DISUSUN OLEH :
PO.62.20.1.16.161
2020
LAPORAN PENDAHULUAN
2. Etiologi
Beberapa ahli berpendapat bahwa dengan bertambahnya umur, intoleransi terhadap
glukosa juga meningkat, jadi untuk golongan usia lanjut diperlukan batas glukosa darah
yang lebih tinggi daripada orang dewasa non usia lanjut.
Pada NIDDM, intoleransi glukosa pada lansia berkaitan dengan obesitas, aktivitas
fisik yang berkurang,kurangnya massa otot, penyakit penyerta, penggunaaan obat-obatan,
disamping karena pada lansia terjadi penurunan sekresi insulin dan insulin resisten. Lebih
dari 50% lansia diatas 60 tahun yang tanpa keluhan, ditemukan hasil Tes Toleransi
Glukosa Oral (TTGO) yang abnormal. Intoleransi glukosa ini masih belum dapat
dikatakan sebagai diabetes. Pada usia lanjut terjadi penurunan maupun kemampuan
insulin terutama pada post reseptor.
Pada lansia cenderung terjadi peningkatan berat badan, bukan karena mengkonsumsi
kalori berlebih namun karena perubahan rasio lemak-otot dan penurunan laju
metabolisme basal. Hal ini dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya diabetes mellitus.
Penyebab diabetes mellitus pada lansia secara umum dapat digolongkan ke dalam dua
besar :
Keberadaan penyakit lain, sering menderita stress juga dapat menjadi penyebab
terjadinya diabetes mellitus. Selain itu perubahan fungsi fisik yang menyebabkan
keletihan dapat menutupi tanda dan gejala diabetes dan menghalangi lansia untuk mencari
bantuan medis. Keletihan, perlu bangun pada malam hari untuk buang air kecil, dan
infeksi yang sering merupakan indikator diabetes yang mungkin tidak diperhatikan oleh
lansia dan anggota keluarganya karena mereka percaya bahwa hal tersebut adalah bagian
dari proses penuaan itu sendiri.
3. Klasifikasi
a. Diabetes melitus tipe I
Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut baik melalui
proses imunologik maupun idiopatik. Karakteristik Diabetes Melitus tipe I:
1) Mudah terjadi ketoasidosis
2) Pengobatan harus dengan insulin
3) Onset akut
4) Biasanya kurus
5) Biasanya terjadi pada umur yang masih muda
6) Berhubungan dengan HLA-DR3 dan DR4
7) Didapatkan antibodi sel islet
8) 10%nya ada riwayat diabetes pada keluarga
4. Patofisiologi
Dalam proses metabolisme, insulin memegang peranan penting yaitu memasukkan
glukosa ke dalam sel yang digunakan sebagai bahan bakar. Insulin adalah suatu zat atau
hormon yang dihasilkan oleh sel beta di pankreas. Bila insulin tidak ada maka glukosa
tidak dapat masuk sel dengan akibat glukosa akan tetap berada di pembuluh darah yang
artinya kadar glukosa di dalam darah meningkat.
Pada Diabetes melitus tipe 1 terjadi kelainan sekresi insulin oleh sel beta pankreas.
Pasien diabetes tipe ini mewarisi kerentanan genetik yang merupakan predisposisi untuk
kerusakan autoimun sel beta pankreas. Respon autoimun dipacu oleh aktivitas limfosit,
antibodi terhadap sel pulau langerhans dan terhadap insulin itu sendiri.
Pada diabetes melitus tipe 2 yang sering terjadi pada lansia, jumlah insulin normal
tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel yang kurang sehingga
glukosa yang masuk ke dalam sel sedikit dan glukosa dalam darah menjadi meningkat.
WOC DIABETES MELLITUS
DM Tipe 1 DMTipe 2
Defisiensi insulin
Penurunan BB
Pembatasan Diit
Fleksibilitas
darah merah
Intake tidak Resiko nutrisi kurang
adekuat dari kebutuhan
Pelepasan O2
Nyeri Akut
5. Manifestasi Klinis
Keluhan umum pasien DM seperti poliuria, polidipsia, polifagia pada lansia umumnya
tidak ada. Osmotik diuresis akibat glukosuria tertunda disebabkan ambang ginjal yang
tinggi, dan dapat muncul keluhan nokturia disertai gangguan tidur, atau bahkan
inkontinensia urin. Perasaan haus pada pasien DM lansia kurang dirasakan, akibatnya
mereka tidak bereaksi adekuat terhadap dehidrasi. Karena itu tidak terjadi polidipsia atau
baru terjadi pada stadium lanjut. Sebaliknya yang sering mengganggu pasien adalah
keluhan akibat komplikasi degeneratif kronik pada pembuluh darah dan saraf.
Menurut Supartondo, gejala-gejala akibat DM pada usia lanjut yang sering ditemukan
adalah :
a. Katarak
b. Glaukoma
c. Retinopati
d. Gatal seluruh badan
e. Pruritus Vulvae
f. Infeksi bakteri kulit
g. Infeksi jamur di kulit
h. Dermatopati
i. Neuropati perifer
j. Neuropati viseral
k. Amiotropi
l. Ulkus Neurotropik
m. Penyakit ginjal
n. Penyakit pembuluh darah perifer
o. Penyakit koroner
p. Penyakit pembuluh darah otak
q. Hipertensi
6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dalam diabetes melitus terbagi menjadi 2, yakni : penatalaksanaan
secara medis dan penatalaksanaan secara keperawatan. Penatalaksanaan secara medis
adalah sebagai berikut:
a. Obat Hipoglikemik oral
1) Golongan Sulfonilurea / sulfonyl ureas
Obat ini paling banyak digunakan dan dapat dikombinasikan denagn obat golongan
lain, yaitu biguanid, inhibitor alfa glukosidase atau insulin. Obat golongan ini
mempunyai efek utama meningkatkan produksi insulin oleh sel- sel beta pankreas,
karena itu menjadi pilihan utama para penderita DM tipe II dengan berat badan
yang berlebihan. Obat – obat yang beredar dari kelompok ini adalah:
a) Glibenklamida (5mg/tablet).
b) Glibenklamida micronized (5 mg/tablet).
c) Glikasida (80 mg/tablet).
d) Glikuidon (30 mg/tablet).
2) Golongan Biguanid / Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi glukosa hati, memperbaiki ambilan
glukosa dari jaringan (glukosa perifer). Dianjurkan sebagai obat tunggal pada
pasien dengan kelebihan berat badan.
3) Golongan Inhibitor Alfa Glukosidase
Mempunyai efek utama menghambat penyerapan gula di saluran pencernaan,
sehingga dapat menurunkan kadar gula sesudah makan. Bermanfaat untuk pasien
dengan kadar gula puasa yang masih normal yaitu Insulin
a) Indikasi insulin
Pada DM tipe I yang tergantung pada insulin biasanya digunakan Human
Monocommponent Insulin (40 UI dan 100 UI/ml injeksi), yang beredar adalah
Actrapid. Injeksi insulin juga diberikan kepada penderita DM tipe II yang
kehilangan berat badan secara drastis. Yang tidak berhasil dengan penggunaan
obat – obatan anti DM dengan dosis maksimal, atau mengalami kontraindikasi
dengan obat – obatan tersebut, bila mengalami ketoasidosis, hiperosmolar,
dana sidosis laktat, stress berat karena infeksi sistemik, pasien operasi berat,
wanita hamil dengan gejala DM gestasional yang tidak dapat dikontrol dengan
pengendalian diet.
b) Jenis Insulin
(1). Insulin kerja cepat Jenis – jenisnya adalah regular insulin, cristalin zink,
dan semilente.
(2). Insulin kerja sedang Jenis – jenisnya adalah NPH (Netral Protamine
Hagerdon)
(3). Insulin kerja lambat Jenis – jenisnya adalah PZI (Protamine Zinc Insulin)
Sedangkan untuk penatalaksanaan secara keperawatan adalah sebagai berikut:
a. Diet
Salah satu pilar utama pengelolaan DM adalah perencanaan makan. Walaupun
telah mendapat tentang penyuluhan perencanaan makanan, lebih dari 50 %
pasien tidak melaksanakannya. Penderita DM sebaiknya mempertahankan
menu diet seimbang, dengan komposisi idealnya sekitar 68 % karbohidrat, 20
% lemak dan 12 % protein. Karena itu diet yang tepat untuk mengendalikan
dan mencegah agar berat badan tidak menjadi berlebihan dengan cara : Kurangi
kalori, kurangi lemak, konsumsi karbohidrat komplek, hindari makanan yang
manis, perbanyak konsumsi serat.
b. Olahraga
Olahraga selain dapat mengontrol kadar gula darah karena membuat insulin
bekerja lebih efektif. Olahraga juga membantu menurunkan berat badan,
memperkuat jantung, dan mengurangi stress. Bagi pasien DM melakukan
olahraga dengan teratur akan lebih baik, tetapi jangan melakukan olahraga yang
berat – berat.
7. Pemeriksaan Diagnostik
Kriteria diagnostik WHO untuk diabetes mellitus pada sedikitnya 2 kali pemeriksaan:
a. Komplikasi akut
Diabetes ketoasidosis
Diabetes ketoasidosis adalah akibat yang berat dari deficit insulin yang berat pada
jaringan adipose, otot skeletal, dan hepar. Jaringan tersebut termasuk sangat sensitive
terhadap kekurangan insulin. DKA dapat dicetuskan oleh infeksi ( penyakit)
b. Komplikasi kronis:
1) Retinopati diabetic
Lesi paling awal yang timbul adalah mikroaneurism pada pembuluh retina.
Terdapat pula bagian iskemik, yaitu retina akibat berkurangnya aliran darah retina.
Respon terhadap iskemik retina ini adalah pembentukan pembuluh darah baru,
tetapi pembuluh darah tersebut sangat rapuh sehingga mudah pecah dan dapat
mengakibatkan perdarahan vitreous. Perdarahan ini bisa mengakibatkan ablasio
retina atau berulang yang mengakibatkan kebutaan permanen.
2) Nefropati diabetic
Lesi renal yang khas dari nefropati diabetic adalah glomerulosklerosis yang
nodular yang tersebar dikedua ginjal yang disebut sindrom Kommelstiel-Wilson.
Glomeruloskleriosis nodular dikaitkan dengan proteinuria, edema dan hipertensi.
Lesi sindrom Kommelstiel-Wilson ditemukan hanya pada DM.
3) Neuropati
Neuropati diabetic terjadi pada 60 – 70% individu DM. neuropati diabetic yang
paling sering ditemukan adalah neuropati perifer dan autonomic.
4) Displidemia
Lima puluh persen individu dengan DM mengalami dislipidemia.
5) Hipertensi
Hipertensi pada pasien dengan DM tipe 1 menunjukkan penyakit ginjal,
mikroalbuminuria, atau proteinuria. Pada pasien dengan DM tipe 2, hipertensi bisa
menjadi hipertensi esensial. Hipertensi harus secepat mungkin diketahuin dan
ditangani karena bisa memperberat retinopati, nepropati, dan penyakit
makrovaskular.
6) Kaki diabetic
Ada tiga factor yang berperan dalam kaki diabetic yaitu neuropati, iskemia, dan
sepsis. Biasanya amputasi harus dilakukan. Hilanggnya sensori pada kaki
mengakibatkan trauma dan potensial untuk ulkus. Perubahan mikrovaskuler dan
makrovaskuler dapat mengakibatkan iskemia jaringan dan sepsis. Neuropati,
iskemia, dan sepsis bisa menyebabkan gangrene dan amputasi.
7) Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah keadaan dengan kadar glukosa darah di bawah 60 mg/dl,
yang merupakan komplikasi potensial terapi insulin atau obat hipoglikemik oral.
Penyebab hipoglikemia pada pasien sedang menerima pengobatan insulin eksogen
atau hipoglikemik oral.
4. Intervensi Keperawatan
a. Gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
peningkatan metabolisme protein, lemak.
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan kebutuhan nutrisi pasien
dapat terpenuhi.
Kriteria Hasil :
1) Pasien dapat mencerna jumlah kalori atau nutrien yang tepat
2) Berat badan stabil atau penambahan ke arah rentang biasanya
Intervensi :
1) Timbang berat badan sesuai indikasi.
R/ Mengkaji pemasukan makanan yang adekuat.
2) Tentukan program diet, pola makan, dan bandingkan dengan makanan yang dapat
dihabiskan klien.
R/ Mengidentifikasikan kekurangan dan penyimpangan dari kebutuhan terapeutik.
3) Auskultrasi bising usus, catat nyeri abdomen atau perut kembung, mual, muntah
dan pertahankan keadaan puasa sesuai inndikasi.
R/ Hiperglikemi, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit menurunkan
motilitas atau fungsi lambung (distensi atau ileus paralitik).
4) Berikan makanan cair yang mengandung nutrisi dan elektrolit. Selanjutnya
memberikan makanan yang lebih padat.
R/ Pemberian makanan melalui oral lebih baik diberikan pada klien sadar dan
fungsi gastrointestinal baik.
5) Identifikasi makanan yang disukai.
R/ Kerja sama dalam perencanaan makanan.
6) Libatkan keluarga dalam perencanaan makan.
R/ Meningkatkan rasa keterlibatannya, memberi informasi pada keluarga untuk
memahami kebutuhan nutrisi klien.
7) Observasi tanda hipoglikemia (perubahan tingkat kesadaran, kulit lembap atau
dingin, denyut nadi cepat, lapar, peka rangsang, cemas, sakit kepala, pusing).
R/ Pada metabolism kaborhidrat (gula darah akan berkurang dan sementara tetap
diberikan tetap diberikan insulin, maka terjadi hipoglikemia terjadi tanpa
memperlihatkan perubahan tingkat kesadaran.
Kolaborasi :
8) Lakukan pemeriksaan gula darah dengan finger stick
R/ Analisa di tempat tidur terhadap gula darah lebih akurat daripada memantau
gula dalam urine.
9) Pantau pemeriksaan laboratorium (glukosa darah, aseton, pH, HCO3)
R/ Gula darah menurun perlahan dengan penggunaan cairan dan terapi insulin
terkontrol sehingga glukosa dapat masuk ke dalam sel dan digunakan untuk
sumber kalori. Saat ini, kadaar aseton menurun dan asidosis dapat dikoreksi.
10) Berikan pengobatan insulin secara teratur melalui iv
R/ Insulin regular memiliki awitan cepat dan dengan cepat pula membantu
memindahkan glukosa ke dalam sel. Pemberian melalui IV karena absorpsi dari
jaringan subkutan sangat lambat.
11) Berikan larutan glukosa ( destroksa, setengah salin normal).
R/ Larutan glukosa ditambahkan setelah insulin dan cairan membawa gula darah
sekitar 250 mg /dl. Dengan metabolism karbohidrat mendekati normal, perawatan
diberikan untuk menghindari hipoglikemia.
12) Konsultasi dengan ahli gizi
R/ Bermanfaat dalam penghitungan dan penyesuaian diet untuk memenuhi
kebutuhan nutrisi.
b. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan osmotik diuresis ditandai
dengan tugor kulit menurun dan membran mukosa kering.
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan kebutuhan cairan atau
hidrasi pasien terpenuhi
Kriteria Hasil : Pasien menunjukkan hidrasi yang adekuat dibuktikan oleh tanda vital
stabil, nadi perifer dapat diraba, turgor kulit dan pengisian kapiler
baik, haluaran urin tepat secara individu dan kadar elektrolit dalam
batas normal.
Intervensi :
1) Kaji riwayat klien sehubungan dengan lamanya atau intensitas dari gejala seperti
muntah dan pengeluaran urine yang berlebihan.
R/ Membantu memperkirakan kekurangan volume total. Adanya proses infeksi
mengakibatkan demam dan keadaan hipermetabolik yang meningkatkan
kehilangan air.
2) Pantau tanda – tanda vital, catat adanya perubahan tekanan darah ortostatik.
R/ Hipovolemi dimanifestasikan oleh hipotensi dan takikardia. Perkiraan berat
ringannya hipovolemi saat tekanan darah sistolik turun ≥ 10 mmHg dari posisi
berbaring ke duduk atau berdiri.
3) Pantau pola napas seperti adanya pernapasan Kussmaul atau pernapasan yang
berbau keton.
R/ Perlu mengeluarkan asam karbonat melalui pernapasan yang menghasilkan
kompensasi alkalosis respiratoris terhadap keadaan ketoasidosis. Napas bau
aseton disebabkan pemecahan asam asetoasetat dan harus berkurang bila ketosis
terkoreksi.
4) Pantau frekuensi dan kualitas pernapasan, penggunaan otot bantu napas, adanya
periode apnea dan sianosi.
R/ Hiperglikemia dan asidosis menyebabkan pola dan frekuensi pernapasan
normal. Akan tetapi peningkatan kerja pernapasan, pernapasan dangkal dan
cepat serta sianosis merupakan indikasi dari kelelahan pernapasan atau
kehilangan kemampuan melalui kompensasi pada asidosis
5) Pantau suhu, warna kulit, atau kelembapannya.
R/ Demam, menggigil, dan diaphoresis adalah hal umum terjadi pada proses
infeksi, demam dengan kulit kemerahan, kering merupakan tanda dehidrasi.
6) Kaji nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit, dan membrane mukosa.
R/ Merupakan indicator tingkat dehidrasi atau volume sirkulasi yang adekuat.
7) Pantau masukan dan pengeluaran
R/ Memperkirakan kebutuhan cairan pengganti, fungsi ginjal, dan keefektifan
terapi yang diberikan.
8) Ukur berat badan setiap hari.
R/ Memberikan hasil pengkajian terbaik dari status cairan yang sedang
berlangsung dan selanjutnya dalam memberikan cairan pengganti.
9) Pertahankan pemberian cairan minimal 2500 ml/hari
R/ Mempertahankan hidrasi atau volume sirkulasi.
10) Tingkatkan lingkungan yang menimbulkan rasa nyaman. Selimuti klien dengan
kain yang tipis.
R/ Menghindari pemanasan yang berlebihan terhadap klien lebih lanjut dapat
menimbulkan kehilangan cairan.
11) Kaji adanya perubahan mental atau sensori.
R/ Perubahan mental berhubungan dengan hiperglikemi atau hipoglikemi,
elektrolit abnormal, asidosis, penurunan perfusi serebral, dan hipoksia. Penyebab
yang tidak tertangani, gangguan kesadaran menjadi predisposisi aspirasi pada
klien.
12) Observasi mual, nyeri abdomen, muntah, dan distensi lambung.
R/ Kekurangan cairan dan elektrolit mengubah motilitas lambung sehinnga
sering menimbulkan muntah dan secara potensial menimbulkan kekurangan
cairan dan elektrolit.
13) Observasi adanya perasaan kelelahan yang meningkat, edema, peningkatan berat
badan, nadi tidak teratur, dan distensi vaskuler.
R/ Pemberian cairan untuk perbaikan yang cepat berpotensi menimbulkan
kelebihan cairan dan gagal jantung kronis.
Kolaborasi :
Berikan terapi cairan sesuai indikasi :
14). Normal salin atau setengah normal salin dengan atau tanpa dekstrosa.
R/ Tipe dan jumlah cairan tergantung pada derajat kekurangan cairan dan
respon klien secara individual.
15). Albumin, plasma, atau dekstran.
R/ Plasma ekspander (pengganti) dibutuhkan jika mengancam jiwa atau tekanan
darah sudah tidak dapat kembali normal dengan usaha rehidrasi yang telah
dilakukan.
16). Pasang kateter urine.
R/ Memberikan pengukuran yang tepat terhadap pengeluaran urine terutama
jika neuropati otonom menimbulkan retensi atau inkontinensia.
Brunner & Suddarth. (2015) . Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol 3. EGC, Jakarta.
Corwin, EJ. (2011). Buku Saku Patofisiologi, edisi revisi. EGC, Jakarta.
Kushariyadi. (2010) . Asuhan Keperawatan pada Klien Lanjut Usia . Salemba Medika, Jakarta.
Mansjoer, A dkk. 2014. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Media Aesculapius, Jakarta.