitas terhadap insulin
1. Biguanid
Jenis yang digunakan yakni metformin (Waspadji, 2015).
Metformin bekerja menurunkan kadar glukosa darah dengan cara
mempengaruhi kerja insulin pada tingkat seluler, distal reseptor, dan
menurunkan glukosa hati (Ndraha, 2014), namun tidak menyebabkan
hipoglikemia atau penambahan berat badan seperti sulfonilurea (Bilous
& Donelly, 2014). Efek samping yang ditimbulkan berupa mual,
anoreksia atau diare (Bilous & Donelly, 2014).
2. Tiazolidindon
Tiazolidindon mempunyai efek farmakologi meningkatkan sekresi
dari insulin (Waspadji, 2015). Efek samping yang ditimbulkan yakni
retensi cairan, bera badan bertambah, dan terjadi edema (Bilous &
Donelly, 2014).
c) Penghambat glukosidase alfa
1. Acarbose
Acarbose bekerja dengan cara mengurangi absorbsi glukosa dan
mempunyai efek samping berupa kembung dan flatulen (Ndraha,
2014).
d) Inkretin mimetik, penghambat DPP-4
Bekerja dengan cara merangsang sekresi insulin dan menekan sekresi
glukagon sehingga kadar glukosa darah menjadi turun (Waspadji, 2015).
2. Insulin
20-25% penderita diabates mellitus tipe 2 memerlukan terapi insulin
untuk menurunkan kadar glukosa darah (Waspadji, 2015). Insulin dibagi
menjadi empat kategori berdasarkan puncak dan jangka waktu efeknya, yaitu
insulin kerja singkat, insulin kerja cepat, insulin kerja sedang, dan insulin kerja
panjang (Soegondo, 2015).

b. Penatalaksanaan Non Farmakologi


Hal yang dapat dilakukan dalam penatalaksanaan non farmakologi diabates
mellitus yaitu, sebagai berikut :
1) Modifikasi gaya hidup
Modifikasi gaya hidup yang dapat dilakukan yakni dengan cara
membatasi asupan lemak dan karbohidrat, dianjurkan untuk melakukan
olahraga, dan mengahentika kebiasaan merokok (Bilous & Donelly, 2014).
2) Edukasi
Tujuan dari edukasi diabetes adalah untuk mendukung pasien untuk
mengerti perjalanan penyakit dan pengelolaanya, mengenali masalah
kesehatan atau komplikasi yang akan muncul secara dini atau saat masih
reversible, ketaatan pemantauan dan pengelolaan secara mandiri, dan
perubahan perilaku atau kebiasaan kesehatan uang dibutuhkan. Edukasi yang
dapat diberikan berupa pemantauan glukosa mandiri, perawatan kaki, petaatan
penggunaan obat, berhenti merokok, meningkatkan aktivitas fisik, dan
mengurangi kalori dan diet tinggi lemak. (Ndraha, 2014). Relaksasi otot
progresif termasuk dalam pilar edukasi dalam penatalaksanaan diabates
mellitus yang diharapkan mampu meningkatkan kemampuan pasien diabetes
mellitus dalam mengatasi stress sehingga mampu melakukan perawatan diri
dan mengurangi komplikasi yang dapay ditimbulkan. (Maghfirah, Sudiana,
Widyawati, 2015).
3) Terapi gizi medis
Prinsip pengaturan makan pada penderita diabates mellitus yakni
makanan seimbang yang sesuai dengan kebutuhan kalori, jadwal makan yang
teratur dan jenis serta jumlah makanan yang dikonsumsi seimbang. Komposisi
yang dianjurkan terdiri dari karbohidrat 45-65%, lemak 20-25%, protein 10-
20%, natrium < 3 gram, dan diet cukup serat sebanyak 25 gram/hari
(Ndraha,2014)
4) Latihan Jasmani
Latihan jasmani merupakan salah satu intervensi yang wajib diberikan
pada penderita diabates mellitus tipe 2 seperti jogging, bersepeda, berjalan
kaki, naik turun tangga (Hasaini,2015). Latihan jasmani baiknya dilakukan
selama 30 menit secara teratur 3-4 kali dalam seminggu sehingga dapat
menurunkan berat badan dan meningkatkan sensitifitas insulin (Ndraha, 2014).

5) Terapi Komplementer
Terapi komplementer yang dapat diberikan pada penderita diabates
mellitus yakni salah satunya relaksasi otot progresif yang merupakan
intervensi keperawatan yang dapat meningkatkan relaksasi dan pengelolaan
diri (Mashudi, 2012). Relaksasi otot progresif merupakan salah satu teknik
relaksasi dengan prosedur yang terdiri dari dua langkah yakni memberikan
ketegangan pada otot, dan menghentikan ketegangan tersebut dengan
memusatkan perhatian terhadap bagaimana otot menjadi rileks, merasakan
sensasi rileks, dan ketegangan menjadi hilang (Richmond,2007 dalam
Mashudi, 2012).
BAB III

PEMBAHASAN

KASUS :
Tn. R (67 tahun) mempunyai istri Ny. A (60 tahun).Mereka memiliki 1 orang anak, yakni Tn.
S (30 tahun). Tn. S yang juga sudah menikah dengan Ny. W (27 tahun) yang tinggal bersama
Tn. R. Ny.A sering mengeluh banyak minum, sering kencing serta nafsu makannya
meningkat. Keadaanya terlihat lemas, pusing, pernafasan cepat dan kurang bersemangat.Ny.
A mengatakan nyeri otot dan kejang otot disertai kelemahan.1 tahun yang lalu, Ny.A dibawa
periksa ke puskesmas kota dan didiagnosa diabetes militus (DM).
Ny. A tidak bisa kontrol teratur ke puskesmas karena yang mengantarkan tidak ada dan
keterbatasan biaya. Tn. R, Tn. S dan Ny. W bekerja sebagai buruh pabrik.Tn. R kadang jika
ada rejeki membeli obatnya di apotek terdekat sesuai fotocopy resep dokter. Hasil observasi
jari kaki Ny. A sebelah kiri terdapat luka kecil sudah 3 minggu belum sembuh.

ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN

Hari;,Tanggal : Rabu, 12 November 2015

Waktu : 11.00 Wib

I. Identitas Pasien
a. Nama : Ny. A
b. Umur : 60 tahun
c. Jenis Kelamin : Perempuan
d. Pendidikan : SMP
e. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
f. Agama : Islam
g. Suku : Caniago
h. Status Perkawinan : Menikah
i. Alamat :Jl. Nusa Indah No. 26 Palembang
j. Orang yang paling dekat dihubungi: Tn. R
k. Hubungan dengan usila : Suami
l. Jenis kelamin keluarga : Laki-Laki

II. Riwayat Keluarga


a. Pasangan
1. Nama : Tn. R
2. Umur : 67 Tahun
3. Pekerjaan : Buruh pabrik
4. Alamat : Jl. Nusa Indah No. 26 Palembang
5. Hidup/mati : Hidup
6. Kesehatan : Baik
b. Anak
1. Nama : Tn. S
2. Alamat : Jl. Nusa Indah No. 26 Palembang
3. Hidup/mati : Hidup

III. Riwayat pekerjaan


Keluarga Tn. R termasuk keluarga prasejahtera karena keluarga hanya bisa
mendapatkan uang dari kontrakan serta mendapatkan beras miskin. Jika sakit
Ny. A tidak bisa kontrol teratur ke puskesmas karena yang mengantarkan tidak
ada dan keterbatasan biaya.Untuk memenuhi kebutuhann sehari-hari keluarga
Tn. R bekerja sebagai buruh pabrik dan hanya mengandalkan penghasilan anak
dan menantunya.
IV. Riwayat lingkungan hidup
a) Kharakteristik Rumah
Rumah Tn. R merupakan rumah milik pribadi dengan ukuran kurang lebih
100 m2.Termasuk rumah semi permanent, berdinding tembok dan juga kayu
(gedek) lantainya dari sebagian semen dan sebagian tanah.Mempunyai 1 ruang
tamu, 4 kamar tidur, 1 dapur, 1 kamar mandi dan WC. Ventilasi rumah belum
mencukupi 10% dari total bangunan dan lingkungannya tampak kotor.
1) Pembuangan Air Kotor
Ada septik tank dan pembuangan air limbah dengan kondisi baik
dengan kedalaman 10 meter terletak di belakang rumah dan jarak dari
sumber air kurang dari 10 meter.
2) Pembuangan Sampah
Keluarga mempunyai tempat pembuangan sampah sendiri yang di
tempatkan di bak sampah atau di bagor dan kemudian di ambil petugas
sampah setiap 2 hari sekali.
3) Sanitasi
Lingkungan rumah Tn. R tampak sedikit kotor, pekarangan tidak
dimanfaatkan secara maksimal hanya ada beberapa tanaman saja.
4) Jamban Keluarga
Mempunyai jamban keluarga sendiri dengan bentuk leher angsa dan
terletak di dalam rumah.
5) Sumber Air Minum
Keluarga memanfaatkan air sumur yang dikelola satu perumahan.
b) Kharakteristik Tetangga dan Komunitas RW
Tetangga Tn. R termasuk tetangga yang baik, rasa kekeluargaan dan
kegotong royongan tinggi dan selalu siap membantu keluarga Tn. R
V. Riwayat rekreasi
Kegiatan rekreasi keluar rumah seperti ikut pengajian namun untuk tamasya
Tn. R tidak melakukan lagi karena tesangkut masalah biaya dan kondisi sakit
yang dialaminya dan istri.Sedangkan rekreasi di dalam rumah seperti mengobrol
dengan tetangga sebelah di beranda rumah.

VI. Sumber/ Sistem pendukung yang digunakan

Keluarga Tn. R termasuk keluarga prasejahtera karena keluarga hanya bisa


mendapatkan uang dari kontrakan serta mendapatkan beras miskin. jika sakit Ny.
A tidak bisa kontrol teratur ke puskesmas karena yang mengantarkan tidak ada
dan keterbatasan biaya.Untuk memenuhi kebutuhann sehari-hari keluarga Tn. R
hanya mengandalkan penghasilan anak dan menantunya.

Keluarga selalu mendapat dukungan dari tetangga dan juga dari keluarga
besarnya.Bila ada masalah kesehatan dengan salah satu anggota keluarga, Tn. R
selalu membawa ke dokter yang terdekat dengan rumah atau ke pak mantri.
Jarak Untuk Pelayanan Kesehatan Terdekat

Puskesmas : kurang lebih 3 km

Puskesmas pembantu : kurang lebih 11 km

Rumah sakit : kurang lebih 16 km

Posyandu : kurang lebih 250 meter

Masjid/mushola : kurang lebih 250 km

Pasar : kurang lebih 200 km

VII. Kebiasaan Ritual

Ny. A melakukan ibadah secara rutin dan ia selalu ikut dalam kegiatan
pengajian, arisan walaupun dengan badan yang sudah rentan dan kaki yang
terkadang terasa sakit.

VIII. Status kesehatan saat ini


a. Obat – obatan : mengkonsumsi obat di apotek terdekat
b. Status imunisasi : lengkap
c. Alergi : tidak ada alergi
d. Penyakit yang diderita : Ny. A menderita diabetes mellitus tipe 2
setelah kontrol gula darah di puskesmas November 2015 dan di berikan injeksi
insulin.
e. Nutrisi : Ny. A selalu makan dan minum 3 kali sehari
f. Status kesehatan masa lalu : Tidak diketahui apakah orang tua Ny. A
menderita diabetes mellitus atau tidak. Karena tidak pernah diperiksa tim
medis.

IX. Tinjauan sistem


1. Tinjauan sistem
a. Keadaan umum
Keadaan umum Ny. A nampak lemah dan tidak bersemangat,
badannya agak kurus, banyak makan (polifagi) dan minum (polidipsi).
b. Kesadaran : composmentis

c. TTV : TD : 180/100 mmHg, Nadi :80x/menit, Suhu : 38oC,


RR : 30x/menit

d. Integumen
Pada pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah ditemukan luka kecil
pada kaki kiri dan sudah 3 minggu belum sembuh. Sehingga Ny. S sulit
melakukan kegiatan sehari hari
e. Kepala : Pada pemeriksaan kepala, tidak ditemukan kelainan,
bentuk kepala normal
f. Mata : Konjungtiva tidak terlihat anemis, tidak ada katarak,
penglihatan masih baik.
g. Telinga : Simetris, fungsi pendengaran baik
h. Hidung : Simetris, fungsi penghidung baik dan tidak ada polip
i. Mulut :Simetris, fungsi pengecapan tidak berkurang, polifagia,
polidipsi
j. Leher
Pada leher tidak nampak adanya peningkatan tekanan vena jugularis
dan arteri carotis, tidak teraba adanya pembesaran kelenjar tiroid (struma).
k. Payudara : simetris
l. Paru – paru
I : bentuk simetris
P : taxtil fremitus sama, pengembangan dada sama
P : sonor
A : vesikuler, irama teratur
m. Jantung
I : bentuk simetris
P : ictus cordis teraba di ics 5 dibawah puting susu
P :pekak
A : suara jantung S1 dan S2 tunggal
n. Gastrointestinal :
I : simetris, tidak ada bekas luka
P : tidak ada nyeri tekan
P : Timpani
A : tidak ada bising usus

o. Perkemihan : poliuri
p. Genetalia
Tn. R berusia 67 tahun dan Ny. A 60 tahun merupakan usia lansia,
keluarga tidak menggunakan kontrasepsi pil dan suntik.

q. Muskuluskletal : Nyeri otot dan kejang otot disertai kelemahan


r. System syaraf pusat : baik
s. System endokrin : tidak ada kelainan
t. System imun : sudah mulai menurun
u. System pengecapan : baik
v. System penciuman : baik

w. Psikososial
Keluarga selalu mengajarkan dan menanamkan perilaku sosial yang
baik.Keluarga juga cukup aktif bermasyarakat dengan mengikuti kegiatan
yang ada di masyarakat.

X. Pengkajian Status Fungsional, Kognitif, Afektif, Psikologis dan Sosial


a. Pengkajian Status Fungsional
INDEKS KATZ
SKORE KRITERIA
A Kemandirian dalam hal makan, kontinen, berpindah, ke kamar kecil,
berpakaian dan mandi
B Kemandirian dalam semua aktifitas hidup sehari-hari, kecuali satu dari
fungsi tersebut

C Kemandirian dalam semua aktifitas hidup sehari-hari, kecuali mandi dan


satu fungsi tambahan
D Kemandirian dalam semua aktifitas hidup sehari-hari, kecuali mandi,
berpakaian dan satu fungsi tambahan
E Kemandirian dalam semua aktifitas hidup sehari-hari, kecuali mandi,
berpakaian,ke kamar kecil dan satu fungsi tambahan
F Kemandirian dalam semua aktifitas hidup sehari-hari, kecuali mandi,
berpakaian, berpindah, dan satu fungsi tambahan
G Ketergantungan pada enam fungsi tersebut
Lain-lain Ketergantungan pada sedikitnya dua fungsi, tetapi, tidak dapat
diklasifikasikan sebagai C, D, E, F dan G

Berdasarkan data, maka Ny. S mendapatkan skor A yaitu Kemandirian


dalam hal makan, kontinen, berpindah, ke kamar kecil, berpakaian dan mandi

b. Pengkajian Status Kognitif dan Afektif


Short Portable Mentol Status Questionnaire (SPMSQ)
Skor No. Pertanyaan Jawaban
+ -
1. Tanggal berapa hari ini? 15-11-2016
2. Hari apa sekarang ini? (hari, tanggal, Senin, tgl 15
tahun) thn 2016
3. Apa nama tempat ini? Rumah saya
4. Berapa nomor telpon Anda? -
4a. Dimana alamat Anda? (tanyakan hanya Jl. Nusa Indah
bila klien tidak mempunyai telepon) No. 26
Palembang
5. Berapa umur Anda? 60 tahun
6. Kapan Anda lahir? -
7. Siapa presiden Indonesia sekarang? Jokowi
8. Siapa presiden sebelumnya? -
9. Siapa nama kecil ibu Anda? Ny. N
10. Kurangi 3 dari 20 dan tetap pengurangan -
3 dari setiap angka baru, semua secara
menurun
Jumlah kesalahan total 4
Penilaian SPMSQ
Kesalahan:
0 – 2 : fungsi intelektual utuh
3 – 4 : fungsi intelektual ringan
5 – 7 : fungsi intelektual sedang
8 – 10 : fungsi intelektual berat

Berdasarkan data, maka Ny. A memperoleh kesalahan 4 . Maka lansia tersebu t


mempunyai fungsi intelektual ringan.

c. Pengkajian Status Psikologis


Skala Depresi Yessavage

Skala Depresi geriatrik Yesavage, bentuk singkat


1. Apakah pada dasarnya Anda puas dengan kehidupan Anda? (tidak)
2. Sudahkah Anda mengeluarkan aktifitas dan minat Anda? (tidak)
3. Apakah Anda merasa bahwa hidup Anda kosong? (ya)
4. Apakah Anda sering bosan? (ya)
5. Apakah Anda mempunyai semangat yang baik setiap waktu? (tidak)
6. Apakah Anda takut sesuatu akan terjadi pada Anda? (ya)
7. Apakah Anda merasa bahagia di setiap waktu? (ya)
8. Apakah Anda lebih suka tinggal di rumah pada malam hari, daripada
pergi dan melakukan sesuatu yang baru? (ya)
9. Apakah Anda merasa bahwa Anda mempunyai lebih banyak masalah
dengan ingatan Anda daripada yang lainnya? (ya)
10. Apakah Anda berfikir sangat menyenangkan hidup sekarang ini? (tidak)
11. Apakah Anda merasa saya sangat tidak berguna dengan keadaan Anda
sekarang? (ya)
12. Apakah Anda merasa penuh berenergi? (tidak)
13. Apakah Anda berfikir bahwa situasi Anda tak ada harapan? (ya)
14. Apakah Anda berfikir bahwa banyak orang yang lebih baik daripada
Anda? (tidak)
Analisa hasil :
Jika jawaban pertanyaan sesuai indikasi dinilai poin 1. (nilai poin 1 untuk setiap
respons yang cocok dengan jawaban ya atau tidak setelah pertanyaan)
Skor 0 – 4 : tidak depresi
Skor ≥ 5 : depresi

Berdasarkan data, maka Ny. A memperoleh nilai 3. Maka lansia tersebut tidak
depresi.

d. Pengkajian Status Sosial


APGAR keluarga
No. Fungsi Uraian Skore
1. Adaptasi Saya puas bahwa saya dapat kembali pada 1
keluarga (teman-teman) saya untuk membantu
pada waktu sesuatu menyusahkan saya
2. Hubungan Saya puas dengan cara keluarga (teman-teman) 2
saya membicarakan sesuatu dengan saya dan
mengungkapkan masalah dengan saya
3. Pertumbuhan Saya puas bahwa keluarga (teman-teman) saya 1
menerima dan mendukung keinginan saya untuk
melakukan aktivitas atau arah baru
4. Afeksi Saya puas dengan cara keluarga (teman-teman) 2
saya mengekspresikan afek dan berespon terhadap
emosi-emosi saya, seperti marah, sedih atau
mencintai
5. Pemecahan Saya puas dengan cara teman-teman saya dan saya 1
menyediakan waktu bersama-sama

Analisa hasil :
Skor : 8 – 10 : fungsi sosial normal
Skor : 5 – 7 : fungsi sosial cukup
Skor : 0 – 4 : fungsi sosial kurang/suka menyendiri
Berdasarkan data, makaNy. A memperoleh nilai 7. Maka lansia tersebut mempunyai
fungsi sosial cukup.

B. ANALISA MASALAH
NO
Symtomp Etiologi Problem
.
1. DS : Penurunan kekuatan Intoleransi aktivitas
otot,
- Klien mengatakan nyeri
nyeri/ketidaknyamanan
otot dan kejang otot
dan kelemahan
disertai kelemahan.
menyeluruh.

DO :

- Ny. S nampak lemah dan


tidak bersemangat,
badannya agak kurus.

- Hasil observasi jari kaki


Ny. S sebelah kiri terdapat
luka kecil sudah 3 minggu
belum sembuh.

2. DS : Hiperventilasi, Pola nafas tidak


penurunan efektif
- Ny. S mengatakan Pola
energi/kelelahan
Nafas-nya tidak teratur
dan cepat

DO :

- Hasil observasi RR Ny. S


yaitu: 30x/menit

3 DS: Perubahan denyut Penurunan cardiac


- Klien mengatakan pusing jantung/irama. output

DO:

- Hasil observasi TD Ny. S


yaitu 180/100 mmHg

4. DS: Penyakit atau trauma Resiko


yang mempengaruhi ketidakseimbangan
- Klien mengatakan sering
pengaturan suhu tubuh, suhu tubuh
minum karena haus
dehidras, perubahan
DO: kecepatan metabolik.

- Hasil observasi Nadi Ny.


S yaitu 80x/menit

C. DIAGNOSA KEPERAWATAN BERDASARKAN PRIORITAS


1. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan penurunan kekuatan otot,
nyeri/ketidaknyamanan dan kelemahan menyeluruh ditandai dengan klien tampak
lemah
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi, penurunan
energi/kelelahan ditandai dengan frekuensi nafas meningkat
3. Penurunan cardiac output berhubungan dengan perubahan denyut jantung/irama.
4. Resiko ketidakseimbangan suhu tubuh berhubungan dengan penyakit atau trauma
yang mempengaruhi pengaturan suhu tubuh, dehidrasi, perubahan kecepatan
metabolik.
D. PERENCANAAN
No. Dx. Kep NOC NIC
1. Intoleransi aktivitas Setelahdilakukan asuhan keperawatan Manajemen Energi (Energi Management)
berhubungan dengan selama 2X 24 jam klien dapat menunjukkan a. Tentukan keterbatasan klien terhadap aktivitas.
penurunan kekuatan otot, toleransi terhadap aktivitas (activity b. Tentukan penyebab lain kelelahan
nyeri/ketidaknyamanan Tolerance) dengan kriteria : c. Motivasi klien untuk mengungkapkan perasaan tentang
dan kelemahan - Klien dapat menentukan aktivitas keterbatasannya
menyeluruh ditandai yang sesuai dengan peningkatan d. Monitor intake nutrisi sebagai sumber energi yang
dengan klien tampak nadi, TD dan frekuensi nafas : adekuat
lemah mempertahankan irama dalam batas e. Monitor respon cardio respiratory terhadap aktivitas
normal (misal : thkhikardi, disritmia, dyspneu, diaporesis,
- Mempertahankan warna dan pucat, tekanan hemodinamik dan frekuensi pernafasan)
kehangatan kulit dengan aktivitas f. Batasi stimulus lingkungan (misalnya pencahayaan dan
- Melaporkan peningkatan aktivitas kegaduhan )
harian g. Rencanakan periode aktivitas saat klien memiliki
banyak tenaga
h. Hindari aktivitas selama periode istirahat
i. B antu klien unyuk bangun dari tempat tidur atau
tempat duduk disamping tempat tidur atau berjalan
j. Dorong klien untuk melakukan aktivitas harian sesuai
sumber energi
k. Ajarkan klien untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
yang dapat meminimalkan penggunaan oksigen
l. Instruksikan klien/keluarga untuk mengenal tanda dan
gejala kelelahan yang memerlukan pengurangan
aktivitas
m. Banu klien atau keluarga untuk menentukan tujuan
aktivitas yang realstis
n. Bantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yang lebih
disukai
o. Dorong klien untuk memilih aktivitas yang sesuai
dengan daya tahan tubuh

Therpy aktivitas (activity Therapy):


a. Tentukan komitmen klien untuk peningkatan frekuensi
atau rentang untuk aktivitas
b. Bantu klien untuk mengungkapkan kebiasaan aktivitas
yang paling berrti dan atau aktivitas favorit di waktu
luang
c. Bantu klien untuk memilih aktivitas yang konsisten
dengan kemampuan fisik, psikologis dan sosial
d. Bantu klien untuk memfokuskan apa yang akan
dilakukan dari pada apa kurangannya
e. kebantu klien mendapatkan transportasi untuk
beraktivitas yang sesuai
f. bantu klien untuk mengidentifikasi pilihan aktivitas
g. bantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yang
berarti
h. bantu klien untuk menjadwalkan periode khusus untuk
hiburan di luar aktivitas rutin
i. bantu klien atau keluarga untuk menyesuaikan
lingkungan untuk mengakomodasi keinginan
beraktivitas
berikan reinforement positif terhadap partisipasi klien
dalam beraktivitas.

2. Pola nafas tidak efektif Setelah dilakukan tindakan keperawatan Airway management (manajemen jalan nafas) dan
berhubungan dengan diharapkan pola nafas efektif dan ventilasi respiratori monitoring (pemantauan pernafasan)
hiperventilasi, penurunan adekuat (respiratory status: ventilation - atur posisi klien semi fowler untuk memaksimalkan
energi/kelelahan ditandai status respirasi: ventilasi), dengan kriteria: ventilasi
dengan frekuensi nafas - klien menunjukkan pola nafas - anjurkan klien untuk bernafas pelan dan dalam
meningkat adekuat - pantau adanya pucat dan sianosis
- klien menunjukkan kedalaman - pantau efek obat pada status respirasi
inspirasi dan kemudahan bernafas - pantau kecepatan, irama, kedalaman dan usaha
- tidak ada penggunaan obat bantu respirasi
pernafsan - perhatikan gerakan dada, amati kesimetrisan,
- tidak ada bunyi nafas tambahan penggunaan otot-otot bantu, serta rekraksi otot
- tidak ada nafas pendek supraklavikular dan intercostal
- irama nafas, frekuensi nafas dalam - pantau pola pernafasan : bradipnea, takipnea,
batas normal hiperventilasi, pernafasan kussmaul, pernafasan
- tidak ada suara nafas abnormal chyene stokes dan apneu
- auskultasi bunyi nafas, area penurunan ventilasi atau
tidak adanya ventilasi dan adanya bunyi nafas
tambahan
- palpasi ekspansi paru
- perkusi thoraks anterior dan posterior bagian apeks
dan dasar kedua paru-paru
- catat pergerakan dada, kesimetrisan dan penggunaan
otot nafas tambahan dan adanya retraksi otot
interkosta
- pantau peningkatan kegelisahan, ansietas dan
tersengal-sengal
- informasikan kepada klien/keluarga bahwa tidak
boleh merokok di ruangan
- instruksikan klien/keluarga untuk memberitahu
perawat pada saat terjadi pola nafas tidak efektif
- kolaborasi dalam pemberian obat-obatan
- laporkan perubahan sensori, bunyi nafas, pola
pernafasan, nilai AGD, sputum dst sesuai dengan
kebutuhan
- pantau respirasi dan status oksigen
- observasi adanya tanda-tanda hipoventilasi
- pntau adanya kecemasan klien terhadap oksigenasi

3. Penurunan cardiac output Setelah dilakukan asuhan keperawatan Perawatan jantung (Cardiac Care )
berhubungan dengan selama 2 x 24 jam. Klien menunjukkan - Evaluasi adanya nyeri dada (intensitas, lokasi, radiasi,
perubahan denyut curah jantung adekuat (cardiac pump durasi dan faktor yang pencetuskan nyeri )
jantung/irama. effectiveness) dengan kriteria : - Lakukan penilaian komperhensif terhadap sirkulasi
- TD dalam rentang normal perifer (misalnya : cek nadi perifer, edema, pengisian
- Denyut jantung dalam batas normal kapiler, dan suhu ekstremitas)
- Hipotensi ortostatik tidak ada adi - Catat adanya disritmia jantung.
perifer kuat. - Catat tanda dan gejala penurunan curah jantung,
- Bunyi nafas abnormal tidak ada. - Memonitor vital sign
- Menunjukka peningkatan tolerasni - Monitor status
terhadap aktivitas. - Kardiovaskuler
- Nadi perifer kuat - Monitor disritmia jantung irama dan konduksi
- Ukuran jantung normal - Monitor status respirasi terhadap gagal jantung
- Tidak ada distensi vena jugularis. - Monitor keseimbangan cairan (intake output dan bb
- Tidak ada disritmia. harian)
- Tidak ada bunyi jantung abnormal - Kenali pengaurh psikologis yang mendasari kondisi
- Tidak ada angina klien.

- Tidak ada edema perifer. - Evaluasi respon klien terhadap disritmia.

- Tidak ada udema pulmo - Kolaborasi dalam pemberian terapi antiritmia sesuai

- Tida ada diaporsis kebutuhan.

- Tidak ada mual - Monitor respon klien terhadap pemberian terapi anti

- Tidak ada kelelahan aritmia


- Instruksikan klien dan keluarga tentang pembatasan
aktivitas.
- Tentukan periode latihan dan istirahat untuk
menghindari kelelahan
- Monitor toleransi klien terhadap aktivitas
- Monitor adanya dyspneu, kelelahan, taklipneu, dan
orthopneu.
- Anjurkan untuk mengurangi stress
- Ciptakan hubungan yang saling mendukung antara
klien dan keluarga.
- Anjurkan klien untuk melaporkan adanya
ketidaknyamanan dada.
- Tawakan support spiritual untuk klien dan keluarganya.

4. Resiko Setelah dilakukan tindakan keperawatan Regulasi suhu tubuh


ketidakseimbangan suhu diharapkan klien dapat mempertahankan (temperatur regulation)
tubuh berhubungan suhu tubuh dalam batas normal (regulasi - Pantau suhu tiap 2 jam
dengan penyakit atau suhu tubuh) Sesuai kebutuha
trauma yang Dengan kriteria: - Pantau suhu basal secara kontinyu sesuai dengan
mempengaruhi pengaturan - Suhu kulit dalam rentang yang kebutuhan
suhu tubuh, dehidrasi, diharapkan - Pantau TD, nadi, respirasi sesuai kebutuhan.
perubahan kecepatan - Suhu tubuh dalam batas normal - Pantau warna kulit dan temperatur
metabolik. - Nadi dan pernafasan dalam rentang - Pantau dan laporkan tanda dan gejala hipotermi atau
yang diharapkan hipertermi
- Perubahan warna kulit tidak ada - Anjurkan intake cairan dan makanan yang adekuat
- Tidak ada kelelahan - Gunakan matras dingin dan mandi air hangat sesuai
- Klien dapat menjelaskan untuk untuk mengatasi gangguan suhu tubuh
tindakan mencegah peningkatan suhu - Anjurkan kepada klien, khususnya pasien lanisa tentang
tubuh tindakan untuk mencegah hipotermi dan pajanan dingin
- Klien dapat melaporkan tanda dan - Ajarkan indikasi hipotermi dan tindakan kedaruratan
gejala dini hipertermi. yang diperlukan sesuai kebutuhan
- Berikan obat antipiretik
sesuai kebutuhan.
E. EVALUASI KEPERAWATAN

1. Diagnosa keperawatan: Intoleransi aktivitas berhubungan dengan penurunan


kekuatan otot, nyeri/ketidaknyamanan dan kelemahan menyeluruh ditandai dengan
klien tampak lemah
a) Klien menunjukan aktivitas yang sesuai dengan peningkatan nadi, TD dan frekuensi
nafas.
b) Klien menunjukkan kulit hangat setelah beraktivitas
c) Klien melaporkan adanya peningkatan aktivitaas harian

2. Diagnosa keperawatan: pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi,


penurunan energi/kelelahan ditandai dengan frekuensi nafas meningkat
a) Klien menunjukkan kedalaman dan kemudahan bernafas
b) Tidak ada penggunaan otot bantu nafas
c) Tidak ada bunyi nafas tambahan dan tidak ada nafas pendek

3. Diagnosa keperawatan: penurunan cardiac output berhubungan dengan perubahan


denyut jantung/irama
a) Klien menunjukkan TD dan nadi dalam rentang normal
b) Klien peningkatan toleransi terhadap aktivitas
c) Klien tidak menunjukkan adanya distensi vena jugularis, disritmia, bunyi jantung
abnormal, angina, edeme perifer atau edema paru dan diaporesis.

4. Diagnosa keperawatan: resiko ketidakseimbangan suhu tubuh berhubungan dengan


penyakit atau trauma yang mempengaruhi pengaturan suhu tubuh, dehidrasi,
perubahan kecepatan metabolik.
a) Suhu tubuh normal
b) Nadi dan pernafasan normal
c) Klien tidak menunjukkan perubahan warna kulit
d) Klien melaporkan tidak ada tanda-tanda hipertermi.
DAFTAR PUSTAKA

American Diabates Association. (2008). Dystipidemia management in adults with diabetes.


Diabetes Care : 27
Amin huda,dkk . 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa medis dan
NANDA NIC-NOC. Mediaction Fublishing : Jogjakarta
Ikram, Ainal, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : Diabetes Mellitus Pada Usia Lanjut jilid I
Edisi ketiga, Jakarta : FKUI, 1996.

Kushariyadi.2010.Asuhan Keperawatan pada Klien Lanjut Usia. Jakarta : Salemba Medika

Luecknote, Annette Geisler, Pengkajian Gerontologi alih bahasa Aniek Maryunani.


Jakarta:EGC, 1997.

Hamarno, R. (2010). Pengaruh Latihan Relaksasi Otot Progresif Terhadap Penurunan


Tekanan darah Klien Hipertensi Primer di Kota Malang. Tesis (dipublikasikan).
Depok : Program studi Magister Ilmu Keperawatan.
Friza wulandari, Yulita. (2016). Efektifitas Relaksasi Otot Progresif Terhadap Penurunan
Kadar Glukosa Darah Lansia Dengan Diabetes Mellitus Tipe 2 Di Wilayah Kerja
Puskesmas Pembina Palembang. Skripsi (dipublikasi). Indralaya : Program Studi
Ilmu Keperawatan

Anda mungkin juga menyukai