Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN (LP)

KASUS KLIEN DIABETES MELITUS TIPE II

Di Susun Oleh :
ERNA WATI
P0.62.20.1.16.128

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PALANGKA RAYA


JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN
TAHUN 2020
LAPORAN PENDAHULUAN DIABETES MELITUS PEMBEDAHAN

A. DEFINISI
Diabetes Melitus (DM) adalah penyakit metabolik yang kebanyakan herediter,
dengan tanda-tanda hiperglikemia dan glukosuria, disertai dengan atau tidak adanya
gejala klinik akut ataupun kronik, sebagai akibat dari kuranganya insulin efektif di
dalam tubuh, gangguan primer terletak pada metabolisme karbohidrat yang biasanya
disertai juga gangguan metabolism lemak dan protein ( Askandar, 2000 ).
Diabetes melitus adalah penyakit hiperglikemia yang ditandai oleh ketiadaan
absolut insulin atau insensitifitas sel terhadap insulin (Corwin, 2001).

B. KLASIFIKASI TIPE DM
1. Diabetes Melitus
a. Tipe tergantung insulin (DMTI), Tipe I
b. Tipe tak tergantung insulin (DMTTI), Tipe II
2. Gangguan Toleransi Glukosa (GTG)
3. Diabetes Kehamilan (GDM)

C. ETIOLOGI
Menurut Smeltzer dan Bare (2001), penyebab dari diabetes melitus adalah:
1. Diabetes Melitus tergantung insulin (DMTI)
a. Faktor genetic
Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri tetapi mewarisi
suatu presdisposisi atau kecenderungan genetic kearah terjadinya diabetes
tipe I. Kecenderungan genetic ini ditentukan pada individu yang memililiki tipe
antigen HLA(Human Leucocyte Antigen) tertentu. HLA merupakan kumpulan
gen yang bertanggung jawab atas antigen tranplantasi dan proses imun
lainnya.
b. Faktor imunologi
Pada diabetes tipe I terdapat bukti adanya suatu respon autoimun. Ini
merupakan respon abnormal dimana antibody terarah pada jaringan normal
tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya
seolah-olah sebagai jaringan asing.
c. Faktor lingkungan
Faktor eksternal yang dapat memicu destruksi sel β pancreas, sebagai contoh
hasil penyelidikan menyatakan bahwa virus atau toksin tertentu dapat memicu
proses autuimun yang dapat menimbulkan destuksi sel β pankreas.
2. Diabetes Melitus tak tergantung insulin (DMTTI)
Secara pasti penyebab dari DM tipe II ini belum diketahui, factor genetic
diperkirakan memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin.
Diabetes Melitus tak tergantung insulin (DMTTI) penyakitnya mempunyai pola
familiar yang kuat. DMTTI ditandai dengan kelainan dalam sekresi insulin maupun
dalam kerja insulin. Pada awalnya tampak terdapat resistensi dari sel-sel sasaran
terhadap kerja insulin. Insulin mula-mula mengikat dirinya kepada reseptor-
reseptor permukaan sel tertentu, kemudian terjadi reaksi intraselluler yang
meningkatkan transport glukosa menembus membran sel. Pada pasien dengan
DMTTI terdapat kelainan dalam pengikatan insulin dengan reseptor. Hal ini dapat
disebabkan oleh berkurangnya jumlah tempat reseptor yang responsif insulin pada
membran sel. Akibatnya terjadi penggabungan abnormal antara komplek reseptor
insulin dengan system transport glukosa. Kadar glukosa normal dapat
dipertahankan dalam waktu yang cukup lama dan meningkatkan sekresi insulin,
tetapi pada akhirnya sekresi insulin yang beredar tidak lagi memadai untuk
mempertahankan euglikemia (Price,1995). Diabetes Melitus tipe II disebut juga
Diabetes Melitus tidak tergantung insulin (DMTTI) atau Non Insulin Dependent
Diabetes Melitus(NIDDM) yang merupakan suatu kelompok heterogen bentuk-
bentuk Diabetes yang lebih ringan, terutama dijumpai pada orang dewasa, tetapi
terkadang dapat timbul pada masa kanak-kanak. Faktor risiko yang berhubungan
dengan proses terjadinya DM tipe II, diantaranya adalah:
a. Usia ( resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 tahun)
b. Obesitas
c. Riwayat keluarga
d. Kelompok etnik
e. Diabetes dengan Ulkus
D. PATOFISIOLOGI
Patogenesis diabetes melitus Tipe II ditandai dengan adanya resistensi insulin
perifer, gangguan “hepatic glucose production (HGP)”, dan penurunan fungsi cell β,
yang akhirnya akan menuju ke kerusakan total sel β. Mula-mula timbul resistensi
insulin yang kemudian disusul oleh peningkatan sekresi insulin untuk
mengkompensasi retensi insulin itu agar kadar glukosa darah tetap normal. Lama
kelamaan sel beta tidak akan sanggup lagi mengkompensasi retensi insulin hingga
kadar glukosa darah meningkat dan fungsi sel beta makin menurun saat itulah
diagnosis diabetes ditegakkan. Penurunan fungsi sel beta itu berlangsung secara
progresif sampai akhirnya sama sekali tidak mampu lagi mensekresi insulin (FKUI,
2011).
Pada diabetestipe2 terdapat dua masalah utama yang berhubungan dengan
insulin, yaitu: resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan
terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin
dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa
didalam sel. Resistensi insulin pada diabetes mellitus tipe 2 disertai dengan penurunan
reaksi intrasel ini. Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi
pengambilan glukosa oleh jaringan. Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah
terbentuknya glukagon dalam darah harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang
disekresikan. Pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat
sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat
yang normal atau sedikit meningkat. Namun demikian, jika sel-sel beta tidak mampu
mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan
meningkat dan terjadi diabetes mellitus tipe 2. Meskipun terjadi gangguan sekresi
insulin yang merupakan ciri khas diabetes mellitus tipe 2, namun masih terdapat
insulin dengan jumlah yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi
badan keton yang menyertainya. Karena itu, ketoasidosis diabetic tidak terjadi pada
diabetes mellitus tipe II. Meskipun demikian, diabetes mellitus tipe 2 yang tidak
terkontrol dapat menimbulkan masalah akut lainnya yang dinamakan sindrom
hiperglikemik hiperosmoler nonketotik (HHNK).
Pada keadaan tertentu glukosa dapat meningkat sampai dengan 1200 mg/dl hal
ini dapat menyebabkan dehidrasi pada sel yang disebabkan oleh ketidakmampuan
glukosa berdifusi melalui membran sel, hal ini akan merangsang osmotik reseptor
yang akan meningkatkan volume ekstrasel sehingga mengakibatkan peningkatan
osmolalitas sel yang akan merangsang hypothalamus untuk mengsekresi ADH dan
merangsang pusat haus di bagian lateral (Polidipsi). Penurunan volume cairan intrasel
merangsang volume reseptor di hypothalamus menekan sekresi ADH sehingga terjadi
diuresis osmosis yang akan mempercepat pengisian vesika urinaria dan akan
merangsang keinginan berkemih (Poliuria). Penurunan transport glukosa kedalam sel
menyebabkan sel kekurangan glukosa untuk proses metabolisme sehingga
mengakibatkan starvasi sel. Penurunan penggunaan dan aktivitas glukosa dalam sel
(glukosa sel) akan merangsang pusat makan di bagian lateral hypothalamus sehingga
timbul peningkatan rasa lapar (Polipagi).
Pada Diabetes Mellitus yang telah lama dan tidak terkontrol, bisa terjadi
atherosklerosis pada arteri yang besar, penebalan membran kapiler di seluruh tubuh,
dan degeneratif pada saraf perifer. Hal ini dapat mengarah pada komplikasi lain
seperti thrombosis koroner, stroke, gangren pada kaki, kebutaan, gagal ginjal dan
neuropati.

E. KOMPLIKASI
Beberapa komplikasi yang dapat muncul akibat DM Tipe II, antara lain (Stockslager L,
Jaime & Liz Schaeffer, 2007) :
1. Hipoglikemia
Komplikasi yang mungkin terjadi pada penderita diabetes yang di obati
dengan insulin atau obat-obatan antidiabetik oral. Hal ini mungkin di sebabkan
oleh pemberian insulin yang berlebihan, asupan kalori yang tidak adekuat,
konsumsi alkohol, atau olahraga yang berlebihan. Gejala hipoglikemi pada lansia
dapat berkisar dari ringan sampai berat dan tidak disadari sampai kondisinya
mengancam jiwa.
2. Ketoasidosis diabetic
Kondisi yang ditandai dengan hiperglikemia berat, merupakan kondisi
yang mengancam jiwa. Ketoasidosis diabetik biasanya terjadi pada lansia dengan
diabetes Tipe 1, tetapi kadang kala dapat terjadi pada individu yang menderita
diabetes Tipe 2 yang mengalami stress fisik dan emosional yang ekstrim.
3. Sindrom nonketotik hiperglikemi, hiperosmolar ( Hyperosmolar hyperglycemic
syndrome, HHNS) atau koma hyperosmolar
Komplikasi metabolik akut yang paling umum terlihat pada pasien yang
menderita diabetes. Sebagai suatu kedaruratan medis, HHNS di tandai dengan
hiperglikemia berat(kadar glukosa darah di atas 800 mg/dl), hiperosmolaritas (di
atas 280 mOSm/L), dan dehidrasi berat akibat deuresis osmotic. Tanda gejala
mencakup kejang dan hemiparasis (yang sering kali keliru diagnosis menjadi
cidera serebrovaskular) dan kerusakan pada tingkat kesadaran (biasanya koma
atau hampir koma).
4. Neuropati perifer
Biasanya terjadi di tangan dan kaki serta dapat menyebabkan kebas atau
nyeri dan kemungkinan lesi kulit. Neuropati otonom juga bermanifestasi dalam
berbagai cara, yang mencakup gastroparesis (keterlambatan
pengosongan lambung yang menyebabkan perasaan mual dan penuh setelah
makan), diare noktural, impotensi, dan hipotensi ortostatik.
5. Penyakit kardiovaskuler
Pasien lansia yang menderita diabetes memiliki insidens hipertensi 10 kali
lipat dari yang di temukan pada lansia yang tidak menderita diabetes. Hasil ini
lebih meningkatkan resiko iskemik sementara dan penyakit serebrovaskular,
penyakit arteri koroner dan infark miokard, aterosklerosis serebral, terjadinya
retinopati dan neuropati progresif, kerusakan kognitif, serta depresi sistem saraf
pusat.
6. Infeksi kulit
Hiperglikemia merusak resistansi lansia terhadap infeksi karena
kandungan glukosa epidermis dan urine mendorong pertumbuhan bakteri. Hal ini
membuat lansia rentan terhadap infeksi kulit dan saluran kemih serta vaginitis.

F. PENATALAKSANAAN
Tujuan utama terapi diabetes mellitus adalah mencoba menormalkan aktivitas
insulin dan kadar glukosa darah dalam upaya untuk mengurangi komplikasi vaskuler
serta neuropati. Tujuan terapeutik pada setiap tipe diabetes adalah mencapai kadar
glukosa darah normal.
Ada 5 komponen dalam penatalaksanaan diabetes (FKUI, 2011) :
1. Diet
2. Latihan fisik
3. Pemantauan
4. Terapi (jika diperlukan)
5. Pendidikan kesehatan

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang untuk DM sebagai berikut (FKUI, 2011) :
1. Glukosa darah sewaktu
2. Kadar glukosa darah puasa
3. Tes toleransi glukosa

Pemeriksaan glukosa darah puasa ≥126 mg/dl. Puasa adalah kondisi


tidak ada asupan kalori minimal 8 jam. Dilakukan pengambilan sampel
darah untuk Tes gula darah puasa setelah pasien melakukan puasa
minimal 8 jam.
Atau
Pemeriksaan glukosa darah ≥200 mg/dl 2 jam setelah Tes Toleransi
Glukosa Oral (TTOG) dengan beban glukosa 75 gram
Atau
Pemeriksaan glukosa darah sewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan-
keluhan (poliuria, polidipsi, polifagia dan penurunan berat badan).
Atau
Pemeriksaan HbA1c ≥6,5% dengan menggunakan metode
terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program
(NGSP).
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Pola persepsi kesehatan dan pemeliharaan kesehatan
a. Riwayat keluarga penderita DM.
b. BB turun pada DM Tipe I.
c. Obesitas pada DM Tipe II.
d. Biasa terjadi pada usia di bawah 30 tahun pada DM Tipe I.
e. Terjadi di atas usia 35 tahun pada DM Tipe II.
2. Pola nutrisi metabolik
a. Polifagia
b. Polidipsi
c. Mual, muntah
d. Berat badan turun atau obesitas.
3. Pola eliminasi
a. Poliuria
b. Berkemih pada malam hari.
4. Pola aktivitas - latihan
a. Keluhan tiba-tiba lemas, cepat lelah.
b. Kurang olahraga
c. Kram otot.
5. Pola tidur dan istirahat
Gangguan pola tidur karena nokturia.
6. Pola persepsi kognitif
a. Pusing/hipotensi.
b. Nyeri daerah luka operasi/gangguan post amputasi.
c. Baal, kesemutan pada ekstremitas bawah, keluhan gatal.
d. Nyeri abdomen.
e. Pandangan kabur.
7. Pola persepsi diri - konsep diri
a. Cemas akan luka yang lama sembuh.
b. Mekanisme koping yang tidak efektif : cemas tentang penyakitnya.
8. Pola peran dan hubungan sesama
a. Hubungan dengan keluarga
b. Hubungan dengan suami istri.
9. Pola reproduksi - seksual
a. Impotensi pada pria
b. Riwayat libido menurun.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
PRA OPRASI
1. Ansietas berhubungan dengan pengalaman bedah dan hasil pembedahan.
INTRA
1. Cedera, Resiko Tinggi berhubungan dengan posisi, pemajanan alat/suhu,
hipoksia, lingkungan.
2. Infeksi, Resiko tinggi berhubungan dengan trauma jaringan, kulit yang rusak,
prosedur invasif.
3. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan darah selama
pembedahan
POST OPERASI
1. Hipoglikemi dan hiperglikemi berhubungan dengan tidak adekuatnya faktor insulin
dan insulin yang resisten.
2. Perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan aliran daerah
arterial.
3. Ketidakefektifan manajemen regimen terapeutik tentang proses penyakit,
pencegahan, pengobatan berhubungan dengan kurang informasi.
4. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan penurunan
vaskularisasi/gangguan sirkulasi.
5. Nyeri berhubungan dengan adanya luka operasi post amputasi.
6. Kurang volume cairan tubuh berhubungan dengan osmotik diuresis.
7. Potensial terjadinya infeksi berhubungan dengan tingginya kadar gula dalam
darah dan adanya luka post operasi.
8. Resiko tinggi perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penurunan
aliran darah serebral yang disebabkan adanya aterosklerosis.
9. Resiko tinggi perubahan perfusi jaringan sistemik berhubungan dengan
peningkatan tahanan perifer, aterosklerosis.

C. PERENCANAAN KEPERAWATAN
PRA OPERASI
Ansietas berhubungan dengan pengalaman bedah dan hasil pembedahan
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperwatan selama 1 x 24 jam, masalah ansietas pada
pasien dapat teratasi
Kriteria hasil:
a. Klien mampu merencanakan strategi koping untuk situasi-situasi yang membuat
stres
b. Klien mampu mempertahankan penampilan peran
c. Klien melaporkan tidak ada gangguan persepsi sensori
d. Klien melaporkan tidak ada manifestasi kecemasan secara fisik
e. Tidak ada manifestasi perilaku akibat kecemasan
Intervensi :
a) Kaji dan dokumentasikan tingkat kecemasan pasien.
Rasional : memudahkan intervensi.
b) Kaji mekanisme koping yang digunakan pasien untuk mengatasi ansietas di masa
lalu.
Rasional : mempertahankan mekanisme koping adaftif, meningkatkan kemampuan
mengontrol ansietas.
c) Lakukan pendekatan dan berikan motivasi kepada pasien untuk mengungkapkan
pikiran dan perasaan.
Rasional : pendekatan dan motivasi membantu pasien untuk
mengeksternalisasikan kecemasan yang dirasakan.
d) Motivasi pasien untuk memfokuskan diri pada realita yang ada saat ini, harapa-
harapan yang positif terhadap terapy yang di jalani.
Rasional : alat untuk mengidentifikasi mekanisme koping yang dibutuhkan untuk
mengurangi kecemasan.
e) Berikan penguatan yang positif untuk meneruskan aktivitas sehari-hari meskipun
dalam keadaan cemas.
Rasional : menciptakan rasa percaya dalam diri pasien bahwa dirinya mampu
mengatasi masalahnya dan memberi keyakinan pada diri sendri yang dibuktikan
dengan pengakuan orang lain atas kemampuannya.
f) Anjurkan pasien untuk menggunakan teknik relaksasi.
Rasional : menciptakan perasaan yang tenang dan nyaman.
g) Sediakan informasi factual (nyata dan benar) kepada pasien dan keluarga
menyangkut diagnosis, perawatan dan prognosis.
Rasional : meningkatkan pengetahuan, mengurangi kecemasan.
h) Kolaborasi pemberian obat anti ansietas.
Rasional : mengurangi ansietas sesuai kebutuhan.

INTRA
1. Risiko cidera dibuktikan dengan terpapar patogen
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperwatan selama 1 x 24 jam, masalah resiko
terjadinya cidera pada pasien dapat teratasi
Kriteria hasil:
a. Tidak terjadinya resiko cedera pada pasien
b. Pasien dapat beraktivitas dengan nyaman dan aman
Intervensi:
a) Gunakan semua alat atau instrument untuk tindakan pembedahan seperti
pemakaian baju bedah, tutup kepala, masker, penutup sepatu, celemek, dan
sarung tangan, serta penyucian tangan
b) Lakukan Persiapan pelaksanaan anestesi sebelum tindakan pembedahan
c) Lakukan pemantauan selama masa tindakan pembedahan
POST OPERASI
1. Hipoglikemi dan hiperglikemi berhubungan dengan tidak adekuatnya faktor insulin
dan insulin yang resisten.
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperwatan selama 1 x 24 jam, masalah hipoglikemi
pada pasien dapat teratasi
Kriteria hasil :
a. Tidak terjadi hipo/hiperglikemi.
b. Kadar gula darah dalam batas normal : GDS < 140 mg/dl, Gula darah 2 jam
PP < 200 mg/dl.
Intervensi :
a) Kaji intake makanan pasien.
Rasional : Untuk melihat atau indikasi terjadinya hipoglikemi bila makanan
yang dihidangkan tidak habis.
b) Beri makan sesuai diet.
Rasional : Mencegah terjadinya hipoglikemi/hiperglikemi.
c) Amati dan kaji tanda dan gejala hipo/hiperglikemi : pucat, keringat dingin, sakit
kepala, gemetaran, cenderung tidur,
Rasional : Reaksi insulin dapat terjadi secara tiba-tiba yaitu hipo/ hiperglikemi
yang dapat berakibat fatal.
d) Monitor dan catat kadar gula darah perifer, glukosuria.
Rasional : Menentukan diagnosa dan perencanaan keperawatan selanjutnya.
e) Beri dan pertahankan pemberian cairan melalui IV (NaCl 0,9%).
Rasional : Hiperglikemi menyebabkan dehidrasi yang berhubungan dengan
efek hiperosmolar.
f) Beri insulin atau therapi peroral.
Rasional : Insulin meningkatkan pemasukan glukosa ke dalam sel dan
menurunkan glukoneogenesis.
2. Perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan aliran darah
arterial.
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperwatan selama 1 x 24 jam, masalah perubahan
perfusi jaringan perifer pada pasien dapat teratasi
Kriteria hasil :
Klien menunjukkan kesadaran tentang faktor-faktor keamanan/perawatan kaki
yang tepat, permukaan kulit utuh.
Intervensi :
a) Tinggikan kaki saat duduk di kursi, hindari periode penekanan yang lama pada
kaki yang cedera.
Rasional : Meminimalkan gangguan aliran darah.
b) Anjurkan pasien untuk menghindari baju atau kaos kaki yang ketat dan sepatu
yang sempit.
Rasional : Gangguan sirkulasi dan penurunan sensasi nyeri dapat
menyebabkan kerusakan jaringan.
c) Kaji tanda dehidrasi, pantau intake dan output cairan, anjurkan cairan peroral.
Rasional : Glukosuria dapat mengakibatkan dehidrasi yang menurunkan
volume sirkulasi dan selanjutnya mengakibatkan perubahan perfusi perifer.
d) Jaga luka jahitan tetap bersih dan kering.
Rasional : Daerah insisi yang bersih dan kering mengurangi resiko infeksi
sehingga mempercepat proses penyembuhan luka.

3. Ketidakefektifan manajemen regimen terapeutik tentang proses penyakit,


pencegahan, pengobatan berhubungan dengan kurang informasi.
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperwatan selama 1 x 24 jam, masalah
ketidakefektifan manajemen regimen terapeutik pada pasien dapat teratasi
Kriteria hasil :
Pengetahuan klien meningkat dalam waktu 1 hari dengan kriteria klien dapat
menjelaskan kembali tentang perawatan luka operasi, dan pencegahan-
pencegahan yang harus dilakukan.
Intervensi :
a) Beri penjelasan dengan bahasa yang mudah dimengerti sesuai latar belakang
pendidikan klien.
Rasional : Bahasa yang mudah dimengerti membantu dalam pemahaman
klien.
b) Jelaskan pada klien tentang perawatan luka operasi.
Rasional : Meningkatkan pengetahuan/pemahaman klien tentang perawatan
luka operasi.
c) Jelaskan pada pasien pentingnya pengobatan yang teratur.
Rasional : Mencegah terjadinya hipo/hiperglikemi.
d) Tekankan pentingnya aktifitas dan latihan.
Rasional : Latihan menstimulasi metabolisme karbohidrat, menstabilkan
berat badan.

4. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan penurunan vaskularisasi/gangguan


sirkulasi.
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperwatan selama 1 x 24 jam, gangguan integritas
kulit pada pasien dapat teratasi
Kriteria hasil :
Tidak ada kemerahan di sekitar kulit, luka jahitan bersih dan tidak ada tanda-tanda
infeksi.
Intervensi :
a) Kaji daerah sekitar kulit.
Rasional : Pengkajian terus menerus secara berkesinambungan
memudahkan deteksi awal jika terjadi gangguan dalam proses penyembuhan
luka.
b) Jaga luka jahitan tetap bersih dan kering.
Rasional : Daerah operasi yang bersih dan kering mengurangi resiko infeksi
sehingga mempercepat proses penyembuhan luka.
c) Gunakan tehnik aseptik dalam merawat luka.
Rasional : Mencegah infeksi silang dan mencegah transmisi infeksi bakterial
pada luka operasi.
d) Beri terapi antibiotik sesuai program medik.
Rasional : Menurunkan jumlah organisme.
5. Nyeri berhubungan dengan adanya luka operasi post amputasi.
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperwatan selam 1 x 24 jam, nyeri pada pasien dapat
tertasi
Kriteria hasil :
Nyeri berkurang dalam waktu 3 hari dengan kriteria ekspresi wajah tampak rileks,
tidak kesakitan, klien dapat beristirahat.
Intervensi :
a) Kaji keluhan dan karakteristik nyeri (intensitas dan lokasi) dan skala 0-10.
Rasional : Untuk menentukan intervensi selanjutnya.
b) Observasi tanda-tanda vital tiap 4 jam.
Rasional : Perubahan TTV menunjukkan intensitas nyeri yang tinggi.
c) Anjurkan dan ajarkan tehnik relaksasi.
Rasional : Mengurangi rasa nyeri.
d) Ciptakan lingkungan yang tenang.
Rasional : Lingkungan yang tenang membantu mengurangi stress akibat
nyeri.
e) Kolaborasi dengan medik untuk pemberian analgetik.
Rasional : Analgetik membantu mengurangi nyeri.

6. Kurang volume cairan tubuh berhubungan dengan osmotik diuresis.


Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperwatan selama 1 x 24 jam, kurang volume cairan
tubuh pada pasien dapat teratasi
Kriteria hasil:
Klien tidak menunjukkan tanda-tanda dehidrasi ditandai dengan : mukosa lembab,
TTV dalam batas normal. TD. 120/80 mmHg, Sh. 36-37 oC.
Intervensi:
a) Observasi TTV tiap 4 jam.
Rasional : Hipovolemik mengakibatkan hipoksia dan takikardia.
b) Kaji membran kulit/membran mukosa dan pengisian kapiler.
Rasional : Mengetahui hidrasi sirkulasi tubuh yang adekuat.
c) Kaji tanda-tanda hipovolemik glukosa darah kurang atau sama dengan 60
mg/dl.
Rasional : mendeteksi tanda hipoglikemia : pucat, takikardia, lapar, palpitasi,
lemah, gemetar, pandangan kabur.
d) Pertahankan pemasukan cairan : 2,5-3 liter/hari.
Rasional : memenuhi status cairan dalam tubuh.
e) Kolaborasi tim medik untuk pemeriksaan SE.
Rasional : penurunan SE mengindikasikan adanya kekurangan elektrolit.

7. Potensial terjadinya infeksi berhubungan dengan tingginya kadar gula darah


dengan adanya luka post operasi.
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperwatan selama 1 x 24 jam, Potensial terjadinya
infeksi pada pasien dapat teratasi
Kriteria hasil:
Mencegah atau mengurangi infeksi.
Intervensi :
a) Observasi tanda-tanda infeksi seperti : demam, nyeri, merah.
Rasional : Infeksi akan memperlambat proses penyembuhan.
b) Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan keperawatan.
Rasional : untuk mencegah resiko kontaminasi silang.
c) Berikan perawatan kulit dan teratur, jaga kulit tetap kering.
Rasional : sirkulasi perifer bisa terjadi yang menempatkan klien pada resiko
terjadinya kerusakan pada kulit dan infeksi.
d) Kolaborasi dengan medik untuk pemberian antibiotik.
Rasional : mencegah infeksi lebih lanjut.

D. Implementasi
Pelaksanaan adalah tahap pelaksananan terhadap rencana tindakan keperawatan
yang telah ditetapkan untuk perawat bersama pasien. Implementasi dilaksanakan
sesuai dengan rencana setelah dilakukan validasi, disamping itu juga dibutuhkan
ketrampilan interpersonal, intelektual, teknikal yang dilakukan dengan cermat dan
efisien pada situasi yang tepat dengan selalu memperhatikan keamanan fisik dan
psikologis. Setelah selesai implementasi, dilakukan dokumentasi yang meliputi
intervensi yang sudah dilakukan dan bagaimana respon pasien.

E. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap terakhir dari proses keperawatan. Kegiatan evaluasi ini
adalah membandingkan hasil yang telah dicapai setelah implementasi keperawatan
dengan tujuan yang diharapkan dalam perencanaan
DAFTAR PUSTAKA

Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta:EGC.


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2011. Penatalaksanaan Diabetes Melitus
Terpadu, Edisi Kedua. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Guyton, Arthur C. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 11. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC
Huda, Amin. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA
NIC-NOC. Jakarta: Mediaction Publishing.
Isnani, N., & Ratnasari. (2018). Faktor Resiko Mempengaruhi Kejadian Diabetes Tipe 2.
Jurnal Keperawatan Dan Kebidanan Aisyah.
Smeltzer, S. C., & Bare B. G. 2009. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth (Edisi 8 Volume 1). Jakarta: EGC.
Stockslager L, Jaime dan Liz Schaeffer. 2007. Asuhan Keperawatan Geriatric.
Jakarta:EGC.

Anda mungkin juga menyukai