Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA


DENGAN DIAGNOSIS MEDIS: DIABETES MELITUS
DI UPTD GRIYA WREDHA JAMBANGAN SURABAYA

NOVIANTI LAILIAH
NIM. 132113143017

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2021
1.1 Definisi Lansia
Lanjut usia didefinisikan sebagai penurunan, kelemahan, meningkatnya kerentanan
terhadap berbagai penyakit dan perubahan lingkungan, hilangnya mobilitas dan ketangkasan, serta
perubahan fisiologis yang terkait dengan usia (Rahman, 2016). Lansia merupakan seseorang yang
berusia 60 tahun keatas baik pria maupun wanita, yang masih aktif beraktivitas dan bekerja
ataupun mereka yang tidak berdaya untuk mencari nafkah sendiri sehingga bergantung kepada
orang lain untuk menghidupi dirinya. Lansia merupakan tahap terakhir daur kehidupan pada
manusia, dimana dibutuhkan adanya upaya peningkatan kesehatan, baik yang bersifat promotif
maupun preventif, agar dapat menjaga dan meningkatkan kualitas hidup lansia. Usia pra lansia 45-
59 tahun, lanjut usia (elderly) ialah 60-74 tahun, lanjut usia tua (old) ialah 75-90 tahun, usia sangat
tua (very old) ialah di atas 90 tahun (Sevrita, 2019).
Menua bukanlah suatu penyakit, melainkan proses yang berangsur-angsur mengakibatkan
perubahan kumulatif dan merupakan proses menurunnya daya tahan tubuh dalam menghadapi
rangsangan dari dalam dan luar dirinya (Jannah & Maftukhah, 2018). Tahap usia lanjut adalah
tahap di mana terjadi penurunan fungsi tubuh. Penuaan merupakan perubahan kumulatif pada
makhluk hidup, termasuk tubuh, jaringan dan sel, yang mengalami penurunan kapasitas
fungsional. Pada manusia, penuaan dihubungkan dengan perubahan degeneratif pada kulit, tulang
jantung, pembuluh darah, paru-paru, saraf dan jaringan tubuh lainya. Kemampuan regeneratif pada
lansia terbatas, mereka lebih rentan terhadap berbagai penyakit (Kholifah, 2016).

1.2 Batasan usia lansia


Di Indonesia batasan kelompok lanjut usia adalah usia 60 tahun keatas. Hal ini dipertegas
dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia pada Bab 1 Pasal
1 Ayat 2. Beberapa pendapat para ahli tentang batasan usia adalah sebagai berikut:
1) Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), ada empat tahapan yaitu:
a) Usia pertengahan (middle age) usia 45-59 tahun
b) Lanjut usia (elderly) usia 60-74 tahun
c) Lanjut usia tua (old) usia 75-90 tahun
d) Usia sangat tua (very old) usia > 90 tahun
2) Menurut Kementerian Kesehatan RI (2015) lanjut usia dikelompokan menjadi:
a) Usia lanjut (60-69 tahun)
b) Usia lanjut dengan risiko tinggi (lebih dari 70 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan)
1.3 Sindroma Geriatri
Geriatri berasal dari kata gerontos (usia lanjut) dan iatrics (penyakit), sehingga geriatri adalah
penyakit pada usia lanjut dengan gejala khas yaitu multipatologi (lebih dari satu penyakit),
kemampuan fisiologis tubuh yang sudah menurun, tampilan gejala yang tidak khas/ menyimpang,
dan penurunan status fungsional (kemampuan beraktivitas). Sehingga tidak semua pasien lansia
adala pasien geriatri tetapi pasien geriatri pastilah lansia. Penyakit-penyakit yang umum ditemukan
pada pasien geriatri umumnya adalah penyakit degeneratif kronik (Chow et al., 2019):

1) Immobility (imobilisasi): adalah keadaan tidak bergerak/ tirah baring (bed rest) selama 3 hari
atau lebih. Kondisi ini sering dijumpai pada lansia akibat penyakit yang dideritanya seperti
infeksi yang berat, kanker, selain akibat penyakit yang diderita, imobilisasi juga sering
ditemukan pada lansia yang “dikekang” untuk melakukan segalanya sendiri oleh keluarga yang
merawatnya, sehingga ia hanya tidur dan duduk, atau juga ditemukan pada lansia yang
“manja”. Banyak gangguan yang dapat ditimbulkan akibat imobilisasi seperti ulkus dekubitus
(koreng pada punggung karena luka tekan dan sulit disembuhkan) dan ulkus-ulkus di
permukaan tubuh lainnya, trombosis vena (bekuan darah pada pembuluh darah balik) yang
dapat menyumbat aliran darah (emboli) pada paru-paru yang berujung pada kematian
mendadak.
2) Instability (instabilitas) dan jatuh: dapat terjadi akibat penyakit muskuloskeletal (otot dan
rangka) seperti osteoartritis, rematik, gout, dsb., juga dapat disebabkan oleh penyakit pada
sistem syaraf seperti Parkinson, sequellae (penyakit yang mengikuti) stroke. Akibat dari
instabilitas dan jatuh ini dapat berupa cedera kepala dan perdarahan intrakranial (di dalam
kepala), patah tulang, yang dapat berujung pada kondisi imobilisasi.
3) Incontinence (inkontinensia) urine dan alvi: inkontinensia adalah kondisi dimana seseorang
tidak dapat mengeluarkan “limbah” (urin dan feses) secara terkendali atau sering disebut
ngompol. Inkontinensia dapat terjadi karena melemahnya otot-otot dan katup, gangguan
persyarafan, kontraksi abnormal pada kandung kemih, pengosongan kandung kemih yang
tidak sempurna seperti yang terjadi pada hipertrofi (pembesaran) prostat, sedangkan pada
inkontinensia alvi dapat terjadi akibat konstipasi, penyakit pada usus besar, gangguan syaraf
yang mengatur proses buang air, hilangnya refleks anal.
4) Irritable bowel (usus besar yang sensitif -mudah terangsang-): kondisi ini menyebabkan diare
atau konstipasi/ impaksi (sembelit). Penyebabnya tidak jelas, tetapi pada beberapa kasus
ditemukan gangguan pada otot polos usus besar, penyeab lain yang mungkin adalah gangguan
syaraf sensorik usus, gangguan sistem syaraf pusat, gangguan psikologis, stres, fermentasi gas
yang dapat merangsang syaraf, kolitis.
5) Immunodefficiency (penurunan sistem kekebalan tubuh): banyak hal yang mempengaruhi
penurunan sistem kekebalan tubuh pada usia lanjut seperti atrofi thymus (kelenjar yang
memproduksi sel-sel limfosit T) meskipun tidak begitu bermakna (tampak bermakna pada
limfosit T CD8) karena limfosit T tetap terbentuk di jaringan limfoid lainnya. Begitu juga
dengan barrier infeksi pertama pada tubuh seperti kulit dan mukosa yang menipis, refleks batuk
dan bersin -yang berfungsi mengeluarkan zat asing yang masuk ke saluran nafas- yang
melemah. Hal yang sama terjadi pada respon imun terhadap antigen, penurunan jumlah
antibodi. Segala mekanisme tersebut berakibat terhadap rentannya seseorang terhadap agen-
agen penyebab infeksi, sehingga penyakit infeksi menempati porsi besar pada pasien lansia.
6) Infection (infeksi): salah satu manifestasi akibat penurunan sistem kekebalan tubuh dan karena
kemampuan faali (fisiologis) yang berkurang. Sebagai contoh, agen penyebab infeksi saluran
pernafasan dapat dikeluarkan bersama dahak melalui refleks batuk, tetapi karena menurunnya
kemampuan tubuh, agen tersebut tetap berada di paru-paru. Selain itu, pada pasien usia lanjut,
gejala-gejala infeksi yang tampak tidak seperti pada orang dewasa-muda. Pada pasien lansia,
demam sering tidak mencolok, bahkan dalam keadaan sepsis beberapa menunjukkan
penurunan temperatur - hipotermia - bukan demam. Contoh lain pada pneumonia, gejala yang
tampak bukan demam, batuk, sesak nafas, dan leukositosis (jumlah sel darah putih meningikat)
melainkan nafsu makan turun, lemah, dan penurunan kesadaran, gejala inilah yang umumnya
tampak pada penyakit infeksi pada lansia, ditambah dengan inkontinensia dan jatuh (akibat
penurunan kesadaran). Sehingga terkadang pasien dengan infeksi yang datang ke instalasi
gawat darurat karena penurunan kesadaran atau jatuh disalah-artikan sebagai serangan stroke.
7) Iatrogenics (iatrogenesis): karakteristik yang khas dari pasien geriatri yaitu multipatologik,
seringkali menyebabkan pasien tersebut perlu mengkonsumsi obat yang tidak sedikit
jumlahnya. Akibat yang ditimbulkan antara lain efek samping dan efek dari interaksi obat-obat
tersebut yang dapat mengancam jiwa. Pemberian obat pada lansia haruslah sangat hati-hati dan
rasional karena obat akan dimetabolisme di hati sedangkan pada lansia terjadi penurunan
fungsi faal hati sehingga terkadang terjadi ikterus (kuning) akibat obat. Selain penurunan faal
hati juga terjadi penurunan faal ginjal (jumlah glomerulus berkurang), dimana sebagaian besar
obat dikeluarkan melalui ginjal sehingga pada lansia sisa metabolisme obat tidak dapat
dikeluarkan dengan baik dan dapat berefek toksik.
8) Intellectual impairment (Intelektual menurun) dan demensia: banyak hal yang terkait dengan
terjadinya penurunan fungsi intelektual dan kognitif pada usia lanjut. Mulai dari menurunnya
jumlah sel-sel syaraf (neuron) hingga penyakit yang berpengaruh pada metabolisme seperti
diabetes melitus dan gangguan hati dimana semua metabolisme terjadi disini. Otak adalah
organ yang sangat tergantung pada glukosa sebagai sumber energi sehingga pada diabetes
melitus -terjadi gangguan metabolisme glukosa- pasokan energi untuk otak terganggu. Selain
diabetes, hipertensi juga mempengaruhi fungsi otak karena sirkulasi darah ke otak terganggu,
gangguan respirasi seperti Chronic Obstructive Pulmonary Disease/ Penyakit Paru Obstruktif
Menahun (COPD/PPOM) juga dapat menurunkan jumlah oksigen ke otak. Penyebab lain
penurunan fungsi intelektual adalah iatrogenesis.
9) Isolation (terisolasi) dan depresi: penyebab utama depresi pada usia lanjut adalah kehilangan
seseorang yan disayangi, pasangan hidup, anak, bahkan binatang peliharaan. Selain itu
kecenderungan untuk menarik diri dari lingkungan, menyebabkan dirinya terisolasi dan
menjadi depresi. Keluarga yang mulai mengacuhkan karena merasa direpotkan menyebabkan
pasien akan merasa hidup sendiri dan menjadi depresi. Beberapa orang dapat melakukan usaha
bunuh diri akibat depresi yang berkepajangan.
10) Impairment of vision and hearing (gangguan peglihatan dan pendengaran): gangguan
penglihatan disebabkan oleh mengendornya otot dan kuit kelopak mata, perubahan sistem
lakrimal (air mata), proses penuaan pada kornea (organ yang menerima rangsang cahaya),
penurunan produksi aqueous humor, perubahan refraksi, perubahan struktur dalam bola mata,
katarak, dan glaukoma. Sedangkan gangguan fungsi pendengaran dapat terjadi karena,
penurunan fungsi syaraf-syaraf pendengaran, perubahan organ-organ di dalam telinga.
Penurunan fungsi kedua panca indera ini mengakibatkan sulitnya komunikasi bagi lansia,
sehingga akibat lainnya adalah penderita terisolasi atau mengisolasi diri.
11) Inanition (malnutrisi): diakibatkan oleh pengaruh perubahan faal organ-organ pencernaan
seperti air liur, atrofi kuncup kecap, penurunan syaraf-syaraf penciuman dan pusat haus,
gangguan menelan karena otot yang melemah, Gastro-Esophageal Reflux Disease (GERD),
sekresi HCl yang meningkat, penurunan aktivitas enzim, dsb. Banyak penyakit yang dapat
timbul akibat kurangnya asupan gizi atau lebihnya asupan gizi, selain itu lansia juga perlu
menjaga pola makan sehat dengan mengurangi makanan-makanan yang dapat memperburuk
keadaan lansia tersebut. Banyaklah mengkonsumsi sayur, buah dan air, serta mineral-mineral
seperti besi, yodium dan kurangi konsumsi minyak, lemak dan kolesterol.
12) Insomnia: dapat terjadi karena masalah-masalah dalam hidup yang menyebabkan seorang
lansia menjadi depresi. Selain itu beberapa penyakit juga dapat menyebabkan insomnia seperti
diabetes melitus dan hiperaktivitas kelenjar thyroid, gangguan neurotransmitter di otak juga
dapat menyebabkan insomnia. Jam tidur yang sudah berubah juga dapat menjadi penyebabnya.
13) Impotency (Impotensi): ketidakmampuan melakukan aktivitas seksual pada usia lanjut
terutama disebabkan oleh gangguan organik seperti gangguan hormon, syaraf, dan pembuluh
darah. Ereksi terjadi karena terisinya penis dengan darah sehingga membesar, pada gangguan
vaskuler seperti sumbatan plak aterosklerosis (juga terjadi pada perokok) dapat menyumbat
aliran darah sehingga penis tidak dapat ereksi. Penyebab lainnya adalah depresi.
14) Impecunity (kemiskinan): usia lansia dimana seseorang menjadi kurang produktif (bukan tidak
produktif) akibat penurunan kemampuan fisik untuk beraktivitas. Usia pensiun dimana
sebagian dari lansia hanya mengandalkan hidup dari tunjangan hari tuanya. Pada dasarnya
seorang lansia masih dapat bekerja, hanya saja intensitas dan beban kerjanya yang harus
dikurangi sesuai dengan kemampuannya, terbukti bahwa seseorang yang tetap menggunakan
otaknya hingga usia lanjut dengan bekerja, membaca, dsb., tidak mudah menjadi “pikun” .
Selain masalah finansial, pensiun juga berarti kehilangan teman sejawat, berarti interaksi
sosialpun berkurang memudahakan seorang lansia mengalami depresi.

2.1 Diabetes Melitus


2.1.1 Pengertian
Diabetes Melitus adalah penyakit kronis yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah
akibat kurangnya produksi insulin (hormon yang mengatur glukosa darah), menurunnya kerja
insulin, atau keduanya (Shrivastva, Phadnis, Rao, & Gore, 2019). DM tipe 2 adalah bentuk DM
yang paling umum terjadi ditandai dengan gangguan resistensi insulin dan sekresi insulin. Tingkat
insulin mungkin normal atau bahkan meningkat pada saat DM didiagnosis. Namun, dalam
pengaturan resistensi insulin, kadar ini tidak memadai untuk mempertahankan kadar gula darah
normal (Magliano et al., 2015).
Di abad ke-21 ini, DM tipe 2 menjadi salah satu penyakit yang merupakan ancaman utama
terhadap kesehatan manusia (He et al., 2015). DM tipe 2 terjadi akibat resistensi insulin, serta
abnormalnya fungsi dari sel beta pankreas yang menyebabkan penurunan sensitifitas jaringan
target terhadap insulin. Sebagian besar subyek dengan DM tipe 2 mengalami obesitas, dan obesitas
adalah penyebab paling umum terjadinya resistensi insulin pada pasien. Penyebab lain yang
mendasari terjadinya resistensi insulin termasuk aktivasi jalur inflamasi lokal dan sistemik,
lipotoksisitas, dan aktivasi jalur stres (Hupfeld & Olefsky, 2016).
2.1.2 Etiologi
Kesadaran seseorang terhadap terjadinya komplikasi akibat DM tipe 2 masih buruk,
utamanya pada kelompok masyarakat yang tinggal di pedesaan (Asiimwe, Mauti, & Kiconco,
2020). Hal tersebut dikarenakan masyarakat kurang pengetahuan tentang faktor risiko yang dapat
menyebabkan terjadinya DM tipe 2 ataupun komplikasinya. Faktor risiko utama DM tipe 2 adalah
sebagai berikut:
1) Faktor Genetik
Sebagian besar pasien dengan DM tipe 2, disebabkan oleh kelainan poligenik, dalam hal
ekspresi penyakit tergantung pada lokus gen multipel, yang semuanya mungkin memiliki efek
kecil hingga sedang. Kemungkinan juga bahwa DM tipe 2 bersifat multigenik, yang berarti bahwa
kombinasi polimorfisme gen yang berbeda mungkin ada di antara pasien (Asiimwe et al., 2020).
DM tipe 2 disebut sebagai penyakit multifaktorial, di mana gen berinteraksi tidak hanya satu sama
lain, tetapi juga dengan pengaruh lingkungan. Oleh karena itu, individu mungkin memiliki
kecenderungan mengembangkan DM tipe 2 melalui pewarisan kombinasi gen tertentu, tetapi
faktor lingkungan yang diperoleh diperlukan untuk mengeluarkan manifestasi fenotipik
hiperglikemia. Meskipun banyak gen terlibat dalam patogenesis DM pada kebanyakan pasien,
beberapa pasien memiliki bentuk monogenik dari penyakit ini (Hupfeld & Olefsky, 2016).
2) Faktor Gaya Hidup
Faktor risiko lain yang menjadi penyebab utama DM tipe 2 adalah kelebihan berat badan
(obesitas), dan gaya hidup seperti merokok dan konsumsi alkohol. Sebuah studi oleh Babu (2018)
menyebutkan bahwa BMI sebagai salah satu faktor yang meningkatkan kejadian DM tipe 2 di
hampir semua negara (Babu et al., 2018). Temuan penelitian ini sejalan dengan laporan oleh
Bahendeka et al. (2016) yang melaporkan bahwa gaya hidup pribadi dan kebiasaan makan yang
menyebabkan kelebihan berat badan dan obesitas adalah penyebab utama DM tipe 2 (Bahendeka
et al., 2016). Obesitas adalah faktor risiko untuk DM tipe 2 dan juga merupakan faktor risiko
berkelanjutan untuk komplikasi pada mereka yang menderita DM tipe 2.
3) Faktor Penyakit Penyerta (Komorbiditas)
Berdasarkan hasil penelitian Barber (2020) sebagian besar pasien DM tipe 2 dikaitkan dengan
riwayat tekanan darah tinggi (hipertensi) (Barber, 2020). Penelitian oleh Rahman et al. (2019)
menunjukkan bahwa 20% dari populasi DM tipe 2 dikaitkan dengan tekanan darah rendah dan
12% memiliki tekanan darah normal (Adnan, Rahman, & Faridin, 2019).
4) Faktor Riwayat DM Keluarga
Menurut The National Institute of DM and Digestive and Kidney Diseases Health Information
Center (2018), riwayat DM pada orang tua meningkatkan kemungkinan terkena DM tipe 2 pada
anak dan 30% meningkatkan risiko intoleransi glukosa (ketidakmampuan untuk memetabolisme
karbohidrat secara normal) (Aman, Rasyid, Bakri, & Patellongi, 2018).
Prevalensi yang luas dari DM tipe 2 disebabkan karena ketidaktahuan masyarakat akan
informasi yang beragam mengenai penyakit DM. Selain itu, fasilitas dan pengetahuan tentang
skrining DM masih kurang di pusat-pusat kesehatan, sehingga menyebabkan prevalensi DM tipe
2 masih tinggi (Asiimwe et al., 2020).
2.1.3 Patofisiologi
Patofisiologis dari DM tipe 2 disebabkan karena terjadinya resistensi insulin dalam tubuh.
Secara umum, resistensi insulin dapat didefinisikan sebagai respon biologis abnormal terhadap
insulin; insulin, baik yang endogen maupun eksogen, memiliki kemampuan terbatas untuk
mengembalikan keadaan metabolik hiperglikemik. Sehingga, seseorang dengan resistensi insulin,
akan mengalami DM tipe 2 jika tidak menjaga gaya hidup terutama konsumsi makanannya.
Terjadinya reisisteni insulin dalam tubuh berpengaruh terhadap kadar trigliserida atau kadar
lipid dalam tubuh, mengingat insulin memiliki peran dalam menekan pelepasan Asam Lemak
Bebas atau Free Fatty Acid (FFA). Kadar trigliserida pada tubuh seseorang berbanding terbalik
dengan kadar kolesterol HDL, kolesterol HDL yang rendah adalah salah satu tanda yang umum
dalam resistensi insulin (Tesauro & Mazzotta, 2020).
Kadar trigliserida dalam tubuh berkaitan dengan penggunaan glukosa pada jaringan adiposa.
Sekitar 85% produksi glukosa endogen berasal dari hati, dan 15% sisanya diproduksi oleh ginjal.
Glikogenolisis dan glukoneogenesis berkontribusi sama pada laju basal produksi glukosa hepatik.
Glukagon juga memainkan peran sentral dalam regulasi homeostasis glukosa (Weir, Gaglia, &
Bonner-Weir, 2020). Ketika penggunaan glukosa menurun, kadar glukosa dalam plasma akan
meningkat sehingga menyebabkan hiperglikemia. Hiperglikemia yang parah menyebabkan
glukosuria dan akan menyebabkan diuresis osmotik yang ditandai dengan peningkatan air kencing
(poliuria), timbul rasa haus (polidipsi) yang menyebabkan seseorang dehidrasi, dan terjadinya
keseimbangan kalori negatif sehingga menimbulkan rasa lapar yang tinggi (polifagia) (Sangwung,
Petersen, Shulman, & Knowles, 2020).
Penggunaan glukosa oleh sel yang menurun akan mengakibatkan produksi metabolisme
energi menurun sehingga tubuh akan menjadi lemah. Hiperglikemia juga dapat berpengaruh pada
pembuluh darah kecil, sehingga menyebabkan suplai nutrisi dan oksigen ke perifer berkurang. Hal
tersebut dapat mengakibatkan luka tidak kunjung sembuh karena terjadi infeksi. Gangguan
pembuluh darah juga dapat mengakibatkan aliran darah ke retina menurun, sehingga terjadi
penurunan suplai nutrisi dan oksigen yang menyebabkan pandangan menjadi kabur. Akibat utama
dari perubahan mikrovaskuler adalah perubahan pada struktur dan fungsi ginjal yang
menyebabkan terjadinya nefropati yang berpengaruh pada saraf perifer, sistem saraf otonom serta
sistem saraf pusat.
2.1.4 Klasifikasi Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus oleh Perkeni (2019) diklasifikasikan menjadi empat berdasarkan etiologi atau
penyebabnya sebagai berikut:
Tabel 2. 1 Klasifikasi Diabetes Mellitus Berdasarkan Perkeni (2019)

Klasifikasi Deskripsi
Diabetes Mellitus Tipe 1 Destruksi sel beta, umumnya berhubungan
dengan pada defisiensi insulin absolut:
Autoimun
Idiopatik
Diabetes Mellitus Tipe 2 Etiologinya bervariasi, mulai yang dominan
resistensi insulin disertai defisiensi insulin
relatif sampai yang dominan defek sekresi
insulin disertai resistensi insulin
Diabetes Mellitus Gestasional Diabetes yang didiagnosis pada trimester
kedua atau ketiga kehamilan dimana sebelum
kehamilan tidak didapatkan diabetes
Klasifikasi Deskripsi
Tipe spesifik yang berkaitan dengan penyebab Sindroma diabetes monogenic (diabetes
lain neonatal, maturity-onset diabetes of the young
[MODY])
Penyakit eksokrin pankreas (fibrosis kistik,
pankreatitis)
Disebabkan oleh obat atau zat kimia (misalnya
penggunaan glukokortikoid pada terapi pasien
HIV/AIDS atau setelah transplantasi organ)

2.1.5 Manifestasi Klinis


Gejala klasik seperti poliuria, polidipsia, dan polifagia terjadi secara umum pada pasien DM tipe
2 dengan kadar hiperglikemia yang sangat tinggi (Ramachandran, 2014). Penurunan berat badan
yang parah hanya umum terjadi pada pasien DM tipe 2 dalam jangka waktu lama. Penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan, kelelahan dan kegelisahan serta nyeri tubuh juga merupakan
tanda umum dari DM yang tidak terdeteksi. Menurut Chen (2020) Gejala yang ringan dan bertahap
yang dialami oleh pasien DM tipe 2 adalah sebagai berikut:
1. Penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
2. Sering kelelahan
3. Iritabilitas
4. Infeksi berulang terutama pada area genital, saluran kemih, kulit, rongga mulut
5. Penyembuhan luka yang tertunda
6. Mulut kering
7. Rasa terbakar, sakit, mati rasa pada kaki
8. Gatal
9. Hipoglikemia reaktif
10. Ada bercak kehitaman pada kulit, bercak leher, lubang lengan, pangkal paha yang
merupakan indikator resistensi insulin.
11. Menurunnya fungsi penglihatan
12. Impotensi atau disfungsi ereksi (Chen & Hannon, 2020)
2.1.6 Diagnosis
DM dapat didiagnosis berdasarkan kriteria glukosa plasma, baik nilai glukosa plasma puasa
atau 2-hplasmaglucose (2-hPG) yang dinilai dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO) 75 g, atau
kriteria A1C (12).
Tabel 2. 2 Kriteria Diagnosis DM (Perkeni, 2015)

Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak ada asupan kalori
minimal 8 jam.
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2-jam setelah Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)
dengan beban glukosa 75 gram.
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan klasik.
Atau
Pemeriksaan HbA1c ≥6,5% dengan menggunakan metode yang terstandarisasi oleh National
Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP).

Secara umum, baik nilai glukosa plasma puasa atau 2-hplasmaglucose (2-hPG) yang dinilai
dengan tes toleransi glukosa oral (OGTT) 75 g, atau kriteria A1C sama-sama sesuai untuk skrining
diagnostik. Perlu dicatat bahwa tes tidak selalu dapat digunakan untuk mendeteksi DM pada orang
yang sama. Efektivitas intervensi untuk pencegahan primer DM tipe 2 terutama telah dibuktikan
di antara individu yang memiliki Impaired Glucose Tolerance (IGT) atau gangguan toleransi
glukosa dengan atau tanpa glukosa puasa tinggi, tidak digunakan untuk individu dengan Impaired
Fasting Glycemia (IFG) atau glukosa puasa terisolasi atau bagi pasien dengan pra DM yang
ditentukan dengan kriteria A1C. Tes yang sama dapat digunakan untuk untuk mendeteksi individu
dengan preDM. DM dapat diidentifikasi di mana saja di sepanjang spektrum skenario klinis pada
individu yang tampaknya berisiko rendah.
Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM digolongkan ke
dalam kelompok pre-DM yang meliputi: toleransi glukosa terganggu (TGT) dan glukosa darah
puasa terganggu (GDPT).
1) Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT):
a. Glukosa plasma puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan
b. TTGO glukosa plasma 2-jam <140 mg/dl;
2) Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa
a. Plasma 2 -jam setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa
b. Plasma puasa <100 mg/dl
3) Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
4) Diagnosis preDM dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan HbA1c yang
menunjukkan angka 5,7-6,4%.

Tabel 2. 3 Kadar Tes Laboratorium Darah Untuk Diagnosis DM dan Pre-DM

Glukosa darah Glukosa plasma 2 jam setelah TTGO


HbA1c (%)
puasa (mg/dL) (mg/dL)
DM > 6,5 > 126 mg/dL > 200 mg/dL
Pre DM 5,7-6,4 100-125 140-199
Normal < 5,7 < 100 < 140
Sumber: (Perkeni, 2015)
Penderita DM ditandai oleh kadar glikemia yang lebih tinggi, dan tes diagnostik ini
berfokus pada penetapan kadar glukosa darah terkait. Glukosa darah biasa, glukosa puasa atau
TTGO 75-gram dapat dilakukan. Untuk anak-anak, beban glukosa oral proporsional dengan bobot
badan pada 1.75gr per kg berat badan (Association, 2020). American Diabetes Association (2020)
menyebutkan jika terdapat diagnosis klinis yang jelas (misalnya, pasien dalam krisis hiperglikemik
atau dengan gejala klasik hiperglikemia dan glukosa plasma acak 200 mg/dL [11.1mmol/L]),
diagnosis memerlukan dua sampel hasil tes normal dari sampel yang sama atau dalam dua sampel
uji terpisah (Association, 2020).
2.1.7 Komplikasi
Komplikasi vaskular yang terjadi pada pasien DM tipe 2 dibagi menjadi dua yaitu komplikasi
mikrovaskular dan komplikasi makrovaskular. Komplikasi mikrovaskuler yang paling umum
terjadi adalah penyakit ginjal, penurunan fungsi penglihatan hingga terjadinya amputasi bagian
tubuh (Forbes & Harcourt, 2015). Terapi insulin yang digunakan oleh pasien DM tipe 2 juga
menyebabkan hipoglikemia atau kadar gula darah rendah yang merupakan komplikasi akut dari
terapi insulin.
Komplikasi makrovaskular yang terjadi pada pasien DM tipe 2 adalah sebagai berikut:
1) Hipertensi
Pasien DM tipe 2 baik laki-laki maupun perempuan memiliki prevalensi lebih tinggi dalam
terjadinya komplikasi hipertensi daripada orang yang tidak menderita DM tipe 2 (He et al., 2015).
Pasien DM tipe 2 mengalami kondisi mikroalbuminuria, yang menyebabkan terjadinya komplikasi
pada ginjal saat filtrasi darah, hal tersebut dapat mengakibatkan kenaikan tekanan darah pada
pasien.
2) Penyakit Jantung Koroner
Prevalensi terjadinya penyakit jantung koroner pada pasien DM tipe 2 cukup tinggi,
berdasarkan National Survey Data United States diketahui bahwa prevalensi kejadian PJK fatal
dan nonfatal sekitar 4% untuk pasien DM tipe 2 yang berusia 18-44 tahun dan 20% untuk mereka
yang berusia lebih dari 65 tahun (Aroda et al., 2015). Penyakit jantung koroner ini memiliki
hubungan dengan kondisi hiperinsulinemia, ketika kadar insulin dalam darah rendah maka kadar
estrogen dalam darah juga rendah, dan kadar endrogen meningkat. Hal tersebut kemudian
menyebabkan risiko terjadinya penyakit jantung koroner pada pasien wanita dengan DM tipe 2
lebih tinggi.
3) Penyakit Stroke dan Gangguan Serebrovaskuler
Risiko terjadinya stroke pada pasien DM tipe 2 dipengaruhi oleh lama menderita penyakit,
kadar glukosa darah pasien, dan kadar kolesterol baik (HDL) pada pasien (Hupfeld & Olefsky,
2016). Terjadinya komplikasi stroke berhubungan pula dengan komplikasi hipertensi yang terjadi
pada pasien DM tipe 2. Tingginya tekanan darah dapat mengakibatkan komplikasi stroke pada
pasien DM tipe 2.

2.1.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan DM bertujuan untuk mempertahankan kontrol metabolisme yang tepat dan
untuk mengurangi risiko komplikasi kesehatan dari pasien DM. Modifikasi diet adalah pengobatan
nonfarmasi andalan yang diterapkan pada pasien DM tipe 2. Modifikasi diet ini juga bertujuan
untuk melakukan kontrol terhadap terjadinya hipoglikemia pada pasien dan mencegah terjadinya
komplikasi yang berkelanjutan. Oleh karena itu menu diet pada pasien DM tidak perlu dibedakan
dengan diet yang dikonsumsi oleh anggota keluarga yang lainnya (Delamater, Marchante, &
Hernandez, 2015).
Perkembangan teknologi membuat aktivitas fisik pada seseorang menurun, padahal aktivitas
fisik seperti berjalan, memasak, serta olahraga ringan bermanfaat untuk meningkatkan ventilasi
paru basal yang dapat mencegah terjadinya komplikasi pada pasien DM. Olahraga ringan yang
dilakukan juga membantu dalam penyerapan glukosa otot dan menghambat peningkatan produksi
glukosa di hati, sehingga dapat mengontrol kadar gula darah dalam tubuh. Terapi farmakologis
juga dilakukan dalam penatalaksanaan DM. Pilihan terapi yang digunakan juga memperhatikan
risiko terjadinya komplikasi atau kelainan organ yang mungkin dapat terjadi. Pada organ hati,
metformin dan thiazolidinediones (TZDs) adalah agen penstabil insulin, dan dapat mereduksi
tingkat basal peningkatan produksi glukosa di hepatik basal. Dalam otot, TZD dapat
meningkatkan sensitifitas insulin Singh (2019) sedangkan metformin, paling dapat digunakan
sebagai penangkal insulin yang lemah. Terapi kombinasi TZD dengan metformin dapat
memberikan efek adiktif sepenuhnya untuk mengurangi kadar HbA1c (Singh & Kumar, 2019).

2.1.9 Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
a. Identitas: nama, usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, status pernikahan, suku bangsa,
agama, alamat, dan sumber pembiayaan
b. Keluhan utama: pada pasien DM keluhan utama yang biasanya terjadi adalah polifagia
(mudah lapar), polidipsia (mudah haus), dan poliuria (sering kencing).
c. Riwayat penyakit terdahulu: adanya riwayat obesitas dan pola hidup sedentary pada pasien
d. Riwayat penyakit keluarga: adanya anggota keluarga terutama orang tua yang memiliki
penyakit DM
2. Pemeriksaan Fisik
a. Sistem respirasi (B1): dapat ditemukan adanya gejala dispnea dan penggunaan otot bantu
pernapasan dikarenakan adanya penimbunan badan keton
b. Sistem kardiovaskuler (B2): adanya peningkatan denyut nadi dan pada gambaran EKG
dapat ditemukan gambaran bradikardia/takikardia
c. Sistem persarafan (B3): ditemukan adanya gejala neurologis berupa kesemutan di bagian
tubuh, hingga penurunan kesadaran pada pasien DM dengan komplikasi neurologis
d. Sistem perkemihan (B4): adanya gejala sering berkemih terutama pada malam hari
e. Sistem pencernaan (B5): adanya gejala mudah lapar dan haus, kadar gula darah yang tidak
stabil
f. Sistem muskuloskeletal (B6): adanya penurunan rentang gerak dan kelelahan setelah
melakukan aktivitas
3. Diagnosis Keperawatan
1) Pola napas tidak efektif b.d gangguan neuromuskular (komplikasi DM) d.d dispnea,
penggunaan otot bantu pernapasan (D.0005)
2) Ketidakstabilan kadar glukosa darah b.d gangguan toleransi kadar glukosa darah d.d lesu,
mengantuk, peningkatan kadar glukosa darah (D.0027)
3) Perfusi perifer tidak efektif b.d hiperglikemia d.d pengisian kapiler > 3 detik, penurunan
nadi perifer, akral dingin dan pucat (D.0009)
4) Gangguan eliminasi urin b.d kelemahan otot pelvis d.d urgensi, sering buang air kecil
(D.0040)
5) Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen d.d
peningkatan frekuensi jantung setelah beraktivitas, lemah, dan lelah (D.0056)
6) Risiko cedera d.d kejang, penurunan kesadaran (D.0136)

4. Rencana Intervensi Keperawatan

Diagnosis Keperawatan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan


Ketidakstabilan kadar Setelah dilakukan tindakan Manajemen Hiperglikemia
glukosa darah b.d gangguan keperawatan selama 3 x 24 (I.03115)
toleransi kadar glukosa darah jam diharapkan Observasi
d.d lesu, mengantuk, ketidakstabilan kadar glukosa 1. Monitor gula darah acak
peningkatan kadar glukosa darah teratasi dengan kriteria 2. Monitor tanda gejala
darah (D.0027) hasil: hiperglikemia
Kestabilan kadar glukosa 3. Monitor intake dan output
darah (L.03022) cairan
1. Kadar glukosa dalam Terapeutik
darah membaik (5) 4. Memberikan asupan
2. Pusing menurun (5) cairan oral
3. Keluhan lapar menurun Edukasi
(5) 5. Anjurkan melakukan
4. Rasa haus menurun (5) olahraga ringan secara
5. Koordinasi gerakan baik rutin seperti berjalan kaki
(5) atau senam
Diagnosis Keperawatan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan
6. Mengajarkan manajemen
diabetes (patuh obat dan
diet)
Kolaborasi
7. Kolaborasi pemberian
obat antihiperglikemia

Perfusi perifer tidak efektif Setelah dilakukan tindakan Perawatan sirkulasi (I. 02079)
b.d hiperglikemia d.d keperawatan selama 3 x 24 Observasi
pengisian kapiler > 3 detik, jam diharapkan perfusi 1. Periksa sirkulasi perifer
penurunan nadi perifer, akral perifer tidak efektif teratasi secara berkala
dingin dan pucat (D.0009) dengan kriteria hasil: 2. Identifikasi faktor risiko
Perfusi perifer (L.02011) gangguan sirkulasi
1. Denyut nadi perifer 3. Monitor panas,
meningkat (5) kemerahan, nyeri, atau
2. Warna kulit pucat bengkak pada ekstremitas
menurun (5) Terapeutik
3. Pengisian kapiler darah 4. Melakukan pencegahan
(CRT) membaik (5) infeksi
4. Akral dingin menurun (5) 5. Melakukan perawatan
5. Tekanan darah membaik kaki dan kuku
(5) 6. Melakukan hidrasi
Edukasi
7. Anjurkan melakukan
perawatan kulit yang tepat
untuk meningkatkan
hidrasi
8. Informasikan tanda gejala
darurat yang harus
dilaporkan (misalnya: luka
yang tidak kunjung
sembuh, hilang rasa,
kesemutan terus menerus)

Intoleransi aktivitas b.d Setelah dilakukan tindakan Terapi Aktivitas (I. 05186)
ketidakseimbangan antara keperawatan selama 3 x 24 Observasi
suplai dan kebutuhan oksigen jam diharapkan intoleransi 1. Identifikasi kemampuan
d.d peningkatan frekuensi aktivitas teratasi dengan berpartisipasi dalam
kriteria hasil: aktivitas tertentu
Diagnosis Keperawatan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan
jantung setelah beraktivitas, Toleransi Aktivitas (L. 2. Monitor respon
lemah, dan lelah (D.0056) 05047) emosional, fisik, sosial,
1. Frekuensi nadi setelah dan spiritual terhadap
aktivitas membaik (5) aktivitas
2. Kemudahan dalam Terapeutik
melaksanakan aktivitas 3. Fasilitasi memilih
sehari-hari meningkat (5) aktivitas dan tetapkan
3. Kekuatan tubuh tujuan aktivitas yang
meningkat (5) konsisten sesuai
4. Keluhan lelah dan lemah kemampuan
menurun (5) 4. Fasilitasi aktivitas motorik
5. Dispnea saat dan setelah untuk merelaksasi otot
aktivitas menurun (5) 5. Jadwalkan aktivitas dalam
rutinitas sehari-hari
Edukasi
6. Ajarkan cara melakukan
aktivitas yang dipilih
DAFTAR PUSTAKA

Adnan, E., Rahman, I. A., & Faridin, H. P. (2019). Relationship between insulin resistance,
metabolic syndrome components and serum uric acid. Diabetes and Metabolic Syndrome:
Clinical Research and Reviews, 13(3), 2158–2162. doi: 10.1016/j.dsx.2019.04.001
Aman, A. M., Rasyid, H., Bakri, S., & Patellongi, I. J. (2018). The Association Between Parents
History of Type 2 Diabetes with Metabolic Syndrome Component and Insulin Resistance in
Non-Diabetic Young Adult Male. Acta Medica Indonesiana, 50(4), 309–313. Retrieved from
https://www.scopus.com/inward/record.uri?eid=2-s2.0-
85059829636&partnerID=40&md5=21a5d46291b50ea7a278382c08af003c
Aroda, V. R., Christophi, C. A., Edelstein, S. L., Zhang, P., Herman, W. H., Barrett-Connor, E.,
… Zhuo, X. (2015). The effect of lifestyle intervention and metformin on preventing or
delaying diabetes among women with and without gestational diabetes: the Diabetes
Prevention Program outcomes study 10-year follow-up. The Journal of Clinical
Endocrinology & Metabolism, 100(4), 1646–1653.
Asiimwe, D., Mauti, G. O., & Kiconco, R. (2020). Prevalence and Risk Factors Associated with
Type 2 Diabetes in Elderly Patients Aged 45-80 Years at Kanungu District. Journal of
Diabetes Research, 2020.
Association, A. D. (2020). 2. Classification and Diagnosis of Diabetes: Standards of Medical Care
in Diabetes—2020. Diabetes Care, 43(Supplement 1), S14–S31.
Babu, G. R., Murthy, G. V. S., Ana, Y., Patel, P., Deepa, R., Neelon, S. E. B., … Reddy, K. S.
(2018). Association of obesity with hypertension and type 2 diabetes mellitus in India: A
meta-analysis of observational studies. World Journal of Diabetes, 9(1), 40.
Bahendeka, S., Wesonga, R., Mutungi, G., Muwonge, J., Neema, S., & Guwatudde, D. (2016).
Prevalence and correlates of diabetes mellitus in Uganda: a population‐based national survey.
Tropical Medicine & International Health, 21(3), 405–416.
Barber, L. (2020). High Rates of Diabetes and Hypertension amongst Non-Latinx African-
American Women as risk Factors for Low Birth Weight; Contributing Causes and Potential
Solutions.
Chen, M. E., & Hannon, T. S. (2020). Clinical Manifestations of Insulin Resistance in Youth. In
Insulin Resistance (pp. 3–17). Springer.
Chow, R. B., Lee, A., Kane, B. G., Jacoby, J. L., Barraco, R. D., Dusza, S. W., … Greenberg, M.
R. (2019). Effectiveness of the “Timed Up and Go”(TUG) and the Chair test as screening
tools for geriatric fall risk assessment in the ED. The American Journal of Emergency
Medicine, 37(3), 457–460.
Delamater, A. M., Marchante, A., & Hernandez, J. (2015). Psychological problems and
management of patients with diabetes mellitus. International Textbook of Diabetes Mellitus,
846–852.
Forbes, J. M., & Harcourt, B. (2015). Pathogenesis of diabetic microvascular complications.
International Textbook of Diabetes Mellitus, 873–888.
He, L., Tuomilehto, J., Qiao, Q., Söderberg, S., Daimon, M., Chambers, J., … Group, D. S. (2015).
Impact of classical risk factors of type 2 diabetes among Asian Indian, Chinese and Japanese
populations. Diabetes & Metabolism, 41(5), 401–409.
Hupfeld, C. J., & Olefsky, J. M. (2016). Type 2 diabetes mellitus: etiology, pathogenesis, and
natural history. Endocrinology: Adult and Pediatric, 41.
Jannah, M., & Maftukhah, N. A. (2018). Hubungan Perilaku Masyarakat, Jarak Pemukiman Dan
Kepadatan Lalat Dengan Kejadian Diare Pada Pemukiman Sekitar Peternakan Ayam Di
Kecamatan Rambang Muara Enim. Masker Medika, 6(2), 461–471.
Kholifah, S. N. (2016). Modul Bahan Ajar Cetak Keperawatan (Suparmi & A. Sosiawan, eds.).
Jakarta: Pusdik SDM Kesehatan.
Magliano, D. J., Harding, J. L., Cohen, K., Huxley, R. R., Davis, W. A., & Shaw, J. E. (2015).
Excess risk of dying from infectious causes in those with type 1 and type 2 diabetes. Diabetes
Care, 38(7), 1274–1280.
Rahman, S. (2016). Faktor-faktor yang mendasari stres pada lansia. Jurnal Penelitian Pendidikan,
16(1).
Ramachandran, A. (2014). Know the signs and symptoms of diabetes. The Indian Journal of
Medical Research, 140(5), 579.
Sangwung, P., Petersen, K. F., Shulman, G. I., & Knowles, J. W. (2020). Mitochondrial
Dysfunction, Insulin Resistance, and Potential Genetic Implications: Potential Role of
Alterations in Mitochondrial Function in the Pathogenesis of Insulin Resistance and Type 2
Diabetes. Endocrinology, 161(4), bqaa017.
Sevrita, I. E. (2019). GAMBARAN FAKTOR PENYEBAB RISIKO JATUH PADA LANSIA DI
BALAI PELAYANAN SOSIAL TRESNA WERDHA YOGYAKARTA UNIT BUDI LUHUR
KASONGAN BANTUL. Poltekkes Kemenkes Yogyakarta.
Shrivastva, A., Phadnis, S., Rao, K., & Gore, M. (2019). A study on knowledge and self-care
practices about Diabetes Mellitus among patients with type 2 Diabetes Mellitus attending
selected tertiary healthcare facilities in coastal Karnataka. Clinical Epidemiology and Global
Health.
Singh, A., & Kumar, A. (2019). Future Strategies in Management of Diabetes Mellitus: A Brief
Report. International Journal of Medical Reviews and Case Reports, 3(2), 81–86.
Tesauro, M., & Mazzotta, F. A. (2020). Pathophysiology of diabetes. In Transplantation,
Bioengineering, and Regeneration of the Endocrine Pancreas (pp. 37–47). Elsevier.
Weir, G. C., Gaglia, J., & Bonner-Weir, S. (2020). Inadequate β-cell mass is essential for the
pathogenesis of type 2 diabetes. The Lancet Diabetes & Endocrinology.

Anda mungkin juga menyukai