Anda di halaman 1dari 48

LAPORAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA DENGAN HIPERTENSI DI WILAYAH


KERJA PUSKESMAS NAIONI KELURAHAN NAIONI KECAMATAN ALAK
KOTA KUPANG NUSA TENGGARA TIMUR

OLEH
NAMA : Sri Afriani, S.Tr.Kep
NIM : PO 530321121560
KELAS    : PROGRAM STUDI PROFESI NERS 03

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES KUPANG


JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
2021
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berdasarkan definisi secara umum, seseorang dikatakan lansia apabila usianya 60
tahun ke atas, baik pria maupun wanita. Sedangkan Departeman kesehatan RI
menyebutkan seseorang dikatakan berusia lanjut usia dimulai dari usia 55 tahun keatas.
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) usia lanjut dimulai dari usia 60 tahun (Indriana,
2012; Kushariyadi, 2010; Wallace, 2007). Proses penuaan berdampak pada berbagai
aspek kehidupan, baik secara sosial, ekonomi, dan terutama kesehatan. Hal ini disebabkan
karena dengan semangkin bertambahnya usia, fungsi organ tubuh akan semakin menurun
baik karena faktor proses alami yang dapat menyebabkan perubahan anatomi, fisiologis,
dan biokimia pada jaringan tubuh yang dapat mempengaruhi fungsi, kemampuan badan
dan jiwa (Perry & Potter, 2005).
Hipertensi adalah apabila tekanan sistoliknya diatas 140 mmHg dan tekanan
diastolik diatas 90 mmHg. Hipertensi merupakan penyebab utama gagal jantung, stroke,
dan gagal ginjal. Disebut sebagai “pembunuh diam-diam“ karena penderita hipertensi
sering tidak menampakan gejala (Brunner & Suddarth, 2002). Penyakit ini menjadi salah
satu masalah kesehatan utama di Indonesia maupun dunia sebab diperkirakan sekitar 80%
kenaikan kasus hipertensi terutama terjadi di Negara berkembang. pada tahun 2000
terdapat 639 kasus hipertensi diperkirakan meningkat menjadi 1,15 miliar kasus di tahun
2025. Sedangkan hipertensi di Indonesia menunjukan bahwa di daerah pedesaan masih
banyak penderita hipertensi yang belum terjangkau oleh layanan kesehatan dikarenakan
tidak adanya keluhan dari sebagian besar penderita hipertensi (Adriansyah, 2012).
Ironinya, diperkirakan ada 76% kasus hipertensi di masyarakat yang belum terdiagnosis,
artinya penderitanya tidak mengetahui bahwa dirinya mengidap penyakit ini. Dari 31,7%
prevalensi hipertensi, diketahui yang sudah memiliki tekanan darah tinggi berdasarkan
diagnosis tenaga kesehatan adalah 7,2% dan kasus yang minum obat hipertensi 0,4%. Hal
ini menunjukkan bahwa 76% masyarakat belum mengetahui telah menderita hipertensi
Artinya banyak sekali kasus hipertensi tetapi sedikit sekali yang terkontrol (Adib, 2012).
Hasil Riset Kesehatan Dasar menunjukkan prevelensi hipertensi sebanyak 31,7%.
Hipertensi menjadi salah satu penyebab kematian utama di perkotaan maupun perdesaan
pada usia 55-64 tahun (Rosid, 2012). Data statistik WHO (word Hearld Organization)
melaporkan hingga tahun 2018 terdapat satu milyar orang di dunia menderita hipertensi
dan diperkirakan sekitar 7,5 juta orang atau 12,8% kematian dari seluruh total kematian
yang disebabkan oleh penyakit ini, tercatat 45% kematian akibat jantung koroner dan
51% akibat stroke yang juga disebabkan oleh hopertensi. Menurut American Haert
Association (2018) tercatat sekitar 77,9 juta orang di amerika serikat dengan
perbandingan 1 dari 3 orang dewasa menderita hipertensi. Jumlah ini diperkirakan akan
meningkat pada tahun 2030 sekitar 83,2 juta orang atau 7,2% . Sementara itu menurut
National Health Nutrition Examination Survey (NHNES), di amerika orang dewasa
dengan hipertensi pada tahun 2016-2018 tercatat sekitar 39-51% hal ini menunjukan
terjadinya peningkatan sekitar 15 juta orang dari total 58-65 juga menderita hipertensi
(Triyanto, 2014).
Angka kejadian hipertensi di indonesia menurut riset Kesehatan Dasar Tahun 2017
menunjukan bahwa prevalensi hipertensi di indonesia berdasarkan pengukuran tekanan
darah mengalami peningkatan 5,9%, dari 25,8% menjadi 31,7% dari total penduduk
dewasa. Berdasarkan pengukuran sampel umur lebih dari 18 tahun prevelansi hipertensi
mengalami peningkatan yakni 7,6% pada tahun 2015 dan 9,5% tahun 2017 dengan total
presentase sebesar 25,8%. Prevelansi hipertensi tertinggi di Bangka Belitung dengan
presentase 25,8%, kalimantan selatan 30,8%, kalimantan timur 29,6%, jawa barat 29,5%
(Riskesdas, 2018).
1.2 Tujuan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu mengaplikasikan konsep dasar keperawatan gerontik dan juga
asuhan keperawatan lansia secara holistic dan komprehensif yang berfokus pada
pelayanan pada anggota keluarga yang mempunyai masalah penyakit menua secara
langsung pada keluarga di tempat tinggal masing-masing.
2. Tujuan Khusus
a. Mampu melakukan pengkajian keperawatan gerontik pada lansia dengan masalah
hipertensi
b. Mampu merumuskan diagnosa keperawatan gerontik pada lansia dengan masalah
hipertensi
c. Mampu menyusun rencana intervensi keperawatan gerontik pada lansia dengan
masalah hipertensi
d. Mampu melaksanakan implementasi keperawatan gerontik pada lansia dengan
masalah hipertensi
e. Mampu melaksanakan evaluasi keperawatan gerontik pada lansia dengan masalah
hipertensi
1.3 Manfaat
a. Bagi keluarga
Keluarga mampu mengetahui bentuk penanganan dan pencegahan terhadap penyakit
hipertensi.
b. Bagi institusi
Sebagai bentuk aplikasi ilmu pengetahuan khususnya ilmu pengetahuan keperawatan
pada lansia.
c. Bagi mahasiswa
Dapat menjadi pembelajaran bagi mahasiswa terkait pengelolaan pelayanan kesehatan
pada lansia, dapat ikut serta dalam memberikan pendidikan kesehatan terhadap pasien
dan keluarga terkait dengan masalah kesehatan yang dialami pasien.
PROFIL PUSKESMAS NAIONI

1. Letak Geografis

Puskesmas Naioni terletak di kelurahan Naioni,Kecamatan Alak,Kota Kupang, Propinsi


Nusa Tenggara Timur. Wilayah kerja Puskesmas Naioni mencakup 3 ( Tiga ) kelurahan
dalam wilayah kecamatan Alak dengan Luas wilayah kerja sebesar ± 52,83 km 2.  Wilayah
kerja Puskesmas Naioni mencakup seluruh penduduk yang berdomisili di 3 kelurahan di
kecamatan Alak yaitu Kelurahan Naioni, Kelurahan manulai II dan Kelurahan Batuplat.

2. Batas Wilayah

Adapun batas-batas wilayah kerja UPTD  Puskesmas Naioni adalah :


- Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Manulai I
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Bone
- Sebelah Timur berbatasan dengan Oenesu
- Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Fatukoa

Tugas tugas UPTD Puskesmas Naioni :
1. Mengumpulkan, mengolah data dan informasi, menginventarisasi permasalahan serta
melaksanakan pemecahan permasalahan yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan
masyarakat.
2. Merencanakan, melaksanakan, mengendalikan, mengevaluasi dan melaporkan
kegiatan Puskesmas;menyiapkan bahan kebijakan, bimbingan dan pembinaan serta
petunjuk teknis sesuai bidang tugasnya.
3. Melaksanakan upaya kesehatan masyarakat.
4. Melaksanakan upaya kesehatan perorangan.
5. Melaksanakan pelayanan upaya kesehatan/kesejahteraan ibu dan anak, Keluarga
Berencana, perbaikan gizi, perawatan kesehatan masyarakat, pencegahan dan
pemberantasan penyakit, pembinaan kesehatan lingkungan, penyuluhan kesehatan
masyarakat, usaha kesehatan sekolah, kesehatan olah raga, pengobatan termasuk
pelayanan darurat karena kecelakaan, kesehatan gigi dan mulut, laboratorium
sederhana, upaya kesehatan kerja, kesehatan usia lanjut, upaya kesehatan jiwa,
kesehatan mata dan kesehatan khusus lainnya serta pembinaan pengobatan tradisional.

6. Melaksanakan pembinaan upaya kesehatan, peran serta masyarakat, koordinasi semua


upaya kesehatan, sarana pelayanan kesehatan, pelaksanaan rujukan medik,
pembantuan sarana dan pembinaan teknis kepada Puskesmas Pembantu, unit
pelayanan kesehatan swasta serta kader pembangunan kesehatan;
7. Melaksanakan pengembangan upaya kesehatan dalam hal pengembangan kader
pembangunan di bidang kesehatan dan pengembangan kegiatan swadaya masyarakat
di wilayah kerjanya;
8. Melaksanakan pencatatan dan pelaporan dalam rangka sistem informasi kesehatan;
9. Melaksanakan ketatausahaan dan urusan rumah tangga UPT.
10. Melaksanakan analisis dan pengembangan kinerja UPTD.
11. Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Kepala Dinas.
Fungsi UPTD Puskesmas Naioni :
UPTD Puskesmas mempunyai fungsi pelayanan kesehatan strata pertama, pemberdayaan
masyarakat di bidang kesehatan dan penggerak pembangunan berwawasan kesehatan,
membina peran serta masyarakat diwilayah kerjanya dalam rangka meningkatkan
kemampuan untuk hidup sehat, memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan
terpadu.
Fungsi – fungsi  tersebut dilaksanakan dengan cara sebagai berikut :
1. Merangsang masyarakat termasuk swasta untuk melaksanakan kegiatan dalam rangka
menolong dirinya sendiri.
2. Memberikan petunjuk kepada masyarakat tentang bagaimana menggali dan
menggunakan sumberdaya yang ada secara efektif dan efisien.
3. Memberi bantuan yang bersifat bimbingan teknis materi dan rujukan medis maupun
rujukan kesehatan kepada masyarakat dengan ketentuan bantuan tersebut tidak
menimbulkan ketergantungan.
4. Memberi pelayanan kesehatan langsung kepada masyarakat.
5. Bekerjasama dengan sektor-sektor yang bersangkutan dalam melaksanakan program
Puskesmas.
3. Visi Misi Puskesmas Naioni
Visi :
Terwujudnya Kota Kupang Yang Layak Huni, Cerdas, Mandiri Dan Sejahtera dengan
Tatakelola Bebas KKN

Misi :
Mengembangkan Sumber Daya Manusia (SDM) Yang Sehat, Cerdas, Berakhlak,
Profesional dan Berdaya Saing (KUPANG SEHAT - CERDAS)
Motto Pelayanan :
Anda Sehat, Kami Bangga.

BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1 Konsep Dasar Proses Menua
A. Definisi
Tahap usia lanjut adalah tahap di mana terjadi penurunan fungsi tubuh.
Penuaan merupakan perubahan kumulatif pada makhluk hidup, termasuk tubuh,
jaringan dan sel, yang mengalami penurunan kapasitas fungsional. Pada manusia,
penuaan dihubungkan dengan perubahan degeneratif pada kulit, tulang jantung,
pembuluh darah, paru-paru, saraf dan jaringan tubuh lainya. Kemampuan regeneratif
pada lansia terbatas, mereka lebih rentan terhadap berbagai penyakit.
Ada beberapa teori tentang penuaan, sebagaimana dikemukakan oleh
(Maryam, 2008), yaitu teori biologi, teori psikologi, teori kultural, teori sosial, teori
genitika, teori rusaknya sistem imun tubuh, teori menua akibat metabolisme dan teori
kejiwaan sosial. Berdasarkan pengetahuan yang berkembang dalam pembahasan
tentang teori proses menjadi tua (menua) yang hingga saat ini di anut oleh
gerontologis, maka dalam tingkatan kompetensinya, perawat perlu mengembangkan
konsep dan teori keperawatan sekaligus praktik keperawatan yang didasarkan atas
teori proses menjadi tua (menua) tersebut. Postulat yang selama ini di yakini oleh
para ilmuan perlu implikasikan dalam tataran nyata praktik keperawatan, sehingga
praktik keperawatan benar-benar mampu memberi manfaat bagi kehidupan
masyarakat. Perkembangan ilmu keperawatan perlu diikutip dengan pengembangan
praktik keperawatan, yang pada akhirnya mampu memberikan kontribusi terhadap
masalah masalah kesehatan yang dihadapi oleh masyarakat. Secara umum, implikasi/
praktik keperawatan yang dapat dikembangkan dengan proses menua dapat
didasarkan dapat teori menua/secara biologis, psikologis, dan sosial. Berkut adalah
uraian bentuk-bentuk aplikasi asuhan keperawatan yang diberikan kepada individu
yang negalami proses penuaan, dengan didasarkan pada teori yang mendasari prose
menua itu sendiri. Iplikasi keperawatan yang diberikan di dasarkan atau asumsi
bahwa tindkan keperawatan yang diberikan lebih di tekankan pada upaya untuk
memodifikasi fakotr-faktor secara teoritis di anggap dapat mempercepat prose
penuaan. Istilah lain yang digunakan untuk menunjukkan teori menua adalah
senescence. Menurut Sunaryo (2016), senescence diartikan sebagai perubahan
perilaku sesuai usia akibat penurunan kekuatan dan kemampuan adaptasi.

B. Teori proses menua


Teori-teori biologi :
1. Teori genetik dan mutasi (somatic mutatie theory) Menurut teori ini menua telah
terprogram secara genetik untuk spesies – spesies tertentu. Menua terjadi sebagai
akibat dari perubahan biokimia yang diprogram oleh molekul – molekul / DNA
dan setiap sel pada saatnya akan mengalami mutasi. Sebagai contoh yang khas
adalah mutasi dari sel – sel kelamin (terjadi penurunan kemampuan fungsional
sel)
2. Pemakaian dan rusak Kelebihan usaha dan stres menyebabkan sel – sel tubuh
lelah (rusak)
3. Reaksi dari kekebalan sendiri (auto immune theory) Di dalam proses
metabolisme tubuh, suatu saat diproduksi suatu zat khusus. Ada jaringan tubuh
tertentu yang tidak tahan terhadap zat tersebut sehingga jaringan tubuh menjadi
lemah dan sakit.
4. Teori “immunology slow virus” (immunology slow virus theory) Sistem immune
menjadi efektif dengan bertambahnya usia dan masuknya virus kedalam tubuh
dapat menyebabkan kerusakan organ tubuh.
5. Teori stres Menua terjadi akibat hilangnya sel-sel yang biasa digunakan tubuh.
Regenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan kestabilan lingkungan internal,
kelebihan usaha dan stres menyebabkan sel-sel tubuh lelah terpakai.
6. Teori radikal bebas Radikal bebas dapat terbentuk dialam bebas, tidak stabilnya
radikal bebas (kelompok atom) mengakibatkan osksidasi oksigen bahan-bahan
organik seperti karbohidrat dan protein. Radikal bebas ini dapat menyebabkan
sel-sel tidak dapat regenerasi
7. Teori rantai silang Sel-sel yang tua atau usang , reaksi kimianya menyebabkan
ikatan yang kuat, khususnya jaringan kolagen. Ikatan ini menyebabkan
kurangnya elastis, kekacauan dan hilangnya fungsi.
8. Teori program Kemampuan organisme untuk menetapkan jumlah sel yang
membelah setelah sel-sel tersebut mati.

Teori kejiwaan social :


1. Aktivitas atau kegiatan (activity theory) Lansia mengalami penurunan jumlah
kegiatan yang dapat dilakukannya. Teori ini menyatakan bahwa lansia yang
sukses adalah mereka yang aktif dan ikut banyak dalam kegiatan sosial.
2. Ukuran optimum (pola hidup) dilanjutkan pada cara hidup dari lansia.
Mempertahankan hubungan antara sistem sosial dan individu agar tetap stabil dari
usia pertengahan ke lanjut usia.
3. Kepribadian berlanjut (continuity theory) Dasar kepribadian atau tingkah laku
tidak berubah pada lansia. Teori ini merupakan gabungan dari teori diatas. Pada
teori ini menyatakan bahwa perubahan yang terjadi pada seseorang yang lansia
sangat dipengaruhi oleh tipe personality yang dimiliki.
4. Teori pembebasan (disengagement theory) Teori ini menyatakan bahwa dengan
bertambahnya usia, seseorang secara berangsur-angsur mulai melepaskan diri dari
kehidupan sosialnya. Keadaan ini mengakibatkan interaksi sosial lanjut usia
menurun, baik secara kualitas maupun kuantitas sehingga sering terjaadi
kehilangan ganda (triple loss), yakni : a) Kehilangan peran b) Hambatan kontak
sosial c) Berkurangnya kontak komitmen.
Sedangkan Teori penuaan secara umum menurut Ma’rifatul (2011) dapat
dibedakan menjadi dua yaitu teori biologi dan teori penuaan psikososial:
a. Teori biologi
1. Teori seluler Kemampuan sel hanya dapat membelah dalam jumlah tertentu dan
kebanyakan sel–sel tubuh “diprogram” untuk membelah 50 kali. Jika seldari
tubuh lansia dibiakkanlalu diobrservasi di laboratorium terlihat jumlah sel–sel
yang akan membelah sedikit. Pada beberapa sistem, seperti sistem saraf, sistem
musculoskeletal dan jantung, sel pada jaringan dan organ dalam sistem itu tidak
dapat diganti jika sel tersebut dibuang karena rusak atau mati. Oleh karena itu,
sistem tersebut beresiko akan mengalami proses penuaan dan mempunyai
kemampuan yang sedikit atau tidak sama sekali untuk tumbuh dan memperbaiki
diri (Azizah, 2011)
2. Sintesis Protein (Kolagen dan Elastis) Jaringan seperti kulit dan kartilago
kehilangan elastisitasnya pada lansia. Proses kehilangan elastisitas ini
dihubungkan dengan adanya perubahan kimia pada komponen protein dalam
jaringan tertentu. Pada lansia beberapa protein (kolagen dan kartilago, dan elastin
pada kulit) dibuat oleh tubuh dengan bentuk dan struktur yang berbeda dari
protein yang lebih muda. Contohnya banyak kolagen pada kartilago dan elastin
pada kulit yang kehilangan fleksibilitasnya serta menjadi lebih tebal, seiring
dengan bertambahnya usia. Hal ini dapat lebih mudah dihubungkan dengan
perubahan permukaan kulit yang kehilangan elastisitanya dan cenderung
berkerut, juga terjadinya penurunan mobilitas dan kecepatan pada system
musculoskeletal (Azizah dan Lilik, 2011).
3. Keracunan Oksigen Teori ini tentang adanya sejumlah penurunan kemampuan sel
di dalam tubuh untuk mempertahankan diri dari oksigen yang mengandung zat
racun dengan kadar yang tinggi, tanpa mekanisme pertahanan diri tertentu.
Ketidakmampuan mempertahankan diri dari toksin tersebut membuat struktur
membran sel mengalami perubahan serta terjadi kesalahan genetik. Membran sel
tersebut merupakan alat sel supaya dapat berkomunikasi dengan lingkungannya
dan berfungsi juga untuk mengontrol proses pengambilan nutrisi dengan proses
ekskresi zat toksik di dalam tubuh. Fungsi komponen protein pada membran sel
yang sangat penting bagi proses tersebut, dipengaruhi oleh rigiditas membran.
Konsekuensi dari kesalahan genetik adalah adanya penurunan reproduksi sel oleh
mitosis yang mengakibatkan jumlah sel anak di semua jaringan dan organ
berkurang. Hal ini akan menyebabkan peningkatan kerusakan sistem tubuh
(Azizah dan Lilik, 2011).
4. Sistem Imun Kemampuan sistem imun mengalami kemunduran pada masa
penuaan. Walaupun demikian, kemunduran kemampuan sistem yang terdiri dari
sistem limfatik dan khususnya sel darah putih, juga merupakan faktor yang
berkontribusi dalam proses penuaan. Mutasi yang berulang atau perubahan
protein pasca tranlasi, dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem
imun tubuh mengenali dirinya sendiri. Jika mutasi isomatik menyebabkan
terjadinya kelainan pada antigen permukaan sel, maka hal ini akan dapat
menyebabkan sistem imun tubuh menganggap sel yang mengalami perubahan
tersebut sebagai sel asing dan menghancurkannya. Perubahan inilah yang menjadi
dasar terjadinya peristiwa autoimun. Disisi lain sistem imun tubuh sendiri daya
pertahanannya mengalami penurunan pada proses menua, daya serangnya
terhadap sel kanker menjadi menurun, sehingga sel kanker leluasa membelah-
belah (Azizah dan Ma’rifatul L., 2011).
5. Teori Menua Akibat Metabolisme Menurut Mc. Kay et all., (1935) yang dikutip
Darmojo dan Martono (2004), pengurangan “intake” kalori pada rodentia muda
akan menghambat pertumbuhan dan memperpanjang umur. Perpanjangan umur
karena jumlah kalori tersebut antara lain disebabkan karena menurunnya salah
satu atau beberapa proses metabolisme. Terjadi penurunan pengeluaran hormon
yang merangsang pruferasi sel misalnya insulin dan hormon pertumbuhan.
b. Teori psikologis
1. Aktivitas atau Kegiatan (Activity Theory) Seseorang yang dimasa mudanya
aktif dan terus memelihara keaktifannya setelah menua. Sense of integrity
yang dibangun dimasa mudanya tetap terpelihara sampai tua. Teori ini
menyatakan bahwa pada lansia yang sukses adalah mereka yang aktif dan ikut
banyak dalam kegiatan sosial (Azizah dan Ma’rifatul, L., 2011).
2. Kepribadian berlanjut (Continuity Theory) Dasar kepribadian atau tingkah
laku tidak berubah pada lansia. Identity pada lansia yang sudah mantap
memudahkan dalam memelihara hubungan dengan masyarakat, melibatkan
diri dengan masalah di masyarakat, kelurga dan hubungan interpersonal
(Azizah dan Lilik M, 2011).
3. Teori Pembebasan (Disengagement Theory) Teori ini menyatakan bahwa
dengan bertambahnya usia, seseorang secara pelan tetapi pasti mulai
melepaskan diri dari kehidupan sosialnya atau menarik diri dari pergaulan
sekitarnya (Azizah dan Lilik M, 2011).
c. Factor-faktor yang mempengaruhi ketuaan
1. Hereditas atau ketuaan genetik
2. Nutrisi atau makanan
3. Status kesehatan
4. Pengalaman hidup
5. Lingkungan
6. Stres

C. Perubahan Yang Terjadi Pada Lansia


Semakin bertambahnya umur manusia, terjadi proses penuaan secara degeneratif
yang akan berdampak pada perubahan-perubahan pada diri manusia, tidak hanya
perubahan fisik, tetapi juga kognitif, perasaan, sosial dan sexual (Azizah dan Lilik M,
2011, 2011).
a. Perubahan fisik
1. Sistem Indra Sistem pendengaran; Prebiakusis (gangguan pada pendengaran)
oleh karena hilangnya kemampuan (daya) pendengaran pada telinga dalam,
terutama terhadap bunyi suara atau nada-nada yang tinggi, suara yang tidak
jelas, sulit dimengerti kata-kata, 50% terjadi pada usia diatas 60 tahun.
2. Sistem Intergumen: Pada lansia kulit mengalami atropi, kendur, tidak elastis
kering dan berkerut. Kulit akan kekurangan cairan sehingga menjadi tipis dan
berbercak. Kekeringan kulit disebabkan atropi glandula sebasea dan glandula
sudoritera, timbul pigmen berwarna coklat pada kulit dikenal dengan liver
spot.
3. Sistem Muskuloskeletal Perubahan sistem muskuloskeletal pada lansia:
Jaaringan penghubung (kolagen dan elastin), kartilago, tulang, otot dan sendi..
Kolagen sebagai pendukung utama kulit, tendon, tulang, kartilago dan
jaringan pengikat mengalami perubahan menjadi bentangan yang tidak
teratur. Kartilago: jaringan kartilago pada persendian menjadi lunak dan
mengalami granulasi, sehingga permukaan sendi menjadi rata. Kemampuan
kartilago untuk regenerasi berkurang dan degenerasi yang terjadi cenderung
kearah progresif, konsekuensinya kartilago pada persendiaan menjadi rentan
terhadap gesekan. Tulang: berkurangnya kepadatan tulang setelah diamati
adalah bagian dari penuaan fisiologi, sehingga akan mengakibatkan
osteoporosis dan lebih lanjut akan mengakibatkan nyeri, deformitas dan
fraktur
4. Sistem kardiovaskuler Perubahan pada sistem kardiovaskuler pada lansia
adalah massa jantung bertambah, ventrikel kiri mengalami hipertropi
sehingga peregangan jantung berkurang, kondisi ini terjadi karena perubahan
jaringan ikat. Perubahan ini disebabkan oleh penumpukan lipofusin,
klasifikasi SA Node dan jaringan konduksi berubah menjadi jaringan ikat.
5. Sistem respirasi Pada proses penuaan terjadi perubahan jaringan ikat paru,
kapasitas total paru tetap tetapi volume cadangan paru bertambah untuk
mengkompensasi kenaikan ruang paru, udara yang mengalir ke paru
berkurang. Perubahan pada otot, kartilago dan sendi torak mengakibatkan
gerakan pernapasan terganggu dan kemampuan peregangan toraks berkurang.
6. Pencernaan dan Metabolisme Perubahan yang terjadi pada sistem pencernaan,
seperti penurunan produksi sebagai kemunduran fungsi yang nyata karena
kehilangan gigi, indra pengecap menurun, rasa lapar menurun (kepekaan rasa
lapar menurun), liver (hati) makin mengecil dan menurunnya tempat
penyimpanan, dan berkurangnya aliran darah.
7. Sistem perkemihan Pada sistem perkemihan terjadi perubahan yang
signifikan. Banyak fungsi yang mengalami kemunduran, contohnya laju
filtrasi, ekskresi, dan reabsorpsi oleh ginjal.
8. Sistem saraf Sistem susunan saraf mengalami perubahan anatomi dan atropi
yang progresif pada serabut saraf lansia. Lansia mengalami penurunan
koordinasi dan kemampuan dalam melakukan aktifitas sehari-hari.
9. Sistem reproduksi Perubahan sistem reproduksi lansia ditandai dengan
menciutnya ovary dan uterus. Terjadi atropi payudara. Pada laki-laki testis
masih dapat memproduksi spermatozoa, meskipun adanya penurunan secara
berangsur-angsur.
b. Perubahan psikososial
1. Kesepian Terjadi pada saat pasangan hidup atau teman dekat meninggal terutama
jika lansia mengalami penurunan kesehatan, seperti menderita penyakit fisik berat,
gangguan mobilitas atau gangguan sensorik terutama pendengaran.
2. Duka cita (Bereavement) Meninggalnya pasangan hidup, teman dekat, atau
bahkan hewan kesayangan dapat meruntuhkan pertahanan jiwa yang telah rapuh
pada lansia. Hal tersebut dapat memicu terjadinya gangguan fisik dan kesehatan.
3. Depresi Duka cita yang berlanjut akan menimbulkan perasaan kosong, lalu diikuti
dengan keinginan untuk menangis yang berlanjut menjadi suatu episode depresi.
Depresi juga dapat disebabkan karena stres lingkungan dan menurunnya
kemampuan adaptasi.
4. Gangguan cemas Dibagi dalam beberapa golongan: fobia, panik, gangguan cemas
umum, gangguan stress setelah trauma dan gangguan obsesif kompulsif,
gangguangangguan tersebut merupakan kelanjutan dari dewasa muda dan
berhubungan dengan sekunder akibat penyakit medis, depresi, efek samping obat,
atau gejala penghentian mendadak dari suatu obat.
5. Parafrenia Suatu bentuk skizofrenia pada lansia, ditandai dengan waham (curiga),
lansia sering merasa tetangganya mencuri barang-barangnya atau berniat
membunuhnya. Biasanya terjadi pada lansia yang terisolasi/diisolasi atau menarik
diri dari kegiatan sosial.
6. Sindroma Diogenes Suatu kelainan dimana lansia menunjukkan penampilan
perilaku sangat mengganggu. Rumah atau kamar kotor dan bau karena lansia
bermain-main dengan feses dan urin nya, sering menumpuk barang dengan tidak
teratur. Walaupun telah dibersihkan, keadaan tersebut dapat terulang kembali.
Adapun perubahan psikososial lainnya, meliputi :
1. Penurunan Kondisi Fisik Setelah orang memasuki masa lansia umumnya mulai
dihinggapi adanya kondisi fisik yang bersifat patologis berganda (multiple
pathology), misalnya tenaga berkurang, enerji menurun, kulit makin keriput, gigi
makin rontok, tulang makin rapuh, dsb. Secara umum kondisi fisik seseorang yang
sudah memasuki masa lansia mengalami penurunan secara berlipat ganda. Hal ini
semua dapat menimbulkan gangguan atau kelainan fungsi fisik, psikologik
maupun sosial, yang selanjutnya dapat menyebabkan suatu keadaan
ketergantungan kepada orang lain. Seorang lansia ansia agar dapat menjaga
kondisi fisik yang sehat, perlu menyelaraskan kebutuhan-kebutuhan fisik dengan
kondisi psikologik maupun sosial, dengan cara mengurangi kegiatan yang bersifat
melelahkan secara fisik. Seorang lansia harus mampu mengatur cara hidupnya
dengan baik, misalnya makan, tidur, istirahat dan bekerja secara seimbang.
2. Penurunan Fungsi dan Potensi Seksual Penurunan fungsi dan potensi seksual pada
lansia sering kali berhubungan dengan berbagai gangguan fisik seperti: Gangguan
jantung, gangguan metabolism (diabetes millitus, vaginitis), baru selesai operasi:
prostatektomi), kekurangan gizi, karena pencernaan kurang sempurna atau nafsu
makan sangat kurang, penggunaan obat-obat tertentu, seperti antihipertensi,
golongan steroid, tranquilizer.
3. Perubahan Aspek Psikososial Pada umumnya setelah seorang lansia mengalami
penurunan fungsi kognitif dan psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses
belajar, persepsi, pemahaman, pengertian, perhatian dan lain-lain sehingga
menyebabkan reaksi dan perilaku lansia menjadi makin lambat. Sementara fungsi
psikomotorik (konatif) meliputi hal-hal yang berhubungan dengan dorongan
kehendak seperti gerakan, tindakan, koordinasi, yang berakibat bahwa lansia
menjadi kurang cekatan. Penurunan kedua fungsi tersebut, lansia juga mengalami
perubahan aspek psikososial yang berkaitan dengan keadaan kepribadian lansia.
Beberapa perubahan tersebut dapat dibedakan berdasarkan 5 tipe kepribadian
lansia sebagai berikut :
a) Tipe Kepribadian Konstruktif (Construction personality), biasanya tipe ini
tidak banyak mengalami gejolak, tenang dan mantap sampai sangat tua.
b) Tipe Kepribadian Mandiri (Independent personality), pada tipe ini ada
kecenderungan mengalami post power sindrome, apalagi jika pada masa
lansia tidak diisi dengan kegiatan yang dapat memberikan otonomi pada
dirinya.
c) Tipe Kepribadian Tergantung (Dependent personality), pada tipe ini
biasanya sangat dipengaruhi oleh kehidupan keluarga, apabila kehidupan
keluarga selalu harmonis maka pada masa lansia tidak bergejolak, tetapi
jika pasangan hidup meninggal maka pasangan yang ditinggalkan akan
menjadi merana, apalagi jika tidak segera bangkit dari kedukaannya.
d) Tipe Kepribadian Bermusuhan (Hostility personality), pada tipe ini
setelah memasuki lansia tetap merasa tidak puas dengan kehidupannya,
banyak keinginan yang kadangkadang tidak diperhitungkan secara
seksama sehingga menyebabkan kondisi ekonominya menjadi morat-
marit.
e) Tipe Kepribadian Kritik Diri (Self hate personality), pada lansia tipe ini
umumnya terlihat sengsara, karena perilakunya sendiri sulit dibantu orang
lain atau cenderung membuat susah dirinya.
4. Perubahan yang berkaitan dengan pekerjaan
Pada umumnya perubahan ini diawali ketika masa pensiun. Meskipun tujuan ideal
pensiun adalah agar para lansia dapat menikmati hari tua atau jaminan hari tua,
namun dalam kenyataannya sering diartikan sebaliknya, karena pensiun sering
diartikan sebagai kehilangan penghasilan, kedudukan, jabatan, peran, kegiatan,
status dan harga diri. Reaksi setelah orang memasuki masa pensiun lebih
tergantung dari model kepribadiannya seperti yang telah diuraikan pada point tiga
di atas. Kenyataan ada menerima, ada yang takut kehilangan, ada yang merasa
senang memiliki jaminan hari tua dan ada juga yang seolah-olah acuh terhadap
pensiun (pasrah). Masing-masing sikap tersebut sebenarnya punya dampak bagi
masing-masing individu, baik positif maupun negatif. Dampak positif lebih
menenteramkan diri lansia dan dampak negatif akan mengganggu kesejahteraan
hidup lansia. Agar pensiun lebih berdampak positif sebaiknya ada masa persiapan
pensiun yang benar-benar diisi dengan kegiatan-kegiatan untuk mempersiapkan
diri, bukan hanya diberi waktu untuk masuk kerja atau tidak dengan memperoleh
gaji penuh. Persiapan tersebut dilakukan secara berencana, terorganisasi dan
terarah bagi masingmasing orang yang akan pensiun. Jika perlu dilakukan
assessment untuk menentukan arah minatnya agar tetap memiliki kegiatan yang
jelas dan positif. Untuk merencanakan kegiatan setelah pensiun dan memasuki
masa lansia dapat dilakukan pelatihan yang sifatnya memantapkan arah minatnya
masing-masing. Misalnya cara berwiraswasta, cara membuka usaha sendiri yang
sangat banyak jenis dan macamnya.
5. Perubahan dalam peran social di masyarakat
Akibat berkurangnya fungsi indera pendengaran, penglihatan, gerak fisik dan
sebagainya maka muncul gangguan fungsional atau bahkan kecacatan pada lansia.
Misalnya badannya menjadi bungkuk, pendengaran sangat berkurang, penglihatan
kabur dan sebagainya sehingga sering menimbulkan keterasingan. Hal itu
sebaiknya dicegah dengan selalu mengajak mereka melakukan aktivitas, selama
yang bersangkutan masih sanggup, agar tidak merasa terasing atau diasingkan.
Karena jika keterasingan terjadi akan semakin menolak untuk berkomunikasi
dengan orang lain dan kadang-kadang terus muncul perilaku regresi seperti mudah
menangis, mengurung diri, mengumpulkan barang-barang tak berguna serta
merengek-rengek dan menangis bila ketemu orang lain sehingga perilakunya
seperti anak kecil. Menghadapi berbagai permasalahan di atas pada umumnya
lansia yang memiliki keluarga masih sangat beruntung karena anggota keluarga
seperti anak, cucu, cicit, sanak saudara bahkan kerabat umumnya ikut membantu
memelihara (care) dengan penuh kesabaran dan pengorbanan. Namun bagi lansia
yang tidak punya keluarga atau sanak saudara karena hidup membujang, atau
punya pasangan hidup namun tidak punya anak dan pasangannya sudah
meninggal, apalagi hidup sendiri di perantauan, seringkali menjadi terlantar.

D. Masalah Yang Sering Terjadi Pada Lansia


Berbagai permasalahan yang berkaitan dengan pencapaian kesejahteraan lanjut usia,
antara lain:
a. Permasalahan umum :
1) Makin besar jumlah lansia yang berada dibawah garis kemiskinan.
2) Makin melemahnya nilai kekerabatan sehingga anggota keluarga yang berusia
lanjut kurang diperhatikan, dihargai dan dihormati.
3) Lahirnya kelompok masyarakat industry.
4) Masih rendahnya kuantitas dan kualitas tenaga profesional pelayanan lanjut
usia.
5) Belum membudaya dan melembaganya kegiatan pembinaan kesejahteraan
lansia.
b. Permasalahan khusus :
1) Berlangsungnya proses menua yang berakibat timbulnya masalah baik fisik,
mental maupun sosial.
2) Berkurangnya integrasi sosial lanjut usia.
3) Rendahnya produktivitas kerja lansia.
4) Banyaknya lansia yang miskin, terlantar dan cacat.
5) Berubahnya nilai sosial masyarakat yang mengarah pada tatanan masyarakat
individualistik.
6) Adanya dampak negatif dari proses pembangunan yang dapat mengganggu
kesehatan fisik lansia.

2.2 Konsep Dasar Penyakit (Hipertensi Pada Lansia)


A. Definisi
Hipertensi merupakan tekanan darah tinggi yang bersifat abnormal dan diukur
paling tidak pada tiga kesempatan yang berbeda. Seseorang dianggap mengalami
hipertensi apabila tekanan darahnya lebih tinggi dari 140/90 mmHg (Elizabeth dalam
Ardiansyah M., 2012).
Hipertensi dicirikan dengan peningkatan tekanan darah diastolik dan sistolik
yang intermiten atau menetap.Pengukuran tekanan darah serial 150/95 mmHg atau
lebih tinggi pada orang yang berusia diatas 50 tahun memastikan hipertensi. Insiden
hipertensi meningkat seiring bertambahnya usia. Hipertensi atau darah tinggi adalah
penyakit kelainan jantung dan pembuluh darah yang ditandai dengan peningkatan
tekanan darah. WHO (World Health Organization) memberikan batasan tekanan
darah normal adalah 140/90 mmHg, dan tekanan darah sama atau diatas 160/95
mmHg dinyatakan sebagai hipertensi. Batasan ini tidak membedakan antara usia dan
jenis kelamin. Hipertensi dapat didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana
tekanan sistoliknya di atas 140 mmHg dan diastolik di atas 90 mmHg. Pada populasi
lansia, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan
diastolik 90 mmHg (Gardner Samuel, 20018).
Klasifikasi hipertensi berdasarkan penyebabnya dapat dibedakan menjadi 2
golongan besar yaitu: hipertensi essensial (hipertensi primer) yaitu hipertensi yang
tidak diketahui penyebabnya dan hipertensi sekunder yaitu hipertensi yang di
sebabkan oleh penyakit lain. Menurut World Health Organization (dalam
Noorhidayah, S.A. 2016) klasifikasi hipertensi adalah :
a) Tekanan darah normal yaitu bila sistolik kurang atau sama dengan 140 mmHg
dan diastolik kurang atau sama dengan 90 mmHg.
b) Tekanan darah perbatasan (border line) yaitu bila sistolik 141-149 mmHg da n
diastolik 91-94 mmHg.
c) Tekanan darah tinggi (hipertensi) yaitu bila sistolik lebih besar atau sama dengan
160 mmHg dan diastolik lebih besar atau sama dengan 95 mmHg
B. Etiologi
Berdasarkan penyebab hipertensi dibagi menjadi 2 golongan (Ardiansyah M., 2012) :
1. Hipertensi primer (esensial) Hipertensi primer adalah hipertensi esensial atau
hiperetnsi yang 90% tidak diketahui penyebabnya. Beberapa faktor yang diduga
berkaitan dengan berkembangnya hipertensi esensial diantaranya :
a) Genetik Individu dengan keluarga hipertensi memiliki potensi lebih tinggi
mendapatkan penyakit hipertensi.
b) Jenis kelamin dan usia Lelaki berusia 35-50 tahun dan wanita yang telah
menopause berisiko tinggi mengalami penyakit hipertensi.
c) Diit konsumsi tinggi garam atau kandungan lemak. Konsumsi garam yang
tinggi atau konsumsi makanan dengan kandungan lemak yang tinggi
secara langsung berkaitan dengan berkembangnya penyakit hipertensi.
d) Berat badan obesitas Berat badan yang 25% melebihi berat badan ideal
sering dikaitkan dengan berkembangnya hipertensi.
e) Gaya hidup merokok dan konsumsi alkohol Merokok dan konsumsi
alkohol sering dikaitkan dengan berkembangnya hipertensi karena reaksi
bahan atau zat yang terkandung dalam keduanya.
2. Hipertensi sekunder Hipertensi sekunder adalah jenis hipertensi yang diketahui
penyebabnya. Hipertensi sekunder disebabkan oleh beberapa penyakit, yaitu :
a) Coarctationaorta, yaitu penyempitan aorta congenital yang mungkin
terjadi beberapa tingkat pada aorta toraksi atau aorta abdominal.
Penyembitan pada aorta tersebut dapat menghambat aliran darah sehingga
terjadi peningkatan tekanan darah diatas area kontriksi.
b) Penyakit parenkim dan vaskular ginjal. Penyakit ini merupakan penyakit
utama penyebab hipertensi sekunder. Hipertensi renovaskuler
berhubungan dengan penyempitan.
c) satu atau lebih arteri besar, yang secara langsung membawa darah ke
ginjal. Sekitar 90% lesi arteri renal pada pasien dengan hipertensi
disebabkan oleh aterosklerosis atau fibrous dyplasia (pertumbuhan
abnormal jaringan fibrous). Penyakit parenkim ginjal terkait dengan
infeksi, inflamasi, serta perubahan struktur serta fungsi ginjal.
d) Penggunanaan kontrasepsi hormonal (esterogen). Kontrasepsi secara oral
yang memiliki kandungan esterogen dapat menyebabkan terjadinya
hipertensi melalui mekanisme renin-aldosteron-mediate volume
expantion. Pada hipertensi ini, tekanan darah akan kembali normal setelah
beberapa bulan penghentian oral kontrasepsi.
e) Gangguan endokrin. Disfungsi medulla adrenal atau korteks adrenal dapat
menyebabkan hipertensi sekunder. Adrenalmediate hypertension
disebabkan kelebihan primer aldosteron, kortisol, dan katekolamin.
f) Kegemukan (obesitas) dan malas berolahraga.
g) Stres, yang cenderung menyebabkan peningkatan tekanan darah untuk
sementara waktu.
h) Kehamilan, luka bakar dan peningkatan tekanan vaskuler
C. Patofisiologi
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak
dipusat vasomotor, pada medulla diotak.Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf
simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medulla
spinalis ganglia simpatis di toraks dan abdomen.Rangsangan pusat vasomotor
dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui system saraf
simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan
asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah,
dimana dengan dilepaskannya nonepineprin mengakibatkan konstriksi pembuluh
darah. Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon
pembuluh darah terhadap rangsang vasokonstriksi.Individu dengan hipertensi sangat
sensitiv terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal
tersebut bisa terjadi. Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang
pembuluh darah sebagai respons rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang,
mengakibatkan tambahan aktivitas vasokonstriksi.Medulla adrenal mensekresi
epinefrin, yang menyebabkan vasokonstriksi. Korteks adrenal mensekresi kortisol
dan steroid lainnya, yang dapat memperkuat respons vasokonstriktor pembuluh
darah.Vasokonstriksi yang mengakibatkan penurunan aliran ke ginjal, menyebabkan
pelepasan rennin. Renin merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian
diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya
merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan
retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume intra
vaskuler.Semua faktor ini cenderung mencetuskan keadaan hipertensi. Sebagai
pertimbangan gerontologis dimana terjadi perubahan structural dan fungsional pada
system pembuluh perifer bertanggungjawab pada perubahan tekanan darah yang
terjadi pada usia lanjut. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya
elastisitas jaringan ikat dan penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah,
yang pada gilirannya menurunkan kemampuan distensi dan daya regang pembuluh
darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang kemampuannya dalam
mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung (volume sekuncup)
mengakibatkan penurunan curang jantung dan peningkatan tahanan perifer (Smeltzer
& Bare, 2018). Pada usia lanjut perlu diperhatikan kemungkinan adanya “hipertensi
palsu” disebabkan kekakuan arteri brachialis sehingga tidak dikompresi oleh cuff
sphygmomanometer.
Pathway Hipertensi

D. Manifestasi Klinis
Manifestasi Klinis Hipertensi Menurut Tambayong (dalam Nurarif A.H., & Kusuma
H., 2016), tanda dan gejala pada hipertensi dibedakan menjadi :
1) Tidak ada gejala Tidak ada gejala yang spesifik yang dapat dihubungkan
dengan peningkatan tekanan darah, selain penentuan tekanan arteri oleh
dokter yang memeriksa. Hal ini berarti hipertensi arterial tidak akan pernah
terdiagnosa jika tekanan darah tidak teratur.
2) Gejala yang lazim Seing dikatakan bahwa gejala terlazim yang menyertai
hipertensi meliputi nyeri kepala dan kelelahan. Dalam kenyataanya ini
merupakan gejala terlazim yang mengenai kebanyakan pasien yang mencari
pertolongan medis. Beberapa pasien yang menderita hipertensi yaitu:
Mengeluh sakit kepala, pusing, lemas, kelelahan, sesak nafas, gelisah, mual,
muntah, epistaksis, kesadaran menurun.
E. Pemeriksaan Penunjang
1. Hemoglobin / hematokrit Untuk mengkaji hubungan dari sel–sel terhadap volume
cairan (viskositas) dan dapat mengindikasikan factor–factor resiko seperti
hiperkoagulabilitas, anemia.
2. BUN
Memberikan informasi tentang perfusi ginjal Glukosa Hiperglikemi (diabetes
mellitus adalah pencetus hipertensi) dapat diakibatkan oleh peningkatan
katekolamin (meningkatkan hipertensi).
3. Kalium serum Hipokalemia dapat megindikasikan adanya aldosteron utama
(penyebab) atau menjadi efek samping terapi diuretik.
4. Kalsium serum Peningkatan kadar kalsium serum dapat menyebabkan hipertensi.
5. Kolesterol dan trigliserid serum Peningkatan kadar dapat mengindikasikan
pencetus untuk adanya pembentukan plak ateromatosa (efek kardiovaskuler)
6. Pemeriksaan tiroid Hipertiroidisme dapat menimbulkan vasokonstriksi dan
hipertensi.
7. Kadar aldosteron urin/serum

Untuk mengkaji aldosteronisme primer atau penyebab antara lain :


1. Urinalisa Darah, protein, glukosa mengisyaratkan disfungsi ginjal dan atau
adanya diabetes.
2. Asam urat Hiperurisemia telah menjadi implikasi faktor resiko hipertensi
3. Steroid urin Kenaiakn dapat mengindikasikan hiperadrenalism
4. IVP : Dapat mengidentifikasi penyebab hieprtensiseperti penyakit parenkim
ginjal, batu ginjal / ureter
5. Foto dada Menunjukkan obstruksi kalsifikasi pada area katub, perbesaran jantung.
6. CT scan Untuk mengkaji tumor serebral, ensefalopati.
7. EKG Dapat menunjukkan pembesaran jantung, pola regangan, gangguan
konduksi, peninggian gelombang P adalah salah satu tanda dini penyakit jantung
hipertensi.

F. Penatalaksanaan
Pengelolaan hipertensi bertujuan untuk mencegah morbiditas dan mortalitas akibat
komplikasi kardiovaskuler yang berhubungan dengan pencapaian dan pemeliharaan
tekanan darah dibawah 140/90 mmHg. Prinsip pengelolaan penyakit hipertensi
meliputi.
1. Terapi tanpa Obat Terapi tanpa obat digunakan sebagai tindakan untuk hipertensi
ringan dan sebagai tindakan suportif pada hipertensi sedang dan berat. Terapi
tanpa obat ini meliputi :
a. Diet Diet yang dianjurkan untuk penderita hipertensi adalah : Restriksi garam
secara moderat dari 10 gr/hr menjadi 5 gr/hr, diet rendah kolesterol dan
rendah asam lemak jenuh, penurunan berat badan, penurunan asupan etanol,
penghentikan merokok
b. Latihan Fisik atau olah raga yang teratur dan terarah yang dianjurkan untuk
penderita hipertensi adalah olah raga yang mempunyai empat prinsip yaitu:
Macam olah raga yaitu isotonis dan dinamis seperti lari, jogging, bersepeda,
berenang dan lain-lain. Intensitas olah raga yang baik antara 60-80 % dari
kapasitas aerobik atau 72-87 % dari denyut nadi maksimal yang disebut zona
latihan. Lamanya latihan berkisar antara 20 – 25 menit berada dalam zona
latihan Frekuensi latihan sebaiknya 3 x perminggu dan paling baik 5 x
perminggu.
c. Edukasi Psikologis Pemberian edukasi psikologis untuk penderita hipertensi
meliputi :
1) Teknik Biofeedback Biofeedback adalah suatu tehnik yang dipakai
untuk menunjukkan pada subyek tanda-tanda mengenai keadaan tubuh
yang secara sadar oleh subyek dianggap tidak normal. Penerapan
biofeedback terutama dipakai untuk mengatasi gangguan somatik
seperti nyeri kepala dan migrain, juga untuk gangguan psikologis
seperti kecemasan dan ketegangan.
2) Teknik relaksasi Relaksasi adalah suatu prosedur atau tehnik yang
bertujuan untuk mengurangi ketegangan atau kecemasan, dengan cara
melatih penderita untuk dapat belajar membuat otot-otot dalam tubuh
menjadi rileks.
3) Pendidikan Kesehatan dengan tujuan pendidikan kesehatan yaitu
untuk meningkatkan pengetahuan pasien tentang penyakit
hipertensi dan pengelolaannya sehingga pasien dapat mempertahankan
hidupnya dan mencegah komplikasi lebih lanjut.
G. Pengkajian Fokus Keperawatan Pada Lansia
Pengkajian keperawatan pada lansia adalah suatu tindakan peninjauan situasi lansia
untuk memperoleh data dengan maksud menegaskan situasi penyakit, diagnosis
masalah, penetapan kekuatan dan kebutuhan promosi kesehatan lansia. Data yang
dikumpulkan mencakup data subyektif dan data obyektif meliputi data bio, psiko,
sosial, dan spiritual, data yang berhubungan dengan masalah lansia serta data tentang
faktor-faktor yang mempengaruhi atau yang berhubungan dengan masalah kesehatan
lansia seperti data tentang keluarga dan lingkungan yang ada. Pengkajian fokus pada
lansia meliputi pengkajian perubahan fisik, psikologis dan psikososial.
1. Perubahan Fisik Pengumpulan data dengan wawancara meliputi: Pandangan
lanjut usia tentang kesehatan, kegiatan yang mampu di lakukan lansia,
kebiasaan lanjut usia merawat diri sendiri, kekuatan fisik lanjut usia: otot,
sendi, penglihatan, dan pendengaran, kebiasaan makan, minum,
istirahat/tidur, BAB/BAK, kebiasaan gerak badan/olahraga/senam lansia,
perubahan-perubahan fungsi tubuh yang dirasakan sangat bermakna,
kebiasaan lansia dalam memelihara kesehatan dan kebiasaan dalam minum
obat. Pengumpulaan data dengan pemeriksaan fisik: Pemeriksanaan dilakukan
dengan cara inspeksi, palpilasi, perkusi, dan auskultasi untuk mengetahui
perubahan sistem tubuh.
2. Perubahan psikologis, data yang dikaji : Bagaimana sikap lansia terhadap
proses penuaan, Apakah dirinya merasa di butuhkan atau tidak, Apakah
optimis dalam memandang suatu kehidupan, Bagaimana mengatasi stres yang
di alami, Apakah mudah dalam menyesuaikan diri, Apakah lansia sering
mengalami kegagalan, Apakah harapan pada saat ini dan akan datang, Perlu
di kaji juga mengenai fungsi kognitif: daya ingat, proses pikir, alam perasaan,
orientasi, dan kemampuan dalam menyelesaikan masalah.
3. Perubahan sosial ekonomi, data yang dikaji :
a. Darimana sumber keuangan lansia
b. Apa saja kesibukan lansia dalam mengisi waktu luang
c. Dengan siapa dia tinggal
d. Kegiatan organisasi apa yang diikuti lansia
e. Bagaimana pandangan lansia terhadap lingkungannya
f. Seberapa sering lansia berhubungan dengan orang lain di luar rumah
g. Siapa saja yang bisa mengunjungi
h. Seberapa besar ketergantungannya
i. Apakah dapat menyalurkan hobi atau keinginan dengan fasilitas yang ada.
4. Perubahan spiritual, data yang dikaji:
a. Apakah secara teratur melakukan ibadah sesuai dengan keyakinan
agamanya
b. Apakah secara teratur mengikuti atau terlibat aktif dalam kegiatan
keagamaan, misalnya pengajian dan penyantunan anak yatim atau fakir
miskin.
c. Bagaimana cara lansia menyelesaikan masalah apakah dengan berdoa.
d. Apakah lansia terlihat tabah dan tawakal.

Pengkajian Status Fungsional, Pengkajian Status Kognitif :


a. Pengkajian Status Fungsional dengan pemeriksaan Index Katz
Tabel 1 : Pemeriksaan kemandirian lansia dengan Index Katz

Skor Kriteria
A Kemandirian dalam hal makan, minum, berpindah, ke kamar
kecil, berpakaian dan mandi
B Kemandirian dalam aktivitas hidup sehari-hari kecuali satu dari
fungsi tersebut
C Kemandirian dalam aktivitas hidup sehari-hari, kecuali mandi
dan satu fungsi tambahan
D Kemandirian dalam aktivitas hidup sehari-hari kecuali mandi,
berpakaian, ke kamar kecil dan satu fungsi tambahan
E Kemandirian dalam aktivitas hidup sehari-hari kecuali mandi,
berpakaian, ke kamar kecil dan satu fungsi tambahan
F Kemandirian dalam aktivitas hidup sehari-hari, kecuali
berpakaian, ke kamar kecil, dan satu fungsi tambahan
G Kemandirian dalam aktivitas hidup sehari-hari kecuali mandi dan
satu fungsi tambahan
Lain- lain Tergantung pada sedikitnya dua fungsi tetapi tidak dapat
diklasifikasikan sebagai C, D, E atau F.
Tabel 1 Index Katz di atas untuk mencocokkan kondisi lansia dengan skor yang
diperoleh.
b. Pengkajian status kognitif
SPMSQ (Short Portable Mental Status Questionaire) adalah penilaian fungsi
intelektual lansia.
Tabel 2. Penilaian SPMSQ

Benar Salah No Pertanyaan


01 Tanggal berapa hari ini ?
02 Hari apa sekarang ?
03 Apa nama tempat ini ?
04 Dimana alamat anda ?
05 Berapa umur anda ?
06 Kapan anda lahir ? (Minimal tahun)
07 Siapa presiden Indonesia sekarang ?
08 Siapa presiden Indonesia sebelumnya ?
09 Siapa nama Ibu anda ?
10 Kurangi 3 dari 20 dan tetap pengurangan 3
dari setiap angka baru, semua secara menurun.
Total Nilai

H. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut b.d agen pencedera fisiologis (misalnya iskemia) (SDKI D.0077
Hlm.172)
2. Gangguan pola tidur b.d hambatan lingkungan (SDKI D.0055 Hlm.126)
3. Perfusi perifer tidak efektif b.d peningkatan tekanan darah (SDKI D.0009
Hlm.37)
I. Intervensi/Rencana Tindakan Keperawatan

Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Intervensi/Perencanaan


(SDKI) Hasil (SIKI)
(SLKI)
Nyeri akut b.d agen Setelah dilakukan tindakan Manajemen Nyeri (1.08238
pencedera fisiologis keperawatan dalam jangka Hlm.201)
(misalnya iskemia) waktu 1x24 jam
diharapkan nyeri dapat Observasi
SDKI D.0077 Hlm.172 berkurang, dengan kriteria 1. Identifikasi lokasi,karakteristik,
hasil : Tingkat nyeri Durasi, frekuensi, kualitas dan
(SLKI L.08066 Hlm.145) Intensitas nyeri
1. Keluhan nyeri menurun 2. Identifikasi skala nyeri
2. Wajah meringis 3. Identifikasi respon nyeri non
menurun verbal
3. Gelisah menurun 4. Identifikasi factor yang
4. Kesulitan tidur menurun memperberat dan memperingan
5. Mobilitas fisik membaik nyeri
5. Identifikasi pengetahuan dan
keyakinan tentang nyeri

Terapeutik
Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri

Edukasi
Jelaskan strategi meredakan nyeri

Kolaborasi
Kolaborasi pemberian analgetik
Gangguan pola tidur b.d Setelah dilakukan tindakan Dukungan Tidur (1.05174
hambatan lingkungan keperawatan dalam jangka Hlm.48)
waktu 1x24 jam
SDKI D.0055 Hlm.126 diharapkan gangguan pola Observasi
tidur pasien dapat teratasi 1. Identifikasi pola aktivitas dan
dengan menunjukan tidur
kriteria hasil : 2. Identifikasi factor pengganggu
Pola tidur membaik tidur (Fisik/psikologi)
(SLKI L.05046 Hlm. 96) 3. Identifikasi makanan dan
1. Keluhan sulit tidur minuman yang mengganggu
menurun tidur (misalnya kopi, the,
2. Keluhan sering terjaga alcohol, makan yang banyak
menurun sebelum waktu tidur, minum
3. Keluhan pola tidur air yang banyak)
berubah menurun Terapeutik
4. Keluhan istirahat tidak 1. Modifikasi lingkungan
cukup menurun (misalnya pencahayaan,
kebisingan, suhu, matras dan
tempat tidur) batasi waktu
tidur siang
2. Tetapkan jadwal tidur rutin
Edukasi
1. Anjurkan menepati kebiasaan
waktu tidur
2. Anjurkan untuk menghindari
makanan dan minuman yang
mengganggu tidur
3. Anjurkan relaksasi otot
autogenic atau cara non
farmakologi lainnya.
Perfusi perifer tidak efektif Setelah dilakukan tindakan Pemantauan tanda vital
keperawatan dalam jangka (1.02060 Hlm.248)
b.d peningkatan tekanan
waktu 1x24 jam
darah diharapkan keefektifan Observasi
perfusi jaringan perifer 1. Monitor tekanan darah
(SDKI D.0009 Hlm.37)
meningkat, dengan 2. Monitor nadi (frekuensi,
menunjukkan kriteria hasil: kekuatan, irama)
Perfusi Perifer Meningkat 3. Monitor pernapasan
(SLKI L.02011 Hlm. 84) (frekuensi, kedalaman)
1. Warna kulit pucat 4. Monitor suhu tubuh
menurun 5. Identifikasi penyebab
2. Nyeri ekstremitas perubahan tanda vital
menurun Terapeutik
3. Kelemahan otot Dokumentasikan hasil
menurun pemantauan
4. Kram otot menurun
5. Turgor kulit membaik Edukasi
6. Tekanan darah systole Informasikan hasil pemantauan
membaik
7. Tekanan darah diastole
membaik

J. Implementasi Keperawatan
Implementasi merupakan tindakan yang sudah direncanakan dalam rencana
keperawatan. Tindakan keperawatan mencakup tindakan mandiri (independent), saling
ketergantungan/kolaborasi (interdependent), dan tindakan dependen atau ketergantungan.
K. Evaluasi Keperawatan
Menurut Potter, Perry (2010:501) untuk eveluasi hasil yang diharapkan dan respons
terhadap asuhan keperawatan, dibandingkan hasil yang didapatkan pada klien saat ini
dengan hasil yang diharapkan saat perencanaan: seperti kemampuan klien untuk
mempertahankan atau memperbaiki kesejajaran tubuh, meningkatkan mobilisasi, dan
melindungi klien dari bahaya imobilisasi. Evaluasi adalah proses yang berkelanjutan
unntuk menilai efek dari tindakan keperawatan pada klien. Evaluasi terus menerus
dilakukan terhadap respon klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan,
digunakan komponen SOAP/SOAPIE.

BAB III
TINJAUAN KASUS
3.1 Analisis Situasi
Asuhan keperawatan gerontik merupakan salah satu praktek kerja nyata PROFESI NERS
Mahasiswa Poltekkes Kemenkes Kupang Jurusan Keperawatan yang telah dilaksanakan
di keluarga lansia Ny. M.L berusia 65 tahun yang bertempat tinggal di RT 01/RW 01
Kelurahan Naioni, kecamatan Alak kota Kupang Nusa Tenggara Timur.
3.1.1 Pengkajian
Pengkajian dilakukan pada hari senin, 22 November 2021 pada pukul 09.40 wita
dengan melakukan pengumpulan data secara langsung melalui wawancara dan
anamnesa di posyandu lansia pada wilayah kerja puskesmas Naioni.
3.1.2 Identitas Klien
Klien atas nama Ny. M.L, jenis kelamin perempuan berusia 65 tahun dengan status
perkawinan sudah menikah beragama Kristen protestan, pendidikan terakhir SD,
pekerjaan ibu rumah tangga dan petani, bersuku bangsa Timor. Fasilitas kesehatan yang
sering dikunjungi ketika sakit antara lain, puskesmas Naioni, puskesmas Bakunase dan
RS Boromeus Kupang.
3.1.3 Identitas Penanggung Jawab
Penanggung jawab atas nama Tn. Y.L, berusia 65 tahun, pekerjaan petani, status
kesehatan baik. Beliau merupakan suami dari pasien.
3.1.4 Pemeriksaan Fisik
Penyakit yang diderita saat ini adalah hipertensi grade I dengan kategori ringan,
keluhan yang dirasakan pasien dalam kurun waktu satu tahun terakhir, pasien
mengatakan mudah lelah, rasa sakit di dada, pusing, sakit kepala dan cemas berlebihan.
Keluhan utama saat ini/saat dilakukannya pengkajian, pasien mengatakan merasa cepat
lelah, penglihatan menjadi sedikit kabur, susah tidur, pasien mengatakan sering merasa
sakit kepala, gelisah, pusing, rasa sakit di dada dengan hasil pengkajian (skala nyeri 3,
merasakan nyeri pada saat-saat tertentu seperti hendak istirahat dan setelah melakukan
aktivitas berat, frekuensi nyeri terjadi dalam waktu 4 detik secara berulang dan seperti
tertusuk-tusuk). Pasien tampak pucat, mata cekung, konjungtiva pucat, membran
mukosa pucat. Hasil pengkajian tanda-tanda vital didapatkan bahwa TD 146/90 mmHg,
Nadi 89x/menit, suhu 36,2℃, RR 29x/menit.
Hasil pengkajian status nutrisi dan kebiasaan makan pasien didapatkan hasil
bahwa pasien mengatakan sering mengonsumsi daging berlemak, hampir tidak pernah
berolahraga, sering mengonsumsi makanan tinggi garam dan makan sei dengan sering.
Pada riwayat berat badan terjadi peningkatan berat badan saat ini dari 68 menjadi 69 kg
dengan tinggi badan 152 cm. Pola konsumsi makanan baik, dengan frekuensi makannya
banyak dan sering, makan 3 kali sehari dan bisa makan sendiri tanpa perlu bantuan
orang lain. Tidak ada masalah yang mengganggu nafsu makan pasien. Pasien tetap
dapat memenuhi kebutuhan nutrisi yang baik dengan porsi makan yang baik juga. Pola
istirahat tidur pasien kurang baik dimana pasien mengatakan sering mengalami
gangguan tidur dikarenakan sering merasa gelisah, takut dan cemas, selalu merasa nyeri
setiap malam ketika hendak tidur. Lama waktu pasien tidur adalah 4 jam. Hasil
identifikasi silsilah keluarga pasien didapatkan data pasien merupakan anak ketiga dari
delapan bersaudara. Ayah kandung pasien juga memiliki riwayat penyakit hipertensi
dalam kurun waktu 8 tahun lamanya. Sedangkan anggota keluarga yang lain tidak
memiliki riwayat penyakit yang sama.
Tingkat kesadaran pasien compos mentis dengan hasil E:4, V:5, M:6, pasien
mengatakan sering merasa lelah, terjadi perubahan BB, mengalami kesulitan tidur,
mampu menilai diri sendiri terhadap seluruh status kesehatan, dan mampu melakukan
ADL mandiri, tampak turgor kulit kering, CRT 1-3 detik, merasa sakit kepala, pusing,
pandangan kabur, merasa nyeri dan tidak nyaman pada dada, nyeri persendian seperti
kram-kram, nyeri punggung. Hasil pengkajian berat badan pasien 69kg, tinggi badan
152 cm, dari data tersebut didapatkan hasil perhitungan indeks masa tubuh atau IMT
pasien adalah 29,87 masuk dalam kategori overweight atau kelebihan berat badan.
3.2 Analisa Data

Etiologi Masalah
No Data-data (Penyebab) Keperawatan

1. DS: Agen pencedera Nyeri akut


Pasien mengatakan mudah lelah, rasa fisiologis 
sakit di dada, pusing, sakit kepala (misalnya iskemia)
dan cemas berlebihan. Keluhan
utama saat ini/saat dilakukannya
pengkajian, pasien mengatakan
merasa cepat lelah, penglihatan
menjadi sedikit kabur, pasien
mengatakan sering merasa sakit
kepala, gelisah, pusing, rasa sakit di
dada
DO:
Pasien tampak gelisah, cemas
berlebihan, mukosa bibir kering.
TTV, TD: 149/90mmHg, N:89x/mnt,
S:36,4℃, RR:29x/menit.
Hasil pengkajian PQRST antara lain:
P : Nyeri muncul saat-saat tertentu
saja
Q : Kualitas nyeri seperti tertusuk-
tusuk
R : Pada area kepala, dada,
ekstremitas atas dan bawah
S : Skala nyeri 3
T : Hilang muncul/hilang timbul
2. DS : Hambatan lingkungan Gangguan pola tidur
Pasien mengatakan susah tidur, pola (keadaan lingkungan
istirahat dan tidurnya mulai berubah yang tidak kondusif,
semenjak sakit ditambah lagi kondisi gaduh dan rasa nyeri
lingkungan yang gaduh. Pasien berlebih yang
mengatakan sulit tidur dikarenakan mengganggu rasa aman
factor kenyamanan seperti merasa dan nyaman)
nyeri berlebih sehingga mengganggu
pola tidurnya. Lama waktu pasien
tidur adalah 4 – 7 jam. Pasien
mengatakan cepat merasa lelah dan
mudah capek.
DO :
Pasien tampak lelah, mata cekung,
mukosa bibir kering, RR : 29x/mnt,
N: 89x/mnt, tampak bingung dan
gelisah.
3.3 Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut b.d agen pencedera fisiologis (misalnya iskemia) (SDKI D.0077 Hlm.172)
2. Gangguan pola tidur b.d hambatan lingkungan (SDKI D.0055 Hlm.126)

3.4 Intervensi/Perencanaan Keperawtaan


Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Intervensi/Perencanaan
(SDKI) Hasil (SIKI)
(SLKI)
Nyeri akut b.d agen Setelah dilakukan tindakan Manajemen Nyeri (1.08238
pencedera fisiologis keperawatan dalam jangka Hlm.201)
(misalnya iskemia) waktu 1x24 jam
diharapkan nyeri dapat Observasi
SDKI D.0077 Hlm.172 berkurang, dengan kriteria 1. Identifikasi lokasi,karakteristik,
hasil : Tingkat nyeri Durasi, frekuensi, kualitas dan
(SLKI L.08066 Hlm.145) Intensitas nyeri
1. Keluhan nyeri menurun 2. Identifikasi skala nyeri
2. Wajah meringis 3. Identifikasi respon nyeri non
menurun verbal
3. Gelisah menurun 4. Identifikasi factor yang
4. Kesulitan tidur menurun memperberat dan memperingan
5. Mobilitas fisik membaik nyeri
5. Identifikasi pengetahuan dan
keyakinan tentang nyeri

Terapeutik
Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri

Edukasi
Jelaskan strategi meredakan nyeri

Kolaborasi
Kolaborasi pemberian analgetik
Gangguan pola tidur b.d Setelah dilakukan tindakan Dukungan Tidur (1.05174
hambatan lingkungan keperawatan dalam jangka Hlm.48)
waktu 1x24 jam
SDKI D.0055 Hlm.126 diharapkan gangguan pola Observasi
tidur pasien dapat teratasi 1. Identifikasi pola aktivitas dan
dengan menunjukan tidur
kriteria hasil : 2. Identifikasi factor pengganggu
Pola tidur membaik tidur (Fisik/psikologi)
(SLKI L.05046 Hlm. 96) 3. Identifikasi makanan dan
1. Keluhan sulit tidur minuman yang mengganggu
menurun tidur (misalnya kopi, the,
2. Keluhan sering terjaga alcohol, makan yang banyak
menurun sebelum waktu tidur, minum
3. Keluhan pola tidur air yang banyak)
berubah menurun Terapeutik
4. Keluhan istirahat tidak 1. Modifikasi lingkungan
cukup menurun (misalnya pencahayaan,
kebisingan, suhu, matras dan
tempat tidur) batasi waktu
tidur siang
2. Tetapkan jadwal tidur rutin
Edukasi
1. Anjurkan menepati kebiasaan
waktu tidur
2. Anjurkan untuk menghindari
makanan dan minuman yang
mengganggu tidur
3. Anjurkan relaksasi otot
autogenic atau cara non
farmakologi lainnya.
3.5 Implementasi dan Evaluasi
Implementasi Hari Ke-1

No Hari/tgl/jam Diagnosa Implementasi Evaluasi


Keperawatan
1. Senin, 22 I Observasi S : Pasien
November 1. Mengidentifikasi lokasi, karakteristi Mengatakan masih
2021 kdurasi, frekuensi, kualitas dan merasa nyeri
intensitas nyeri dengan cara O : Pasien tampak
Pukul 09.40 mengkaji PQRST pada pasien meringis, tampak
wita-selesai P: Nyeri muncul saat-saat tertentu gelisah dan cemas.
saja TTV= TD : 149/90
Q: Nyeri menusuk/tertusuk-tusuk mmHg, N: 89x/mnt,
dan rasa nyut-nyut S:36,8℃, 
R: Pada area kepala, dada dan RR: 28x/menit
bagian ekstremitas atas dan P: Nyeri muncul
bawah saat-saat tertentu saja
S:  Skala nyeri 3 Q: nyeri
T: Tidak menentu dan hilang muncul menusuk/tertusuk-
2. Mengidentifikasi skala nyeri yakni tusuk dan rasa nyut-
dengan cara memberikan penjelasan nyut
kepada pasien tentang rentang R: Pada area kepala,
respon skala nyeri 1-10 beserta dada dan bagian
kategori nya dan menentukan nyeri ekstremitas atas dan
yang dialami pasien berada pada bawah
kategori apa. Nyeri pasien berada S: Skala nyeri 3
pada kategori nyeri sedang. T: Tidak menentu
3. Mengidentifikasi respon nyeri non dan hilang muncul
verbal : A: Masalah belum
Dengan melihat respon atau reaksi teratasi
fisik, emosi dan tingkah laku P : Intervensi
terhadap nyeri,apakah ditampakkan dilanjutkan meliputi
melalui wajah yang meringis observasi, terapeutik,
kesakitan ataukah saat pasien edukasi dan
menarik nafas panjang dan dalam. kolaborasi
Respon yang di tunjukkan oleh Ny.
M.L adalah dengan cara
menampakkan wajah yang meringis
kesakitan kadang juga menarik nafas
dalam.
4. Mengidentifikasi factor yang
memperberat dan memperingan
nyeri : menanyakan kepada pasien
hal apa yang membuat nyeri
semakin bertambah dan bagaimana
cara mengatasinya dan apa yang
membuat rasa nyeri menjadi
berkurang. Pasien melakukan teknik
relaksasi dengan menarik nafas
dalam saat nyeri terasa berat.
Terapeutik
1. Memberikan teknik non
farmakologis untuk mengurangi rasa
nyeri : dengan cara melatih dan
mengajarkan pasien teknik nafas
dalam dan relaksasi
2. Mengontrol lingkungan yang memper
berat rasa nyeri : Memberikan
penjelasan bahwa jangan sampai
berada pada lingkungan yang bising,
lingkungan yang nyaman dan tenang
jauh lebih baik sehingga mempercepat
proses penyembuhan dan tidak
merasakan nyeri yang berlebihan lagi.

Edukasi
1.  Menjelaskan strategi meredakan nyeri
pasien dan keluarga diajarkan
bagaimana melakukan relaksasi secara
mandiri ini merupakan metode untuk
meredakan nyeri secara sederhana
yang dapat dilakukan pasien secara
mandiri di rumah.
2. Mengkaji nyeri secara mandiri :
Mengajarkan pasien menilai rentang
respon skala nyeri 1-10 dengan
kategori-kategorinya, sehingga pasien
memahami ia berada pada kategori
nyeri apa.

Kolaborasi
Melakukan kolaborasi pemberian
analgetik : Kolaborasi bersama dokter
dan apoteker jika perlu penanganan
khusus dan jika nyerinya bertambah
parah.
2. Senin, 22 II Observasi S : Pasien
November 1. Mengidentifikasi pola aktivitas dan mengatakan sudah
2021 tidur. paham dengan apa
Menanyakan kebiasaan pasien tidur yang sudah
Pukul 09.50 apakah pola tidurnya normal dengan disampaikan perawat
wita-selesai lama waktu tidurnya berapa lama. pasien
2. Mengidentifikasi factor pengganggu O : Pasien tampak
tidur (Fisik/psikologi) sedikit rileks,
Mengkaji kondisi fisik pasien apakah Tanda-tanda vital
ada nyeri yang mengganggu pasien TD : 149/90 mmHg,
untuk tidur, menanyakan bagaimana N:89x/mnt,
keadaan psikologis pasien apakah S:36,4℃,
baik-baik sajakah ataukah sebaliknya. RR:27x/mnt
Kaji sebanyak-banyaknya hal yang
menimbulkan kecemasan pasien A: Masalah belum
sehingga mengganggu pola tidur. teratasi
3. Mengidentifikasi makanan dan
minuman yang mengganggu tidur P: Intervensi
mengkaji jenis makanan apa saja kah terapeutik, observasi
yang biasa di konsumsi oleh pasien dan edukasi tetap
setelah itu lihat apakah jenis makanan dilanjutkan
yang dikonsumsi itu termasuk dalam
jenis makanan pantangan bagi pasien
yang memiliki riwayat hipertensi atau
sebaliknya. Jika yang dikonsumsi itu
baik bagi kesehatannya maka perawat
menganjurkan pasien untuk terus
mengonsumsi namun apabila tidak
baik untuk kesehatan maka tidak
diperbolehkan untuk lanjut.
Terapeutik
1. Memodifikasi lingkungan (misalnya
pencahayaan, kebisingan, suhu,
matras dan tempat tidur) batasi waktu
tidur siang
2. Metapkan jadwal tidur rutin
Perawat membantu pasien untuk
membuat jadwal tidur rutin untuk
pasien dan meminta agar bisa
konsisten dengan waktu atau jadwal
yang sudah dibuat
Edukasi
1. Menganjurkan menepati kebiasaan
waktu tidur
Saat sudah waktunya istirahat maka
harus segera istirahat, mengingatkan
pasien agar tidak mudah terpengaruh
terhadap factor-faktor pengganggu
tidur dan harus bisa istirahat dengan
baik.
2. Menganjurkan untuk menghindari
makanan dan minuman yang
mengganggu tidur.
Meminta pasien agar menghindari
kopi dan the sebelum tidur atau jenis
makanan dan minuman yang
mengandung kafein.
3. Menganjurkan relaksasi otot
autogenik atau cara non farmakologi
lainnya.

Implementasi/Pelaksanaan Hari Ke-2


No Hari/tgl/jam Diagnosa Implementasi Evaluasi
Keperawatan
1. Rabu, 24 I Observasi S: Pasien
November 1. Mengidentifikasi skala nyeri yakni mengatakan nyeri
2021 dengan cara memberikan penjelasan sedikit berkurang
kepada pasien tentang rentang respon
Pukul 09.00 skala nyeri 1-10 beserta kategori nya O : Pasien tampak
Wita-selesai dan menentukan nyeri yang dialami rileks, skala nyeri 3
pasien berada pada kategori apa.
Nyeri pasien berada pada kategori A : Masalah teratasi
nyeri sedang. sebagian
2. Mengidentifikasi respon nyeri non
verbal: Dengan melihat respon atau P: Intervensi
reaksi fisik, pemberian edukasi
emosi dan tingkah lakuterhadap nyeri, secara keseluruhan
apakah ditampakkan melalui wajah dilanjutkan sampai
yang meringis kesakitan ataukah saat tuntas
pasien menarik nafas panjang dan
dalam. Respon yang di tunjukkan oleh
Ny. M.L adalah dengan cara
menampakkan wajah yang meringis
kesakitan kadang juga menarik nafas
dalam.
3. Mengidentifikasi factor yang
memperberat dan memperingan nyeri
dengan cara menanyakan kepada
pasien hal apa yang membuat nyeri
semakin bertambah dan bagaimana
cara mengatasinya dan apa yang
membuat rasa nyeri menjadi
berkurang. Pasien melakukan teknik
relaksasi dengan menarik nafas dalam
saat nyeri terasa berat.
Terapeutik
1. Memberikan teknik non farmakologis
untuk mengurangi rasa nyeri : dengan
cara melatih dan mengajarkan pasien
teknik nafas dalam dan relaksasi
2. Mengontrol lingkungan yang memper
berat rasa nyeri : Memberikan
penjelasan bahwa jangan sampai
berada pada lingkungan yang bising,
lingkungan yang nyaman dan tenang
jauh lebih baik sehingga mempercepat
proses penyembuhan dan tidak
merasakan nyeri yang berlebihan lagi.

Edukasi
1.  Menjelaskan strategi meredakan nyeri
pasien dan keluarga diajarkan
bagaimana melakukan relaksasi secara
mandiri ini merupakan metode untuk
meredakan nyeri secara sederhana
yang dapat dilakukan pasien secara
mandiri di rumah.
2. Mengkaji nyeri secara mandiri :
Mengajarkan pasien menilai rentang
respon skala nyeri 1-10 dengan
kategori-kategorinya, sehingga pasien
memahami ia berada pada kategori
nyeri apa.

Kolaborasi
Melakukan kolaborasi pemberian
analgetik : Kolaborasi bersama dokter
dan apoteker jika perlu penanganan
khusus dan jika nyerinya bertambah
parah.
2. Rabu, 24 II Observasi S : Pasien
November 1. Mengidentifikasi pola aktivitas dan mengatakan sudah
2021 tidur. paham dengan apa
Menanyakan kebiasaan pasien tidur yang sudah
Pukul 09.00 apakah pola tidurnya normal dengan disampaikan perawat
Wita-selesai lama waktu tidurnya berapa lama. pasien
2. Mengidentifikasi factor pengganggu O : Pasien tampak
tidur (Fisik/psikologi) sedikit rileks,
Mengkaji kondisi fisik pasien apakah Tanda-tanda vital
ada nyeri yang mengganggu pasien TD : 149/90 mmHg,
untuk tidur, menanyakan bagaimana N:89x/mnt,
keadaan psikologis pasien apakah S:36,4℃,
baik-baik sajakah ataukah sebaliknya. RR:27x/mnt
Kaji sebanyak-banyaknya hal yang
menimbulkan kecemasan pasien A: Masalah belum
sehingga mengganggu pola tidur. teratasi
3. Mengidentifikasi makanan dan
minuman yang mengganggu tidur P: Intervensi
mengkaji jenis makanan apa saja kah terapeutik, observasi
yang biasa di konsumsi oleh pasien dan edukasi tetap
setelah itu lihat apakah jenis makanan dilanjutkan
yang dikonsumsi itu termasuk dalam
jenis makanan pantangan bagi pasien
yang memiliki riwayat hipertensi atau
sebaliknya. Jika yang dikonsumsi itu
baik bagi kesehatannya maka perawat
menganjurkan pasien untuk terus
mengonsumsi namun apabila tidak
baik untuk kesehatan maka tidak
diperbolehkan untuk lanjut.
Terapeutik
1. Memodifikasi lingkungan (misalnya
pencahayaan, kebisingan, suhu,
matras dan tempat tidur) batasi waktu
tidur siang
2. Metapkan jadwal tidur rutin
Perawat membantu pasien untuk
membuat jadwal tidur rutin untuk
pasien dan meminta agar bisa
konsisten dengan waktu atau jadwal
yang sudah dibuat
Edukasi
1. Menganjurkan menepati kebiasaan
waktu tidur.
Saat sudah waktunya istirahat maka
harus segera istirahat, mengingatkan
pasien agar tidak mudah terpengaruh
terhadap factor-faktor pengganggu
tidur dan harus bisa istirahat dengan
baik.
2. Menganjurkan untuk menghindari
makanan dan minuman yang
mengganggu tidur.
Meminta pasien agar menghindari
kopi dan the sebelum tidur atau jenis
makanan dan minuman yang
mengandung kafein.
3. Menganjurkan relaksasi otot
autogenik atau cara non farmakologi
lainnya.

Implementasi/Pelaksanaan Hari Ke-3


No Hari/tgl/jam Diagnosa Implementasi Evaluasi
Keperawatan
1. Kamis, 25 I Edukasi S: Pasien
1.  Menjelaskan strategi meredakan nyeri
November mengatakan nyeri
pasien dan keluarga diajarkan
2021 bagaimana melakukan relaksasi secara berkurang dan
mandiri ini merupakan metode untuk
pasien memahami
meredakan nyeri secara sederhana yang
Pukul 12.40 dapat dilakukan pasien secara mandiri tentang edukasi
di rumah.
Wita-selesai terkait mekanisme
2. Mengkaji nyeri secara mandiri :
Mengajarkan pasien menilai rentang kontrol nyeri dengan
respon skala nyeri 1-10 dengan
baik
kategori-kategorinya, sehingga pasien
memahami ia berada pada kategori O: Pasien tamapak
nyeri apa.
baik dan rileks, skala
Kolaborasi nyeri = 2
Melakukan kolaborasi pemberian
A: Masalah teratasi
analgetik : Kolaborasi bersama dokter
sebagian
dan apoteker jika perlu penanganan
P: Intervensi
khusus dan jika nyerinya bertambah
parah. dilanjutkan
2. Kamis, 25 II Observasi S : Pasien
1. Mengidentifikasi pola aktivitas dan mengatakan sudah
November
tidur. paham dengan apa
2021 2. Menanyakan kebiasaan pasien tidur yang sudah
apakah pola tidurnya normal dengan disampaikan
lama waktu tidurnya berapa lama. perawat pasien
Pukul 13.00 3. Mengidentifikasi factor pengganggu O : Pasien tampak
tidur (Fisik/psikologi) sedikit rileks,
Wita-selesai
Mengkaji kondisi fisik pasien apakah Tanda-tanda vital
ada nyeri yang mengganggu pasien TD : 149/90 mmHg,
untuk tidur, menanyakan bagaimana N:89x/mnt,
keadaan psikologis pasien apakah S:36,4℃,
baik-baik sajakah ataukah sebaliknya. RR:27x/mnt
Kaji sebanyak-banyaknya hal yang
menimbulkan kecemasan pasien A: Masalah belum
sehingga mengganggu pola tidur. teratasi
4. Mengidentifikasi makanan dan
minuman yang mengganggu tidur P: Intervensi
mengkaji jenis makanan apa saja kah terapeutik, observasi
yang biasa di konsumsi oleh pasien dan edukasi tetap
setelah itu lihat apakah jenis makanan dilanjutkan
yang dikonsumsi itu termasuk dalam
jenis makanan pantangan bagi pasien
yang memiliki riwayat hipertensi atau
sebaliknya. Jika yang dikonsumsi itu
baik bagi kesehatannya maka perawat
menganjurkan pasien untuk terus
mengonsumsi namun apabila tidak
baik untuk kesehatan maka tidak
diperbolehkan untuk lanjut.
Terapeutik
1. Memodifikasi lingkungan (misalnya
pencahayaan, kebisingan, suhu, matras
dan tempat tidur) batasi waktu tidur
siang
2. Metapkan jadwal tidur rutin
Perawat membantu pasien untuk
membuat jadwal tidur rutin untuk
pasien dan meminta agar bisa
konsisten dengan waktu atau jadwal
yang sudah dibuat

Edukasi
1. Menganjurkan menepati kebiasaan
waktu tidur.
Saat sudah waktunya istirahat maka
harus segera istirahat, mengingatkan
pasien agar tidak mudah terpengaruh
terhadap factor-faktor pengganggu
tidur dan harus bisa istirahat dengan
baik.
2. Menganjurkan untuk menghindari
makanan dan minuman yang
mengganggu tidur.
Meminta pasien agar menghindari
kopi dan the sebelum tidur atau jenis
makanan dan minuman yang
mengandung kafein.
3. Menganjurkan relaksasi otot autogenik
atau cara non farmakologi lainnya.

Implementasi/Pelaksanaan Hari Ke-4


BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Pengkajian
Berdasarakan tinjauan teori menurut (Smeltzer, Suzanne C . 2013) pengkajian
terdiri dari, identitas klien, keluhan utama riwayat penyakit sekarang riwayat kesehatan
sebelumnya pola hidup atau kebiasan riwayat kesehatan keluarga, pengkajian
psikososial, pemeriksaan fisik persistem serta analisa data.
Tinjauan kasus pada Ny. M.L yang dilakukan oleh perawat pengkajian terdiri dari
identitas klien, identitas penanggung jawab,riwayat kesehatan, riwayat penyakit
sebelumnya, riwayat alergi, riwayat operasi, genogram, pemeriksaan fisik persistem, dan
pola kebiasaan sehari-hari, pola interkasi social, kegiatan keagamaan spiritual, keadaan
psikososial selama sakit, keadaaan spiritual, persepsepsi klien tentang sakit, pemeriksaan
diagnostic laboratorium, kondisi rumah dll. Kesimpulan menurut penulis tidak ada
kesenjangan antara tinjauan teori dan tinjauan kasus.
4.2 Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan hasil pengkajian data-data pasien Ny. M.L didapatkan 3 diagnosa
pada tinjauan teori yang sesuai dengan masalah keperawatannya antara lain : Nyeri akut
b.d agen pencedera fisiologis (misalnya iskemia) (SDKI D.0077 Hlm.172), Gangguan
pola tidur b.d hambatan lingkungan (SDKI D.0055 Hlm.126), Perfusi perifer tidak
efektif b.d peningkatan tekanan darah (SDKI D.0009 Hlm.37). Sedangakan pada
tinjauan kasus digunakan hanya dua diagnose saja yaitu Nyeri akut b.d agen pencedera
fisiologis (misalnya iskemia) (SDKI D.0077 Hlm.172), Gangguan pola tidur b.d
hambatan lingkungan (SDKI D.0055 Hlm.126).
Sehingga dapat diambil kesimpulan menurut penulis terdapat kesenjangan atau
perbedaan antara tinjauan teori dan tinjauan kasus yakni pada tinjauan teori terdapat 3
diagnosa keperawatan, sedangkan pada tinjauan kasusnya hanya digunakan dua diagnose
saja.
4.3 Intervensi Keperawatan
Berdasarkan tinjauan teori intervensi diambil dari SDKI, SLKI, SIKI, untuk
diagnosa pertama yaitu Nyeri akut b.d agen pencidera fisiologi (adanya iskemi) dengan
tujuan dan kriteria hasilnya : Tingkat nyeri (SLKI L.08066 Hlm.145) Keluhan nyeri
menurun, Wajah meringis menurun, Gelisah menurun, Kesulitan tidur menurun,
Mobilitas fisik membaik. Selanjutnya untuk intervensi Manajemen Nyeri (1.08238
Hlm.201) Observasi : Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan
Intensitas nyeri, Identifikasi skala nyeri, Identifikasi respon nyeri non verbal, Identifikasi
factor yang memperberat dan memperingan nyeri, Identifikasi pengetahuan dan
keyakinan tentang nyeri. Terapeutik: Berikan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri, Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri. Edukasi :
Jelaskan strategi meredakan nyeri, Anjurkan mengkaji nyeri secara mandiri. Kolaborasi:
Kolaborasi pemberian analgetik. Selanjutnya untuk diagnosa kedua yaitu gangguan pola
tidur b.d hambatan lingkungan dengan tujuan dan kriteria hasilnya Setelah dilakukan
tindakan keperawatan dalam jangka waktu 1x24 jam diharapkan gangguan pola tidur
pasien dapat teratasi dengan menunjukan kriteria hasil : Pola tidur membaik (SLKI
L.05046 Hlm. 96), Keluhan sulit tidur menurun, Keluhan sering terjaga menurun,
Keluhan pola tidur berubah menurun, Keluhan istirahat tidak cukup, menurun.
Kesimpulannya berdasarkan intervensi pada tinjauan teori dan kasus tidak
ditemukan adanya perbedaan yang signifikan jadi tidak ada kesenjangan antara teori dan
kasus.
4.4 Implementasi
Berdasarkan tinjauan teori implementasi disesuaikan dengan intervensi.
Berdasarkan tinjauan kasus yang dilakukan penulis pada Ny. M.L implementasi juga di
sesuaikan dengan intervensi. Jadi kesimpulannya menurut saya tidak ada perbedaan
antara implementasi pada tinjauan teori dan implementasi pada tinjauan kasus.
4.5 Evaluasi
Berdasarkan tinjauan teori evaluasi menjawab Kriteria hasil. Berdasarkan tinjauan
kasus yang dilakukan oleh penulis pada Ny. M.L menjawab kriteria hasil. Kesimpulan
menurut penulis tidak ada perbedaan antara evaluasi pada tinjauan teori dan evaluasi
pada tinjauan kasus.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari hasil pengkajian didapatkan data keluhan utama klien yakni Pasien mengatakan
ia merasa nyeri pada area kepala, dada dan bagian ekstremitas atas dan bawah dengan
skala nyeri saat pertamakali kaji yakni 3, hasil pemeriksaan tanda-tanda vital didapatkan
nilai tekanan darah 149/90 mmHg, Nadi 89x/menit, Suhu 36,8℃, RR 29x/menit, pasien
mengatakan ia sering sekali merasa lelah dan sulit untuk tidur. Pola tidur pasien buruk
dengan lama waktu tidur selama 4-7 jam. Dari implementasi yang diberikan antara lain
melakukan pengkajian secara komprehensif terkait nyeri dimulai dari karakteristik nyeri,
durasi, waktu, skala dll. Selanjutnya diberikan tindakan terapeutik dan edukasi terkait
teknik relaksasi untuk mengurangi nyeri pada pasien.
5.2 Saran
1. Bagi Keluarga
Diharapkan keluarga mendapatkan pengalaman serta dapat menerapkan apa yang
telah dipelajari dalam penanganan masalah penyakit hipertensi.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Diharapkan hasil laporan ini dapat digunakan sebagai tambahan dan referensi untuk
meningkatkan kualitas pendidikan keperawatan gerontik.
3. Bagi Mahasiswa
Diharapkan mahasiswa mampu memberikan perawatan yang baik kepada pasien
terkhususnya kepada para lansia.
DAFTAR PUSTAKA
H, N. A. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis NANDA NIC-
NOC. Jakarta: Media Action.
PPNI, Tim Pokja SIKI DPP. (2018) Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta
Selatan: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia
PPNI, Tim Pokja SDKI DPP . (2018) Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia. Jakarta
Selatan: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia
PPNI, Tim Pokja SLKI DPP . (2018) Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Jakarta
Selatan: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia
Kholifah Siti. (2016). Modul Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Jakarta Selatan : Pusdik
SDM Kesehatan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
Putra Junizar. (2019). Karya Tulis Ilmiah Asuhan Keperawatan Hipertensi Pada Lansia.
Padang: Stikes Perintis Padang
Adib, M. (2012). Cara Mudah Memahami dan Menghindari Hipertensi Jantung dan Stroke.
Yogyakarta: Dianloka.
Adriansyah, M. (2012). Medikal Bedah Untuk Mahasiswa. Yogyakarta: Diva Press.
Anies. (2010). Buku Ajar Kedokteran & Kesehatan Penyakit Degeneratif. Yogyakarta: Graha
Ilmu.
Association, A. H. (2018). Spanish Society of Hypertension position statement on the 2017
ACC/AHA hypertension guidelines. Hipertension y Riesgo Vascular, (xx), 1–11.
https://doi.org/10.1016/j.hipert.2018.04.001
Aster, K. K. (2009). Basic Pathology. Elsever: Decima Edicion.
Brunner, & Suddarth. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran 1 Dokumentasi/Foto Implementasi Pasien Lansia

Anda mungkin juga menyukai